BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Ikan Layur (Trichiurus sp.) Ikan layur (Trichiurus sp.) menurut taksonominya diklasifikasikan sebagai
berikut (Saanin 1984) Phyllum
: Chordata
Sub Phylum
: Vertebrata
Class
: Pisces
Sub Class
: Teleostei
Ordo
: Percomorphi
Sub Ordo
: Scrombroidea
Famili
: Trichiuridae
Genus
: Trichiurus
Spesies
: Trichiurus sp.
Gambar 1. Ikan Layur (Trichiurus sp.) Ikan layur (Trichiurus sp.) mempunyai ciri-ciri morfologis sebagai berikut: badan sangat panjang, pipih seperti pita terutama bagian ujung belakang ekor, dalam bahasa inggris disebut hairtail. Ikan ini memiliki mulut lebar dilengkapi dengan gigi tangkap yang kuat dan tajam. Rahang bawah lebih besar jika dibandingkan dengan rahang atas. Sirip punggung memanjang mulai dari atas kepala sampai pangkal ekor. Memiliki jari-jari lemah berjumlah 105-134. Sirip dubur tumbuh kurang sempurna dan berjari-jari lemah sejumlah 72-80 berupa deretan-deretan duri kecil, tidak terdapat sirip perut dan garis rusuk terlihat jauh
6
7
dibagian bawah badan. Ikan layur dalam keadaan hidup berwarna biru kegelapan, sedangkan dalam keadaan mati ikan ini berwarna perak keabuan atau sedikit keunguan. Bagian atas kepala berwarna ungu agak gelap. Sirip-siripnya sedikit kekuningan atau kuning dengan pinggiran gelap (Direktorat Jendral Perikanan 1998). 2.2
Faktor yang Mempengaruhi Tingkat Kesegaran Ikan Layur Ikan mempunyai kesegaran maksimal apabila sifat-sifatnya masih sama
dengan ikan hidup baik rupa, bau, cita rasa, maupun teksturnya. Apabila penanganan ikan kurang baik maka mutu atau kualitasnya akan turun (Junianto 2003). Menurut Suseno (2008), faktor-faktor yang mempengaruhi kesegaran ikan antara lain : a. Pengaruh faktor alami dan biologis -
Jenis ikan, ada ikan yang mudah dan cepat mengalami pembusukan, umumnya ikan yang berukuran kecil lebih cepat membusuk.
-
Biologis, ikan yang kenyang saat ditangkap akan lebih cepat busuk.
b. Pengaruh cara penanganan (handling) -
Cara penangkapan
-
Cara kematian ikan
-
Cara penanganan di kapal
-
Cara bongkar dan pendaratan
-
Cara penanganan di darat
-
Cara transportasi
-
Cara distribusi Ikan layur beku adalah ikan yang kondisinya dipertahankan segar dengan
cara dibekukan, sehingga kualitas masih sama atau mendekati keadaan ikan yang baru ditangkap. Ciri-ciri ikan segar dan ikan yang mulai membusuk disajikan pada Tabel 2.
8
Tabel 2. Ciri-ciri Ikan Segar dan Ikan Busuk Parameter
Ikan segar
Ikan busuk
Kulit
- Warna kulit terang dan jernih - Kulit masih kuat membungkus tubuh, tidak mudah sobek, terutama pada bagian perut - Warna-warna khusus yang ada masih terlihat jelas. - Sisik menempel kuat pada tubuh sehingga sulit dilepas. - Mata tampak terang, menonjol, dan cembung. - Insang berwarna merah sampai merah tua, terang dan lamella insang terpisah. - Insang tertutup oleh lendir berwarna terang dan berbau segar seperti bau ikan. - Daging kenyal, menandakan rigor mortis masih berlangsung. - Daging dan bagian tubuh lain berbau segar. - Bila daging ditekan dengan jari tidak tampak bekas lekukan. - Daging melekat kuat pada tulang. - Daging perut utuh dan kenyal. - Warna daging putih.
- Kulit berwarna suram, pucat dan berlendir banyak - Kulit mulai terlihat mengendur dibeberapa tempat tertentu - Kulit mudah sobek dan warna khusus sudah hilang - Sisik mudah terlepas dari tubuh.
Sisik Mata Insang
Daging
Disimpan dalam air
- Ikan segar akan tenggelam.
- Mata tampak suram, tenggelam dan berkerut. - Insang berwarna cokelat suram atau abu-abu dan lamella insang berdempetan. - Lendir insang keruh dan berbau asam, menusuk hidung. - Daging lunak, menandakan rigor mortis telah selesai. - Daging dan bagian tubuh lain mulai berbau busuk. - Bila ditekan dengan jari tampak bekas lekukan. - Daging mudah lepas dari tulang. - Daging lembek dan isi perut sering keluar. - Daging berwarna kuning kemerah-merahan di sekitar tulang punggung. - Ikan yang sudah sangat membusuk akan mengapung di permukaan air.
Sumber : Afrianto dan Liviawaty (1989)
Menurut SNI 6940.2:2011 (BSN 2011), persyaratan mutu bahan baku ikan layur beku harus bersih, bebas dari semua bau yang menandakan pembusukan dan bebas dari tanda dekomposisi yang dapat menurunkan mutu serta membahayakan kesehatan. Secara organoleptik bahan baku harus memenuhi karakteristik kesegaran, sebagai berikut: -
Kenampakan : Bersih, warna daging spesifik jenis ikan segar
-
Bau : Spesifik segar menurut jenis ikannya
-
Tekstur : Elastis, padat dan kompak
9
Menjaga mutu suatu produk untuk tetap dalam keadaan yang baik merupakan tanggung jawab produsen terhadap konsumen. Berikut ini merupakan faktor-faktor yang mempengaruhi mutu suatu produk yaitu suhu, waktu, kebersihan, dan cara kerja (Ilyas 1983). 1.
Suhu Suhu memegang peranan penting dalam upaya menghasilkan produk ikan
layur beku bermutu tinggi. Faktor suhu berperan dalam keseluruhan usaha produk, baik sejak awal ditangkap sampai produk akhir. Suhu produk pada saat penanganan harus dipertahankan, suhu produk maksimal 50C. Apabila suhu tidak diperhatikan maka akan berpengaruh terhadap mutu produk akhir. 2.
Waktu Faktor suhu berkaitan dengan lamanya waktu suatu proses, penanganan,
perlakuan, dan penyimpanan. Lamanya waktu dalam penanganan akan berpengaruh terhadap mutu produk akhir yang berkaitan dengan tingkat kesegaran produk. 3.
Kebersihan Faktor kebersihan mempunyai peranan yang sangat penting dalam
menjamin mutu produk. Faktor kesehatan hygiene selalu ditunjukan oleh keadaan bakteri dari kesegaran produk dan faktor suhu produk. Indikator yang digunakan yaitu jumlah bakteri yang terdapat pada produk ikan layur beku kondisi sarana, peralatan dan bahan yang terlibat dalam proses produksi. Faktor kebersihan peralatan
harus
diperhatikan,
karena
apabila
tidak
diperhatikan
akan
mempengaruhi terhadap penurunan mutu produk akhir yang dihasilkan. 4.
Cara Kerja Kecermatan dalam penanganan harus dilakukan agar ikan layur tidak rusak
dan daging terluka, untuk itu digunakan prosedur penanganan berdasarkan kualitas, ukuran, dan tujuan pemanfaatan serta pemasarannya. Semua kerusakan pada ikan layur akan menyebabkan ikan layur tidak terjual, pendek daya simpannya, dan berkurang mutunya.
10
2.2.1
Penurunan Mutu secara Fisik Penurunan mutu secara fisik adalah kerusakan pada bagian luar tubuh ikan
layur yang terjadi akibat penanganan dan perlakuan yang kurang baik sehingga dapat mempengaruhi mutu. Penanganan lebih awal akan sangat berpengaruh terhadap kualitas mutu yang dihasilkan. Menurut Kushardiyanto (2010), perubahan fisik ikan yang terjadi pada proses kematian ikan karena diangkat dari air atau tercekik adalah : 1) Saat proses kematian akan keluar lendir dipermukaan tubuh ikan dengan jumlah yang berlebihan dan ikan akan menggelepar mengenai benda di sekelilingnya. Apabila benda yang terkena benturan ikan cukup keras, kemungkinan besar tubuh ikan akan menjadi memar dan luka-luka. 2) Selanjutnya setelah ikan mati secara perlahan-lahan akan mengalami kekakuan tubuh (rigor mortis) yang diawali dari ujung ekor menjalar ke arah bagian kepalanya. Lama kekakuan ini tergantung dari tingkat kelelahan ikan pada saat kematiannya. Setelah proses rigor mortis selesai, kerusakan ikan akan mulai terlihat berupa perubahan-perubahan: berkurangnya kekenyalan perut dan daging ikan, berubahnya warna insang, berubahnya kecembungan dan warna mata ikan, untuk ikan bersisik menjadi lebih mudah lepas sisiknya dan kehilangan kecemerlangan warna ikan, berubah baunya dari segar menjadi asam. 3) Perubahan tersebut akan meningkat intensitasnya sesuai dengan bertambahnya tingkat penurunan mutu ikan, sampai yang terakhir ikan menjadi tidak layak untuk dikonsumsi atau busuk. Cara penilaian kesegaran ikan menggunakan metode inderawi atau organoleptik merupakan cara yang paling mudah jika dibandingkan dengan uji laboratorium (secara biologi, kimia maupun fisika). Penilaian organoleptik dilakukan dengan mengamati bagian tubuh ikan yang sensitif terhadap perubahan mutu dagingnya. Perubahan mutu tersebut seperti warna/rupa, rasa, kekenyalan atau kekompakan daging, kondisi mata, kondisi insang, dinding perut dan aroma.
11
2.2.2
Penurunan Mutu secara Kimia Menurut Hadiwiyoto (1993) penurunan mutu secara kimia adalah
penurunan mutu yang berhubungan dengan komposisi kimia dan susunan tubuhnya. Penurunan mutu secara kimia terdiri dari penurunan mutu secara autolisis dan oksidasi. Autolisis adalah penguraian protein dan lemak oleh enzim proteolitik (pengurai protein) dan enzim lipolisis (pengurai lemak) menjadi senyawa yang lebih sederhana seperti asam amino dan asam lemak. Menurut Ilyas (1983) enzim yang berperan dalam autolisis yaitu enzim proteolitik (pengurai protein) dan enzim lipolitik (pengurai lemak). Penurunan mutu ditandai dengan rasa, warna, tekstur, dan kenampakan yang berubah. Penurunan mutu secara autolisis berlangsung sebagai aksi kegiatan enzim yang merupakan proses penguraian pertama setelah ikan layur mati. Kecepatan autolisis tergantung pada suhu, semakin rendah suhu proses autolisis akan semakin lambat. Proses autolisis tidak dapat dihentikan pada suhu 00C, tetapi akan berlangsung lebih lambat. Kegiatan enzim dapat direduksi dan dikontrol dengan cara pendinginan, penggaraman, pengeringan, dan pengasaman atau dapat dihentikan dengan cara pemasakan ikan tersebut (Ilyas 1983). Proses perubahan pada ikan dapat juga terjadi karena proses oksidasi sehingga timbul aroma tengik yang tidak diinginkan dan perubahan rupa serta warna daging kearah cokelat kusam. Bau tengik ini dapat merugikan, baik pada proses pengolahan maupun pengawetan, karena dapat menurunkan mutu dan harga jualnya Menurut Faustman dan Cassens (1990), oksidasi adalah reaksi antara suatu senyawa kimia dengan oksigen. Pada ikan berlemak seperti layur mudah terjadi oksidasi lemak yang menyebabkan bau tengik. Proses ketengikan disebabkan oleh oksidasi asam lemak tidak jenuh dalam lemak (Winarno 1997). 2.2.3 Penurunan Mutu secara Biologis Penanganan yang tidak tepat pada produk perikanan dapat mempercepat terjadinya kerusakan akibat kontaminasi bakteri dan jamur. Menurut Junianto (2003) penurunan mutu secara bakteriologis yaitu suatu proses penurunan mutu yang terjadi karena adanya kegiatan bakteri yang berasal dari selaput lendir dari
12
permukaan tubuh, insang, dan saluran pencernaan. Ikan hidup memiliki kemampuan untuk mengatasi aktivitas bakteri yang terdapat dalam tubuh ikan. Bakteri yang hidup dalam saluran pencernaan, insang, saluran darah, serta permukaan kulit tidak dapat menyerang pada bagian-bagian tubuh ikan yang masih hidup. Menurut Murniyati dan Sunarman (2000), ikan yang telah mengalami kematian tidak mengalami ketahanan dari serangan bakteri sehingga bakteri mulai berkembang dengan sangat pesat dan menyerang tubuh ikan. Bakteri menjadikan daging ikan sebagai makanan dan tempat hidupnya. Proses penguraian yang dilakukan oleh bakteri ini (disebut bacterial decomposition) menghasilkan pecahan-pecahan protein yang sederhana dan berbau busuk, seperti CO2, H2S, amoniak, indol, skatol, dan lain-lain. 2.3
Penanganan Ikan Segar Ikan merupakan bahan makanan yang mudah mengalami pembusukan
sehingga upaya penanganan dan pengawetan hasil perikanan mutlak diperlukan untuk menjaga kualitas ikan agar sampai ditangan konsumen dalam keadaan baik dan layak dikonsumsi sebagai makanan. Selama ini usaha menurunkan suhu ikan dengan menerapkan teknik pendinginan hasil perikanan sudah terbukti berhasil dalam mengawetkan ikan (Putra dan Eka 2009) 2.3.1 Penanganan Ikan dikapal Penanganan ikan diatas kapal harus dimulai segera setelah ikan diangkat dari air tempat hidupnya, dengan perlakuan suhu rendah serta memperhatikan faktor kesehatan dan kebersihan. Ikan hasil tangkapan segera disemprot dengan air laut yang bersih sesaat tiba di gladak, kemudian dipisahkan dan dikelompokkan menurut jenis serta ukurannya. Perlakuan yang dilakukan harus dapat mencegah timbulnya kerusakan fisik (ikan tidak boleh diiinjak atau ditumpuk terlalu tinggi). Ikan harus dilindungi terhadap terik matahari. Sebaiknya dipasang tenda atau atap yang melindungi tempat kerja dan wadah atau palka tempat pengumpulan ikan (BRKP 2003).
13
2.3.2
Cara Pembongkaran Hasil Tangkapan Menurut Pane (2009), aktivitas pendaratan hasil tangkapan meliputi
beberapa hal diantaranya : 1). Pembongkaran hasil tangkapan dari palka ke dek; 2). Penurunan hasil tangkapan dari dek ke dermaga; dan 3). Pengangkutan dari dermaga ke tempat pelelangan ikan. Pembongkaran hasil tangkapan merupakan proses mengeluarkan hasil tangkapan dengan menggunakan alat bantu atau tanpa menggunakan alat bantu dari dalam palka kapal ke atas dek kapal yang selanjutnya dilakukan penyortiran kemudian diangkut menuju tempat lain (dermaga, TPI dan atau konsumen). Cara pembongkaran ikan dalam palka dilakukan dalam berbagai cara, ada yang menggunakan alat bantu berupa peti, kantong-kantong yang terbuat dari jaring, sekop atau ganco (Ilyas 1983). 2.3.3
Penanganan Ikan Basah di Darat Menurut Murachman (2006), setibanya ikan didaratan, harus di perlakukan
penanganan yang lebih cermat dan sarana yang lebih banyak, sehingga pada saat ikan dijual ke konsumen dalam keadaan segar. Suatu pelabuhan ikan harus tersedia pabrik-pabrik pengepakan ikan-ikan basah (packing plants) yang dilengkapi dengan alat-alat pencucian, penyiangan, pengepakan, kamar pendingin suplai es yang cukup dan lainnya. Teknik penanganan ikan yang paling umum digunakan untuk menjaga kesegaran ikan adalah penggunaan suhu rendah. Selanjutnya, pada kondisi suhu rendah pertumbuhan bakteri pembusukan dan proses-proses biokimia yang berlangsung dapat tumbuh ikan yang mengarah pada kemunduran mutu menjadi lebih lamban (Gelman et al. 2011 dalam Munandar dkk 2009). Pengawetan ikan dengan suhu rendah merupakan suatu proses pengambilan atau pemindahan panas dari tubuh ikan ke bahan lain. Ada pula yang mengatakan bahwa pendinginan adalah proses pengambilan panas dari suatu ruangan yang terbatas untuk menurunkan dan mempertahankan suhu di ruangan tersebut bersama isinya agar selalu lebih rendah dari pada suhu diluar ruangan.
14
Kelebihan pengawetan ikan dengan pendinginan adalah sifat-sifat asli ikan tidak terjadi perubahan tekstur, rasa dan bau (Adawiyah 2007). 2.4
Konsepsi HACCP
2.4.1 Pengertian HACCP Analisis bahaya dan titik kendali kritis atau Hazard Analysis and Critical Control Point (HACCP) adalah suatu sistem manajemen mutu untuk penanganan dan pengolahan makanan khususnya hasil perikanan berdasarkan pada pendekatan sistematis untuk mengantisipasi kemungkinan terjadinya bahaya (hazard) selama proses produksi dengan menentukan titik kritis yang harus diawasi secara ketat (Muhandri dan Kadarisman 2006). Menurut SNI 01-4852-1998 (BSN 1998), sistem
HACCP
berdasarkan
pada
ilmu
pengetahuan
dan
sistematika,
mengidentifikasi bahaya dan tindakan pengendaliannya untuk menjamin keamanan pangan. HACCP merupakan suatu piranti untuk menilai bahaya dan menetapkan sistem pengendalian yang memfokuskan pada pencegahan daripada mengandalkan sebagian besar pengujian produk akhir. Setiap sistem HACCP mengakomodasi perubahan seperti kemajuan dalam rancangan peralatan, prosedur pengolahan atau perkembangan teknologi. 2.4.2 Prinsip HACCP Menurut SNI 01-4852-1998 (BSN 1998), prinsip sistem HACCP terdiri dari tujuh prinsip, yaitu : a. Prinsip 1. Analisis Bahaya (HA) Analisis bahaya merupakan proses pengumpulan dan penilaian informasi mengenai bahaya dan keadaan sampai dapat terjadinya bahaya. Penentuan jenis bahaya mana yang berdampak nyata terhadap keamanan pangan baik berupa bahaya biologi, kimia maupun fisika yang harus ditangani dalam rencana HACCP. b. Prinsip 2. Menentukan Titik Kendali Kritis (CCP) Suatu langkah dimana pengendalian dapat dilakukan dan mutlak diterapkan untuk mencegah atau meniadakan bahaya keamanan pangan atau menguranginya sampai pada tingkat yang dapat diterima. Penerapan CCP
15
pada sistem HACCP dapat dibantu dengan menggunakan pohon keputusan (Decision tree)(lampiran 1), yang menyatakan pendekatan pemikiran secara logis. c. Prinsip 3. Menentukan Batas-batas Kritis (Critical Limit) Batas kritis adalah persyaratan dan toleransi yang harus dipenuhi oleh CCP. Batas ini tidak boleh terlampaui, karena batas ini merupakan toleransi yang menjamin bahwa bahaya dapat dikontrol. Kriteria yang sering digunakan mencakup pengukuran-pengukuran terhadap suhu, waktu, tingkat kelembaban, pH, aw, keberadaan klorin, dan parameter-parameter organoleptik seperti kenampakan visual dan tekstur. Batas kritis ini harus selalu dipantau untuk menjamin bahwa CCP dapat mengendalikan bahaya mikrobiologi, kimia, dan fisik. d. Prinsip 4. Menetapkan sistem pemantauan pengendalian (Monitoring) Tahapan ini melakukan serentetan pengamatan atau pengukuran terencana mengenai parameter pengendali untuk menilai apakah bahaya yang teridentifikasi dalam Titik Kendali Kritis (CCP) dapat dikendalikan atau tidak. e. Prinsip 5. Menetapkan Tindakan Koreksi (Corrective Action) Tindakan koreksi yang dilakukan pada tahapan ini dilakukan jika tahapan pemantauan menunjukan bahwa ada suatu titik kendali kritis tertentu tidak dalam kendali. f. Prinsip 6. Menetapkan Prosedur Verifikasi Penetapan prosedur verifikasi dapat dipergunakan untuk menentukan apakah sistem HACCP bekerja secara benar. Frekuensi verifikasi harus cukup untuk mengkonfirmasikan bahwa sistem HACCP telah dilakukan secara efektif. g. Prinsip 7. Menetapkan cara Pencatatan (Record Keeping) Pencatatan (record keeping) dan pembuktian yang efisien serta akurat merupakan elemen penting dalam penerapan sistem HACCP. Catatan tetap memastikan bahwa informasi yang dikumpulkan selama instalasi, modifikasi dan pengoperasian alur proses produksi mudah diakses oleh semua orang yang
16
terlibat dalam proses sebagai auditor luar. Dokumentasi dan pencatatan harus cukup memadai sesuai sifat dan besarnya operasi. 2.4.3 Penerapan Prinsip-Prinsip HACCP Penerapan
prinsip-prinsip HACCP menurut SNI 01-4852-1998 (BSN
1998), tahap-tahap penerapan HACCP seperti yang disajikan pada Gambar 2 :
Pembentukan Tim HACCP
Deskripsi Produk
Identifikasi Rencana Penggunaan Penyusunan Bagan Alir Konfirmasi bagan alir di lapangan Pencatatan Semua Bahaya Potensial yang Berkaitan dengan Analisa Bahaya, Penentuan Tindakan Pengendalian Penentuan Titik Pengendalian Kritis Penentuan Batas Kritis untuk setiap CCP Penyusunan Sistem Pemantauan untuk setiap CCP Penetapan Tindakan Perbaikan untuk setiap Penyimpangan yang terjadi Penetapan Prosedur Verifikasi Penetapan Dokumen dan Pencatatan
Gambar 2. Urutan Logis Penerapan HACCP Sumber : SNI 01-4852-1998
17
1)
Pembentukan Tim HACCP Operasi pangan harus menjamin bahwa pengetahuan dan keahlian spesifik
produk tersedia untuk pengembangan rencana HACCP yang efektif. Pembentukan sebuah tim dari berbagai disiplin ilmu. Apabila beberapa keahlian tidak tersedia, diperlukan konsultan dari pihak luar. Adapun lingkup dari program HACCP harus diidentifikasi. Lingkup tersebut harus menggambarkan segmen-segmen mana saja dari rantai pangan tersebut yang terlibat dan penjenjangan secara umum bahayabahaya yang dimaksudkan (yaitu meliputi semua jenjang bahaya atau hanya jenjang tertentu). 2)
Deskripsi produk Penjelasan lengkap dari produk harus dibuat termasuk informasi mengenai
komposisi, struktur fisika/kimia (termasuk aw, pH, d1l.), perlakuan-perlakuan statis (seperti perlakuan pemanasan, pembekuan, penggaraman, pengasapan), pengemasan,
kondisi
penyimpanan
dan
daya
tahan
serta
metode
pendistribusiannya. 3)
Identifikasi Rencana Penggunaan Produk Rencana penggunaan produk harus didasarkan pada kegunaan-kegunaan
yang diharapkan dari produk oleh konsumen. Pengelompokan penggunaan produk perlu diperhatikan apakah sasaran konsumen untuk dewasa, anak-anak, atau balita. Cara penggunaan produk perlu diinformasikan agar produk tepat dan baik dalam penggunaannya. 4)
Penyusunan Bagan Alir Proses Bagan alir proses harus disusun oleh tim HACCP. Diagram alir harus
memuat segala tahapan dalam operasional produksi. Apabila HACCP diterapkan pada suatu operasi tertentu, maka harus dipertimbangkan tahapan sebelum dan sesudah operasi tersebut. 5)
Konfirmasi Bagan Alir produksi Tim HACCP, sebagai penyusun bagan alir harus mengkonfirmasikan
operasional produksi dengan semua tahapan dan jam operasi serta bilamana perlu mengadakan perubahan bagan alir.
18
6)
Pencatatan Semua Bahaya Potensial yang Berkaitan dengan Tahapan, Pengadaan Suatu Analisis Bahaya dan Menyarankan Berbagai Pengukuran untuk Mengendalikan Bahaya yang Teridentifikasi Tim HACCP harus membuat daftar bahaya yang mungkin terdapat pada
tiap tahapan dari produksi utama, pengolahan, manufaktur, dan distribusi hingga sampai pada titik konsumen saat konsumsi. Tim HACCP harus mengadakan analisis bahaya untuk mengidentifikasi program HACCP dimana bahaya yang terdapat secara alami, karena sifatnya mutlak harus ditiadakan atau dikurangi hingga batas-batas yang dapat diterima, sehingga produksi pangan tersebut dinyatakan aman. Tim HACCP harus mempertimbangkan tindakan pengendalian, jika ada yang dapat dilakukan untuk setiap bahaya. Lebih jauh tindakan pengendalian disyaratkan untuk mengendalikan bahaya-bahaya tertentu dan lebih, jauh satu bahaya dikendalikan oleh tindakan pengawasan yang tertentu. 7)
Penentuan Titik Kendali Kritis/Critical Control Point (CCP) Pengendalian bahaya yang sama mungkin terdapat lebih dari satu CCP
pada saat pengendalian dilakukan. Penentuan dari CCP pada sistem HACCP dapat dibantu dengan menggunakan Pohon Keputusan seperti pada lampiran 1, yang menyatakan pendekatan pemikiran yang logis (masuk akal). Penerapan dari Pohon Keputusan harus fleksibel, tergantung apakah operasi tersebut produksi, pemotongan, pengolahan, penyimpanan, distribusi atau lainnya. Pohon Keputusan ini mungkin tidak dapat diterapkan pada setiap CCP. 8)
Penentuan Batas-Batas Kritis (Critical Limits) pada setiap CCP Batas-batas limit harus ditetapkan secara spesifik dan divalidasi apabila
mungkin untuk setiap CCP. Contohnya dalam beberapa kasus lebih dari satu batas kritis akan diuraikan pada suatu tahap khusus. Kriteria yang sering digunakan mencakup pengukuran-pengukuran terhadap suhu, waktu, tingkat kelembaban, pH,
aw, keberadaan
chlorine, dan parameter-parameter sensori
seperti
kenampakan visual dan tekstur. dalam beberapa kasus batas kritis kriteria pengukurannya antara lain suhu, waktu, tingkat kelembaban, pH, aw dan ketersediaan chlorine dan parameter yang berhubungan dengan panca indera (penampakan dan tekstur).
19
9)
Penyusunan sistem permantuan untuk setiap CCP Pemantauan merupakan pengukuran atau pengamatan terjadwal dari CCP
yang dibandingkan terhadap batas kritisnya. Prosedur pemantauan harus dapat menemukan kehilangan kendali pada CCP. Penyesuaian proses harus dilakukan pada saat hasil pemantauan menunjukkan kecenderungan kearah kehilangan kendali pada suatu CCP. Data yang diperoleh dari pemantauan harus dinilai oleh orang yang diberi tugas, berpengetahuan dan berwewenang untuk melaksanakan tindakan
perbaikan
yang
diperlukan.
Apabila
pemantauan
tidak
berkesinambungan, maka jumlah atau frekuensi pemantauan harus cukup untuk menjamin agar CCP terkendali. Sebagian besar prosedur pemantauan untuk CCP harus dilaksanakan secara cepat, karena berhubungan dengan proses yang berjalan dan tidak tersedia waktu yang lama untuk melaksanakan pengujian analisis. 10)
Penetapan Tindakan Perbaikan Tindakan perbaikan yang spesifik harus dikembangkan untuk setiap CCP
dalam sistem HACCP agar dapat menangani penyimpangan yang terjadi. Tindakan-tindakan harus memastikan bahwa CCP telah berada dibawah kendali. Tindakan-tindakan harus mencakup penentuan Titik Kendali Kritis yang tepat serta tindakan yang harus dilaksanakan. 11)
Penetapan Prosedur Verifikasi Penetapan metode audit dan verifikasi, prosedur dan pengujian, termasuk
pengambilan contoh secara acak dan analisis dapat dipergunakan untuk menentukan apakah sistem HACCP bekerja secara benar. Frekuensi verifikasi harus cukup untuk mengkonfirmasikan bahwa sistem HACCP bekerja secara efektif. 12)
Penetapan Dokumentasi dan Pencatatan Pencatatan dan pembuktian yang efisien serta akurat adalah hal penting
dalam penerapan sistem HACCP. Semua prosedur yang dilakukan dalam penerapan HACCP harus didokumentasikan dengan baik supaya dapat digunakan pada proses pemantauan dan evaluasi. Dokumentasi dan pencatatan harus cukup memadai sesuai sifat dan besarnya operasi.