BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Teoritis Mengenai Perilaku Perilaku adalah keadaan jiwa (berpendapat, berpikir, bersikap, dan sebagainya) untuk memberikan reaksi terhadap situasi yang ada di luar subjek. Dari batasan ini dapat diuraikan bahwa reaksi tersebut dapat bermacam- macam dan pada dasarnya dapat digolongkan menjadi dua yaitu: pertama, dalam bentuk pasif, individu bereaksi tanpa tindakan nyata, dan; kedua, dalam bentuk aktif, individu bereaksi dengan tindakan nyata dan dapat dilihat oleh orang lain (Gerungan, 1986). Perilaku dipandang dari segi biologis adalah suatu kegiatan atau aktivitas organisme yang bersangkutan. Jadi perilaku manusia pada hakekatnya adalah suatu aktivitas dari pada manusia itu sendiri. Oleh karena itu perilaku manusia mempunyai bentangan yang sangat luas, mencakup berjalan, berbicara, bereaksi, berpakaian dan lain sebagainya. Bahkan kegiatan internal (internal activities) sendiri, seperti: berpikir, persepsi, dan emosi juga merupakan perilaku manusia. Dapat dikatakan bahwa perilaku adalah apa yang dikerjakan oleh organisme, baik yang dapat diamati secara langsung ataupun yang dapat diamati secara tidak langsung (Soekidjo, 2007). Bloom membedakan perilaku dalam tiga komponen, yakni: kognitif, afektif dan psikomotor. Komponen kognitif terdiri dari seluruh kognisi yang dimiliki seseorang mengenai objek sikap tertentu (fakta, pengetahuan dan keyakinan tentang objek). Komponen afektif terdiri dari seluruh perasaan
Universitas Sumatera Utara
atau emosi seseorang terhadap objek, terutama penilaian. Komponen psikomotor
terdiri
dari
kesiapan
seseorang
untuk
bereaksi
atau
kecenderungan untuk bertindak terhadap objek (Gerungan, 1986). Terbentuknya suatu perilaku baru, terutama pada orang dewasa, dimulai pada domain kognitif, dalam arti si subjek tahu terlebih dahulu terhadap stimulus yang berupa materi atau objek diluarnya, sehingga menimbulkan pengetahuan baru pada subjek tersebut, dan selanjutnya menimbulkan respon batin dalam bentuk sikap si subjek terhadap objek yang diketahuinya itu. Akhirnya rangsangan, yakni objek yang telah diketahui dan disadari sepenuhnya tersebut, akan menimbulkan respon lebih jauh lagi, yaitu berupa tindakan (action) terhadap tahu sehubungan dengan stimulus atau objek tadi. Namun demikian di dalam kenyataannya, stimulus yang diterima oleh subjek dapat langsung menimbulkan tindakan. Artinya seseorang dapat bertindak atau berperilaku baru tanpa terlebih dahulu mengetahui makna stimulus yang diterimanya. Dengan kata lain, tindakan (practice) seseorang tidak harus didasari oleh pengetahuan atau sikap (Soekidjo, 2007). 2.1.1. Faktor- Faktor yang Mempengaruhi Perilaku Lawrence Green mencoba menganalisis perilaku manusia berangkat dari tingkat kesehatan. Menurutnya bahwa kesehatan seseorang atau masyarakat dipengaruhi oleh dua faktor pokok, yakni perilaku (behavior causes) dan faktor diluar perilaku (nonbehavior causes). Perilaku itu sendiri ditentukan atau terbentuk dari tiga
Universitas Sumatera Utara
faktor, yaitu faktor predisposisi (predisposing factors), faktor pendukung (enabling factors), dan faktor pendorong (reinforcing factors). Ketiga faktor ini dapat mempengaruhi perilaku masyarakat dalam mengonsumsi food suplement. A. Faktor- Faktor Predisposisi (Predisposing Factor ) Terwujud dalam pengetahuan, sikap, kepercayaaan, keyakinan, nilainilai dan sebagainya. 1. Pengetahuan Pengetahuan adalah merupakan hasil tahu, dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan terjadi melalui panca indera manusia, yakni penglihatan, penginderaan, penciuman, rasa dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga. Pengetahuan (kognitif) merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang, sebab dari pengalaman dan hasil penelitian ternyata perilaku yang didasari oleh pengetahuan akan lebih langgeng daripada perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan (Gerungan, 1986). Pengetahuaan seseorang mengenai suplemen makanan akan lebih mempertahankan sikap konsumsi masyarakat terhadap suplemen secara langgeng sesuai dengan kebutuhan tubuh dan tingkat kesehatan mereka. 2. Sikap Sikap (attitude) merupakan reaksi atau respon yang masih tertutup dari seseorang terhadap suatu stimulus atau objek (Gerungan, 1986). Sikap
Universitas Sumatera Utara
mengandung daya pendorong atau motivasi. Sikap bukan sekedar rekaman masa lalu, tetapi juga menentukan apa yang disukai, diharapkan dan dinginkan, mengesampingkan apa yang tidak dinginkan dan apa yang harus dihindari (Mar’at, 1981). Dalam psikologi sosial, sikap adalah kecendrungan individu yang dapat ditemukan, cara-cara berbuat, yakni dari konsistensi dan berbagai keadaan yang berubah dalam berhadapan dengan faktor-faktor sosial (Moediasih, 1990). Sikap konsumsi masyarakat terhadap suplemen makanan sangat berhubungan erat dengan adanya pengetahuan tentang suplemen sehingga masyarakat dapat mengambil suatu sikap mengenai suplemen, apakah sesuai dengan keadaan tubuhnya sehingga ia akan mengambil keputusan untuk mengonsumsi suplemen tersebut atau tidak. 3. Umur Semakin tua umur seseorang maka akan semakin banyak merasakan berbagai gejala sakit dikarenakan menurunnya fungsi berbagai organ tubuh, oleh sebab itu akan semakin merasakan bahwa pentingnya perawatan terhadap kesehatan salah satunya dengan cara mengonsumsi suplemen makanan untuk menjaga agar tubuh tetap prima. 4. Pendidikan Semakin tinggi tingkat pendidikan dan pengetahuan seseorang dalam bidang kesehatan
maka akan semakain besar pula kesadarannya dalam
Universitas Sumatera Utara
meningkatkan derajat kesehatan dirinya sehingga terhindar dari berbagai macam penyakit dan gejala sakit. 5. Pekerjaan Aktivitas manusia yang tinggi dalam mengerjakan berbagai tugas baik didalam maupun diluar rumahnya sangat bergantung salah satunya terhadap status kesehatan sehingga ia dapat mengerjakan tugasnya tanpa mengalami suatu hambatan apapun. Oleh karena itu, konsumsi suplemen sangat dibutuhkan oleh orang yang tingkat kesibukannya tinggi sehingga memiliki sedikit waktu dalam mengurus berbagai hal yang berhubungan dengan kesehatan. Salah satu cara untuk mengatasi kondisi seperti itu adalah dengan mengonsumsi suplemen makanan. 6. Ekonomi Tingkat ekonomi juga mempengaruhi cara kita dalam menjaga kesehatan. Individu yang tingkat ekonominya tinggi tentulah sangat perhatian terhadap masalah kesehatan. Oleh karena itu berbagai cara mereka lakukan demi memperoleh derajat kesehatan yang optimal termasuk mengonsumsi makanan (Sandra, 2006). B. Pendukung (Enabling Factors) Untuk berperilaku sehat, masyarakat memerlukan sarana dan prasarana pendukung. Fasilitas ini pada hakikatnya mendukung atau memungkinkan terwujudnya perilaku kesehatan.
Universitas Sumatera Utara
C. Faktor-faktor Pendorong (Reinforcing factors) Faktor ini meliputi faktor sikap dan perilaku tokoh masyarakat, tokoh agama, sikap dan perilaku para petugas termasuk petugas kesehatan. Termasuk juga disini undang-undang, peraturan-peraturan baik dari pusat maupun pemerintah daerah yang terkait dengan kesehatan. Untuk berperilaku sehat, masyarakat terkadang bukan hanya perlu pengetahuan dan sikap positif, dan dukungan fasilitas saja, melainkan diperlukan perilaku contoh dari para tokoh masyarakat, tokoh agama, para petugas, terlebih para petugas kesehatan. Disamping itu undang-undang juga diperlukan untuk memperkuat perilaku masyarakat tersebut. 2.1.2. Perilaku Kesehatan Perilaku kesehatan pada dasarnya adalah respon seseorang (organisme) terhadap stimulus yang berkaitan dengan sakit atau penyakit, sistem pelayanan kesehatan, makanan serta lingkungan. Respon atau reaksi manusia, baik bersifat pasif (pengetahuan, persepsi dan sikap), maupun bersifat aktif (tindakan yang nyata atau practice). Sedangkan stimulus atau rangsangan disini terdiri dari 4 unsur pokok, yaitu mencakup : a. Perilaku seseorang terhadap sakit dan penyakit, yaitu bagaimana manusia berespon baik secara pasif (mengetahui bersikap dan mempersepsi) tentang penyakit dan rasa sakit yang ada pada dirinya dan diluar dirinya, maupun
Universitas Sumatera Utara
aktif (tindakan) yang dilakukan sehubungan dengan penyakit dan sakit tersebut. b. Perilaku terhadap sistem pelayanan kesehatan, adalah respon seseorang terhadap sistem pelayanan kesehatan, baik sistem pelayanan kesehatan, modern maupun tradisional.
Perilaku ini menyangkut respon terhadap
fasilitas pelayanan, cara pelayanan, petugas kesehatan, dan obat-obatnya, yang terwujud dalam pengetahuan, persepsi, sikap dan penggunaaan fasilitas, petugas dan obat-obatan. c. Perilaku terhadap makanan (nutrition behavior), yakni respon seseorang terhadap makanan sebagai kebutuhan vital bagi kehidupan. Perilaku ini meliputi pengetahuan, persepsi, sikap dan praktek terhadap makanan serta unsur-unsur yang terkandung didalamanya (zat gizi), pengelolaan makanan, dan sebagainya sehubungan dengan kebutuhan tubuh kita. d. Perilaku terhadap lingkungan kesehatan (environmental health behavior), adalah respon seseorang terhadap lingkungan sebagai determinan kesehatan manusia. Lingkup perilaku ini seluas lingkup kesehatan lingkungan itu sendiri.
2.2. Suplemen Makanan 2.2.1. Pengertian Berdasarkan surat Keputusan Direktur Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan Nomor HK.00.063.02360. suplemen makanan didefinisikan sebagai produk
Universitas Sumatera Utara
yang digunakan untuk melengkapi makanan yang mengandung satu atau kombinasi bahan, yaitu vitamin, mineral, tumbuhan atau bahan yang berasal dari tumbuhan, asam amino, bahan yang digunakan untuk meningkatkan angka kecukupan gizi (AKG), konsentrat, metabolit, konstituen, dan ekstrak. Suplemen makanan bisa berbentuk tablet, tablet isap, tablet effervescence, serbuk, kapsul serta produk cair berupa sirup atau larutan. Secara garis besar, suplemen makanan adalah suatu produk makanan yang mempunyai
peranan
dalam
membantu
metabolisme
tubuh
sehingga
akan
meningkatkan derajat kesehatan manusia. Dalam Undang – Undang Republik Indonesia nomor 7 tahun 1996 tentang pangan juga dinyatakan bahwa suplemen makanan merupakan pangan dalam terselenggaranya suatu sistem pangan yang memberikan perlindungan bagi kepentingan kesehatan serta makin berperan dalam meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. Suplemen makanan merupakan produk yang terletak antara obat dan makanan. Ada dua ciri suplemen makanan. Pertama, suplemen makanan bukanlah obat, sekalipun dia dikemas dalam bentuk sediaan obat seperti tablet, kapsul, dan sebagainya. Kedua, suplemen makanan mempunyai manfaat kesehatan, karena itu suplemen makanan dapat mencantumkan klaim kesehatan pada labelnya. Hal kedua yang perlu digarisbawahi dari definisi di atas adalah suplemen harus mempunyai nilai gizi atau efek fisiologis. Nilai gizi bagi suplemen makanan dengan klaim suplementasi ditentukan minimal 25 persen dari nilai Angka Kecukupan Gizi (AKG). Efek fisiologis dari suatu bahan harus didukung oleh data
Universitas Sumatera Utara
hasil penelitian di laboratorium. Dengan adanya bahan yang mempunyai nilai gizi atau efek fisiologis dalam komposisi suplemen makanan, maka suplemen makanan boleh mencantumkan klaim kesehatan pada labelnya, dengan pembatasan tidak boleh mengklaim dapat mencegah atau mengobati suatu penyakit (Murbawani, 2005). 2.2.2. Kandungan Suplemen Makanan Suplemen makanan didefinisikan sebagai produk yang digunakan untuk melengkapi makanan khususnya kebutuhan gizi, mengandung satu atau lebih bahan berupa vitamin, mineral, asam amino atau bahan lain yang mempunyai nilai gizi dan atau efek fisiologis. Dari definisi tersebut, hal pertama yang perlu digarisbawahi adalah suatu produk digolongkan sebagai suplemen ditentukan oleh zat yang terdapat dalam komposisinya, yang meliputi vitamin seperti vitamin A, B, C, D, E, dan sebagainya; Mineral seperti kalsium, zat besi, seng, magnesium, dan sebagainya; Asam amino seperti arginin, carnitin, glutamin; Bahan lain seperti ekstrak Echinacea, serat, chondroitin, glocosamin, chitosan, kaffein, dan sebagainya. Suplemen makanan merupakan makanan yang mengandung zat-zat gizi dan non-gizi; bisa dalam bentuk kapsul-kapsul lunak, tablet, bubuk, atau cairan yang fungsinya sebagai pelengkap kekurangan zat gizi yang dibutuhkan untuk menjaga agar vitalitas tubuh tetap prima. Sebagai pelengkap, suplemen makanan bukan diartikan sebagai pengganti (substitusi) makanan kita sehari-hari. Suplemen makanan umumnya berasal dari bahan-bahan alami tanpa tambahan zat-zat kimia walaupun pada vitamin tertentu ada yang sintetis. Suplemen
vitamin
Universitas Sumatera Utara
seperti asam folat dalam
bentuk
sintetis memang lebih mudah terserap dalam
tubuh, walaupun vitamin E dari bahan alami jauh lebih baik penyerapannya daripada yang sintetis (Nurheti, 2008).
2.2.3. Penggolongan Suplemen Makanan Suplemen makanan digolongkan sebagai nutraceutical (bersifat mengandung nutrisi makanan berupa zat-zat gizi), sedangkan obat-obatan masuk golongan pharmaceutical (bersifat mengobati penyakit). Berbeda dengan obat-obatan yang harus diuji efektivitasnya secara klinis mengikuti serangkaian prosedur, suplemen makanan ini khasiatnya tidak perlu dibuktikan melalui uji klinis. Sampai saat ini pun jenis nutraceutical boleh dijual secara bebas tapi tidak boleh diklaim memiliki khasiat untuk mengobati penyakit seperti halnya obat-obatan. Di Indonesia suplemen makanan dimasukkan dalam golongan makanan, bukan obat. Peraturan Menteri Kesehatan No.329/Menkes/Per/XII/76 menyatakan, makanan sebagai barang yang untuk dimakan dan diminum tetapi bukan sebagai obat (Gusmali, 2000). 2.2.4. Persyaratan Suplemen Makanan Suplemen makanan sebagai penyeimbang kebutuhan gizi tidak dapat dikonsumsi secara bebas. Selain itu, ada kemungkinan mutu produk yang beredar tak sesuai standar atau tak memiliki efektivitas sebagaimana klaimnya. Oleh karena itu, pada tahun 1996 terbit Surat Keputusan Direktur Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan tentang Suplemen Makanan Nomor HK.00.063.02360. di dalamnya diatur batasan suplemen makanan, batasan kadar vitamin, mineral dan asam amino,
Universitas Sumatera Utara
bahan tambahan makanan yang diperbolehkan untuk digunakan dalam suplemen makanan, persyaratan higiene dan keamanan, persyaratan kemasan, pelabelan serta periklanan dan promosi. Suplemen tidak boleh mengandung bahan asing selain yang tercantum dalam label, tidak mengandung mikro-organisme patogen (bisa menimbulkan penyakit), tidak mengandung mikro-organisme atau zat yang berasal dari mikro-organisme dalam jumlah yang membahayakan kesehatan, dan tidak mengandung zat racun atau zat berbahaya dalam jumlah yang dapat membahayakan kesehatan. Dalam label suplemen makanan harus dicantumkan antara lain petunjuk penyimpanan, masa kedaluwarsa, efek toksik akibat kelebihan masukan zat gizi, dan takaran saji serta maksimum penggunaan per hari. Label tidak boleh mencantumkan klaim efek produk terhadap kesehatan, pencegahan atau penyembuhan penyakit, informasi yang tidak benar atau menyesatkan, perbandingan dengan produk lain, promosi produk suplemen makanan lain, dan informasi tambahan dalam bentuk stiker yang isinya belum disetujui. Pada prinsipnya klaim kesehatan pada suplemen makanan harus memenuhi beberapa ketentuan. Pertama, benar, valid, dan tidak menyesatkan. Kedua, didukung oleh pembuktian ilmiah yang cukup. Ketiga, tidak menyebabkan penyalahgunaan atau penggunaan
yang
salah
dari
produk bersangkutan. Pembuktian ilmiah
akan menentukan tingkat klaim yang diizinkan. Misalnya, klaim dengan tingkat umum, seperti ''membantu memelihara kesehatan'' atau ''suplementasi vitamin dan mineral'', cukup didukung dengan teks referensi atau studi deskriptif. Sedangkan
Universitas Sumatera Utara
klaim denan tingkat medium seperti ''mengurangi risiko penyakit jantung'' atau ''mengurangi gejala demam'' harus didukung dengan studi analisis termasuk studi kohort epidemiologi. Suplemen makanan bukan ditujukan untuk pengobatan atau pencegahan suatu penyakit, melainkan untuk tujuan pemeliharaan kesehatan, sebagai nutrisi pada sistem organ tubuh atau pada keadaan tertentu di mana terjadi peningkatan kebutuhan asupan gizi, misalnya masa kehamilan, menyusui, dan masa penyembuhan. Oleh karena itu, suplemen makanan hanya boleh mengklaim fungsi nutrisi, misalnya kalsium membantu perkembangan tulang dan gigi yang kuat, protein membantu pembentukan dan memperbaiki jaringan tubuh, besi adalah faktor dalam pembentukan sel darah merah, dan asam folat berperan pada pertumbuhan janin yang normal. Hasil pengawasan yang dilakukan Badan POM telah ditemukan adanya produk maupun iklan suplemen makanan yang dapat dikategorikan over claimed, seperti klaim ''dapat mengobati suatu penyakit''. Hal ini termasuk pelanggaran sehingga produknya harus ditarik dari pasar, sedangkan iklannya harus dihentikan. Dalam kaitan dengan periklanannya, suplemen makanan hanya boleh diiklankan setelah produknya terdaftar di Badan POM dan konsep iklannya harus di-review terlebih dahulu oleh Panitia Penilai Iklan. Dalam hal bentuk kemasan, suplemen makanan dikemas dalam bentuk pil, tablet atau kapsul. Suplemen makanan diawali kode BML, BMD dan BTR, atau di pasaran masih ditemukan dengan kode ML, dan MD (Astawan, 2007).
Universitas Sumatera Utara
2.2.5. Sejarah Suplemen Makanan Sejak awal sejarah kehidupannya, manusia telah berupaya mendapatkan sesuatu yang dapat menyembuhkannya dari penyakit. Berdasarkan atas apa yang dialaminya dan apa yang dia makan, manusia menemukan obat, yang pada saat itu sebagian besar berasal dari tumbuh-tumbuhan. Dengan bertambahnya ilmu pengetahuan dan berkembangnya teknik isolasi dan identifikasi, manusia berhasil menemukan komponen aktif dalam tumbuh-tumbuhan yang memiliki daya menyembuhkan. Zat aktif tersebut kemudian distandarisasi, diformulasikan, dan disajikan dalam bentuk pil, tablet, kapsul, dan sediaan lain yang kita kenal saat ini sebagai obat. Beberapa penemuan penting menandai kegigihan manusia dalam menemukan obat yang dapat menyembuhkan penyakit. Di antaranya, penemuan reserpin dari tumbuhan Raulwolfia serpentina yang berkhasiat menurunkan tekanan darah pada tahun 1950 dan antibiotik penicillin oleh Alexander Fleming tahun 1940. Obat dan makanan mempunyai kesamaan, keduanya dikonsumsi masuk ke dalam tubuh, sehingga memerlukan
pengendalian
mutu
untuk menjamin
kemurnian dan keamanannya. Tetapi, kedua hal ini juga memiliki perbedaan yang jelas. Makanan dikonsumsi setiap hari dan memasok tubuh dengan zat esensial yang diperlukan oleh tubuh baik untuk metabolisme dasar maupun melaksanakan kegiatan sehari-hari
sedangkan
obat
dikonsumsi
bila
perlu
dan
ditujukan
untuk
menyembuhkan penyakit.
Universitas Sumatera Utara
Perbedaan yang sederhana itu mulai menjadi kabur ketika masyarakat mulai memperbincangkan makanan kesehatan atau lebih dikenal dengan suplemen makanan. Hal ini ditandai dengan terjadinya pergeseran paradigma sehat dari penyembuhan kepada pencegahan. Penelitian di bidang kesehatan yang menitikberatkan pada pencegahan penyakit, telah membuktikan pentingnya peranan diet dalam pencegahan penyakit jantung dan penyakit kanker. Makanan yang sehat kini tak lagi sekadar makanan yang berwarna hijau, melainkan makanan yang ditujukan untuk maksud tertentu yang dapat memberikan manfaat bagi kesehatan. Keinginan masyarakat untuk mengelola dan meningkatkan kesehatannya sendiri melalui makanan, dari hari ke hari kian meningkat (David, 2006). Pada Mei 2003 lalu, harian The New York Times melaporkan bahwa 70 persen masyarakat Amerika mengonsumsi suplemen
makanan. Sementara itu, majalah
Nutraceutical edisi Mei-Juni 2002 menyampaikan data bahwa total konsumsi suplemen makanan di seluruh dunia tahun 2001 diperkirakan 50,6 miliar dolar AS. Hal ini mendorong pertumbuhan industri yang cepat di sektor ini, sehingga dapat dipahami kalau beberapa industri farmasi justru mengandalkan produk suplemen makanan sebagai tulang punggung usahanya. Pada masa sekarang ini di sebagian masyarakat muncul persepsi bahwa mengonsumsi suplemen makanan merupakan keharusan karena menimbulkan rasa lebih sehat pada individu. Ini karena tingginya minat masyarakat, pesatnya
Universitas Sumatera Utara
perkembangan industri suplemen makanan ditambah dengan gencarnya iklan suplemen makanan (Astawan, 2007). 2.2.6 Penelitian Suplemen Makanan Penelitian terhadap suplemen makanan berdasarkan penandaan pada etiket, brosur, leaflet, dan informasi penggunaan suplemen makanan dengan metode wawancara pada konsumen yang berkunjung ke apotek dan di toko obat Jakarta, Bandung, dan Surabaya. Dari hasil penelitian diperoleh komponen yang terdapat di suplemen makanan adalah vitamin/mineral selain bahan hasil tumbuhan. Karakter konsumen suplemen makanan terbanyak perempuan
(78,1%), usia 36-55 tahun
(43,8%), pekerjaan swasta (39,1%), pendidikan tingkat sarjana (60,9%). Pengalaman pemakaian kebanyakan konsumen mengonsumsi satu produk yaitu 71,9%, dengan tujuan untuk menjaga kesehatan/meningkatkan stamina 69,4%, lama pemakaian 1-3 tahun 40,6%. Efek samping hanya dialami oleh beberapa orang 10,9% (Gusmali,2000). Konsumsi suplemen makanan oleh penduduk Jepang pada tahun 2002 berdasarkan penggunaan suplemen makanan yaitu 26,9% menggunakan berbagai jenis suplemen dengan tujuan mengurangi tekanan kejiwaan dan stress terhadap penghasilan yang diperoleh, 18,7% menggunakan suplemen untuk kesehatan pribadi seperti menghindari rokok, minum alkohol, latihan fisik masalah konsumsi sayur dan buah dan kebiasaan makan yang teratur, 35,7% mengonsumsi suplemen berdasarkan penyebab lain (Takano, 2005).
Universitas Sumatera Utara
Penelitian lain juga mempublikasikan bahwa selama dua dekade beberapa suplemen efektif untuk mencegah penyakit-penyakit khusus misalnya penyakit yang berhubungan dengan saraf, mencegah penyakit jantung dan stroke selain itu juga kasium-vitamin D digunakan untuk mencegah osteoforosis dan disebutkan juga bahwa penggunaan berbagai macam suplemen dapat meningkatkan status kesehatan dan daya tahan tubuh informan (Takano, 2005). Sebuah penelitian di Kecamatan Abiansemal, Kabupaten Bandung pada Mei 2006Januari 2007 menyatakan bahwa konsumsi suplemen zat besi pada wanita prahamil dapat menurunkan ADB (Anemia Defisiensi Besi) lebih tinggi dibandingkan dengan pemberian suplemen bagi yang dimulai saat kehamilan. Populasi adalah pasangan yang merencanakan kehamilan dimana yang menjadi sampel adalah ibu dengan ADB ringan. Sejumlah 99 pasangan yang belum hamil terdiri atas 47 sebagai kelompok perlakuan dan 52 sebagai kelompok kontrol. Pada kedua kelompok dilakukan 3 kali pemeriksaan serum feritin dan kadar hemoglobin (Hb) yaitu prahamil, awal hamil dan 3 bulan hamil. Pada kelompok perlakuan diberikan suplemen zat besi 66 mg ferrous sulfate per-oral sejak prahamil sampai 3 bulan kehamilan. Sementara pada kelompok kontrol diberikan suplemen yang sama mulai saat hamil sampai dengan 3 bulan hamil (Ani Luh Seri, 2007). Hasil dari penelitian pemberian suplemen besi sejak masa prahamil adalah dapat meningkatkan kadar feritin serum dan hemoglobin dan mencegah ADB pada wanita hamil. Cadangan besi dapat meningkat menjadi 33 μg/dL, sedangkan cadangan besi pada kelompok kontrol hanya 19,65 μg/dL.
Universitas Sumatera Utara
Pemberian tablet besi sejak masa prahamil pada wanita hamil memberikan hasil lebih baik dibandingkan dengan pemberian tablet besi yang dimulai pada awal kehamilan. Hal ini didukung dengan penemuan kadar rerata feritin serum dan kadar hemoglobin, rerata keduanya lebih tinggi pada kelompok perlakuan dibandingkan dengan kelompok kontrol. Program ini juga lebih efektif dalam pencegahan ADB pada wanita hamil serta sangat mungkin diimplementasikan pada masyarakat. 2.3 Kerangka Pikir Karakteristik Pengetahuan Sikap Umur Jenis Kelamin Pekerjaan Pendidikan Ekonomi Aktivitas Penghasilan
Penggunaan Suplemen Makanan
Manfaat yang dirasakan
Sumber Informasi Keluarga Lingkungan Media Informasi
Gbr 1. Kerangka Pikir Perilaku Masyarakat Dalam Mengonsumsi Food Supplement Di Kelurahan Galang Kota Kecamatan Galang Kabupaten Deli Serdang.
Universitas Sumatera Utara
Dari kerangka pikir diatas dapat dilihat bahwa karakteristik informan seperti pengetahuan, sikap, umur, jenis kelamin, pekerjaan, pendidikan, ekonomi, penghasilan, aktivitas dan sumber informasi seperti keluarga, lingkungan, media informasi dapat mempengaruhi informan terhadap penggunaan suplemen makanan sehingga mendapatkan berbagai manfaat yang dirasakan oleh informan.
Universitas Sumatera Utara