BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
Kebakaran
2.1.1
Defenisi Kebakaran Menurut National Fire Protection Association (NFPA), kebakaran sebagai
peristiwa oksidasi dimana bertemunya tiga unsur yaitu bahan bakar yang dapat terbakar, oksigen yang terdapat diudara dan panas yang dapat berakibat menimbulkan kerugian harta benda atau cidera bahkan kematian. Menurut Perda DKI No 3 tahun1992, secara umum kebakaran adalah suatu peristiwa atau kejadian timbulnya api yang tidak terkendali yang dapat membahayakan keselamatan jiwa maupun harta benda. Dari beberapa pengertian tersebut maka dapat disimpulkan bahwa kebakaran merupakan nyala api yang terjadi karena tiga unsur bertemu pada suatu komposisi / waktu yang tidak dikehendaki dan bersifat merugikan. 2.1.2
Klasifikasi Kebakaran Klasifikasi kebakaran merupakan penggolongan atau pembagian jenis
kebakaran berdasarkan jenis bahan bakar yang terbakar. Pembagian atau penggolongan ini bertujuan agar diperoleh kemudahan dalam menetukan cara pemadamannya. Klasifikasi kebakaran di Indonesia mengacu kepada Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. 01/Men/1980 yang terdiri dari 4 kelas yaitu kelas A,B,C, dan D, sedangkan menurut NFPA klasifiksi kebakaran terdapat 5 kelas yaitu A, B, C, D, dan K. adapun beberapa negara lainnya menetapkan klasifikasi kebakaran dengan menambah jenis kelas E. Klasifikasi kebakaran dapat dilihat pada tabel berikut.
6 Universitas Sumatera Utara
7
Tabel 2.1
Kelas
Klasifikasi kebakaran
Kebakaran
Pemadaman
Bahan bakar padat (bukan logam). Contoh : kertas, kayu, plasitik,dll.
Air, uap air, pasir, busa, CO2, serbuk kimia kering, cairan kimia
Bahan bakar gas/cairan. Contoh : amoniak, solar, dll.
CO2, serbuk kimia kering, busa
Instalasi listrik bertegangan. Contoh : arus pendek, dll
CO2, serbuk kimia kering, uap air
Bahan bakar logam. Contoh : tembaga, besi, baja, dll.
Serbuk kimia sodium klorida, grafit
Bahan-Bahan Radioaktif
Lemak dan minyak masakan
Cairan kimia, CO2 (Sumber :Kusdono Pringgodani, 2008)
2.1.3 Bahaya Kebakaran Bahaya
kebakaran
menurut
Menteri
Pekerjaan
Umum
Nomor:
26/PRT/M/2008 adalah bahaya yang diakibatkan oleh adanya ancaman potensial dan derajat terkena pancaran api sejak dari awal terjadi kebakaran hingga penjalaran api, asap dan gas yang ditimbulkan. Kebakaran yang terjadi sering mengakibatkan kecelakaan yang berkelanjutan, adapun bahaya yang disebabkan dari peristiwa kebakaran yang dihasilkan yaitu: 1.
Bahaya Panas Pada saat terjadinya kebakaran, panas yang ditimbulkan akan mengalami perpindahan dengan berbagai cara yaitu: a.
Radiasi yaitu perpindahan panas yang memancar ke segala arah.
b.
Konduksi yaitu perpindahan panas melalui benda logam (perambatan panas).
c.
Konveksi yaitu perpindahan panas yang menyebabkan perbedaan tekanan udara.
Universitas Sumatera Utara
8
d. Loncatan bunga api yaitu suatu reaksi antara energi panas dengan udara (O2). 2.
Bahaya Asap Asap berasal dari proses pembakaran yang tidak sempurna dari bahanbahan yang mengandung unsur karbon. Ketebalan asap tergantung dari jenis bahan yang terbakar dan temperatur kebakaran tersebut.
3.
Bahaya Ledakan Bahaya ledakan dapat terjadi pada saat kebakaran. Jika di antara bahanbahan yang terbakar terdapat bahan yang mudah meledak, misalnya terdapat tabung-tabung gas bertekanan, maka dapat terjadi ledakan.
4.
Bahaya Gas Gas beracun yang biasanya dihasilkan oleh proses kebakaran yaitu HCN, NO2, HCL dan lain-lain. Gas beracun tersebut dapat meracuni paruparu dan menyebabkan iritasi pada saluran pernafasan dan mata. Sedangkan gas lain seperti CO2 dan H2S dapat mengurangi kadar oksigen di udara.
2.1.4
Klasifikasi Bahaya Kebakaran Klasifikasi kebakaran adalah penggelompokan atau pembagian kebakaran
atas dasar jenis bahan bakarnya. Pengklasifikasian ini bertujuan untuk memudahkan usaha pencegahan dan pemadaman kebakaran. Menurut SNI 033989-2000 menjelaskan bahwa potensi bahaya kebakaran dapat dikelompokan menjadi : 1.
Bahaya kebakaran ringan Merupakan bangunan yang mempunyai jumlah dan kemudahan terbakar rendah, dan apabila terjadi kebakaran melepaskan panas rendah sehingga menjalarnya api lambat. Adapun jenis tempat kerja tersebut adalah tempat
ibadah,
gedung/ruang
gedung/ruang
Rumah
Sakit,
perkantoran, gedung/ruang
gedung/ruang Perhotelan,
pendidkan,
gedung/ruang
Restoran, dsb.
Universitas Sumatera Utara
9
2.
Bahaya kebakaran sedang I Merupakan bangunan yang mempunyai jumlah dan kemudahan terbakar rendah, penimbunan yang mudah terbakar sedang bahan dengan tinggi tidak lebih dari 2,5 meter dan apabila terjadi kebakaran melepaskan panas sedang. Adapun bangunan tersebut adalah tempat parkir, pabrik elektronik, pabrik roti, pabrik barang bekas, pabrik minuman, dsb.
3.
Bahaya kebakaran sedang II Merupakan bangunan yang mempunyai jumlah dan kemudahan terbakar sedang, menimbun bahan dengan tinggi tidak lebih dari 4 meter dan apabila terjadi kebakaran melepaskan panas sehingga menjalarnya api sedang. Adapun jenis bangunan tersebut adalah pabrik bahan makanan, percetakan dan penerbitan, bengkel mesin, gedung perpustakan, pabrik barang keramik, pabrik barang kulit, dsb.
4.
Bahaya kebakaran sedang III Merupakan bangunan yang mempunyai jumlah dan kemudahan terbakar tinggi, dan apabila terjadi kebakaran melepaskan panas tinggi, sehingga menjalarnya api cepat. Adapun jenis bangunan tersebut adalah bengkel mobil, pabrik lilin, pabrik plastik, pabrik sabun, pabrik ban, dsb.
5.
Bahaya kebakaran berat Merupakan bangunan yang mempunyai jumlah dan kemudian terbakar tinggi, menyimpan bahan cair. Apabila terjadi kebakaran akan melepaskan panas yang tinggi dan penjalaran api yang cepat. Yang termasuk dalam kelompok ini adalah bangunan komersial dan bangunan industri seperti: Pabrik kimia, Pabrik kembang api, pabrik cat, pabrik karet buatan, dsb.
2.2
Bangunan Gedung
2.2.1
Defenisi Bangunan Gedung Bangunan
Gedung
menurut
Menteri
Pekerjaan
Umum
Nomor:
45/PRT/M/2007 merupakan wujud fisik hasil pekerjaan konstruksi yang menyatu dengan tempat dan kedudukannya, Sebagian atau seluruhnya berada di atas dan atau di dalam tanah dan atau air, yang berfungsi sebagai tempat manusia
Universitas Sumatera Utara
10
melakukan kegiatan, baik untuk hunian atau tempat tinggal, kegiatan keagamaan, kegiatan usaha, kegiatan sosial, budaya, maupun kegiatan khusus. Sedangkan menurut UU No.28 Tahun 2002 bangunan gedung didefenisikan sebagai wujud fisik hasil pekerjaan konstruksi yang menyatu dengan tempat kedudukannya, sebagian atau seluruhnya berada di atas dan/atau di dalam tanah dan/atau air, yang berfungsi sebgai tempat manusia melakukan kegiatannya, baik untuk hunian atau tempat tinggal, kegiatan keagamaan, kegiatan usaha, kegiatan sosial, budaya, maupun kegiatan khusus. 2.2.2
Klasifikasi Bangunan Gedung Klasifikasi Bangunan Gedung adalah klasifikasi dari fungsi bangunan
gedung berdasarkan pemenuhan tingkat persyaratan administratif dan persyaratan teknisnya. Berdasarkan Keputusan Meteri Pekerjaan Umum No. 10/KPTS/2000, tentang pengamanan terhadap bahaya kebakaran pada bangunan gedung dan lingkungan membagi kelas bangunan menjadi beberapa kelas, yaitu: 1.
Kelas 1 : Bangunan gedung hunian biasa a. Kelas 1a : Bangunan hunian tunggal yang berupa satu rumah tinggal, dan satu atau lebih bangunan hunian gandeng, yang masing-masing bangunannya dipisahkan dengan suatu dinding tahan api, termasuk rumah deret, rumah taman, unit town house,villa. b. Kelas 1b : rumah asrama/kost, rumah tamu, hotel, atau sejenis-nya dengan luas total lantai kurang dari 300 m2 dan tidak ditinggali lebih dari 12 orang secara tetap, dan tidak terletak diatas atau dibawah bangunan hunian lain atau bangunan kelas lain selain tempat garasi pribadi.
2.
Kelas 2 : Bangunan gedung hunian yang terdiri dari 2 atau lebih unit hunian yang masing-masing merupakan tempat tinggal terpisah.
3.
Kelas 3 : Bangunan gedung hunian diluar bangunan gedung kelas 1 dan 2, yang umum digunakan sebagai tempat tinggal lama atau sementara oleh sejumlah orang yang tidak berhubungan, termasuk: a. Rumah asrama, rumah tamu, losmen b. Bagian untuk tempat tinggal dari suatu hotel atau motel
Universitas Sumatera Utara
11
c. Bagian untuk tempat tinggal dari suatu sekolah d. Panti untuk orang berumur, cacat, atau anak-anak e. Bagian untuk tempat tinggal dari suatu bangunan perawatan kesehatan yang menampung karyawan-karyawannya. 4.
Kelas 4 : Bangunan gedung hunian campuran merupakan tempat tinggal yang berada didalam suatu bangunan kelas 5, 6, 7, 8, atau 9 dan merupakan tempat tinggal yang ada dalam bangunan tersebut.
5.
Kelas 5 : Bangunan gedung kantor merupakan bangunan gedung yang dipergunakan
untuk
tujuan-tujuan
usaha
professional,
pengurusan
administrasi, atau usaha komersial, diluar bangunan kelas 6, 7, 8, atau 9. 6.
Kelas 6 : Bangunan gedung perdagangan merupakan bangunan gedung toko atau bangunan lain yang dipergunakan untuk tempat penjualan barang-barang secara eceran atau pelayanan kebutuhan langsung kepada masyarakat, termasuk: a. Ruang makan, kafe, restoran b. Ruang makan malam, bar, took atau kios sebagai bagian dari suatu hotel c. Tempat potong rambut/salon, tempat cuci umum d. Pasar, ruang penjualan, ruang pamer, atau bengkel.
7.
Kelas 7 : Bangunan gedung penyimpanan/gudang merupakan bangunan gedung yang dipergunakan penyimpanan, termasuk tempat parkir umum dan gudang/tempat pamer barang-barang produksi untuk dijual atau cuci gudang.
8.
Kelas 8 : Bangunan gedung laboratorium/industri/pabrik merupakan bangunan gedung laboratorium dan bangunan yang dipergunakan untuk tempat pemrosesan suatu produksi, perakitan, perubahan, perbaikan, pengepakan, finishing, atau pembersihan barang-barang produksi dalam rangka perdagangan atau penjualan.
9.
Kelas 9 : Bangunan gedung umum merupakan bangunan gedung yang dipergunakan untuk melayani kebutuhan masyarakat umum, yaitu: a. Kelas 9a : Bangunan perawatan kesehatan, termasuk bagian-bagian dari bangunan tersebut yang berupa laboratorium.
Universitas Sumatera Utara
12
b. Kelas 9b : Bangunan pertemuan, termasuk bengkel kerja, laboratorium atau sejenisnya di sekolah dasar atau sekolah lanjutan, hall, bangunan peribadatan, bangunan budaya atau sejenis, tetapi tidak termasuk setiap bagian dari bangunan yang merupakan kelas lain. 10. Kelas 10 : Banguan gedung atau struktur yang bukan hunian a. Kelas 10a : bangunan gedung bukan hunian yang merupakan garasi pribadi, carport atau sejenisnya. b. Kelas 10b : Struktur yang berupa pagar, tonggak, antena, dinding penyangga atau dinding yang berdiri bebas, kolam renang atau sejenisnya. 11. Bangunan-bangunan yang tidak diklasifikasikan khusus : bangunan gedung atau bagian dari bangunan gedung yang tidak termasuk dalam klasifikasi bangunan 1 s.d. 10 tersebut, dalam Pedoman Teknis ini dimaksudkan dengan klasifikasi yang mendekati sesuai peruntukannya. 12. Bangunan gedung yang penggunaannya insidentil : bagian bangunan gedung yang penggunaannya insidentil dan sepanjang tidak mengakibatkan gangguan pada bagian bangunan gedung lainnya, dianggap memiliki klasifikasi yang sama dengan bangunan utamanya. 13. Klasifikasi jamak : bangunan gedung dengan klasifikasi jamak adalah bila beberapa bagian dari bangunan harus diklasifikasikan secara terpisah, dan: a. Bila bagian bangunan yang memiliki fungsi berbeda tidak melebihi 10% dari luas lantai dari suatu tingkat bangunan, dan bukan laboratorium, klasifikasinya disamakan dengan klasifikasi bangunan utamanya. b. Kelas-kelas 1a, 1b, 9a, 9b, 10a dan 10b adalah klasifikasi yang terpisah. c. Ruang-ruang pengelolah, ruang mesin, ruang boiler atau sejenisnya diklasifikasikan sesuai bagian bangunan dimana ruang tersebut terletak.
Universitas Sumatera Utara
13
2.3
Hotel
2.3.1
Defenisi Hotel Pada abad ke-17 kata hotel berasal dari bahasa latin yaitu hospitium yang
artinya ruang tamu dan mengalami proses perubahan menjadi hostel yang artinya tempat penampungan untuk pendatang atau bangunan penyedia tempat dan makanan untuk umum. Lambat laun seiring dengan perkembangan zaman, kata hostel tersebut berubah menjadi kata hotel seperti yang kita kenal. Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pariwisata, Pos dan Telekomunikasi (SK Menteri Parpostel) No : KM.94/HK.103/MPPT/1987 tentang Ketentuan Usaha dan Penggolongan Hotel, Hotel merupakan suatu jenis akomodasi yang mempergunakan sebagian atau seluruh bangunan untuk menyediakan jasa pelayanan, penginapan, makan dan minum serta jasa lainnya bagi umum yang dikelola secara komersial. Menurut Prof. Fred Lawson (1976:27) hotel merupakan sarana tempat tinggal umum untuk wisatawan dengan memberikan pelayanan jasa kamar, penyedia makanan dan minuman serta akomodasi dengan syarat pembayaran. Sedangkan menurut Prof. K. Krapf, hotel merupakan sebuah gedung/bangunan untuk menyediakan penginapan, makanan dan pelayananan lainnya bagi mereka yang mengadakan perjalanan. Dari beberapa pengertian hotel tersebut dapat disimpulkan bahwa hotel merupakan suatu bangunan yang menyediakan pelayanan penginapan dan pelayanan lainnya bagi masyarakat umum serta dikelola secara komersial. Fungsi utama dari bangunan hotel adalah sebagai sarana untuk memenuhi kebutuhan tamu sebagai tempat tinggal sementara seperti istirahat, tidur, mandi, makan, minum, hiburan dan lain-lain. Namun dengan perkembangan dan kemajuan hotel sekarang ini, fungsi hotel bertambah sebagai tujuan konferensi, seminar, lokal karya, musyawarah nasional dan kegiatan sejenis lainnya yang menyediakan sarana dan prasarana yang lengkap.
Universitas Sumatera Utara
14
2.3.2
Klasifikasi Hotel Merupakan suatu sistem pengelompokan hotel-hotel ke dalam berbagai
kelas atau tingkatan, berdasarkan penilaian tertentu. Klasifikasi hotel dapat dibagi menjadi beberapa faktor antara lain : berdasarkan harga jual, tipe tamu hotel, sistem pengelompokan bintang, lama tamu menginap, lokasi, dan aktifitas tamu. Menurut keputusan direktorat Jendral Pariwisata, Pos dan Telekomunikasi No 22/U/VI/1978, klasifikasi hotel dibedakan dengan menggunakan simbol bintang yaitu hotel bintang satu sampai hotel bintang lima. Semakin banyak bintang yang dimiliki suatu hotel, semakin berkualitas hotel tersebut. Klasifikasi hotel berdasarkan lokasi dimana hotel tersebut dibangun adalah sebagai berikut: 1.
City Hotel Hotel yang berlokasi di perkotaan, dimana sebagian besar diperuntukkan bagi tamu yang melakukan kegiatan bisnis.
2.
Urban Hotel Hotel yang berlokasi di daerah pinggiran kota besar yang jauh dari keramaian kota, tetapi mudah mencapai tempat-tempat kegiatan usaha. Disebut juga dengan residential hotel karena berlokasi di daerah-daerah tenang yang di peruntukkan bagi masyarakat yang ingin tinggal dalam jangka waktu lamu.
3.
Sub Urban Hotel Hotel yang berlokasi di pinggiran batas kota yang menghubungan satu kota dengan kota besar lainnya seperti motel (motor hotel). Hotel ini diperuntukkan sebagai tempat istirahat sementara bagi mereka yang melakukan perjalanan dengan menggunakan kendaraan umum atau mobil sendiri.
4.
Resort Hotel Hotel yang berlokasi di daerah wisata dan menyediakan tempat-tempat rekreasi, seperti di pegunungan (mountain hotel), di tepi pantai (beach hotel), di tepi danau, dll. Hotel ini diperuntukkan bagi keluarga yang ingin beristirahat pada hari-hari libur atau bagi mereka yang ingin berekreasi.
Universitas Sumatera Utara
15
Sarana Proteksi Kebakaran
2.4
Pencegahan kebakaran adalah segala usaha yang dilakukan agar tidak terjadi penyalaan api yang tidak terkendali. Penanggulangan kebakaran ialah segala upaya
untuk
mencegah
timbulnya
kebakaran
dengan
berbagai
upaya
pengendalian, untuk memberantas kebakaran. Pencegahan dan penanggulangan kebakaran disebut juga dengan proteksi kebakaran yaitu merupakan semua tindakan yang berhubungan dengan pencegahan, pengamatan dan pemadaman kebakaran dan meliputi perlindungan jiwa dan keselamatan manusia serta perlindungan harta kekayaan. Menurut
peraturan
Keputusan
Menteri
Pekerjaan
Umum
Nomor
26/PRT/M/2008, setiap bangunan gedung harus mempunyai pengelolaan proteksi kebakaran untuk mencegah terjadinya penyalaran kebakaran ke ruangan ataupun ke bangunan lainnya. Oleh karena itu, bangunan gedung perlu mengaturan zonazona yang berpotensi menimbulkan kebakaran, serta kesiapan dan kesiagaan sistem proteksi kebakaran. Sistem proteksi kebakaran ini terbagi atas 2 macam yaitu sarana proteksi kebakaran aktif dan sarana proteksi kebakaran pasif. 2.4.1
Sarana Sistem Proteksi Aktif Sistem proteksi kebakaran aktif merupakan sistem perlindungan terhadap
kebakaran yang dilaksanakan dengan mempergunakan peralatan yang dapat bekerja secara otomatis maupun manual, digunakan oleh penghuni atau petugas pemadam kebakaran dalam melaksanakan operasi pemadaman, selain itu sistem itu digunakan dalam melaksanakan penanggulangan awal kebakaran (Perda DKI Jakarta, 2008). Salah satu dari pelaksanaan pengamanan ini adalah melengkapi gedung dengan sarana proteksi aktif yang terdiri dari : alarm (audible dan visible), detektor (panas, asap, nyala), alat pemadam api ringan (APAR), hidran dan sprinkler.
Universitas Sumatera Utara
16
2.4.2 Sarana Sistem Proteksi Pasif Sistem proteksi kebakaran pasif adalah sistem perlindungan terhadap kebakaran yang dilakasanakan dengan melakukan pengaturan terhadap komponen bangunan gedung dari aspek arsitektur dan struktur bangunan sehingga dapat melindungi penghuni dan benda dari kerusakan fisik saat terjadi kebakaran. Sistem proteksi pasif berperan dalam pengaturan pemakaian bahan bangunan dan interior bangunan dalam upaya menguranggi intensitas kebakaran serta menunjang terhadap tersedianya sarana jalan keluar yang aman terhadap kebakaran untuk melakukan proses evakuasi. Sistem proteksi pasif terdiri dari kelengkapan tapak, sistem proteksi pasif dan sarana penyelamatan. 2.4.2.1 Kelengkapan Tapak Kelengkapan tapak dapat didefenisikan sebagai kelengkapan komponen dan tata letak bangunan terhadap lingkungan sekitar dikaitkan dengan bahaya kebakaran dan upaya pemadaman. Komponen kelengkapan tapak meliputi sumber air, jalan lingkungan, jarak antar bangunan dan hidran halaman (Kepmen PU No.10/KPTS/2000) A. Sumber air Sumber air merupakan sumber yang meyediakan pasokan air yang akan dipergunakan sebagai media pemadaman kebakaran pada bangunan gedung. Menurut Kepmen PU No.02/KPTS/1985 bahwa sumber air lingkungan dapat berupa sumur arthesis, reservoir/tangki penampungan air untuk kebakaran. Sumber
air
dilingkungan
memiliki
peran
penting
dalam
upaya
penanggulangan dan pemadaman kebakaran. B. Jalan lingkungan Untuk
melakukan
proteksi
terhadap
meluasnya
kebakaran
dan
memudahkan operasi pemadaman, maka di dalam lingkungan bangunan gedung harus tersedia jalan lingkungan dengan pekerasan agar dapat dilalui oleh kendaraan pemadam kebakaran (peraturan Menteri Pekerjaan Umum No.26/PRT/M/2008).Jalan Akses Pemadam Kebakaran yang dipersyaratkan adalah:
Universitas Sumatera Utara
17
1.
Jalan akses pemadam kebakaran yang telah disetujui harus disediakan pada setiap fasilitas, bangunan gedung, atau bagian bangunan gedung setelah selesai dibangun atau direlokasi.
2.
Jalan akses pemadam kebakaran meliputi jalan kendaraan, jalan untuk pemadam kebakaran, jalan ke tempat parkir, atau kombinasi jalan-jalan tersebut. Di setiap bagian dari bangunan gedung hunian di mana ketinggian lantai
hunian tertinggi diukur dari rata-rata tanah tidak melebihi 10 meter, maka tidak dipersyaratkan adanya lapis perkerasan, kecuali diperlukan area operasional dengan lebar 4 meter sepanjang sisi bangunan gedung tempat bukaan akses diletakkan, asalkan ruangan operasional tersebut dapat dicapai pada jarak 45 meter dari jalur masuk mobil pemadam kebakaran.
Gambar 2.1 Posisi perkerasan pada rumah hunian. (Sumber : SNI 03-1735-2000)
Dalam tiap bagian dari bangunan gedung (selain bangunan gedung kelas 1, 2 dan 3), perkerasan harus ditempatkan sedemikian rupa agar dapat langsung mencapai bukaan akses pemadam kebakaran pada bangunan gedung. Perkerasan tersebut harus dapat mengakomodasi jalan masuk dan manuver mobil pemadam, snorkel, mobil pompa dan mobil tangga dan platform hidrolik serta mempunyai spesifikasi sebagai berikut :
Universitas Sumatera Utara
18
1.
Lebar minimum lapis perkerasan 6 meter dan panjang minimum 15 meter. Bagian-bagian lain dari jalur masuk yang digunakan untuk lewat mobil pemadam kebakaran lebarnya tidak boleh kurang dari 4 meter.
Gambar 2.2
2.
Perkerasan untuk keluar masuknya mobil pemadam kebakaran (Sumber : SNI 03-1735-2000)
Lapis perkerasan harus ditempatkan sedemikian agar tepi terdekat tidak boleh kurang dari 2 meter atau lebih dari 10 meter dari pusat posisi akses pemadam kebakaran diukur secara horizontal.
3.
Lapis perkerasan harus dibuat sedatar mungkin dengan kemiringan tidak boleh lebih dari 1 : 8,3.
4.
Jalan umum boleh digunakan sebagai lapisan perkerasan asalkan lokasi jalan tersebut sesuai dengan persyaratan jarak dari bukaan akses pemadam kebakaran.
5.
Lapis perkerasan harus selalu dalam keadaan bebas rintangan dari bagian lain
bangunan gedung, pepohonan, tanaman atau lain tidak boleh
menghambat jalur antara perkerasan dengan bukaan akses pemadam kebakaran. 6.
Lapis perkerasan harus dibuat dari metal, paving blok, atau lapisan yang diperkuat agar dapat menyangga beban peralatan pemadam kebakaran. Persyaratan perkerasan untuk melayani bangunan gedung yang ketinggian lantai huniannya melebihi 24 meter harus dikonstruksi untuk menahan beban statis mobil pemadam kebakaran seberat 44 ton dengan beban plat kaki (jack).
Universitas Sumatera Utara
19
Gambar 2.3 Posisi jack mobil pemadam kebakaran (Sumber : SNI 03-1735-2000)
7. Lapis perkerasan dan jalur akses tidak boleh melebihi 46 m dan bila melebihi 46 m harus diberi fasilitas belokan. 8.
Radius terluar dari belokan pada jalur masuk tidak boleh kurang dari 10,5 m dan harus memenuhi persyaratan.
Gambar 2.4
Radius terluar untuk belokaan yang dapat dilalui (Sumber : SNI 03-1735-2000)
9. Tinggi ruang bebas di atas lapis perkerasan atau jalur masuk mobil pemadam minimum 4,5 meter untuk dapat dilalui peralatan pemadam tersebut.
Universitas Sumatera Utara
20
C. Jarak antar bangunan Untuk melakukan proteksi terhadap meluasnya kebakaran, maka harus ditentukan jarak minimum antar bangunan gedung. Jarak minimum antar bangunan gedung tersebut tidak dimaksudkan untuk menentukan garis sempadan bangunan gedung. Ketentuan jarak minimum menurut peraturan Menteri Pekerjaan Umum No.26/PRT/M/2008 dapat dilihat pada tabel berikut. Tabel 2.2
Jarak antar bangunan gedung
No.
Tinggi Bangunan Gedung (m)
Jarak Minimum Antar Bangunan Gedung (m)
1
<8
3
2
< 14
<6
3
< 40
<8
4
>40
>8
(Sumber : Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No.26/PRT/M/2008)
D. Hidran halaman Hidran halaman adalah hidran yang terletak diluar bangunan/gedung pada lokasi yang aman dari api dan penyaluran pasokan api kedalam bangunan dilakukan melalui katup “Siamese”. Untuk menentukan jumlah dan titik hidran halaman menggunakan acuan SNI 03-1735-2000 yaitu : a) Tiap bagian dari jalur akses mobil pemadam di lahan bangunan harus dalam jarak bebas hambatan 50 m dari hidran kota. Bila hidran kota yang memenuhi persyaratan tersebut tidak tersedia, maka harus disediakan hidran halaman. b) Dalam situasi di mana diperlukan lebih dari satu hidran halaman, maka hidran-hidran tersebut harus diletakkan sepanjang jalur akses mobil pemadam sedemikian hingga tiap bagian dari jalur tersebut berada dalam jarak radius 50 m dari hidran.
Universitas Sumatera Utara
21
c) Pasokan air untuk hidran halaman harus sekurang-kurangnya 2400 liter/menit pada tekanan 3,5 bar, serta mampu mengalirkan air minimal selama 45 menit. d) Jumlah pasokan air untuk hidran halaman yang dibutuhkan ditunjukkan pada tabel berikut: Tabel 2.3
Jumlah pasokan air hidran halaman
(Sumber : SNI 03-1735-2000)
2.4.2.2 Sistem Proteksi Pasif Sistem proteksi pasif dapat didefenisikan sebagai sistem perlindungan terhadap kebakaran yang dilaksanakan dengan melakukan pengaturan tehadap komponen bangunan gedung dari aspek arsitektur dan struktur, sehingga dapat melindungi penghuni dan benda dari kerusakan fisik saat terjadi kebakaran (Kepmen PU No. 10/KPTS/2000). Perencanaan struktur berkaitan dengan kemampuan bangunan untuk tetap stabil pada saat terjadi kebakaran, sedangkan perencanaan konstruksi berkaitan dengan jenis material yang digunakan. Material yang mempunyai daya tahan yang lebih baik terhadap api, maka akan lebih baik pula terhadap pencegahan penjalaran api, pengisolasian serta memberi waktu yang cukup untuk pengevakuasian penghuni. Sistem proteksi pasif terdiri dari konstruksi tahan api dan kompartemen.
Universitas Sumatera Utara
22
A. Konstruksi Tahan Api Bahan bangunan yang digunakan untuk unsur bangunan harus memenuhi persyaratan pengujian sifat bakar dan sifat penjalaran api pada permukaan sesuai ketentuan yang berlaku tentang bahan bangunan. Bahan bangunan yang dibentuk menjadi komponen bangunan (dinding, kolom dan balok) harus memenuhi persyaratan pengujian sifat ketahanan api yang dinyatakan dalam waktu (30, 60, 120, 180, 240) menit. Hal yang harus diperhatikan adalah pemilihan material bangunan yang memperhatikan sifat penjalaran dan penyebaran material, kemampuan terbakarnya suatu material dan sifat penyalaan material bila terbakar. Selain itu, harus memmpunyai kemampuan struktur dari komponen-komponen struktur seperti rangka atap, lantai, kolom dan balok (tulang-tulang kekuatan pada bangunan). Perencanaan yang optimal dari hal tersebut adalah untuk menimalkan kerusakan pada bangunan, mencegah penjalaran kebakaran dan melindungi penghuni yaitu dengan memberikan waktu yang cukup dalam melakukan evakuasi. Menurut SNI 03-1736-2000, ketahanannya terhadap api, terdapat 3 (tiga) tipe konstruksi, yaitu: 1.
Tipe A Konstruksi yang unsur struktur pembentuknya tahan api dan mampu menahan secara struktural terhadap beban bangunan. Pada konstruksi ini terdapat komponen pemisah pembentuk kompartemen untuk mencegah penjalaran api ke dan dari ruangan bersebelahan dan dinding yang mampu mencegah penjalaran panas pada dinding bangunan yang bersebelahan.
2.
Tipe B Konstruksi yang elemen struktur pembentuk kompartemen penahan api mampu mencegah penjalaran kebakaran ke ruang-ruang bersebelahan di dalam bangunan, dan dinding luar mampu mencegah penjalaran kebakaran dari luar bangunan.
Universitas Sumatera Utara
23
3.
Tipe C Konstruksi yang komponen struktur bangunannya adalah dari bahan yang dapat terbakar serta tidak dimaksudkan untuk mampu menahan secara struktural terhadap kebakaran. Minimum tipe konstruksi tahan api dari suatu bangunan harus sesuai dengan jumlah lantai dan tipe konstruksi sesuai dengan tabel berikut: Tabel 2.4 Tipe minimum konstruksi ketahanan api pada kelas bangunan
(Sumber : SNI 03-1736-2000)
B. Kompartemenisasi dan Pemisahan Kompartemen adalah usaha untuk mencegah penjalaran kebakaran dengan cara membatasi api dengan dinding, lantai, kolom, balok yang tahan terhadap api untuk waktu yang sesuai dengan kelas bangunan gedung (Menteri
Pekerjaan
Umum
Nomor:
26/PRT/M/2008).
Kompartemen
merupakan konsep yang penting dalam usaha penyelamatan manusia dalam menghadapi bhaya kebakaran. Gagasan dasarnya adalah menahan dan membatasi penjalaran api agar dapat melindungi penghuni dan barang-barang dalam bangunan untuk tidak langsung bersentuhan dengan sumber api. Pada bangunan tinggi, dimana mengevakuasi seluruh orang dalam gedung dengan cepat adalah suatu hal yang mustahil, kompartemen dapat menyediakan penampungan sementara bagi penghuni atau pengguna bangunan untuk menunggu sampai api dipadamkan atau jalur menuju pintu keluar sudah aman.
Gambar 2.5
Ruang penampungan sementara / kompartemen (Sumber : Junawa, Jimmy S, 2005)
Universitas Sumatera Utara
24
Menurut SNI 03-1736-2000, ukuran dari setiap kompartemen kebakaran atau atrium bangunan kelas 5, 6, 7, 8 atau 9 harus tidak melebihi luasan lantai maksimum atau volume maksimum seperti ditunjukkan dalam tabel berikut: Tabel 2.5
Ukuran maksimum dari kompartemen kebakaran atau atrium
(Sumber : SNI 03-1736-2000)
Bagian dari bangunan yang hanya terdiri dari peralatan pendingin udara, ventilasi, atau peralatan lif, tangki air atau unit-unit utilitas sejenis, tidak diperhitungkan sebagai daerah luasan lantai atau volume dari kompartemen atau atrium, bila sarana itu diletakkan pada puncak bangunan. 2.4.2.3 Sarana Penyelamatan Jiwa Menurut Peraturan Menteri No.26/PRT/M/2008, setiap bangunan gedung harus dilengkapi dengan sarana evakuasi yang dapat digunakan oleh penghuni bangunan, sehingga memiliki waktu yang cukup untuk meyelamatkan diri dengan aman tanpa terlambat hal-hal yang diakibatkan oleh keadaan darurat. Sarana penyelamatan adalah sarana yang dipersiapkan untuk dipergunakan oleh penghuni maupun petugas pemadam kebakaran dalam upaya penyelamatan jiwa manusia maupun harta benda bila terjadi kebakaran pada suatu bangunan gedung dan lingkungan. Adapun tujuan dari sarana penyelamtan adalah untuk mencegah terjadinya kecelakaan atau luka pada waktu melakukan evakuasi pada saat keadaan darurat. Sarana penyelamatan jiwa terdiri dari tangga darurat, pintu darurat, tanda petunjuk arah, saran jalan keluar, penerangan darurat, dan pengendaliaan asap. A. Tangga Darurat Merupakan tempat yang paling aman untuk evakuasi penghuni dan harus bebas dari gas panas dan gas beracun. Oleh sebab itu tangga darurat harus direncanakan khusus untuk penyelamtan bila terjadi kebakaran. Berikut ini syarat perencanaan tangga darurat menurut peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 45/PRT/M/2007 dan SNI 03-1746-2000 yaitu :
Universitas Sumatera Utara
25
a) Setiap bangunan gedung negara yang bertingkat lebih dari 3 lantai, harus mempunyai tangga darurat/penyelamatan minimal 2 buah dengan jarak maksimum 30 m (bila menggunakan sprinkler jarak bisa 1,5 kali yaitu 45m). b) Tangga darurat/penyelamatan harus dilengkapi dengan pintu tahan api, minimum 2 jam, dengan arah pembukaan ke tangga dan dapat menutup secara otomatis dan dilengkapi kipas penekan/pendorong udara yang dipasang diatas udara pendorong akan keluar melalui grill disetiap lantai yang terdapat di dinding tangga darurat dekat pintu darurat untuk memberi tekanan positif. c) Tangga darurat/penyelamatan yang terletak di dalam bangunan harus dipisahkan dari ruang-ruang lain dengan pintu tahan api dan bebas asap, pencapaian mudah, serta jarak pencapaian maksimum 45 m dan minimal 9 m. d) Lebar tangga darurat/penyelamatan minimum adalah 1,20 m. e) Tangga darurat/penyelamatan tidak boleh berbentuk tangga melingkar vertikal, exit pada lantai dasar langsung kearah luar. B. Pintu Darurat Pintu darurat atau pintu kebakaran merupakan pintu yang langsung menuju tangga kebakaran dan hanya digunakan sebagai jalan keluar untuk usaha penyelamatan jiwa manusia apabila terjadi kebakaran. Menurut NFPA 101, pint darurat tidak boleh terhalang dan tidak boleh terkunci serta harus berhubungan langsung dengan jalan penghubung, tangga atau halaman luar. Daun pintu darurat ini harus membuka keluar dan jika tertutup maka tidak bisa dibuka dari luar (self closing door). Berikut adalah persyaratan yang harus dipenuhi menurut peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 45/PRT/M/2007 dan SNI 03-1746-200 yaitu : a) Setiap bangunan gedung negara yang bertingkat lebih dari 3 lantai harus dilengkapi dengan pintu darurat minimal 2 buah.
Universitas Sumatera Utara
26
b) Lebar pintu darurat minimum 100 cm dan dilengkapi dengan tuas atau tungkai pembuka pintu yang berada diluar ruang tangga (kecuali tangga yang berada di lantai dasar, berada di dalam ruang tangga). c) Jarak pintu darurat maksimum dalam radius/jarak capai 25 meter dari setiap titik posisi orang dalam satu blok bangunan gedung. d) Pintu harus tahan terhadap api sekurang-kurangnya dua jam. e) Pintu harus dilengkapi dengan alat penutup otomatis, tanda peringatan (TANGGA DARURAT–TUTUP KEMBALI), dicat dengan warna merah dan dilengkapi dengan minimal tiga engsel. f)
Pintu dapat dilengkapi dengan kaca tahan api minimal 1m2 dan diletakkan di setengah bagian atas dari daun pintu.
Gambar 2.6 Pintu darurat (Sumber : Juwana, Jimmy S, 2005)
C. Tanda Penunjuk Arah / EXIT Tanda keluar atau panah penunjuk arah harus ditempatkan pada persimpangan koridor, jalan ke luar menuju ruang tangga darurat, balkon atau teras dan pintu menuju tangga darurat. Tanda jalan keluar yang jelas akan memudahkan dan mempercepat proses evakuasi karena menghilangkan keraguaan penghuni gedung pada saat terjadinya peristiwa kebakaran (NFPA 101) Ukuran tanda arah yang bertuliskan “EKSIT’ atau kata lain yang cocok, dengan huruf yang mudah dilihat, tingginya minimal 15 cm, tebal huruf minimal 2 cm. Kata “EKSIT” harus mempunyai lebar huruf minimal 5 cm kecuali huruf “I” dan jarak minimum antar huruf minimum 1 cm. Tanda arah yang lebih besar dibuat dengan lebar, tebal dan jarak huruf yang proportional dengan tingginya.
Universitas Sumatera Utara
27
Gambar 2.7 Standar ukuran tanda arah. (Sumber : SNI 03-6574-2001)
Tanda arah yang diterangi dari dalam memiliki kondisi pencahayaan normal (300 Lux) dan darurat (10 Lux) dengan jarak baca minimum 30 m.Tanda arah yang diterangi dari luar tingkat pencahayaannya harus minimal 50 Lux dan perbandingan kontrasnya minimal 0,5. Indikator
arah
harus
ditempatkan
di
luar
tulisan
“EKSIT
(EXIT)”,minimal 1 cm dari setiap huruf, dan harus dimungkinkan menyatu atau terpisah dari papan tanda arah. Harus terlihat sebagai tanda arah pada jarak minimum 12 m pada tingkat pencahayaan rata-rata 300 Lux dalam kondisi normal dan 10 Lux dalam kondisi darurat di lantai.
Gambar 2.8 Tanda arah dan Eksit. (Sumber : SNI 03-6574-2001)
Lokasi Pemasangan tanda petunjuk menurut SNI 03-6574-2001 adalah : 1.
Arah menuju tempat yang aman harus diberi tanda arah dengan tanda arah yang disetujui, di lokasi yang mudah dibaca dari segala arah jalan.
2.
Pada setiap pintu menuju tangga yang aman, harus dipasang tanda “EKSIT (EKSIT)” diatas gagang pintu setinggi 150 cm dari permukaan lantai terhadap garis tengah tanda arah.
Universitas Sumatera Utara
28
Gambar 2.9
3.
Lokasi pemasangan tanda EXIT pada pintu dan dinding. (Sumber : SNI 03-6574-2001)
Jalan masuk ketempat aman harus diberi tanda arah pada lokasi yang mudah dibaca dari semua arah, bila jalan menuju tempat tersebut tidak mudah terlihat oleh penghuninya.
Gambar 2.10
Lokasi pemasangan tanda arah EXIT pada koridor. (Sumber : SNI 03-6574-2001)
D. Sarana Jalan Keluar / Koridor Sarana jalan keluar adalah jalan yang tidak terputus atau terhalang menuju jalan umum, termasuk didalamnya pintu penghubung, jalan penghubung, ruangan penghubung, tangga terlindung, tangga kedap asap, pintu jalan keluar dan halaman luar. Sedangkan jalan keluar adalah jalan yang diamankan dari ancaman bahaya kebakaran dengan dinding, lantai, plafon dan pintu jalan keluar yang tahan api.
Universitas Sumatera Utara
29
Sarana jalan keluar menurut SNI 03-1746-2000 harus dirancang untuk mendapatkan tinggi ruangan minimal 2,3 m (7 ft, 6 inci) dengan bagian tojolan dari langit-langit sedikitnya 2 m (6 ft, 8 inci) tinggi nominal di atas lantai finishing. Tinggi ruangan diatas tangga harus minimal 2 m (6 ft, 8 inci) dan harus diukur vertikal dari ujung anak tangga ke bidang sejajar dengan kemiringan tangga.
Gambar 2.11 Standar minimal tinggi ruangan. (Sumber : SNI 03-1746-2000)
Menurut peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 26 / PRT / M / 2008, sarana jalan keluar harus memiliki persyaratan sebagai berikut: a) Lebar koridor bersih minimum 1,80 m. b) Koridor harus dilengkapi dengan tanda-tanda penunjuk yang menunjukan arah ke pintu darurat atau arah keluar. c)
Koridor harus bebas dari barang-barang yang dapat mengganggu kelancaran evakuasi.
d) Jarak setiap titik dalam koridor ke pintu darurat atau arah keluar yang terdekat tidak boleh lebih dari 25 m. e)
Panjang gang buntu maksimal 15 m apabila dilengkapi dengan sprinkler dan 9 m tanpa sprinkler.
E. Pencahayaan Darurat Pencahayaan darurat pada sarana jalan keluar harus terus menerus menyala selama penghuni membutuhkan sarana jalan keluar. Pencahayaan buatan yang dioperasikan sebagai pencahayaan darurat dipasang pada tempattempat tertentu dan dalam jangka waktu tertentu sesuai kebutuhan untuk menjaga pencahayaan sampai ke tingkat minimum yang ditentukan.
Universitas Sumatera Utara
30
Ketentuan teknis menurut SNI 03-6574-2001 adalah setiap lampu darurat harus bekerja secara otomatis dan mempunyai tingkat pencahayaan yang cukup untuk evakuasi yang aman (minimal 10 Lux di ukur pada lantai). Jika mempunyai sistem terpusat, satu daya cadangan dan kontrol otomatisnya harus dilindungi dari kerusakan karena api dengan konstruksi penutup yang mempunyai Tingkat Ketahanan Api (TKA) tidak kurang dari 1 jam. Lampu darurat yang digunakan harus sesuai dengan standar yang berlaku. Identifikasi lampu darurat menurut SNI 03-6574-2001 adalah : a) Diameter simbol minimum 10 mm. b) Simbol harus diletakkan di tempat yang mudah dilihat. c)
Simbol tidak boleh diletakkan pada diffuser lampu darurat atau tutup plafon yang dapat dibuka.
Gambar 2.12 Identifikasi simbol lampu darurat. (Sumber : SNI 03-6574-2001)
Lokasi pemasangan pencahayaan darurat sesuai dengan standar adalah sebagai berikut: 1.
Lampu darurat dipasang pada tangga-tangga, gang, koridor, ram, lif, jalan lorong menuju tempat aman, dan jalur menuju jalan umum.
2.
Sepanjang jalan kearah koridor, lobi dan jalan keluar dengan jarak langsung dari titik masuk gang, lobi atau jalan keluar melebihi 13 meter.
Gambar 2.13
Lokasi pemasangan lampu darurat dalam ruangan. (Sumber : SNI 03-6574-2001)
Universitas Sumatera Utara
31
Jangka waktu uji fungsi peralatan lampu darurat yang menggunakan sistem tenaga batterai harus dilakukan pada setiap 30 hari, selama 30 detik. Uji tahunan harus dilakukan dengan waktu uji selama 1½ jam. Peralatan harus beroperasi penuh selama jangka waktu pengujian. F. Pengendalian Asap Perambatan asap disebabkan oleh perbedaan tekanan karena adanya perbedaan suhu ruangan dan dampak timbunan asap yang mencari jalan keluar. Asap dapat tersedot melalui lubang vertikal pada bangunan seperti ruang tangga, shaft, atau atrium dan menjalar secara horizontal. Perambatan asap dapat menyebabkan terjadinya pemanasan lebih awal sebelum api menjalar ke tempat itu sehingga memicu timbulnya titik api baru. Selain itu, asap yang ditimbulkan menghalangi petugas pemadam kebakaran dalam menemukan titik permasalahannya. Pengendalian asap dapat dilakukan dengan beberapa cara (Depnaker ILO 1987) yaitu: 1.
Melemahkan (dilution) yaitu dengan cara memberikan ventilasi untuk memasukan udara segar dari luar dan memberikan saluran asap. Jendela dan pintu yang dapat dibuka sebanding dengan 10% luas lantai.
2.
Menghabiskan (exhaust) yaitu memberikan peralatan mekanis untuk mengendorkan/menyedot asap dan terintegrasi dengan sistem tata udara.
3.
Membatasi yaitu memasang sarana penghambat asap untuk mencegah menjalarnya asap ke suatu daerah.
Gambar 2.14 Tirai penghalang asap (Sumber : Juwana, Jimmy S, 2005 )
Universitas Sumatera Utara
32
4.
Tekanan udara yaitu tempat-tempat jalur pelarian seperti koridor dan ruang tangga harus bebas dari asap dan gas dengan cara memberikan tekanan udara.
Gambar 2.15 Pengendalian asap pada bangunan tinggi (Sumber : Juwana, Jimmy S, 2005)
Persyaratan pengendalian asap pada bangunan tinggi yang mempunyai atrium di dalamnya adalah : a) Pintu keluar yang berada pada sekeliling atrium harus menggunakan pintu tahan api. b) Bangunan dengan fungsi hotel, apartemen dan asrama hanya boleh mempunyai atrium maksimal 110 m² dan dilengkapi dengan pintu keluar yang tidak menuju atrium. c) Adanya pemisahan vertikal, sehingga lubang atrium maksimal terbuka setinggi tiga lantai. d) Pemisahan vertikal ini berlaku pula bagi ruang pertemuan dengan kapasitas 300 orang atau lebih dan perkantoran yang berada di bawah apartemen, hotel, atau asrama. e) Mezanin dibuat dengan bahan yang tahan api sekurang-kurangnya 2 jam. f)
Ruangan yang bersebelahan dengan mezanin dibuat dengan bahan tahan api sekurang-kurangnya satu jam.
g) Jarak dari lantai dasar ke lantai mezanin minimal 2,2 meter. h) Mezanin tidak boleh terdiri dari dua lantai. 10 % dari luas mezanin dapat ditutup (misalnya untuk kamar kecil, ruang utilitas dan kompartemen). i)
Ruang mesanin yang tertutup harus mempunyai dua pintu keluar. Jarak tempuh antar pintu keluar maksimum adalah 35 meter.
Universitas Sumatera Utara