BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Stres 1. Pengertian Stres Stres adalah respons tubuh yang tidak spesifik terhadap setiap kebutuhan tubuh yang terganggu dan suatu fenomena universal yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari, yang tidak dapat dihindari dan dialami oleh setiap orang. Stres memberi dampak secara total pada individu yaitu terhadap fisik, psikologis, intelektual, sosial dan spiritual (Hans Seyle, Davis, et al.; Barbara Kozier, et al, dalam Hawari, 2013). 2. Sumber Stres (Stresor) Sumber stres (stresor) menurut Lukaningsih (2011), antara lain: a. Kondisi biologis, meliputi berbagai penyakit infeksi, trauma fisik, dan mal nutrisi. b. Kondisi psikologis, seperti konflik dan frustasi, kondisi yang mengakibatkan perasaan rendah diri, berbagai keadaan kehilangan, berbagai kondisi perasaan bersalah, pelajaran sekolah maupun pekerjaan yang membutuhkan jadwal waktu yang ketat. c. Kondisi sosial-kultural, seperti fluktuasi ekonomi, perceraian, keretakan rumah tangga, persaingan keras dan tidak sehat, serta diskriminasi. d. Kejadian hidup sehari-hari, seperti menikah atau mempunyai anak, mulai tempat kerja baru, dan pindah rumah.
6
7
3. Kategori Stres Colbert (2011) membagi stres menjadi beberapa kategori, yaitu: a. Stres fisik Stres fisik seringkali timbul karena kurang tidur, kerja berlebihan, olah raga berlebihan, luka fisik atau trauma seperti kecelakaan lalu lintas, operasi pembedahan, infeksi, gangguan fisik, dan nyeri yang bersifat kronis. Infeksi penyakit yang bersifat kronis yang utamanya menyebabkan stres pada tubuh misalnya pneumonia dan gagal ginjal, semakin lama hal itu berlangsung maka tubuh akan semakin stres. Selain
itu,
perubahan
fisiologi
tertentu
misalnya
menopause,
ketidakseimbangan hormonal, nutrisi buruk, insomnia, dan berbagai faktor yang terkait dengan penuaan dapat meningkatkan beban stres pada diri seseorang. b. Stres emosional dan mental Stres ini disebut juga dengan stres psikologi (psychological stress). Berbagai keadaan emosi seperti marah, agresif, depresi, kekhawatiran, dan ketakutan dapat menyebabkan stres emosional kronis. Selain itu stres mental timbul karena adanya perasaan cemas yang berlebihan dan kekhawatiran secara umum. Lebih lanjut, mereka yang ingin tampil sempurna (perfectionist) atau yang selalu merasa tidak pernah puas dengan apa yang telah dicapainya merupakan kelompok orang yang utamanya gampang menderita stres mental. Stres mental juga seringkali
8
timbul karena adanya perasaan tertekan, tidak bisa mengendalikan diri atau terjebak dalam situasi tidak nyaman. c. Stres kimiawi Stres ini timbul karena konsumsi berlebihan berbagai bahan seperti gula, kafein, perangsang atau stimulan, alkohol, nikotin (rokok), dan aditif makanan. Selain itu, stres kimiawi juga terkait dengan senyawa yang ada di lingkungan dan masuk ke dalam tubuh kita, seperti kapang, debu, alergen (senyawa penyebab alergi), dan berbagai senyawa kimia beracun seperti asap mesin diesel, asap rokok, dan pestisida. Ada berbagai senyawa berbahaya bagi tubuh yang terdapat dalam makanan dan minuman kita seperti air raksa (merkuri), cadmium, dan khlorin dalam air keran yang dapat menyebabkan beban kimiawi dalam tubuh. d. Stres suhu Stres ini terkait dengan keterpaparan kita dengan temperatur yang ekstrem, baik panas atau dingin yang berlangsung dalam jangka waktu yang lama. Namun, dewasa ini stres suhu jarang terjadi di masyarakat maju secara umum. 4. Respons Tubuh Terhadap Stres Colbert (2011) menyebutkan bahwa, terdapat tiga stadium respons stres yaitu stadium alarm atau peringatan (alarm stage), stadium resistansi atau perlawanan (resistancy stage), dan stadium kepayahan (exhaustion stage).
9
a. Stadium peringatan Stadium pertama dari stres adalah stadium peringatan yang memicu adanya respons “melawan atau lari”. Ketika tiba-tiba mengalami stres secara otomatis sistem hormon darurat bekerja dalam tubuh, bahkan reaksi alarm tersebut terjadi tidak hanya ketika benarbenar sedang mengalami situasi yang menakutkan, tetapi juga ketika merasa diserang atau merasa berada dalam situasi yang membahayakan. Reaksi alarm tersebut pada umumnya menyebabkan melonjaknya sekresi hormon adrenalin dalam jangka waktu yang singkat yang mengakibatkan emosi tinggi dan dihasilkannya tambahan energi. Peningkatan kadar adrenalin tersebut membuat seseorang merasa hebat dan kuat. b. Stadium perlawanan Seseorang yang berada dalam stadium ini berusaha beradaptasi dengan situasi negatif yang terjadi. Tubuhnya tidak lagi bereaksi dengan respons “melawan atau lari”, tetapi menunjukkan reaksi untuk mengelola situasi negatif tersebut secara berhasil. Tubuhnya terus berlanjut menghasilkan hormon stres dalam jumlah banyak yaitu utamanya hormon kortisol. Kortisol juga akan tersekresikan ketika kita memikirkan berbagai hal yang membuat stres sedemikian rupa, sehingga memacu sistem endokrin kita. Bila otak mengalami stres yang berlebihan, bagian hipothalamusnya
menghasilkan
hormon
yang
disebut
CRH
10
(Corticothropin Releasing Hormone). Hormon tersebut pada giliran berikutnya menyebabkan dilepaskannya hormon lain yaitu ACTH (Adrenocorticothropic Hormone) oleh kelenjar pituitari, ACTH tersebut selanjutnya merangsang kelenjar adrenalis untuk menghasilkan kortisol yang merupakan hormon steroid. Ketika tubuh mengalami stres yang berkepanjangan, kadar kortisol terus menerus tinggi sepanjang hari dan bahkan sampai di malam hari. Hal itulah yang seringkali menyebabkan penderitanya mengalami kesulitan tidur atau insomnia, dan dalam waktu yang lama otak akan kehilangan kepekaan terhadap kortisol serta tidak mampu lagi mengatur produksi hormon tersebut dan terjadilah “lingkaran setan”, yaitu tubuh menghasilkan lebih banyak lagi kortisol, namun pada saat yang sama kelenjar adrenalis mengahsilkan dalam jumlah yang tidak memadai hormon lain yaitu DHEA (Dehydroepiandrosterone) yang mempunyai efek anabolis (pembentukan jaringan) yang berlawanan dengan hormon kortisol yang mempunyai efek katabolis (pemecahan jaringan). Apabila hal ini berlangsung terus menerus maka akan mengakibatkan obesitas, terganggunya sekresi hormon seksual, depresi, menurunnya fungsi imun, dan lain-lain. c. Stadium kepayahan Stadium ini memungkinkan tubuh mulai “rontok” dan meningkat secara dramatis risiko terkena penyakit kronis. Stadium kepayahan merujuk pada terjadinya kepayahan kelenjar adrenalis yang biasanya
11
menyebabkan gangguan mental, fisik, dan emosional dan setiap organ serta sistem dalam tubuh akan terpengaruhi. Penderitanya biasanya menderita hipoglikemia, kehilangan daya ingat, pikiran kacau, kurang bisa berkonsentrasi, dan kadang-kadang bingung, gampang depresi, alergi, peka terhadap zat kimia, sistem kekebalan tubuh rusak, dan ketidakseimbangan hormonal. 5. Manifestasi Stres Banyak gejala yang dapat terdeteksi sebagai manifestasi stres, meliputi gejala psikologis, perubahan tingkah laku, serta gejala fisiologis. a. Gejala psikologis, meliputi cemas berlebihan (anxietas), depresi, mudah marah, sering merasa bingung, sulit berkonsentrasi, sulit mengambil keputusan, depersonalisasi, daya ingan menurun, dan lain-lain. b. Perubahan tingkah laku, meliputi berbicara cepat sekali, sering menggigit kuku, sering menggoyangkan kaki atau tangan, bertambah atau berkurangnya nafsu makan, dan lain-lain c. Gejala fisiologis, meliputi adanya gangguan pada organ tubuh, seperti: 1) Timbulnya kelelahan umum, sakit kepala, insomnia, gemetaran, ujung jari tangan dan kaki dingin, serta keringat dingin. 2) Pada otot menyebabkan miopati (khususnya pada leher, punggung, dan pinggang. 3) Pada sistem kardiovaskuler menyebabkan takikardi dan hipertensi. 4) Pada sistem pencernaan menyebabkan maag dan diare.
12
5) Pada sistem pernafasan menyebabkan sesak nafas, asma, dan bronkitis. 6) Pada sistem reproduksi menyebabkan kehilangan gairah sex, impotensi dan berkurangnya produksi semen pada pria, sementara pada wanita menyebabkan kegagalan ovulasi, gangguan siklus menstruasi, dan PMS (Gunarya et al., 2011; Kusman 2011). 6. Tingkatan Stres Tingkatan stres berdasarkan skala pengukuran menggunakan DASS (Depression Anxiety Stress Scale) menurut Psychology Foundation of Australia (2014) yaitu: a. Normal Dikatakan normal apabila gejala stres yang tercantum dalam DASS tidak pernah dialami atau jarang dialami. b. Stres ringan Dikatakan stres ringan apabila gejala stres yang tercantum dalam DASS jarang dialami hingga dialami tetapi hanya kadang-kadang. c. Stres sedang Dikatakan stres sedang apabila gejala stres yang tercantum dalam DASS terkadang dialami hingga sering dialami, namun lebih dominan terjadi kadang-kadang saja. d. Stres berat Dikatakan stres berat apabila gejala stres yang tercantum dalam DASS terkadang dialami hingga sering dialami, namun lebih dominan sering.
13
e. Stres sangat berat Dikatakan stres sangat berat apabila gejala stres yang tercantum dalam DASS sering dialami. 7. Pengukuran Tingkat Stres Depression Anxiety Stress Scale (DASS) oleh Lovibond (1995) adalah seperangkat dari tiga skala laporan diri yang dirancang untuk mengukur emosi negatif yang terdiri dari depresi, kecemasan dan stres. DASS telah memenuhi persyaratan dari para peneliti dan dokter-dokter yang menjadi ilmuwan profesional (Mcauley, 2010). Lovibond dalam Psychology Foundation of Australia (2014) mengatakan bahwa, DASS berisi 14 item untuk setiap skala yang dibagi menjadi beberapa subskala, dan terdapat 2-5 item dengan isi yang serupa. Skala depresi menilai disforia, keputusasaan, devaluasi kehidupan, penolakan diri, kurangnya minat, anhedonia, dan kelemahan. Skala kecemasan menilai gairah pribadi, efek otot rangka, kecemasan situasional dan pengalaman subjektif yang mempengaruhi kecemasan. Skala stres menilai kesulitan santai, kegugupan dan mudah marah atau gelisah, kepekaan atau ekspresi yang berlebihan dan ketidaksabaran. Skor depresi, kecemasan, dan stres dihitung dengan menjumlahkan skor untuk item yang relevan. Item skala depresi adalah 3, 5, 10, 13, 16, 17, 21, 24, 26, 31, 34, 37, 38, 42. Item skala kecemasan adalah 2, 4, 7, 9, 15, 19, 20, 23, 25, 28, 30, 36, 40, 41. Item skala stres adalah 1, 6, 8, 11, 12, 14, 18, 22, 27, 29, 32, 33, 35, 39. Skala dalam DASS telah terbukti
14
memiliki konsistensi internal yang tinggi untuk mengukur keadaan saat ini atau perubahan pada suatu bagian dari waktu ke waktu, sehingga instrumen ini tidak memerlukan uji validitas maupun reliabilitas. DASS mempunyai tingkatan discriminant validity dan mempunyai nilai reliabilitas sebesar 0,91 yang diolah berdasarkan penilaian cronbach's alpha. Damanik (2006) telah melakukan uji validitas dan reliabilitas pada masyarakat Bantul, Yogyakarta. Berdasarkan hasil pengujian reliabilitas dengan menggunakan formula cronbach's alpha ditemukan bahwa tes ini reliabel (a = .9483). Selanjutnya berdasarkan pengujian validitas dengan menggunakan teknik validitas internal ditemukan telah valid. Hal ini berarti item yang mengukur konstruk general psychological distress dan dapat membedakan antara subyek yang memiliki tingkat general psychological distress tinggi dan rendah. Adapun norma dibuat berdasarkan T score yang dibagi menjadi lima kategori yaitu: normal, mild, moderate, severe, dan extremely Severe. Selain ditakukan pengkategorian subyek berdasarkan total skor ketiga skala tersebut (general
psychological
distress),
juga
dilakukan
pengkategorian
berdasarkan skor total masing-masing skala (depression, anxiety dan stress). Selanjutnya, untuk melihat profit DASS pada kedua kelompok sampel yang diteliti, dilakukan juga pembandingan terhadap data demografis subyek yang berupa tempat tinggal, jenis kelamin, usia, tingkat pendidikan terakhir dan pekerjaan.
15
Karakteristik dari skor skala DASS menurut Lovibond dalam Psychology Foundation of Australia (2014), yaitu: a. Skala depresi 1) Meremehkan diri, 2) Bersemangat, suram, biru, 3) Yakin bahwa kehidupan tidak memiliki makna atau nilai, 4) Pesimis tentang masa depan, 5) Mampu mengalami kenikmatan atau kepuasan, 6) Mampu menjadi tertarik atau terlibat, 7) Lambat, kurang dalam inisiatif. b. Skala kecemasan 1) Khawatir, panik, 2) Menggigil, gemetar, 3) Menyadari kekeringan mulut, 4) Kesulitan bernapas, 5) Jantung berdebar, telapak tangan berkeringat, 6) Khawatir tentang kinerja dan kemungkinan kehilangan kendali, 7) Ketakutan tanpa sebab. c. Skala stres 1) Berlebihan dalam merangsang hal, tegang, 2) Tidak mampu untuk bersantai, 3) Sensitif, mudah marah, 4) Mudah terkejut,
16
5) Gelisah, 6) Sangat peka, 7) Tidak toleran terhadap gangguan atau keterlambatan. 8. Penatalaksanaan Stres Penatalaksanaan stres dapat diatasi dengan mempersiapkan diri menghadapi stressor, misalnya dengan cara melakukan perbaikan diri secara psikis atau mental, fisik dan sosial. Perbaikan diri secara psikis atau mental yaitu dengan pengenalan diri lebih lanjut, penetapan tujuan hidup yang lebih jelas, pengaturan waktu yang baik. Perbaikan diri secara fisik dengan menjaga tubuh tetap sehat yaitu dengan memenuhi asupan gizi yang baik, olahraga teratur, istirahat yang cukup. Perbaikan diri secara sosial dengan melibatkan diri dalam suatu kegiatan, acara, organisasi dan kelompok sosial (Chomaria, 2009). Kegiatan keagamaan seperti meditasi dzikir juga dapat dilakukan untuk mengatasi stres yang dialami seseorang (Wangsa, 2010). B. Premenstrual Syndrome (PMS) 1. Pengertian PMS Premenstrual syndrome (PMS) adalah suatu kumpulan keluhan dan/ atau gejala fisik, emosional, dan perilaku yang konsisten terjadi pada wanita usia reproduksi yang muncul secara siklik dalam rentang waktu 710 hari sebelum menstruasi dan menghilang setelah darah haid keluar. Premenstrual syndrome terjadi pada suatu tingkatan yang mampu mempengaruhi gaya hidup dan pekerjaan wanita tersebut dan kemudian
17
diikuti oleh suatu periode waktu bebas gejala sama sekali (Suparman, 2011). 2. Etiologi PMS Berbeda dengan manifestasi klinis PMS yang telah terbukti berkaitan dengan gangguan siklik yang timbul pada periode prahaid wanita usia reproduksi, etiologi PMS hingga kini masih belum jelas diketahui. Menurut Saryono (2009), penyebab PMS yaitu: a. Faktor hormonal Perubahan kadar hormonal dapat mempengaruhi kerja neurotransmitter seperti serotonin, tetapi kadar hormon seks yang bersirkulasi pada umumnya normal pada wanita PMS. Faktor hormonal seperti ketidakseimbangan berhubungan
antara
dengan
hormon
PMS.
estrogen
Penurunan
dan
progesteron
hormon
progesteron
menyebabkan adanya perbedaan genetik pada sensitivitas reseptor dan sistem pembawa pesan yang menyampaikan pengeluaran hormon seks dalam sel. PMS biasanya lebih mudah terjadi pada wanita yang lebih peka terhadap perubahan hormonal dalam siklus menstruasi. b. Faktor kimiawi Faktor kimiawi sangat mempengaruhi munculnya PMS. Bahan-bahan kimia tertentu di dalam otak seperti serotonin berubah-ubah selama siklus menstruasi. Serotonin adalah neurotransmitter yang merupakan suatu bahan kimia yang terlibat dalam pengiriman pesan sepanjang saraf di dalam otak, tulang belakang, dan seluruh tubuh.
18
c. Faktor genetik Faktor genetik juga memainkan suatu peran yang sangat penting. Insidensi PMS dua kali lipat lebih tinggi pada kembar satu telur (monozigot) dibanding kembar dua telur. d. Faktor psikologis Faktor psikis yaitu stres sangat besar pengaruhnya terhadap terjadinya PMS. Gejala-gejala PMS juga akan semakin menghebat jika di dalam diri seorang wanita terus-menerus mengalami tekanan. e. Faktor gaya hidup Faktor gaya hidup dalam diri wanita terhadap pengaturan pola makan juga memegang peranan yang tidak kalah penting. Makanan terlalu banyak garam akan menyebabkan retensi cairan. Terlalu banyak mengonsumsi alkohol dan kafein dapat mengganggu suasana hati dan melemahkan tenaga. Rendahnya kadar vitamin dan mineral dapat menyebabkan gejala-gejala dari PMS semakin memburuk. 3. Gejala PMS Menurut Saryono (2009), gejala-gejala premenstrual syndrome (PMS) secara umum yaitu: a. Gejala fisik 1) Gejala-gejala gastrointestinal, meliputi sakit punggung, perut kembung, perubahan nafsu makan, sembelit/diare, rasa berat dan tertekan di daerah panggul, mual muntah, penambahan berat badan,
19
bengkak abdominal, kram abdominal, dan kram pada kandung kemih. 2) Gejala-gejala pada payudara, yaitu payudara terasa penuh, bengkak, mengeras, dan nyeri. 3) Permasalahan pada kulit, meliputi hot flashes (kulit wajah, leher, dan dada tampak merah dan terasa terbakar), kelainan kulit (misalnya jerawat dan neurodermatitis), sariawan. 4) Gejala-gejala vaskuler dan neurologi, meliputi pusing, pingsan, sakit kepala, tidak bertenaga, kelelahan yang luar biasa, nyeri persendian, kelemahan ekstremitas, jantung berdebar, kekejangan otot, dan koordinasi berkurang. 5) Keluhan-keluhan mata, yaitu radang selaput mata dan gangguan pengelihatan. 6) Permasalahan pada pernapasan, seperti peradangan, infeksi, dan alergi. 7) Gangguan cairan tubuh, meliputi retensi cairan tubuh di payudara, tungkai, lutut, dan otak yang menyebabkan sakit kepala, oliguria, nyeri dada, dan bengkak dada. b. Gejala perubahan suasana hati Gejala perubahan suasana hati meliputi mudah marah, cemas, depresi, mudah tersinggung, gelisah, labil, agresif, tertekan, kesepian, gugup, ketiadaan kendali, hilangnya gambaran diri, paranoid, hipersensitivitas emosional, kemurungan.
20
c. Gejala perubahan mental Gejala perubahan mental yang dapat ditemukan adalah kalut, bingung, sulit berkonsentrasi, pelupa, dan isolasi sosial. d. Gejala perubahan perilaku Gejala perilaku yang dapat ditemukan adalah perubahan libido seksual, perubahan pola tidur, insomnia, dan perubahan nafsu makan (nafsu makan meningkat atau kurang nafsu makan). 4. Diagnosis PMS Tidak ada pemeriksaan laboratorium, penemuan fisik, maupun pemeriksaan penunjang yang khas dibutuhkan untuk memastikan diagnosis PMS. Perhatian khusus harus diberikan pada riwayat pengobatan yang telah atau sedang dilakukan oleh pasien. Kondisi-kondisi medis tertentu (misalnya penyakit gondok, endometriosis, diabetes mellitus dan lain-lain) yang memiliki gejala-gejala yang sama dengan PMS harus dikesampingkan. Cara untuk menegakkan diagnosis saat gejala-gejala PMS muncul adalah dengan menggunakan instrumen yang telah terstandarisasi (Saryono, 2009). Beberapa instrumen yang digunakan untuk mendiagnosis PMS, antara lain: Prospective Record of the Impact and Severity of Menstruation (PRISM), Calendar of Premenstruasi Experience (COPE), Visual Analogue Scales (VAS), Daily Record of Severity of Problem (DRSP), Daily Menstrual Symptom Rating Scale, Kriteria DSM-IV-TR untuk PMDD, Lembar Catatan Harian (LCH), Shortened Premenstrual
21
Assesment Form (SPAF) (Saryono, 2009; Suparman 2011; Allen et al, 1991). 5. Pengukuran PMS Salah satu alat ukur yang digunakan untuk mengukur gejala premenstrual adalah Shortened Premenstrual Assesment Form (SPAF). Shortened PAF ini merupakan versi yang lebih sederhana dari PAF yang sebelumnya terdiri dari 95 item. PAF oleh Halbreich et al. (1982) yang terdiri dari 95 item ini merupakan instrumen yang valid dan reliabel, namun membutuhkan waktu yang lama dalam pengisiannya sehingga kurang cocok, baik untuk beberapa kondisi klinis maupun untuk penelitian.
Allen
et
al.
(1991)
merancang
suatu
studi
untuk
menyederhanakan PAF sekaligus melakukan validitas dan reliabilitas PAF yang disederhanakan tersebut. Analisis faktor mengidentifikasi tiga subscale yaitu efek, retensi cairan, dan nyeri. Hasil studi tersebut menunjukkan bahwa Shortened Premenstrual Assesment Form (SPAF) (10-item version of the PAF) mempunyai konsistensi internal dan reliabilitas yang tinggi. Studi lain dilakukan oleh Lee et al. (2002) yang bertujuan menilai reliabilitas dan validitas Shortened PAF. Studi ini melibatkan 55 subjek yang diminta mengisi Shortened Premenstrual Assesment Form (SPAF). Hasilnya menunjukkan bahwa test-retest reliability dari skala ini 0,80 dan konsistensi internal (alfa cronbach) 0,91. Koefisiensi korelasi antara skor PAF dan skor Shortened PAF adalah 0,92. Perbedaan skor shortened PAF
22
antara kelompok PMS dan kelompok non PMS cukup bermakna (t=5.57, p<0.001). Analisis diskriminan juga menunjukkan bahwa shortened PAF sangat bermanfaat untuk membedakan antara kelompok PMS dan kelompok non PMS (eigenvalue: 0.60, canonical correlation coefficiency: 0.61, Wilk's lambda: 0.63). Sensitivitas (75.0%) dan spesifisitas (76.9%). Disimpulkan bahwa shortened PAF valid dan reliabel untuk menilai PMS. SPAF terdiri dari 10 item, yang mengukur perubahan suasana hati, perilaku dan gejala fisik selama periode pramenstruasi. Skor total dihitung berdasarkan pada penjumlahan dari respons positif terhadap setiap gejala. Kehebatan gejala dinilai menggunakan skala rating 1-6 berdasarkan perubahan dibandingkan dengan pernyataan non pramenstruasi. Skala 1 menunjukkan tidak ada perubahan, 2 perubahan minimal, 3 perubahan ringan, 4 perubahan sedang, 5 perubahan berat, dan 6 perubahan ekstrem (Omar, et al., 2009). Menurut Allen et al. (1991), tingkatan PMS pada instrumen ini berupa normal, ringan, sedang, berat, dan ekstrem. Jumlah skor dari pertanyaan item tersebut, memiliki makna: a. Normal
: skor ≤ 10
b. Ringan
: skor 11-30
c. Sedang
: skor 31-40
d. Berat
: skor 41-50
e. Ekstrem
: skor 51-60
23
6. Dampak PMS Dampak PMS menjadi salah satu alasan pokok seorang wanita meninggalkan pekerjaan, sekolah, dan kuliah karena beberapa gejalanya sangat menyiksa sehingga memerlukan perawatan medis (Navdeep, 2009). Boreinstein (dalam Suparman, 2011) menambahkan, PMS berkaitan dengan penurunan produktivitas kerja, keluhan sukar berkonsentrasi, menurunnya antusiasme, pelupa, mudah tersinggung, labilitas emosi, menurunnya kemampuan koordinasi, dan terganggunya hubungan interpersonal, aktivitas sosial, sekolah, dan pekerjaan. Secara ekstrem PMS juga dihubungkan secara temporal dengan lebih tingginya insiden kriminalitas sampai percobaan bunuh diri. Khusus untuk para remaja putri yang bersekolah, PMS dapat mengganggu kualitas kesehatan, konsentrasi, prestasi dan keaktifan kegiatan belajar di sekolah. Penelitian yang dilakukan oleh Delara, et al. (2012) menunjukkan bahwa, siswi dengan gangguan PMS mengalami beberapa penurunan seperti: kondisi mental, vitalitas, peran fisik, fungsi sosial, dan kesehatan secara keseluruhan. 7. Penatalaksanaan PMS Menurut Suparman (2011), beberapa cara untuk mengatasi premenstrual syndrome (PMS) antara lain: a. Metode pendekatan non-farmakoterapi Metode pendekatan non-farmakoterapi terdiri dari beberapa cara, meliputi:
24
1) Pengaturan nutrisi Mengurangi Konsumsi kafein dan alkohol untuk menekan keluhan kecemasan yang diperberat oleh kafein dan alkohol tersebut, membatasi asupan sodium agar mengurangi gejala-gejala akibat adanya retensi cairan, mengonsumsi karbohidrat kompleks yang diduga meningkatkan kadar serotonin di otak, dan diet vegetarian rendah lemak. 2) Modifikasi pola tidur Pola tidur yang dimaksud adalah pola tidur malam hari dalam durasi yang cukup secara bermakna terbukti mengurangi keluhan depresi pada penderita PMS. 3) Latihan aerobik moderate Waktu latihan aerobik moderate yaitu sekitar 20-30 menit per hari sekurang-kurangnya tiga kali seminggu terbukti dapat meningkatkan sekresi endorfin di otak yang mampu menekan keluhan depresi dan gejala retensi cairan. 4) Latihan relaksasi Latihan relaksasi yang memanfaatkan pengulangan kata, suara, aktivitas otot tertentu akan diperoleh respons fisiologis tubuh berupa menurunnya tingkat metabolisme, menurunnya detak jantung, tekanan darah dan frekuensi pernapasan, serta melambatnya gelombang otak yang akan menekan berbagai keluhan PMS.
25
5) Terapi cahaya lampu Terapi menggunakan cahaya lampu fluoresent putih berspektrum penuh (menyerupai spektrum sinar matahari) pada fase luteal selama 30 menit setiap hari dinilai efektif menekan keluhan dan gejala fisisk PMS, yang efeknya diduga melalui mediasi jalur serotonin. 6) Terapi kognitif-perilaku Terapi ini mengajarkan penderita PMS untuk menganalisis pola pemikiran yang negatif dan cara memandang berbagai peristiwa dalam kehidupan secara lebih adaptif, yang jika rutin dilakukan selama enam bulan berturutan dinilai dapat mengurangi berbagai keluhan PMS. 7) Suplementasi nutrisi Asam amino L-triptophan adalah suatu zat pendahulu serotonin efektif menekan perubahan efek yang ekstrem, disforia, perasaan mudah tersinggung dan ketegangan pada penderita PMS. Vitamin B6 dengan dosis 50-100 mg per hari. Kalsium karbonat dengan dosis 1200 mg per hari selama tiga siklus haid berurutan efektif menekan keluhan depresi, kelelahan, insomnia, nyeri tubuh, mengidam makanan tertentu dan gejala retensi cairan derajat sedang hingga berat, yang efeknya tampak signifikan pada siklus haid yang kedua dan ketiga sesudah pemberian suplemen dimulai. Vitamin E, vitex agnus castus (Chasteberry), dan Evening primrose oil (Oenothera biennis) yang kaya asam lemak asam
26
linoleat-gamma secara terbatas dapat menekan keluhan nyeri payudara penderita PMS. b. Metode pendekatan farmakoterapi 1) Anti Inflamasi Non Steroid (NSAID), 2) Diuretik, 3) Anti cemas, 4) Anti depresan, 5) Hormonal, 6) Analog GnRH. c. Penatalaksanaan operatif Pendekatan operatif untuk penatalaksanaan PMS hanya dibatasi untuk kasus-kasus PMS derajat berat yang refrakter dengan berbagai metode terapi lain yang lebih konservatif dengan mempertimbangkan pula usia dan paritas penderita. 8. Pencegahan PMS Hal-hal yang dapat dilakukan untuk upaya pencegahan premenstrual syndrome (PMS) menurut Aulia (2009) antara lain: a. Melakukan diet makanan Diet adalah salah satu hal yang tepat untuk mencegah terjadinya PMS, hal ini dapat dilakukan dengan memperhatikan hal-hal berikut: 1) Membatasi konsumsi makanan tinggi gula, tinggi garam, daging merah (sapi dan kambing), alkohol, kopi, teh, coklat, dan minuman bersoda.
27
2) Mengurangi paparan asap rokok atau berhenti merokok. 3) Membatasi komsumsi protein (sebaiknya sebanyak 1,5gr/kg berat badan per orang). 4) Meningkatkan konsumsi ikan, ayam, kacang-kacangan, dan bijibijian sebagai sumber protein. 5) Membatasi konsumsi makanan produk susu dan olahannya (keju, es krim, dan lain-lain), serta gunakan kedelai sebagai penggantinya. 6) Membatasi konsumsi lemak dari bahan hewani dan lemak dari makanan yang digoreng. 7) Meningkatkan konsumsi sayuran hijau. 8) Meningkatkan konsumsi makanan yang mengandung asam lemak esensial linoleat seperti minyak bunga matahari dan minyak sayuran. 9) Mengonsumsi vitamin B kompleks terutama vitamin B6, vitamin E, kalsium, magnesium, dan omega 6. b. Melakukan olahraga dan aktivitas fisik secara teratur Sebagian besar wanita yang melakukan olahraga dan aktivitas fisik yang teratur, contohnya berenang dan berjalan kaki dapat menurunkan keluhan PMS. Berolahraga dapat menurunkan stres dengan cara memiliki waktu untuk keluar dari rumah dan pelampiasan untuk rasa marah atau kecemasan yang terjadi. c. Menghindari dan mengatasi stres Tarikan napas dalam dan relaksasi juga bisa meringankan rasa tidak nyaman akibat stres yang dapat menyebabkan PMS. Aktivitas
28
bersantai seperti yoga atau pijatan akan sangat membantu, selain itu tidur yang cukup juga harus diperhatikan. d. Menjaga berat badan Berat badan yang berlebihan dapat meningkatkan risiko menderita PMS, karena berkaitan dengan pola konsumsi dan aktivitas yang tidak sehat yang dapat mempengaruhi aktivitas hormonalnya. e. Mencatat jadwal siklus haid dan mengenali gejala PMS Pencatatan secara teratur siklus menstruasi setiap bulannya dapat memberikan gambaran seorang wanita mengenai waktu terjadinya PMS, sehingga dapat mengenali gejala yang akan terjadi dan mengantisipasi waktu setiap bulannya, ketika ketidakstabilan emosi sedang terjadi. C. Hubungan Stres dengan Premenstrual syndrome (PMS) Stres menyebabkan terjadinya respons neuroendokrin sehingga menyebabkan
CRH
yang
merupakan
regulator
hipotalamus
utama
menstimulasi sekresi Adrenocorticotrophic Hormone (ACTH). ACTH merangsang kelenjar adrenalis untuk menghasilkan kortisol yang merupakan hormon steroid yang merangsang dilepaskannya lemak, gula, dan asam amino ke dalam darah untuk menghasilkan energi (efek katabolis). Peningkatan sekresi kortisol berkaitan dengan menurunnya kadar Dehydroepiandrosterone (DHEA) yang memiliki efek anabolis yang berlawanan dengan kortisol sehingga terjadi gangguan sekresi hormon seks yang mengakibatkan
29
menurunnya kadar progesteron yang menyebabkan timbulnya premenstrual syndrome (PMS) (Colbert, 2011). Menurut Catharine Avila (2009) menurunnya kadar progesteron dapat menyebabkan premenstrual syndrome karena progesteron memberikan efek pada sistem saraf pusat, yaitu bergabung dengan estrogen untuk meningkatkan sintesis serotonin hipotalamus. Akibat kadar progesteron tidak normal kadar serotonin dapat menurun dan tertekan. Serotonin merupakan suatu neurotransmitter yang merupakan suatu bahan kimia yang terlibat dalam pengiriman pesan sepanjang saraf di dalam otak, tulang belakang dan seluruh tubuh. Serotonin sangat mempengaruhi suasana hati. Penurunan aktivitas serotonin berhubungan dengan gejala depresi, kecemasan, ketertarikan, kelelahan, perubahan pola makan, kesulitan untuk tidur, impulsif, agresif, dan peningkatan selera. Serotonin menjadi pemain kunci yang berperan pada banyak proses dalam tubuh. Serotonin membantu siklus tidur, memetabolisme karbohidrat, dan mempengaruhi pengaturan estrogen dan progesteron. Serotonin mempengaruhi ovulasi, dan ovulasi yang kurang sempurna semakin menurunkan kadar serotonin di otak yang menyebabkan keluhan semakin hebat yang dikenal dengan premenstrual syndrome (PMS) (Saryono, 2009).
30
D. Kerangka Konseptual Sekresi ACTH
Stres
Peningkatan Kortisol
Penyebab Stres : 1. Kondisi Biologis 2. Kondisi Psikologis 3. Kondisi SosioKultural 4. Kejadian hidup sehari-hari
Penurunan Progesteron
Ketidakseimbangan Hormon Steroid Seks Penurunan Serotonin
PMS
Keterangan : : Variabel bebas : Variabel terikat : Variabel perantara : Variabel luar Gambar 2.1. Kerangka Konsep E. Hipotesis
Ada hubungan tingkat stres dengan tingkat premenstrual syndrome (PMS) pada siswi SMK Cokroaminoto 1 Surakarta.