BAB II TINJAUAN PUSTAKA A.
Definisi Konsep dan Batasan Konsep 1.
Representasi Representasi merupakan sebuah proses ataupun keadaan yang ditempatkan sebagai suatu perwakilan terhadap sebuah sikap dari sekelompok orang ataupun golongan di dalam lingkungannya melalui sebuah proses sosial yang berhubungan dengan pola hidup dan budaya masyarakat tertentu yang memungkinkan terjadinya sebuah perubahan-perubahan konkret. Representasi juga merupakan sebuah praktek penting yang akan melahirkan sebuah kebudayaan karena terjadi secara alami dikarenakan adanya proses yang berulang-ulang atau memiliki efek timbal balik kepada pelaksanaannya. Sedangkan representasi pengetahuan adalah suatu cara menyajikan relasi antara beberapa subjek pengetahuan ke dalam suatu bentuk diagram ataupun skema dengan tujuan untuk mendapatkan kesimpulan atau poin-poin penting dari sumber pengetahuan tersebut sehingga dapat memberikan solusi yang tepat atas permasalahan yang ada. Macam-macam representasi pengetahuan : -
Representasi Logika
-
Jaringan Semantik
-
Bingkai
-
Object Attribute Value
-
Aturan Produksi
Representasi
yang
lain
adalah
representasi
dalam
hubungan
internasional, representasi jenis ini merupakan suatu bentuk perwakilan dari suatu Negara untuk melakukan suatu kebijakan politik.
2.
Sapta Pesona Sapta Pesona merupakan jabaran konsep Sadar Wisata yang terkait dengan
dukungan dan peran masyarakat sebagai tuan rumah dalam upaya untuk menciptakan lingkungan dan suasana kondusif yang mampu mendorong tumbuh dan berkembangnya industri pariwisata melalui perwujudan tujuh unsur dalam Sapta Pesona tersebut. Sapta Pesona adalah merupakan kebijakan dalam dunia pariwisata tanah air. Melalui Sapta Pesona, diharapkan terwujudkan suasana kebersamaan semua pihak untuk terciptanya lingkungan alam dan budaya budaya luhur bangsa. Sapta Pesona merupakan kebijakan dalam dunia pariwisata Indonesia. Melalui Sapta Pesona, diharapkan akan mewujudkan suasana kebersamaan semua pihak untuk terciptanya lingkungan alam dan budaya budaya luhur bangsa. Sapta Pesona merupakan kondisi yang harus diwujudkan dalam rangka menarik minat wisatawan berkunjung ke suatu daerah atau wilayah di Negara kita. Kita harus menciptakan suasana indah dan mempesona, dimana saja dan kapan saja. Khususnya ditempat-tempat yang banyak dikunjungi wisatawan dan pada waktu melayani wisatawan. a.
Logo Sapta Pesona dan Makna Logo Sapta Pesona ditetapkan dengan Keputusan Menteri Pariwisata,
Pos dan Telekomunikasi Nomor: KM.5/UM.209/MPPT-89 Tentang Pedoman Penyelenggaraan Sapta Pesona. Logo Sapta Pesona berbentuk matahari
tersenyum
yang
menggambarkan
semangat
hidup
dan
kegembiraan. Tujuh sudut pancaran sinar yang tersusun rapi di sekeliling matahari menggambarkan unsur-unsur Sapta Pesona yang terdiri dari : unsur aman, tertib, bersih, sejuk, indah, ramah dan kenangan.
Pada dasarnya Sapta Pesona ini dapat dipahami sebagai 7 (tujuh) unsur yang terkandung didalam setiap produk Pariwisata serta dipergunakan sebagai tolak ukur peningkatan kualitas produk pariwisata. Yang dimaksud dari 7 (tujuh) unsur tersebut adalah; 1) Aman Suatu kondisi lingkungan di destinasi pariwisata atau daerah tujuan wisata (ODTW) yang memberikan rasa tenang, bebas dari rasa takut dan kecemasan bagi wisatawan dalam melakukan perjalanan atau kunjungan kedaerah tersebut. Dengan menciptakan, mengkondisikan, memelihara dan masyarakatkan rasa aman maka akan terwujud rasa aman yang sesungguhnya dengan cara yang tidak melanggar aturan, norma, nilai, adat dan budaya kita sebagai bangsa yang besar dan beradab. Ada yang beberapa cara yang dapat menciptakan dan menjaga rasa aman. Diantaranya adalah: a) Sikap tidak mengganggu kenyamanan wisatawan dalam kunjungannya b) Menolong dan melindungi wisatawan c) Menunjukkan sikap bersahabat kepada wisatawan d) Membantu memberi informasi yang dibutuhkan wisatawan e) Menjaga lingkungan yang bebas dari penyakit menular f)
Meminimalkan resiko kecelakaan dalam penggunaan fasilitas publik.
Beberapa manfaat yang bisa dirasakan dari terciptanya rasa aman, yaitu: a) Tidak ada rasa takut untuk berpergian b) Keinginan wisatawan untuk berkunjung lebih besar c) Citra positif pariwisata tetap terjaga
d) Memberikan peluang pembangunan dan penyempurnaan fasilitas dan sistem pelayanan jasa dan informasi yang bermanfaat baik ditempat-tempat objek wisata maupun ditempat-tempat lain.
2) Tertib Suatu
kondisi
lingkungan
dan
pelayanan
di
destinasi
pariwisata/daerah tujuan wisata yang mencerminkan sikap disiplin yang tinggi serta kualitas fisik dan layanan yang konsisten dan teratur serta efisien sehingga memberikan rasa nyaman dan kepastian bagi wisatawan dalam melakukakn perjalanan atau kunjungan kedaerah tersebut. Ada yang beberapa cara yang dapat menciptakan dan menjaga rasa tertib. Diantaranya adalah: a) Mewujudkan budaya antri b) Memelihara lingkungan serta mentaati peraturan yang berlaku baik dari pemerintah mampun dinas pariwisata setempat c) Disiplin/tepat waktu d) Serba jelas, teratur, rapi dan lancar.
3) Bersih Suatu kondisi lingkungan serta kualitas produk dan pelayanan di destinasi pariwisata/daerah tujuan wisata yang mencerminkan keadaaan yang sehat/ higienis sehingga memberikan rasa nyaman dan senang bagi wisatawan dalam melakukan perjalanan atau kunjungan kedaerah tersebut. Bentuk aksi yang perlu diwujudkan, antara lain:
a) Tidak membuang sampah/limbah sembarangan. b) Menjaga kebersihan objek dan daya tarik wisata serta sarana prasarana pendukungnya. c) Menjaga lingkungan yang bebas dari polusi udara (akibat asap kendaraan bermotor, rokok, dsb) d) Menyajikan makanan atau minuman yang higienis e) Menyiapkan perlengkapan penyajian makanan/minuman yang bersih f)
Pakaian dan penampilan petugas bersih dan rapi.
4) Sejuk Suatu kondisi lingkungan di destinasi pariwisata/daerah tujuan wisata yang mencerminkan keadaan yang sejuk dan teduh yang akan memberikan perasaan nyaman dan “betah” bagi wisatawan dalam melakukan perjalanan atau kunjungan kedaerah tersebut. Bentuk wujud dari aksi yang dapat dilakukan antara lain: a) Melakukan penghijauan dengan menanam pohon khususnya bagi daerah yang memang diperuntukan untuk wisata alam b) Memelihara penghijauan di lingkungan objek dan daya tarik wisata serta jalur wisata c) Menjaga kondisi sejuk dalam area publik./fasilitas umum, hotel, penginapan, restoran, dan sarana prasarana dan komponen/fasilitas kapariwisataan lainnya.
5) Indah Suatu kondisi lingkungan di destinasi pariwisata/daerah tujuan wisata yang mencerminkan keadaan yang indah dan menarik yang akan memberikan rasa kagum dan kesan yang mendalam bagi wisatawan
dalam melakukan perjalanan atau kunjungan ke daerah tersebut, sehingga mewujudkan potensi kunjungan ulang serta mendorong promosi ke pasar wisatawan yang lebih luas. Bentuk aksi yang dapat diwujudkan antara lain: a) Menjaga objek dan daya tarik wisata dalam tatanan yang estetik, alami dan harmoni b) Menata lingkungan dan tempat tinggal secara teratur dan serasi serta menjaga karakter kelokalan c) Menjaga keindahan vegetasi, tanaman hias dan peneduh sebagai elemen ektetika lingkungan yang bersifat alami.
6) Ramah Suatu kondisi lingkungan yang bersumber dari sikap masyarakat di destinasi pariwisata/daerah tujuan wisata yang mencerminkan suasana yang akrab, terbukan dan penerimaan yang tinggi yang akan memberikan perasaan nyaman, perasaan diterima dan “betah” (seperti dirumah sendiri) bagi wisatawan dalam melakukan perjalanan atau kunjungan kedaerah tersebut. Bentuk aksi yang perlu diwujudkan antara lain: a) Bersikap sebagai tuan rumah yang baik dan rela serta selalu siap membantu wisatawan b) Memberi informasi adat istiadat setempat secara sopan c) Menunjukkan sikap menghargai dan toleransi terhadap wisatawan d) Menampilkan senyum yang tulus
7) Kenangan
Suatu
bentuk
pengalaman
yang
berkesan
di
destinasi
pariwisata/daerah tujuan wisata yang akan memberikan rasa senang dan kenangan indah yang membekas bagi wisatawan dalam melakukan perjalanan atau kunjungan kedaerah tersebut. Bentuk aksi yang dapat diwujudkan antara lain: a) Menggali dan mengangkat keunikan budaya lokal b) Melakukan kegiatan 6 unsur Sapta Pesona sebelumnya, karena dengan adanya 6 unsur diatas, wisatawan akan mendapatkan kenangan yang baik sehingga wisatawan berpotensi melakukan kunjungan ulang c) Menyediakan cinderamata yang khas dan menarik untuk dibawa sehingga yang melihatnya akan tertarik untuk melakukan kunjungan juga. Sedangkan yang dimaksud produk pariwisata adalah mencangkup Usaha Jasa Pariwisata, Pengusahaan Obyek dan Daya Tarik Wisata, dan Usaha Sarana Pariwisata. Setiap produk pariwisata ini harus mampu memunculkan unsur-unsur yang membangun Sapta Pesona tersebut. 3.
Sadar Wisata Sadar
Wisata
dapat
didefinisikan
sebagai
sebuah
konsep
yang
menggambarkan partisipasi dan dukungan segenap komponen masyarakat dalam mendorong terwujudnya iklim yang kondusif bagi tumbuh dan berkembangnya kepariwisataan di suatu wilayah dan bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Sadar Wisata sangat berkaitan dengan Sapta Pesona, karena sadar wisata dapat diwujudkan dengan menjalankan Sapta Pesona. Sehingga jika masyarakat telah sadar wisata dan telah menjalankan konsep sapta peson maka wisatawan akan tertarik mengunjungi daerah tujuan wisata. Sadar Wisata perlu dimanfaatkan dengan sebaik baiknya karena sebab juga ada yang namanya Sapta Pesona saling terkait antara konsep Sapta Pesona
dengan sadar wisata dan muaranya adalah meningkatkan kualitas tempat tempat wisata itu sendiri yang dilihat dari sisi keindahan. Daerah tujuan wisata harus di buat dalam konsep terpadu antara perencanaan masyarakat dan perencanaan aktifitas wisatawan dan kelembagaannya siapa yang mengelola disana dan juga bagaimana kontrolingnya 4.
Industri Pariwisata a.
Industri Industri adalah bidang yang menggunakan ketrampilan, dan ketekunan kerja (bahasa Inggris: industrious) dan penggunaan alat-alat di bidang pengolahan hasil-hasil bumi, dan distribusinya sebagai dasarnya. Maka industri umumnya dikenal sebagai mata rantai selanjutnya dari usahausaha mencukupi kebutuhan (ekonomi) yang berhubungan dengan bumi, yaitu sesudah pertanian, perkebunan, dan pertambangan yang berhubungan erat dengan tanah. Kedudukan industri semakin jauh dari tanah, yang merupakan basis ekonomi, budaya, dan politik.
b. Pariwisata Potensi
alam
dan
budaya
merupakan
aset
terpenting
dalam
kepariwisataan di Indonesia. Alam Indonesia memiliki iklim tropis, disana terdapat 17.508 pulau yang 6.000 pulau diantaranya tak dihuni, dan garis pantai terpanjang ketiga didunia sesudah Kanada dan Uni Eropa. Indonesia juga adalah negara kepulauan terbesar dan memiliki penduduk yang paling banyak didunia, selain itu juga memiliki warisan budaya yang kompleks yang diperoleh dari kepadatan keberagaman etnis Indonesia yang dengan 719 bahasa setempat. Pada tahun 2010, ada 7 lokasi di Indonesia yang sudah ditetapkan oleh UNESCO yang masuk kedalam daftar Website Warisan Dunia. Sesaat itu, empat warisan budaya lain juga ditetapkan oleh UNESCO sebagai Daftar Representatif
Budaya Tak benda Warisan Manusia yakni wayang, keris, batik serta angklung. Terdapat sebelas provinsi yang sangat kerap dikunjungi oleh beberapa turis yaitu Bali, Jawa Barat, Prov Jawa Tengah, Jawa Timur, DKI Jakarta, Sumatera Utara, Provisi Lampung, Sulawesi Selatan, Prov Sumatera Selatan, Banten dan Sumatera Barat (Menurut data dari Badan Pusat Statistik) diperoleh data juga bahwa 59% turis berkunjung ke Indonesia untuk tujuan liburan, sisanya untuk tujuan bisnis. Singapura dan Malaysia merupakan dua negara dengan catatan jumlah wisatawan paling banyak yang datang ke Indonesia dari lokasi ASEAN. Selain itu, di daftar ASIA juga terdapat negara Jepang di urutan pertama disusul RRC, selanjutnya Korea Selatan, kemudian Taiwan dan yang terakhir India. Jumlah pendatang paling banyak dari lokasi Eropa datang dari negara Britania Raya disusul oleh Perancis, Belanda dan juga Jerman. c.
Industri Pariwisata Dalam pembahasan tentang kepariwisataan, sering terdapat istilah „industri pariwisata‟. banyak literatur pariwisata di awal dasawarsa 1960-an sudah menyebutkan pariwisata sebagai industri. Pemahaman tentang istilah “industri” itu sendiri dapat dilakukan dari berbagai sudut pandang. Bila kita mendengar istilah “industri” selalu dihubungkan dengan pengertian yang terkandung di dalamnya, yaitu “proses produksi” yang menghasilkan suatu produk, baik dalam kaitan perubahan bentuk, peningkatan nilai maupun kegunaannya. Namun dalam beberapa hal, istilah “industri” diartikan juga dalam Unsur Industri Pariwisata pengertian lebih modern: Sekumpulan usaha bidang produksi yang menghasilkan produk (barang atau jasa) yang sejenis. Misalnya industri ban, industri kimia, industri farmasi, industri
kertas, industri textil, industri perhotelan, industri katering (hidangan makan/minum), dsb. Di samping itu, istilah “industri” juga dapat diterapkan sebagai sebutan terhadap kelompok usaha produksi dengan proses yang sama, seperti industri batik, industri tenun, industri rekaman, industri tata busana (fashion), dan sebagainya yang dewasa ini mendapat tempat dalam “industri kreatif”. Dihubungkan dengan pengertian di atas,
maka Industri Pariwisata,
dapat diartikan sebagai: Sehimpunan bidang usaha yang menghasilkan berbagai jasa dan barang yang dibutuhkan oleh mereka yang melakukan,- atau berada dalam -, perjalanan. Secara nyata, seseorang yang berada dalam perjalanan membutuhkan barang dan jasa dari berbagai bidang usaha, bukan hanya satu, sekurang-kurangnya ia membutuhkan jasa angkutan, jasa akomodasi, jasa hidangan ditambah dengan jasa-jasa lain yang erat hubungannya dengan kebutuhan kunjungan perjalanannya. Terkadang istilah industri diasosiasikan dengan “asap”, sehingga “industri kepariwisataan” yang tidak menimbulkan asap itu, disebut sebagai “industri tanpa asap” (smokeless industry). Bila barang dan jasa tersebut dihimpun/dipersatukan dalam bentuk satu program perjalanan, dengan dibatasi oleh dimensi ruang (jarak, tempat) dan dimensi waktu, maka akan terbentuk suatu produk daripada “Industri Pariwisata”. Kesatuan produk pariwisata ini lazimnya ditawarkan dalam bentuk “paket” (package), meskipun tidak menutup kemungkinan untuk wistawan menghimpun sendiri masing-masing “komponen / unsur” tersebut, dengan cara merakitnya sendiri, ibarat
seseorang yang merakit komputer dengan membeli komponenkomponennya masing-masing secara terpisah.
5.
Objek Daya Tarik Wisata Obyek Wisata adalah segala sesuatu yang ada di daerah tujuan wisata yang
merupakan daya tarik agar orang-orang mau datang berkunjung ke tempat tersebut. Menurut SK. MENPARPOSTEL No.: KM. 98 / PW.102 / MPPT-87, Obyek Wisata adalah semua tempat atau keadaan alam yang memiliki sumber daya wisata yang dibangun dan dikembangkan sehingga mempunyai daya tarik dan diusahakan sebagai tempat yang dikunjungi wisatawan. Obyek wisata dapat berupa wisata alam seperti gunung, danau, sungai, pantai, laut, atau berupa obyek bangunan seperti museum, benteng, situs peninggalan sejarah, dan lain-lain. (Wikipedia)
a.
Pengertian Daya Tarik Daerah Tujuan Wisata Beberapa unsur yang dapat mempengaruhi pengembangan daerah tujuan
wisata. Daya tarik wisata sebenarnya adalah kata lain dari objek wisata, tetapi sesuai dengan Peraturan Pemerintah (PP) pada tahun 2009, kata objek wisata selanjutnya tidak lagi digunakan untuk menyebut suatu daerah tujuan para wisatawan, dan untuk menggantikan kata objek wisata digunakanlah kata Daya Tarik Wisata. Untuk bisa memahami pengertian dan makna dari kata Daya Tarik Wisata, maka perhatikanlah beberapa pengertian Daya Tarik Wisata dari beberapa sumber berikut ini: Berdasarkan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2009, daya tarik wisata bisa dijelaskan sebagai segala sesuatu yang mempunyai keunikan, kemudahan, dan nilai yang berwujud keanekaragaman,
kekayaan alam, budaya, dan hasil buatan manusia yang menjadi sasaran atau kunjungan para wisatawan. Menurut A. Yoeti dalam bukunya yang berjudul Pengantar Ilmu Pariwisata pada tahun 1985, menyatakan bahwa daya tarik wisata atau tourist attraction merupakan istilah yang lebih sering digunakan, yaitu segala sesuatu yang menjadi daya tarik bagi wisatawan untuk mengunjungi suatu daerah tertentu. Nyoman S. Pendit dalam bukunya yang berjudul Ilmu Pariwisata Pada tahun 1994, menyatakan bahwa daya tarik wisata bisa perperan sebagai segala sesuatu bernilai untuk dikunjungi dan dilihat. Dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1990 Tentang Kepariwisataan, disebutkan bahwa daya tarik wisata adalah suatu yang menjadi sasaran wisata, yang terdiri dari beberapa hal, yaitu sebagai berikut: 1) Daya tarik wisata ciptaan Tuhan Yang Maha Esa yang terdiri dari keadaan alam, flora dan fauna. 2) Daya tarik wisata hasil karya manusia yang terdiri dari museum, peninggalan sejarah, seni dan budaya, wisata agro, wisata buru, wisata petualangan alam, taman rekreasi, dan kompleks hiburan. 3) Daya tarik wisata minat khusus, merupakan suatu hal yang menjadi daya tarik sesuai dengan minat dari wisatawannya seperti berburu, mendaki gunung, menyusuri gua, industri dan kerajinan, tempat perbelanjaan, sungai air deras, tempat-tempat ibadah, tempat ziarah dan lain-lainnya.
Sesuai dengan beberapa pengertian yang diberikan diatas tentang Daya Tarik Wisata, maka dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan Daya Tarik Wisata adalah segala sesuatu disuatu tempat atau daerah yang memiliki keunikan, keindahan, kemudahan dan nilai yang berwujud keanekaragaman
kekayaan alam maupun buatan manusia yang menarik dan mempunyai nilai untuk dikunjungi dan dilihat oleh wisatawan. Dalam penelitian ini keunikan daya tarik wisata di Candi Cetho Karanganyar adalah kebudayaan dan peninggalan sejarahnya berupa candi yang memiliki keunikan dalam bangunannya serta memiliki nilai budaya kental yang tidak ada didaerah lain. b.
Syarat Daya Tarik Daerah Tujuan Wisata Terdapat syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk menjadi Daya tarik
daerah tujuan wisata. Suatu daya tarik daerah tujuan wisata, bisa menarik untuk dikunjungi oleh wisatawan ketika bisa memenuhi syarat-syarat untuk pengembangan daerahnya, syarat-syarat tersebut adalah sebagai berikut: 1) What to see (apa yang bisa dilihat) Pada tempat tersebut harus ada objek dan atraksi wisata yang berbeda dengan yang dipunyai di daerah lain. Dengan kata lain bahwa daerah tersebut harusnya mempunyai daya tarik yang khusus dan atraksi budaya yang bisa menimbulkan ketertarikan bagi wisatawan. What to see terdiri dari pemandangan alam, kegiatan, kesenian, dan atraksi wisata.
2) What to do (kegiatan/aktivitas yang dapat dilakukan) Di tempat wisata, selain banyak yang bisa dilihat dan disaksikan, tentunya juga harus disediakan fasilitas rekreasi yang bisa membuat para wisatawan betah untuk tinggal lebih lama di tempat tujuan wisata itu. Contohnya seperti taman bermain yang dperuntukan untuk anak-anak, atau lokasi outbound, dll
3) What to buy (barang yang dapat dibeli)
Tempat tujuan wisata harus ada beberapa fasilitas penunjang untuk berbelanja terutama barang souvenir dan kerajinan rakyat yang bisa berfungsi sebagai oleh-oleh untuk dibawa pulang ketempat asal wisatawan tersebut, akan menimbulkan kesan dan kenangan tersendiri dikemudian hari. Serta makanan khas daerah yang dibuat oleh masyarakat disekitar sana, tentunya dengan kualitas yang bersih dan dengan harga terjangkau.
4) What to arrived (aksesbilitas) Yaitu aksesibilitas bagaimana wisatawan mengunjungi daerah daya tarik tujuan wisata tersebut, kendaraan apa yang digunakan dan berapa lama untuk bisa tiba ke tempat tujuan wisata tersebut.
5) What to stay (tempat tinggal sementara) What to stay merupakan bagaimana wisatawan akan bisa tinggal untuk sementara selama dia berlibur di objek wisata yang sedang dikunjungi. Maka diperlukan tempat menginap seperti hotel, losmen, hostel, villa, dan sebagainya. Selain itu, pada umumnya daya tarik daerah tujuan wisata pada objek wisata bisa berdasarkan atas beberapa hal, sebagai berikut: 1) Ada sumber daya yang bisa menimbulkan rasa senang, indah, nyaman dan bersih. Seperti air bersih, udara sejuk, pemandangan indah dll 2) Ada kemudahan akses untuk mengunjungi objek wisata. 3) Ada sarana dan prasarana penunjang yang digunakan untuk melayani para wisatawan yang datang seperti toilet umum, tempat pembilasan di pantai, pusat informasi dll
4) Ada ciri khusus atau spesifikasi yang mempunyai sifat langka dan tidak ada atau jarang ada didaerah lain. 5) Mempunyai daya tarik tinggi karena ada nilai khusus pada bentuk atraksi kesenian, upacara-upacara adat, dan nilai luhur yang ada dalam suatu objek buah karya manusia pada masa lampau.
c.
Pariwisata berbasis masyarakat adat (Indigenous tourism) Yang dimaksud disini adalah bagian dari industry pariwisata yang
melibatkan langsung masyarakat adat/local yang memiliki etnisitas sebagai atraksi wisata. Banyak masyarakat yang berada disekitar objek wisata yang ternyata memiliki pekerjaan yang tidak ada hubungannya seperti objek wisata didekatnya, contohnya petani yang berada disekitar kawasan Candi Cetho, pekerjaan petani itu dinilai menghasilkan lebih sedikit dibandingkan jika dia mengambil andil sebagai pelaku pariwisata. jadi bagi masyarakat yang bermukim disekitar objek wisata yang belum memiliki pekerjaan cukup tinggi, ditambah lagi dengan skill yang rendah. Hal ini tentunya akan menimbulkan banyak permasalahan sosial, seperti pengangguran, kelaparan dan lain-lain. Oleh karena itu Indigenous tourism dianggap sebagai sebuah mekanisme solutif terhadap permasalahan tersebut. Budaya local yang dikembangkan diatas martabat budaya dan integritas ethnografik akan menjadi landasan ekonomi masyarakat adat. d.
Empat Hs (Habitat, Heritage, History, Handicrafts). Indigenous Tourism ini dipengaruhi oleh 4 element penting yang saling
terkait yaitu 4H (Habitat, Heritage, History, Handycrafts). Keempat elemen tersebut adalah kondisi fisik/geografik tempat tinggal manusia (Habitat), warisan budaya dan tradisi (Heritage), efek akulturasi budaya luar (History), serta hasil cipta karya (Handicraft). Empat Hs (Habitat, Heritage, History dan
Handycraft) bisa menjadi suatu instrumen dalam menganalisis kekuatan dan kelemahan suatu area yang akan didorong menjadi sebuah destinasi Pariwisata berbasis masyarakat adat. Setiap lokasi akan memiliki karakter yang berbeda-beda tergantung interrelationship ke empat elemen tersebut. Dengan memahami ke empat elemen tersebut kita dapat membangun parwisata berdasarkan potensi sumber daya yang dimiliki. Berikut penjelasan dari keempat elemen tersebut: 1). Habitat Habitat dalam hal ini merupakan interrelationship antara lahan dengan budaya manusia/masyarakat yang hidup diatasnya guna menunjang kehidupan manusia. Inti dari konsep geografi dunia bahwa keadaan fisik, biotik dan fitur habitat didalamnya merupakan sebuah fungsi dari sikap, tujuan, dan keterampilan teknis manusia yang tinggal dalam habitat itu sendiri. Sehingga satu
habitat
yang
mungkin
cocok
dengan
kelompok
manusia/suku tertentu belum tentu nyaman bagi kelompok/suku yang lain. Habitat masyarakat adat biasanya merupakan tempat yang menarik dan marketable untuk tujuan pariwisata. Masyarakat adat tinggal ditempat-tempat yang relatif belum begitu tercemar industrialisasi dan relative masih alami. Contohnya peninggalan sejarah di candi cetho yang belum tentu ada di daerah lain, didukung keadaan alam dan iklimnya yang sejuk, juga masyarakat yang mayoritasnya masih berpegang teguh pada adat jawa yang kental membuat kekhasan dari habitat itu sendiri. Jadi keunikan karakteristik tiap-tiap habitat tersebut merupakan atraksi wisata dan tantangan yang menarik bagi wisatawan ecocultural tourist.
2). Heritage Heritage disini mencakup ilmu dan keterampilan masyarakat yang telah digunakan untuk bertahan hidup secara turun temurun dengan nilai-nilai dan kepercayaan yang dipercayai memberi makna dan arti bagi hidup mereka. Masyarakat adat yang tinggal di tiga wilayah geografi dunia (daerah kutub-subkutub, gurun dan tropis) pada era berburu dan meramu secara umum memiliki kesamaan karakteristik sebagai berikut: a) Pembatasan populasi dalam satu kelompok dalam jumlah kecil tidak lebih dari 150 orang per kelompok. b) Kelompok-kelompok yang terpisah akan sesekali bertemu terutama pada saat upacara-upacara tertentu dan pertemuan tahunan c) Tiap kelompok cenderung bersifat mandiri/otonom d) Ikatan kelompok tergantung pada bahasa dan diperluas melalui perkawinan dan migrasi.
3). History Dalam terminologi History disini penulis merujuk pada kondisi pasca terjadinya kontak/ relationship antara masyarakat adat dengan
pendatang
yang
menduduki
dan
mendirikan
pemerintahan di tanah masyarakat adat.
4). Handicraft Keahlian masyarakat adat dalam membuat hasil karya (kerajinan tangan) adalah manifestasi dari tuntutan untuk survive dan
inspirasi dari keyakinan/kepercayaan yang dimiliki. Masyarakat adat berkreasi menggunakan material yang melimpah di alam guna
bertahan
menghadapi
tantangan
ganasnya
alam.
Karakteristik habitat tempat tinggal menjadi faktor yang kuat dalam mempengaruhi jenis dan bentuk karya yang dihasilkan. Material dasar yang digunakan masyarakat adat untuk membuat kerajinan tangan tersebut adalah bahan-bahan yang ditemukan disekitar mereka seperti tanah liat, kayu, serat, kulit kayu, akar pohon, kulit binatang, gading, tulang binatang, batu-batuan dan lain-lain. Dengan demikian hasil karya yang dihasilkan oleh masyarakat adat yang tinggal di kutub, di gurun dan di daerah tropis akan berbeda-beda.
6.
Candi Cetho Candi Cetho terletak di Desa Gumeng Kecamatan Jenawi Kabupaten
Karanganyar, candi ini diketemukan pada tahun 1842 oleh Van Der Vlis, A.J. Bernet Kempers juga melakukan penelitian mengenainya yaitu saat Ekskavasi (penggalian) untuk kepentingan rekonstruksi dan penemuan objek terpendam dilakukan pertama kali pada tahun 1928 oleh Dinas Purbakala (Commissie vor Oudheiddienst) Hindia Belanda. Berdasarkan keadaannya ketika reruntuhannya mulai diteliti, candi ini diperkirakan berusia tidak jauh berbeda dari Candi Sukuh yang berjarak sekitar 7 km. candi ini dibangun pada abad ke-15 dan Candi ini berada di tepian hutan pinus pada ketinggian 1470 meter yang menjadikan Candi Cetho objek wisata yang asri, selain karena keasriannya Candi Cetho memiliki keunikan pada bagian bangunan aksitekturnya yang mirip dengan pura yang ada di pulau Bali. Struktur bangunannya bertingkat-tingkat atau berteras yang disetiap bagian terasnya memiliki sifat dan fungsi yang berbeda-beda. Candi Cetho memiliki 13 teras yang tersusun dari barat ke timur dengan pola susunan
makin ke belakang makin tinggi dan dianggap paling suci. Masing-masing halaman teras dihubungkan oleh pintu dan jalan setapak yang terlihat seperti membagi halaman terasnya menjadi dua bagian. Selain itu di sana terdapat juga relief-relief binatang Simbol-simbol hewan yang ada, dapat dibaca sebagai suryasengkala berangka tahun 1373 Saka, atau 1451 era modern dan memunculkan dugaan akan sinkretisme kultur asli Nusantara dengan Hinduisme. Dugaan ini diperkuat oleh aspek ikonografi yaitu bentuk tubuh manusia pada relief-relief menyerupai wayang kulit, dengan wajah tampak samping tetapi tubuh cenderung tampak depan menunjukkan ciri periode sejarah Hindu-Buddha akhir. Kompleks candi juga digunakan oleh penduduk setempat dan juga peziarah yang beragama Hindu sebagai tempat pemujaan. Candi ini juga merupakan tempat pertapaan bagi kalangan penganut kepercayaan asli Jawa/Kejawen. Candi Cetho pernah mengalami pemugaran pada akhir 1970-an yang dilakukan oleh Sudjono Humardani, asisten pribadi Soeharto (Presiden kedua Indonesia) yang dalam pemugarannya banyak mengubah struktur asli candi, meskipun konsep punden berundak tetap dipertahankan. Pemugaran ini mendapat banyak kritikan oleh para pakar arkeologi karena pemugaran situs purbakala tidak dapat dilakukan tanpa studi yang mendalam. Rina Iriani (Bupati Karanganyar 2003-2008) juga menempatkan arca Dewi Saraswati sumbangan dari Kabupaten Gianyar, pada bagian timur kompleks candi, pada punden lebih tinggi daripada bangunan kubus. Pada keadaannya yang sekarang, kompleks Candi Cetho terdiri dari sembilan tingkatan berundak. Sebelum gapura besar berbentuk candi bentar, pengunjung mendapati dua pasang arca penjaga. Aras pertama setelah gapura masuk (yaitu teras ketiga) merupakan halaman candi. Aras kedua masih berupa
halaman. Pada aras ketiga terdapat petilasan Ki Ageng Krincingwesi, leluhur masyarakat Dusun Cetho. Sebelum memasuki aras kelima (teras ketujuh) pada dinding kanan gapura terdapat inskripsi atau tulisan pada batu dengan aksara Jawa Kuna berbahasa Jawa Kuna yang berbunyi “pelling padamel irikang buku tirtasunya hawakira ya hilang saka kalanya wiku goh anaut iku 1397” Tulisan ini di artikan sebagai fungsi candi untuk menyucikan diri dan penyebutan tahun dalam pembuatan gapura, yaitu pada tahun 1397 Saka atau 1475 Masehi. Di teras ketujuh terdapat sebuah tataan batu mendatar di permukaan tanah yang menggambarkan kura-kura raksasa, surya Majapahit dan simbol phallus/lingga (alat kelamin laki-laki) sepanjang 2 meter dilengkapi dengan hiasan tindik bertipe ampallang. lambang kura-kura disini merupakan penciptaan alam semesta sedangkan alat kelamin laki-laki tersebut merupakan simbol penciptaan manusia. pada aras selanjutnya dapat ditemui jajaran batu pada dua dataran bersebelahan yang memuat relief cuplikan kisah Sudamala, Kisah dijadikan dasar upacara ruwatan oleh kalangan mayarakat jawa. Dua aras berikutnya memuat bangunan-bangunan pendapa yang berdiri diantara jalan masuk candi. Sampai saat ini pendapa-pendapa tersebut digunakan sebagai tempat pelangsungan upacara-upacara keagamaan. Pada aras ketujuh dapat ditemui dua arca di sisi utara dan selatan. Di sisi utara merupakan arca Sabdapalon dan di selatan Nayagenggong, dua tokoh setengah mitos (banyak yang menganggap sebetulnya keduanya adalah tokoh yang sama) yang diyakini sebagai abdi dan penasehat spiritual Sang Prabu Brawijaya V. Pada aras kedelapan terdapat arca Phallus (disebut "Kuntobimo") di sisi utara dan arca Sang Prabu Brawijaya V dalam wujud mahadewa. Pemujaan terhadap arca Phallus melambangkan
ungkapan syukur dan pengharapan atas kesuburan yang melimpah atas bumi setempat. Aras terakhir (kesembilan) adalah aras tertinggi sebagai tempat pemanjatan doa. Di sini terdapat bangunan batu berbentuk kubus, di bagian teratas kompleks Candi Ceto terdapat sebuah bangunan yang pada masa lalu digunakan sebagai tempat membersihkan diri sebelum melaksanakan upacara ritual peribadahan (patirtan). Di timur laut bangunan candi, dengan menuruni lereng, ditemukan sebuah kompleks bangunan candi yang kini disebut sebagai Candi Kethek (Candi Kera).
B.
Penelitian Terdahulu 1.
Jurnal Nasional a.
Perencanaan Strategis Pengembangan Objek Wisata Candi Cetho Oleh Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Karangayar Oleh Santi Ulva Nila (2010). Penelitian ini mengenai Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Karanganyar adalah sebagai salah satu organisasi pemerintah di Kabupaten Karanganyar yang mengemban tugas dalam menyelenggarakan urusan pariwisata. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui Perencanaan Strategis yang dilakukan oleh Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Karanganyar dalam pengembangan objek wisata Candi Cetho. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan jenis penelitian deskriptif kualitatif. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan wawancara, observasi, dan dokumentasi. Teknik pengambilan sampel dilakukan dengan purposive sampling. Validitas datanya dilakukan dengan triangulasi data. Adapun analisis datanya dengan menggunakan analisis SWOT. Langkah awal yang dilakukan adalah menganalisis lingkungan internal maupun
eksternal untuk mengetahui kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman dalam pengembangan objek wisata Candi Cetho. Dalam hal ini peneliti menganalisis SWOT. Setelah itu peneliti juga menganalisis isu-isu yang muncul dan melihat isu strategis dari hasil test litmus. Dari hasil tes litmus tersebut ada 1 isu yang sangat strategis yaitu isu untuk meningkatkan kerjasama dengan pihak- pihak terkait. Ada 2 isu yang cukup strategis yaitu isu untuk meningkatkan promosi untuk semakin menjaring banyaknya wisatawan dan isu untuk mengusahakan adanya alokasi dana untuk penanggulangan bencana alam. Ada 3 isu yang kurang strategis yaitu isu untuk menyediakan guide yang profesional dan isu untuk memberikan sosialisai dan pembinaan kepada masyarakat yang sering menggunakan candi, serta program pelestarian Candi Cetho. Dari isu strategis tersebut ada 3 strategi yang digunakan untuk mengatasi isu yang bersifat sangat strategis dengan menggunakan strategi agresif, serta isu yang bersifat cukup strategis dengan menggunakan strategi defensif dan turn-arround. Kesimpulan bahwa dalam perencanaan strategis pengembangan objek wisata Candi Cetho ada beberapa kelemahan yaitu keterbatasan SDM yang profesional, keterbatasan dana yang tersedia dan kurangnya promosi yang optimal. Untuk itu saran penulis untuk mengatasi kelemahan tersebut antara lain: Untuk mengatasi keterbatasan SDM yang profesional maka pemerintah perlu merekrut pegawai-pegawai yang memiliki latar belakang pendidikan kepariwisataan. Untuk mengatasi isu strategis yang berkaitan dengan promosi maka Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Karanganyar hendaknya mengaktifkan website secara optimal dan menjelaskan secara detail tentang daya tarik yang dimiliki oleh Candi Cetho serta program-program dalam pengembangan objek wisata Candi Cetho
b.
Peran Kelompok Sadar Wisata Terhadap Perkembangan Pariwisata Pantai Baron dan Goa Pindul (Studi Komparasi Kelompok Sadar Wisata Pantai Baron dan Dewa Bejo) Oleh Ari Rohman, UIN Sunan Kalijaga, Oleh Arif Rohman (2015). Penelitian ini mengenai Perkembangan pariwisata Kabupaten Gunung Kidul tidak terlepas dari potensi alam yang dimiliki. Potensi alam yang dimiliki Kabupaten Gunung Kidul meliputi potensi Wisata Pantai, Sungai Bawah Tanah, Goa, Gunung Purba, Telaga Dan Gunung Karst. Kelompok sadar wisata sebagai bagian dari kepariwisataan memegang peranan yang penting terhadap perkembangan kawasan wisata dan menjaga kawasan wisata. Peran Kelompok Sadar Wisata Dewa Bejo dan Kelompok Sadar Wisata Pantai Baron sangat penting terhadap berkembangnya obyek wisata Goa Pindul dan Pantai Baron. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui peran kelompok sadar wisata terhadap perkembangan obyek wisata Pantai Baron dan Goa Pindul serta mengetahui faktor-faktor pendorong maupun faktor penghambat. Penelitian ini menggunakan teori fungsional struktural dari Talcott Parsons. Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif dengan pendekatan diskriptif analitik. Metode pengumpulan data dalam penelitian ini melalui wawancara, dokumentasi, serta observasi. Analisis data dalam penelitian ini melakukan tiga langkah yakni reduksi data, penyajian data, dan menarik kesimpulan. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa peran Kelompok Sadar Wisata Dewa Bejo penting bagi perkembangan obyek wisata Goa Pindul. Keberhasilan Peran Kelompok Sadar Wisata Dewa Bejo dapat dilihat dari kegiatan yang ada, yakni menciptakan kawasan Sapta Pesona, pemberdayaan masyarakat, menciptakan lapangan pekerjaan baru, pendapatan yang setiap tahunnya mengalami peningkatan pada
tahun 2010 terdapat 98 pengunjung, tahun 2011 terdapat 5.421 pengunjung, tahun 2012 terdapat 60.203 pengunjung, tahun 2013 terdapat 74.144 pengunjung. Kelompok Sadar Wisata Pantai Baron kurang berperan bagi perkembangan obyek wisata Pantai Baron. Keberhasilan Kelompok Sadar Wisata Pantai Baron yakni terciptanya kawasan pantai yang bersih sejak adanya kegiatan jum‟at bersih. Faktor pendorong Pantai Baron yakni, potensi hasil laut, serta terciptanya peluang pekerjaan. Faktor penghambat Pantai Baron yakni, peran pemerintah yang masih kurang, serta masih terjadi permasalahan dalam pengelolaannya. Faktor pendorong Goa pindul yakni, menciptakan peluang pekerjaan baru bagi masyarakat khususnya Desa Bejiharjo, bantuan PNPM Mandiri, serta penghargaan yang telah dicapai. Faktor yang menghambat berkembangnya obyek wisata Goa Pindul yakni, sertifikasi pemandu wisata.
2.
Jurnal Internasional a.
Journal of Sustainable Tourism Vol. 20, No. 1, January 2012, Community-based cultural tourism Pages 9–22. Pariwisata Budaya Berbasis Masyarakat: masalah, ancaman dan peluang. Oleh Noel B. Salazara (pages 9-22) mengenai penggunaan contoh dari studi lapangan jangka panjang bidang antropologi di Tanzania, karya ini secara kritis menganalisa seberapa baik wacana pariwisata berbasis masyarakat umumnya diterima dan beresonansi dengan kenyataan di lapangan. Hal ini berfokus pada bagaimana pemandu wisata lokal berperan sebagai Duta budaya komunal dan bagaimana masyarakat bereaksi terhadap narasi dan praktik mereka. Perlu perhatian khusus bagi batas waktu metode pembangunan berbasis proyek, kebutuhan akan solusi yang efektif, quality control, pelatihan pemandu wisata dan retensi panduan
wisata jangka panjang. Studi ini didasarkan pada sebuah program yang didanai oleh badan pembangunan Belanda, Stichting Nederlandse Vrijwilligers (SNV), dari tahun 1995 sampai 2001, dan pengalaman pasca program. Temuan mengungkapkan beberapa masalah kompleks kekuasaan dan resistensi yang menggambarkan banyak konflik pariwisata berbasis masyarakat. Pertemuan dengan “yang lainnya” menunjukkan pemusatan dan peran perantara profesional dalam memfasilitasi pengalaman dan hubungan budaya yang sangat penting . Pemandu wisata seringkali hanyalah "penduduk setempat" yang menghabiskan waktu bersama para turis : para turis memiliki peran yang cukup besar dalam proses membangun image masyarakat dan tempat-tempat yang dikunjunginya, juga kembali membentuk Potret tujuan wisata tempat mereka berkunjung. Makalah ini memberikan ide untuk mengatasi isu-isu dan masalah yang dijelaskan.
b.
Tourism in South-East Asia. 1993, Tourism, Culture and The Sociology of Development, pages. 48-70. Pariwisata, budaya dan sosiologi pembangunan oleh Wood., R. E.; Hitchcock, M.; King, V. T.; Parnwell, M. J. G. mengenai eksplorasi apakah proses modernisasi dan pembangunan berarti selalu 'melewati' 'adat' masyarakat Asia, Afrika dan Amerika Latin dan proses homogenisasi budaya global ke arah Barat. Literatur tentang dampak budaya kepariwisataan secara singkat telah mengubah penekanan manfaat , untuk jangka waktu lama dan menekan biaya yang besar, untuk kontemporer menekankan pada bagaimana pariwisata dengan keduanya budaya mau tidak mau membawa manfaat dan kerugian yang untuk tingkat signifikan dapat dikelola melalui kebijakan publik. Sebaliknya, pendapat sentral bab ini
adalah bahwa jenis kerangka biaya-manfaat normatif telah menjadi semakin tidak memadai untuk meringkas dan mengintegrasikan penelitian tentang konsekuensi budaya pariwisata di Asia Tenggara. Bab ini menekankan cara di mana penelitian yang dihasilkan dalam problematika normatif ini telah semakin merusak basis yang problematik normatif itu sendiri.
Bagian
pertama merangkum
pendekatan perubahan budaya yang ditemukan dalam sosiologi pembangunan dan studi pariwisata baru-baru ini. Bagian kedua dari bab ini menganalisis beberapa arah penelitian saat ini yang telah membantu kedua bidang bergerak di luar problematika normatif dan tidak yang menunjukkan arah yang produktif.
C.
Landasan Teori 1.
Teori Struktural Fungsional Talcott Parsons Talcott Parsons adalah seorang sosiolog kontemporer dari Amerika yang
menggunakan pendekatan fungsional dalam melihat masyarakat, baik yang menyangkut fungsi dan prosesnya. Pendekatannya selain diwarnai oleh adanya keteraturan masyarakat yang ada di Amerika juga dipengaruhi oleh pemikiran Auguste Comte, Emile Durkheim, Vilfredo Pareto dan Max Weber. Hal tersebut di ataslah yang menyebabkan Teori Fungsionalisme Talcott Parsons bersifat kompleks. Talcott Parsons mencetuskan teori fungsional tentang perubahan. Dalam teorinya tersebut, Parsons menganalogikan perubahan sosial pada masyarakat seperti halnya pertumbuhan pada mahkluk hidup (Susilo, 2008:107). Komponen utama dari pemikiran Parsons adalah adanya proses diferensiasi. dia berpendapat bahwa setiap masyarakat tersusun dari sekumpulan subsistem yang berbeda berdasarkan strukturnya maupun berdasarkan makna fungsionalnya bagi
masyarakat yang lebih luas. Ketika masyarakat berubah, umumnya masyarakat tersebut akan tumbuh dengan kemampuan yang lebih baik untuk menanggulangi permasalahan hidupnya. Asumsi dasar dari Teori Fungsionalisme Struktural yakni bahwa masyarakat menjadi suatu kesatuan atas dasar kesepakatan dari para anggotanya terhadap nilai-nilai tertentu yang mampu mengatasi perbedaan-perbedaan sehingga masyarakat tersebut dipandang sebagai suatu sistem yang secara fungsional terintegrasi dalam suatu keseimbangan. Dengan demikian masyarakat adalah merupakan kumpulan sistem-sistem sosial yang satu sama lain berhubungan dan saling memiliki ketergantungan. Teori Fungsionalisme Struktural mempunyai latar belakang kelahiran dengan mengasumsikan adanya kesamaan antara kehidupan organisme biologis dengan struktur sosial dan berpandangan tentang adanya keteraturan dan keseimbangan dalam masyarakat. Teori Fungsionalisme Struktural Parsons mengungkapkan suatu keyakinan yang optimis terhadap perubahan dan kelangsungan suatu sistem. ”untuk melihat masyarakat sebagai sebuah firma, yang dengan jelas memiliki batas-batas srukturalnya, seperti yang dilakukan oleh teori baru Parsons, adalah tidak bertentangan dengan pengalaman kolektif, dengan realitas personal kehidupan sehari-hari yang sama-sama kita miliki”. (Gouldner, 1970: 142): Dalam mengkategorikan tindakan atau menggolongkan tipe-tipe peranan dalam sistem sosial, Parsons mengembangkan 5 buah skema yang dilihat sebagai kerangka teoritis utama dalam analisa sistem sosial. 5 buah skema itu adalah (M.Poloma, :173-174):
a. Affective versus Affective Neutrality, maksudnya dalam suatu hubungan sosial, orang dapat bertindak untuk pemuasan Afeksi (kebutuhan emosional) atau bertindak tanpa unsur tersebut (netral). b. Self-orientation versus Collective-orientation, maksudnya, dalam berhubungan, orientasinya hanya pada dirinya sendiri atau mengejar kepentingan pribadi. Sedangkan dalam hubungan yang berorientasi kolektif, kepentingan tersebut didominasi oleh kelompok. c. Universalism versus Particularism, maksudnya, dalam hubungan yang universalistis, para pelaku saling berhubungan menurut kriteria yang dapat diterapkan kepada semua orang. Sedangkan dalam hubungan yang Partikularistis, digunakan ukuran/kriteria tertentu. d. Quality versus Performance, maksudnya variable Quality ini menunjuk pada
Ascribed
Status
(keanggotaan
kelompok
berdasarkan
kelahiran/bawaan lahir). Sedangkan Performance (archievement) yang berarti prestasi yang mana merupakan apa yang telah dicapai seseorang. e. Specificity versus Diffusness, maksudnya dalam hubungan yang spesifik, individu berhubungan dengan individu lain dalam situasi terbatas. Dalam teori struktural fungsional Parsons ini, terdapat empat fungsi untuk semua sistem tindakan. Suatu fungsi merupakan kumpulan dari hal yang ditujukan pada pemenuhan kebutuhan tertentu atau kebutuhan sistem. Secara sederhana, fungsionalisme struktural adalah sebuah teori yang pemahamannya tentang masyarakat didasarkan pada model sistem organik dalam ilmu biologi. Artinya, fungsionalisme melihat masyarakat sebagai sebuah sistem dari beberapa bagian yang saling berhubungan satu dengan lainnya. Satu bagian tidak bisa dipahami terpisah dari keseluruhan.
Dengan demikian, dalam perspektif fungsionalisme ada beberapa persyaratan atau kebutuhan fungsional yang harus dipenuhi agar sebuah sistem sosial bisa bertahan. Parsons kemudian mengembangkan apa yang dikenal sebagai imperatif-imperatif fungsional agar sebuah sistem bisa bertahan. Imperatif-imperatif tersebut adalah Adaptasi, Pencapaian Tujuan, Integrasi, dan Latensi atau yang biasa disingkat AGIL (Adaptation, Goal attainment, Integration, Latency). Adaptasi, sebuah sistem ibarat makhluk hidup, artinya agar dapat terus berlangsung hidup, sistem harus dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan yang ada. harus mampu bertahan ketika situasi eksternal sedang tidak mendukung.
a. Adaptasi (Adaptation) Sebuah sistem ibarat makhluk hidup, artinya agar dapat terus berlangsung hidup, sistem harus dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan yang ada, harus mampu bertahan ketika situasi eksternal sedang tidak mendukung. Dalam kajian penelitian terkait pariwisata ada adabtasi yang harus dimiliki sebagai unsur dari tempat yang bisa disebut sebagai tempat pariwisata yaitu 4H (Habitat, Heritage, History, Handicrafts) selain itu berpegang juga pada ke tujuh unsur Sapta Pesona yaitu bersih, aman, tertib, ramah, indah, sejuk dan kenangan. Ketika adatasi tersebut sudah terpenuhi maka bisa disebut industri pariwisata yang ideal.
b. Pencapaian Tujuan (Goal Attaintment) Sistem harus mendefinisikan dan mencapai tujuan-tujuan utamanya. Artinya,
sistem diharuskan untuk mengerucutkan pemikiran individu
agar dapat membentuk kepribadian individu dalam mencapai tujuan dari sistem itu sendiri . tujuan dari implementasi sendiri ialah membentuk kesadaran masyarakat mengenai pentingnya peran serta masyarakat dalam industri pariwisata dengan kata lain membentuk masyarakat menjadi masyarakat yang sadar wisata sehingga implementasi Sapta Pesona bisa terealisasikan.
c. Integrasi (Integration) Sistem
harus
mengatur
hubungan
bagian-bagian
yang
menjadi
komponennya. Ia pun harus mengatur hubugan antar ketiga imperative fungsional, yakni adaptation, goal, dan latensi. Hubungan system disini ialah masyarakat yang sadar wisata dalam arti masyarakat yang ikut andil dalam
keberlangsungan
kegiatan
kepariwisataan
yang
ikut
mengimplementasikan unsur Sapta Pesona yang berasal dari kebijakan pemerintah sehingga bisa terealisasikan seperti yang diharapkan dan nantinya akan memajukan industri pariwisata itu sendiri dan berakhir dengan kesejahteraan masyarakat.
d. Pemeliharaan Pola (Latensi Maintenance) Sistem harus melengkapi, memelihara, dan memperbarui motivasi individu dan pola-pola budaya yang menciptakan dan mempertahankan motivasi tersebut.
Berdasarkan skema AGIL, didapatkan bahwa klasifikasi fungsi sistem adalah sebagai Pemeliharaan Pola (sebagai alat internal), Integrasi (sebagai hasil internal), Pencapaian Tujuan (sebagai hasil eksternal), Adaptasi (alat eksternal).
D.
Kerangka Berpikir
Kerangka berpikir merupakan model konseptual tentang bagaimana teori berhubungan dengan berbagai faktor yang telah diidentifikasi sebagai hal yang penting jadi dengan demikian maka kerangka berpikir adalah sebuah pemahaman yang melandasi pemahaman-pemahaman yang lainnya, sebuah pemahaman yang paling mendasar dan menjadi pondasi bagi setiap pemikiran atau suatu bentuk proses dari keseluruhan dari penelitian yang akan dilakukan. Disini, peneliti mencoba menghubungan teori AGIL dari Talcott Parsons dengan representasi dari masyarakat menyangkut tujuh unsur dari Sapta Pesona Kerangka berfikir dalam penelitian ini sebagai berikut:
structural fungsional SADAR WISATA
Mewujudkan unsur-unsur Sapta Pesona: 1. Aman 2. Tertib
Indigenous tourism: 1. Habitat 2. Heritage
Masyarakat sebagai pelaku pariwisata
-
Masyarakat sebagai wisatawan
Terwujudnya destinasi pariwisata yang berdaya saing Tumbuhnya iklim usaha kepariwisataan didaerah/ destinasi pariwisata yang dinamis
-Meningkatkan kunjungan wisatawan -Tumbuhnya kegiatan pariwisata sebagai agen/sektor strategis pembangunan daerah -Terbukanya peluang kerja dan pendapatan bagi masyarakat
Terwujudnya BAB III Kesejahteraan Masyarakat