BAB II TINJAUAN PUSTAKA
12
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
Kepemimpinan
2.1.1. Pengertian Kepemimpinan Kepemimpinan adalah kemampuan untuk mempengaruhi, menggerakkan, dan mengarahkan seseorang atau sekelompok orang untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu untuk mencapai tujuan tertentu pada situasi tertentu. Steven L. Mcshane dan Mary Ann Von Glinow dalam bukunya Organizational Behavior (2003 : 416) menyatakan bahwa: “leadership as the process of influencing people and providing an environment for them to achieve team or organizational objectives” DR.Winardi (2000: 47) menerangkan bahwa kepemimpinan itu merupakan suatu kemampuan yang melekat pada diri seorang yang memimpin, yang tergantung dari macam-macam faktor, baik faktor-faktor intern maupun faktorfaktor ekstern . Kepemimpinan seorang manajer akan mampu membedakan karakteristik suatu organisasi dengan organisasi lainnya. Kepemimpinan yang dinamis dan efektif merupakan sumber daya yang paling pokok yang sulit dijumpai. Akan tetapi tidak berarti bahwa seorang manajer tidak mampu menjadi manajer yang berkepemimpinan dinamis dan efektif. Dengan memahami teori kepemimpinan, manajer akan dapat meningkatkan pemahamannya terhadap dirinya sendiri, mengetahui beberapa kelemahan maupun potensi yang ada dalam dirinya, serta akan dapat meningkatkan pemahamannya terhadap bagaimana seharusnya memperlakukan bawahannya.
2.1.2. Kegunaan dan Kepentingan Kepemimpinan Pimpinan
yang
efektif
mampu
mempengaruhi
dan
memberikan
pengarahan kepada semua pekerja agar mereka bertindak sesuai dengan waktu dan secara kooperatif untuk mencapai sasaran kelompok. Keadaan demikian
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
13
sangat membantu situasi dimana terjadi perbedaan kepentingan dalam pencapaian tujuan individu dan tujuan organisasi. Pimpinan sangat diperlukan jika suatu organisasi diharapkan mencapai keberhasilan penuh. Bahkan para pekerja yang terbaik perlu mengetahui bagaimana mereka dapat memberikan sumbangan bagi tujuan organisasi, dan para pekerja yang kurang antusias memerlukan pimpinan yang didasarkan pada motivasi eksternal untuk mempertahankan tujuan-tujuan yang sesuai dengan apa yang menjadi tujuan organisasi.
2.1.3. Corak-corak Kepemimpinan Seorang manajer memilih bentuk atau corak kepemimpinan untuk maksud penggunaannya agar menghasilkan efektifitas sebagai seorang pemimpin. Pilihan yang benar suatu corak kepemimpinan yang menghubungkan secara tepat dengan motivasi eksternal dapat membimbing pada pencapaian keselarasan baik tujuan individu maupun tujuan organisasi. Dengan corak kepemimpinan atau teknikteknik motivasi yang tidak tepat tujuan organisasi terganggu serta para pekerja dapat merasakan ketidakpuasan. Tingkat gaya kepemimpinan dari otokrasi sampai pada demokrasi dan kebebasan berusaha, semuanya memberikan keadaan yang menguntungkan dan merugikan. Pada umumnya manajer menggunakan semua corak ini pada suatu waktu atau lainnya, akan tetapi corak kepemimpinan yang demikian sering tersusun, menggolongkan seorang manajer sebagai seorang otokrat, demokrat, atau pimpinan yang bebas dalam kegiatannya (liberal).
Corak Kepemimpinan yang Otokratis Dalam hal otokrasi serta pengambilan keputusannya dipusatkan pada tangan seorang pemimpin yang otokrat, seperti yang dapat dilihat pada gambar 2.1. pengendalian yang terpusat ini dihasilkan dari penggunaan penghargaan, sanjungan, atau karena takut akan kecaman dan penindakan. Dengan cara ini manajer bebas untuk menempatkan kebijaksanaan dan menyusun, mendefinisikan, atau memodifikasi tugas-tugas sesuai dengan keinginannya.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
14
Pemimpin yang otokratis terdiri atau dipenuhi dengan perintah-perintah yang ditujukan kepada para bawahan. Seorang pemimpin yang otokrasi memerlukan penyesuaian para bawahan, dan mempertimbangkan berbagai keputusan agar menjadi terunggul terhadap mereka para pekerja yang “tidak berpengalaman” dan/atau “tidak memiliki informasi yang jelas” agar dapat menyelesaikan masalah yang dihadapi. Suatu manfaat dari corak memimpin yang otokratis ialah bahwa hal tersebut mengijinkan pengambilan keputusan yang cepat karena hanya manajer yang menentukan penggunaan pendekatan. Tetapi bagi mereka para pekerja yang tidak mengharapkan jaminan yang diberikan corak pemimpin yang otokratis tentunya dapat menimbulkan ketidakberuntungan yang menyebabkan para pekerja mengalami baik ketidakpuasan, ketergantungan pada pemimpin, maupun kepasifan terhadap tujuan organisasi.
Demokrasi atau Corak Partisipatif Demokrasi atau corak partisipatif merupakan corak kepemimpinan yang menjadi terkenal selama era manajemen yang neoklasik. Pendekatannya mengusahakan agar dapat terwujud kerjasama para pekerja dalam mencapai tujuan-tujuan organisasi dengan mengijinkan mereka untuk berperan serta dalam pengambilan keputusan. Terdapat keyakinan bahwa para pekerja akan menunjang suatu keputusan yang menyangkut mereka dalam pencapaian tujuan dan mereka akan meningkatkan produktivitasnya secara konsekuen. Pendekatan ini tidak membebaskan pemimpin dalam hal tanggung jawab, pengambilan keputusan atau kekuasaan
untuk
mengatasi
para
bawahan.
Tetapi
pendekatan
ini
mengharuskannya untuk mengakui kecakapan para bawahan dalam mengajukan usul dan ketegasan yang didasarkan pada latihan dan pengalaman mereka. Komunikasi menjadi penting, dan gagasan dipertukarkan diantara pekerja dengan sebaik mungkin seperti pula diantara pekerja dan pimpinannya. Pengikutsertaan dalam pengambilan keputusan dapat membimbing pula perbaikan hubungan pemimpin dan para pekerja, mental atau moral yang tinggi dan kepuasan kerja, serta mengurangi ketergantungan pada pemimpin. Meskipun
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
15
demikian, kadang-kadang pendekatan tersebut menjadikan kurang berhubungan dengan produktivitas dan lemahnya keputusan sehubungan dengan maksud untuk menyenangkan setiap orang, dan pendekatan ini dapat memakan waktu.
Corak Kebebasan Usaha Corak kebebasan usaha atau corak kepemimpinan yang mempunyai kekuasaan penuh (liberalistis) tidak tergantung pada pimpinan untuk memberikan motivasi eksternal seperti yang berlaku pada corak-corak otokrasi dan demokrasi. Para pekerja mendorong diri mereka sendiri yang didasarkan pada kepentingan mereka, kehendak dan hasratnya. Mereka memberikan suatu tujuan dan pada umumnya terletak pada usaha pencapaian oleh mereka sendiri, dengan menggunakan kecakapan mereka. Prinsip pemimpin terutama menganggap peranan sebagai suatu anggota kelompok. Pendekatan ini mempunyai manfaat untuk menambah kebebasan para pekerja dan menyatakan serta memperkuat fungsinya sebagai suatu anggota kelompok. Kekurangan dari pendekatan ini yaitu bahwa jika tidak terdapat pemimpin yang kuat maka kelompok tersebut akan tidak memiliki petunjuk atau pengendalian. Keadaan tersebut akan mengakibatkan para pekerja menjadi frustasi dan mengakibatkan kekacauan dalam organisasi.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
16
Gambar 2.1 TIGA MACAM GAYA KEPEMIMPINAN
OTORITER 1.
Semua determinasi“policy”dilaku kan oleh pemimpin.
DEMOKRATIS 1.
Semua”policies”merupakan bahan pembahasan kelompok dan keputusan kelompokyang dirangsang dan dibantu oleh pemimpin. Perspektif aktivitas dicapai selama diskusi berlangsung. Dilukiskan langkah-langkah umum ke arah tujuan kelompok dan apabila diperlukan nasihat teknis, maka pemimpin menyarankan dua atau lebih banyak prosedur-prosedur alternatif yang dapat dipilih. Para anggota bebas untuk bekerja dengan siapa yang mereka kehendaki dan pembagian tugas terserah pada kelompok.
1.
Kebebasan lengkap untuk keputusan kelompok atau individual dengan minimum partisipasi pemimpin.
2.
4. Pemimpin bersifat objektif dalam pujian dan kritiknya dan ia berusaha untuk menjadi anggota kelompok secara mental, tanpa terlampau banyak melakukan pekerjaan tersebut.
4.
Macam-macam bahan disediakan oleh pemimpin, yang dengan jelas mengatakan bahwa ia akan menyediakan keterangan apabila ada permintaan. Ia tidak turut mengambil bagian dalam diskusi kelompok. Pemimpin tidak berpartisipasi sama sekali. Komentar spontan yang tidak frekuen atas aktivitas-aktivitas anggota dan ia tidak berusaha sama sekali untuk menilai atau mengatur kejadiankejadian.
2. 2. Teknik-teknik dan langkahlangkah aktivitas ditentukan oleh pejabat satu –persatu, hingga langkah-langkah mendatang senantiasa tak pasti. 3.
3.
4.
Pemimpin biasanya mendikte tugas pekerjaan khusus dan teman sekerja setiap anggota. “Dominator” cenderung bersikap pribadi dalam pujian dan kritik pekerjaan setiap anggota; ia tidak turut serta dalam partisipasi kelompok secara aktif kecuali apabila ia memberikan demonstrasi
LAISSEZ-FAIRE
3.
Sumber Ralph While & Ronald Lippett, Autocracy and Democracy, Harper & Row, New York 1960, 26-27. (Dikutip dari DR. Winardi, S.E., Kepemimpinan dalam Manajemen, Rineka Cipta, Jakarta, 2000, 79).
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
17
2.1.4. Pendekatan Teori Kepemimpinan Dengan menguasai teori-teori kepemimpinan, manajer akan dapat menentukan gaya kepemimpinannya secara tepat sesuai tuntutan sikap bawahannya. Dengan demikian seorang manajer yang ingin meningkatkan kemampuan dan kecakapannya dalam memimpin, perlu mengetahui ruang lingkup gaya kepemimpinan yang efektif. Para ahli di bidang kepemimpinan telah meneliti dan mengembangkan gaya kepemimpinan yang berbeda-beda sesuai dengan evolusi teori kepemimpinan. Evolusi tersebut pendekatannya dapat dikelompokkan dalam tiga pendekatan dasar, masing-masing pendekatan disebut model. Hellriegel
dan
Slocum
menyatakan,
pendekatan
dasar
terhadap
kepemimpinan dapat dikelompokkan ke dalam tiga model, meliputi: (1) model sifat (traits model); model perilaku (behavioral model) yang memusatkan pada tindakan pemimpin; dan model kontingensi (contingency model) yang menilai hubungan antara karakteristik dari situasi yang ada dengan perilaku yang dimiliki seorang pemimpin. Uraian dari masing-masing model tersebut dapat dijelaskan seperti uraian berikut ini: 1.
Model sifat (traits model) Pendekatan dengan model sifat didasari asumsi bahwa kondisi fisik, dan
karakteristik personal tertentu adalah penting bagi kesuksesan pemimpin. Hal-hal tersebut akan menjadi faktor penentu yang membedakan antara seorang pemimpin dengan yang bukan pemimpin. Empat macam kelebihan sifat-sifat yang perlu dimiliki oleh pemimpin meliputi: 1. inteligensi 2. kematangan dan keluasan pandangan sosial 3. motivasi dari dalam individu untuk berprestasi 4. mempunyai kemampuan untuk mengadakan hubungan antar manusia
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.
18
Model Perilaku (behavioral Model) Pendekatan dengan model perilaku mambahas suatu cara untuk
mengidentifikasi pemimpin yang efektif melalui profil perilaku pemimpin, kualitas-kualitas pribadi ataupun pola-pola kelakuan para pemimpin. Pendekatan ini melakukan apa yang dilakukan oleh pemimpin dalam hal memimpin. Model perilaku antara lain: a.
Teori Mc. Gregor Menurut teori X, pemimpin percaya bahwa bawahannya termotivasi semata-mata karena uang, tidak mau bekerja sama, dan mempunyai kebiasaan bekerja yang buruk, sehingga pemimpin harus menggunakan gaya kepemimpinan yang direktif. Sebaliknya, menurut teori Y, pemimpin percaya bahwa bawahannya tidak sekedar termotivasi oleh uang, mau bekerja sama dan sebagai pekerja yang baik, oleh karenanya dalam kondisi seperti ini pemimpin akan menggunakan gaya kepemimpinan partisipatif.
b.
Teori Z Teori Z dikembangkan pada tahun 1979 di Jepang oleh William Ouchi. Pada prinsipnya teori ini meliputi hal-hal sebagai berikut: 1) Adanya komitmen terhadap pegawai seumur hidup 2) Penilaian dan promosi yang lambat 3) Pengambilan keputusan atas dasar kosensus 4) Tanggung jawab secara kolektif 5) Kontrol secara implisit dan bersifat informal 6) Perhatian sepenuhnya kepada pegawai
c.
Model OHIO State University Model
OHIO
State
University
mengidentifikasikan
dua
gaya
kepemimpinan yakni: (1) gaya penuh perhatian, dengan mengekspresikan apresiasi ketika bawahannya melaksanakan pekerjaan dengan baik, membantu problem personil yang dihadapi dan menaruh rasa hormat terhadap bawahannya; (2) gaya memprakasai suatu struktur, seperti:
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
19
menugasi bawahan dengan tugas-tugas tertentu, menetapkan standar prestasi kerja, menginformasikan kepada bawahan suatu pekerjaan yang dibutuhkan, mengatur pekerjaan yang harus dikerjakan oleh bawahan, dan menganjurkan penggunaan prosedur-prosedur tertentu. d.
Model Geradi Manajerial (Managerial Grid) Model Geradi Manajerial Blake dan Mouton mengidentifikasi variasi gaya dari kombinasi antara orientasi hasil dengan orientasi pada orang yang menghasilkan lima macam gaya, meliputi: (1) gaya yang kurang efektif yang ditandai dengan rendahnya hubungan dengan orang dan hasil, (2) gaya moderat yang ditandai dengan memperhatikan keseimbangan terhadap orientasi hubungan dengan orang dan hasil kerja pada tingkat yang cukup memuaskan, (3) gaya yang menekankan kepuasan pegawai dengan mengorbankan penyelesaian tugas, (4) gaya yang menekankan hasil kerja dengan mengorbankan orientasi pada hubungan orang, dan (5) gaya yang berorientasi tinggi terhadap pencapaian hasil kerja dan gaya yang tinggi terhadap hubungan sesama orang.
e.
Profil Perilaku Pemimpin Menurut G. Yulk Gary Yulk telah mengembangkan profil perilaku pemimpin dan kategori perilaku pemimpin yang dapat terukur dan penuh arti yang akan dapat membantu diri pemimpin untuk mengetahui aspek-aspek kepemimpinan yang harus dimiliki dan perlu dikembangkan. Kategori tersebut meliputi: 1)
Perhatian terhadap prestasi
2)
Tenggang rasa
3)
Inspirasi
4)
Penghargaan berupa pengakuan
5)
Merancang kemungkinan-kemungkinan penghargaan
6)
Partisipasi keputusan
7)
Pendelegasian otonomi
8)
Penjelasan peranan
9)
Penetapan tujuan
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
3.
10)
Pelatihan
11)
Penyebaran informasi
12)
Pemecahan masalah
13)
Perencanaan
14)
Pengkoordinasian
15)
Fasilitas kerja
16)
Fasilitas interaksi
17)
Pengelolaan konflik
18)
Kedisiplinan
20
Model Kontingensi (contingency Model) Antara seorang pemimpin dengan pemimpin lainnya mempunyai
perbedaan peradaban, pengalaman, latar belakang pendidikan, kondisi jenis pekerjaan dan lingkungan kerja serta perbedaan situasi. Sebagai pemimpin yang tugas utamanya adalah mengambil keputusan, dalam setiap pengambilan keputusan pun dipengaruhi oleh situasi. Model kontingensi memfokuskan pentingnya situasi dalam menetapkan gaya kepemimpinan yang sesuai dengan setiap masalah yang dihadapi. Salah satu teori yang menekankan peran situasi dan pengaruhnya terhadap gaya kepemimpinan adalah teori kontingensi Fiedler. Menurut teori tersebut kepemimpinan yang berhasil bergantung pada penerapan gaya seorang pemimpin terhadap tuntutan situasi. Dengan demikian, suatu gaya kepemimpinan akan terasa paling efektif kalau gaya tersebut digunakan pada situasi yang tepat. Bagi seorang pemimpin dalam menghadapi suatu situasi yang menuntut aplikasi gaya kepemimpinannya, dalam proses adaptasi terhadap situasi dapat menempuh suatu proses: (1) memahami gaya kepemimpinannya, (2) mendiagnosa suatu situasi, dan (3) menerapkan gaya kepemimpinan yang relevan dengan tuntutan situasi atau dengan mengubah situasi agar sesuai dengan gaya kepemimpinannya. 1)
Gaya kepemimpinan
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
21
Fiedler mengelompokkan gaya seorang pemimpin ke dalam gaya kepemimpinan yang berorientasi pada orang (hubungan) dan yang berorientasi pada tugas. Pemimpin yang berorientasi pada hubungan (orang) akan mendapatkan kepuasan apabila terjadi hubungan yang mapan di antara sesama anggota kelompok dalam suatu pekerjaan. Pemimpin tersebut menekankan pandangan hubungan pemimpin dengan bawahan sebagai “teman sekerja” serta menekankan pentingnya perasaan positif yang kuat terhadap bawahannya. Sebaliknya pemimpin yang berorientasi pada tugas memandang bahwa dirinya akan merasa puas bila mampu menyelesaikan tugas-tugas yang ada padanya, tuntutan terhadap bawahannya berupa tugas-tugas yang harus selesai dikerjakan. Pemimpin dengan gaya ini tidak memprioritaskan hubungan yang harmonis terhadap bawahannya, tetapi lebih berorientasi pada pandangan bahwa penyelesaian pelaksanaan tugas menjadi prioritas utama. Pemimpin dengan gaya ini mengabaikan aspek-espek hubungan antar manusia dalam pekerjaannya, dan bahkan tidak menghiraukan perasaan bawahan terhadap gaya kepemimpinan yang diterapkannya. Pemimpin yang berorientasi pada tugas dikenal sebagai pegawai yang menyukai kerja keras (hard Working) dan pemimpin yang berorientasi pada hubungan dikenal sebagai pegawai yang menekankan rasa percaya penuh (trust worthing). 2)
Faktor-faktor situasional Fiedler mengidentifikasi faktor-faktor yang ada dalam situasi kerja yang dapat membantu pemimpin dalam menetapkan gaya kepemimpinannya secara efektif. Faktor-faktor tersebut meliputi: a) Hubungan anggota dengan pemimpin (leader-member relations) b) Struktur tugas (task structur) c) Kuasa dalam posisinya sebagai pemimpin (leader position power). Hubungan anggota dengan pemimpin mengidentifikasikan sampai sejauh mana seorang pemimpin dapat diterima atau ditolak oleh anggota dalam kelompok yang dipimpinnya. Kondisi tersebut mempunyai
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
22
pengaruh yang amat penting bagi efektivitas kepemimpinannya. Pemimpin yang disukai dan keberadaannnya dapat diterima oleh kelompok yang dipimpinnya akan mampu menggerakkan bawahan meningkatkan produktivitas kerja. Kondisi tersebut dapat diciptakan melalui fleksibilitas penggunaan otoritas formal yang ada pada pimpinan tersebut. Sebaliknya pemimpin yang tidak disukai dan tidak diterima keberadaannya dalam kelompok, kepemimpinannya akan mempunyai efektivitas yang lemah dan kurang mampu merangsang suasana kerja yang produktif. Struktur tugas merupakan ruang lingkup dari tugas yang terentang dari tugas-tugas rutin sampai yang insidental. Terhadap tugas-tugas yang rutin dan sederhana yang telah mempunyai standar yang jelas tentang bagaimana melaksanakannya, pemimpin tidak perlu bercampur tangan terhadap aktivitas bawahannya dalam melaksanakan tugas-tugas tersebut. Sebaliknya terhadap tugas-tugas yang rumit dan bukan tugas rutin, pemimpin perlu berpartisipasi aktif dengan bawahannya dalam hal bagaimana mencari alternatif-alternatif pemecahan dan mencari metodemetode yang dapat digunakan untuk menyelesaikan tugas tersebut. Dalam kondisi yang mungkin berlawanan dengan ide-ide pemimpin, oleh karena itu pemimpin perlu menyesuaikan situasi berupa ada kesediaan dalam dirinya untuk menerima perbedaan yang terjadi antara dirinya dengan bawahannya demi terlaksananya penyelesaian tugas. Kuasa dalam posisinya sebagai pemimpin, merupakan tingkatan sampai sejauh mana legitimasi yang dimiliki pemimpin yang berkaitan dengan kedudukannya dalam struktur kekuasaan, maupun sampai sejauh mana wewenang yang ada dalam hal pemberian penghargaan terhadap bawahannya. Pemimpin yang mempunyai kuasa dalam posisi yang lebih tinggi mempunyai kemampuan mempengaruhi bawahan yang lebih besar dibanding pemimpin yang posisi kuasanya lebih rendah. 3)
Kombinasi antara gaya kepemimpinan dengan situasi
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
23
Tiga faktor situasional seperti yang telah dikemukakan tersebut akan menjadi aspek yang penting untuk menentukan gaya kepemimpinan yang efektif
bagi
seorang
pemimpin.
Seorang
pemimpin
yang
akan
menggunakan gaya kepemimpinannya terlebih dahulu mendeteksi sampai sejauh mana kelompok yang dipimpinnya menerima atau menolak keberadaannya, sejauh mana tingkat kerumitan/kesederhanaan dan tingkat rutinitas/insidental tugas-tugas yang ada, serta sampai sejauh mana tingkatan posisi yang dimilikinya.
2.1.5. Gaya Kepemimpinan Di dalam melaksanakan fungsi kepemimpinan ini, maka akan terbentuk gaya kepemimpinan sebagai hasil penerapan dari pimpinan. Ada anggapan bahwa tidak satu pun gaya kepemimpinan yang dianggap paling efektif untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan, hal ini disebabkan karena gaya kepemimpinan akan berbeda sesuai kondisi dan situasi yang dihadapi. Untuk lebih memahami gaya kepemimpinan maka akan dikemukakan beberapa pengertian gaya kepemimpinan menurut beberapa ahli: A.Dale Timpe, 1999 (Alih bahasa oleh Susanto Boedidharmo), mengatakan: “Gaya kepemimpinan merupakan kumpulan ciri yang digunakan pemimpin
untuk
mempengaruhi
bawahan
supaya
sasaran
organisasional dapat dicapai.” Azis Yasin (2001:57): “Gaya kepemimpinan adalah cara pemimpin untuk mempengaruhi bawahannya.” Sedangkan menurut Miftah Thoha (2003: 303): “Gaya kepemimpinan merupakan norma perilaku yang digunakan oleh seorang pada saat orang tersebut mencoba mempengaruhi perilaku orang lain seperti yang ia lihat.” Dari ketiga pendapat diatas tampak bahwa gaya kepemimpinan menyangkut pengaruh pada orang lain dalam suatu kelompok guna mencapai tujuan yang diinginkan pemimpin melalui gayanya.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
24
Gaya kepemimpinan yang dipilih dalam penelitian ini adalah gaya kepemimpinan menurut Fiedler, ia membagi gaya kepemimpinan ke dalam dua tipe gaya kepemimpinan yaitu gaya kepemimpinan berorientasi pada hubungan dan gaya kepemimpinan berorientasi pada tugas. Pemimpin yang berorientasi pada hubungan (orang) akan mendapatkan kepuasan apabila terjadi hubungan yang mapan di antara sesama anggota kelompok dalam suatu pekerjaan. Pemimpin tersebut memberikan pandangan hubungan pemimpin tersebut sebagai “teman sekerja” serta menekankan pentingnya partisipasi positif yang kuat terhadap bawahannya. Menurut gaya ini, pemimpin akan aktif dalam melaksanakan tugas-tugasnya untuk menjalin hubungan dengan baik terhadap bawahannya. Sebaliknya pemimpin yang berorientasi pada tugas memandang bahwa dirinya akan merasa puas bila mampu menyelesaikan tugas-tugas yang ada padanya, tuntutan terhadap bawahannya berupa tugas-tugas yang harus selesai dikerjakan. Pemimpin dengan gaya ini tidak memprioritaskan hubungan yang harmonis terhadap bawahannya, tetapi lebih berorientasi pada pandangan bahwa penyelesaian pelaksanaan tugas menjadi prioritas utama. Pemimpin dengan gaya ini mengabaikan aspek-aspek hubungan antar manusia (human relationship) dalam pekerjaannya, dan bahkan tidak menghiraukan perasaan bawahan terhadap gaya kepemimpinan yang diterapkannya. Pemimpin yang berorientasi pada tugas dikenal sebagai pegawai yang menyukai kerja keras (hard working) dan pemimpin yang berorientasi pada hubungan dikenal sebagai pegawai yang menekankan rasa percaya penuh (trust worthing).
2.2.
Sistem Penganggaran
2.2.1. Pengertian Anggaran dan Penganggaran Anggaran merupakan suatu rencana kerja yang dinyatakan secara kuantitatif yang diukur dalam satuan moneter standar dan satuan ukuran yang lain, yang mencakup jangka waktu satu tahun (Mulyadi, 2001), anggaran merupakan rencana tertulis mengenai kegiatan suatu organisasi yang dinyatakan secara
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
25
kuantitatif dan umumnya dinyatakan dalam satuan uang untuk jangka waktu tertentu (M.Nafarin, 2000). Anggaran adalah suatu pendekatan formal dan sistematis daripada pelaksanaan tanggung jawab manajemen di dalam perencanaan, koordinasi dan pengawasan (Gunawan dan Marwan, 2003). Hansen dan Mowen (2000: 267) menyatakan: “Budgets are the quantitative expressions of the plans, stated in either physical or financial terms or both.” Anggaran yang disusun mempunyai dua fungsi atau peranan, yaitu: 1. Anggaran sebagai alat perencanaan, yaitu anggaran berisi tentang ringkasan rencana-rencana keuangan organisasi di masa mendatang. 2. Anggaran sebagai kriteria kinerja yang harus dihasilkan, yaitu anggaran dipakai sebagai suatu sistem pengendalian untuk mengukur kinerja manajerial. Mulyadi (2001) menjelaskan bahwa penyusunan anggaran merupakan proses pembuatan rencana kerja untuk jangka waktu satu tahun, yang dinyatakan dalam satuan moneter dan satuan kuantitatif yang lain. Penganggaran menunjukkan suatu proses, sejak dari tahap persiapan yang diperlukan sebelum dimulainya penyusunan rencana, pengumpulan data dan informasi yang perlu, pembagian tugas perencanaan, penyusunan rencananya sendiri, implementasi dari rencana tersebut, sampai pada akhirnya tahap pengawasan dan evaluasi dari hasil melaksanakan rencana itu (Gunawan dan Marwan, 2003).
2.2.2. Definisi Penganggaran Partisipatif Kesempatan berpartisipasi dalam membuat anggaran, dianggap oleh banyak orang dan organisasi sebagai perwujudan kebutuhan aktualisasi diri pada anggaran organisasi. Partisipasi merupakan proses pengambilan keputusan yang melibatkan dua pihak atau lebih, dimana keputusan tersebut mempunyai dampak masa depan bagi para pembuat keputusan tersebut. Dalam proses perencanaan, partisipasi dapat
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
26
diwujudkan dalam keterlibatan para manajer tingkat menengah dan bawah dalam penetapan keputusan tujuan operasional dan penetapan prestasi. Keterlibatan ini bentuknya bervariasi, mulai dari partisipasi dengan hanya menghadiri pertemuan anggaran, sampai dengan partisipasi dalam pembicaraan mengenai jumlah kuota penjualan yang rasional dan target produksi, dan sampai dengan partisipasi dalam membicarakan penetapan tujuan individu. Ruang lingkup dan seberapa besar partisipasi dalam penetapan tujuan tergantung kepada gaya kepemimpinan organisasi, struktur organisasi, waktu yang dibutuhkan, kemampuan kerja, dan jenis bantuan yang bisa diberikan. Karenanya organisasi harus memutuskan apakah akan mengikut sertakan manajer tingkat menengah, manajer tingkat bawah, supervisor, mandor, pekerja pabrik, atau pekerja organisasi dalam proses penyusunan anggaran. Kemudian, organisasi harus menentukan siapakah diantara mereka yang akan diikutsertakan dalam aktivitas-aktivitas anggaran. Akhirnya, manajemen puncak harus memutuskan kapan harus ikut campur untuk menyelesaikan perbedaan, kapan mendorong pembicaraan yang terhenti, atau penentuan batas waktu keputusan harus dibuat oleh para partisipan anggaran. 2.2.3. Keunggulan Penganggaran Partisipatif Keunggulan dari penerapan penganggaran partisipatif di dalam suatu organisasi diantaranya adalah: 1.
Penganggaran partipsipatif memberikan kesempatan kepada manajermanajer bawahan untuk ikut serta menentukan bagaimana anggaran yang akan disusun.
2.
Penganggaran partisipatif memberikan rasa tanggung jawab kepada setiap pihak yang ikut terlibat dalam proses penyusunannya untuk mencapai anggaran yang telah ditetapkan.
3.
Penganggaran partisipatif dapat mendorong kreatifitas para manajer khususnya manajer tingkat bawah dalam melaksanakan tugas-tugasnya, karena manajer tingkat bawah ikut serta dalam menyusun anggaran sehingga tujuan yang ingin dicapai dalam anggaran seolah-olah menjadi tujuan individu dari manajer-manajer yang bersangkutan.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
4.
27
Penganggaran partisipatif dapat mendorong tercapainya prestasi dan kinerja yang lebih tinggi.
5.
Penganggaran partisipatif dapat melibatkan pihak-pihak yang memiliki pengetahuan yang lebih baik mengenai kondisi dan kapasitas lokal dari pusat pertanggungjawaban yang bisa membantu proses perencanaan secara keseluruhan.
2.2.4. Kelemahan Penganggaran Partisipatif Hanson dan Mowen (2000: 289) dalam bukunya menyatakan: “Participative budgeting has three potential problems that should be mentioned: 1. Setting standards that are either too high or too low 2. Building slack into the budget (often referred to as padding the budget) 3. Pseudoparticipation” Tujuan yang ingin diwujudkan melalui penganggaran partisipatif cenderung menjadi tujuan individu dari manajer yang bersangkutan, kesalahan yang terjadi dalam penyusunan anggaran bisa menurunkan tingkat prestasi dan kinerja. Jika target yang ditetapkan terlalu mudah untuk diwujudkan, manajer mungkin akan kehilangan semangat dan prestasi yang dicapai menurun. Tantangan sebenarnya sangat penting untuk meningkatkan kreatifitas dan semangat kerja. Sebaliknya, apabila target yang ditetapkan terlalu tinggi, manajer yang bersangkutan sulit mencapainya. Hal ini juga bisa menurunkan tingkat kinerja dan prestasi dari manajer tersebut. Slack anggaran adalah suatu kesengajaan yang dilakukan oleh manajer bawahan dalam penganggaran partisipatif dengan memberikan usulan dan estimasi anggaran yang tidak sesuai dengan kapasitas dan kemampuan yang dimiliki ataupun tidak sesuai dengan sumber daya yang sebenarnya dibutuhkan, sehingga anggaran menjadi lebih mudah untuk diwujudkan. Slack anggaran ini dilakukan oleh manajer bawahan dengan cara merendahkan pendapatan yang bisa dicapai dan meninggikan jumlah biaya yang dibutuhkan. Akibat dari terjadinya slack anggaran ini bisa sangat tidak menguntungkan bagi perusahaan, yaitu motivasi yang dimiliki oleh manajer pelaksana anggaran sangat minim atau
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
28
bahkan tidak ada sama sekali. Mereka akan menghasilkan produktivitas yang rendah dibawah tingkat optimalnya. Pseudoparticipation atau partisipasi semu terjadi apabila manajemen puncak melakukan pengendalian total atas proses penganggaran yang dilakukan dan secara simultan mencoba memberlakukan partisipasi yang dangkal dari manajemen tingkat rendah. Dalam proses ini, partisipasi tidak lain hanya pengesahan anggaran belaka. Manajemen puncak secara mudah mendapatkan persetujuan formal atas anggaran yang disusun dari para manajer bawahannya, tetapi tidak mencari input yang sebenarnya atas bagaimana seharusnya anggaran dibuat.
2.3.
Keterkaitan
antara
Gaya
Kepemimpinan
dan
Penganggaran
Partisipatif Gaya kepemimpinan merupakan faktor terpenting dalam budaya organisasi (Gibson dkk: 1996). Hal ini disebabkan karena perilaku manajer akan berpengaruh kuat untuk merubah atau tetap mempertahankan budaya yang ada dalam organisasi tersebut. Gaya kepemimpinan demikian ini, terutama dalam aktifitas penyusunan anggaran yang menerapkan partisipasi diduga akan berpengaruh pada setiap fungsi yang dilakukan manajer. Gaya kepemimpinan juga mempengaruhi lingkungan perencanaan organisasi (Arfan Ikhsan dan M. Ishak, 2005). Teori X dari McGregor menjelaskan gaya kepemimpinan yang otoriter dan dikendalikan secara ketat, di mana kebutuhan akan efisiensi dan pengendalian mengharuskan pendekatan manajerial tersebut untuk berurusan dengan bawahannya. Untuk memantau kinerja bawahan,
para pemimpin
ini
menugaskan
staf
mereka
untuk
mengumpulkan informasi yang memungkinkan dilakukannya pengawasan secara tidak langsung. Diterapkan pada fungsi perencanaan, Teori X mengimplikasikan bahwa anggaran akan disusun oleh manajemen puncak (kontroler atau direktur perencanaan) dan dikenakan pada manajemen tingkat bawah. Dengan demikian, dalam
gaya
kepemimpinan
otoriter,
anggaran
dipandang
sebagai
alat
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
29
pengendalian manajemen yang didesain untuk memastikan kepatuhan karyawan terhadap harapan dari manajemen puncak. Dalam fase tindak lanjut, varians anggaran akan diinvestigasi oleh kontroler atau direktur perencanaan dan bukannya ditangani sebagai fungsi lini. Hal ini memungkinkan manajemen untuk mempertahankan tanggung jawab atas pengendalian biaya. Gaya kepemimpinan otoriter secara nyata memfasilitasi koordinasi dan pengendalian atas aktivitas, khususnya ketika tanggung jawab atas tugas tersebut tidak jelas. Gaya kepemimpinan ini terutama efisien dalam kasus perbedaan bahasa atau budaya. Tetapi gaya kepemimpinan ini tidak mendorong partisipasi dan dapat menimbulkan tekanan anggaran yang berlebihan, kegelisahan, dan rusaknya motivasi. Sebaliknya, Teori Y dari McGregor dan gaya kepemimpinan demokratis Likert mendorong tingkat keterlibatan dan partisipasi karyawan dalam penentuan tujuan
dan
pengambilan
keputusan.
Gaya
kepemimpinan
demokratis
memungkinkan fleksibilitas dalam proses penyusunan anggaran dan memberikan peluang kepada karyawan untuk terlibat dalam perancangan arah organisasi, mengekspresikan ide-ide mereka tentang bagaimana perusahaan sebaiknya beroperasi, dan memanfaatkan bakat mereka secara efektif. Pendekatan kepemimpinan yang dipakai dalam penelitian ini adalah kepemimpinan yang berdasarkan model kontingensi. Model ini dipilih karena model ini tidak hanya menilai kepemimpinan seseorang pemimpin hanya dari perilaku yang dimiliki oleh seorang pemimpin saja namun juga dikaitkan dengan karakteristik dari situasi yang ada. Partisipasi penganggaran menggambarkan keterlibatan pimpinan dalam menyusun anggaran tersebut pada pusat pertanggungjawaban manajer yang bersangkutan (Siegel and Marconi, 1989). Kedalaman, lingkup, dan bobot dari partisipasi anggaran dalam penetapan tujuan bergantung pada gaya kepemimpinan, struktur organisasi, kecepatan pembuatan keputusan, keahlian pekerjanya, dan jenis kontribusi yang dapat mereka berikan (Siegel and Marconi, 1989: Arfan Ikhsan dan M. Ishak, 2005). Dengan demikian, organisasi harus memutuskan apakah akan melibatkan manajer
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
30
tingkat menengah, manajer tingkat bawah, penyelia, mandor, pekerja pabrik, atau pekerja kantor dalam proses penyusunan anggaran. Kemudian keputusan harus dibuat mengenai aktivitas anggaran di mana anggota-anggota organisasi ini akan berpartisipasi. Pada akhirnya, manajemen puncak harus memutuskan apakah akan melakukan intervensi untuk menyelesaikan pertikaian, untuk mendorong diskusi anggaran yang stagnan, atau untuk mengumumkan bahwa waktunya sudah habis dan suatu keputusan harus dibuat oleh partisipan anggaran. Dalam pengertian yang lebih luas, partisipasi merupakan inti dari proses demokratis dan oleh karena itu tidaklah alamiah jika diterapkan dalam struktur organisasi yang otoriter. Dengan demikian, dalam organisasi besar dan birokratis yang dikelola secara sentral, partisipasi dalam menentukan tujuan dan menetapkan sasaran akan berdasarkan definisi terbatas pada sekelompok eksekutif puncak. Manajemen puncak akan menyusun anggaran dan meneruskannya ke bawah hierarki sebagai sekelompok perintah yang harus dipatuhi. Anggaran akan digunakan baik sebagai mekanisme untuk menginformasikan manajer tingkat bawah mengenai apa yang ingin dicapai oleh manajemen puncak maupun sebagai alat untuk mengendalikan pengeluaran uang dan memotivasi kinerja yang optimum. Perusahaan dengan gaya kepemimpinan yang demokratis dan/atau organisasi yang terdesentralisasi memungkinkan partisipasi manajemen yang lebih besar dalam keputusan penetapan anggaran. Banyak dari perusahaan ini mendorong baik manajer tingkat bawah maupun karyawan untuk memberikan kontribusi kepada proses perencanaan. Salah satu alasannya adalah bahwa orang bereaksi secara berbeda terhadap kemungkinan untuk berperan dalam menetapkan standar kinerja mereka sendiri. Karyawan yang otoriter dan/atau sangat bergantung dapat merasa terancam oleh kemungkinan untuk menjadi bagian dari proses pengambilan keputusan. Mereka akan merasa lebih nyaman jika mereka menerima instruksi yang jelas dan tegas mengenai batas pengeluaran dan standar kinerja. Di lain pihak, orang dengan independensi yang kuat dan kebutuhan akan harga diri akan maju ketika diperbolehkan untuk berpartisipasi dalam memformulasikan sasaran kinerja mereka sendiri.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
31
Suatu anggaran tidak akan efektif bila anggaran tersebut tidak dapat mengakomodasi
semua
kepentingan
peleksanaannya.
Untuk
itu
departemen
penganggaran
yang
partisipasi
terlibat
dalam
digunakan
untuk
menumbuhkan sense of belonging setiap pelaksana anggaran. Proses tersebut dimungkinkan dengan adanya gaya kepemimpinan yang lebih berorientasi pada hubungan antar manusia dalam perusahaan daripada sekedar gaya kepemimpinan yang berorientasi pada tugas.