BAB II TINJAUAN PUSTAKA Setiap penelitian memerlukan kerangka teori yang digunakan untuk mendukung pernyataan dan menjadi dasar dilakukannya sebuah penelitian. Pada bab ini penulis akan memaparkan sejumlah teori yang terkait dengan penelitian ini, yakni teori tentang perempuan dalam kontruksi sosial, perempuan dewasa awal, teori cinta menurut ahli psikologi, lingkaran kekerasan, dan teori kelekatan. A. Perempuan dan Konstruksi Sosial Manusia, baik laki-laki maupun perempuan tumbuh dalam dunia yang telah dikonstruksikan oleh lingkungan sosial sejak mereka dilahirkan. Ekspektasi sosial yang dilekatkan dalam diri laki-laki dan perempuan agar menjadi ’laki-laki seutuhnya’, atau ’perempuan seutuhnya’. ’Menjadi laki-laki seutuhnya’ kerap kali disangkutpautkan dengan kekuasaan, kekuatan, dan kemandirian, sedangkan ’menjadi perempuan seutuhnya’ seringkali dikaitkan dengan kelemahlembutan, kepatuhan, dan keibuan. Konstruksi sosial tersebut perlahan dapat membuat individu terkungkung dalam pengertian yang dibangun masyarakat tentang ’bagaimana seharusnya menjadi laki-laki’ dan ’bagaimana seharusnya menjadi perempuan’ yang mendorong individu untuk berperilaku sesuai dengan kontruksi yang dibangun baik secara sadar maupun tidak sadar. Jika ditelusuri, konstruksi tersebut tidak dapat dipisahkan dari budaya patriarki yang dianut oleh sebagian besar masyarakat Indonesia. Secara harafiah, patriarki artinya aturan-aturan dari ayah atau laki-laki, namun kini lebih diartikan sebagai dominasi laki-laki di bawah aturan ayah (the rule of father). Menurut Goldberg (dalam Nurdin dkk, 2006) dalam sudut pandang antropologi, hampir seluruh sistem organisasi seperti politik, finansial, ekonomi, religi yang menduduki sejumlah posisi teratas diduduki oleh kaum laki-laki. Hal tersebut menunjukkan
bahwa laki-laki cenderung mendominasi arena politik dan membuat aturan-aturan yang melanggengkan kekuasaan dan superioritasnya atas perempuan (Subono, 2001). Tidak dapat dipungkiri, perempuan dari jaman dahulu telah menjadi subordinat yang lemah dan harus tunduk pada laki-laki. Para pemikir Yunani kuno semacam Plato misalnya, memiliki pandangan bahwa perempuan dapat berpartisipasi dalam sistem pemerintahan aristokrasi yang menurutnya ideal, namun demikian Plato sendiri mengatakan bahwa warga yang mati dalam kondisi tidak baik akan dikutuk menjadi perempuan. Aristoteles murid Plato justru berpendapat bahwa perempuan memang warga kelas dua yang tidak memiliki hak demokrasi di negara karena sifat pasif organ seksualnya (vagina yang dimasuki oleh penis) (Prabowo, 2014). Bahkan hingga kini, di era modern yang seolah membawa perempuan pada kesetaraan, namun pada kenyataannya perempuan masih mengalami ketimpangan. Meski kini perempuan telah dapat bekerja dan memasuki sektor publik, namun dalam prakteknya perempuan masih kerap dipandang sebagai seks kelas dua dibawah laki-laki. B. Perempuan Dewasa Awal Istilah adult atau dewasa awal berasal dari kata adultus yang berarti telah tumbuh menjadi kekuatan atau ukuran yang sempurna atau telah menjadi dewasa. Santrock (2002) menyatakan bahwa masa dewasa awal adalah masa untuk bekerja dan menjalin hubungan dengan lawan jenis dan terkadang menyisakan sedikit waktu untuk hal lainnya. Kenniston (dalam Santrock, 2002) menyatakan bahwa ada dua kriteria yang diajukan untuk menunjukkan akhir masa muda dan permulaan dari masa dewasa awal ialah kemandirian ekonomi dan kemandirian dalam membuat keputusan. Hurlock (1999) mengatakan bahwa masa dewasa awal berkisar antara usia 18-40 tahun. Sementara itu, Dariyo (2003) menyatakan
bahwa secara umum individu yang tergolong dewasa muda ialah individu yang berusia 20-40 tahun. Pada rentang usia ini, individu yang sudah tergolong dewasa memiliki peran dan tanggung jawab yang lebih besar dan tidak lagi bergantung secara ekonomis, sosiologis, maupun psikologis pada orangtuanya. C. Pemilihan Pasangan sebagai Salah Satu Tugas Perkembangan Dewasa Awal Pada setiap rentang perkembangan kehidupan, individu dalam rentang usia tertentu memiliki tugas perkembangan yang sedapat mungkin dipenuhi. Hurlock (1980) menyatakan bahwa tugas perkembangan individu dewasa awal, antara lain ialah individu mulai bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, memilih pasangan hidup, mulai mempersiapkan diri untuk membina keluarga dan mengasuh anak, mengelola rumah tangga, mengambil tanggung jawab sebagai warga negara, dan mencari kelompok sosial yang menyenangkan. Menurut Santrock (2002), pacaran merupakan salah satu cara untuk mengupayakan pemilihan pasangan yang hendak dijadikan rekan hidup. Pacaran memiliki fungsi utama untuk memilih dan mendapatkan seorang pasangan. Sebelum periode ini, pacaran hanya bertujuan untuk menyeleksi pasangan dan memerlukan pengawasan yang cermat oleh orang tua. Para orang tua jaman dahulu biasanya saling mengunggulkan anaknya sebagai calon pasangan dan bahkan memilihkan pasangan bagi remajanya. Namun seiring berjalannya waktu, individu yang memasuki masa dewasa awal kini telah memiliki kendali yang jauh lebih besar terhadap pemilihan pasangan dan proses berpacaran menuju persiapan pernikahan. D. Teori Cinta Menurut Para Ahli Psikologi Dalam relasi berpacaran, remaja seringkali melibatkan berbagai macam jenis emosi-emosi baik positif maupun negatif yang
dipersepsikan sebagai bentuk cinta antara satu dengan yang lainnya. Para tokoh psikologi turut merumuskan definisi dan pengertian mengenai cinta agar memudahkan kita memahami konsep cinta yang terjalin antara dua individu. 1. Teori Cinta Erich Fromm Fromm (2005) membahas mengenai cinta dengan membedah terlebih dahulu mengenai manusia dan eksistensinya. Fromm memandang manusia sebagai makhluk yang sadar akan dirinya, mempunyai kesadaran tentang dirinya, sesama, masa lalu, kemungkinan masa depannya dan kesadaran akan eksistensinya sebagai sesuatu yang terpisah. Sadar akan keterpisahan ini merupakan faktor utama munculnya kegelisahan dan kecemasan. Oleh sebab itu, Fromm mengatakan bahwa kebutuhan manusia yang paling dalam ialah kebutuhan untuk mengatasi keterpisahannya dan meninggalkan penjara kesendiriannya. Untuk mengatasi keterpisahan pada tiap individu, Fromm mengungkapkan ide tentang cinta sebagai jawaban dari masalah eksistensi manusia. Dalam cinta, terdapat jawaban utuh yang terletak pada pencapaian penyatuan antar pribadi dan peleburan dengan pribadi lain. Hasrat akan peleburan antar pribadi ini yang paling kuat pengaruhnya dalam diri manusia. Terdapat empat unsur dasar dari cinta yang diungkapkan Fromm, yakni: a) Perhatian (Care) Cinta adalah perhatian aktif pada kehidupan dan pertumbuhan dari apa yang kita cintai. Implikasi dari cinta yang berupa perhatian tulus seorang ibu kepada anaknya. b) Tanggung jawab (Responsibility) Tanggung jawab dalam arti sesungguhnya adalah suatu tindakan yang sepenuhnya bersifat sukarela. Bertanggungjawab berarti mampu dan siap menanggapi.
c) Rasa hormat (Respect) Rasa hormat berasal dari kata respicere yang artinya melihat. Rasa hormat merupakan kemampuan untuk melihat seseorang sebagaimana adanya, menyadari individualitas yang unik. Rasa hormat berarti kepedulian bahwa seseorang perlu tumbuh dan berkembang sebagaimana adanya. d) Pengetahuan (Knowledge) Pengetahuan yang menjadi satu aspek dari cinta adalah pengetahuan yang tidak bersifat eksternal, tetapi dapat menembus kedalaman. Perhatian, tanggung jawab, rasa hormat, dan pengetahuan mempunyai keterkaitan satu sama lain. Semuanya merupakan sindrom sikap yang terdapat dalam pribadi yang dewasa, yakni pribadi yang mengembangkan potensi dirinya secara produktif. 2. Teori Segitiga Cinta Sternberg Berbeda dengan Fromm yang menekankan pada sebab, akibat dan aspek-aspek yang menimbulkan cinta, Sternberg lebih menekankan pada penjelasan mengenai komponen-komponen pembentuk cinta dan beragam jenis cinta yang dihasilkan dari kombinasi tiap komponen. Teori tentang komponen cinta disebut pula sebagai teori segitiga cinta karena didalamnya mengandung tiga komponen berikut (Tambunan, 2001): a) Keintiman (intimacy) Keintiman adalah elemen emosi yang didalamnya terdapat kehangatan, kepercayaan dan keinginan untuk membina hubungan. b) Gairah (passion) Gairah adalah elemen motivasional yang disadari oleh dorongan dari dalam diri yang bersifat seksual.
c) Komitmen Komitmen adalah elemen kognitif berupa keputusan untuk secara berkesinambungan menjalankan suatu kehidupan bersama. Kombinasi dari ketiga komponen cinta tersebut dapat membentuk 8 pola hubungan cinta sebagai berikut: a) Liking (suka), yakni seseorang hanya mengalami komponen keintiman saja, tanpa adanya gairah dan komitmen. b) Infatuated (tergila-gila), yakni cinta yang muncul karena adanya gairah tanpa disertai keintiman dan komitmen. c) Empty love, yakni cinta yang berasal dari komitmen tanpa adanya gairah dan keintiman. d) Romantic love, yakni cinta yang muncul dari kombinasi antara keintiman dan gairah tanpa disertai komitmen. e) Companionate love, yakni cinta yang muncul dari kombinasi antara keintiman dan komitmen, tapa melibatkan gairah. f) Fatuous love, yakni cinta yang muncul dari kombinasi antara hasrat dan komitmen tanpa adanya keintiman. g) Non love, yakni cinta yang tidak memiliki ketiga komponen ini. h) Consummate love, yakni cinta yang muncul dari kombinasi ketiganya dan disebut juga sebagai cinta yang utuh. E. Kekerasan terhadap Perempuan dalam Pacaran 1. Pengertian Kekerasan dalam Pacaran Kekerasan dalam pacaran atau dating violence adalah tindakan atau ancaman untuk melakukan kekerasan, yang dilakukan salah seorang anggota dalam hubungan dating ke anggota lainnya (Sugarman & Hotaling dalam Krahe, 2001). Selain itu, menurut The National Clearinghouse on Family Violence and Dating Violence (2006), dating violence adalah serangan seksual, fisik, maupun emosional yang dilakukan kepada pasangan, sewaktu berpacaran.
The American Psychological Association (dalam Warkentin, 2008) menyebutkan bahwa dating violence adalah kekerasan psikologis dan fisik yang dilakukan oleh salah satu pihak dalam hubungan pacaran, yang mana perilaku ini ditujukan untuk memperoleh kontrol, kekuasaan dan kekuatan atas pasangannya. Collins (dalam Marcus, 2007) mengatakan bahwa terdapat 5 hal yang dapat menjelaskan sebuah hubungan sebagai dating. Kelima hal tersebut adalah: (1) involvement – apakah remaja tersebut pacaran, usia dimana dia memulai pacaran, dan konsistensi serta frekuensi pacaran (2) partner-selection – siapa yang mereka pilih menjadi pacar mereka (apakah usianya lebih tua, sama atau dari suku dan sosioekonomi status yang berbeda atau sama) (3) content – apa yang dilakukan mereka bersama-sama, keberagaman dari aktivitas yang dilakukan bersama, situasi yang dihindari ketika mereka bersama; (4) quality – hal dimana hubungan tersebut menghasilkan suatu pengalaman yang menguntungkan, seperti intimacy, affection, nurturance, antagonism, and high conflict and controlling behaviors; and (5) cognitive and emotional processes – apakah terdapat partner yang memberikan respon emosional yang merusak, persepsi, harapan, schema, dan atribusi. Peneliti di The University of Michigan Sexual Assault Prevention and Awareness Center Burandt, Wickliffe, Scott, Handeyside, Nimeh & Cope (dalam Murray, 2007) mendefiniskan dating violence sebagai tindakan yang disengaja (intentional), yang dilakukan dengan menggunakan taktik melukai dan paksaan fisik untuk memperoleh dan mempertahankan kekuatan (power) dan kontrol (control) terhadap pasangan dating-nya. Lebih lanjut dikatakan bahwa perilaku ini tidak dilakukan atas paksaan orang lain, sang pelaku lah yang memutuskan untuk melakukan perilaku ini atau tidak, erilaku ini ditujukan agar sang korban tetap bergantung atau terikat dengan pasangannya. dapat disimpulkan
bahwa dating violence adalah ancaman atau tindakan untuk melakukan kekerasan kepada salah satu pihak dalam hubungan berpacaran, yang mana kekerasan ini ditujukan untuk memperoleh kontrol, kekuasaan dan kekuatan atas pasangannya, perilaku ini bisa dalam bentuk kekerasan emosional, fisik dan seksual. 2. Bentuk-Bentuk Kekerasan dalam Pacaran Secara umum, Murray (2007) mengemukakan beberapa bentuk kekerasan yang dikelompokkan sebagai berikut: a) Kekerasan Verbal dan Emosional Kekerasan verbal dan emosional adalah ancaman yang dilakukan pasangan terhadap pacarnya dengan perkataan maupun mimik wajah. Menurut Murray (2007), kekerasan verbal dan emosional terdiri dari: 1. Name calling Nama panggilan yang diutarakan kepada pasangan merupakan bentuk pelabelan negatif yang diberikan pacar terhadap peasangannya. Panggilan ini seperti mengatakan pacar gendut, jelek, malas, bodoh, tidak ada seorangpun yang menginginkannya, ingin muntah melihat sang pacar. 2. Intimidating looks Pacar menunjukkan wajah yang kecewa tanpa mengatakan alasan mengapa ia marah atau kecewa dengan pacarnya, jadi pihak laki-laki atau perempuannya mengetahui apakah pacarnya marah atau tidak hanya dilihat dari ekspresi wajahnya, tanpa mendapatkan penjelasan. 3. Use of pagers and cell phones Seorang pacar ada yang memberikan ponsel kepada pacarnya, supaya dapat mengingatkan atau supaya tetap bisa menghubungi pacarnya. Alat komunikasi ini memampukan pacarnya untuk memeriksa keadaan pacarnya sesering mereka mau. Ada juga
dari mereka yang tidak memberikan ponsel kepada pacarnya, namun baik yang memberikan ponsel maupun yang tidak memberikan ponsel tersebut akan marah ketika orang lain menghubungi pacarnya. Individu ini harus mengetahui siapa yang menghubungi pacarnya dan mengapa orang tersebut menghubungi pacarnya. 4. Making a boy/girl wait by the phone Seorang pacar berjanji akan menelepon pacarnya pada jam tertentu, akan tetapi sang pacar tidak menelepon juga. Pacar yang dijanjikan akan ditelepon, terus menerus menunggu telepon dari pasangannya, membawa teleponnya kemana saja di dalam rumah, misalnya pada saat makan bersama keluarga. Hal ini terjadi berulangkali, sehingga membuat si pacar tidak menerima telepon dari temannya, tidak berinteraksi dengan keluarganya karena menunggu telepon dari pacarnya. 5. Monopolizing a girl’s/ boy`s time Korban kekerasan dalam pacaran juga cenderung kehabisan waktu untuk melakukan aktivitas dengan teman atau untuk mengurus keperluan dirinya sendiri karena mereka selalu menghabiskan waktu bersama dengan pacarnya. Sang pacar memonopoli hampir seluruh waktu pasangannya. 6. Making a girl`s/ boy`s feel insecure Seringkali orang yang melakukan dating violence memanggil pacarnya dengan mengkritik, dan mereka mengatakan bahwa semua hal itu dilakukan karena mereka sayang pada pacarnya dan menginginkan yang terbaik untuk pacarnya. Padahal mereka membuat pacar mereka merasa tidak nyaman. Ketika pacar mereka terus menerus dikritik, mereka akan merasa bahwa semua yang ada pada diri mereka buruk, tidak ada peluang atau kesempatan untuk meninggalkan pasangannya.
7. Blaming Kekerasan ini dilakukan dengan melimpahkan akar dari seluruh permasalahan kepada pasangannya. Semua kesalahan yang terjadi adalah perbuatan pasangannya, bahkan mereka sering mencurigai pacar mereka atas perbuatan yang belum tentu disaksikannya, seperti menuduhnya melakukan perselingkuhan. 8. Manipulation/ making himself look pathetic Kekerasan ini biasanya terwujud dalam bentuk perkataan tentang sesuatu hal yang konyol, misalnya pacarnyalah orang yang satusatunya mengerti dirinya, atau mengatakan kepada pacarnya bahwa dia akan bunuh diri jika tidak bersama pacarnya lagi. 9. Making threats Biasanya mereka mengatakan jika kamu melakukan ini, maka saya akan melakukan sesuatu padamu. Ancaman mereka bukan hanya berdampak pada pacar mereka, tetapi kepada orangtua, dan teman mereka. 10. Interrogating Pasangan yang pencemburu, posesif, suka mengatur, cenderung menginterogasi pacarnya, dimana pacarnya berada sekarang, siapa yang bersama mereka, berapa orang laki-laki atau wanita yang bersama mereka, atau mengapa mereka tidak membalas pesan mereka. 11. Humiliating her/ him in public Mengatakan sesuatu mengenai organ tubuh pribadi pacarnya kepada pacarnya di depan teman-temannya. Atau mempermalukan pacarnya di depan teman-temannya. 12. Breaking treasured items Tidak memperdulikan perasaan atau barang-barang milik pacar mereka, jika pasangan mereka menangis, mereka menganggap hal itu sebuah kebodohan.
b) Kekerasan Seksual Kekerasan seksual adalah pemaksaan untuk melakukan kegiatan atau kontak seksual sedangkan pacar mereka tidak menghendakinya (Murray, 2007). Pria lebih sering melakukan tipe kekerasan ini dibandingkan wanita (Hamby, Sugarman, & BoneyMcCoy, dalam Heatrich & O`Learry, 2007). Menurut Murray (2007), kekerasan seksual dapat mencakup perkosaan (melakukan hubungan seks tanpa ijin pasangannya atau tanpa sepengetahuan pasangannya), sentuhan yang tidak diinginkan, dan ciuman yang tidak diinginkan. c) Kekerasan Fisik Kekerasan fisik adalah perilaku yang mengakibatkan pacar terluka secara fisik, seperti memukul, menampar, menendang dan sebagainya (Murray, 2007). Wanita juga melakukan kekerasan tipe ini dengan pasangannya akan tetapi konsekuensi fisik yang dihasilkan tidak begitu berbahaya seperti yang dilakukan pria terhadap wanita. (Cantos, Neidig, & O’Leary, 1994; Cascardi, Langhinrichsen, & Vivian, 1992; Stets & Straus, dalam Heatrich & O`Learry, 2007). 3. Perempuan sebagai Korban Kekerasan dalam Pacaran Dalam relasi berpacaran, perempuan seringkali menjadi korban kekerasan dalam relasi tersebut. Kate Millet (1998) berpendapat bahwa akar dari penindasan kaum perempuan ada dalam sistem gender yang sangat patriarkis. Menurutnya, seks merupakan alat politis dalam relasi laki-laki dan perempuan yang menjadikan laki-laki memiliki kekuasaan dalam pembentukan nilainilai, emosi serta logika yang mengontrol kehidupan akademi, religi, dan keluarga. Hal ini berakibat pada rasa inferioritas yang muncul dalam diri perempuan terhadap dominasi laki-laki. Di dalam relasi patriarki, laki-laki adalah pihak yang dianggap lebih kuat belajar
mengendalikan dan mengontrol perempuan sehingga perempuan dilihat sebagai objek kepunyaan laki-laki. 4. Lingkaran Kekerasan dalam Perspektif Psikologi Kekerasan yang kerap terjadi dalam relasi intim dua individu membentuk suatu pola tarik menarik dan terhubung erat seperti lingkaran antara korban dan pelaku kekerasan. Walker (1979) merumuskan sebuah lingkaran kekerasan yang terjadi antara pelaku dan korban kekerasan yang disebut dengan “battering cycle”. Lingkaran ini dijelaskan melalui tiga fase yang tergantung pada intensitas dan frekuensi kemunculan kekerasan, yakni: 1) The tension-building phase; 2) The explosion of acute battering phase; 3) The contrition phase. Pada fase pertama, pelaku membentuk tegangan dan melakukan berbagai bentuk kekerasan yang pernah dilakukan seperti perlakuan posesif, pelecehan secara verbal, intimidasi, dan pengekangan kebebasan. Pada situasi ini, korban dengan otomatis melakukan pembelaan diri dan menahan marah atas perlakuan pelaku. Pada situasi ini, pelaku menjadi sangat waspada akan kemungkinan berbagai bentuk pertentangan atau perlawanan yang ditunjukkan korban. Oleh karena pelaku terus-menerus memproyeksikan kemarahannya kepada orang lain, pelaku tidak dapat menyadari dan memahami kondisi kritis yang sesungguhnya ada di dalam dirinya. Fase pembentukan tegangan ini cenderung terus berlanjut hingga titik kekerasan fisik terjadi terhadap korban. Zimbardo (1979) – seorang psikolog sosial – menegaskan bahwa perilaku kekerasan hanya dapat diberhentikan oleh pelaku, bukan korban. Hal ini disebabkan karena sistem tubuh pelaku sendiri memberikan reward atau penguatan di setiap tindak kekerasan yang dilakukan. Dengan kata lain, pengulangan perilaku kekerasan seperti serangan, pukulan, hinaan, mendapatkan penguatan. Sumber penguatan tersebut ialah umpan balik dari reaksi tubuh pelaku itu
sendiri berupa pelepasan tegangan melalui setiap bentuk kekerasan yang dilakukan. Pada fase kedua, yakni pemunculan kekerasan, pelaku terus menunjukkan berbagai bentuk agresi seperti memukul, menendang, mendorong hingga pelaku sampai pada titik kelelahan dan kehabisan energi. Pelepasan energi yang besar membuat tegangan dalam diri pelaku semakin rendah. Pelepasan tegangan ini merupakan situasi melegakan yang dirasakan oleh pelaku. Rasa lega yang dialami pelaku selepas melakukan tindak kekerasan membuat pelaku menjadi adiksi atau kecanduan dengan rasa lega tersebut, sehingga perilaku kekerasan terus diulang. Fase yang terakhir dari lingkaran kekerasan ini ialah contrition phase, yakni suatu fase yang menempatkan pelaku pada perasaan sedih karena berdosa atas pelepasan tegangan melalui perilaku kekerasan terhadap korban. Pada fase ini, pelaku akan mendekati korban dan membujuk agar korban dapat bertahan dalam relasi intim dan memaafkannya. Pelaku cenderung mengumbar janji tentang perbaikan diri dan mengajak orang-orang terdekatnya untuk turut membujuk korban kembali kepada dirinya. Pelaku juga berjanji mengikuti konseling, berhenti minum alkohol, berselingkuh, atau apapun yang diinginkan korban. Pelaku juga dapat membawakan bunga, hadiah, kartu permintaan maaf, atau apapun yang membuatnya dapat dimaafkan oleh korban. Pada intinya, pelaku mengambil celah di rasa bersalah korban dengan meyakinkan korban bahwa korban merupakan satu-satunya perempuan yang dapat menyelamatkan dirinya, cinta yang ada dapat menaklukan setiap perilaku buruk pelaku, pelaku mengancam bunuh diri jika korban tidak menerimanya lagi. Hasilnya, korban terbujuk oleh rasa tanggung jawab untuk menolong pelaku dan berharap ada peluang positif akan harapan yang lebih baik dari hubungan tersebut.
RESPONS KORBAN: Melindungi diri sebisa mungkin, Pihak keamanan dihubungi oleh tetangga, teman, keluarga. Berusaha menenangkan pasangan, atau pergi 2. BATTERING Mendorong, memukul, mencekik, memperkosa, menggunakan senjata 1. TENSION BUILDING Moody, afeksi tumpul, berteriak, berkata-kata kasar, menghancurkan benda RESPONS KORBAN: Mendekati dan menenangkan pasangan, Diam/ talkactive. Menjauh dari keluarga dan teman. Pasif. Memahami
3. CONTRITION STAGE
POWER & CONTROL DENIAL
Pergi ke gereja, mengirim bunga, hadiah, “Aku tidak akan melakukannya lagi”, mengajak bercinta, menangis, menyatakan cinta
Meminta maaf, mohon ampun, Berjanji akan berubah,
RESPONS KORBAN: Sepakat untuk kembali mempercayai. Menerima pasangan kembali, Menghentikan proses hukum. Merasa senang dan penuh harapan.
Gambar 2.1 Lingkaran Kekerasan
Melalui Gambar 2.1, dapat dilihat bahwa lingkaran kekerasan terus bergulir dengan pola yang sama antara pelaku dan korban. Pola tersebut seringkali berhasil membuat korban tetap bertahan dalam hubungan. Pelaku dan korban turut meyakinkan satu sama lain bahwa ketika keduanya bersama-sama, baik pelaku maupun korban merasa dapat mengalahkan dunia. Agama, tradisi kuno tentang perempuan, rasa bersalah berkonspirasi untuk membuat perempuan bertahan dalam hubungan tersebut. F. Kajian Teori Kelekatan pada Perempuan Korban Kekerasan dalam Pacaran Sejarah kelekatan dan pengasuhan anak di masa lampau merupakan pendahulu yang membentuk relasi positif di antara pasangan muda (Sroufe, Egeland, dan Carlson, 1999). Bayi yang
memiliki kelekatan tidak aman (menimbulkan rasa cemas) kepada pengasuhnya cenderung tidak dapat mengembangkan relasi yang positif dengan pasangannya di masa remaja. Remaja yang memiliki sejarah kelekatan yang aman lebih mampu mengendalikan emosinya secara lebih baik dan lebih nyaman untuk membuka dirinya dalam relasi berpacaran. Kelekatan dibahas lebih mendalam melalui kajian etologis yang dikemukakan oleh John Bowlby. Etologi sendiri adalah studi mengenai tingkah laku hewan dan manusia dalam konteks evolusi. Perspektif etologi klasik diperkenalkan oleh Darwin (1859) yang menyatakan bahwa beragam spesies memiliki nenek moyang yang sama dan spesies dapat berubah untuk memenuhi persyaratan lingkungan mereka yang berubah. Tidak semua spesies dapat bertahan saat menghadapi keadaan lingkungan yang berubah sehingga dalam teorinya, Darwin mencetuskan teori seleksi alam, yakni sebuah anggapan bahwa alam memilih siapa-siapa saja yang mampu beradaptasi paling baik dengan lingkungan mereka. Mereka yang beradaptasi paling baik adalah mereka yang akan bertahan hidup. Untuk dapat beradaptasi, hampir semua spesies mendekatkan diri pada kelompoknya sehingga kelompok mereka menjadi kuat untuk menghadapi predator yang sewaktu-waktu mungkin menyerang mereka. Pandangan ini kemudian digunakan Bowlby untuk menjelaskan pentingnya kelekatan antara bayi dan figur lekat utama (biasanya ibu). Asumsi dasar dari teori kelekatan ialah oleh karena ketidakmatangan bayi yang sangat ekstrim pada saat dilahirkan, bayi dapat bertahan dengan bantuan berupa perlindungan dan perhatian dari orang dewasa. Oleh sebab itu, tingkah laku bayi seperti menangis atau tersenyum merupakan simbol yang dimunculkan bayi untuk menjaga kedekatan dengan figur lekat. Bayi menangis ketika ditinggal pergi oleh sang ibu menunjukkan kecemasan saat harus menghadapi dunia ini seorang diri. Bayi memerlukan kehadiran ibu untuk melindunginya dari ancaman
dan bahaya. Karenanya, bayi akan terus menangis ketika membutuhkan pertolongan ibunya. Ibu sebagai pemberi perhatian (caregiver) dan bayi saling melengkapi proses pembentukan sistem perilaku lekat (attachment behavioral system) yang berkontribusi dalam pembentukan ikatan emosi antara anak dan figur lekat.
Ya Apakah figur lekat responsif, terjangkau?
Rasa aman, dicintai, percaya diri
Ceria, eksplorasi, bersosialisasi, tersenyum
Tidak Perilaku Lekat: 1. Mencari figur lekat 2. Memberikan kontak mata, memanggil 3. Bergerak ke arah figur lekat
Takut, Cemas
Defensif
Menghindari kontak, defensif, eksplorasi
Gambar 2.2 Sistem Perilaku Lekat
Kelekatan merupakan salah satu sistem perilaku yang mencakup dasar eksplorasi, pemberian perhatian, relasi, dan pemenuhan kebutuhan fisik. Selama anak merasa aman, sistem kelekatan akan stabil, dan sistem perilaku lain dapat diaktifkan. Secara berkelanjutan, sistem kelekatan ini akan membuat anak yang bertumbuh menjadi remaja atau individu dewasa merasa aman untuk mengeksplorasi dunia luar. 1. Tahap Pembentukan Kelekatan Bowlby (1980) menyatakan bahwa seorang anak membentuk kelekatan dengan figur lekat dengan perilaku seperti mencari
kedekatan, menjamin keselamatan, mencari rasa aman dan perlindungan, sedangkan seorang figur lekat menjadi terikat dengan anak melalui komitmen, pemberian perhatian, tanggung jawab, dan mencintai anak. Berikut ialah tahapan kunci dalam pembentukan kelekatan antara anak dan orang tua sebagai figur lekat: a) Usia 0-3 bulan: Respons tak terpilah kepada manusia Selama bulan pertama di awal kehidupannya, bayi menunjukkan beragam jenis respons kepada orang disekitarnya, namun respons ini tidak terpilah dan sama kepada semua orang, seperti senyuman, tangisan, genggaman tangan. Pada usia 5 minggu, senyum sosial paling serius dimulai karena bayi mulai dapat melihat wajah manusia secara utuh dan mampu melakukan kontak mata. Senyum ini menjadi simbol kelekatan dengan pengasuh atau figur lekatnya. Begitupun tangisan yang juga merupakan hasil dari kedekatan pengasuh dan anak yang menjadi seperti teriakan bahaya sebagai tanda bayi memerlukan pertolongan. b) Usia 3-6 bulan: Fokus kepada orang-orang yang dikenal Sejak usia 3 bulan tingkah laku bayi mulai berubah, respons sosial bayi mulai menjadi selektif. Selama fase ini, bayi mempersempit respons mereka kepada orang-orang yang dikenal saja. Figur lekat utama biasanya ibu, namun tidak selalu demikian. Bayi tampak mengembangkan kelekatan paling kuat pada seseorang yang paling sigap menangkap sinyal mereka dan yang terlibat dengan interaksi yang paling menyenangkan bagi mereka. c) Usia 6 bulan-3 tahun: Kelekatan yang intens dan pencarian kedekatan yang aktif Sejak usia 6 bulan, kelekatan bayi pada orang tertentu menjadi semakin intens dan ekslusif. Yang paling menyolok ialah bayi menangis keras ketika figur ibu meninggalkan ruangan, memperlihatkan adanya kecemasan terhadap perpisahan. Para pengamat juga mencatat intensitas bayi menuambut ibunya setelah
ditinggalkan untuk sementara waktu. Ketika ibunya kembali dan memeluknya, maka bayi akan balas memeluk ibunya dan tersenyum senang. Ibu juga menunjukkan kebahagiaan atas pertemuan kembali tersebut. Bayi mulai mengekspresikan emosi-emosi yang kuat dan mulai merayap mengikuti orang tua yang berjalan meninggalkannya. Bayi akan membuat usaha paling maksimal untuk memperoleh kembali kontak dengan orang tua. Ini sangat menjelaskan bahwa bayi menggunakan pengasuhnya sebagai basis aman untuk eksplorasi dan mencetak konsep figur lekat yang akan dibawa terus sepanjang kehidupannya. d) Usia 3-5 tahun: Pembentukan ‘internal working models’ Pada usia ini, anak membawa pola kelekatan ini keluar dari keluarga, biasanya ke lingkungan sekolah. Keseimbangan antara kelekatan dan kesempatan ekplorasi berdampak pada pembelajaran, perilaku anak, dan pola persahabatan yang dijalinnya dengan teman sebaya. Konsep terkait rasa aman telah tersimpan dalam proses mental anak yang berguna untuk mengatasi situasi sulit. Pada tahapan ini, kecemasan terhadap perpisahan dan kehilangan mulai menyatu dengan kecemasan tentang harga diri dan relasi dengan teman sebaya. Ketika seorang anak memiliki memori tentang rasa aman dan model internal yang positif, anak cenderung lebih dapat menghadapi tantangan dan mengatasi kegagalan atau penolakan. Sebaliknya, anak yang insecure cenderung menyangkal perasaannya dan menjadi agresif atau depresif. e) Usia Remaja-Dewasa Individu di usia ini mulai berpisah dengan figur lekat dan menjadi mandiri. Individu yang secure dengan harga diri dan kompetensi yang tinggi lebih berhasil mengatasi tantangan. Orang tua sebagai figur lekat masih sangat diperlukan pada tahap ini untuk berbagi pengalaman dan regulasi emosi untuk mencapai konsep diri yang koheren dan fleksibel. Relasi kelekatan awal dengan orang tua
berlangsung lama dan kelekatan yang baru mulai terbentuk dalam persahabatan dan hubungan percintaan. 2. Komponen Kunci Kelekatan Pola kelekatan yang terjalin antara anak dan figur lekat dapat dilihat melalui tiga komponen kunci yang diamati dari perilaku dua arah antara anak terhadap figur lekat dan respons figur lekat terhadap perilaku anak. Berikut ialah tiga komponen kunci dalam kelekatan (Bowlby, 1973): Proximity Maintenance Mencari kedekatan dan menolak perpisahan
KELEKATAN (Attachment)
Secure Base Menjadi dasar eksplorasi dunia luar
Safe Haven Pemberian rasa nyaman, dukungan, jaminan,dll
Gambar 2.3 Komponen Kunci Kelekatan
a) Proximity Maintenance (Memelihara Kedekatan) Proximity maintenance dapat mencakup perilaku anak yang terus mencari kedekatan dengan figur lekat dan memelihara kedekatan tersebut. Perilaku ini biasanya ditunjukkan oleh anak jika anak sedang berada dalam situasi yang membuatnya takut atau tertekan karena alasan tertentu. Pemeliharaan kedekatan dengan figur lekat ini diupayakan anak untuk terhindar dari rasa cemas tentang faktor-faktor ketidakmatangan yang dimiliki anak (seperti usia atau emosi) dalam menghadapi situasi yang dianggap mengancam. Pencapaian pada komponen proximity maintenance ini menghasilkan rasa aman dan dicintai. Menurut Bowlby (1982), perilaku yang dimunculkan pada proximity
maintenance ialah mencari kedekatan dengan individu dewasa yang dijadikan figur lekat dan menunjukkan protes terhadap situasi terpisah dengan figur lekat. Sebagai contoh, seorang bayi yang merasa lapar hanya dapat menangis karena bayi tersebut tidak dapat mengambil makan sendiri sehingga menangis merupakan upaya yang dilakukan bayi untuk mendapatkan pertolongan dari figur lekat. Contoh lainnya, ketika anak memasuki usia 3-5 tahun dan kehilangan sosok figur lekat di sebuah tempat pebelanjaan, anak tersebut akan menangis atau mungkin berlari mencari-cari figur lekat tersebut. Semakin anak bertumbuh besar dan memasuki usia sekolah, remaja, atau dewasa, anak akan berusaha menjangkau figur lekat dengan cara apapun ketika berada dalam situasi sulit. b) Safe Haven (Menjadi Tempat Perlindungan) Safe haven merupakan perilaku yang ditunjukkan oleh figur lekat sebagai respons dalam menanggapi perilaku anak yang mencari kedekatan dengannya. Respons tersebut dalam berbentuk pemberian rasa nyaman, kehangatan, ketenangan, atau jaminan akan keselamatan pada waktu anak membutuhkan karena pada dasarnya, kecemasan anak akan jauh berkurang ketika anak menyadari bahwa figur lekat ada disekitarnya dan dapat diakses untuk memenuhi kebutuhan anak untuk diperhatikan dan dilindungi. Selain itu, figur lekat berperan untuk memahami bahwa kebutuhan anak untuk diperhatikan perlu didukung pula oleh apreasiasi atau dorongan untuk anak dapat mengambil keputusannya secara mandiri. Safe hafen yang dibangun oleh figur lekat ini memberikan ‘batas aman’ agar anak dapat belajar untuk bernegosiasi dengan situasi, mengupayakan keberhasilan, dan mengatasi kegagalannya sendiri.
Sebagai contoh, ketika anak menunjukkan perilaku proximity maintenance di saat yang mencemaskan, figur lekat dengan sesegera mungkin membantu anak dengan menyediakan kebutuhan anak sehingga kecemasan anak tersebut dapat direduksi dan anak dapat kembali melakukan eksplorasi dengan lingkungannya. Contoh lain, ketika anak telah dewasa, figur lekat tetap menjadi sosok yang mau mendengarkan keluh-kesah anak atau bahkan memberikan beberapa alternatif solusi yang dapat membantu sang anak menyelesaikan persoalannya. c) Secure Base (Menjadi Basis Aman) Secure base juga merupakan perilaku yang ditunjukkan oleh figur lekat sebagai respons dalam menanggapi perilaku anak yang mencari kedekatan dengannya. Respons yang ditunjukkan berupa kepekaan dalam menanggapi perilaku anak. Figur lekat yang peka melihat dunia dari sudut pandang anak dan memperlakukan anak dengan pemahaman yang mendalam, pemberian kebutuhan dan kasih sayang. Respons ini juga mereduksi kecemasan anak dan membantu anak untuk mengembangkan kemampuan dalam mengenai dan mengatur emosi serta perilakunya. Selain itu, figur lekat juga menunjukkan respons menerima anak secara utuh karena anak yang merasa diterima dan dihargai sebagai individu yang unik dengan kelebihan dan kekurangan yang khusus, akan berkembang menjadi individu yang seimbang, realistis, konsep diri yang positif, dan harga diri yang baik. Sebagai contoh, figur lekat tetap menunjukkan keinginan untuk dekat dan memenuhi kebutuhan anak meskipun sang anak sedang mengalami kegagalan. Meskipun anak merasa sedih atau kecewa dengan kegagalan yang dialaminya, namun karena figur lekat tetap memberikan dukungan dan rasa aman kepada anak, maka anak dapat lebih cepat meregulasi emosi sedih dan
kecewanya dan anak dapat kembali mengeksplorasi lingkungannya tanpa rasa takut. Pola kelekatan yang terjalin dari anak masih bayi dengan orang tua sebagai figur lekat terus mengalami proses peralihan dalam sepanjang rentang kehidupannya satu per satu. Berikut ini ialah proses peralihan pola kelekatan: TARGET PERILAKU LEKAT Fase Perkembangan
Orang Tua
Teman
Sebaya/
Pasangan Bayi
Proximity maintenance Safe haven Secure base
Anak-Anak Awal
Proximity maintenance Safe haven Secure base
Anak-Anak Akhir/ Awal
Proximity maintenance
Remaja
Safe haven Secure base
Masa Dewasa
Proximity maintenance Safe haven Secure base Tabel 2.1 Proses Peralihan Kelekatan
3. Tipe-Tipe Kelekatan Konsep yang lebih lengkap mengenai kelekatan diungkapkan oleh Ainsworth (1969) yang menyatakan bahwa kelekatan adalah ikatan emosional yang dibentuk seorang individu dengan orang lain yang bersifat spesifik, mengikat mereka dalam suatu kedekatan yang bersifat kekal sepanjang waktu. Ainsworth, Blehar, Waters dan Wall (dalam Fraley dan Spieker, 2003; Cummings, 2003, Sroufe, 2003; Cassidy, 2003; Waters dan Beauchaine, 2003) membuat sebuah eksperimen untuk melihat tingkah laku lekat dengan metode ‘situasi terpisah’. Pada eksperimen ini, anak ditempatkan dalam ruangan yang
dirancang dengan lingkungan fisik yang tidak familiar, adanya perpisahan dengan pengasuh, dan adanya kontak dengan orang asing. Kombinasi dari ketiga aspek tersebut dengan sengaja diciptakan untuk melihat reaksi anak. Berdasarkan eksperimen tersebut diperoleh dua kategori utama, yakni kelekatan aman (secure) dan tidak aman (insecure). a) Kelekatan Aman (Secure Attachment) Relasi orang tua-anak dapat dianggap sebagai prototip bagi relasi lain yang dibangun anak di masa depan. Relasi ini merupakan relasi pertama yang digunakan anak sebagai dasar yang akan diterapkan dalam pengalaman relasi berikutnya. Singkatnya, kualitas dari relasi orangtua-anak ini merupakan prediktor kesuksesan relasi anak dengan figur lekat pengganti di masa remaja dan dewasa (Gearity, 2005). Pada kelekatan aman ini, ibu digunakan sebagai dasar eksplorasi, anak berada dekat ibu untuk beberapa saat kemudian melakukan eksplorasi, anak kembali pada ibu ketika ada orang asing, tapi memberikan senyuman apabila ada ibu didekatnya (Cicchetti dan Toth, 1995). Ainsworth dkk (1978) mendeskripsikan bahwa anak yang merasa secure seringkali menunjukkan protes ketika ditinggal bersama dengan orang lain oleh figur lekat di tempat yang asing. Protes dapat berupa stres, keengganan bermain dan eksplorasi, penolakan terhadap upaya orang lain untuk menghiburnya. Ketika figur lekat datang, anak akan menyambut dengan hangat dan menunjukkan keinginan untuk melakukan kontak fisik dengan figur lekat sebelum melanjutkan eksplorasinya. Gearity (2005) menyatakan bahwa relasi yang terjalin antara orangtua-anak harus mencapai dua tujuan dasar sebagai pondasi relasi yang sehat dengan orang lain di masa mendatang, yakni 1) pembentukan rasa percaya pada dunia, “ketika saya membutuhkan kamu, kamu ada”; 2) pengembangan regulasi emosi – anak belajar mengekspresikan perasaan yang sedang dirasakan. Ketika dua tujuan dasar ini tercapai, anak mengalami relasi lekat yang baik dan
cenderung mengeksplorasi lingkungan sekitarnya dengan meyakini bahwa figur lekat akan selalu ada ketika dibutuhkan sehingga anak merasa aman. Melalui eksplorasi ini, anak yang secure memiliki kompetensi yang lebih baik dan tumbuh sebagai anak yang mandiri di kemudian hari. Kestenbaum et al., (1989) menemukan bahwa kualitas dari kelekatan anak-orangtua berpengaruh pada kapasitas empati, regulasi emosi, perkembangan kognitif, dan kontrol perilaku anak di relasi-relasi berikutnya. Thompson (2000) juga menyatakan bahwa anak yang secure cenderung tumbuh menjadi individu yang percaya diri dan resilien ketika menghadapi tekanan dari teman sebaya. Hal ini membawa individu pada kesejahteraan psikologis dan ketahanan terhadap tekanan. Schore (2001) menegaskan bahwa anak yang secure memiliki kapasitas psikologi dan neurologi yang baik untuk mengatur emosi, khususnya dalam menghadapi stresor dari lingkungan eksternal yang didapatkannya di masa mendatang. b) Kelekatan Tidak Aman (Insecure attachment) Tipe lain yang dapat muncul dari relasi lekat orangtua-anak ialah kelekatan tidak aman (insecure attachment). Pada umumnya, tipe ini menunjukkan penolakan terhadap kehadiran ibu, menampakkan permusuhan, kurang tertarik dengan kehadiran ibu, mengacuhkan dan kurang mengekspresikan emosi negatif. Seorang anak yang tidak mendapatkan rasa aman dari figur lekat cenderung menunjukkan kurang berkembangnya kapasitas diri untuk menghadapi situasi sulit sepanjang hidup. Bowlby (1940) menegaskan bahwa kegagalan pembentukan kelekatan antara anak dan ibu memiliki konsekuensi yang serius seperti pertumbuhan yang lambat, agresivitas, kecemasan akan rasa bergantung, hambatan intelektual, penyimpangan perilaku sosial, tumpunya afeksi, depresi, dan munculnya perilaku delikuen. Menurut Gearity (2005), kegagalan dalam mencapai dua tujuan dasar kelekatan menempatkan anak pada kesulitan dalam membangun relasi-relasi berikutnya sepanjang hidup.
Sebagai contoh, ketiadaan basis aman sebagai pembentukan rasa percaya dapat membatasi kompetensi dan keberanian anak untuk mengeksplorasi lingkungan karena anak merasa dunia bukan tempat yang aman. Di samping itu, Barnett dan Butler (1999) mengemukakan bahwa anak yang tidak secure memiliki potensi untuk menjadi individu yang sangat rapuh terhadap tekanan teman sebaya dan komentar negatif dari orang lain. Lebih lanjut, Waters dan Cummings (2000), kerapuhan ini membuka ruang bagi berbagai emosi negatif seperti keraguan pada diri sendiri yang berujung pada kecemasan, depresi, dan respons negatif terhadap pengalaman sosial yang baru. Melalui eksperimen yang dilakukan terkait respons anak terhadap situasi terpisah dengan orang tua sebagai figur lekat, Ainsworth (1978) membagi tipe kelekatan tidak aman ke dalam dua jenis sebagai berikut ini: 1. Avoidant Attachment Avoidant attachment merupakan strategi yang dikembangkan oleh anak dengan orang tua yang tidak mendukung terjalinnya kontak afeksi dan tidak menunjukkan simpati maupun rasa nyaman (Karen, 1994). Anak yang tergolong dalam avoidant attachment jarang menangis ketika dikondisikan terpisah dari figur lekat dan menghindari kontak ketika figur lekat kembali (Papalia et al, 1999). Anak tidak menunjukkan protes terhadap kepergian ibu, melainkan anak cenderung mengalihkan perhatian dari perginya ibu, secara aktif mengeksplor lingkungan ketika sang ibu tidak ada. Anak juga tidak menyadari kembalinya ibu dan menunjukkan perilaku menghindar jika sang ibu mendekatinya (Lyons-Ruth & Zeanah, 1993). 2. Ambivalence Attachment Pola kelekatan insecure ini muncul dari pengalaman anak dengan pengasuhan yang tidak konsisten oleh orang tua sehingga anak tidak pernah yakin apakah ekspresi kecemasan atau stress yang dirasakannya perlu untuk ditunjukkan. Ada hambatan dari pola
pengasuhan dan perlindungan yang konsisten oleh orang tua sehingga muncul perasaan pada anak bahwa mengeksplorasi dunia dan lingkungan sekitar bukanlah pilihan yang tepat. Hal ini berdampak pada rendahnya stres yang dimiliki anak, namun rendah pula kepercayaan diri di masa mendatang. Ketika anak merasa bingung dan mendekatkan diri pada figure lekat, anak hanya hanya menunjukkan emosi marahnya dan menolak terjadi kontak fisik. Pola ini dapat terbawa hingga sang anak dewasa yang turut berkontribusi dalam membentuk perilaku histeria, yakni seperti lari dari keintiman, memiliki banyak tuntutan terhadap orang lain, tidak matang dan mudah terbawa begitu dalam oleh emosi yang dirasakannya (Karen, 1994).
4. Kelekatan Tidak Aman sebagai Dasar Perilaku Kekerasan Kelekatan tidak aman (insecure attachment) antara anak dan orang tua yang berlanjut ke hubungan romantis masa dewasa dapat mengarah pada pemunculan tindak kekerasan pada pasangan. Hal itu disebabkan karena pola kelekatan tidak aman ini membuat anak merasa terpisah dan tertolak oleh figur lekat yang berujung pada rasa marah yang diekspresikan maupun dipendam. Melalui studi yang dilakukan pada kelekatan romantis dewasa, ditemukan bahwa anak yang memiliki kelekatan insecure-ambivalent terasosiasi dengan beberapa respons perilaku seperti mudah jatuh cinta, menjadi sangat pencemburu, menjadi sumber ketakutan, kecemasan, kesepian meskipun berada dalam suatu hubungan, memiliki harga diri yang rendah (Collins & Read, 1990; Feeney & Noller, 1990). Individu ini juga menunjukkan kebutuhan akan kedekatan intim secara berlebihan dan berfokus pada perasaan dan kebutuhannya sendiri tanpa mempertimbangkan perasaan dan kebutuhan pasangannya (Daniels & Shaver, 1991). Berbanding terbalik, individu yang insecure-avoidant secara konsisten menunjukkan respons yang stabil. Individu ini
mengembangkan strategi untuk merasa aman dengan menghindari kontak dengan lingkungan sosial secara intim, khususnya dalam situasi yang penuh tekanan. Dalam relasi romantis yang dijalinnya, individu dengan insecure-avoidant ini melihat hubungan dengan pesimis dan cenderung menghindari penyelesaian masalah dalam hubungan. Selain itu, tampak pula penyangkalan atas kebutuhannya berkenaan dengan kontak fisik dan juga menghindari pasangannya atau tampak tidak nyaman ketika pasangannya melakukan kontak fisik dengannya (Hazan & Shaver, 1987). Berikut ialah dinamika yang muncul dari kelekatan yang tidak aman sebagai dasar dari perilaku kekerasan: a) Perpisahan dan Kemarahan Marah adalah respons terhadap perpisahan dengan figur ibu. Bowlby (1973) menyebutkan bahwa hasil observasi terhadap anak yang mengalami perpisahan dan tidak mengalami perpisahan dengan ibu menunjukkan perbedaan yang signifikan dalam permainan peran. Anak yang mengalami situasi terpisah dari sang ibu terlihat melakukan tindak agresi atau kekerasan terhadap ‘boneka dengan rupa ibu mereka’. Rasa marah terhadap orang tua ini seringkali diekspresikan hanya sesekali dan diselingi dengan rasa sayang. Situasi seperti ini dinamakan Bowlby sebagai ambivalence. Anak yang ambivalence insecure ini menunjukkan ambivalensinya hingga 20 minggu setelah pertemuan kembali dengan orang tua. Emosi marah yang ditunjukkan pada situasi tersebut memiliki dua fungsi, yakni untuk membantu anak dalam mengatasi hambatan saat terjadi pertemuan kembali dan membuat orang yang dicintainya (figur lekat) tidak meninggalkannya lagi. Bowlby juga menandai dugaan bahwa kecemasan tentang perpisahan merupakan dasar dari emosi marah dalam hubungan romantis dewasa. Bowlby mengamati bahwa remaja
usia 15-18 tahun yang mengalami gangguan perilaku cenderung didisplinkan oleh orang tua dengan cara ditinggalkan ketika remaja tidak berperilaku baik. Bowlby juga menambahkan bahwa emosi marah merupakan tahap pertama sebagai reaksi atas perpisahan dan manifestasi dari rasa takut terhadap kehilangan. Rasa marah ini dirancang untuk mengambil kembali objek yang hilang atau mencengah kehilangan tersebut. Ini adalah bentuk dari isyarat dan kontrol. Namun, pada kenyataannya, emosi marah itu sendiri justru menyebabkan jarak dengan figur yang bersangkutan. Jarak yang muncul saat emosi marah berlangsung dapat memperbesar rasa keterpisahan yang berujung pada rasa marah yang lebih besar. Selain itu, jika rasa takut dan marah semakin ekstrim, maka akan muncul perilaku kekerasan atau menaruh rasa dendam terhadap figur yang bersangkutan. Oleh karena alasan inilah, rasa marah sebagai respons terhadap keterpisahan dapat memproduksi muatan-muatan emosi yang memuncak pada ledakan kemarahan. Jadi, rasa marah yang dilahirkan dari rasa takut (anger born of fear) merupakan sumber penting yang mengawali ledakan kemarahan. Jika dikaitkan dengan hubungan romantis dewasa, ketika relasi dengan orang yang dicintai terancam perpisahan, emosi yang muncul ialah kecemasan dan juga kemarahan. Sebagai respons atas risiko kehilangan, kecemasan dan kemarahan ini berlangsung bergantian. Ketika pasangan mulai terlihat menjauh, pemanggilan memori atas kejadian-kejadian positif yang membuat individu mencintai dan peduli terhadap pasangan tersebut dapat memulihkan situasi berjarak yang terjadi. Pada situasi, waktu, dan level yang tepat, kemarahan bukan hanya menjadi hal yang wajar, namun sangat diperlukan karena dapat menghalangi munculnya perilaku yang berbahaya, mengusir
emosi-emosi negatif, dan lainnya yang bertujuan untuk mempertahankan hubungan dengan orang yang dianggap spesial. Beberapa tipe relasi yang berpotensi melibatkan emosi marah ialah: 1) relasi antar pasangan seksual – pacar, suami, atau istri; 2) relasi anak-orang tua; 3) relasi keluarga antar generasi. Ketika relasi-relasi tersebut terancam, individu yang ada di dalam ikatan relasi tersebut mengalami kecemasan dan mungkin kemarahan bisa terjadi (Brisch, 2012). b) Penolakan dan Kemarahan Bowlby (dalam Dutton, 1999) menyatakan bahwa penolakan yang terjadi dalam relasi anak dan ibu dapat mengganggu sistem kelekatan. Satu-satunya cara untuk memulihkan sistem tersebut ialah dengan menjalin kontak fisik dengan figur lekat. Jika ibu sesekali menolak kontak fisik dengan anak namun beberapa waktu setelahnya mengijinkan adanya kontak fisik, maka konflik yang terjadi tidak berlangsung lama. Berbeda halnya dengan ibu yang menganggap kontak fisik dengan anak merupakan hal yang tidak menyenangkan, anak cenderung merasa tertolak dan konflik berlangsung berkepanjangan. Konflik tersebut dapat menjadi mendalam, serius, dan tidak terkatakan. Anak yang mengalami penolakan secara fisik oleh orang tua cenderung mengalami kemarahan dan penarikan diri dalam setiap situasi yang melibatkan cinta dan kelekatan. Ketika seorang individu memiliki keyakinan bahwa figur lekat akan selalu ada saat dibutuhkan, individu tersebut tidak akan memiliki ketakutan yang kronis dibandingkan dengan individu yang tidak percaya bahwa figur lekat akan tersedia saat dibutuhkan. Keyakinan bahwa figur lekat dapat atau tidak dapat dijangkau oleh individu, perlahan akan membentuk suatu model perilaku yang diaktifkan selama masa
ketidakmatangan – bayi, kanak-kanak, remaja – dan berbagai ekspektasi apapun yang muncul dalam proses perkembangan setelah itu sulit untuk mengubah model perilaku yang telah terbentuk dan relatif menetap. Ekspektasi ini yang disebut dengan istilah “working models” atau “internal representations” tentang diri dan pasangan, merupakan komponen sentral dari kepribadian yang mengatur tentang aspek kesadaran dan ketidaksadaran tentang pengaturan dan pemaknaan informasi terkait dengan kelekatan, pengalaman kelekatan, dan perasaan (Main, Kaplan & Casidy, 1985). Representasi internal tersebut: 1) berisi tentang model dari konsep diri terkait layak atau tidak layak individu mendapatkan cinta atau perhatian; 2) menghasilkan ekspektasi yang tidak disadari tentang konsekuensi dari kelekatan masa lampau; 3) menyediakan pola dalam membangun relasi sosial di masa mendatang. G. Paradoks Cinta Pada Perempuan Korban Kekerasan dalam Pacaran: Antara Pengorbanan dan Perpisahan Berdasarkan paparan teori di atas, maka dapat disusun sebuah kerangka teoritis untuk dapat memahami fenomena kekerasan perempuan dalam pacaran, yakni terkait dengan konstruksi sosial yang memetakan peran dan fungsi gender seiring bertambahnya usia memasuki dewasa, tugas perkembangan yang perlu dipenuhi perempuan di masa remaja akhir menuju dewasa awal, pola kelekatan perempuan dengan orang tua di masa lampau dan pola kelekatan perempuan dengan pacar saat ini.
POLA KELEKATAN
ANAK
ORANGTUA
proximity maintenance, safe haven, secure base Rasa aman, dicintai, percaya diri, mengeksplorasi
Menghindari kontak, merasa cemas, merasa tidak aman
SECURE
PACAR
ANAK
Resilien terhadap tekanan, kesejahteraan psikologis, mengatur emosi
PERGI (LEAVE)
PERILAKU LEKAT
INSECURE
ANAK
PACAR
Rapuh terhadap tekanan, keraguan pada diri sendiri, sulit mengambil keputusan
LINGKARAN KEKERASAN
Gambar 2.4 Kerangka Pikir Teori
PERILAKU LEKAT DI MASA DEWASA
BERTAHAN (STAY)