13
BAB II TINJAUAN PUSTAKA Dalam bab ini akan diuraikan tinjauan pustaka yang digunakan untuk mendukung penelitian yang dilakukan. Pembahasan dibagi atas empat bagian yang terdiri dari kolaborasi penelitian, penelitian interdisipliner, dan metode pengukuran tingkat kolaborasi interdisiplin.
2.1.
Kolaborasi Kajian kolaborasi digunakan untuk mengetahui produktivitas dan jumlah
penulis serta menghitung tingkat kolaborasi ditinjau dari organisasi asal dan kedudukan penulis. Pendekatan lain yang digunakan dalam kajian kolaborasi ialah dengan membandingkan tingkat kolaborasi antarlembaga dan antar disiplin ilmu dalam suatu negara serta untuk melihat kondisi yang melatarbelakangi penulis dalam melakukan kolaborasi (Surtikanti, 2004). Kolaborasi merupakan terjemahan dari kata collaboration yang artinya kerjasama. Istilah kolaborasi mempunyai pengertian mencakup semua kegiatan yang ingin dicapai dan mempunyai tujuan serta manfaat sama. Kerjasama terjadi apabila lebih dari satu orang atau lembaga bekerjasama dalam suatu kegiatan penelitian dengan memberikan sumbangan dalam bentuk ilmu pengetahuan dan tindakan yang sifatnya intelektual maupun material. Konsep kolaborasi tumbuh dari anggapan bahwa adakalanya sebuah karya tidak dapat dikerjakan seorang diri sehingga dibutuhkan bantuan penulis atau peneliti lainnya. Kajian kolaborasi banyak ditujukan pada konsep ko-penulis daripada konsep sub-penulis, karena untuk konsep sub-penulis parameternya lebih jelas, batasannya lebih nampak dan lebih mudah diukur. Dalam konsep ko-penulis, kegiatan dikerjakan secara bersama-sama dan nama semua penulis atau peneliti dicantumkan dalam karyanya. Sistem kolaborasi digambarkan oleh Egghe (1991) melalui sebuah pasangan himpunan makalah yang ditulis secara bersama atau sekelompok penulis. Menurut Subramanyam (1983) tingkat kolaborasi peneliti berbeda-beda pada masingmasing disiplin ilmu. Frekuensi peneliti dalam melakukan kolaborasi dengan
14
peneliti lain menentukan tingkat kolaborasi peneliti. Pernyataan itu diperkuat oleh Sulistyo-Basuki (1994) yang menyebutkan tingkat kolaborasi bervariasi antara satu disiplin ilmu dengan disiplin ilmu yang lain, serta dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti lingkungan riset, faktor demografis, dan jenis disiplin ilmu. Tingkat kolaborasi untuk bidang teknologi umumnya lebih tinggi bila dibandingkan dengan tingkat kolaborasi bidang humaniora. Kajian Lindsey dan Brown yang disitir oleh Garfield (1979) menyebutkan bahwa kolaborasi dari seluruh karya untuk bidang ekonomi, sosial dan sosiologi berkisar antara 17-25 %, sedangkan bidang gerontologi, psikiatri, psikologi dan biokimia kolaborasi mencapai 48-81 %. Dalam tulisannya mengenai kolaborasi penelitian, Katz dan Martin (1997) menyatakan bahwa ada asumsi yang secara luas diterima bahwa kolaborasi dalam penelitian merupakan satu hal yang baik untuk dilakukan dan karenanya harus didukung dan dikembangkan. Asumsi ini juga mempengaruhi lingkungan pembuat kebijakan ilmu pengetahuan di berbagai negara. Banyak upaya telah dilakukan dengan cita-cita dan tujuan untuk mengembangkan kolaborasi di antara para peneliti menyatukan dan mempertemukan mereka dalam sebuah lembaga penelitian atau dalam kelompok-kelompok penelitian. Juga ada kebijakan yang ditujukan untuk meningkatkan hubungan antara ilmu dan teknologi yang dapat dicapai dengan mengembangkan kolaborasi penelitian lintas sektor khususnya antara industri dan universitas. Lebih jauh lagi banyak pemerintahan yang telah berusaha keras untuk meningkatkan keikutsertaan peneliti mereka dalam kegiatan kolaborasi internasional, yang diyakini dapat memberikan banyak keuntungan dan penghematan biaya.
2.1.1. Faktor yang Mempengaruhi Kolaborasi Faktor yang mempengaruhi kolaborasi menurut Katz dan Martin (1997) adalah: (1) Adanya perubahan pola pendanaan, (2) Keinginan peneliti untuk meningkatkan popularitas dan kesadaran publik akan keberadaan dirinya, serta perolehan gelar dan kesarjanaan, (3) Meningkatnya tuntutan rasionalisasi tenaga kerja ilmuwan, (4) Kebutuhan instrumen penelitian yang lebih kompleks dan lebih besar skalanya, (5) Meningkatnya spesialisasi bidang ilmu, (6) Kemajuan disiplin
15
ilmiah yang menyebabkan munculnya kebutuhan akan banyak keahlian dalam melakukan sebuah penelitian yang bernilai tinggi, sebuah kondisi yang seringkali hanya dapat dipenuhi dengan bekerjasama dengan orang lain, (7) Tumbuhnya profesionalisme dalam ilmu, (8) Kebutuhan untuk mendapatkan pengalaman atau untuk melatih peneliti yang sedang belajar dengan cara yang paling efektif dan memungkinkan, (9) Meningkatnya keinginan untuk memperoleh perkawinan silang lintas disiplin, (10) Kebutuhan untuk bekerja berdekatan dengan peneliti lain agar dapat memperoleh keuntungan dari keahlian dan pengetahuan tacit yang tersembunyi, (11) Jenis dan karakteristik penelitian. Penelitian yang dilakukan menunjukkan bahwa penelitian eksperimental lebih sering dilakukan dengan cara berkolaborasi dibandingkan dengan yang sifatnya teoritis, sedangkan penelitian lain memberikan bukti bahwa penelitian terapan cenderung lebih sering berkolaborasi dibandingkan penelitian murni.
2.1.2. Motivasi Kolaborasi Beberapa hal yang memotivasi peneliti untuk berkolaborasi menurut Smith dan Katz (2000) meliputi: (1) Peningkatan biaya pelaksanaan penelitian, (2) Biaya transportasi dan komunikasi yang semakin murah, (3) Ilmu adalah institusi sosial dimana kemajuannya sangat bergantung pada interaksi dengan ilmuwan lainnya, baik formal maupun informal melalui ’invisible college’, (4) Meningkatnya kebutuhan untuk spesialisasi pada bidang-bidang tertentu, terutama pada instrumen khusus yang sangat kompleks, (5) Meningkatnya siginifikansi dari bidang-bidang pengetahuan interdisipliner, (6) Adanya berbagai faktor politik dan kebijakan publik yang mendorong peningkatan tingkat kolaborasi antar peneliti.
2.1.3. Keuntungan dan Kerugian Berkolaborasi Penelitian saat ini telah menjadi sangat kompleks dan menuntut keahlian yang lebih luas. Tidak seorang pun memiliki semua pengetahuan dan keahlian serta aspek-aspek teknis yang dibutuhkan dalam sebuah penelitian. Meskipun banyak keahlian yang mungkin bisa dipelajari oleh seorang peneliti tapi akan sangat memakan waktu dan biaya. Jika dua atau lebih peneliti berkolaborasi akan
16
ada kemungkinan di antara mereka yang memiliki keahlian yang dibutuhkan dalam penelitian yang akan dilakukan. Keuntungan yang diperoleh dengan berkolaborasi menurut Katz dan Martin (1997) di antaranya: (1) Kesempatan untuk berbagi pengetahuan, keahlian dan teknik tertentu dalam sebuah ilmu. Dengan kolaborasi akan terjadi pembagian kerja, dan kepastian penggunaan yang efektif setiap kelebihan yang dimiliki oleh masing-masing peneliti (2) Adanya transfer pengetahuan dan keahlian. Upaya untuk memperbaharui pengetahuan yang dimiliki seseorang sangat memakan waktu dan ada beberapa masalah dalam melakukan hal tersebut, di antaranya adalah kenyataan bahwa tidak seluruh ilmu dan perkembangan terbarunya didokumentasikan, ada banyak pengetahuan yang sifatnya tacit dan tetap dalam kondisi seperti itu sampai ilmuwan yang menguasainya mempunyai waktu untuk menuliskannya dan kemudian memublikasikannya. (3) Kolaborasi mendorong perkawinan silang ide dari berbagai bidang ilmu yang akan menambah wawasan dan perspektif baru. Kolaborasi bisa menjadi pendorong tumbuhnya kreativitas dan peluang ini akan lebih tinggi jika berkolaborasi dengan orang-orang yang berasal dari berbagai bidang ilmu yang berbeda. (4) Kolaborasi membuka kesempatan persahabatan intelektual. Penelitian bisa menjadi sebuah pekerjaan yang membatasi interaksi antar individu. Seorang peneliti dapat secara terbatas mengatasi isolasi intelektual tersebut melalui kerjasama dengan orang lain, melakukan pekerjaan dan mungkin juga membina hubungan pribadi dengan mereka. Dengan berkolaborasi, peneliti tidak saja akan membangun hubungan dengan para peneliti yang terlibat dalam penelitian yang sedang dilakukannya, tetapi juga akan membuka peluang bagi peneliti tersebut untuk masuk dalam jaringn yang lebih luas dalam komunitas ilmiah. (5) Kolaborasi mempengaruhi produktivitas.
17
Menurut Katz dan Martin (1997), di samping keuntungan yang banyak diperoleh melalui kolaborasi penelitian, ada juga kerugiannya, di antaranya adalah: (1) meningkatnya biaya tambahan untuk keperluan transportasi baik yang digunakan untuk peneliti maupun peralatan penelitian yang perlu untuk dipindahkan, (2) bertambahnya waktu yang dibutuhkan untuk membuat proposal bersama, beberapa perjanjian kerja dan kemungkinan penelitian harus dilakukan di beberapa tempat yang berbeda. Juga harus disediakan waktu khusus untuk saling berbagi informasi, diskusi-diskusi untuk menyamakan pendapat dalam menyusun hasil akhir penelitian. Peneliti juga membutuhkan waktu tambahan untuk beradaptasi dengan lingkungan baru yang belum dikenalnya dan membangun kerjasama antar personal dengan peneliti lainnya, dan (3) bertambahnya kegiatan administratif yang dibutuhkan akibat banyaknya keterlibatan berbagai pihak. Diperlukan manajemen yang lebih baik dan rapi untuk mengatasi masalah-masalah birokrasi yang muncul. Jika dua lembaga atau lebih berkolaborasi maka seringkali akan muncul masalah menyatukan budaya manajemen yang berbeda, sistem keuangan, aturan hak cipta dan sebagainya. Juga akan ada sistem penghargaan yang berbeda kriteria promosi dan implikasi etik dan komersial yang berbeda.
2.1.4. Jenis Kolaborasi Sulistyo-Basuki (1994) dan Subramanyam (1983) menyatakan bahwa jenis kolaborasi peneliti terbagi atas kolaborasi dosen-mahasiswa, kolaborasi di antara rekan sejawat, kolaborasi pengawas-asisten, kolaborasi peneliti-konsultan, kolaborasi di antara berbagai organisasi penelitian serta kolaborasi internasional. Jumlah anggota kolaborasi bervariasi, mulai dari dua sampai dengan sepuluh orang, walaupun ada juga yang melibatkan sampai 30 orang. Di sisi lain, Smith dan Katz (2001) membagi kolaborasi atas tiga jenis yaitu kolaborasi antar lembaga, kolaborasi antar tim, dan kolaborasi antar individu. Alasan utama yang melatarbelakangi kerjasama antar lembaga umumnya untuk membuat akses pada sumberdaya eksternal, sedangkan pada tim dan individu terutama pada penyelesaian masalah penelitian dan kebutuhan pada keahlian yang dimiliki perseorangan.
18
2.1.5.
Metode Perhitungan Tingkat Kolaborasi Bibliometrika adalah bagian dari informatika yang merupakan kajian
kuantitatif terhadap informasi terekam. Kajian bibliometrika mengaplikasikan metode matematika dan statistika untuk mengukur suatu perubahan, baik secara kuantitatif maupun kualitatif pada sekumpulan dokumen atau media lainnya (Busha dan Harter, 1980). Metode ini memanfaatkan data bibliografis dari dokumen penelitian yang berfungsi sebagai indikator kolaborasi sebagai masukan. Dokumen hasil penelitian saat ini secara luas diterima sebagai salah satu indikator sifat, arah, jumlah dan karakteristik sebuah kajian atau disiplin ilmu (Surtikanti, 2004). Secara kolektif dokumen-dokumen tersebut dapat mewakili data yang berhubungan dengan upaya atau usaha penelitian dan kemajuan ilmiah dalam sebuah bidang ilmu serta interaksi peneliti dalam sebuah komunitas ilmiah. Bahkan dalam periode tertentu data tersebut dapat memberikan gambaran dan pemahaman tentang perubahan komposisi dan pergerakan sebuah disiplin atau ilmu pengetahuan secara umum.
2.2.
Penelitian Interdisipliner Penelitian interdisipliner pertama kali diteliti pada bidang ilmu sosiologi,
psikologi dan sejarah pada era tahun 50-an. Pada waktu itu ilmuwan melakukan investigasi bagaimana penelitian interdisipliner dikelola dalam kaitannya dengan perkembangan ilmu, dan bagaimana ilmuwan berperilaku dalam kolaborasi interdisipliner (Qin, Lancaster dan Allen, 1997). Dalam bidang informasi, ilmuwan mulai mengkaji bidang ini sekitar dua dekade. Beberapa jenis penelitian yang telah dilakukan ilmuwan adalah menggunakan informasi dalam bentuk menyitir dan publikasi dari sebuah penelitian interdisipliner dibandingkan dengan penelitian yang mono disiplin (Romero, 1997). Penelitian interdispliner merupakan sebuah konsep yang belum memiliki batasan yang jelas dan sulit untuk didefinisikan. Qin, Lancaster dan Allen (1997)
19
merangkum beberapa karakteristik penelitian interdisipliner dari beberapa penelitian yaitu: 1.
Berbagai bidang ilmu tercakup atau berada dalam sebuah penelitian.
2.
Anggota kelompok penelitian menggunakan berbagai pendekatan yang berbeda untuk menyelesaikan sebuah masalah penelitian.
3.
Anggota kelompok penelitian melakukan peran yang berbeda dalam menyelesaikan masalah penelitian.
4.
Anggota kelompok penelitian bekerja untuk menyelesaikan masalah penelitian yang berbeda.
5.
Ada sekelompok peneliti yang bertanggungjawab untuk menyelesaikan produk akhir penelitian.
6.
Kelompok peneliti yang saling berbagi fasilitas yang sama.
7.
Sifat atau karakter masalah penelitian menentukan pemilihan anggota kelompok penelitian.
8.
Anggota kelompok dipengaruhi oleh bagaimana anggota lainnya bekerja.
2.2.1. Metode Interdisiplin Disiplin berasal dari istilah bahasa Latin ’disciplina’, atau dalam bahasa Inggris ’discipline’ secara khusus mengacu pada konteks pendidikan dan kegiatan pengajaran wujud pengetahuan tertentu sebagaimana tergambar dalam kurikulum dan buku teks (McIrerney, 1997). Disiplin merupakan kombinasi dari kategori kognitif dan sosial. Menurut McIrerney (1997), sistem kategori disiplin merupakan bagian dari bagaimana ilmu pengetahuan dikelola dalam sebuh sistematika tertentu. Sebuah sistem yang digunakan untuk mengorganisasikan pengetahuan dikenal sebagai skema klasifikasi. Klasifikasi yang ideal untuk keseluruhan pengetahuan yang ada harus dapat membedakan antara bidang pengetahuan atau disiplin dalam tiap bagian pengetahuan yang berbeda dan sama dalam sistematika pembagiannya. Skema ini juga harus memiliki pola kategori yang dapat disesuaikan bagi tiap perkembangan ilmu pengetahuan baru. Klasifikasi yang ada saat ini sangat terbatas dalam hal kemampuan menempatkan bidang penelitian baru yang bersifat interdisiplin atau subdisiplin
20
baru yang spesifik. Sebagai contoh untuk alasan praktis tetap mempertahankan kategori yang tidak sesuai lagi dengan perkembangan ilmu yang ada pada saat sistem klasifikasi tersebut dibuat. Misalkan pada pembagian bidang sains, berdasarkan sistem klasifikasi yang ada saat ini umumnya sangat kurang dalam membedakan disiplin teknik yang akan menyebabkan kesalahan pemahaman lintas disiplin dalam bidang ini. Mengingat peran penelitian dalam pengembangan ilmu dan disiplin baru maka dikenal beberapa metode penelitian bibliometrik dalam melihat bagaimana tingkat lintas disiplin dalam penelitian. Metode yang umum digunakan untuk mengukur penelitian interdisipliner adalah dengan menghitung kemunculan bersama elemen tertentu yang dapat dianggap sebagai penanda sebuah disiplin tertentu (Surtikanti, 2004). Di antara metode penghitungan adalah seperti kata kunci, tajuk klasifikasi, afiliasi pengarang, atau sitasi. Beberapa jenis metode penghitungan lintas disiplin berdasarkan pendekatan kemunculan bersama elemen yang mewakili konsep disiplin adalah analisis coword dan ko-klasifikasi, analisis sitiran dan analisis ko-pengarang. Keempat pendekatan tersebut memiliki kelebihan dan kekurangan, dan mempunyai kesesuaian dengan tujuan-tujuan penelitian tertentu. Analisis co-word dan ko-klasifikasi berfokus pada informasi yang ada pada makalah yang diteliti. Sebuah makalah akan dimasukkan pada kelompok interdisipliner apabila informasi yang ada pada makalah tersebut bukan dari klasifikasi monodisipliner karena relevansi atau karena subjek makalah tersebut berada di antara dua atau lebih disiplin. Analisis sitasi mengukur aliran informasi antar disiplin dari sumber bacaan antar disiplin pengarangnya. Konsep disiplin dari ketiga metode di atas hanya melakukan analisis pada aspek kognitif lintas disiplin yang berhubungan dengan informasi. Ko-pengarang merupakan metode yang tepat untuk memahami sifat interdisipliner disiplin sebagai sebuah kombinasi fenomena kognitif dan sosial, khususnya untuk bidang yang secara sistematik ambigu. Dengan mengacu pada afiliasi pengarang dapat menghindari adanya distorsi dan hal-hal lain yang disebabkan klasifikasi pengetahuan yang tidak sempurna (Surtikanti, 2004).
21
2.2.2. Indeks Pengukuran Interdisiplinaritas dan Multidisiplinaritas Dalam kajian ini akan digunakan dua macam pengukuran untuk menggambarkan tingkat dan pola kolaborasi interdisiplin dan multidisiplin, yaitu Indeks Interdisiplinaritas dan Indeks Multidisiplinaritas. Kedua pengukuran ini dipakai oleh Schummer (2003) dalam penelitiannya mengenai tingkat kolaborasi interdisiplin pada bidang nanosains dan nanoteknolgi, berdasarkan metode penghitungan yang dikembangkannya. Metode ini memungkinkan pengukuran kedua indeks di atas pada keseluruhan populasi maupun pada bagiannya. Cara pengolahan data dapat diterapkan baik pada keseluruhan populasi maupun per bidang penelitian. Penggunaan distribusi fungsi disiplin pada metode ini merupakan pilihan ukuran yang relatif tepat, meskipun kurang ilustratif, untuk mengukur multidisipliner. Secara umum disiplin dapat dihitung berdasarkan dua basis penghitungan yaitu basis pengarang dan basis makalah. Basis pengarang menghitung jumlah pengarang dari disiplin tersebut sedangkan basis majalah menghitung jumlah makalah yang di dalamnya terdapat sedikitnya satu pengarang dari disiplin yang terlibat. Metode yang dikembangkan oleh Schummer menggunakan basis makalah dalam penghitungannya. Shummer juga menjelaskan bagaimana menerapkan metode ini dalam berbagai kategori kelas selain kategori disiplin. Untuk melakukan pengukuran yang berbeda, seperti pengukuran tingkat dan pola kolaborasi pada berbagai lembaga atau berbagai wilayah, maka dapat dilakukan hanya dengan mengubah kelas kategori sesuai dengan tujuan pengukurannya. Berikut akan dijelaskan bagaimana metode penghitungan kedua ukuran indeks di atas.
Indeks Multidisiplinaritas Dalam melakukan pengukuran Indeks multidisiplinaritas dalam penelitian ini akan digunakan batasan disiplin yang akan masuk dalam penghitungan. Ukuran umum multidisipliner dari sebuah bidang adalah jumlah disiplin yang terlibat penelitian. Disiplin yang diukur adalah disiplin yang terlibat dalam kepengarangan dengan jumlah sekurangnya 5% dari keseluruhan karya yang ada. Penentuan nilai 5% merupakan pilihan untuk menyederhanakan pola interaksi
22
disiplin yang akan digambarkan dan dianggap cukup mewakili kondisi data yang diolah. Nilai ini dilambangkan dengan M05, dengan M05
: Indeks multidisiplinaritas : jumlah disiplin yang terlibat dalam kepengarangan dengan jumlah sekurangnya 5% dari keseluruhan karya yang ada.
Dengan demikian cara menghitungnya adalah M05 = hitung [ci] jika ci > 0,05, dengan ci : ukuran relatif disiplin i. Dengan cara menghitungnya adalah ci
= ni/N ,
dengan ni : jumlah makalah dengan sekurangnya 1 pengarang dari disiplin I terlibat N : jumlah total makalah. Selain itu untuk memberikan gambaran tentang distribusi, juga digunakan ukuran relatif dari disiplin ilmu terbesar, c Max sebagai indikator lain yang sifatnya sederhana. Cara pengukuran ukuran relatif disiplin terbesar adalah: c Max = Max [ci]. Indeks Interdisiplinaritas Pengukuran umum penelitian Interdisiplinaritas adalah jumlah karya yang diko-pengarangkan oleh pengarang yang berasal lebih dari 1 disiplin. Dalam kajian ini dibatasi pada interaksi dari dua disiplin atau lebih. Ukuran indeks untuk karya yang diko-pengarangkan oleh pengarang dari 2 atau lebih disiplin adalah I2 atau indeks interdisiplin dari dua disiplin atau lebih. Dengan cara penghitungannya adalah: I2 = jumlah makalah yang diko-pengarangkan oleh pengarang dari 2 atau lebih disiplin/N. Juga akan dilakukan pengukuran untuk menghitung koefisien bi-disipliner khusus untuk tiap pasangan disiplin I dan k, atau cik.
23
Cara menghitung koefisien ini adalah: cik = nik / N, dengan cik : ukuran relatif I dan k nik : jumlah makalah dengan ko-pengarang sekurangnya 1 pengarang dari tiap disiplin I dan k N : jumlah total makalah. Untuk
memperoleh semua informasi penting mengenai disiplin mana
berkolaborasi dengan disiplin lain dan sampai sejauh mana tingkat kolaborasinya, maka koefisien cik yang diperoleh akan disusun menjadi kombinasi binari disiplin dalam matriks interdisiplin simetrik. Matriks ini juga akan memberikan informasi mengenai tingkat kolaborasi antar pengarang yang berasal dari satu disiplin. Elemen diagonal matriks dengan k = I, ci.i, akan mengindikasikan jumlah relatif karya yang dikarang oleh pengarang monodisipliner dari tiap disiplin i.
2.3.
Teori Graf Leigthon dan Rubinfeld (2006) menyatakan bahwa dalam matematika dan
ilmu komputer, teori graf adalah ilmu mengenai graf struktur matematika. Suatu graf G dapat dinyatakan sebagai G =
. Graf G terdiri atas himpunan V yang berisikan puncak (node) pada graf tersebut dan himpunan dari E yang berisi rusuk pada graf tersebut. Himpunan E dinyatakan sebagai pasangan dari puncak yang ada dalam V. Sebagai contoh definisi dari graf pada Gambar 1. yaitu: V = {1,2,3,4,5,6} dan E = {(1,2),(1,5),(2,3),(3,4),(4,5),(5,2),(4,6)}.
V = {1,2,3,4,5,6} E = {{1,2},{1,5},{2,3},{2,5},{3,4},{4,5},{4,6}}
Gambar 1. Ilustrasi himpunan E dan V Banyak struktur yang bisa direpresentasikan dengan graf. Ekstensi lain pada graf adalah dengan membuat rusuknya berarah, yang secara teknis disebut graf berarah atau digraf (directed graph). Arah dengan rusuk berbobot disebut jaringan.
24
Jaringan banyak digunakan pada cabang praktis teori graf yaitu analisis jaringan. Perlu dicatat bahwa pada analisis jaringan, definisi kata “jaringan” bisa berbeda, dan sering berarti graf sederhana (tanpa bobot dan arah) (Harary, 1969). Struktur graf dapat mereprentasikan berbagai masalah secara menarik. Sebagai contoh, graf dapat halaman yang tersedia pada website dan sebuah rusuk dari halaman A ke halaman B jika dan hanya jika A terdiri atas sebuah link ke B. A dengan pendekatan yang sama bisa digunakan dalam travel, biologi, desain chip komputer dan bidang yang lainnya. Dalam ilmu komputer yang menjadi perhatian utama dalam teori graf adalah pengembangan algoritme. Suatu struktur graf dapat diperluas dengan menetapkan sebuah bobot atau ukuran untuk setiap rusuk. Graf dengan bobot digunakan untuk merepresentasikan struktur dalam hubungan pasangan yang memiliki nilai numerik. Sebagai contoh, jika sebuah graf digambarkan sebagai jalan raya, bobot atau ukuran digambarkan sebagai panjang setiap jalan. Suatu ukuran atau bobot rusuk dalam konteks teori graf disebut juga dengan jaringan. Jaringan memiliki banyak kegunaan dari sisi teori graf. Dalam analisis jaringan istilah “jaringan” sangat beragam dan seringnya merujuk pada graf sederhana. Aplikasi teori graf sudah banyak, tetapi umumnya dibagi ke dalam dua kategori: pertama analisis untuk menentukan sifat dari suatu jaringan seperti distribusi derajat puncak dan diameter graf, kedua, analisis untuk mengukur kuantitas dalam jaringan, sebagai contoh untuk sebuah jaringan transportasi, berapa banyak kendaraan yang melewati suatu jalan tertentu. Teori graf juga digunakan dalam studi molekuler pada ilmu kimia dan fisika, misalnya dalam struktur atom tiga dimensi. Teori graf juga secara luas digunakan dalam sosiologi dan komunikasi. Dalam sosiologi sudah terdapat software analisis jaringan sosial yang menggunakan teori graf. Dalam komunikasi teori graf dikenal dengan graf komunikasi.
2.3.1. Graf Komunikasi Komunikasi ilmiah adalah penyampaian informasi ilmiah dari satu orang ke orang lain melalui berbagai media. Tujuan komunikasi adalah untuk penyebaran dan pertukaran informasi, penyusunan fakta menjadi bentuk informasi yang
25
memenuhi kebutuhan peneliti/ilmuan, dan pemberitahuan kepada sesama ilmuan yang mempunyai disiplin ilmu sama atau saling berkaitan (Schweppe dalam Sumaryanto, 1987). Sulistyo-Basuki (1983) menggambarkan sistem komunikasi ilmiah sebagai penyampaian informasi secara langsung ataupun tidak langsung kepada pengguna atau pemakai informasi. Penyampaian secara langsung disebut komunikasi informal misalnya melalui lisan, telepon dan lain-lain, sedangkan penyampaian secara tidak langsung disebut komunikasi formal, yaitu melalui media formal (literatur primer, sekunder dan tersier). Graf komunikasi dapat menggambarkan suatu komunikasi formal. Menurut Suryadi (1994), suatu graf G (V, E) terdiri atas 2 himpunan: (1) Himpunan V, yang elemennya disebut vertek, (2) Himpunan E yang merupakan himpunan pasangan tidak terutur dari puncak elemen, disebut himpunan Rusuk. Jadi suatu graf merupakan suatu himpunan yang terdiri atas himpunan titik (puncak) dan garis (rusuk) yang menghubungkan kedua titik tersebut. Setiap garis pada suatu graf terletak antara dua titik dan setiap titik disajikan secara eksplisit. Dalam hal ini konfigurasi geometris pada suatu graf adalah dihubungkan atau tidaknya dua titik pada graf tersebut. Banyaknya garis yang bertemu pada suatu titik disebut valensi (degree), dan untuk titik yang valensinya nol disebut dengan titik terasing (isolated point).
2.3.2. Graf Molekuler Salah satu struktur graf yang bisa digunakan untuk memvisualisasikan hubungan kuantitatif dengan sederhana adalah dengan graf molekuler (Schummer, 2003). Dalam kajian ini graf molekuler digambarkan sebagai salah satu representasi topologis dengan disiplin sebagai simpul dalam bentuk bulatan dan tiap simpul disiplin dihubungkan satu sama lain dengan hubungan interdisipliner berupa batang. Kesederhanaan graf molekuler memungkinkan visualisasi struktur interdisipliner
hanya
pada
beberapa
disiplin
dan
beberapa
hubungan
interdisipliner yang terlibat. Keuntungan dan kesederhaaan graf ini benar-benar memungkinkan untuk memahami karakteristik struktur lintas disiplin langsung
26
untuk setiap kelompok kategori disiplin yang berbeda sesuai dengan tujuan analisis data. Untuk
meningkatkan
kemudahan
memahami
graf
molekuler
dan
memfokuskan diri pada informasi yang penting ada gunanya mengurangi kompleksibilitas dengan mengeluarkan informasi-informasi yang kurang penting. Sebagai contoh dengan menggunakan limit 5% untuk tiap disiplin, maka hubungan yang lebih kecil misalnya 2% atau 1% dapat dihilangkan. Dengan melakukan pembatasan, graf molekuler dapat diatur agar hanya memasukkan disiplin-disiplin yang nilainya lebih besar atau sama dengan 5%, dengan jumlah lingkaran sesuai dengan indeks M05, lebar kombinasi dari semua hubungan binari sebanding dengan binari lintas disiplin I2, dan seterusnya. Jika digunakan skala yang sama untuk mewakili ukuran relatif dari tiap disiplin ci sebagai diameter lingkaran dan untuk mewakili koefisien bi-disiplin cik, dengan lebar batang penghubungnya, graf yang dihasilkan juga memvisualisasikan semua indeks yang didefinisikan di atas. Sebagai contoh Gambar 2 mengilustrasikan suatu struktur tiga disiplin. Dua disiplin sama ukurannya yaitu disiplin A dan B, keduanya berhubungan sangat kuat dan dominan satu sama lain, sedangkan disiplin C yang ukurannya lebih kecil, lebih kuat behubungan dengan disiplin B daripada dengan disiplin A. Dari Gambar 2 dapat digambarkan bahwa ada tiga relasi yang terjadi yaitu: kuat dan simetris (A-B), kuat dan asimetris (B-C), dan lemah dan asimetris (A-C).
C
A
B
Gambar 2 Ilustrasi graf molekuler dari struktur tiga disiplin ilmu