BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Pengertian 2.1.1. Pengertian Kesehatan dan keselamatan Berdasarkan definisinya, keselamatan berarti suatu keadaan dimana seseorang terbebas dari peristiwa celaka dan nyaris celaka. Sedangkan kesehatan memiliki arti tidak hanya terbebas dari penyakit namun juga sehat atau sejahtera secara fisik, mental, serta sosial (Siahaan, 2006). Sedangkan pengertian kesehatan kerja adalah : 1.
Upaya kesehatan kerja adalah upaya penyerasian antara kapasitas kerja, beban kerja dan lingkungan kerja agar setiap pekerja dapat bekerja secara sehat
tanpa
membahayakan
dirinya
sendiri
maupun
masyarakat
disekelilingnya, agar diperoleh produktivitas kerja yang optimum (UU Kesehatan Tahun 1992 Pasal 23). 2.
Konsep dasar dari upaya kesehatan kerja ini adalah : Identifikasi permasalahan, evaluasi dan dilanjutkan dengan tindakan pengendalian.
Tujuan dari Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) ditempat kerja adalah : 1.
Menciptakan sistem kerja yang aman.
2.
Menjamin tercapainya kesejahteraan pada pekerja, properti dan lingkungan dalam melaksanakan pekerjaannya.
2.1.2. Ruang Lingkup Kesehatan dan Keselamatan Kerja Kesehatan kerja meliputi berbagai upaya penyerasian antara pekerja dengan pekerjaan dan lingkungan kerjanya baik fisik maupun psikis dalam hal cara/metode kerja, proses kerja dan kondisi yang bertujuan untuk (Siahaan, 2006) : 1. Memelihara dan meningkatkan derajat kesehatan kerja masyarakat pekerja di semua lapangan kerja setinggi – tingginya baik fisik, mental maupun kesejahteraan sosialnya.
5
2. Mencegah timbulnya gangguan kesehatan pada masyarakat pekerja yang diakibatkan oleh keadaan / kondisi lingkungan kerjanya. 3. Memberikan pekerjaan dan perlindungan bagi pekerja di dalam pekerjaannya dari kemungkinan bahaya yang disebabkan oleh faktor – faktor yang membahayakan kesehatan. 4. Menempatkan dan memelihara pekerja di suatu lingkungan pekerjaan yang sesuai dengan kemampuan fisik dan psikis pekerjanya.
2.1.3. Hazard / Bahaya Hazard / bahaya
adalah suatu bahan / kondisi yang berpotensi
menimbulkan kerusakan / kerugian. Pada dasarnya hazard selamanya akan tetap menjadi hazard, walaupun tidak menimbulkan kerugian / konsekuensi pada manusia. Kerugian / konsekuensi baru muncul setelah adanya kontak dengan manusia, melalui beberapa cara (Siahaan, 2006): 1. Manusia yang menghampiri bahaya. 2. Bahaya yang menghampiri manusia. 3. Manuasia dan bahaya saling menghampiri.
2.1.4. Risk / Resiko Resiko adalah suatu kemungkinan terjadinya dampak / konsekuensi pada kelompok / individu yang terpapar dengan hazard. Untuk mengelola resiko perlu adanya suatu manajemen resiko (risk management). Tujuan dari manajemen resiko adalah meminimalisasi kerugian dan meningkatkan kesempatan ataupun peluang (Siahaan, 2006).
2.1.5. Insiden, Kecelakaan dan Near Miss 1. Insiden adalah Kejadian yang dapat menimbulkan kecelakaan atau memiliki potensi mengarah kepada suatu kecelakaan (termasuk : near miss accident) (WQA, 2007) .
6
2. Kecelakaan Kejadian tidak diinginkan yang menyebabkan kematian, sakit, cidera, kerusakan atau kerugian lainnya. Contoh kecelakaan / accident : a. Jatuh dari ketinggian ketika bekerja di gedung tinggi. b. Cedera mata terkena spark/bunga api c. Kulit terbakar terkena bahan kimia d. Kebakaran e. Bahan kimia tumpah ke tanah f. Dll. 3. Near Miss Kejadian yang tidak menghasilkan cidera atau kerusakan tetapi memiliki potensi (hampir) menyebabkan hal tersebut. Contoh near miss : a. Terjatuhnya barang dari rak di gudang b. Tersandung c. Hampir tertabrak d. Silau karena cahaya
2.2. Landasan Hukum Ada tiga alasan yang menyebabkan pentingnya kesehatan dan keselamatan kerja, yaitu (Siahaan, 2006) : 1. Keselamatan adalah Hak Asasi Manusia (HAM). 2. HAM dilindungi oleh peraturan perundang – undangan . 3. Efesiensi atau mengurangi kerugian akibat kecelakan kerja. Untuk menjamin perlindungan pekerja atas kesehatan dan keselamatannya dalam bekerja, maka pemerintah mengatur pelaksanaannya dalam Undang – Undang : 1. Undang – Undang No. 3 Tahun 1969 Tentang Persetujuan Konvensi ILO No. 120 Mengenai Hygiene dalam Perniagaan dan Kantor – kantor. 2. Undang – Undang No. 14 Tahun 1969 Tentang Ketentuan – Ketentuan Pokok Mengenai Tenaga Kerja (lembaran Negara No. 55 Tahun 1969). 7
3. Undang – Undang No. 1 Tahun 1970 Tentang Keselamatan – Keselamatan Kerja (lembaran Negara No. 1 Tahun 1970). 4. Undang – Undang No. 3 Tahun 1992 Tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja. 5. Undang – Undang No. 23 Tahun 1992 Tentang Keselamatan Kesehatan. 6. Undang – Undang RI No. 25 Tahun 1991 Tentang Ketenagakerjaan. 7. Keputusan Presiden RI No. 22 Tahun 1993 Tentang Penyakit Yang Timbul Karena Hubungan Kerja. 8. Peraturan Menteri Tenaga Kerja RI No. Per.01/Men/1980 tentang Kesehatan dan Keselamatan Kerja pada Konstruksi Bangunan. 9. Peraturan Menteri Tenaga Kerja RI No. Per.05/Men/1996 tentang Sistem Manajemen Kesehatan dan Keselamatan Kerja (SMK3). 10. Keputusan Bersama Menteri Pekerjaan Umum dan Menteri Tenaga Kerja Nomor Kep.
174 / Men / 1986 tentang pedoman kesehatan dan keselamatan 104 / KPTS / 1986
kerja pada tempat kegiatan konstruksi. Surat Keputusan Bersama Menteri Pekerjaan Umum dan Menteri Tenaga Kerja tahun 1986, menetapkan berlakunya Buku Pedoman Pelaksanaan tentang Kesehatan dan Keselamatan Kerja pada Tempat Kegiatan Konstruksi. Persyaratan administrasi dan teknis mengenai K3 telah dirumuskan dalam buku pedoman tersebut. Pihak – pihak yang terlibat pada penyelenggaraan konstruksi perlu memahaminya dan membudayakannya. Pokok – pokok yang diatur dalam buku pedoman adalah : 1. Persyaratan Administrasi a. Ruang lingkup berlakunya peraturan; b. Kewajiban umum; c. Organisasi Kesehatan dan Keselamatan Kerja; d. Laporan kecelakaan; e. Kesehatan dan keselamatan dan pertolongan pertama pada kecelakaan. 2. Persyaratan Teknis Pintu masuk / keluar, lampu / penerangan, ventilasi, kebersihan, pencegahan terhadap kebakaran / perlindungan terhadap benda – benda jatuh dan bagian
8
bangunan yang rubuh, terali pengaman, kebisingan dan getaran (vibrasi), dan sebagainya. 3. Persyaratan / Ketentuan lain – lain Ketentuan teknis mengenai perancah, tangga, peralatan pengangkat, tali, rantai, permesinan, peralatan, pekerjaan bawah tanah, penggalian – penggalian, pemancangan, pengerjaan beton, pembongkaran.
2.3. Organisasi Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) Untuk menjamin pekerja agar sehat, selamat dan sejahtera serta mendapat kepuasan kerja, maka perusahaan perlu membentuk organisasi Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3). Di beberapa perusahaan organisasi ini dinamakan Bagian Kesehatan dan Keselamatan Kerja / Occupational Health and Safety (OHS), Bagian Kesehatan dan Keselamatan Kerja / Occupational Safety and Health (OSH), atau bahkan digabungkan dengan Kesehatan Lingkungan menjadi Bagian Keselamatan, Kesehatan dan Lingkungan / Safety, Health and Evironment (SHE). Organisasi ini biasanya berada dibawah pengawasan Departemen Sumber Daya Manusia atau Departemen Produksi. Depnakertrans
sendiri
mensyaratkan
dibentuknya
Panitia
Pembina
Kesehatan dan Keselamatan Kerja (P2K3) yang anggotanya terdiri dari 50% wakil manajemen dan 50% wakil pekerja. Organisasi ini berfungsi menangani masalah di bidang Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3), membuat kebijakan atau prosedur kerja yang berguna dalam melindungi kesehatan dan keselamatan pekerja. Dibidang jasa konstruksi sendiri pelaksanaan Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) dilakukan dengan : 1.
Menganjurkan kontraktor kualifikasi besar wajib membentuk unit Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) pada kantor pusat perusahaannya dan harus dipimpin oleh orang yang telah mempunyai sertifikat.
2.
Membenahi ketentuan pelaksanaan pada proyek konstruksi yakni : a. Setiap proyek yang dikerjakan oleh kontraktor kualifikasi besar harus mengangkat satu orang yang khusus mengamati Kesehatan dan Keselamatan Kerja dan orang tersebut dinamakan “safety construction engineer” dan petugas ini pada dasarnya harus mempunyai sertifikat. 9
b. Demikian pula pada proyek konstruksi tersebut, pemilik proyek harus mengangkat pula seorang yang menangani Kesehatan dan Keselamatan Kerja dan dinamakan “safety construction officer”.
2.4. Manajemen Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) Dalam menciptakan tenaga kerja yang produktif, sehat dan berkualitas dibutuhkan suatu sistem manajemen yang khusus mengatur mengenai Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3). Hal ini bertujuan untuk : 1.
Sebagai alat untuk mencapai derajat kesehatan tenaga kerja yang setinggi – tingginya, baik buruh, petani, nelayan, pegawai negeri, atau pekerja – pekerja bebas.
2.
Sebagai upaya pencegahan dan pemberantasan penyakit dan kecelakaan – kecelakaan akibat kerja, pemeliharaan, dan peningkatan kesehatan, dan gizi tenaga kerja, perawatan dan mempertinggi efisiensi dan daya produktifitas tenaga manusia, pemberantasan kelelahan kerja dan penglipat ganda kegairahan serta kenikmatan kerja.
Manajemen memiliki kewenangan dalam mengontrol setiap aktivitas kerja. Namun seringkali aktivitas tersebut tidak terkontrol dengan baik. Hal ini disebabkan oleh : 1.
Manajemen Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) yang kurang terencana dengan baik.
2.
Kurang tepat atau kurang mendalamnya standar perencanaan.
3.
Pelaksanaan standar yang tidak tepat.
Perencanaan manajemen Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) meliputi : 1.
Kepemimpinan dan administrasi.
2.
Manajemen kesehatan dan keselamatan kerja terpadu.
3.
Pengawasan.
4.
Analisis pekerjaan dan prosedural.
5.
Penelitian dan analisis pekerjaan.
6.
Latihan bagi tenaga kerja.
7.
Pelayanan kesehatan kerja. 10
8.
Penyediaan alat pelindung diri.
9.
Peningkatan kesadaran terhadap Kesehatan dan Keselamatan Kerja.
10. Sistem pemeriksaan dan pendataan. Untuk penyediaan alat pelindung diri yang perlu dipersiapkan antara lain (Siahaan, 2006) : a. Helm
b. Sepatu
Helm ini berguna untuk melindungi kepala dari benturan benda keras yang terjatuh, pukulan, terjatuh dan terkena arus listrik.
Sepetu berguna untuk melindungi kaki dari benda yang jatuh, benda tajam atau luka akibat terjepit.
c. Sarung tangan Sarung tangan ini melindungi tangan dari batuan yang tajam, serpihan besi, atau cairan semen.
d. Pelindung pernafasan / masker
Masker berguna untuk melindungi pernafasan dari debu atau bahan baku yang mengandung zat kimia.
11
e. Kacamata / goggles
f. Penutup telinga
g. Sabuk pengaman
h. Pakaian Las (Welding Apron)
Kacamata / goggles berguna untuk melindungi mata dari pekerjaan seperti mengelas, menggerinda, memecah batu.
Penutup telinga berguna untuk melindungi telinga dari suara bising akibat pekerjaan konstruksi.
Sabuk pengaman berguna pada saat mengerjakan pekerjaan konstruksi di ketinggian khususnya pekerjaan yang dilakukan lebih dari 3 meter.
Pakaian las berguna untuk melindungi tubuh dari percikan api akibat las.
12
2.5. Penyebab Kecelakaan Kerja Berdasarkan data dari organisasi buruh dunia (ILO) pada tahun 2006, sebab dari kecelakaan kerja yaitu : 1.
Tindakan tidak aman (80%) Bisa berasal dari tingkah laku / sikap yang tidak aman, kelelahan, kurangnya pengetahuan / keterampilan, cacat tubuh yang tidak terlihat.
2.
Kondisi yang tidak aman (20%) Bisa berasal dari peralatan, lingkungan, proses, metode, kebijakan perusahaan.
Sebagaimana yang telah dipaparkan, ada beberapa kecelakaan kerja yang paling sering terjadi pada pekerjaan konstruksi. Kecelakaan kerja tersebut, disebabkan oleh : 1. Kecelakaan karena pengangkutan alat yang bergerak dan lalu-lintas (30%). Kecelakaan ini biasanya disebabkan oleh : a.
Penempatan alat dan bahan kurang baik
b.
Disiplin yang kurang dari para operator dalam mengangkut bahan dan alat.
c.
Pengoperasian alat oleh tenaga yang belum terampil.
d.
Terlalu banyaknya muatan
e.
Tidak ada atau kurang memadainya rambu / tanda lalu lintas atau pengamanan
2. Kecelakaan karena kejatuhan benda (29%) Kecelakaan ini biasanya disebabkan oleh : a. Kurang baik atau tidak tepatnya pemasangan dan penggunaan bahan atau alat kerja b. Tidak terdapatnya pengamanan terhadap benda – benda yang jatuh c. Mengangkat bahan atau alat ketempat yang tinggi secara tidak benar, terlalu banyak atau terlalu berat d. Tidak mengenakan topi pelindung / helm kepala
13
3. Kecelakaan karena tergelincir, terpukul, terkena benda tajam/keras (26%) Kecelakaan ini biasanya disebabkan oleh : a. Jalan yang dilalui licin, berdiri atau berjalan pada tempat yang tidak seharusnya dilalui. b. Terkena benda tajam karena membiarkan tergeletak. c. Kecelakaan karena terpukul 4. Kecelakaan karena jatuh dari tempat yang tinggi (10%) Kecelakaan ini biasanya disebabkan oleh : a. Bekerja pada ketinggian b. Pekerjaan dinding / turap yang menggunakan perancah c. Tangga yang tidak kokoh d. Jatuh dari lubang e. Pelataran yang tidak utuh 5. Kecelakaan karena terkena aliran listrik, kebakaran dan ledakan (5%) Kecelakaan ini biasanya disebabkan oleh : a. Pekerja menyentuh kabel listrik dan panel yang rusak b. Terjadi kebakaran di proyek. Kebakaran ini di mungkinkan terjadi karena adanya arus pendek, bahan kimia yang peka gesekan dan panas tidak ditempatkan pada tempat yang semestinya sesuai petunjuk pabriknya. c. Kurangnya pengamanan seperti lingkungan kerja yang tidak rapi dan kesalahan penempatan bahan – bahan yang memiliki kepekaan yang tinggi meyebabkan terjadinya ledakan.
2.6. Penyebab Penyakit Akibat Kerja Penyebab penyakit akibat kerja berasal dari berbagai hal antara lain penyebab faktor fisik, kimia, biologis, mental-psikologis dan fisiologi (Siahaan, 2006). 1. Faktor fisik, yaitu : a. Suara bising atau gaduh yang dapat menyebabkan gangguan pendengaran; b. Suhu yang terlalu tinggi atau terlalu rendah; 14
c. Getaran yang mampu mengganggu sirkulasi darah dan saraf (sindrom vibrasi, ray naund phenomena dan lain – lain); d. Penerangan yang kurang atau terlalu kuat, sinar infra merah yang dapat merusak mata, sinar ultra violet yang dapat menimbulkan peradangan; e. Radiasi sinar radio aktif dapat menyebabkan sakit tumor atau kanker. 2. Faktor kimia, yaitu : a. Gas yang berbahaya seperti amoniak, Co, H2S; b. Uap logam yang dapat menimbulkan penyakit kulit; c. Semen menimbulkan sakit kulit; d. Cat dapat menimbulkan sakit dada; e. Debu dapat menimbukan Ca paru atau asma. 3. Faktor biologis, yaitu : a. Cacing, serangga; b. Bakteri, virus; c. Jamur menimbulkan penyakit kulit (panu); d. Getah tumbuhan menyebabkan penyakit kulit. 4. Faktor mental – psikologis, yaitu : a. Ketegangan kerja karena pekerjaan yang tidak sesuai bakat / pendidikan; b. Stres akibat beban kerja atau tanggung jawab yang terlalu berat; c. Tidak mampu bekerja sama dengan teman sekerja. 5. Faktor fisiologi, yaitu : a. Mengangkat barang yang terlalu berat; b. Cara kerja yang tidak benar; c. Kelelahan fisik karena kesalahan konstruksi / mesin / peralatan; d. Kerja dengan berdiri terus – menerus menyebabkan varises. Berikut ini adalah contoh penyebab penyakit akibat kerja : 1. Pengemudi traktor, Road Roller, Crane : a. Timbulnya keletihan di bagian leher dan bahu; b. Sakit dan pegal pada tulang belakang (syndrome sciatica); c. Terjadinya kerusakan kecil pada persendian tulang belakang.
15
2. Bekerja dengan peralatan yang bergetar, seperti : Power chain shaw, Vibrating Plate Temper, Concrete Vibrator, dapat mengakibatkan sirkulasi darah tepi dan gangguan saraf, antara lain: a. Waxy White Finger atau disebut White Finger Disease; b. Finger Cyanosis, Finger Numbness; c. Foot numbness; d. Lowback Pain (Lumbago); e. Vibration Syndrom; f. Gangguan pendengaran sampai tuli. 3. Operator: Generator, Tiang Pancang, Stone Crusher dan sebagainya. a. Gangguan pendengaran yang dapat menyebabkan ketulian; b. Pada tempat tertutup dapat menyebabkan ganguan pernapasan ataupun heat stroke; c. Pneumoconiosis. 4. Tukang kayu (Carpenter, Joiner). a. Sakit pada pinggul dan tulang belakang; b. Syndrom sciatica; c. Degenerasi tulang pinggang (lumbal spine) akibat beban yang terus menerus; d. Nyeri pada lutut (patela) krepitasi sampai terjadinya degenerasi persendian lutut. 5. Tukang Batu. a. Semen damatis atau peradangan kulit akibat kontak dengan semen. b. Kelelahan pinggang terutama adanya rasa nyeri di daerah lumbal bagian bawah. 6. Tukang Las. a. Conjuctivitis, yaitu radang pada conjuctiva (selaput putih); b. Retinis sampai terjadi luka diretina; c. Heat cataract, akibat radiasi panas yang terus menerus, sehingga lensa mata mengeruh; d. Ganguan pernafasan, dari uap / gas yang timbul pada pengelasan; e. Kelainan kulit akibat terbakar. 16
7. Pekerja dengan bahan peledak. a. Dapat menyebabkan terjadinya kelainan pada sistem darah / sistem saraf yang terjadi karena keracunan asam nitrat. 8. Pekerja Pengecatan (Tukang cat, Tukang kapur, dll). a. Dapat menyebabkan gejala batuk ringan sampai dengan gangguan pernapasan. b. Neumokoniosis, asthma-brohcialle; c. Peradangan kulit; d. Penyakit ginjal, sampai dengan terjadinya kerusakan glomerus, akibat terpapar oleh sylene, toluene dan sebagainya; e. Gangguan pencernaan, mual – mual sampai terjadi peradangan (gastritis akut). 9. Petugas laboratorium. a. Khusus pada laboratorium aspal mereka dapat terpapar oleh xylene white spirit, methilene chloride yang dapat berakibat adanya gangguan pada system darah pada organ – organ haemopoictic dan gangguan faal hati. 10. Pekerja kantor, Administrasi dan lain – lain. a. Syndrome sciatic; b. Gangguan penglihatan; c. Ganguan pernapasan; d. Psikosomatis. 11. Petugas survey, pekerjaan pada jaringan irigasi, rawa – rawa, sungai. a. Heat stroke; b. Athelete’s foot; c. Jamur akibat basah dan lembab; d. Malaria; e. Penyakit kulit akibat serangga; f. Gangguan Pencernaan; g. Mual, muntah hingga peradangan.
17
2.7.
Pengenalan OHSAS 18001:1999 OHSAS singkatan dari Occupational Health and Safety Assessment Series
(Seri Penilaiaan Kesehatan dan Keselamatan Kerja). OHSAS 18001:1999 adalah Spesifikasi Sistem Manajemen Kesehatan dan Keselamatan Kerja (Standar Sistem Manajemen Kesehatan dan Keselamatan Kerja). Yang dipublikasikan oleh : BSI (British Standard Institution). Jadi OHSAS bukan standar yang dikeluarkan oleh ISO (International Organization for Standardization). OHSAS diterima oleh lebih dari 150 negara di dunia (Hidajat, 2006).
2.8. Occupational Health and Safety Assessment Series OHSAS 18001;1999 (Seri Penilaiaan Kesehatan dan Keselamatan Kerja) Occupational Health and Safety Assessment Series (OHSAS) 18001 telah dikembangkan untuk dapat disesuaikan dengan standar sistem management ISO 9001;1994 (Quality) dan ISO 14001;1996 (Environmental), dalam rangka untuk memfasilitasi integrasi dari sistem management mutu, lingkungan dan Kesehatan dan Keselamatan Kerja oleh organisasi yang menginginkannya. Spesifikasi OHSAS ini akan dikaji ulang atau di amandemen ketika dipertimbangkan perlu dilakukan. Kaji ulang akan dilakukan ketika edisi terbaru dari kedua ISO 9001 atau ISO 14001 dipublikasikan, untuk memastikan kelangsungan kesesuaian. Proses pengembangan OHSAS 18001 terbuka untuk sponsor lainnya yang mengharapkan untuk membuat tipe dokumen yang sama dalam kerjasama dengan BSIO, para sponsor bersedia untuk menyesuaikan dengan kondisi BSI untuk beberapa dokumen. Acuan publikasi selama pengembangan spesifikasi OHSAS ini. Dokumen berikut ini dijadikan referensi selama pengembangan spesifikasi OHSAS ini (WQA, 2006) : 1.
BS 8800;1996 Guide to occupational health and safety management system.
2.
Technical Report NRP 5001;1997 Guide to an occupational health and safety management system. 18
3.
SGS & ISMOLA ISA 2000;1997 Requirement for safety and health management system.
4.
BVQI Safety Cert: Occupational Safety and Health Management Standar.
5.
DNV Standar for Certification of Occupational Health and Safety Management System (OHSMS):1997
6.
Draft NSAI SR 320 Recommendation for and Occupational Health and Safety (OH and S) Management System.
7.
Draft AS/NS 4801 Occupational Health and Safety Management Systems – Specification with guidance for use
8.
Draft BSI PAS 088 Occupational Health and Safety Management Systems.
9.
UNE 81900 series of pre-standards on the prevention of occupational risks.
10. Draft LRQA SMS 8800 Health and safety Management System assessment criteria. OHSAS 18001 akan menggantikan beberapa dari dokumen referensi ini. OHSAS 18001 memelihara kesesuaian tingkat tinggi dengan dan kesamaan teknis kepada UNE 81900. Publikasi ini tidak dimaksudkan untuk memasukan semua provisi yang dibutuhkan dalam sebuah kontrak. Pengguna bertanggung jawab untuk penerapannya secara benar. Kesesuaian dengan publikasi Seri Penilaian Kesehatan dan Keselamatan Kerja ini tidak menjamin kekebalan dari persyaratan hukum.
2.9. Elemen 1. Ruang Lingkup Spesifikasi Seri Penilaiaan Kesehatan dan Keselamatan Kerja ini memberikan persyaratan untuk sebuah sistem manajemen kesehatan dan keselamatan, untuk memungkinkan sebuah organisasi memantau resiko Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) nya dan meningkatkan kinerjanya. Ini tidak menyatakan secara khusus kriteria kinerja Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3), dan atau memberikan spesifikasi lengkap untuk desain sebuah sistem manajemen. Spesifikasi OHSAS ini dapat diterapkan untuk organisasi yang mengharapkan : 1. Menetapkan sebuah sistem manajemen Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) untuk mengeliminasi atau mengurangi resiko pada karyawan dan pihak 19
lain yang berkepentingan yang mungkin terkena resiko K3 yang berhubungan dengan kegiatannya; 2. Menerapkan, memelihara dan meningkatkan secara berlanjut sistem manajemen Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3); 3. Memastikan kesesuaian dengan kebijakan Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) nya; 4. Menunjukkan kesesuaian kepada pihak lain; 5. Mendapatkan sertifikat / registrasi dari sistem manajemen Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) nya oleh pihak eksternal organisasi; atau 6. membuat kebulatan tekad dan deklarasi dari kesesuaian dengan spesifikasi OHSAS ini. Semua persyaratan dari spesifikasi OHSAS ini dimaksudkan untuk dapat disatukan kedalam sistem manajemen Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) lainnya. Bagaimana penerapannya akan tergantung dari berbagai faktor seperti kebijakan Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) organisasi, sifat dari kegiatannya dan resiko serta kompleksitas operasinya. Spesifikasi OHSAS ini ditujukan kepada kesehatan dan keselamatan kerja daripada keselamatan produk atau pelayanan.
2.10. Elemen 2. Publikasi Referensi Publikasi lainnya yang menyediakan informasi atau petunjuk terdaftar di dalam bibliografi. Sebaiknya edisi terakhir dari beberapa publikasi itu dapat disesuaikan. Secara khusus, referensi di buat untuk : 1. OHSAS 18002;1999, Guidelines for the implementation of OHSAS 18001 2. BS 8800;1996, Guide to Occupational Health and Safety Management Systems.
2.11. Elemen 3. Definisi dan Syarat Untuk tujuan spesifikasi OHSAS ini, definisi dan syarat berikut digunakan. 1. Elemen 3.1 Kecelakaan 20
Kejadian yang tidak diinginkan mengakibatkan kepada kematian, penyakit akibat kerja, cedera, kerusakan atau kehilangan lainnya. 2. Elemen 3.2 Audit Penilaian secara sistematis untuk menetapkan apakah kegiatan dan hasilnya sesuai dengan persiapan yang direncanakan dan apakah persiapan ini diterapkan secara efektif dan cukup untuk mencapai kebijakan dan tujuan organisasi (lihat 3.9). 3. Elemen 3.3 Perbaikan berlanjut Proses peningkatan sistem manajemen Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) untuk mencapai perbaikan dalam seluruh kinerja kesehatan dan keselamatan kerja dan kinerja keselamatan sejalan dengan kebijakan Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) organisasi. Catatan : Proses tidak perlu terjadi di semua daerah kegiatan secara serentak. 4. Elemen 3.4 Bahaya Sumber atau situasi dengan potensi kerugian yang berkenaan cedera pada manusia atau penyakit akibat kerja, kerusakan property, kerusakan lingkungan tempat kerja, atau kombinasinya. 5. Elemen 3.5 Identifikasi bahaya Proses
mengenai
bahwa
bahaya
(lihat
3.4)
ada
dan
menentukan
karakteristiknya. 6. Elemen 3.6 Insiden Keadaan yang menimbulkan kecelakaan atau memiliki potensi untuk menuju kepada kecelakaan. Catatan : sebuah insiden dimana tidak ada penyakit akibat kerja, cedera, kerusakan, atau kerugian lainnya juga diartikan sebagai sebuah “hampir celaka (near-miss)”. Pengertian “insiden” termasuk juga “hampir celaka (nearmiss)”. 7. Elemen 3.7 Pihak yang berkepentingan Pribadi atau kelompok yang peduli dengan atau dipengaruhi oleh kinerja Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) sebuah organisasi.
21
8. Elemen 3.8 Ketidak sesuaian Ada penyimpangan dari standard kerja, petunjuk pelaksanaan, prosedur, peraturan, kinerja sistem manajemen dan lainnya. Dimana dapat secara langsung maupun tidak langsung menuju kepada cedera atau kesakitan, kerusakan property, kerusakan lingkungan tempat kerja, atau kombinasinya. 9. Elemen 3.9 Tujuan Tujuan, yang berkenaan dengan kinerja Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3), dimana ditetapkan sendiri oleh organisasi untuk dicapai. Catatan : tujuan sebaiknya dalam bentuk kuantitatif wherever apabila memungkinkan. 10. Elemen 3.10 Kesehatan dan Keselamatan Kerja Kondisi dan unsur-unsur yang mempengaruhi kesehatan karyawan, pekerja sementara, personil kontraktor, pengunjung dan orang lain di tempat kerja. 11. Elemen 3.11 Sistem manajemen Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) Bagian dari sistem manajemen secara keseluruhan yang memfasilitasi pengaturan resiko Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) yang berhubungan dengan bisnis organisasi. Termasuk struktur organisasi, kegiatan – kegiatan perencanaan, tanggung jawab, praktek, prosedur, proses dan sumberdaya untuk
mengembangkan,
menerapkan,
pencapaian,
peninjauan
dan
pemeliharaan kebijakan Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) organisasi. 12. Elemen 3.12 Organisasi Maskapai, badan hukum, firma, perusahaan, institusi atau asosiasi, atau bagian dari itu, baik perseroan atau bukan, umum atau pribadi, yang memiliki fungsi dan administrasi. Catatan : Untuk organisasi dengan lebih dari sebuah unit operasi, sebuah unit operasi tunggal dapat didefinisikan sebagai sebuah organisasi.
13. Elemen 3.13 Kinerja Hasil terukur dari sistem manajemen Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3), yang berkaitan dengan pengendalian organisasi terhadap resiko kesehatan dan keselamatan, berdasarkan Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) dan tujuan. 22
Catatan : pengukuran kinerja termasuk pengukuran kegiatan dan hasil manajemen Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3). 14. Elemen 3.14 Resiko Kombinasi dari kemungkinan dan konsekuensi dari bahaya yang spesifik. 15. Elemen 3.15 Penilaian resiko Proses keseluruhan dari estimasi besarnya resiko dan memutuskan apakah ada atau tidak resiko masih dalam batas toleransi. 16. Elemen 3.16 Keselamatan Kemampuan untuk mengidentifikasi dan mengeliminasi resiko kerusakan yang tidak dapat di terima. 17. Elemen 3.17 Resiko yang masih dalam batas toleransi Resiko yang telah dikurangi sampai dengan tingkat yang dapat di pikul oleh organisasi dengan memperhatikan persyaratan hukum dan kebijakan K3 organisasi.
2.12. Elemen 4. Elemen–elemen sistem manajemen K3 (OHSAS 18001:1999)
Gambar 2.1 : Elemen sukses manajemen K3. 2.12.1. Elemen 4.1 Persyaratan Umum Organisasi harus menetapkan dan memelihara sebuah sistem manajemen Kesehatan dan Keselamatan Kerja, yang persyaratannya diuraikan dalam seluruh pasal 4. 23
2.12.2. Elemen 4.2 Kebijakan K3 Organisasi harus memiliki sebuah Kebijakan Kesehatan dan Keselamatan Kerja yang disahkan oleh pimpinan puncak organisasi, dimana menyatakan secara jelas tujuan keseluruhan kesehatan dan keselamatan dan komitmen untuk meningkatkan perikerja kesehatan dan keselamatan. Kebijakan harus : 1. Sesuai dengan sifat, skala resiko kesehatan dan keselamatan organisasi. 2. Mencakup komitmen pada perbaikan berlanjut; 3. Mencakup komitmen untuk paling sedikit memenuhi peraturan K3 terkini yang dapat diterapkan dan dengan persyaratan lainnya yang diikuti oleh organisasi; 4. Terdokumentasi, diterapkan dan dipelihara; 5. Dikomunikasikan kepada seluruh karyawan dengan maksud karyawan sadar tentang kewajiban kesehatan dan keselamatan masing – masing individu; 6. Tersedia untuk pihak – pihak berkepentingan; dan 7. Ditinjau secara berkala untuk memastikan bahwa Kebijakan itu masih relevan dan sesuai untuk organisasi.
2.12.3. Elemen 4.3 Perencanaan 1. Elemen 4.3.1 Perencanaan identifikasi bahaya, penilaian resiko dan pengendalian resiko. Organisasi harus menetapkan dan memelihara prosedur untuk identifikasi bahaya, penilaian resiko dan penerapan dari pengendalian yang diperlukan. Ini harus mencakup : -
Aktivitas rutin dan non – rutin;
-
Aktivitas dari semua personil yang memiliki akses ke tempat kerja (termasuk sub – kontraktor dan pengunjung).
-
Fasilitas di tempat kerja, walaupun disediakan oleh organisasi atau lainnya.
Organisasi harus memastikan hasil dari penilaian dan pengaruh dari pengendalian ini dipertimbangkan ketika menetapkan tujuan K3. 24
Organisasi harus mendokumentasikan dan memelihara informasi ini selalu diperbaharui. Metodologi organisasi untuk diidentifikasi bahaya dan penilaian resiko harus : Ditentukan dengan memperhatikan ruang lingkup, skala alamiah dan waktu untuk memastikan bahwa ini adalah proaktif daripada reaktif; Menyediakan klasifikasi resiko dan identifikasi dari resiko tersebut yang akan dihilangkan atau dikendalikan dengan tindakan yang ditetapkan dalam 4.3.3 dan 4.3.4. Konsisten
dengan
pengalaman
operasi
dan
kemampuan
dalam
mengendalikan resiko yang diterapkan. Menyediakan
masukan
untuk
menentukan
persyaratan
fasilitas,
identifikasi kebutuhan pelatihan dan / atau pengembangan pengendalian operasional. Menyediakan
pemantauan
dari
tindakan
yang
dibutuhkan
untuk
memastikan semua efektifitas dan batas waktu dari penerapannya. Catatan : petunjuk lebih lanjut mengenai identifikasi bahaya, penilaian resiko dan pengendalian resiko, lihat OHSAS 18001. 2. Elemen 4.3.2 Persyaratan hukum dan persyaratan lainnya. Organisasi harus menetapkan dan memelihara sebuah prosedur untuk mengidentifikasi dan menilai persyaratan hukum dan persyaratan K3 lainnya yang berlaku bagi organisasi. Organisasi harus memelihara informasi ini selalu diperbaharui. Informasi yang relevan tentang persyaratan hukum dan persyaratan lainnya harus dikomunikasikan untuk karyawan dan pihak – pihak berkepentingan lainnya yang relevan. 3. Elemen 4.3.3 Tujuan Organisasi harus menetapkan dan memelihara tujuan Kesehatan dan Keselamatan Kerja terdokumentasi pada setiap fungsi dan tingkatan yang relevan dalam organisasi. Pada waktu menetapkan dan meninjau tujuannya, sebuah organisasi harus mempertimbangkan persyaratan hukum dan persyaratan lainnya, bahaya 25
dan resiko K3-nya, pilihan teknologinya keuangannya, operasional dan usahanya dan pandangan pihak – pihak yang berkepentingan. Tujuan ini harus taat asas dengan kebijakan K3, termasuk komitmen untuk perbaikan berlanjut. 4. Elemen 4.3.4 Program manajemen K3. Organisasi harus menetapkan dan memelihara (sebuah) program – program manajemen K3 untuk pencapaian tujuannya. Ini harus mencakup dokumentasi dari : Penunjukan tanggung jawab dan wewenang untuk mencapai tujuan pada setiap fungsi dan tingkatan di organisasi; dan Sarana dan kerangka waktu yang dipakai untuk mencapainya. Program – program manajemen K3 harus ditinjau teratur dalam interval yang direncanakan dan jika perlu program – program K3 harus di ubah menghadapi perubahan aktivitas, produk, pelayanan, atau kondisi operasi organisasi.
2.12.4. Elemen 4.4 Implementasi dan operasi 1. Elemen 4.4.1 Struktur dan tanggung jawab Peran, tanggung jawab dan wewenang dari personil yang mengatur melakukan dan verifikasi kegiatan yang memiliki pengaruh kepada resiko K3 di aktivitas organisasi, fasilitas dan proses – proses harus ditentukan, didokumentasikan dan dikomunikasikan dalam rangka untuk memfasilitasi manajemen K3. Tanggung jawab tertinggi untuk K3 terletak di pundak pimpinan puncak. Organisasi harus menunjuk seorang anggota pimpinan puncak (misal : dalam sebuah organisasi besar seorang anggota dewan atau anggota eksekutif) dengan tangung jawab khusus untuk memastikan bahwa sistem manajemen K3 diterapkan semestinya dan memenuhi persyaratan di semua lokasi dan lingkup operasi dalam organisasi. Manajemen harus menyediakan sumber daya yang perlu bagi penerapan, pengendalian dan perbaikan sistem manajemen K3. 26
Catatan : Sumber daya termasuk sumber daya manusia dan keahlian khusus, teknologi dan sumber dana. Manajemen organisasi yang ditugaskan harus memiliki peran yang ditetapkan, tanggung jawab dan kewenangan untuk : a. Memastikan bahwa persyaratan sistem manajemen K3 ditetapkan, diterapkan dan dipelihara sesuai dengan spesifikasi OHSAS ini. b. Memastikan bahwa laporan cara kerja sistem manajemen K3 diserahkan kepada pimpinan puncak untuk untuk ditinjau dan sebagai dasar untuk perbaikan sistem manajemen K3. Semua itu bersama tanggung jawab manajemen harus menunjukan komitmen mereka untuk perbaikan berkelanjutan dari kinerja K3. 2. Elemen 4.4.2 Pelatihan, kepedulian dan kompetensi. Personil harus berkemampuan untuk melakukan tugas yang mungkin berdampak kepada K3 di tempat kerjanya. Berkemampuan harus diartikan sebagai memperoleh pendidikan yang cukup, pelatihan dan atau pengalaman. Organisasi harus menetapkan dan memelihara prosedur untuk memastikan bahwa karyawannya bekerja pada fungsi dan tingkatan yang relevan menyadari : a. Pentingnya kesesuaian dengan kebijakan dan prosedur K3 dan dengan persyaratan sistem manajemen K3. b. Dampak – dampak K3 yang cukup berarti, nyata atau potensial, dari kegiatan kerja mereka dan manfaat K3 dari cara kerja pribadi yang diperbaiki. c. Peran dan tangung jawab mereka dalam mencapai kesesuaian dengan kebijakan dan prosedur K3 dan dengan persyaratan sistem manajemen K3 dan dengan persyaratan sistem manajemen K3, termasuk persyaratan kesiagaan dan ketanggapan darurat (lihat 4.4.7). d. Akibat potensial dari penyimpangan dari prosedur operasi yang ditentukan. Prosedur pelatihan harus memperhatikan perbedaan tingkatan dari : a. Tanggung jawab, kemampuan dan latar belakang pendidikan; dan 27
b. Resiko. 3. Elemen 4.4.3 Konsultasi dan komunikasi Organisasi harus memiliki prosedur untuk memastikan bahwa informasi yang berhubungan dengan K3 dikomunikasikan kepada karyawan dan pihak luar yang berkepentingan. Keterlibatan karyawan dan rencana konsultasi harus didokumentasikan dan diinformasikan ke pihak luar yang berkepentingan. Karyawan harus : a. Dilibatkan dalam pengembangan dan pengkajian kebijakan dan prosedur untuk mengelola resiko; b. Dikonsultasikan bilamana ada perubahan
yang mempengaruhi
kesehatan dan keselamatan di tempat kerja. c. Diwakili pada persoalan K3; dan diinformasikan kepada perwakilan karyawan dan manajemen yang ditunjuk (lihat 4.4.1). 4. Elemen 4.4.4 Dokumentasi Organisasi harus menetapkan dan memelihara informasi dalam media yang tepat seperti di atas kertas atau bentuk elektronik, yang : a. Menguraikan unsur – unsur inti dari sistem manajemen dan interaksinya; dan b. Memberikan arahan kepada dokumentasi yang terkait. Catatan : ini penting bahwa dokumentasi dipelihara terhadap persyaratan minimum untuk efektifitas dan efisiensi. 5. Elemen 4.4.5 Pengendalian dokumen dan data Organisasi
harus
menetapkan
dan
memelihara
prosedur
untuk
mengendalikan semua dokumen dan data yang dipersyaratkan oleh spesifikasi OHSAS ini untuk memastikan bahwa : a. Ia dapat disimpan; b. Ia ditinjau secara berkala, direvisi bila perlu dan disahkan akan kecukupannya oleh personil berwenang; c. Versi terakhir dari dokumen yang relevan tersedia di semua tempat dilaksanakannya operasi yang perlu demi berfungsinya secara efektif sistem manajemen K3; 28
d. Dokumen kedaluwarsa segera disingkirkan dari semua tempat penerbitan dan tempat pemakaian, atau dengan cara lain dipastikan tidak dipakai untuk yang tidak dimaksudkan; dan dokumen arsip dan data yang disimpan untuk tujuan hukum dan pemeliharaan pengetahuan atau keduanya, dapat cukup teridentifikasi. 6. Elemen 4.4.6 Pengendalian operasional Organisasi harus mengetahui operasi dan kegiatan yang berkaitan dengan resiko yang telah teridentifikasi di mana pengendalian dibutuhkan untuk diterapkan. Organisasi harus merencanakan kegiatan ini, termasuk pemeliharaan, untuk memastikan bahwa ia dilaksanakan pada kondisi yang ditentukan dengan : a. Menetapkan dan memelihara prosedur terdokumentasi yang meliputi
keadaan
bila
ketiadaannya
dapat
mengarah
ke
penyimpangan dari Kebijakan K3 dan tujuan. b. Menetapkan kriteria operasi dalam prosedurnya. c. Menetapkan dan memelihara prosedur yang berkaitan dengan resiko K3 yang teridentifikasi dari barang, peralatan dan jasa pembelian dan / atau yang digunakan oleh organisasi dan mengkomunikasikan prosedur dan persyaratan relevan kepada pemasok dan kontraktor; d. Menetapkan dan memelihara prosedur untuk design tempat kerja, proses, instalasi, permesinan, prosedur operasi dan organisasi kerja, termasuk adaptasi terhadap kemampuan manusia, dalam rangka untuk mengeliminasi atau mengurangi resiko K3 pada sumbernya. 7. Elemen 4.4.7 Kesiagaan dan ketanggapan darurat Organisasi harus menetapkan dan memelihara rencana dan prosedur untuk mengetahui potensi dan ketanggapan terhadap insiden dan situasi darurat, dan untuk pencegahan dan peredaran kemungkinan penyakit dan cedera yang dapat ditimbulkannya. Organisasi harus juga secara berkala menguji prosedur kesiagaan dan ketanggapan darurat, khususnya, setelah terjadinya insiden atau situasi darurat. 29
2.12.5. Elemen 4.5 Pemeriksaan dan tindakan perbaikan 1. Elemen 4.5.1 Pemantauan dan pengukuran kinerja Organisasi harus menetapkan dan melihara prosedur untuk memantau dan mengukur kinerja K3 secara teratur. Prosedur ini harus menyediakan : a. Pengukuran
baik
kualitatif
dan
kuantitatif,
sesuai
kebutuhan
organisasi; b. Pemantauan tingkat pencapaian tujuan K3 organisasi; c. Pengukuran secara proaktif dari kinerja dimana pemantauan sesuai dengan program manajemen K3, kriteria operasi dan peraturan dan persyaratan perundangan yang sesuai. d. Pengukuran
secara
reaktif terhadap
kinerja
untuk
memantau
kecelakaan kerja, penyakit akibat kerja, insiden (termasuk hampir celaka/near-misses) dan bukti historis lainnya dari penyimpangan kinerja K3. e. Pencatatan data dan hasil pemantauan dan pengukuran cukup untuk memfasilitasi analisa tindakan pencegahan dan perbaikan yang akan dilakukan. Jika peralatan pemantauan dibutuhkan untuk pengukuran dan memantau kinerja, organisasi harus menetapkan dan memelihara prosedur untuk kalibrasi dan memelihara peralatan tersebut. Catatan kegiatan dan hasil kalibrasi dan pemeliharaan harus disimpan. 2. Elemen 4.5.2 Kecelakaan kerja, insiden, ketidaksesuaian dan tindakan perbaikan dan pencegahan. Organisasi harus menetapkan dan memelihara prosedur untuk menetapkan tanggung jawab dan wewenang untuk : a. Menangani dan menyelidiki : -
Kecelakaan kerja
-
Insiden
-
Ketidaksesuaian
b. Mengambil tindakan untuk mengurangi konsekuensi yang timbul dari kecelakaan kerja, insiden atau ketidaksesuaian; 30
c. Memprakarsai dan menyelesaikan tindakan - tindakan koreksi dan pencegahan; d. Konfirmasi dari efektifitas tindakan koreksi dan pencegahan yang dilakukan. Prosedur ini harus mensyaratkan semua tindakan perbaikan dan pencegahan harus ditinjau melalui proses penilaian resiko sebelum diterapkan. Tindakan
perbaikan dan pencegahan apapun yang dilakukan untuk
mencegah penyebab potensial ketidaksesuaian yang telah terjadi harus sesuai dengan besarnya masalah dan seimbang dengan resiko K3 yang dijumpai. Organisasi harus menerapkan dan mencatat perubahan apa pun dalam prosedur terdokumentasi sebagai hasil tindakan koreksi dan pencegahan. 3. Elemen 4.5.3 Rekaman dan pengelolaan rekaman. Organisasi
harus
menetapkan
dan
memelihara
prosedur
untuk
mengidentifikasi, memelihara dan pembuangan catatan K3, seperti : hasil audit dan tinjauan. Rekaman K3 harus mudah dibaca, dapat dikenali dan dapat dilacak pada kegiatan yang terkait. Rekaman K3 harus disimpan dan dipelihara sedemikian hingga ia mudah dapat diambil dan dijaga terhadap kerusakan, pengurangan mutu atau kehilangan. Masa simpannya harus ditetapkan dan dicatat. Rekaman harus dipelihara, sesuai dengan sistem dan organisasi untuk memperlihatkan kesesuaian pada spesifikasi OHSAS ini. 4. Elemen 4.5.4 Audit Organisasi harus menetapkan dan memelihara program dan prosedur untuk menyelenggarakan audit sistem managemen K3 secara berkala, untuk : a. Menentukan apakah sistem manajemen K3; 1. Memenuhi pengaturan yang direncanakan untuk manajemen K3 termasuk persyaratan spesifikasi OHSAS ini; 2. Telah diterapkan dan dipelihara dengan benar; dan 3. Efektif sesuai kebijakan dan tujuan organisasi; 31
b. Mengkaji ulang hasil audit sebelumnya. c. Menyediakan informasi tentang hasil audit kepada manajemen. Program audit, termasuk jadwal apapun, harus berdasarkan pada hasil penilaian resiko dari kegiatan organisasi, dan hasil audit sebelumnya. Prosedur audit harus meliputi ruang lingkup, frekuensi, metodologi dan kompetensi,
serta
juga
tanggung
jawab
dan
persyaratan
untuk
melaksanakan audit dan pelaporan hasilnya. Apabila memungkinkan, audit harus dilakukan oleh personil yang independen dan memiliki tanggung jawab langsung terhadap kegiatan yang dinilai. Catatan : kata “independen” disini tidak berarti ekternal organisasi.
2.12.6. Elemen 4.6 Tinjauan manajemen Pimpinan puncak organisasi harus, merencanakan tinjauan sistem manajemen K3 pada selang waktu yang sudah ditentukan (sesuai dengan jadwal tinjauan manajemen), untuk memastikan berlanjutnya kesesuaiannya, kecukupannya dan keefektifannya. Proses tinjauan manajemen harus memastikan bahwa informasi yang diperlukan terkumpul untuk memungkinkan manajemen melakukan penilaian. Tinjauan ini harus didokumentasikan. Tinjauan manajemen harus menanggapi kemungkinan kebutuhan akan perubahan pada kebijakan, tujuan dan unsur lain dari sistem manajemen K3, dipandang dari sudut hasil audit sistem manajemen K3, keadaan yang berubah dan komitmen pada perbaikan berkelanjutan. 2.13. Faktor – faktor yang menghambat penerapan OHSAS 18001 : 1999 Dalam penerapan OHSAS 18001:1999 peran aktif manajemen puncak harus benar – benar dirasakan sampai ke tingkat bawah. Ada beberapa faktor yang mungkin menghambat dalam penerapan OHSAS 18001:1999 diantaranya adalah : 1. Kurangnya komitmen 2. Kurangnya sumber daya 32
3. Kurangnya partisipasi 4. Keterbatasan waktu 5. Kurangnya pemahaman 6. Kurangnya pemantauan dan pengukuran 7. Pembatasan eksternal Untuk mengatasi hambatan tersebut, dapat dilakukan hal – hal sebagai berikut : 1. Menyediakan infrastruktur untuk implementasi 2. Mengadakan pelatihan 3. Membuat indikator kinerja 4. Menyediakan sumber daya yang cukup Suksesnya implementasi dapat dicapai dengan adanya budaya kerja dalam perusahaan, komunikasi yang baik internal dan eksternal dan adanya komunikasi dari seluruh komponen / personil perusahaan.
2.14. Analisa Statistik. 2.14.1. Penentuan Skala Pengukuran Skala pengukuran merupakan kesepakatan yang digunakan sebagai acuan untuk menentukan panjang pendeknya interval yang ada dalam alat ukur, sehingga alat ukur tersebut bila digunakan dalam pengukuran akan menghasilkan data kuantitatif. Salah satunya adalah skala likert. Skala Likert adalah skala yang digunakan untuk mengukur sikap, pendapat dan persepsi seseorang atau sekelompok orang tentang kejadian atau gejala sosial. Dengan skala likert maka variabel yang akan diukur dijabarkan menjadi indikator – indikator variabel. Kemudian indikator – indikator tersebut dijadikan sebagai titik tolak untuk menyusun item – item instrumen yang dapat berupa pernyataan atau pertanyaan. Jawaban setiap item instrumen yang menggunakan skala likert mempunyai gradasi dari sangat positif sampai sangat negatif, yang dapat berupa kata-kata antara lain (Sugiono, 2004) : Skor 5 : Sangat Baik ( 81% - 100% ) Skor 4 : Baik ( 61% - 80% ) Skor 3 : Sedang ( 41% - 60% ) 33
Skor 2 : Buruk ( 21% - 40% ) Skor 1 : Buruk Sekali ( 0% - 20% ) Sedangkan untuk perhitungan skor dipakai rumus sebagai berikut (Gaspersz, 2002) : Skor
Total skor ( A) 100% Nilai total ( B)
Skor ( A ) = Nilai skor (1 – 5) Skor ( B ) = Nilai skor maksimum tiap prosedur
2.14.2. Pengertian Analisa Faktor Analisa faktor merupakan salah satu teknik analisis statistik Multivariate yang bertujuan untuk mereduksi data. Dalam proses analisa faktor ini mencoba untuk menemukan hubungan antara variabel yang saling independen sehingga bisa dibuat satu atau beberapa kumpulan variabel yang lebih sedikit dari jumlah variabel awal (Gaspersz, 2006). Dengan adanya sifat interkorelasi
antar
variabel
yang
diobservasi,
analisa
ini
mampu
mengungkapkan karakteristik tersamar yang dimiliki oleh setiap variabel.
Karakteristik tersamar tersebut berupa besarnya pengaruh setiap unit observasi atau variabel dalam satu dimensi baru yang disebut dengan faktor dan sebagai hasilnya akan diperoleh faktor – faktor yang jumlahnya lebih sedikit dibandingkan dengan jumlah variabel awalnya. Analisa faktor menggunakan Statistical Program For Social Science (SPSS) for Windows. Secara umum tahapan dalam analisa faktor adalah sebagai berikut : 1.
Membentuk matrik korelasi, yaitu tabel yang menunjukkan interkorelasi diantara seluruh variabel yang diobservasi.
2.
Menentukan Measure Of Sampling Adequence (MSA), yaitu kelayakan untuk seluruh matrik korelasi dari setiap variabel yang diobservasi untuk dilakukan analisa faktor. Nilai MSA yang layak dianalisis adalah diatas 0,50.
3.
Menentukan Barlett’s Test Of Sphericity, yaitu uji statistik untuk signifikansi keseluruhan korelasi dalam bentuk matrik korelasi. 34
4.
Melakukan ektraksi faktor, kriteria ekstrasi yang digunakan adalah latent root criterion yaitu berdasarkan eigen value. Metode yang dapat digunakan dalam ekstraksi faktor antara lain Principal Componen Analysis.
5.
Melakukan rotasi faktor. Rotasi dimaksudkan untuk memudahkan dalam melakukan interpretasi, metode yang digunakan dalam rotasi faktor adalah metode Orthogonal yaitu rotasi Equimax. Berdasarkan metode ekstrasi dan metode rotasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah Pricipal Componen Analysis – Equimex.
6.
Menginterpretasikan hasil analisis faktor. Suatu variabel dianggap sah untuk mengukur atau mencirikan suatu faktor bila memiliki bobot faktor diatas 0,50.
35