14
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1.
Pengelolaan Sampah Perkotaan Sampah merupakan sisa dari aktivitas manusia ataupun binatang, yang biasanya
bersifat padat terdiri dari zat organik dan anorganik yang dianggap tidak berguna lagi dan harus dikelola agar tidak membahayakan lingkungan dan melindungi pembangunan (Direktorat Jenderal Cipta Karya, 1995). Menurut American Public Works Association (1975), sampah (solid waste) diartikan sebagai sesuatu yang berkaitan dengan hal yang tidak berguna, tidak diinginkan, atau barang-barang yang dibuang dari hasil kegiatan yang biasa dilakukan oleh masyarakat. Menurut Tchobanoglous et al. (1993) sampah (solid waste) adalah semua limbah yang timbul dari aktifitas manusia dan binatang yang biasanya berbentuk padat dan dibuang karena tidak berguna atau tidak diinginkan. Menurut Undang-undang Republik Indonesia Nomor 18 tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah pengertian sampah adalah sisa kegiatan sehari-hari manusia dan/atau proses alam yang berbentuk padat. Kota-kota di Indonesia tumbuh dan berkembang dengan pesat, rata-rata pertumbuhan penduduk perkotaan berkisar antara 1,5 hingga 4% per tahun. Pertumbuhan penduduk di perkotaan Indonesia dapat terjadi secara alami maupun akibat terjadinya urbanisasi yang didorong oleh pertumbuhan ekonomi di daerah perkotaan. Pertumbuhan penduduk yang begitu cepat memberikan tekanan yang begitu berat bagi keberadaan infrastruktur perkotaan. Pertumbuhan penduduk menghasilkan pertambahan timbulan sampah, yang berasal dari perumahan, pertokoan, restoran, hotel, taman, dan saluransaluran.
Pengelolaan sampah di daerah beriklim tropis yang mempunyai kelembaban
yang tinggi dan jumlah sampah organik yang begitu besar, seringkali menimbulkan persoalan yang rumit, sehingga persoalan tersebut hanya dapat diselesaikan apabila dilakukan dengan cara pengelolaan yang tepat dan benar. Hampir semua kota di Indonesia mengalami kegagalan dalam pengelolaan sampah. Adapun persoalan yang umum dihadapi adalah timbulan sampah yang jumlahnya semakin hari semakin besar, sedangkan lahan yang layak untuk dipergunakan sebagai tempat pembuangan dan pengolahan sampah, terutama untuk kota metropolitan semakin terbatas. Kondisi tersebut mengakibatkan pengelolalan sampah di perkotaan menimbulkan permasalahan lingkungan, seperti tercemarnya air tanah, polusi udara dan
15
terjadinya penurunan kualitas lingkungan permukiman. Oleh karena itu maka pemerintah kota dan kabupaten saat ini menghadapi kesulitan yang sangat serius, terutama dalam menemukan cara pengolahan dan pembuangan sampah yang tidak menimbulkan pencemaran lingkungan. Pada prinsipnya sistem pengelolaan sampah (solid waste management) terdiri dari empat komponen, yaitu 1. penempatan dan pengumpulan sampah (waste collection), 2. transportasi sampah (waste transportation); 3. pengolahan sampah (waste treatment) dan 4. pembuangan akhir (final disposal), sebagaimana bagan alir pada Gambar 4.
WASTE COLLECTION
WASTE TRANSPORTATION
WASTE TREATMENT
FINAL DISPOSAL
Gambar 4 Sistem pengelolaan sampah
Pengelolaan sampah perkotaan mulai dari sumber timbulan sampah hingga pembuangan akhir (final disposal) dapat dibagi menjadi enam elemen fungsional antara lain: timbulan sampah, pemindahan, pewadahan (waste collection) serta pengelolaan sampah pada sumbernya (3R: reduce, reuse and recycling), pengumpulan, pemindahan dan pengangkutan (waste transportation), dan pembuangan akhir (final disposal). Elemen fungsional dan hubungan antar elemen dalam pengelolaan sampah secara terpadu dapat dilihat pada Gambar 5. Pengolahan sampah di TPA yang ada di kota-kota Indonesia terutama untuk kota metropolitan, hampir seluruhnya menghadapi permasalahan.
Adapun permasalahan
tersebut, yang paling utama terjadi pada aspek penyediaan dana yang memadai untuk mengoperasikan TPA secara sanitary landfill. Selain itu masalah lain yang tidak kalah pentingnya adalah tidak dilakukannya pemilahan sampah dari sumbernya, sehingga menyulitkan dalam melakukan tindakan-tindakan yang tepat dalam mengelola sampah. Kondisi tersebut mengakibatkan, hampir semua TPA yang dimiliki oleh pemerintah kota mencemari lingkungan, sehingga pada akhirnya mengabaikan social cost yang ditanggung oleh masyarakat.
Masalah lain yang dihadapi oleh pemerintah kota adalah
penyediaan lahan untuk menampung timbulan sampah yang semakin hari semakin meningkat. Berdasarkan permasalahan tersebut di atas, maka pengelolaan sampah secara terpadu dan berkelanjutan dengan menggunakan integrasi sistem pengolahan sampah, merupakan solusi untuk menyelesaikan persoalan pengelolaan sampah perkotaan, baik
16
saat ini maupun di masa yang akan datang. Adapun sistem yang akan memberikan penyelesaian secara optimal tersebut dapat terdiri dari kombinasi aplikasi beberapa teknologi, yakni
incinerator, composting, recycling, dan sanitary landfill.
skematik sistem ini dapat dilihat pada Gambar 6.
Gambar 5 Elemen fungsional dalam pengelolaan sampah perkotaan
Gambar 6 Sistem pengolahan sampah terintegrasi
Secara
17
Menurut Kholil (2005), mengatakan bahwa : Penanganan sampah yang berorientasi pada TPA dengan sistem sanitary landfill atau controlled landfill , sudah tidak tepat lagi diterapkan untuk menangani sampah di kota-kota besar. Karena di samping keterbatasan lahan sistem tersebut memerlukan biaya operasional yang sangat mahal. Seiring dengan meningkatnya timbulan sampah dan semankin sulitnya mencari lahan sebagai tempat pembuangan akhir sampah (TPA), maka minimisasi sampah di sumbernya untuk mengurangi ketergantungan pada lahan menjadi prioritas utama kebijakan penanganan sampah kota. Sistem daur ulang sampah terpadu berbasis zero waste yang mengintegrasikan sistem 3R (reduce, reuse, recycle) dengan sistem insinerasi dapat menjadi pilihan yang tepat bagi penanganan sampah di kota-kota besar. Menurut Tchobanoglous et al. (1993) pada integrated solid waste management (ISWM) terdapat empat tingkat hirarki yang harus dilaksanakan dalam pengelolaan sampah perkotaan, yaitu: a.
Pengurangan Sampah (Source Reduction) Pengurangan sampah pada sumbernya, merupakan hirarki tertinggi dalam tata
urutan penanganan sampah perkotaan, karena hal ini merupakan cara yang paling efektif untuk mengurangi jumlah timbulan sampah, dan mengurangi biaya yang diperlukan dalam pengangkutan dan penanganan dampak lingkungan. Pengurangan sampah dapat terjadi melalui perencanaan, pembuatan dan pengemasan dari produk dengan kandungan bahan beracun yang minimal, minimalisasi jumlah atau penggunaan material yang memiliki waktu penggunaan yang panjang. b.
Pendaurulangan (Recycling) Hirarki kedua dalam ISWM adalah pendaurulangan (recycling) yang melibatkan:
1) pemisahan dan pengumpulan bahan buangan; 2) penyiapan bahan material buangan untuk digunakan ulang, pengolahan ulang dan 3) penggunaan ulang, proses ulang dan pembuatan ulang dari material buangan ini.
Pendaurulangan ini merupakan faktor
penting dalam membantu mengurangi kebutuhan sumberdaya dan jumlah buangan sampah yang dibuang ke dalam landfill. c.
Pengubahan Sampah (Waste Transformation) Hirarki ketiga dalam ISWM adalah pengubahan sampah (waste transformation).
Pengubahan sampah melibatkan proses fisik, kimia dan biologi,
Adapun bentuk
pengubahan sampah yang dapat dilakukan adalah: 1) memperbaiki efisiensi pengolahan
18
sampah; 2) pemulihan material yang dapat dipakai kembali; 3) pemulihan produk konversi seperti kompos dan energi dalam bentuk panas serta biogas untuk pembakaran (combustible biogas). d.
Landfilling Landfilling menempati urutan terakhir dalam hirarki ISWM, karena landfilling
umumnya merupakan cara yang tidak diinginkan oleh masyarakat.
Landfilling pada
umumnya dilakukan untuk: 1) sampah yang tidak dapat didaur ulang dan tidak dapat dipakai lagi; 2) sisa sampah, setelah dilakukan pemilahan di unit pemilahan; 3) sisa sampah setelah pemilahan.
2.2.
Teknologi Pengolahan Sampah Pada dasarnya cukup banyak pilihan teknologi dalam pengolahan sampah, antara
lain sanitary landfill, incinerator dan composting. Masing-masing teknologi ini masingmasing memiliki keuntungan (benefit) dan kerugian (cost) dalam penggunaanya, baik ditinjau dari aspek lingkungan, aspek ekonomi maupun dari aspek sosial. a.
Sanitary Landfill Lahan urug terkendali (sanitary landfill) adalah lokasi tempat sampah diisolasi
dari lingkungan, sehingga aman bagi lingkungan dan bagi kesehatan masyarakat (Pelligrini dan Klein, 2000).
Sanitary landfill merupakan metoda yang biasa
dipergunakan dalam pembuangan sampah, dalam hal ini sampah yang sudah tidak terpakai lagi di hampar dan dipadatkan di atas tanah, untuk kemudian ditimbun dengan tanah penutup. Sanitary landfill dilengkapi dengan fasilitas-fasilitas pengolahan air lindi (leacheate), timbangan sampah, sumur pemantau kualitas air tanah, unit penangkap gas, dan beberapa fasilitas lainnya, seperti alat-alat berat dan fasilitas lainnya.
Metode
sanitary landfill tidak effektif untuk membuang dan mengolah sampah plastik, karena sampah plastik tidak mudah terdekomposisi oleh mikroorganisme/bakteri decomposer. Kondisi tersebut mengakibatkan sampah plastik yang dibuang di sanitary landfill akan menjadi lapisan yang menghalangi proses pengumpulan air lindi ke dalam pipa penangkap air lindi, yang dipasang di bawah unit sanitary landfill. Aktivitas biologis pada landfill biasanya mengikuti satu bentuk tertentu yaitu sampah mula-mula didekomposisi secara aerobik sampai kandungan oksigennya habis. Pada fase berikutnya mikroorganisme fakultatif dan anaerob mengambil peran, sehingga pada tahap ini
19
dekomposisi sampah akan menghasilkan gas metan yang tidak berbau dan tidak berwarna, dan pada saat tersebut terjadi kenaikan temperatur hingga 65,5o C. Hal yang sangat sulit untuk dipertahankan pada sanitary landfill adalah mempertahankan kondisi landfill agar selalu tetap dalam keadaan aerobik, atau dengan kata lain pada sanitary landfill keadaan anaerobik merupakan kondisi yang tidak dapat dihindari. Pada proses anaerobik akan dihasilkan gas metan CH4, karbon dioksida CO2, ammonia NH3, sejumlah kecil hidrogen sulfida H2S, dan merkoptan CH5SH. Pengoperasian sanitary landfill memerlukan input berupa sampah dan sumber daya, baik sumber daya yang dapat diperbaharui maupun yang tidak terbarukan, seperti lahan, bahan bakar dan beberapa material lainnya, untuk mengolah air lindi. Selama pengoperasian landfill, diperlukan bahan bakar minyak untuk mengoperasikan alat-alat berat di lapangan, dan penggunaan energi listrik untuk mengoperasikan timbangan. Ketika masa penggunaan landfill sudah habis dan ditutup, energi masih diperlukan selama aktifitas pemantauan berlangsung. Pada landfill yang moderen, energi yang ditimbulkan dari landfill, dikumpulkan dan dimanfaatkan untuk mengolah air lindi.
Output dari
landfill berupa emisi gas ke udara dan air lindi yang dapat mencemari tanah dan air. Pada landfill yang dilengkapi dengan penangkap gas, biasanya gas dimanfaatkan untuk menghasilkan panas, dan listrik, sedangkan effluent dari pengolahan air lindi dibuang ke badan air. Proses input dan output dalam landfill dapat dilihat pada Gambar 7. Emisi gas ke udara INPUT
OUTPUT
SAMPAH
Energi yang
LOKASI
diperoleh dari
LANDFILL
SUMBER
landfill
DAYA Emisi air lindi
Emisi air pengolahan
ke tanah dan air
lindi ke air
Gambar 7 Proses input dan output pada landfill
Input sumber daya yang diperlukan dalam proses sanitary landfill antara lain adalah: 1. bahan bakar minyak (fosil fuel) untuk menggerakkan peralatan-peralatan mekanik seperti dozer dan compactor ; 2. energi listrik untuk menggerakkan timbangan dan aerator untuk pengolahan air lindi, penerangan lingkungan dan gedung operasi; 3.
20
lahan yang diperlukan dengan luasan yang bergantung pada jumlah sampah yang dibuang dan masa pelayanan landfill; 4. sumber daya manusia. Adapun output yang dihasilkan dalam sanitary landfill antara lain adalah emisi ke udara, air dan tanah, energi yg dihasilkan dari gas metan yang dapat dimanfaatkan sebagai energi listrik. Landfill yang dilengkapi dengan pengolahan air lindi, mempunyai emisi ke air dan tanah yang lebih rendah (berkurang). Gas yang terbentuk pada landfill memiliki tekanan yang lebih besar dari tekanan udara bebas (atmosfir), oleh karenanya maka gas yang terbentuk dalam landfill akan bergerak ke luar melalui lapisan tanah yang porous. Faktor lain yang mempengaruhi pergerakan gas landfill adalah terserapnya gas ke dalam cairan atau komponen padatan dan juga pembentukan atau kosumsi komponen gas melalui reaksi kimia atau aktifitas biologis. Besaran gas yang keluar dari landfill dapat dijelaskan melalui satu dimensi vertikal kontrol volume, dengan formula sebagaimana persamaan berikut dan pada Gambar 8.
α (1+β)
∂ CA ∂t
= - VZ
∂ CA ∂Z
+ DZ
∂2 CA ∂Z2
+G
Keterangan:
α : total porositas, cm3/cm3 (ft3/ft3) β CA VZ DZ
: faktor retardasi dihitung untuk penyerapan dan perubahan. : konsentrasi dari campuran gas A; g/cm3 (lb.mole/ft3) : Kecepatan perubahan dalam arah vertikal, cm/dt (ft/hari) : koefisien efektif dari difusi, cm2/dt (ft2/hari) G : Parameter potongan yang digunakan menghitung seluruh produksi gas, g/cm3.detik (lb.mole/ft3 hari) Z : kedalaman, m (ft)
Media porous dengan porousitas α
material yang terakumulasi di cairan dalam volume yang porous dan diatas permukaan media granuler
Volume Porous
Gambar 8 Kontrol volume untuk pergerakan vertikal gas landfill
21
Emisi gas dari landfill bervariasi, baik dalam kualitas maupun kuantitasnya sepanjang operasi dan pasca operasi landfill. Gas utama yang dihasilkan dalam landfill adalah carbon dioxide (CO2) dan gas metan (CH4) serta sedikit gas-gas lain seperti H2S, NOx dan SOx , bergantung pada komposisi sampah yang dibuang ke landfill. Persentase gas yang dihasilkan pada landfill menurut Tchobanoglous et al. (1993) pada umumnya mempunyai besaran seperti yang ditunjukkan pada Tabel 1. Tabel 1 Tipikal unsur pokok gas yang didapat pada landfill Komponen
Persen (berdasarkan volume kering) 45 – 60 40 – 60 2–5 0,1 – 1,0 0 – 1,0 0,1 – 1,0 0 – 0,2 0 – 0,2 0,01 – 0,6
Methan Karbon dioksida Nitrogen Oksigen Sulfida, disulfida, markaptan, dll. Ammonia Hidrogen Karbon monoksida konstituen kecil Sumber : Tchobanoglous et al. (1993)
Gas pada landfill akan lepas ke udara melalui permukaan atas maupun dari bagian samping landfill. Gas metan dan gas karbon dioksida yang dihasilkan berkontribusi terhadap perubahan temperatur bumi (global warming). Gas H2S yang dihasilkan, dalam jumlah tertentu akan mengakibatkan terjadinya penyakit ISPA (iritasi saluran pernapasan atas), sedangkan VOCs bersifat karsinogenik. Emisi ke udara lainnya adalah debu yang akan keluar pada saat terjadi proses pengoperasian landfill. Adapun perkiraan kerusakan yang ditimbulkan dalam proses pada instalasi sanitary landfill menurut European Commission , D.G. Environment (2000) dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2 Perkiraan kerusakan akibat emisi dari landfill Emisi
Kerusakan Medium
CH4 CO2 VOCs Dioxins Debu Lindi
Dampak kesehatan kematian penyakit
Produksi Pertanian
Udara Udara Udara v Udara v Udara v Tanah dan v v Air Sumber : Europian Commission, D.G. Environment (2000).
Kerusakan gedung
Dampak pada cuaca v v
Ekosistem v v v
v
22
Menurut Tchobanoglous et al. (1993) produksi gas yang dihasilkan dari landfill pada umumnya melewati 5 fase, yang terdiri dari : 1. Fase I (masa penyesuaian). Fase ini disebut masa penyesuaian awal, pada fase pertama ini komponen biodegradable diuraikan oleh mikroorganisme pada kondisi aerob, oleh karena terdapat sedikit oksigen yang terperangkap dalam landfill. 2. Fase II (masa transisi). Pada fase ini terjadi penurunan kadar oksigen dalam landfill dan kondisi anerob mulai terbentuk. Hal ini ditandai dengan terbentuknya gas nitrat dan sulfat, yang dapat menyediakan elektron akseptor pada reaksi konversi biologis, dan terjadi perubahan menjadi gas nitrogen dan hidrogen sulfide seperti yang terlihat pada reaksi di bawah ini. 2CH3CHOHCOOH + SO4 2- 2CH3COOH + S2- + H2O + CO2 4H2 + SO4 2- S 2- + 4H2O S 2- + 2H+ H2S 3. Fase III (masa asam). Pada fase ini mikroba yang aktif pada fase II mempercepat terbentuknya asam organik dan sedikit gas hidrogen. Fase ini melibatkan enzim yang menjadi mediator transformasi (hidrolisis), ikatan molekul yang lebih tinggi (seperti lipid, polisakarida, protein, dan asam nukleat ) menjadi ikatan molekul yang sesuai untuk digunakan oleh mikroorganisme sebagai sumber energi dan bahan pembentuk sel. Tahap berikutnya adalah proses asidogenesis yang melibatkan mikroorganisme yang mengkonversi ikatan molekul dari proses pertama menjadi masa molekul sedang yang lebih rendah dengan peranan asam asetat (CH3COOH) dan sejumlah kecil konsentrasi dari fulvic acid dan asam organik lain yang komplek. Pada phase III gas utama yg terbentuk adalah CO2 dan sejumlah kecil gas hidrogen H2. Mikroorganisme yang berperan dalam proses ini terdiri dari bakteri fakultatif dan bakteri anaerob obligat, yang umumnya dikenal sebagai acidogen atau pembentuk asam . Pada kondisi ini pH lindi (leachate) akan menurun sampai 5 bahkan bisa lebih rendah, sebagai akibat kehadiran asam organik dan peningkatan volume gas CO2 di dalam landfill. Nilai biochemical oxygen demand (BOD5), chemical oxygen demand (COD) dan konduktifitas dari
23
leachate meningkat secara signifikan sebagai akibat melarutnya asam organik dalam leachate. Selain itu rendahnya pH juga mengakibatkan tingginya kelarutan zat anorganik, terutama logam-logam berat. 4. Fase IV (masa fermentasi methan). Pada fase ini, kedua kelompok mikroorganisme mengkonversi asam asetik dan gas hidrogen yang muncul sebagai akibat lebih dominannya pembentukan asam dalam phase asam ke CH4 dan CO2. Mikroorganisme yang berperan pada fase ini adalah mikroorganisme anaerob yang disebut methanogenic (pembentuk methan). Pada phase IV asam dan gas hidrogen yang dibentuk oleh pembentuk asam akan dikonversi menjadi CH4 dan CO2, sehingga pH dalam landfill meningkat menjadi 6,8 – 8, namun nilai BOD5 dan COD serta konduktifitasnya malah menurun. Pada pH yang lebih tinggi, hanya beberapa bahan anorganik yang masih ada dalam larutan, sehingga kandungan logam berat dalam leachate akan menurun. 5. Fase V (masa maturasi). Fase V terjadi setelah seluruh zat organik dikonversi menjadi CH4 dan CO2 pada fase IV. Pada fase V kecepatan pembentukan gas mengalami penurunan secara signifikan. Kondisi ini terjadi karena sebagian besar nutrien yang tersedia telah hilang dalam leachate pada fase sebelumnya, dan substrat yang tersisa pada landfill mengalami degradasi yang lambat. Gas utama yang terbentuk pada fase V adalah CH4 dan CO2 dan diduga akan terbentuk gas nitrogen dan oksigen. Lama setiap fase dalam menghasilkan gas bervariasi, tergantung pada distribusi dari komponen zat organik dalam landfill, keberadaan zat hara, kandungan air dalam sampah, aliran ke dalam landfill, dan derajat pemadatan yang dilakukan. Pemadatan sampah pada landfill mengakibatkan rasio antara karbon/nitrogen dan keseimbangan nutrien kurang menguntungkan bagi pembentukan gas.
Pemadatan landfill akan
menurunkan kadar air, sehingga menurunkan biokonfersi pembentukan gas, untuk lebih jelasnya tahapan perubahan gas pada landfill dapat dilihat pada Gambar 9.
24
Komposisi dan Karakteristik, Generasi, Perpindahan dan Kontrol dari gas pada Landfill
Komposisi Gas, % dalam Volume
Fase
waktu
Gambar 9 Tahapan perubahan gas pada landfill (Tchobanoglous et al. 1993) Volume produksi gas secara umum dapat dijelaskan pada reaksi kimia untuk dekomposisi anaerob dari sampah, dapat dilihat pada persamaan berikut ini. Adapun distribusi terbentuknya gas yang diamati selama 48 bulan setelah penutupan sel pada landfill dapat dilihat pada Tabel 3.
Zat Organik (sampah) + H2O
bakteri Zat organik terbiodegradasi + CH4 +CO2 +Gas lain
Volume gas yang terbentuk selama terjadi dekomposisi secara anaerob dapat diperkirakan dengan menggunakan rumus umum, dengan memisalkan sampah organik sebagai CaHbOcNd. Adapun total volume gas yang terbentuk dapat dihitung dengan menggunakan persamaan : CaHbOcNd +
4a-b-2c-3d 4
H2O
4a-b-2c-3d 8
CH4 +
4a-b+2c+3d 8
CO2 + dNH3
25
Tabel 3 Distribusi terbentuknya gas yang diamati selama 48 bulan setelah penutupan sel Interval waktu, sejak sel selesai (bulan)
Rata-rata, % volume Karbon dioksida CO2 88 76 65 52 53 52 46 50 51
Nitrogen N2 0-3 5,2 3-6 3,8 6-12 0,4 12-18 1,1 18-24 0,4 24-30 0,2 30-36 1,3 36-42 0,9 42-48 0,4 Sumber : Tchobanoglous et al. (1993)
Methan CH4 5 21 29 40 47 48 51 47 48
Pada umumnya bahan organik yang ada dalam sampah dapat diklasifikasikan menjadi dua bagian , yakni: (1) Materi yang mudah untuk didekomposisi dengan cepat (tiga hingga lima tahun) dan (2) Materi yang lambat untuk didekomposisi (sampai dengan 50 tahun atau lebih). Adapun komponen zat organik yang cepat dan yang lambat dalam biodegradasi dapat dilihat pada Tabel 4 . Tabel 4 Komponen zat organik yang cepat dan lambat dalam proses biodegradasi Komponen zat organik Sampah makanan Kertas koran Kertas kantor Kardus Plastik Kain (textil) Karet Kulit Sampah halaman Kayu Organik lainnya Sumber : Tchobanoglous et al. (1993)
Cepat dibiodegradasi X X X X
Lambat dibiodegradasi
X X X X X X X
X
Komponen zat organik yang mudah terurai dalam proses biodegradasi dapat diasumsikan
sebagai
C75H122O55N,
sehingga
apabila
kondisi
optimal,
dengan
menggunakan formula tersebut di atas, gas yang terbentuk jumlahnya 14 ft3/ lb atau 0,874 m3/kg sampah organik biodegradable yang terdekomposisi. Fraksi zat organik biodegradable tergantung pada besarnya kandungan lignin pada sampah.
Adapun
kandungan lignin dan fraksi biodegradable pada komponen sampah organik (Tchobanoglous et al. 1993) dapat dilihat pada Tabel 5.
26
Tabel 5 Kadar biodegradable sampah organik Komponen sampah organik Sampah makanan Kertas koran Kertas kantor Kardus Sampah taman Sumber : Tchobanoglous et al. (1993)
Kandungan lignin dari % volatil padat 0,4 21,9 0,4 12,9 4,1
Adapun perhitungan fraksi biodegradable
Fraksi biodegradable % volatil padat 0,82 0,22 0,82 0,47 0,72
dapat dilakukan dengan menggunakan
persamaan berikut (Tchobanoglous et al. 1993). Fraksi biodegradable = 0,83 - (0,028) x LC, dengan LC = % volatil padat Menurut Tchobanoglous et al. (1993) dalam kondisi normal, kecepatan dekomposisi dapat diukur dari produksi gas yang terbentuk.
Selanjutnya dikatakan
bahwa pembentukan gas maksimal akan terjadi pada tahun pertama dan kedua, namun kemudian akan melambat dan terjadi terus sampai 25 tahun atau lebih. Keragaman dari kecepatan produksi gas dari proses dekomposisi secara anaerob terjadi pada lima tahun atau kurang dari lima tahun. Namun demikian untuk jenis sampah yang sangat cepat didegradasi, akan terjadi dekomposisi dan pembentukan gas secara cepat. Pada jenis sampah yang sangat lambat didegradasi, baru akan dihasilkan setelah 5 sampai 50 tahun, sejak di buang ke tempat pembuangan akhir. Adapun pembentukan gas dari sampah organik yang mudah didegradasikan (biodegradable – organic maximals) dapat dimodelkan seperti yang terlihat pada Gambar 10, sedangkan pengaruh dari pengurangan kandungan air pada produksi gas di landfill dapat dilihat pada Gambar 11.
27
Produksi gas, ft3/th
Total
Gas yang diproduksi dari material yang cepat terurai yang tersimpan dalam 5 tahun
Gas yang diproduksi dari material yang lambat terurai yang tersimpan dalam 5 tahun
Tahun Gambar 10
Pembentukan gas selama lebih dari lima tahun pada sampah organik yang cepat dan lambat didekomposisi sejak dibuang ke landfill (Chobanoglous et al. 1993)
Jumlah produksi gas di tempat pembuangan akhir sampah dalam kurun waktu tertentu dapat dihitung dengan menggunakan persamaan yang dikembangkan oleh Rotenberger dan Tabasaran (1987) dengan formula sebagai berikut:
28 Gt = Ge x (1 – e-kt) Keterangan: Gt: Jumlah gas yang dihasilkan dari semenjak sampah 1 ton dibuang sampai waktu t tahun (m3 gas/ton sampah). Ge: Jumlah gas metan yang dapat dihasilkan dari sampah 1 ton dalam kurun waktu lama (m3/det). k: Koefisien kecepatan urai yag diambil dari waktu paruh jumlah total karbon organik dalam limbah sampah (0,05 ≤ k ≤ 0,15), untuk landfill diambil 0,06 t: Lama waktu dalam tahun Ge = 1,868 x Co x (0,014 x T + 0,28) Keterangan: : Potensi produksi gas untuk satuan unit organik karbon (m3/kg) : Jumlah total organik karbon di dalam sampah (kg/ton sampah), tipikal 200 Kg/ton : Temperatur di lapisan dalam sampah di TPA (20 < °C ≤ 40), tipikel kondisi di Indonesia 40°C
1,868 Co T
Produksi gas dari landfill dengan kandungan air yang cukup untuk mendukung proses anaerobik dari fraksi zat organik dari sampah
Produksi gas, ft3/y
Produksi gas dari landfill yang sama, dengan kandungan air yang tidak cukup untuk mendukung proses anaerobik secara lengkap
Tahun
Gambar 11 Pengaruh dari pengurangan kandungan air pada produksi gas di landfill (Tchobanoglous et al. 1993) Sampah yang dibuang ke TPA pada awalnya akan mengalami proses oksidasi karena bersentuhan dengan oksigen di udara. Keberadaan oksigen ini mengakibatkan
29
terjadinya penguraian secara aerobik, dan karbon organik akan diuraikan hingga menjadi CO2 yang terlepas ke udara bebas.
Selain proses oksidasi, karbon organik juga
mengalami proses anaerobik, sehingga dari proses tersebut akan dihasilkan gas metan, oleh karena itu maka pembentukan gas metan pada awalnya menggunakan koefisien 0,8 – 0,95. Mengingat tidak seluruh karbon organik dapat berubah menjadi gas metan, maka dipakai koefisien 0,06 atau dengan kata lain 35 – 40% elemen TOC akan melepaskan emisi ke udara sebagai gas metan. Proses pengangkutan sampah ke lokasi TPA dilakukan dengan mempergunakan alat angkut truk tertutup dengan kapasitas 8 ton, yang mempergunakan bahan bakar Solar. Aktivitas pengangkutan sampah dari TPS ke TPA dengan kondisi arus lalu lintas di wilayah perkotaan memerlukan bahan bakar solar 2,5 liter per kilometer.
Menurut
penelitian Department of Environment, Food and Rural Affairs (2001), setiap liter solar akan menimbulkan emisi gas CO2 sebesar 2,64 kg.
Adapun reaksi kimia proses
pembakaran hidrokarbon dapat dilihat pada persamaan berikut : 4C12H23 + 71O2 48CO2 + 46H2O
Berat emisi CO2 yang dihasilkan dari 1 liter solar dapat dihitung dengan menggunakan prinsip stoikiometri, seperti perhitungan berikut ini. Berat jenis solar pada suhu 150 C (ρ) = 0,815 x 103 gr/L 1 mol C12H23 = 167 gr 1 mol CO2 = 12x44 =528 gr Sehingga volume solar = 0,205 L 1 mol CO2 = 8x44 = 352 gr ρ = m/v Keterangan: ρ = massa jenis m = massa v = volume zat Jumlah CO2 yang dihasilkan dalam 1 liter solar (C12H23) adalah: = 528/0,205 = 2,6 kg/L
= 2.575 gr/L
30
b.
Composting (Pengomposan) Kompos adalah bentuk akhir dari bahan-bahan organik setelah mengalami
pembusukan. Komposting merupakan proses biologis, namun proses dekomposisinya dapat berlangsung baik secara aerobik maupun anaerobik. Kompos bisa dikatakan sejenis pupuk organik, namun kandungan unsur N (nitrogen), P (pospor) dan K (kalium) dalam kompos tidak setinggi kandungan dalam pupuk buatan (anorganik, kimiawi). Kelebihan dari kompos antara lain adalah sangat kaya unsur-unsur hara mikro, seperti zat besi (Fe), boron (B), belerang/sulphur (S), kapur /kalsium (Ca), magnesium (Mg) dan hara mikro lain yang sangat dibutuhkan oleh tanaman.
Unsur-unsur hara mikro tersebut pada
umumnya tidak terdapat dalam pupuk buatan. Kompos sangat baik dalam memperbaikai struktur tanah, mengingat kompos dapat meningkatkan kapasitas tukar kation serta penyimpanan air. Komponen kompos yang paling berpengaruh terhadap sifat kimiawi tanah adalah kandungan humusnya, karena humus dalam kompos mengandung unsur hara yang dibutuhkan tanaman. Humus yang menjadi asam humat atau jenis asam lainya dapat melarutkan zat besi (Fe) dan aluminium (Al), sehingga fosfat yang terikat pada besi dan aluminium akan lepas, sehingga dapat diserap oleh tanaman. Proses pengomposan tergantung pada berbagai kondisi habitat terutama suhu dan mikroorganisme. Jasad renik yang terdapat pada proses pengomposan terdiri dari dua golongan yaitu mesofili yang hidup dalam suhu 1045°C dan termofili yang hidup pada suhu 45-65°C. Dalam proses degradasi zat organik oleh jasad renik, akan terjadi reaksi pembakaran unsur karbon (C) dan oksigen (O2) menjadi panas (kalor) dan karbon dioksida (CO2). Karbon dioksida ini kemudian dilepas sebagai gas, sedangkan unsur N yang terurai akan ditangkap oleh jasad renik, yang ketika jasad renik ini mati, unsur N-nya akan tetap tinggal dalam kompos dan menjadi sumber nutrisi bagi tanaman. Proses penguraian zat organik bergantung pada berbagai faktor, antara lain : 1. Rasio antara karbon dengan nitrogen (rasio C/N) 2. Derajat keasaman (pH) 6 – 8. 3. Homogenitas campuran. 4. Ukuran bahan, proses pengomposan akan berjalan lebih cepat jika memiliki ukuran yang lebih kecil. 5. Kelembaban dan aerasi, keberadaan oksigen dan air sangat diperlukan untuk mikroorganisme dalam melakukan dekomposisi dari zat organik.
31
6. Suhu pengomposan optimal yang diperlukan oleh mikroorganisme untuk mendekomposisi bahan organik adalah 35 – 55o C 7. Mikroorganisme yang terlibat dalam proses pengomposan, antara lain bakteri, dan jamur Actinonomyces yang berperan dalam proses dekomposisi bahan organik. Menurut Djuarnani et al. (2005), pengomposan merupakan penurunan nilai rasio C/N bahan organik menjadi sama dengan rasio C/N tanah yang berkisar antara 10 -12. Bahan organik yang memiliki rasio C/N sama dengan tanah, memungkinkan bahan tersebut dapat diserap oleh tanaman. Berdasarkan hal tersebut di atas, maka komposting merupakan teknologi yang sangat baik untuk digunakan mengurangi sampah organik, namun metode ini tidak sesuai untuk mengurangi sampah plastik. Menurut Yoseph (2005), penggunaan oksigen pada kompos dibedakan menjadi dua yaitu: a. Kompos dengan proses aerob yang dicirikan dengan timbulnya temperatur yang tinggi, tidak adanya bau,dan cepatnya proses dekomposisi; dan b. Kompos dengan proses anaerob, yang dicirikan dengan temperatur yang rendah, timbulnya bau, lambatnya proses dekomposisi, dan memerlukan perhatian yang minimal.
Selanjutnya dikatakan
bahwa berdasarkan teknologinya, komposting dapat dilakukan dengan : a. Windrows, dengan kecepatan dekomposisi antara 2 – 6 bulan, proses aerasi dengan membalik-balikkan sampah, dan memerlukan peralatan khusus untuk memutar . b. Aerated static pile, dengan kecepatan dekomposisi antara 6 – 12 minggu, dengan menggunakan mekanikel aerasi. c. In-vessel, ( high rate composting) dengan kecepatan dekomposisi yang lebih cepat, yaitu kurang dari satu minggu. Proses pengolahan dilakukan dengan menempatkan sampah pada tabung (chamber/vessel) yang selanjutnya diaduk secara mekanis, dilakukan proses aerasi, serta kontrol terhadap kandungan air, sehingga dari sini akan diperoleh proses dekomposisi sampah organik secara cepat. Pada proses composting terdapat input dan output. Adapun input dan output dalam composting dapat dilihat pada Gambar 12.
32
Emisi gas ke udara INPUT
OUTPUT
Sampah Pupuk Kompos
KOMPOSTING
Sumber Daya
Sisa Sampah
Emisi pengolahan lindi ke badan air
INPUT Emisi air lindi ke tanah dan air
Gambar 12 Proses input dan output pada komposting
c.
Waste to Energy (WTE) Incinerator Incinerator (insinerator) merupakan metoda yang sangat efektif untuk mengurangi
volume sampah sampai dengan 80 – 95 %, bergantung pada kandungan materi yang tidak dapat terbakar dalam sampah. Panas yang dihasilkan dari proses pembakaran sampah, dapat digunakan kembali untuk beberapa kepentingan seperti menghasilkan air panas atau generator listrik yang dapat dimanfaatkan untuk kebutuhan listrik dalam unit incinerator ini sendiri, maupun untuk penggunaan energi listrik oleh masyarakat luas. Menurut Brunner (1994) keuntungan penggunaan incinerator dalam pengolahan sampah antara lain adalah: 1. Dapat menghilangkan komponen sampah yang berbahaya 2. Pengurangan volume dan berat dari sampah 3. Pengurangan sampah secara cepat, tanpa menunggu waktu yang lama seperti pada proses di sanitary landfill. 4. Proses insinerasi (pembakaran) dapat dilakukan di tempat (on site) tanpa mentransportasikan ke daerah yang jauh. 5. Emisi udara dapat dikontrol secara efektif sampai tingkat dampak minimum pada lingkungan atmosfir. 6. Limbah abu dapat dikelompokkan bukan sebagai limbah yang berbahaya.
33
7. Insinerasi memerlukan luas lahan yang relatif lebih kecil, sebagaimana yang diperlukan dalam sistem pengolahan lainnya. 8. Melalui pemulihan panas yang dihasilkan, maka biaya operasi dapat dikurangi atau bisa juga dilakukan penggunaan panas untuk energi listrik yang dapat dijual. Suatu sistem selain mempunyai keuntungan, juga mempunyai kelemahan. Adapun kelemahan dari sistem ini yang perlu diperhatikan adalah: 1. Beberapa material seperti sampah yang sangat basah atau limbah tanah tidak dapat dibakar dalam incinerator. 2. Kesulitan untuk melakukan kontrol terhadap unsur logam (inorganic material) dalam proses pembakaran seperti sampah yang mengandung logam berat (timah, kromium, merkuri, nikel, arsenik, dan lain-lain). 3. Incinerator memerlukan biaya investasi yang sangat mahal. 4. Memerlukan tenaga operator yang terdidik. 5. Memerlukan suplemen bahan bakar untuk pembakaran dan untuk menjaga temperatur pembakaran. Kelemahan lain pada sistem ini adalah pembakaran terhadap polyethylene, polyprophylane dan polystyrene akan menghasilkan gas karbondioksida. Pembakaran dari polyvinyl chloride akan menghasilkan gas yang beracun yakni hidrogen klorida (HCl). Gas hidrogen klorida ini selain dihasilkan dari pembakaran polyvinyl chloride, juga dapat dihasilkan dari pembakaran sampah domestik seperti kertas, kayu, rumput dan lain sebagainya.
Daya racun gas hidrogen klorida dapat muncul jika gas tersebut
tercampur dengan uap air, sehingga akan dihasilkan materi yang sangat korosif yaitu chloride acid. Efektifitas dari incinerator tergatung pada kontrol temperatur, waktu, gas oksigen, turbulensi pembakaran dan distribusi dari gas.
Pada temperatur rendah,
incinerator akan menghasilkan gas karbonmonoksida yang sangat berpotensi mencemari udara. Proses pembakaran senyawa yang mengandung unsur khlor dan karbon pada temperatur 200 - 800oC akan menghasilkan gas dioxin (Brunner, 1994).
Selanjutnya
dikatakan bahwa terdapat beberapa jenis model insinerator yaitu: a. Tungku pembakar (stoker furnace) Tungku ini terdiri dari ruang pembakaran yang terbuat dari lapisan baja yang kuat, jeruji pembakaran, corong pengisian sampah, pembawa pembuang abu, dan ketel uap pemulihan panas. menerus,
Proses insinerasi sampah berlangsung secara terus
dengan temperatur dalam tungku 850 – 900oC, dengan tingkat
34 kehilangan panas antara 5 – 7%.
Pada tungku ini, sampah dibakar secara
langsung dalam kobaran api di atas jeruji pembakaran. Sampah diuraikan dan gas-gas yang dapat terbakar timbul dalam proses reaksi termal, termasuk gas karbon monoksida (CO), yang secara kontinyu dilepaskan dari proses pembakaran yang terjadi di reaktor dan kemudian ditransfer ke dalam ruang pembakaran sekunder. Panas yang ditimbulkan dipulihkan sebagai uap dengan ketel uap, kemudian digunakan sebagai penggerak tenaga listrik.
Emisi gas-gas yang
dikeluarkan diolah untuk memenuhi standar emisi melalui sistem pengolahan asap gas. b. Pembakar dengan fluida (fluidaized bed furnace) Tungku ini dibuat dengan kabin pembakaran yang terbuat dari lapisan baja yang kuat yang dilengkapi dengan suatu sistem pasokan bahan bakar, corong pengisian sampah, pembuangan abu, sistem distribusi pasir yang dipanaskan secara fluida (heated fluidized sands), dan ketel uap pemulihan panas. Tungku ini merupakan konstruksi vertikal berbentuk silinder dan menggunakan supplai pasir yang dipanaskan secara fluida serta sistem pemulihan panas yang terletak pada dasar ruang pembakaran. Sistem ini memiliki daerah permukaan insinerasi yang luas yang ditunjang dengan butiran pasir panas yang dapat membakar sampah dengan temperatur antara 850 – 900oC dan tingkat kehilangan panas antar 5 – 7%, sehingga dapat membakar sampah dalam waktu yang sangat cepat.
Materi
sampah dioksidasi akan terbakar dengan sendirinya oleh pasir panas yang mengalir secara fluida.
Pasir yang dipanaskan secara fluida berpusar dan
dihembuskan oleh udara yang dialirkan dengan pompa dari bawah tungku. Panas akan mengalir dari pasir ke sampah, yang kemudian terbakar dan menjadi abu. Pasir dapat didaur ulang setelah menghilangkan abu dan residu.
Asap gas
bertemperatur tinggi dikeluarkan ke dalam ketel uap pemulih panas untuk menjadi listrik, dan dilepas dari cerobong melalui sistem pengolahan asap gas untuk memenuhi standar emisi. c. Tungku pembakar berputar (rotary kiln type furnace) Tungku ini terdiri dari reaktor silinder baja kuat yang terletak horizontal dan dapat membakar sampah secara langsung pada waktu sampah berpindah dari atas ke dasar. Tungku ini dilengkapi dengan ruang sekunder dan sistem pengolahan asap gas. Tungku ini dapat diatur temperaturnya dengan cara memberikan bahan
35
bakar tambahan yang dicampur dengan udara.
Pada proses pembakarannya,
reaktor ini dipanaskan hingga temperaturnya mencapai 850 – 900oC, sehingga cukup panas untuk membakar sampah yang dimasukkan ke dalam tungku secara kontinyu. Asap dan gas selanjutnya diolah melalui sistem kontrol emisi yang ada pada tungku hingga dapat memenuhi standar emisi. Proses input dan output pada incenerator dapat dilihat pada Gambar 13. Adapun perkiraan kerusakan yang dapat ditimbulkan dalam proses pembakaran pada instalasi incinerator dapat dilihat pada Tabel 6. Emisi gas ke udara Melalui cerobong asap INPUT
OUTPUT
SAMPAH SUMBER
INSTALASI
Energi
INCINERATOR
Listrik
DAYA Sisa sampah yang
Abu sisa
tidak terbakar
pembakaran
Gambar 13 Proses input dan output pada incinerator Energi listrik yang dihasilkan dari WTE insinerator dapat diitung dengan formula sebagai berikut : E (kwh) = berat sampah masuk (kg/jam) x kandungan kalori sampah (kkal/kg)/ 860 kkal x effisiensi di ketel uap (18%) Tabel 6 Perkiraan kerusakan akibat emisi dari incinerator Emisi
Kerusakan Medium
NOx SOx CO VOCs CO2 HCl, HF VOCs
Udara Udara Udara Udara Udara Udara Udara
Dioxins Logam berat Garam Dioxin Sisa sampah
Udara Air
Dampak kesehatan Kematian Penyakit
Produksi pertanian
Kerusakan Gedung
Dampak Pada cuaca v
Ekosistem
v
v
v
v v v
v v
Air v v Air Tanah Pengolahan di instalasi sanitary landfill dan Air Sumber : Europian Commission, D.G. Environment (2000)
36
Menurut Asian Least-Cost Greenhouse Gas Abatement Strategy (Algas, 1997), gas yang dikategorikan ke dalam gas rumah kaca (GRK) adalah gas-gas yang berpengaruh, baik secara langsung maupun secara tidak langsung terhadap rumah kaca. Adapun gas tersebut adalah karbondioksida (CO2), gas metan (CH4), hydroflurocarbon (HFC), karbonmonoksida (CO), nitrogenoksida (NOx) dan gas-gas organik non-metan yang bersifat volatile.
Indeks potensi pemanasan global (global warming potential:
GWP) menggunakan CO2 sebagai tolok ukurnya, yaitu membandingkan efek radiasi GRK di atmosfir terhadap CO2 dalam jumlah yang sama, seperti yang dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 7 GWP untuk beberapa GRK terhadap CO2 Gas CO2 CO CH4 NOx N2O Sumber: Algas (1997)
2.3.
Global Warming Potential (GWP) 1,0 3,0 24,5 290,0 320,0
Multi Kriteria Evalusi (Multy Criteria Evaluation) Metoda pengambilan keputusan secara praktis yang umumnya dilakukan di
lingkungan pemerintahan, biasanya mempergunakan metoda analisis keefektifan biaya (cost effectiveness analysis). Pada metode ini beberapa alternatif pilihan diputuskan dengan membandingkan biaya yang dibutuhkan untuk masing-masing alternatif terhadap output yang dihasilkan untuk mencapai tujuan tertentu.
Selanjutnya ketika terdapat
perbedaan output diantara pilihan alternatif tersebut, maka pengambilan keputusan pada umumnya akan dilakukan secara subyektif, dengan melihat biaya yang termurah (leastcost) untuk mencapai tujuan yang ditetapkan. Metoda lain yang
biasanya dipergunakan untuk pengambilan keputusan dari
beberapa pilihan alternatif dengan memperhatikan biaya yang diperlukan untuk mencapai tujuan tertentu, baik yang memiliki harga pasar ataupun yang tidak ada harga pasarnya, biasanya dilakukan dengan mempergunakan cost benefit analysis (CBA). Pada metode ini, pengambilan keputusan dari beberapa alternatif dilakukan dengan menggunakan teknik evaluasi multi kriteria, baik pada hal-hal yang dapat dinilai dengan uang ataupun variable yang tidak dapat dikuantifikasi dalam nilai uang. Multi kriteria evaluasi merupakan teknik pengambilan keputusan multi-variabel berbasis pada non-parametrik. Teknik ini dalam pengambilan keputusannya melibatkan
37
multi kriteria, dengan menggunakan pembobotan.
Pengambilan keputusan dengan
mempergunakan multi kriteria evaluasi juga melibatkan alternatif/pilihan yang dapat diambil, oleh karenanya melalui teknik multi kriteria evaluasi ini akan dipilih alternatif terbaik dengan mempertimbangkan setiap kriteria dari alternatif tersebut. Pengambilan keputusan dengan mempergunakan teknik multi kriteria evaluasi secara matematis dapat dijelaskan sebagaimana metrik keputusan di bawah ini. Alternatif C1
C2
C3
C4
..
Cn
A1
W1
W2
W3
W4
..
Wn
A2
a11
a12
a13
a14
..
a1n
A3
a21
a22
a23
a24
..
a2n
A4 .. .. An
a31 .. .. am 1
a32 .. .. am 2
a33 .. .. am 3
a34 .. .. am 4
.. .. .. ..
a3n .. .. am n
Keterangan: An= alternatif ke n, Cn = kriteria ke n dan Wn = bobot dari kriteria ke n Penentuan prioritas berdasarkan metrik keputusan di atas dapat dilakukan melalui berbagai pendekatan, beberapa diantaranya adalah analitical hyrarchy process (AHP), TOPSIS, ELECTRE dan Promethe (Salo dan Hamalainen, 1955). Pada dasarnya terdapat dua pendekatan yang sederhana yang umum digunakan, yakni pendekatan weighted sum methode (WSM) dan weighted product methode (WPM) (Jablansky 1998). Penentuan prioritas dengan pendekatan WSM tersebut, secara matematis dapat dihitung dengan mempergunakan persamaan matematis sebagai berikut :
Sedangkan penentuan prioritas dengan pendekatan WPM dapat dihitung dengan persamaan matematis sebagai berikut :
Keterangan : Pi adalah prioritas ke i aij adalah skor dari alternatif ke-i dengan kriteria J Wj adalah bobot dari kriteria j Ap, Aq adalah alternatif ke p, q dari sejumlah n alternatif
38
2.4.
Cost-Benefit Analysis (CBA) Cost Benefit Analysis, dipergunakan untuk pengambilan keputusan dan
menentukan kebijakan yang didasarkan pada informasi mengenai keuntungan dan kerugian terhadap pilihan beberapa keputusan.
Analisis ekonomi dan CBA pada
umumnya dapat memberikan pertimbangan bagi pengambil keputusan, untuk mengambil keputusan berdasarkan informasi yang sangat bernilai. Menurut Hanley dan Spash (1995) memasukkan nilai lingkungan dalam perhitungan bisnis dan politik sebagai masukan dalam pengambilan keputusan, merupakan tujuan utama dari CBA lingkungan. Dalam konteks penentuan optimasi pengolahan sampah, pada kenyataannya terdapat problematika untuk melakukan kuantifikasi dalam bentuk uang dari seluruh dampak yang ditimbulkan oleh masing-masing teknologi. Dalam beberapa hal, tidak seluruh dampak dapat dikuantifikasi, namun demikian seluruh dampak harus diinformasikan untuk pengambilan keputusan. Hal yang sangat penting dalam CBA adalah penilaian ekonomi sejauh mungkin dapat dilakukan untuk seluruh barang, pelayanan dan dampak lingkungan pada pilihan teknologi pengolahan sampah dalam pengambilan keputusan. Apabila pasar untuk barang dan jasa telah ada, maka nilainya dapat dikuantifikasi dengan harga pasar. Namun demikian masih cukup banyak barang lingkungan seperti udara yang bersih, tidak ada pasarnya dan tidak ada harga yang didapat dari hasil pengamatan, sehingga untuk menilainya harus menggunakan teknik lain. Penilaian terhadap barang lingkungan yang tidak ada harga dan pasarnya ini dapat dikatakan sangat rumit serta terkait dengan ketidakpastian yang sangat besar. Menurut Hanley dan Spash (1995), struktur metode CBA terdiri dari beberapa tahapan.
Adapun tahapan-tahapan tersebut adalah pendefinisian proyek, identifikasi
dampak yang sesuai dengan ekonomi, mengkuantifikasi dampak fisik, perhitungan valuasi keuangan, diskonto, pembobotan dan analisis sensitivitas. 2.5. Pertumbuhan Ekonomi dan Lingkungan Menurut Bartz dan Kelly (2005), terdapat teori kurva lingkungan dari Kuznets yang menghubungkan antara degradasi (penurunan) kualitas lingkungan hidup dengan pertumbuhan ekonomi.
Kurva Kuznet ini menunjukkan bahwa tingkat pencemaran
lingkungan mengalami kenaikan dan kemudian mengalami penurunan atau titik balik, selaras dengan kenaikan pendapatan masyarakat. Kurva Kuznet ini digambarkan dalam bentuk huruf U terbalik, sebagaimana yang dapat dilihat pada Gambar 14.
39
Degradasi Lingkungan
Titik balik
Degradasi Lingkungan
Income per Capita Lingkungan yg semakin memburuk
Lingkungan yg semakin membaik
Gambar 14 Diagram Kuznet (Bertz dan Kelly 2005)
Gambaran dari kurva Kuznet, bahwa pada tahap awal industrialisasi, masyarakat lebih tertarik mengkonsumsi makanan dari pada bernafas dengan udara yang bersih (lingkungan yang bersih). Hal ini dapat dimengerti, karena pada masyarakat yang tahap pendapatannya rendah, masyarakat terlalu miskin untuk mampu membayar penurunan pencemaran lingkungan.
Kondisi tersebut memaksa akan diabaikannya keberadaan
peraturan perundangan mengenai lingkungan hidup dan akan membuat peraturan perundangan lingkungan hidup menjadi terlalu lemah keberadaannya. Pada Kurva Kuznet juga terlihat bahwa pada saat pendapatan masyarakat mulai naik, industri akan menjadi lebih bersih dan marginal utilitas konsumsi (marginal utility of consumption) akan jatuh/menurun. Hal ini mengisyaratkan bahwa masyarakat mulai menghargai lebih besar kualitas lingkungan hidup yang lebih baik, selain itu adanya peraturan perundangan mengenai lingkungan hidup juga akan mulai lebih efektif. Dalam kurva ditunjukkan bahwa pada rentang pendapatan menengah polusi mulai berhenti meningkat dan selanjutnya pada titik balik (turning point) akan menurun selaras dengan kenaikan pendapatan masyarakat. Menurut Fischer dan Dornbusch (1997), pendapatan nasional bruto (GNP) merupakan nilai barang dan jasa yang diproduksi dalam perekonomian pada suatu kurun waktu tertentu (kuartal ataupun tahunan).
GNP adalah ukuran pokok dari kegiatan
ekonomi. GNP tidak hanya digunakan sebagai ukuran berapa banyak barang dan jasa yang sedang diproduksi, tetapi juga sebagai ukuran kesejahteraan penduduk suatu negara.
40
Apabila terjadi kenaikan GNP biasanya diartikan sebagai adanya peningkatan kesejahteraan rakyat. Pada dasarnya masih terdapat kekurangan dalam menilai GNP. Adapun kekurangan tersebut antara lain adalah ketiadaan pengurangan yang seharusnya dilakukan terhadap adanya output negatif dari GNP. Dalam konteks lingkungan seharusnya GNP harus dikoreksi dengan mengurangkan nilai dari polusi yang dihasilkan oleh pabrikpabrik dan kendaraan, yang kesemuanya merupakan output negatif. Namun demikian apabila terjadi perbaikan lingkungan, maka seharusnya terdapat tambahan dari output positif dari kondisi lingkungan yang lebih baik. Dalam konteks penelitian ini yang mengambil DKI sebagai daerah kajian tingkat kesejahteraan, perhitungan dilakukan berdasarkan produk domestik regional bruto (PDRB), yang merupakan tingkat pertumbuhan ekonomi di dalam wilayah DKI. PDRB dapat memberikan gambaran tentang keadaan masa lalu, masa kini dan sasaran-sasaran yang akan dicapai di masa yang akan datang. Pada hakekatnya pembangunan ekonomi merupakan usaha dan kebijakan yang bertujuan untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat, memperbesar kesempatan kerja, meningkatkan pemerataan pendapatan masyarakat, meningkatkan kegiatan ekonomi, dan mengusahakan pergeseran kegiatan ekonomi dari sektor primer ke sektor sekunder dan tersier. PDRB DKI Jakarta dihitung berdasarkan harga konstan tahun 1993, yang memberikan gambaran tingkat pertumbuhan riil perekonomian DKI baik secara agregat maupun sektoral. Pertumbuhan perekonomian pada suatu masa apabila dibandingkan dengan jumlah penduduk pada masa tersebut, akan merupakan cerminan dari tingkat perkembangan pendapatan per kapita penduduk. Pertumbuhan
perekonomian
juga
kesejahteraan/kemakmuran material.
merupakan
ukuran
relatif
tingkat
PDRB dari suatu daerah yang disajikan secara
berkala, wajar dan komprehensif akan dapat menggambarkan: a. indikator tingkat pertumbuhan perekonomian; b. indikator tingkat perkembangan pendapatan per kapita; c. indikator tingkat kemakmuran masyarakat; d. indikator tingkat inflasi; e. indikator dari struktur perekonomian suatu daerah. PDRB DKI dengan harga konstan tahun 1993 dapat dilihat pada Tabel 8.
41
Tabel 8 PDRB per kapita Kota DKI Jakarta Tahun
Harga Berlaku PDRB per kapita
1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005
5.867.834 6.617.340 7.722.748 8.871.546 11.664.943 16.696.695 19.767.326 22.425.675 31.120.094 35.166.152 38.903.701 43.329.781 49.920.846
Laju Pertumbuhan (%) 12,78 16,70 14,88 31,49 43,14 18,39 13,45 16,30 15,23 12,34 12,52
Harga Konstan 1993 PDRB Laju per Kapita Pertumbuhan (%) 5.867.834 6.248.111 6,48 6.686.735 7,02 7.156.214 7,02 7.228.685 5,11 5.998.290 -17,02 5.973.156 -0,42 6.107.614 2,25 7.307.159 3,64 7.503.946 3,99 7.752.949 4,62 8.057.326 5,24
Sumber : Diolah dari BPS, Kantor Statistik Propinsi DKI Jakarta (2005 dan 2006) Menurut Barton et al. (1994) yang melakukan penelitian pada kota-kota di beberapa negara dengan tingkat pendapatan menengah dan rendah didapatkan hasil bahwa tingkat pertumbuhan ekonomi memberikan pengaruh yang signifikan terhadap kondisi ligkungan. Hasil penelitian pada beberapa negara dengan tingkat pendapatan rendah, atau pendapatan menengah ke bawah (lower-middle income), menegah ke atas (upper-middle income) dan pendapatan tinggi (high-income) dapat dilihat pada Tabel 9. Menurut Cointreau et al. (1985), komposisi sampah berkaitan erat dengan tingkat ekonomi. Kondisi ini tergambar dengan jelas pada komposisi sampah yang bervariasi pada negara berpenghasilan rendah, menengah dan industri, seperti yang dapat dilihat pada Tabel 10.
2.6. Kebijakan Laswell dan Kaplan (1971), memberikan pengertian mengenai kebijakan sebagai “a program of goals, values and practices” yaitu suatu program pencapaian tujuan, nilainilai dan praktek-praktek yang terarah. Menurut James Anderson (1979) kebijakan merupakan serangkaian tindakan yang mempunyai tujuan tertentu yang diikuti dan dilaksanakan oleh seseorang pelaku atau sekelompok pelaku guna memecahkan suatu masalah tertentu”.
42
Tabel 9 Tipologi kota berdasarkan ekonomi - lingkungan Masalah lingkungan perkotaan
Negara dengan tingkat pendapatan <650 US$ per kapita
Negara dengan tingkat pendapatan <650-2,500 US$ per kapita
Negara dengan tingkat pendapatan <2,500-6,500 US$ per kapita
Negara dengan tingkat pendapatan >6,500 US$ per kapita
Akses pada pelayanan : Air minum dan sanitasi Pelayanan rendah Pelayanan yang rendah kualitas yang buruk untuk masyarakat miskin khususnya untuk rakyat miskin
Umumnya mendapatkan pelayanan air minum, sistem sewerage yang memadai
Bagus, perhatian pada substansi yang kecil
Drainase
Masuk akal
Bagus
Masuk akal
Bagus
Pelayanan yang rendah sering terjadi banjir
Tidak memadai, kadang terjadi banjir
Pengumpulan Sampah Pelayanan yang rendah Kurang memadai khususnya untuk rakyat miskin Pencemaran: Pencemaran Air
Kurang memadainya sanitasi dan air limbah domestik
Masalah yanag berat dari tidak diolahnya air limbah domestik yang dibuang
Beberapa masalah buruknya pengolahan air limbah dan pembuangan air limbah industri
Tingkat pengolahan yang tinggi. Perhatian pada harga amenitas dan zat beracun
Pencemaran Udara
Beberapa masalah di kota yang menggunakan batu bara, indoor exposure pada rakyat miskin
Beberapa masalah di beberapa kota akibat pemakaian batu bara dan kendaraan bermotor
Beberapa masalah pada beberapa negara dan penggunaan batu bara dan kendaraan bermotor
Masalah untuk beberapa kota dari emisi kendaraan bermotor Prioritas kesehatan
Pembuangan Sampah
Open dumping , limbah Sebagian besar landfill tidak tercampur trekontrol, limbah tercampur
Semi control landfill
Control landfill , insinerator, pemulihan sumber daya
Beberapa masalah Pertumbuhan kapasitas
Pergerakan dari remediasi ke pencegahan
Pengolahan limbah B3 Tidak ada kapasitas
Kehilangan sumber daya : Pengelolaan lahan
Bahaya lingkungan alamiah dan buatan manusia
Tidak terkontrolnya penggunaan dan pengembangan lahan, tekanan dari hunian liar
Beberapa masalah kapasitas rendah
Tidak efektifnya kontrol peng- Beberapa Zoning dilakukan gunaan lahan
Bencana yang berulang Bencana yang berulang dengan Resiko yang tinggi dari bahaya dengan kerusakan yang kerusakan sedang dan industri berat dan kematian kematian
Sumber: Barton et al. World Development Report, 1992
Zoning lingkungan pada lokasi regional
Kapasitas yang baik untuk emergensi
43
Tabel 10 Pola kuantitas dan karakteristik sampah pada negara berpenghasilan rendah, menengah dan industri Negara Penghasilan Rendah
Negara Penghasilan Menengah
Negara Industri
0,4 – 0,6
0,5 – 0,9
0,7 – 1,8
250 - 500
170 - 330
100 – 200
40 - 80
40 – 60
20 – 40
1 – 10 1 – 10 1–5 1–5 1–5 1–5 1–5 40 – 85 1 – 40 5 – 35
15 – 40 1 – 10 1–5 1–6 – – 2 – 10 20 – 65 1 – 30 –
15 – 50 4 – 12 3 – 13 2 – 10 – – 2 – 10 20 – 50 1 – 20 10 – 85
Produksi sampah (kg/cap/day) Kepadapatan sampah (wet weight basis-kg/m3) Kelembaban (% wet weight at point of generation) Komposisi (% berat basah) - Kertas - Kaca - Metal - Plastik - Bulu, Karet - Kayu - Kain - Tumbuhan - Lainnya Ukuran Partkel, % lebih besar dari 50 mm
Sumber : Cointreau et al. (1985) Menurut Dunn (1981) sistem kebijakan merupakan hubungan timbal balik antara tiga unsur, yaitu kebijakan publik (KP), pelaku kebijakan (PK) dan lingkungan kebijakan (LK). Menurut Mustopadidjaja (2008) kebijakan publik merupakan keputusan untuk mengatasi permasalahan tertentu, untuk melakukan kegiatan tertentu, atau untuk mencapai tujuan tertentu, yang dilakukan oleh instansi yang berkewenangan dalam rangka penyelenggaraan tugas pemerintahan negara dan pembangunan. Pada perumusan kebijakan publik, hal yang harus dilakukan terlebih dahulu adalah mengenali konsep sistem kebijakan (policy system).
Menurut Mustopadidja, sistem kebijakan adalah
tatanan kelembagaan yang berperan atau merupakan wahana dalam penyelenggaraan sebagian atau keseluruhan proses kebijakan (formulasi, implementasi, dan evaluasi kebijakan) yang mengakomondasikan kegiatan tehnis (technical prosess) maupun sosiopolitis (sociopolitical process) serta saling hubungan atau interaksi antar empat faktor dinamik. Selanjutnya dikatakan bahwa keempat factor dinamik tersebut adalah lingkungan kebijakan; pembuat dan pelaksana kebijakan; kebijakan itu sendiri dan kelompok sasaran kebijakan.
44
Menurut Maani dan Cavana (2000), dinamika proses kebijakan publik dalam dimensi sosial, ekonomi dan politik, akan dapat dipahami , melalui metoda berfikir berdasarkan teori
gunung es (the iceberg fonomena) dan level of prespective serta
memahami perubahan lingkungan strategis yang sedang terjadi. Kondisi tersebut terjadi karena pada kebijakan publik, terdapat masukan kebijakan (input policy) yang mengalir dari lingkungan kebijakan. Menurut teori gunung es, informasi yang berasal dari berbagai media merupakan suatu peristiwa (events), yang memberikan informasi mengenai bagaimana peristiwa terjadi, bilamana dan apa dampak yang ditimbulkan dan menimpa siapa kejadian tersebut serta informasi nilai kerugiannya. Teori ini secara keseluruhan hanya merupakan event namun belum merupakan akar masalah itu sendiri. Berdasarkan hal tersebut, maka dalam rangka merumuskan tindakan yang akan diambil, selayaknya harus dilakukan penggalian informasi yang lebih dalam yaitu petern of behaviour (kecenderungan dari kejadian) serta pendalaman pemikiran untuk memahami bagaimana problem of event tersebut berhubungan dan saling mempengaruhi. Oleh karena itu maka dalam memahami struktur sistemnya (sistemic structure) yang merupakan permasalahan masyarakat yang mengemuka, maka systemic structure akan memberikan pengertian atau pemahaman mengenai mental model masalah sebagai akar masalah. Berdasarkan mental model tersebut akan dapat ditentukan kerangka intervensi strategis (desain kebijakan), yang diperlukan untuk mengatasi permasalahan yang mengemuka di masyarakat tersebut.