BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kondisi Umum Kepulauan Seribu Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu seluas 107.489 hektar, merupakan kawasan perairan laut sampai batas pasang tertinggi, pada geografis antara 5°24' 5°45' LS dan 106°25' - 106°40' BT, termasuk kawasan darat Pulau Penjaliran Barat dan Pulau Penjaliran Timur seluas 39,50 hektar. Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu tersusun oleh Ekosistem Pulau-Pulau Sangat Kecil dan Perairan Laut Dangkal, yang terdiri dari Gugus Kepulauan dengan 78 pulau sangat kecil, 86 Gosong Pulau dan hamparan laut dangkal pasir karang pulau sekitar 2.136 hektar (Reef flat 1.994 ha, Laguna 119 ha, Selat 18 ha dan Teluk 5 ha), terumbu karang tipe fringing reef, mangrove dan lamun bermedia tumbuh sangat miskin hara/lumpur, dan kedalaman laut dangkal sekitar 20-40 m (TNKpS, 2008). Ditinjau dan letak kontinental dan oseanografisnya, wilayah Kepulauan Seribu mempunyai iklim muson laut tropis, yakni adanya pergantian arah angin setiap setengah tahun yang disebut angin muson. Banyaknya uap air laut yang berpengaruh terhadap suhu udara. Hal ini juga sebagai akibat karena Kepulauan Seribu berada pada daerah equator yang mempunyai sistem equator yang dipengaruhi variasi tekanan udara. Dimana musim basah mencapai kondisi maksimum pada bulan Januari, sedang musim kering mencapai puncak pada bulan Juni - Agustus. Pengaruh musim terlihat sebagai tiupan angin Barat Laut Utara yang kuat selama musim Barat pada bulan Oktober - April; serta angin Tenggara - Timur pada musim Tenggara atau Timur pada bulan Mei – September (TNKpS, 2008). Suhu udara rata-rata berkisar antara 26,5-28,5 °C, suhu udara maksimum berkisar antara 29,5-32,5 °C, sedangkan suhu udara minimum berkisar antara 23,4-23,8 °C. Kelembaban nisbi rata-rata berkisar antara 75-85 %, sedangkan tekanan udara rata-rata antara 1009,0-1011,0 mb (Dinas Tata Kota DKI Jakarta, 2003 dalam TNKpS, 2008).
6
7
Pengamatan angin permukaan menunjukkan bahwa angin dominan di Kepulauan Seribu adalah angin timur. Dikaitkan dengan arah angin dominan yang terjadi tersebut, karakteristik arah gelombang datang teramati yaitu 130° (dan Timur-Tenggara) menunjukkan adanya ketergantungan gelombang terhadap angin. Tinggi gelombang di Kepulauan Seribu pada musim Barat adalah sebesar 0,5-1,5 m, sedangkan pada musim timur sebesar 0,5-1,0 meter. Bervariasinya tinggi gelombang ini dikarenakan terdapat perbedaan kecepatan angin musim yang bertiup di atasnya (Kab. Adm. Kep. Seribu-LAPI ITB, 2004 dalam TNKpS, 2008). Suhu dan salinitas air permukaan laut di Kepulauan Seribu secara umum berkisar antara 30-34 0/00. Salinitas air permukaan pada musim barat, musim timur dan msim pancaroba tidak berfluktuasi secara nyata (Suyarso, 1995; Pardjaman, 1977 dalam Dinas Perikanan DKl Jakarta, 1997). Kecerahan perairan berkisar antara 3-8 meter, sedangkan kekeruhannya berkisar antara 0,5-1,1 NTU yang bervariasi dimana pada musim barat umumnya mempunyai kecerahan lebih rendah dan kekeruhan lebih tinggi dibanding musim timur (Dinas Perikanan DKI Jakarta, 1997 dalam TNKpS, 2008). Pulau-pulau di Kepulauan Seribu umumnya dikelilingi oleh terumbu karang tepian (fringing reefs) pada kedalaman 0,5-10 meter. Jenis-jenis karang yang dapat ditemukan di sini termasuk ke dalam jenis karang keras (hard coral) dan karang lunak (soft coral). Dari Pengamatan yang dilakukan selama kurun waktu 22 tahun oleh berbagai instasi tercatat jenis terumbu karang yang terdapat di Taman Nasional Kepulauan Seribu mencakup 68 genera dan subgenera dengan 134 spesies. Sedangkan diberbagai penelitian ditemukan bahwa di kawasan Kepulauan Seribu secara keseluruhan terdapat sekitar 276 jenis karang di wilayah Kepulauan Seribu Utara dan Selatan. Terumbu karang di kawasan perairan ini membentuk ekosistem khas daerah tropik, pulau-pulaunya dikelilingi terumbu karang tepian (fringing reef) dengan kedalaman 1-20 meter (TNKpS, 2008). Pulau Semak Daun merupakan salah satu pulau yang terletak di gugusan Kepulauan Seribu. Secara administratif pulau ini termasuk dalam wilayah kabupaten Kepulauan Seribu Provinsi DKI Jakarta. Pulau Semak Daun termasuk
8
dalam Zona Pemukiman Taman Nasional yang dijadikan sebagai pusat pemerintahan dan perumahan penduduk masyarakat. Pulau Semak Daun dikelilingi oleh paparan pulau yang cukup luas (island shelf) hingga 20 kali lebih luas dari pulau yang bersangkutan dengan kedalaman kurang dari 5 meter, dan juga memiliki daerah rataan karang yang cukup luas (reef flat) dan berpasir putih. 2.2 Terumbu Karang Terumbu karang (coral reefs) merupakan kelompok organisme karang yang hidup di dasar perairan laut dangkal, terutama di daerah tropis. Meskipun karang ditemukan hampir di seluruh dunia, baik di perairan kutub maupun perairan ugahari (temperate, bermusim empat), tetapi hanya di daerah tropik terumbu dapat berkembang. Karenanya pembentukan terumbu karang digunakan untuk membatasi lingkungan lautan tropik (Kordi, 2010). Terumbu karang disusun oleh karang-karang kelas Anthozoa, filum Cnidaria (cnide = sengat)/ Coelenterata, dan ordo Madreporaria (Scleractinia), yang termasuk karang hermatifik (hermatypic coral) atau jenis-jenis karang yang mampu menghasilkan bangunan atau kerangka karang dari kalsium karbonat (CaCO3). Selain scleractinian corals adalah algae yang banyak diantaranya juga mengandung atau menghasilkan kapur. Hewan karang termasuk kelas Anthozoa, yang berarti hewan berbentuk bunga (Antho = bunga; zoa = hewan) (Kordi, 2010). Di dalam klasifikasi hewan, karang termasuk dalam kelompok besar Cnidaria/Coelenterata (hewan berongga) seperti ubur-ubur dan anemone laut. Karang dikelompokkan sebagai karnivora dan pemakan zooplankton (hewan mikroskopis yang sifat hidupnya terbawa air), seperti larva udang dan larva moluska. Makanan karang berasal dari tiga sumber, yaitu (a) plankton yang ditangkap melalui tentakel yang dilengkapi dengan sel penyengat pelumpuh mangsa (nematocyst); (b) nutrisi organik yang diserap secara langsung dari air; dan (c) senyawa organik yang dihasilkan zooxanthellae, yaitu sejenis algae yang hidup di polip karang. Untuk kepentingan pembentukan karang, zooxanthellae merupakan yang paling penting (Dahuri, 2003 dalam Kordi, 2010).
9
2.2.1 Tipe Terumbu Karang Terumbu karang dikelompokkan ke dalam tiga bentuk, yaitu atol, terumbu penghalang (barrier) dan terumbu pinggir atau tepi (fringing), sebagai berikut (TERANGI, 2011): A. Terumbu karang tepi (Fringing Reef), yaitu terumbu karang yang terdapat di sepanjang pantai dan dalamnya tidak lebih dari 40 meter. Terumbu ini tumbuh ke permukaan dan ke arah laut terbuka (Gambar 2).
Gambar 2. Terumbu Karang Tepi (White, 1987 dalam TERANGI, 2011) B. Terumbu karang penghalang (Barrier Reefs), berada jauh dari pantai yang dipisahkan oleh goba (lagoon) dengan kedalaman 40 – 70 meter. Umumnya terumbu karang ini memanjang menyusuri pantai (Gambar 3).
Gambar 3. Terumbu Karang Penghalang (White, 1987 dalam TERANGI, 2011) C. Atol (atolls), yang merupakan karang berbentuk melingkar seperti cincin yang muncul dari perairan yang dalam, jauh dari daratan dan melingkari gobah yang memiliki terumbu gobah atau terumbu petak. Gambar tersebut dikutip dari White, 1987 dalam Panduan Pembentukan dan Pengelolaan Daerah Perlindungan Laut Berbasis Masyarakat (Gambar 4).
10
Gambar 4. Terumbu Karang Cincin (Atol) (White, 1987 dalam TERANGI, 2011) Ketiga bentuk tersebut sebenarnya merupakan evolusi dari atol (Romimohtarto dan Juwana, 2005). Salah satu teori populer yang menjelaskan asal atol adalah teori penenggelaman (subsidence theory) Charles Darwin. Menurut teori ini, asal mula atol adalah saat terumbu tepi mulai tumbuh di pantai pulau-pulau vulkanik yang baru terbentuk yang telah muncul ke permukaan air dari perairan dalam. Pulau-pulau ini kemudian mulai turun dan apabila penurunan ini tidak terlalu cepat, pertumbuhan terumbu akan seimbang dengan penurunan pulau tersebut, kemudian akan membentuk terumbu penghalang dan akhirnya akan menjadi sebuah atol, sedangkan pulaunya menghilang di bawah laut. Kalau pulau sudah menghilang, pertumbuhan karang yang diteruskan di sebelah luar akan menahan terumbu di atas permukaan, tetapi di bagian dalam di mana pulau dahulu berada, keadaan air tenang dan pengendapan yang tinggi sehingga mencegah pertumbuhan karang yang terus-menerus, dan oleh karenanya terbentuklah gobah (Nybakken, 1988). Teori penenggelaman (subsidence theory) Darwin baru dapat dibuktikan pada pertengahan abad ke-20. (Ladd et al, 1953 dalam Nybakken, 1988) melaporkan pengeboran di Eniwetok Atol di Kepulauan Marshall sampai kedalaman 1283 m pada batu kapur terumbu, dan membentur batuan vulkanik. Kebenaran teori ini diperkuat dengan ditemukannya gunung-gunung dengan puncak dasar atau guyot, yang pada saat sekarang, puncak-puncak itu berada ratusan atau ribuan meter di bawah permukaan lautan, tetapi pada permukaannya terdapat bekas-bekas karang perairan dangkal. Ternyata, gunung-gunung itu
11
tenggelam terlalu cepat bagi terumbu yang tumbuh di zona yang mendapat cahaya. Teori penenggelaman (subsidence theory) mengaitkan ketiga tipe terumbu dalam rangkaian yang evolusioner, tetapi bukan merupakan penjelasan untuk semua tipe terumbu penghalang dan terumbu tepi. Meskipun teori ini merangkaikan ketiga tipe terumbu dalam suatu urutan, itu tidak berarti bahwa bila di kemudian hari terjadi terumbu penghalang dan terumbu tepi di suatu tempat, suatu urutan seperti itu terjadi juga. Penyebab terjadinya terumbu penghalang dan terumbu tepi di sekitar tepi-tepi benua dan di pulau bukan vulkanik yang intesif adalah karena daerah-daerah ini mempunyai kondisi lingkungan yang susuai bagi pertumbuhan. Oleh karena itu, terumbu yang luas di sekeliling Kepulauan Indonesia, Filipina, Nugini, Fiji, dan kebanyakan dari Kepulauan Karibia dan Florida, dapat tumbuh karena substrat yang memulai pertumbuhannya. Di daerahdaerah ini tidak ada daratan yang turun, sehingga terumbu tidak akan menjadi atol (Nybakken, 1988). 2.2.2 Pertumbuhan Karang Laju pertumbuhan pada koloni-koloni karang dapat berbeda satu sama lainnya. Hal ini disebabkan adanya perbedaan spesies, umur koloni, dan daerah suatu terumbu. Tetapi beberapa hal yang umum dapat dicatat, koloni yang muda dan kecil cenderung tumbuh lebih cepat daripada koloni-koloni yang lebih tua; koloni-koloni yang besar, dan bercabang-cabang atau karang yang menyerupai daun cenderung untuk tumbuh lebih cepat daripada karang masif (Nybakken, 1988). Berdasarkan pengukuran yang dilakukan oleh Vaughn (1915 dalam Nybakken, 1988) diketahui bahwa genus Acropora yaitu spesies Acropora foliaceous (seperti daun) dapat tumbuh dengan diameter 5-10 cm dan tingginya 25 cm pertahun. Sedangkan spesies Montastrea annularis, sebuah tipe karang masif hanya tumbuh dengan diameter 0,5-2 cm dan tinggi 0,25-0,75 cm per tahun. Berdasarkan bentuk pertumbuhannya karang batu terbagi atas karang Acropora dan non-Acropora (English et al., 1994). Perbedaan Acropora dengan non-Acropora terletak pada struktur skeletonnya. Acropora memiliki bagian yang
12
disebut axial koralit dan radial koralit, sedangkan non-Acropora hanya memiliki radial koralit (TERANGI, 2011) (Gambar 5 dan 6).
Gambar 5. Skeleton Acropora (TERANGI, 2011)
Gambar 6. Skeleton Non-Acropora (TERANGI, 2011)
Bentuk Pertumbuhan Karang non-Acropora terdiri atas (TERANGI, 2011): A. Bentuk Bercabang (Branching), memiliki cabang lebih panjang daripada diameter yang dimiliki, banyak terdapat di sepanjang tepi terumbu dan bagian atas lereng, terutama yang terlindungi atau setengah terbuka. Bersifat banyak memberikan tempat perlindungan bagi ikan dan invertebrata tertentu. B. Bentuk Padat (Massive), dengan ukuran bervariasi serta beberapa bentuk seperti bongkahan batu. Permukaan karang ini halus dan padat, biasanya ditemukan di sepanjang tepi terumbu karang dan bagian atas lereng terumbu. C. Bentuk Kerak (Encrusting), tumbuh menyerupai dasar terumbu dengan permukaan yang kasar dan keras serta berlubang-lubang kecil, banyak terdapat pada lokasi yang terbuka dan berbatu-batu, terutama mendominasi sepanjang tepi lereng terumbu. Bersifat memberikan tempat berlindung untuk hewanhewan kecil yang sebagian tubuhnya tertutup cangkang. D. Bentuk lembaran (Foliose), merupakan lembaran-lembaran yang menonjol pada dasar terumbu, berukuran kecil dan membentuk lipatan atau melingkar, terutama pada lereng terumbu dan daerah-daerah yang terlindung. Bersifat memberikan perlindungan bagi ikan dan hewan lain. E. Bentuk Jamur (Mushroom), berbentuk oval dan tampak seperti jamur, memiliki banyak tonjolan seperti punggung bukit beralur dari tepi hingga pusat mulut. F. Bentuk submasif (Submassive), bentuk kokoh dengan tonjolan-tonjolan atau kolom-kolom kecil.
13
G. Karang api (Millepora), semua jenis karang api yang dapat dikenali dengan adanya warna kuning di ujung koloni dan rasa panas seperti terbakar bila disentuh. H. Karang biru (Heliopora), dapat dikenali dengan adanya warna biru pada rangkanya Bentuk pertumbuhan Acropora sebagai berikut (TERANGI, 2011): A. Acropora bentuk cabang (Acropora Branching), bentuk bercabang seperti ranting pohon. B. Acropora meja (Acropora Tabulate), bentuk bercabang dengan arah mendatar dan rata seperti meja. Karang ini ditopang dengan batang yang berpusat atau bertumpu pada satu sisi membentuk sudut atau datar. C. Acropora merayap (Acropora Encursting), bentuk merayap, biasanya terjadi pada Acropora yang belum sempurna. D. Acropora
Submasif
(Acropora
Submassive),
percabangan
bentuk
gada/lempeng dan kokoh. E. Acropora berjari (Acropora Digitate), bentuk percabangan rapat dengan cabang seperti jari-jari tangan. 2.2.3 Faktor-faktor Pembatas Menurut Nybakken (1988), Faktor-faktor pembatas pada terumbu karang, yaitu sebagai berikut (Gambar 7): A. Suhu Bahwa hampir semua terumbu hanya ditemukan pada perairan yang dibatasi oleh permukaan yang isoterm 20 0C. Karang hermatipik dapat bertahan selama beberapa waktu pada suhu agak di bawah 20 0C; akan tetapi, seperti yang dicatat oleh Wells (1957 dalam Nybakken, 1988), tidak ada terumbu yang berkembang pada suhu minimum tahunan di bawah 18 0C. perkembangan terumbu yang paling optimal terjadi di perairan yang rata-rata suhu tahunannya 23-25 0C, terumbu karang dapat mentoleransi suhu sampai kirakira 36-40 0C.
14
B. Kedalaman Terumbu karang juga dibatasi oleh kedalaman. Terumbu karang tidak dapat berkembang di perairan yang lebih dalam dari 50-70 m, kebanyakan terumbu tumbuh pada kedalaman 25 m atau kurang. C. Cahaya Cahaya adalah salah satu faktor yang paling penting yang membatasi terumbu karang. Cahaya yang cukup harus tersedia agar fotosintesis oleh zooxanthellae simbiotik dalam jaringan karang dapat terlaksana. Tanpa cahaya yang cukup, laju fotosintesis akan berkurang dan bersama dengan itu kemampuan karang untuk menghasilkan kalsium karbonat dan membentuk terumbu akan berkurang pula. Titik kompensasi untuk karang nampaknya merupakan kedalaman di mana intensitas cahaya berkurang sampai 15-20 persen dari intensitas di permukaan. D. Salinitas Faktor lain yang membatasi perkembangan terumbu karang adalah salinitas. Karang hermatipik adalah organisme lautan sejati dan tidak dapat bertahan pada salinitas yang jelas menyimpang dari salinitas air laut yang normal (3235
0
/00). Bagaimanapun perairan pantai akan terus-menerus mengalami
pemasukan air tawar secara teratur dari aliran sungai, sehingga salinitasnya berkurang, dan tidak akan ada terumbu. Sebalikanya, terumbu karang dapat terjadi di wilayah yang salinitasnya tinggi seperti di Teluk Persia, di mana terumbu berkembang pada salinitas 42 0/00. E. Sedimentasi Endapan, baik di dalam air maupun di atas karang, mempunyai pengaruh negatif terhadap karang. Kebanyakan karang hermatipik tak dapat bertahan dengan adanya endapan yang berat, yang menutupinya dan menyumbat struktur pemberian makannya. Endapan dalam air, juga mempunyai akibat sampingan yang negatif, yaitu mengurangi cahaya yang dibutuhkan untuk fotosintesis
oleh
zooxanthellae
dalam
jaringan
karang.
Akibatnya,
perkembangan terumbu karang berkurang atau menghilang dari daerah-daerah yang pengendapannya besar. Kalau endapan ini diangkut oleh sungai-sungai
15
atau aliran-aliran, gabungan dari berkurangnya salinitas dan endapan yang berlebihan merupakan penyebab tidak terbentuknya terumbu. Spesies karang hermatipik dapat bervariasi dalam hal ketahanan mereka terhadap adanya endapan; ada beberapa yang dapat tahan terhadap laju pengendapan yang tinggi, dan ini ditemukan sebagai koloni yang terisolasi di daerah pengendapan. F. Gelombang Pada umumnya, terumbu karang lebih berkembang pada daerah-daerah yang mengalami gelombang besar. Koloni karang dengan kerangka-kerangka yang padat dan masif dari kalsium karbonat tidak akan rusak oleh gelombang yang kuat. Pada saat yang sama, gelombang-gelombang itu memberikan sumber air yang segar, member oksigen dalam air laut dan menghalangi pengendapan pada koloni. Gelombang-gelombang itu juga memberi plankton yang baru untuk makanan koloni karang G. Udara Pertumbuhan karang kearah atas dibatasi oleh udara. Banyak karang yang mati karena terlalu lama berada di udara terbuka, sehingga pertumbuhan mereka kearah atas terbatas hanya sampai tingkat pasang-turun terendah. Pada waktu tingkat pasang-turun sangat rendah dalam waktu lima hari di Teluk Aquaba, Loya (1977 dalam Nyabakken, 1988) menemukan kematian karang antara 80-90 persen, yang berarti faktor ini sangat penting. Pada tingkat pasang-turun terendah di musim semi, daerah terumbu akan berada dalam udara terbuka untuk waktu yang singkat, hanya beberapa jam yang tidak akan merugikan, setidak-tidaknya di wilayah Indo-Pasifik.
16
Gambar 7. Ringkasan Faktor-faktor Fisik yang Bekerja pada Polip Karang dan Terumbu Karang yang dapat Membatasi Penyebaran Keduanya (Nybakken, 1988) 2.3 Lingkungan Bentik Zona bentik di bawah zona neritik pelagik pada paparan benua disebut sublitoral atau zona paparan. Zona ini mendapat cahaya dan pada umumnya dihuni oleh organisme yang melimpah yang terdiri dari berbagai komunitas, termasuk padang rumput, kebun kelp, dan terumbu karang. Sebagian besar zona ini terdiri dari sedimen lunak, pasir, lumpur, dan sedikit daerah dengan substrat keras. Secara ekologis terdapat dua kelompok organisme yang agak berbeda di daerah ini. Epifauna adalah organisme bentik yang hidup pada atau, dalam keadaan lain, berasosiasi dengan permukaan. Infauna adalah organisme yang hidup di substrat lunak. Kedua istilah ini berlaku untuk semua habitat bentik. Kelompok ketiga terdiri dari predator-predator besar dan bergerak aktif seperti ikan dan kepiting (Nybakken, 1988). Organisme
infauna
biasanya
digolongkan
menurut
ukurannya.
Makrofauna adalah organisme yang berukuran lebih besar dari 1 mm, meiofauna 1.0 mm sampai 0.1 mm, dan mikrofauna lebih kecil dari 0.1 mm. kelompok ini terutama terdiri dari protozoa dan bakteri (Nybakken, 1988). Secara umum pembagian zonasi bentik adalah sebagai berikut (Wibisono, 2010): A. Supralithoral: merupakan dasar perairan yang selalu dalam keadaan basah karena adanya hempasan ombak yang dating/pergi. B. Sublithoral: merupakan daerah pasang surut sampai kedalaman + 20 meter.
17
C. Eu-lithoral: bagian dasar perairan dihitung mulai dari garis surut samapi kedalaman + 200 meter. D. Archibenthal: daerah lanjutan lithoral yang melengkung kebawah sehingga dasar laut menjadi lebih dalam lagi. E. Batial : lanjutan dari archibental sampai kedalaman + 2.000 meter. F. Abisal: lanjutan Batial dengan kedalaman dari 2.000 sampai dengan 4.000 meter. G. Hadal: lanjutan Abisal dengan kedalaman lebih dari 4.000 meter. 2.3.1 Kondisi Lingkungan Perairan paparan benua kurang konstan dan kondisi lingkungannya menunjukkan lebih banyak variasi dibandingkan dengan daerah epipelagik laut terbuka atau laut-dalam. Kemungkinan faktor fisik terpenting yang bereaksi pada komunitas dasar adalah turbulensi atau gerakan ombak. Pada perairan-dangkal ini, interaksi ombak, arus, dan upwelling menimbulkan turbulensi. Turbulensi ini secara umum mencegah perairan pantai terstratifikasi secara termal kecuali untuk waktu yang singkat di daerah beriklim sedang, jadi nutrien jarang menjadi faktor pembatas. Produktivitasnya lebih tinggi dibandingkan dengan perairan lepas pantai yang serupa karena melimpahnya nutrien, baik berasal dari runoff daratan maupun pendaur ulangan. Produktivitas yang tinggi ini menyangga populasi zooplankton dan organisme bentos yang tinggi (Nybakken, 1988). Pergerakan ombak merupakan faktor yang penting di daerah ini. Priode pergerakan laut dan gelombang badai yang lama, berpengaruh terhadap dasar perairan yang dangkal ini. Pada dasar yang lunak, jalur ombak ini dapat menimbulkan gerakan bergelombang besar di dasar, yang sangat mempengaruhi stabilitas substrat. Pratikel substrat dapat teraduk dan tersuspensi kembali, hal ini sangat mempengaruhi hewan infauna yang hidup di dalam substrat. Pergerakan ombak juga menentukan tipe pratikel yang terkandung. pergerakan ombak yang kuat memindahkan partikel halus sebagai suspense dan menyisakan pasir, jadi sedimen lumpur yang baik hanya dapat terbentuk pada dasar yang pergerakan
18
ombaknya rendah atau letaknya lebih dalam sehingga tidak terlalu dipengaruhi oleh ombak (Nybakken, 1988). Salinitas di daerah ini lebih bervariasi dari pada di laut terbuka atau lautdalam, tetapi kecuali di daerah dekat sungai-sungai besar yang mengeluarkan sejumlah besar air tawar, salinitas tidak berubah banyak sehingga dapat menimbulkan perbedaan ekologis. Suhu juga lebih bervariasi di perairan pantai dan menunjukkan perubahan musiman yang jelas di daerah yang beriklim sedang. Perubahan suhu ini dapat menjadi isyarat bagi organisme untuk memulai atau mengakhiri berbagai aktivitas, misalnya reproduksi. Penetrasi cahaya pada perairan turbulen ini lebih kecil dibandingkan dengan daerah laut terbuka. Kumpulan partikel-partikel sisa, baik dari daratan, dari potongan-potongan kelp dan rumput laut, ditambah kepadatan plankton yang tinggi akibat melimpahnya nutrien, menyebabkan terhambatnya penetrasi cahaya sampai beberapa meter (Nybakken, 1988). Persedian makanan di daerah ini melimpah. Sebagian disebabkan karena produktivitas plankton meningkat dan juga disebabkan oleh produksi tumbuhan yang melekat seperti kelp dan rumput laut. Ini merupakan salah satu dari sedikit daerah di laut di mana tumbuhan makroskopik mempunyai pengaruh yang nyata terhadap produksi. Sumber makanan terakhir adalah runoff dari daratan. Walaupun terdapat banyak tanaman besar di daerah perairan sublitoral, secara relatif terdapat sedikit hewan pemakan tanaman yang berukuran besar. Penggunaan terbesar dari kelp dan rumput laut sebagai makanan hanyalah setelah tanaman tersebut dirombak menjadi partikel detritus (Nybakken, 1988). Dasar lunak di sublitoral tidak memiliki diversitas topografik dan menyebar luas secara monoton sampai jarak yang jauh. Karena kurangnya relief topografik, maka untuk membedakan antara satu tempat dengan tempat yang lain hanyalah berdasarkan besarnya butir-butir substrat. Di pihak lain substrat subtidal yang keras dapat memiliki relief yang cukup besar dengan banyak habitat yang potensial. Kurangnya relief di daerah infauna umumnya berarti lebih sedikit variasi habitat untuk dihuni hewan dan lebih sedikit cara yang potensial untuk mempertahankan hidup. Akibatnya jumlah spesies infauna lebih sedikit daripada
19
jumlah spesies epifauna, relung yang terdapat juga lebih sedikit. Kebanyakan hewan infauna merupakan pemakan deposit, mencerna detritus yang berlimpah yang jatuh ke bawah, atau sebagai pemakan suspense-menyaring plankton yang berlimpah atau detritus yang melayang dalam kolom air. Di pihak lain, ikan-ikan yang hidup di dasar umumnya karnivora (Nybakken, 1988). 2.3.2 Invertebrata Bentik Invertebrata bentik adalah mahluk invertebrata (tanpa tulang punggung) yang hidup di dasar perairan. Selain ikan terdapat penghuni terumbu karang yang jumlahnya sangat melimpah meliputi 9 phylum. Invertebrata ini termasuk yang memberikan sumbangsih secara ekologi serta ekonomi di terumbu karang. Berikut beberapa filum yang berasosiasi dengan terumbu karang menurut Romimohtarto dan Juwana (2005): A. Filum Annelida Annelida (L: annulus = cincin; Y: eidos = bentuk) berbeda dengan kelompok-kelompok cacing yang lain dalam hal-hal berikut: Tubuhnya dibagi ke dalam satu deretan memanjang ruas-ruas serupa yang juga disebut metame (metamere) atau somit (somites), yang kelihatan dari luar karena adanya cekungan yang mengelilingi tubuh dan kelihatan dari dalam karena adanya sekat yang dinamakan septa atau sekat. Rongga tubuh antara saluran pencernaan dan dinding tubuh merupakan rongga tubuh yang sebenarnya. Hewan ini mempunyai satu ruas pra-oral yang dinamakan prostomium. Sistem saraf terdiri dari satu pasang ganglia pra-oral dorsal, otak, dan satu pasang benang saraf ventral khas dengan satu pasang ganglia dalam setiap ruas. Kutikula (cuticle) bukan dari bahan kitin. Permukaan tubuh ada yang dilengkapi dengan bulu-bulu kitin atau bulu kaku. Filum Annelida erdiri dari lima kelas, yakni:
20
Kelas Cheatopoda, yakni cacing Annelid yang hidup di laut, air tawar dan di darat, dengan ruas-ruas tubuh yang kelihatan nyata, mempunyai sekat antar-ruas, bulu kaku dan sebuah rongga tubuh - Ordo Polychaeta, cacing laut yang mempunyai banyak bulu-baku yang melekat pada embelan samping tubuh berdaging yang dinamakan parapodia; biasanya kepalanya berkembang baik dengan embelan tubuh; kelamin terpisah; dan mempunyai larva trokofor yang berenang bebas. Contoh Nereis, Amphitrite, Arenicola. - Ordo Oligochaeta, sebagian besar hidup di darat dan air tawar. Contoh Tubifex. Kelas Archiannelida, cacing kecil tanpa bulu-kaku atau tanpa parapodia. Contoh Polygordius Kelas Hirudinea, lintah, hidup di darat dan di laut. Tubuhnya pipih atas bawah dengan sebuah prostomium dan 32 ruas tubuh, dua penghisap, satu mengelilingi mulut dan lainnya di ujung belakang; tidak mempunyai bulukaku maupun parapodia; hermafrodit dan rongga tubuh sempit karena ditumbuhi sel-sel mesenkima. Lintah laut jarang dijumpai. Jika dijumpai di mana pun jumlahnya sedikit. Mereka banyak terdapat pada hiu dan pari. Kelas Gephyrea, cacing Annelida tanpa ruas, bulu-kaku dan parapodia; dan rongga tubuh besar. Hewan ini mempunyai larva trokofor. Contoh Phascolosoma. Kelas myzostomaria, cacing parasit pada Echinodermata. Ada lima pasang parapodia yang disenjatai dengan asikula (acicula) dan kait, biasanya ada 10 pasang sirus (cirri) dan biasanya ada empat pasang penghisap. Contohnya, Myzostoma B. Filum Arthropoda Arthropoda (Y: arthron = sendi; pous=kaki) merupakan kelompok terbesar di antara seluruh dunia hewan. Namanya berasal dari kakinya yang bersendi. Sifat umum kelas ini mencakup kerangka luar keras dari kitin, yakni polisakarida (polysacharida) majemuk, suatu jenis karbohidrat. Cangkang ini
21
dihasilkan oleh epidermis dan karena sifatnya yang tak elastik jika mengeras, ia harus ditanggalkan secara berkala untuk memungkinkan hewan tumbuh. Sifat umum yang terpenting yang berlaku untuk semua anggota kelompok Arthropoda dan khas filum ini ialah adanya embelan tubuh yang bersendi (jointed appendages) dan bebas dari bulu-getar. Bentuk tubuhnya simetri bilateral dan tubuhnya terdiri dari ruas-ruas yang tersusun secara linier berurutan. Pada masing-masing ruas atau pada beberapa ruas melekat embelan tubuh. Tubuh tertutup kerangka luar dari kitin yang elastik pada bagian-bagian untuk pergerakan sendi. Mereka mempunyai sistem saraf jenis Annelida, mempunyai rongga tubuh yang menyempit pada hewan dewasa dan rongga tubuh ini terisi darah (karenanya dinamakan hemosoel (haemocoel). Arthropoda terdiri dari delapan kelas, yakni:
Kelas Crustacea, contoh udang, kepiting dan sebangsanya;
Kelas Oxychophora, contoh Paraperipatus (terdapat di Seram) dan Eoperipatus (terdapat di Sumatra dan semenanjung Malaya);
Kelas Chilopoda, contoh kelabang atau lipan (centipede);
Kelas Diploda, contoh luwing (millipede);
Kelas Insecta, contoh kupu-kupu, belalang, nyamuk dsb;
Kelas Arachnoida, contoh laba-laba, kalajengking, mimi, dsb;
Kelas Pauropoda, contoh Pauropus;
Kelas Symphila, contoh Scutigerella.
C. Filum Coelenterata Hewan dari filum ini berbentuk simetri meruji. Mereka mempunyai dinding tubuh yang terdiri dari dua lapis sel, yakni bagian luar yang dinamakan ektoderma dan bagian dalam yang dinamakan endoderma. Karena itu bersifat diploblastik (diploblastic; Y: diploss = lipat dua; blastos = tunas), yang artinya dua tunas. Meskipun demikian banyak hewan dari kelas Anthozoa mempunyai mesoderma (kulit tengah) yang cukup berkembang. Di antara kedua lapisan tersebut terdapat zat kental seperti agar-agar atau mesoglea. Dinding tubuh tersebut membungkus satu rongga saja yang disebut selenteron
(coelenterons)
atau
rongga
lamubng-pembuluh
darah
22
(gastrovascular cavity), yang menampung dua proses, pencernaan dan sirkulasi. Mereka tak mempunyai organ khusus untuk respirasi dan ekskresi dan tidak mempunyai darah. Ruang pencernaan dengan hanya satu pintu. Pada beberapa jenis Coelenterata, seperti Hydra, hewan air tawar, rongga tersebut sederhana, tetapi pada jenis yang lain seperti Aurelia, rongga tersebut dimodifikasi
sehingga
menjadi
banyak
kantung
dan
saluran-saluran
bercabang. Sepanjang yang diketahui orang, semua Coelenterata mempunyai sel penyengat yang dinamakan nematosista (nematocyst), yang menjadi alat untuk menyerang dan mempertahankan diri. Nematosista terdapat hampir disekujur badannya, tetapi jumlah terbesar terdapat di tentakel. Nematosista ini sering berkelompok membentuk “baterai” untuk menangkap mangsa dan melindungi hewan itu. Ada serat otot (muscle fibrils) yang setidak-tidaknya dalam keadaan terpusat (terkumpul). Ada serat saraf dan alat pengindera yang merupakan struktur yang khas. Mereka berjumlah sedikit dan tersebar pada Hydra, atau banyak dan terkumpul pada Aurelia. Makanan Coelenterata terutama terdiri dari hewan berenang bebas yang kecil, yang biasanya ditangkpa dengan nematosista dan dibawa ke dalam mulut oleh tentakel dan bulu-getar. Pencernaan terjadi secara ekstraselular. Dalam hal ini enzim dikeluarkan ke dalam rongga-rongga ke berbagai tubuh oleh arus di dalam rongga tersebut dan kemudian diambil oleh sel kulit luar dan diserahkan kepada sel kulit dalam. Pembuangan (dan pernafasan) dilakukan oleh permukaan kulit luar dan dalam. Gerakan hewan ini dapat dilakukan karena adanya serat otot dan banyak jenis yang mampu berjalan. Coelenterata tidak mempunyai kerangka yang sesungguhnya, meskipun batu karang yang dibangun oleh polip hewan karang setidak-tidaknya menopang jaringan lunak untuk tegak. Coelenterata umumnya peka terhadap intensitas cahaya, perubahan suhu, rangsanganrangsangan mekanik dan kimia dan gravitas.
23
Filum ini dibagi ke dalam tiga kelas dan setiap kelas mempunyai sebaran yang luas. Mereka adalah anemone laut dan karang (Anthozoa); ubur-ubur (Scyphozoa); dan hydroid (Hydrozoa). D. Filum Echinodermata Pada echinodermata bentuk simetri meruji hanya pada dewasa. Pada larva, bentuknya simetri bilateral.
Sifat dari filum ini selanjutnya ialah
epidermis hewan dari filum ini biasanya berbulu-getar dan berisi sel-sel kelenjar dan sel-sel indera. Osikula (ossicle), yakni kerangka berupa lempenglempeng kapur dalam dinding tubuh dapat berjumlah beberapa, kecil dan tersebar luas dan dapat berukuran besar jumlahnya besar, kurang lebih tergabung erat menjadi kerangka yang nyata. Osikula-osikula tertentu biasanya membentuk duri. Ada pediselari (pedicellaria), yakni pinset yang sangat kecil dan hanya dapat dilihat dengan menggunakan mikroskop. Rongga tubuh majmeuk, terdiri dari sejumlah ruang, termasuk satu ruang periviseral (perivisceral), satu sistem perihemal (perihaemal), satu sistem sinus aboral, satu sistem pembuluh air, satu vesikula madreporik dan satu sinus sumbu. Saluran pencernaan bersifat sumbu atau tergulung dan ada yang memiliki divertikula. Pernafasan dilakukan oleh kaki-tabung pada banyak hewan atau dengan pohon respirasi. Kaki-tabung mempunyai berbagai fungsi lain, yang jelas untuk berjalan, akan tetapi barangkali mulanya sebagai alat indera atau pengumpul makanan. Tidak ada nefridia (ginjal), pekerjaan pembuangan (eksresi) diambil alih oleh sel-sel ameboid yang berkeliaran, yang lewat melalui epitelium. Sistem saraf primitive, terdiri dari cincin-cincin saraf, saraf meruji dan saraf ke kaki-tabung, ke duri dan sebagainya. Alat pengindera tidak berkembang baik. Permukaan tubuh peka terhadap sentuhan. Kaki-tabung dan tentakel terminal pada ujung setiap pembuluh meruji khususnya peka terhadap stimuli tektil (tectile). Pada Asteroidea, di dasar setiap tentakel terminal terdapat sebuah bintik mata. Teripang tertentu mempunyai statosista. Kelamin terpisah, alat perkembang-biakan sederhana, telur dan spermatozoa ditebar langsung keluar tanpa bantuan kelenjar-kelenjar
24
tambahan, penis, vesikula seminal (kandung semen) dan reseptakel seminal. Dalam sebagian besar kelompok hewan ini, telur berkembang melalui suatu fase blastula yang berbulu getar, suatu fase gastrula dan suatu fase larva, yang dalam waktu antara dua minggu sampai dua bulan bermetamorfosis ke dewasa. Larva dari empat kelas utama Echinodermata Nampak serupa antara satu dengan lainnya, tetapi mereka sangat berbeda. Mereka adalah kelas Stelleroidea, Crinoidea, Echinoidea, dan Holothuroidea. E. Filum Mollusca Filum mollusca memiliki sifat-sifat khas sebagai berikut :
Bentuk
simetri
bilateral,
tetapi
pada
Hastropoda
dan
beberapa
Cephalopoda, visera dan cangkang tergulung seperti gelung rambut wanita, ada tiga lapisan benih, tidak beruas, epithelium satu lapis, sebagian besar berbulu-getar dan dengan kelenjar lender.
Tubuh biasanya pendek, terbungkus dalam mantel dorsal tipis yang mengeluarkan bahan pembentuk cangkang berupa satu, dua atau delapan bagian. Pada beberapa kelompok, cangkang terdapat di dalam tubuh, mengecil atau tak ada sama sekali. Bagian kepala membesar, kecuali pada Scaphopoda dan Pelecypoda. Kaki berotot ventral yang berubah menjadi alat merayap, meliang atau berenang.
Saluran pencernaan lengkap, sering berbentuk U atau melingkar. Mulut dengan radula yang mempunyai deretan-deretan gigi kitin kecil melintang untuk menggerus makannya, kecuali Pelecypoda yang tidak mempunyai radula. Anus membuka ke rongga mantel, kelenjar pencernaan besar sering mempunyai kelenjar ludah.
Sistem sirkulasi mencakup jantung sebelah punggung dengan satu atau dua aurikel (auricle) atau rongga atas dan satu ventrikel (ventricle) atau rongga bawah, biasanya di dalam rongga pericardial (pericardial) atau selaput jantung, sebuah aorta anterior, dan pembuluh-pembuluh lain.
25
Pernapasan dilakukan oleh satu atau banyak insang yang disebut ktenidium (ctenidium) atau sebuah paru-paru di dalam rongga mantel, oleh mantel, atau oleh epidermis.
Ekskresi oleh ginjal yang disebut nefridia, terdiri dari satu atau dua atau hanya satu saja, menghubungkan rongga selaput jantung dan pembuluh darah. Rongga tubuh mengecil menjadi rongga-rongga atau nefridia, gonad, dan selaput jantung.
Sistem saraf tipikal terdiri dari tiga pasang ganglia (serebral di atas mulut, pedal di kaki, visceral di tubuh), digabungkan oleh penghubung membujur dan melintang dan saraf-saraf; banyak yang dengan alat untuk menyentuh, membau atau merasakan, bintik mata atau mata majemuk, dan statosista untuk keseimbangan.
Kelamin biasanya terpisah, beberapa jenis hermafrodit, sedikit yang protandrik, yakni sel kelamin jantan masak dan ditebar lebih dahulu sebelum sel kelamin betina masak, gonad dua atau satu, dengan saluran, fertilisasi eksternal atau internal, kebanyakan ovipar, pembelahan telur tertentu (determinate), tak sama, dan (pada Cephalopoda, diskoidal), larva veliger (trochophore), atau stadia parasit (Unionidae), atau perkembangan langsung (Pulmonata, Cephalopoda); tak ada perkembang-biakan aseksual. Ada tujuh kelas Mollusca hidup. Lima diantaranya banyak kita jumpai.
Ketujuh kelas tersebut adalah Polyplacophora atau Amphineura (chiton); Gastropoda (keong); Pelecypoda (kerang); Cephalopoda (cumi-cumi atau gurita); Scaphopoda (cangkang tanduk); Aplocophora; dan Monoplacophora. F. Filum Nemathelminthes Nemathelminthes (Y: nema = benang; helmins = cacing) dinamakan cacing bulat tak beruas. Cacing dari filum ini panjang dan ramping dengan permukaan tubuh halus dan mengkilap, salah satu atau kedua ujungnya meruncing. Kelamin terpisah, menghasilkan beribu-ribu telur. Filum ini terbagi ke dalam dua kelas, yakni Nematoda, mempunyai usus tetapi tidak mempunyai belalai, dan Acanthocephala, tidak mempunyai usus tetapi mempunyai belalai. Belalainya berduri.
26
Cacing bulat tersebar sangat luas, banyak yang hidup di dasar laut, sebagian besar mikroskopik dan banyak yang parasit. Cacing sepanjang 1,8 m ditemukan di dalam daging ikan matahari, Mola mola. G. Filum Platyhelminthes Filum Platyhelminthes (Y: platys = pipih; helmins = cacing) meliputi kelompok yang mula-mula dimasukkan ke dalam kelompok hewan-hewan seperti cacing dalam satu filum yang dinamakan Vermes. Kini merupakan filum terpisah. Kelompok ini dikenal sebagai cacing pipih karena bentuknya yang pipih atas bawah. Hewannya tidak beruas, triploblastik, simetri bilateral, tidak mempunyai anus maupun atau selom (coelom) dan biasanya hermafrodit. Umumnya mulutnya terletak di bagian bawah dan di tengah tubuhnya, jadi tidak di ujung tubuh seperti kebanyakan hewan. Kelompok hewan ini ada yang hidup parasit pada hewan laut dan darat seperti Trematoda (fluke) dan Cestoda (cacing pita). Yang lain hidup bebas di dalam air tawar (kolam dan sungai) dan di laut. Filum ini dapat dibagi menjadi empat kelas yakni:
Kelas Turbellaria, sebagian besar hidup bebas di air tawar, di darat dan di laut.
Kelas Trematoda, parasit pada hewan darat dan laut.
Kelas Cestoda, endoparasit.
Kelas Nemertinea, sebagian besar hidup bebas di laut.
H. Filum Porifera Porifera berarti pemilik pori-pori atau pore bearers (Y: poros = pori atau saluran; Latin (L): feres = memiliki). Melalui pori-pori dan saluran-saluran ini, air diserap oleh sel khusus yang dinamakan sel leher (collar cell), yang dalam banyak menyerupai cambuk. Jenis sel ini lebih pantas dinamakan koanosit (choanocyte; Y: choane = cerobong; kytos = berongga), yakni nama menurut anak-kelompok dari Flagellata, Choanoflagellata. Sel leher adalah sel berbentuk seperti kerah baju yang terdapat di sekeliling cambuk seperti pada Choanoflagellata.
pangkal sebuah
27
Filum hewan ini lebih dikenal sebagi sepon. Sepon adalh hewan multiseluler (bersel banyak) yang primitif, mungkin berasal dari jantan Paleozoik sekitar 1,6 milyar tahun yang lalu. Berbeda dengan Eumetazoa, sepon tidak mempunyai jaringan yang terorganisasi. Sebagian besar hidup di laut dan hanya beberapa jenis yang hidup di air tawar. Di dunia terdapat sekitar 5.000 jenis sepon yang berbeda. Sebenarnya sangat luas. Mereka bahkan dijumpai di bawah tutupan es dari Kutub Selatan. Kelompok hewan ini mempunyai banyak pori-pori dan saluran-saluran. Sepon biasanya merupakan hewan menetap pada jenis dewasa. Sebarannya didukung oleh larva yang bergerak aktif atau oleh hewan muda yang terbawa arus sebelum mereka menempel. Sepon dapat berbentuk sederhana seperti tabung dengan dinding tipis seperti yang dijumpai pada marga Leucosolenia. Atau masif bentuknya dan agak tidak teratur. Banyak sepon juga terdiri dari segumpal jaringan yang tak tentu bentuknya, membuat kerak pada batu, cangkang, tonggak, atau tumbuhtumbuhan dan pada benda-benda inilah mereka menempel. Kelompok sepon lain mempunyai bentuk lebih teratur dan melekat pada dasar perairan melalui sekumpulan spikula. Bentuk-bentuk yang dimiliki sepon dapat beragam, namum tetap. Beberapa jenis bercabang seperti pohon, lainnya berbentuk seperti sarung tinju, seperti cawan atau seperti kubah. Ukuran sepon juga beragam, mulai dari jenis berukuran sebesar kepala jarum pentul samapi ke jenis yang ukuran garis tengahnya 0,9 m dan tebalnya 30,5 cm. jenis-jenis sepon tertentu Nampak berbulu-getar karena spikulanya menyembul keluar dari badannya. Banyak sepon berwarna putih atau abu-abu, tetapi lainnya berwarna kuning, oranye, merah atau hijau. Sepon yang berwarna hijau biasanya disebabkan oleh adanya alga simbiotik yang disebut zoochlorellae yang terdapat di dalamnya. Sistem saluran ini bertindak seperti halnya sistem sirkulasi pada hewan tingkat tinggi. Sistem ini melengkapi jalan bebas untuk pemasukan makanan ke dalam tubuh dan untuk pengangkutan zat buangan ke luar dari tubuh. Ada
28
tiga macam sistem, yakni yang dinamakan askon (ascon), sikon (sycon) dan ragon (rhagon). Semua sepon, kecuali mereka yang termasuk ordo kecil Myxospongia, dilengkapi dengan kerangka. Kerangka ini ada yang terdiri dari kapur karbonat atau silicon dalam bentuk spikula atau dari sponging dalam bentuk serat yang kurang-lebih erat bersatu. Spikula silicon tersusun dari opal, suatu bentuk silica terhidrasi serupa dengan kwarsa dalam reaksi kimianya. Spikula bermacam-macam bentuknya dan karenanya berguna untuk menyusun sepon ini ke dalam kelompok-kelompok. Sponging adalah zat yang secara kimia bersekutu dengan sutera. Ia dikeluarkan oleh sel berbentuk staples yang dinamakan spongoblas (spongoblast) yakni sel penghasil sponging. Spikula tertimbun dalam sel-sel yang disebut skleroblas (scleroblast), yakni sel sepon tempat berkembangnya spikula, dan lebih dari satu sel dapat mengambil bagian dalam pembentukan satu spikula. Kapur karbonat dan silicon dieskstrak oleh sel-sel dari air sekitarnya. Susunan serat-serat sponging dapat diamati dengan mudah dengan meletakkan sepotong sepon mandi di bawah mikroskop. Sepon masiftak pernah berdiri tegak jika tidak karena adanya spikula atau spon-gin yang membentuk kerangka, yang menopang tubuh sepon sehingga dapat berdiri tegak dan mencegahnya rontok menjadi seonggok bahan kental seperti agar-agar yang tidak memungkinkan adanya saluran dan ruang-ruang bercambuk. Sepon adalah hewan bersel banyak dengan sel-sel somatic yang dibedabedakan ke dalam tipe-tipe untuk fungsi-fugsi khusus, jadi pembagian kerja di antara sel-sel tersebut telah berkembang. Ini merupakan kemajuan nyata yang penting dibandingkan dengan sistem kinerja sel dalam Protozoa laut dari semua tingkat. Sel-sel sepon dapat dipisahkan menjadi tiga kelompok, yakni (1) mereka yang tersusun sebagai lapisan kulit, (2) mereka yang berupa lapisan lambung dan (3) sel-sel ameba di dalam cairan kental agar-agar di antara lapisan kulit dan lapisan lambung, yakni lapisan tengah. Sepon adalah pemakan menyaring (filter feeder). Ia memperoleh makanan dalam bentuk partikel organik renik, hidup atau tidak, seperti
29
bakteri, mikroalga dan detritus, yang masuk melalui pori-pori arus masuk yang terbuka dalam air, dan di bawa kedalam rongga lambung atau ruangruang bercambuk. Arus air yang masuk melalui sistem saluran dari sepon diciptakan oleh cambuk koanosit yang memukul-mukul terus-menerus. Koanosit juga mencernakan partikel makanan, baik di sebelah maupun di dalam sel leher sebuah vakuola (vacuole) makanan terbentuk dan di vakuola ini pencernaan berlaku. Sisa makanan yang tak tercerna dibuang keluar dari dalam sel leher. Makanan itu dipindahkan dari satu sel ke sel lain dan barangkali diedarkan dalam batas tertentu oleh sel-sel ameba yang berkeliaran di lapisan tengah. Penting bagi sepon untuk hidup dalam air bersirkulasi, karenanya kita temukan hewan ini dalam air yang jernih, bukannya di air keruh. Karena arus air yang lewat melalui sepon membawa serta zat buangan dari tubuh sepon, maka penting tidak berisi makanan lagi, tetapi mengandung asam karbon dan sampah nitrogen yang beracun bagi hewan tesebut. Perkembang-biakan sepon dilakukan baik secara seksual maupun secara aseksual. Dengan cara aseksual, mereka menghasilkan tunas dan apa yang disebut gamul (gammules). Tunas itu dapat lepas dan membentuk hewan terpisah atau tetap menempel seperti pada Leucosolenia, bahkan suatu kumpulan hewan-hewan yang rumit dihasilkan dan dapat menjadi besar. Banyak sepon, baik yang hidup di laut maupun di air tawar, mempunyai cara perkembang-biakan yang aneh dengan pembentukan gamul. Sejumlah sel dalam lapisan tengah dari dinding tubuh berkumpul membentuk sebuah bola dan dikelilingi oleh cangkang kitin yang ditopang oleh spikula. Dalam perkembang-biakan seksual, telur dan spermatozoa berasal dari sel-sel ameba yang berkeliaran di lapisan tengah, seperti pada tipe sikon. Larva berbulugetar dihasilkan dari telur holoblastik. Menyebar, kemudia tertambat dan melalui banyak perubahan, akhirnya membuat ostium dan sebuah oskulum yang penting untuk proses makan dan tumbuh. Sepon tidak mudah diklasifikasi, tetapi biasanya dikelompokkan menjadi tiga kelas yakni:
Kelas Calcarea (L: calcarius = kapur) dengan spikula dari kapur karbonat
30
Kelas Hexactinellida (Y: hex = enam; aktin = jari-jari), dengan spikula dari silicon berbentuk triakson.
Kelas Demospongia (Y: demos = masyarakat; sponges = sepon), biasanya dengan spikula silicon, tidak berbentuk triakson atau dengan sponging, atau dengan kedua-keduanya.
I. Filum Protozoa Protozoa (Y: protos = pertama; zoa = hidup) adalah hewan mikroskopik yang terdapat di semua lingkungan di mana kehidupan dapat terjadi. Mereka tersebar luas di seluruh dunia. Banyak dari mereka mampu membentuk sista (cyst), atau membuat semacam cangkang yang menutupi sekujur badannya sehingga mereka dapat hidup dalam kondisi yang kering sama sekali, yang tidak memungkinkan makhluk lain hidup. Sifat khas utama ialah bahwa mereka terdiri dari satu sel. Protozoa dapat dikelompokkan menurut habitatnya menjadi dua, yakni mereka yang hidup di dalam air atau di tempattempat lembab dan dikenal sebagai Protozoa yang hidup bebas, dan mereka yang hidup di dalam atau pada hewan atau tumbuh-tumbuhan lain dan disebut Protozoa parasitic. Kelompok pertama tidak tersebar begitu saja dalam lingkungan air, tetapi setiap jenis kurang lebih mendiami tipe habitat tertentu seperti halnya hewan tingkat tinggi. Beberapa jenis Protozoa hidup di air tawar, lainnya di air laut dan lainnya lagi pada dasar perairan. Kelompok Protozoa ini terdapat di mana-mana di dunia di mana terdapat air atau tempat berair atau tempat lembab. Kelompok kedua mudah dipisahkan, karena mereka semua parasitic dan tidak mempunyai cara untuk bergerak sendiri. Mereka mempunyai habitat yang terbatas. Protozoa parasitic biasanya dipisahkan menjadi dua kelompok, yakni mereka yang hidup di dalam saluran pencernaan dinamakan Protozoa usus dan mereka yang hidup di dalam darah dinamakan Protozoa penghuni darah. Jumlah jenis Protozoa sangat besar sehingga tidak dapat diperkirakan. Filum Protozoa terdiri empat kelas yakni:
Kelas Ciliata (Infursoria)
31
Kelas Rhizopoda atau Sarcodina
Kelas Flagellata
Kelas Sporozoa
2.3.3 Interaksi Invertebrata Bentik dengan Terumbu Karang Sepon sangat mencolok di terumbu karang dan Nampak dalam berbagai ukuran, bentuk dan warna. Sepon menyediakan substrat untuk teritip dan alga berkerak dan sering juga menampung cacing-cacing annelid, bintang mengular dan Crustacea di dalam sistem tabungnya (Romimohtarto dan Juwana, 2005). Hewan karang dari Filum Cnidaria atau Coelenterata merupakan kelompok-kelompok utama dari dunia hewan yang sangat penting dalam ekologi terumbu karang. Filum coelenterate tersebut dibagi menjadi tiga kelompok, yakni hydroid, ubur-ubur dan Anthozoa yang meliputi karang lunak, bangsa akar bahar, kalamunek (anemone laut), pena laut, karang hitam (akar bahar) dan karang batu (Romimohtarto dan Juwana, 2005). Hydroid adalah karang api (Millepore) yang Nampak seperti karang batu. Hewan ini mempunyai nematosista yang kuat, karenanya jangan disentuh. Sebagai bagian tak terpisahkan dari komunitas terumbu, karang api menyediakan habitat bagi banyak jenis ikan dan Avertebrata, termasuk sepon, anemone, Mollusca, lili laut dan bintang mengular. Jenis hydroid lainnya adalah pakis laut, ubur-ubur berbisa dan Portugues man o’ war. Karang lunak merupakan satu kelompok hewan yang banyak, sangat beraneka-ragam dan berwarna-warni. Polipnya membentuk koloni masif berbentuk lobus atau jamur, tetapi tidak membentuk kerangka kapur yang keras. Jadi kebanyakan terasa lunak kalau disentuh, agak berlendir dan kelihatan seperti jari yang menuding ke atas. Karang lunak menyediakan makanan untuk beberapa jenis keong seperti kuwuk (false cowries) dan nudibrank (Romimohtarto dan Juwana, 2005). Kalamunek sebenarnya polip menyendiri, lebih besar dan lebih berat daripada polip karang lain. Banyak jenis yang dapat mencapai diameter ½ m dan sering berwarna mencolok. Mereka menjadi habitat ikan giru (Amphiprion spp. dan lain-lain) dan beberapa jenis kepiting dan udang. Dalam simbiosis ini, ikan-
32
ikan giru tidak terpengaruh oleh sengat dari Anemone dan dilindungi di antara tentakelnya. Ia memikat ikan lain untuk dapat tertangkap oleh tentakel dan menjadi mangsa bersama (Romimohtarto dan Juwana, 2005). Karang batu (Scleractinia) meliputi ciri tunggal yang penting dari terumbu karang. Bentuk yang beragam, formasi, warna dan tekstur hamper tak terbatas. Lima ratus jenis atau lebih karang batu telah diketahui terdapat di Asia Tenggara, kebanyakan adalah pembentuk terumbu (hermatypic). Struktur fisik dari karang menyediakan substratum dan ruang hidup bagi beberapa ribu jenis Avertebrata lain, ikan dan alga laut. Jadi karang membentuk landasan bagi suatu ekosistem yang rumit. Karang batu selalu terdapat dalam koloni melekat pada substrat yang keras, kecuali beberapa jenis yang menyendiri dan pada waktu matang, terlepas dari substratnya. Pada semua formasi karang, hanya bagian permukaan yang menerima cukup sinar yang tetap hidup. Bagian bawahnya merupakan kerangka kapur mati yang dihasilkan oleh polip di atasnya. Kadang-kadang kerangka ini dapat mencapai beberapa meter. Konfigurasi kerangka koralit sebagian ditentukan oleh pola pertumbuhan koloni secara keseluruhan. Baik konfigurasi polip maupun bentuk pertumbuhan dipengaruhi oelh faktor-faktor lingkungan seperti arus, salinitas, intensitas cahaya, suhu, ruang, dan mungkin juga persaingan antara berbagai jenis biota penghuni. Dua dari faktor-faktor tersebut, yakni suhu dan cahaya, perlu mendapat perhatian. Karang pembentuk terumbu sangat peka terhadap suhu dan terbatas keberadaaannya di perairan hangat karena mereka tumbuh hanya pada suhu antara 18-27
0
C. kebanyakan karang hermatipik
memerlukan intesitas cahaya dan karenanya keberadaan mereka terbatas pada perairan dangkal, sekitar 50 m, tergantung pada kejernihan air. Kebutuhan akan cahaya disebabkan adanya alga zooxanthella yang memerlukan sinar matahari untuk berfotosintesis. Kalau tidak, polip karang akan dengan giat makan zooplankton dan partikel organik dalam air pada malam hari. Pemintakan secara menegak yang didasarkan pada penembusan cahaya beserta tipe-tipe karang yang hidup di masing-masing mintakat (Romimohtarto dan Juwana, 2005). Berbagai jenis cacing hidup di terumbu karang. Kebanyakan kecil ukurannya dan tidak kelihatan. Mereka hidup dalam liang-liang batu dan karang.
33
Beberapa cacing pita, dan cacing beruas berukuran besar biasanya berasosiasi dengan karang. Cacing berperan dalam proses erosis yang dilakukan oleh hewan secara alami, yang disebut bioerosi, dari batuan kapur menjadi pecahan kapur sampai ke pasir dengan meliang pada bantuan tadi (Romimohtarto dan Juwana, 2005). Crustacea merupakan kelompok teramat terkenal dari filum Arthropoda yang hidup dalam terumbu karang. Mereka terdiri dari teritip, kepiting, udang, lobster, dan udang karang. Banyak hewan Crustacea ini mempunyai hubunganhubungan khusus dengan hewan lain di terumbu karang. Teritip menempel pada beberapa substrat seperti penyu dan kepiting. Banyak udang yang hidup komensal dengan hewan lain seperti ikan gobi dan kepiting; udang pembersih dengan beberapa ikan; atau udang kecil berwarna dengan anemone. Ada juga kepiting yang hidup di dalam kloaka teripang atau hidup dengan bintang laut. Kelomang membawa cangkang yang ditempeli anemone, sepon atau teritip. Crustacea besar kebanyakan mempunyai nilai makanan dan merupakan komoditi penting (Romimohtarto dan Juwana, 2005). Mollusca menyumbangkan cukup banyak kapur kepada ekosistem terumbu yang merupakan penyumbang penting terbentuknya pasir laut. Keanekaragaman Mollusca memainkan peranan penting di dalam jaringan makanan terumbu yang rumit ini. Mereka juga menjadi dasar bagi perdagangan besar cangkang hias dan penunjang utama perikanan karang dan cumi-cumi (Romimohtarto dan Juwana, 2005). Echinodermata adalah penghuni perairan dangkal dan umumnya terdapat di terumbu karang dan padang lamun. Bintang laut yang omnivore memakan apa saja mulai dari sepon, teritip, keong dan kerang, Echinodermata lain, cacing Polychaeta, kepiting kecil samapi karang, alga, dan sedimen dalam air yang dapat dimakan. Salah satunya bintang laut yang terkenal, bulu seribu atau dinamakan juga mahkota duri, Acanthaster planci, sangat ganas dan melahap karang batu sampai menimbulkan kehancuran yang meluas. Pemangsa bintang laut ini terutama triton raksasa. Kepiting sepon, kerapu dan udang juga memakan anakanak bintang laut ini. Jadi kalau hewan-hewan pemangsa ini ditangkapi, bulu
34
seribu tersebut dapat berkembang-biak bebas tak terkendali (Romimohtarto dan Juwana, 2005). Bulu babi (Diadema setosum) besar mamakan alga pada daerah berpasir dan berbatu dan dimangsa oleh bintang laut dan ikan atau ditangkap manusia. Populasinya yang jumlahnya naik turun mempengaruhi komunitas alga dan pemangsa di terumbu karang. Beberapa jenis bulu babi menjadi makanan yang popular dan menunjang industri ekspor kecil (Romimohtarto dan Juwana, 2005). Teripang mendiami sebagian besar terumbu karang dan memakan alga dan detritus dasar. Mereka mempunyai musuh alami sedikit dan manusia barangkali yang menjadi pemangsa yang rakus (Romimohtarto dan Juwana, 2005). 2.4 Struktur Komunitas Komunitas biotik adalah kumpulan populasi yang hidup di daerah tertentu atau habitat fisik tertentu, merupakan satuan yang terorganisir serta mempunyai hubungan timbal balik. Konsep komunitas digunakan dalam menganalisa lingkungan perairan karena komposisi dan karakter komunitas merupakan indikator yang cukup baik untuk melihat keadaan lingkungan tempat komunitas tersebut berada (Odum 1993). Pola penyebaran dan kelimpahan dari komunitas biotik dipengaruhi oleh adanya perubahan yang terjadi di lingkungan komunitas itu berada (Soewignyo dkk., 1987 dalam Suwarno, 2000). Struktur ekosistem terdiri dari beberapa indikator yang menunjukan keadaan dari sistem ekologi pada waktu dan tempat tertentu. Beberapa penyusun struktur ekosistem antara lain adalah densitas (kerapatan), biomas, materi, energi, dan faktor-faktor fisik-kimia lain yang mencirikan keadaan sistem tersebut. Fungsi ekosistem menggambarkan hubungan sebab akibat yang terjadi dalam sistem (Odum 1993). Dalam struktur komunitas terdapat 5 karakteristik yang dapat diukur, yaitu keanekaragaman, keseragaman, dominansi, kelimpahan, relatif, dan pola pertumbuhan (Odum, 1993). Tingginya keanekaragaman menunjukkan suatu ekosistem yang seimbang dan memberikan timbal balik atau peranan yang besar untuk menjaga keseimbangan terhadap kejadian yang merusak ekosistem misalnya penyakit.
35
Sedangkan rendahnya keanekaragaman menunjukkan keadaan stress dari system atau salah satu system mengalami penurunan, misalnya akibat pencemaran (Clark, 1974 dalam Suwarno, 2000). Untuk mengetahui keanekaragaman jenis adalah dengan menghitung kelimpahan relatif masing-masing jenis atau genera dalam suatu komunitas (South-World, 1976 dalam Syamsurisal, 2011). Dikatakan bahwa nilai indeks keanekaragaman (H’) terbesar didapatkan jika semua individu yang didapatkan berasal dari jenis atau genera yang berbeda-beda dan keanekaragaman mempunyai nilai kecil atau sama dengan 0, jika suatu individu berasal dari suatu atau hanya beberapa jenis. Suatu lingkungan yang memiliki keanekaragaman jenis yang besar umumnya akan terdiri dari populasi-populasi yang masingmasing dengan jumlah individu yang relatif kecil. Sebaliknya, lingkungan yang memiliki keanekaragaman jenis kecil umumnya dalam lingkungan tersebut akan dihuni oleh jenis yang terbatas dengan jumlah individu melimpah. Kategori
angka
indeks
keanekaragaman
jenis
kedalam
kelompok
keanekaragaman besar, kecil atau sedang dapat dilakukan dengan mengacu pada Shannon-Wiener (1949 dalam Syamsurisal, 2011) berikut:
H’ < 1: keanekaragaman spesiesnya/genera rendah, penyebaran jumlah individu tiap spesies atau genera rendah, kestabilan komunitas rendah dan keadaan perairan telah tercemar berat.
1 < H’ < 3: Keanekaragaman sedang penyebaran jumlah individu tiap spesies atau genera sedang, kestabilan komunitas sedang dan keadaan perairan telah tercemar sedang.
H’ > 3: keanekaragaman tinggi, penyebaran jumlah individu tiap spesies atau genera tinggi dan perairannya masih bersih/belum tercemar. Dahuri (1994) dalam Syamsurisal (2000),
menyatakan bahwa indeks
keseragaman (E) digunakan untuk melihat apakah didalam komunitas jasad akuatik yang diamati, terdapat pola dominansi oleh satu atau beberapa kelompok jenis jasad. Apabila nilai E mendekati 1, maka sebaran individu-individu antar (spesies) relatif merata. Tetapi jika nilai E mendekati 0, terdapat sekelompok jenis spesies tertentu yang jumlahnya relatif berlimpah (dominan) dari pada jenis
36
lainnya. Selain itu ditambahkan juga oleh Daget (1976) dalam Syamsurisal (2000) yang mengelompokan nilai indeks kesamaan komunitas sebagai berikut :
0,00 < E < 0,50: komunitas berada pada kondisi tertekan
0,50 < E < 0,75: komunitas berada pada kondisi labil
0,75 < E < 1,00: komunitas berada pada kondisi stabil Keseragaman hewan bentos dalam suatu perairan dapat diketahui dari
indeks keseragamannya. Semakin kecil nilai suatu indeks keseragaman (E) semakin kecil pula kecil pula keseragaman jenis dalam komunitas, artinya penyebaran jumlah individu tidak sama ada kecenderungan didominansi oleh jenis tertentu. Suatu komunitas yang masing-masing jenisnya mempunyai jumlah individu yang cukup besar dan menunjukkan bahwa ekosistem tersebut mempunyai satuan (Odum, 1993). Selanjutnya untuk dominansi dapat diketahui dengan menghitung indeks dominansinya (C), bahwa nilai indeks dominansi yang tinggi (ada yang mendominansi) sedangkan nilai indeks dominansi terkait satu sama lain, dimana apabila organisme beranekaragam, berarti organisme tersebut tidak seragam dan tentu ada yang dominan. 2.5 Metoda Survey Terumbu Karang dan Invertebrata Bentik Meskipun telah banyak metode survei pada saat ini, namun masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan, sehingga dapat dikatakan belum ada suatu metode yang memuaskan. Ada beberapa alasan yang menyebabkan sulitnya menggambarkan suatu kondisi terumbu karang dengan metode survei yang ada saat ini (Suharsono, 1994 dalam Johan, 2003), antara lain: A. Terumbu karang yang tumbuh di tempat geografis yang berbeda mempunyai tipe yang berbeda. B. Ukuran individu atau koloni sangat bervariasi dari beberapa centimeter hingga beberapa meter. C. Satu koloni karang dapat terdiri beberapa individu sampai jutaan individu. D. Bentuk pertumbuhan sangat bervariasi seperti bercabang, masif, merayap, seperti daun, dan sebagainya.
37
E. Tata nama jenis karang masih relatif belum stabil dan adanya perbedaan jenis yang hidup pada lokasi geografis yang berbeda, serta adanya variasi morfologi dari jenis yang sama yang hidup pada kedalaman yang berbeda maupun tempat yang berbeda. Penggunaan metode survei dalam menggambarkan kondisi terumbu karang biasanya disajikan dalam bentuk struktur komunitas yang terdiri dari data: persentase tutupan karang hidup, persentase tutupan karang mati, jumlah marga, jumlah jenis, jumlah koloni, ukuran koloni, kelimpahan, frekuensi kehadiran, bentuk pertumbuhan, indeks keanekaragaman jenis (Suharsono, 1994 dalam Johan, 2003). Beberapa
metode
yang
umum
digunakan
oleh
peneliti
dalam
menggambarkan kondisi terumbu karang adalah: A. Metode Transek Garis B. Metode Transek Kuadrat C. Metode Manta Tow D. Metode Transek Sabuk (Belt transect) Pemilihan metode pemantauan kondisi disesuaikan dengan tujuan dan kebutuhan pemantauan itu sendiri. Metode Line Intercept Transect ( LIT ) dan Transek Kuadrat dipilih karena metode ini memiliki beberapa kelebihan dan kekurangan, diantaranya (Johan, 2003): A. Metode Line Intercept Transect (LIT) (Gambar 8 dan 9): Kelebihan metode LIT :
Pengelompokkan biota ke dalam beberapa kategori mempermudah peneliti atau orang dengan kemampuan terbatas untuk identifikasi terumbu karang.
Metode ini merupakan metode sampling untuk menghitung persentase tutupan biota yang sangat efisien dan dapat dipercaya.
Struktur komunitas biota yang berasosiasi dengan terumbu karang dapat diperoleh dengan baik.
Hanya memerlukan sedikit peralatan dan relatif sederhana dalam penerapannya. Sedangkan beberapa kekurangan metode LIT adalah:
38
Membutuhkan tenaga peneliti yang banyak dan waktu yang lama.
Dituntut keahlian peneliti dalam identifikasi karang, minimal lifeform dan sebaiknya genus atau spesies.
Peneliti dituntut sebagai penyelam yang baik.
Biaya yang dibutuhkan relatif lebih besar.
Gambar 8.
Cara Pencatatan Data Koloni Karang Pada Metode Transek Garis (English et al, 1994 dalam Johan, 2003).
Gambar
9.
Koloni Karang Masif Berukuran Dianggap Dua Data, CM, Apabila Meteran Melewati Algae Persis Diatas Tersebut (English et al, 1994 dalam 2003).
Besar Garis Koloni Johan,
39
B. Metoda Transek Kuadrat Kelebihan metode transek kuadrat :
Data yang diperoleh lengkap dengan menggambar posisi biota yang ditemukan pada kuadrat, dengan bantuan underwater photo.
Sumber informasi yang bagus dalam pemantauan laju pertumbuhan, tingkat kematian, laju rekruitmen. Kekurangan metode transek kuadrat :
Proses kerjanya lambat dan membutuhkan waktu lebih lama
Peralatan yang digunakan tidak praktis dan susah bekerja pada lokasi yang berarus
Metode ini cocok hanya pada luasan perairan yang kecil
Sedimen trap tidak bisa ditinggal dalam waktu lama dan tidak efektif pada daerah yang berarus