BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Toxoplasma gondii 2.1.1 Epidemiologi Toksoplasmosis adalah penyakit yang disebabkan oleh hewan bersel satu (protozoa) Toxoplasma gondii. Parasit ini pertama kali ditemukan oleh Nicole dan Manceaux tahun 1908 pada limfa dan hati hewan pengerat Ctenodactylus gundi di Tunisia Afrika dan pada seekor kelinci di Brazil oleh Splendore. Pada tahun berikutnya setelah dilakukan penelitian, Nicole dan Manceaux baru memberi nama parasit tersebut dengan Toxoplasma gondii (Dubey,J.P., 2008). Menurut Gandahusada (2008) di Indonesia prevalensi toksoplasmosis pada manusia berkisar antara 2 % dan 63%. Sedangkan pada orang Eskimo prevalensinya sebesar 1 % dan El Salvador, Amerika Tengah 90 %. Pada hakekatnya toksoplasmosis yang terjadi pada hewan pun prevalensinya cukup tinggi di Indonesia seperti pada kucing 35 – 73 %, babi 11 – 36 %, kambing 11 – 61 %, anjing 75 % dan pada ternak lain kurang dari 10 %. Gandahusada (2008) juga mengatakan bahwa pada umumnya prevalensi toksoplasmosis akan meningkat sesuai pertambahan usia. Berdasarkan demografinya, prevalensi toksoplasmosis akan lebih tinggi pada daerah tropis sedangkan pada daerah dengan dataran tinggi prevalensinya akan lebih rendah. Pada toksoplasmosis kongenital di beberapa negara diperkirakan prevalensinya mencapai 6.5 %dari 1000 kelahiran hidup di Belanda, New York 1.3 ‰, Paris 3 ‰ dan Vienna 6 – 7 ‰.
7
8
2.1.2 Siklus Hidup dan Morfologi Berdasarkan sejarah ditemukannya, hingga tahun 1970 belum ditemukan bagaimana siklus hidup parasit Toxoplasma gondii akan tetapi sudah diketahui bahwa host definitifnya adalah kucing. Feses kucing yang terinfeksi parasit ini akan mengandung ookista dan menkontaminasi lingkungan (Dubey, J.P., 2008). Toxoplasma gondii merupakan protozoa obligat intraseluler. Parasit ini terdapat dalam 3 bentuk yaitu bentuk takizoit (trofozoit), kista, dan ookista. Bentuk takizoit seperti bulan sabit berukuran panjang 4-8 mikron dan lebar 2-4 mikron yang dapat menginvasi semua sel mamalia yang memiliki inti sel. Sedangkan bentuk kista memiliki ukuran yang berbeda-beda dan ada yang berukuran 200 mikron dengan jumlah organisme ±3000. Organisme ini terdapat paling banyak di dalam otak, otot rangka dan otot jantung. Bentuk terakhir dari parasit ini adalah ookista yang terbentuk di dalam sel mukosa usus kucing dan dikeluarkan bersamaan dengan feses kucing dengan ukuran panjang 11-14 mikron dan lebar 9-11 mikron (Chahaya, 2003). Kucing sebagai hospes definitif dalam sel epitel usus halusnya berlangsung daur aseksual (skizogoni) dan daur seksual (gametogoni, sporogoni) yang menghasilkan ookista melalui feses yang dikeluarkan. Kucing yang telah terinfeksi Toxoplasma gondii dalam sekali ekskresi akan mengeluarkan jutaan ookista yang apabila tertelan oleh hospes perantara seperti sapi, kambing, babi, manusia atau bahkan kucing kembali maka akan terbentuk kelompok trofozoit yang membelah secara aktif pada tubuh hospes perantara (Indrayanti, 2014). 2.1.3 Penularan Toxoplasma gondii Penularan infeksi Toxoplasma gondii utamanya bersumber dari kotoran kucing. Dalam kondisi tanah dengan kelembaban tinggi, ookista mampu hidup lama hingga lebih dari satu tahun. Sedangkan pada lokasi yang terkena sinar matahari secara
9
langsung serta dengan tanah yang kering maka masa hidupnya akan semakin singkat (Chahaya, 2003). Infeksi toksoplasmosis yang terjadi pada manusia dapat terjadi melalui dua cara yaitu akuista (acquired) dan kongenital. Infeksi akuista (acquired) biasa terjadi pada orang dewasa maupun pada anak sedangkan infeksi kongenital adalah cara infeksi dari ibu ke bayi kandungannya (Soedarto, 2012). Infeksi dengan akuista (acquired) banyak terjadi dikarenakan faktor lingkungan. Lingkungan menjadi media yang cukup baik dalam penularan infeksi Toxoplasma gondii. Menurut Frenkel (2002) dalam Cruz & Janeiro (2009) kejadian wabah toksoplasmosis di dunia diketahui bahwa penyebabnya didapat dari air yang terkontaminasi ookista Toxoplasma gondii serta tanah maupun sampah atau kotoran domba yang terinfeksi Toxoplasma gondii. Ookista dari feses kucing bila tertelan oleh tikus akan menyebabkan tikus terinfeksi dan membentuk kista dalam otot dan otaknya. Kemudian jika tikus tersebut dimakan oleh kucing maka kucing tersebut akan tertular kembali. Hospes perantara parasit ini banyak yang dijadikan bahan pangan oleh manusia seperti kambing, sapi, ayam, burung dan babi. Namun tidak hanya oleh hewan saja yang jadi penyebab terinfeksinya manusia terhadap parasit ini. Manusia juga dapat tertular dari ookista yang berada di tanah misalnya memakan sayur-sayuran mentah yang tercemar feses kucing atau bisa setelah berkebun lupa mencuci tangan ketika akan makan. Tercemarnya alat-alat masak dan tangan oleh bentuk infektif Toxoplasma gondii pada waktu pengolahan makanan juga merupakan salah satu sumber penyebaran parasit tersebut (Yaudza, 2010). Infeksi dengan akuista (acquired) juga dapat ditularkan melalui transfusi darah, transplantasi organ serta luka pada kulit (Soedarto, 2012; Indrayanti, 2014). Pada infeksi kongenital parasit masuk ke dalam tubuh janin melalui plasenta. Janin belum cukup mampu dalam membentuk kekebalan tubuh maka dari itu hal ini
10
akan mempermudah infeksi pada tubuh janin hingga mengakibatkan abortus, lahir mati, lahir hidup dengan hidro atau mikrosefalus, gangguan motorik, kerusakan retina dan otak serta menunjukkan tanda-tanda kelainan jiwa.
Gambar 2.1. Cara Penularan Toxoplasma gondii Sumber: American Family Physician (2003) 2.1.4 Pencegahan Toksoplasmosis Vaksin untuk mencegah infeksi toksoplasmosis pada manusia belum tersedia sampai saat ini sehingga langkah yang dapat dilakukan untuk mencegah penyebaran penyakit toksoplasmosis adalah dengan menjaga kebersihan (Dubey, J.P., 2008). Dalam hal ini yang dimaksudkan dengan kebersihan adalah menjaga lingkungan supaya terbebas dari kotoran kucing ataupun hewan lainnya yang terinfeksi parasit tersebut. Infeksi toksoplamosis pada manusia yang disebabkan karena memakan daging yang terinfeksi atau menelan ookista infektif dapat dicegah dengan memasaknya dengan matang sempurna (Soedarto, 2012; Indrayanti, 2014). Menurut WHO (1979)
11
dalam Chahaya
(2003), daging untuk
menghangatkan
seluruh
bagiannya
membutuhkan suhu 65ºC dengan durasi empat hingga lima menit atau lebih sehingga secara keseluruhan daging tidak akan mengandung kista aktif, demikian juga dengan hasil daging siap konsumsi yang diolah dengan garam dan nitrat. Makanan yang matang pun harus ditutup rapat agar tidak dihinggapi lalat atau kecoa yang dapat memindahkan ookista dari feses kucing ke makanan tersebut. Pencegahan yang dapat dilakukan untuk mengatasi penyebaran melalui vector mekanik seperti lalat ataupun kecoa adalah dengan mematikan ookista menggunakan bahan kimia seperti formalin, ammonia dan iodin dalam bentuk larutan serta air panas 70ºC yang disiramkan pada feses kucing (Gandahusada, 2003; Yaudza, 2010). Bagi anak-anak yang gemar bermain ditanah ataupun ibu-ibu yang memiliki hobi berkebun serta petani sebaiknya membiasakan diri mencuci tangan dengan bersih menggunakan sabun sebelum makan. Menurut Gandahusada (1988) dalam Chahaya (2003) kondisi tanah di Indonesia belum diselidiki keberadaan ookista Toxoplasma gondii-nya sehingga sayur mayur yang akan dimakan khususnya sebagai lalapan harus dicuci bersih guna meminimalisir kemungkinan ookista melekat pada sayuran. Untuk pencegahan toksoplasmosis kongenital dapat dilakukan dengan pemeriksaan darah untuk tes Toxoplasma bagi wanita yang belum hamil dan merencanakan kehamilan. Dari tes tersebut bila hasilnya positif, ada kemungkinan ketika hamil janin akan lebih terlindungi karena calon ibu sudah mempunyai kekebalan terhadap Toxoplasma gondii. Bagi yang hasilnya negatif itu menandakan bahwa dirinya tidak terinfeksi parasit tersebut namun harus terus menghindari kemungkinan terinfeksi selama hamil (Dharmana, 2007). Pencegahan agar tidak terinfeksi Toxoplasma gondii ketika hamil dapat dilakukan dengan menghindari kontak dengan kucing namun apabila diharuskan membersihkan kandang kucing,
12
gunakanlah sarung tangan dan cuci tangan dengan bersih setelah selesai. Kemudian gunakan sarung tangan ketika berkebun, hindari makanan yang telah dihinggapi lalat ataupun kecoa serta hindari konsumsi daging mentah ataupun setengah matang dan sayur atau buah yang belum dicuci dengan bersih (Indrayanti, 2014). Pencegahan terhadap infeksi parasit ini juga dapat dilakukan dengan skrining darah bagi individu yang akan transfusi darah ataupun transplantasi organ. Selain itu secara promotif harus dilakukan penyuluhan untuk meningkatkan pengetahuan masyarakat sehingga dapat mengubah perilaku yang berisiko terhadap infeksi Toxoplasma gondii.
2.2 Perilaku 2.2.1 Definisi Perilaku Perilaku manusia merupakan hasil dari segala macam pengalaman serta interaksi manusia dengan lingkungannya yang terwujud dalam bentuk pengetahuan, sikap dan tindakan. Perilaku merupakan respon atau reaksi seorang individu terhadap stimulus yang berasal dari luar maupun dari dalam dirinya (Sarwono, 2007). Perilaku manusia menurut Notoatmodjo (2007) merupakan suatu aktivitas dari manusia yang dapat diamati secara langsung maupun tidak langsung. Bahkan dikatakan juga bahwa perilaku merupakan tindakan atau perbuatan suatu organisme yang dapat diamati dan dipelajari. 2.2.2 Perilaku Sehat Perilaku kesehatan menurut Notoatmodjo (2007) merupakan suatu respons seseorang (organisme) terhadap stimulus atau objek yang berkaitan dengan sakit, penyakit, sistem pelayanan kesehatan, makanan dan minuman serta lingkungan. Perilaku ini juga memberi respon terhadap fasilitas pelayanan, cara pelayanan, petugas
13
kesehatan dan obat-obatan. Perilaku kesehatan diklasifikasikan menjadi tiga kelompok yaitu (Indrayanti, 2014): 1) Perilaku pemeliharaan kesehatan (health maintenance) Perilaku ini merupakan usaha individu untuk memelihara atau menjaga kesehatan supaya tidak sakit maupun usaha untuk penyembuhan bila sakit. Perilaku pemeliharaan kesehatan terkait dengan tiga aspek yaitu (Notoatmodjo, 2007): a) Perilaku pencegahan penyakit dan penyembuhan bila sakit serta pemulihan kesehatan bila telah sembuh dari sakit. b) Perilaku peningkatan kesehatan c) Perilaku gizi 2) Perilaku pencarian dan penanganan sistem atau fasilitas pelayanan kesehatan atau pencarian pengobatan (health seeking behavior). Perilaku ini berkaitan dengan upaya atau tindakan individu ketika sakit maupun kecelakaan. Perilaku dapat berupa mengobati sendiri (self-treatment) atau bahkan hingga mencari pengobatan ke luar negeri. 3) Perilaku kesehatan lingkungan Menurut Notoatmodjo (2007) perilaku ini merupakan cara individu merespon lingkungan dari segi fisik maupun sosial budaya agar tidak mempengaruhi kesehatan. Sedangakan menurut Sarwono (2007) perilaku sehat adalah tindakan yang dilakukan oleh seseorang untuk memelihara dan meningkatkan kesehatannya. Perilaku ini dapat termasuk pencegahan penyakit, perawatan kebersihan diri, penjagaan kebugaran serta makanan bergizi.
14
2.2.3 Faktor yang Mempengaruhi Perilaku Sehat Faktor yang mempengaruhi perilaku individu mempunyai peran yang berarti dalam menentukan status kesehatan seseorang maupun komunitas masyarakat. Dari berbagai determinan perilaku manusia, sudah banyak ahli yang telah merumuskan teori atau model mengenai faktor yang mempengaruhi perilaku. Salah satu diantaranya adalah teori yang dikemukakan oleh Lawrence Green (1980). Menurut Green, kesehatan seseorang maupun masyarakat dipengaruhi oleh dua hal yaitu faktor perilaku dan faktor non perilaku. Faktor perilaku itu sendiri terbentuk dari tiga faktor yang terdiri dari sebagai berikut: a. Faktor predisposisi (predisposing factors) Faktor ini terwujud dalam pengetahuan, sikap, kepercayaan, keyakinan, nilainilai dan sebagainya. Sedangkan pengetahuan dipengaruhi oleh umur, pekerjaan, pendidikan, sosial budaya, dan sumber informasi. b. Faktor pendukung (enabling factors) Faktor ini terwujud dalam lingkungan fisik serta tersedia atau tidaknya fasilitas maupun sarana-sarana kesehatan, misalnya puskesmas, obat-obatan, alat kontrasepsi, jamban dan sebagainya. c. Faktor pendorong (reinforcing factors) Faktor ini terwujud dalam sikap dan perilaku petugas kesehatan maupun petugas yang lainnya sebagai kelompok panutan (reference group) di masyarakat. 2.2.4 Perilaku Berisiko terhadap Toksoplasmosis Mudahnya penyebaran infeksi toksoplasmosis menjadi salah satu penyebab tingginya angka prevalensi toksoplasmosis di Indonesia maupun di Dunia. Penyebaran penyakit ini ada kaitannya dengan perilaku kebiasaan individu dalam mengkonsumsi
15
daging mentah, kontak dengan kucing, tidak mencuci buah dan sayuran sebelum dimakan serta kontak dengan lingkungan yang terdapat ookista Toxoplasma gondii (Dharmana, 2007).
2.3 Pedagang Kaki Lima 2.3.1 Definisi Pedagang Kaki Lima Pedagang adalah individu ataupun kelompok yang kegiatannya membeli barang dan menjualnya kembali dengan merubah ataupun tidak bentuk awal atas inisiatif dan tanggung jawab sendiri kepada konsumen (Sugiharsono, 2000 dalam Mustika, 2014). Sedangkan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, pedagang dibedakan menjadi dua yaitu pedagang besar dan kecil. Perbedaan ini dibagi berdasarkan besar modalnya. Dalam hal ini ada beberapa pedagang yang lebih memilih untuk menggunakan sarana atau perlengkapan yang mudah dipindahkan, dibongkar pasang dan mempergunakan fasilitas umum sebagai tempat usaha yang sering disebut dengan Pedagang Kaki Lima (PKL). Pedagang kaki lima merupakan orang yang melakukan kegiatan usaha dagang dari sektor informal baik perorangan maupun kelompok yang menggunakan tempat-tempat fasilitas umum seperti trotoar, pinggir-pinggir jalan umum dan lain sebagainya. 2.3.2 Karakteristik Umum Pedagang Kaki Lima Penghasilan PKL sangat bergantung pada hasil dagangan hariannya sehingga banyak PKL yang tidak bisa mengambil risiko untuk tidak berjualan dalam waktu yang lama. Dalam kondisi ini banyak faktor yang diabaikan salah satunya kesehatan. PKL cenderung hidup hemat dan memanfaatkan waktu luang untuk kegiatan produktif serta tinggal di pemukiman padat penduduk.
16
Produk yang ditawarkan oleh PKL sangatlah beragam dan disesuaikan dengan modal pedagang, sebagai contoh dapat berupa makanan dan minuman, rokok, ikan hias, bunga, buah-buahan, dan lain sebagainya. Produk-produk tersebut ada yang berasal dari olahan sendiri namun ada juga yang merupakan hasil industri yang dijual kembali. 2.3.3 Perilaku Berisiko Pedagang Kaki Lima Bagi pedagang kaki lima yang khususnya berjualan makanan dan minuman terkadang tidak memperhatikan hal-hal vital seperti hygiene dan sanitasi dari prduk yang dijualnya karena keterbatasan ruang dan ekonomi yang dialaminya. Menurut Keputusan
Menteri
Kesehatan
Republik
Indonesia
Nomor
942/MENKES/SK/VII/2003 Tentang Pedoman Persyaratan Hygiene Sanitasi Makanan Jajanan, berikut adalah hal yang harus diperhatikan oleh PKL: 1)
Penjamah Makanan Dalam melakukan kegiatan berdagang PKL harus memperhatikan kondisi tubuhnya seperti tidak sedang menderita penyakit menular (batuk, pilek, diare, dan sebagainya), menutup luka, menjaga kebersihan tangan, rambut, kuku dan pakain, menggunakan celemek, tidak sambil merokok dan tidak batuk atau bersin dihadapan makanan yang disajikan.
2)
Peralatan Peralatan yang digunakan PKL untuk mengolah maupun menyajikan makanan harus memenuhi syarat hygiene dan sanitasi maka dari itu peralatan yang sudah dipakai harus dicuci dengan air bersih dan dengan menggunakan sabun, kemudian dikeringkan dengan alat pengering yang bersih. Setelah itu PKL harus menyimpan peralatan ditempat yang bebas dari pencemaran.
17
3)
Air, Bahan Makanan, Bahan Tambahan dan Penyajian Penggunaan air, bahan makanan, bahan tambahan dan penyajian harus sesuai standar yang telah ditentukan oleh pemerintah. Hal ini terkadang dilanggar oleh PKL dengan sebab ingin mencari untung yang besar dengan pengeluaran yang sedikit.
4)
Sarana Penjaja PKL harus memperhatikan sarana yang ada pada tempat dimana mereka akan berjualan. Syarat yang harus dipenuhi adalah sebagai berikut: a. mudah dibersihkan b. tersedia tempat untuk:
5)
-
air bersih
-
penyimpanan bahan makanan
-
penyimpanan makanan jadi/siap disajikan
-
penyimpanan peralatan
-
tempat cuci (alat, tangan, bahan makanan)
-
tempat sampah
Sentra Pedagang Sentra pedagang merupakan lokasi yang digunakan PKL untuk berjualan. Sentra pedagang ini harus dilengkapi dengan fasilitas sanitasi yang meliputi air bersih, tempat penampungan sampah, saluran pembuangan air limbah, jamban dan peturasan serta fasilitas pengendalian lalat dan tikus.
18
2.4 Air 2.4.1 Definisi Air Menurut Peraturan Pemerintah No. 82 tahun 2001 tentang pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran air yang dimaksud dengan air adalah semua air yang terdapat pada atas atau bawah permukaan tanah diantaranya air permukaan, air tanah, air hujan, air laut yang berada didarat. Air merupakan zat cair yang tidak memiliki rasa, warna dan bau yang terdiri dari hidrogen dan oksigen (H2O). Keberadaan air dikatakan sebagai larutan yang bersifat universal sehingga banyak zat-zat baik yang alamiah maupun buatan manusia dapat terlarut didalamnya. Menurut Linsley (1991) zat-zat tersebutlah yang disebut pencemar dalam air. Air adalah salah satu diantara pembawa penyakit yang berasal dari tinja kepada manusia. Dibutuhkan pengolahan air dari sumber, jaringan transimi ataupun distribusi agar air yang masuk kedalam tubuh manusia tidak mengakibatkan penyakit. Hal ini dapat mencegah terjadinya kontak antara kotoran sebagai sumber kotoran dengan air yang diperlukan (Sutrisno, 2004 dalam Jumani, 2011). 2.4.2 Kualitas Air Kualitas air merupakan sifat air dan kandungan makhluk hidup, zat, energi atau komponen lain yang mencakup kualitas fisik, kimia dan biologis (Effendi, 2003). a. Kualitas Fisik Kualitas secara fisik adalah kualitas yang dapat dilihat atau dirasakan menggunakan alat indera manusia. Syarat-syarat sumber mata air yang dapat digunakan sebagai air bersih dapat dilihat dari kekeruhannya, tidak berwarna, rasanya tawar, tidak berbau, temperaturnya normal, dan tidak mengandung zat padatan.
19
b. Kualitas Kimia Kualitas air yang tergolong baik apabila memenuhi persyaratan sebagai berikut (Jumani, 2011): -
Air murni memiliki pH 7 (netral), apabila pH air dibawah 7 menunjukan air tersebut bersifat asam sedangkan bila diatas 7 bersifat basa (Jumani, 2011).
-
Tidak mengandung bahan kimia beracun seperti sianida, sulfida dan fenolik.
-
Tidak mengandung garam-garam atau ion-ion logam seperti Fe, Mg, Ca, K, Hg, Cl, Cr dan lain-lain.
-
Air dengan kesadahan yang rendah. Tingkat kesadahan yang tinggi mengindikasikan adanya garam-garam seperti Calsium (Ca) dan Magnesium (Mg) yang terlarut dalam air.
-
Tidak mengandung bahan kimia anorganik melebihi kadar maksimun yang telah ditentukan.
c. Kualitas Biologis Berdasarkan
Peraturan
Menteri
Kesehatan
RI
Nomor
416/MENKES/PER/IX/1990, persyaratan bakteriologi air bersih dilihat dari Coliform tinja per 100 ml sampel air dengan kadar maksimum yang diijinkan yaitu 50 MPN/100 ml air. 2.4.3 Peranan Air Sebagai Penyebab Penyakit Air adalah bagian dari kehidupan yang sangat dibutuhkan oleh manusia untuk kelangsungan hidupnya. Dalam pemanfaatannya air dapat menjadi penyebab terjadinya penyakit. Menurut Soemirat (2007) dalam Jumani (2011), air sebagai penyebab terjadinya penyakit dibagi menjadi empat cara, yaitu:
20
1) Air sebagai Penyebar Mikroba Patogen (Water Borne Disease) Penyakit disebarkan secara langsung melalui air dan hanya dapat tertular apabila mikroba penyebab penyakit masuk ke dalam sumber air yang digunakan dalam kebutuhan sehari-hari manusia. 2) Air sebagai Sarang Vektor Penyakit (Water Related Insecta Vector) Dalam beberapa kasus air dapat berperan sebagai sarang insekta (vektor) dalam penyebaran penyakit pada masyarakat. Air dapat membantu dalam perubahan bentuk, vase, pertumbuhan ataupun perkembangbiakan vektor. 3) Kurangnya Penyediaan Air Bersih (Water Washed Disease) Kurang tersedianya air bersih untuk menjaga kebersihan diri dapat menyebabkan terjadinya berbagai penyakit kulit dan mata. Hal ini terkait dengan pekembangbiakan bakteri pada kulit dan mata apabila tidak dibersihkan dengan air bersih. 4) Air sebagai Sarang Hospes Sementara (Water Based Disease) Beberapa penyakit memiliki hospes perantara yang hidup di dalam air. Penyakit yang dapat muncul adalah shistosomiasis dan dracontiasis.
21