BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Tambak Tambak merupakan kolam yang dibangun di daerah pasang surut dan
digunakan sebagai tempat untuk membudidayakan ikan, udang dan hewan air lainnya yang bisa hidup di air payau (Puspita dkk. 2005). Air yang masuk ke dalam tambak sebagian besar berasal dari laut pada saat pasang. Oleh karena itu pengelolaan air tambak dilakukan dengan memanfaatkan pasang surut air laut. Proses pemasukkan air ke dalam tambak dilakukan pada saat pasang dan pembuangannya dilakukan pada saat air laut surut. Selain air laut, tambak juga memerlukan air tawar untuk mengimbangi penguapan agar salinitasnya tidak terlalu tinggi. Air tawar digunakan untuk mengatur salinitas air tambak, terutama bagi hewan air yang memerlukan salinitas rendah, seperti udang windu (Penaeus monodon) (Mudjiman, 1989). Tambak dapat berfungsi secara ekologis maupun ekonomis. Secara ekologis tambak berfungsi sebagai habitat berbagai jenis hewan dan tumbuhan air, seperti ikan, udang, bentos, plankton dan tumbuhan-tumbuhan yang berasosiasi dengan tambak diantaranya mangrove. Tambak pun berperan sebagai sumber plasma nutfah karena tambak juga berperan sebagai tempat pemijahan, pembesaran dan tempat mencari makan organisme liar disekitar tambak. sedangkan manfaat ekonmis tambak sebagai penghasil berbagai sumber daya alam bernilai ekonomis seperti ikan, udang dan kepiting. Adapun manfaat ekonomis lainya untuk meningkatkan perekonomian masyarakat (Puspita dkk. 2005). Salah satu lokasi tambak berada di wilayah pantai selatan Kabupaten Garut dengan jenis komoditasnya adalah udang Vannamei. Budidaya tambak udang Vannamei yang digunakan di pantai selatan Garut adalah budidaya secara intensif. Lokasi yang siap pakai untuk pembuididayaan udang Vannamei di wilayah pantai selatan (Pansela) Kabupaten Garut 30 Ha. Rata-rata wilayah tersebut berada pada 5 – 20 m dpl serta memiliki temperatur udara antara 27 – 35oC sehingga sangat baik 6
7
untuk perkembangan benih udang Vannamei yang sangat membutuhkan suhu yang optimal untuk perkembangannya (Maulina dkk. 2012). 2.2
Udang Vannamei Klasifikasi udang Vannamei (Gambar 1) menurut Boone (1931) adalah :
Kingdom
: Animalia
Phylum
: Arthropoda
Subphylum
: Crustacea
Class
: Malacostraca
Order
: Decapoda
Family
: Penaeidae
Genus
: Litopenaeus
Species
: Litopenaeus vannamei
Gambar 1. Udang Vannamei
Udang Vannamei termasuk pada famili Penaidae yaitu udang laut. Udang Vannamei berasal dari perairan Amerika Tengah. Negara di Amerika Tengah dan Selatan seperti Ekuador, Venezuela, Panama, Brasil dan Meksiko sudah lama membudidayakan jenis udang yang juga dikenal dengan nama pacific white shrimp. Vannamei banyak diminati, karena memiliki banyak keunggulan antara lain relatif tahan penyakit, pertumbuhan cepat (masa pemeliharaan 100 - 110 hari), padat tebar tinggi, sintasan pemeliharaan tinggi dan Feed Convertion Ratio
rendah
(Hendrajat dkk. 2007). Tingkat kelulus hidupan Vannamei dapat mencapai
8
80 - 100%, (Duraippah et al. 2000). Boyd dan Clay (2002) menyatakan bahwa tingkat kelulushidupannya mencapai 91%. Berat udang ini dapat bertambah lebih dari 3 gram setiap minggu dalam kultur dengan densitas tinggi (100 udang/m2). Ukuran tubuh maksimum mencapai 23 cm. Berat udang dewasa dapat mencapai 20 gram bahkan lebih dari 20 gram, L. Vannamei jantan tumbuh dengan lambat yaitu sekitar 1 gram/ minggu. Udang betina tumbuh lebih cepat daripada udang jantan (Wyban et al. 1995). Udang Vannamei termasuk hewan omnivora yang mampu memanfaatkan pakan alami yang terdapat dalam tambak seperti plankton dan detritus yang ada pada kolom air sehingga dapat mengurangi input pakan berupa pelet. Konversi pakan atau feed conversion ratio (FCR) udang Vannamei antara 1,3 - 1,4 (Boyd and Clay, 2002). Kandungan protein pada pakan untuk udang Vannamei relatif lebih rendah dibandingkan udang windu. Menurut Briggs et al. (2004), udang Vannamei membutuhkan pakan dengan kadar protein antara 20 - 35%. Budidaya udang Vannamei sangat dipengaruhi oleh faktor internal atau eksternal lingkungan tambak. Kualitas benih, persiapan tambak, manajemen kualitas air, manajemen pakan, maupun cuaca sangat menentukan keberhasilan budidaya udang. Manipulasi manajemen budidaya sangat diperlukan untuk meningkatkan produksi udang putih, salah satunya adalah dengan manipulasi kepadatan tebar (Wardiyanto, 2008). 2.3 Struktur Komunitas Makrozoobentos Komunitas biotik adalah kumpulan populasi-populasi yang hidup dalam daerah atau habitat tertentu. Hal tersebut merupakan satuan yang diorganisasikan sehingga dia mempunyai sifat-sifat tambahan terhadap komponen-komponen individu dan fungsi-fungsi sebagai suatu unit melalui transformasi-transformasi metabolik yang bergandengan. Komunitas utama adalah mereka yang cukup besar dan kelengkapan dari organisasinya adalah mereka yang sedemikian hingga relatif tidak tergantung dari masukan dan hasil dari komunitas di dekatnya. Sedangkan
9
komunitas minor adalah mereka yang kurang lebih tergantung pada kumpulankumpulan tetangganya (Odum, 1998). Komunitas tidak hanya mempunyai kesatuan fungsional tertentu dengan struktur trofik dan pola arus energi yang khas tetapi juga mempunyai kesatuan komposisional dimana terdapat peluang bahwa jenis tertentu akan mendapat peluang untuk muncul atau hidup berdampingan. Meskipun demikian, jenis-jenis tersebut sebagian besar dapat diganti dalam waktu dan ruang sehingga secara fungsional komunitas yang serupa dapat memiliki komposisi jenis yang berbeda (Odum, 1998). Struktur komunitas adalah kumpulan populasi yang hidup pada suatu daerah atau habitat fisik tertentu dan saling berinteraksi atau mempunyai hubungan timbal balik dan secara bersamaan membentuk pola tingkat trofik dan metaboliknya (Odum, 1998). Keanekaragaman dalam komunitas dapat menunjukan keseimbangan ekosistem perairan dan berperan dalam menggambarkan perubahan yang terjadi di dalam lingkungan perairan tersebut (Wilhm, 1975). Krebs (1972) menyatakan bahwa struktur komunitas memiliki lima karakteristik yaitu keanekaragaman, dominansi, bentuk dan struktur pertumbuan, kelimpahan trofik serta struktur trofik. Karakteristik dalam suatu komunitas akan mempengaruhi organisme yang berada dalam komunitas tersebut (Odum, 1998). Komunitas dapat disebut dan diklasifikasi menurut (1) bentuk atau sifat struktur utama seperti misalnya jenis dominan, (2) habitat fisik dari komunitas atau (3) sifat-sifat atau tanda-tanda fungsional seperti misalnya tipe metabolisme komunitas.
Suatu
komunitas
paling
tidak
memiliki
produsen-produsen,
makrokonsumen dan mikrokonsumen. Di dalam golongan golongan ini, jenis atau golongan jenis yang sebagian besar mengendalikan arus energi dan kuat sekali mempengaruhi lingkungan dari semua jenis lainnya disebut dominan-dominan ekologi (Odum, 1998). Dominan ekologi adalah golongan jenis yang sebagian besar mengendalikan arus energi dan kuat sekali mempengaruhi lingkungan dari semua jenis lainnya. Penghilangan jenis dominan akan menimbulkan perubahan-perubahan penting tidak
10
hanya pada komunitas biotik tetapi juga dalam lingkungan fisik (misalnya iklim mikro). Dominan di dalam semua golongan ekologi akan nyata pada lingkungan yang ekstrim. Terdapat nisbah-nisbah antara jumlah jenis dan nilai-nilai penting (jumlah, biomassa, produktivitas dan sebagainya) dengan individu-individu disebut indeksindeks keanekaragaman jenis. Keanekaragaman jenis cenderung akan rendah dalam ekosistem-ekosistem yang secara fisik terkendali (yakni yang menjadi sasaran faktor pembatas fisika-kimia yang kuat) dan tinggi dalam ekosistem yang diatur secara biologi (Odum, 1998). Perubahan kualitas perairan akibat jumlah bahan pencemar yang terus bertambah
secara
langsung
maupun
tidak
langsung
dapat
mempengaruhi
keseimbangan ekologis perairan dan merupakan ancaman bagi oganisme yang terdapat di dalamnya. Organisme yang terkena pengaruh tersebut adalah makrozoobentos, karena umumnya organisme ini tidak dapat berpindah tempat ketika terjadi perubahan lingkungan. Pengaruh kualitas lingkungan perairan terhadap struktur komunitas makrozoobentos dapat dianalisis dengan menggunakan model distribusi kelimpahan spesies, sebaliknya model distribusi kelimpahan spesies dapat memperlihatkan kondisi kualitas lingkungan perairan (Giller 1984, in Abdunur 2002). Model-model kelimpahan spesies ini memperlihatkan suatu mekanisme sumberdaya di dalam komunitas, sehingga dapat diketahui stabilitas suatu ekosistem perairan. 2.4
Makrozoobentos Sebagai Pakan Alami Berdasarkan tingkatan pada rantai makanan makrozoobentos menempati
posisi kedua dan ketiga di eksosistem perairan (Lind, 1979). Makrozoobentos yang herbivor merupakan konsumen pertama yang mengkonsumsi algae dan makrofita, menurut Goldman dan Horne (1983) Jenis Nematode, Oligochaeta, dan Moluska dapat mengubah detritus dan makrofita menadi pakan alami untuk ikan. Sebagai konsumen kedua, makrozoobentos mengkonsumsi zooplankton dan mangsa hewan bentos lainnya. Pada tingkatan selanjutnya makrozoobentos merupakan mangsa dari hewan air terutama ikan dan udang (Odum, 1998). Dalam habitat alaminya, ikan pada
11
stadium awal hidupnya bergantung pada organsime berukuran kecil seperti bakteri, diatom, fitoplankton, dan zooplankton, sebagai pakan alaminya. Seiring dengan perkembangan tubuhnya, ikan selanutnya membutuhkan pakan alami yang berukuran lebih besar seperti Insekta, Cacing, Moluska, Crustacea dan lainnya. Pada lingkungan perairan, sumber pakan alami bagi ikan atau udang dibagi menjadi dua kategori yaitu sumber pakan allochthonous dan autochthonous. Allochthonous merupakan sumber pakan yang berasal dari luar badan perairan, seperti serasah daun pohon, dan berbagai macam organisme serta material lain yang masuk ke badan perairan dan dapat dijadikan pakan ikan. Autochthonous merupakan sumber pakan ikan yang berasal dari badan perairan itu sendiri, termasuk makrozoobentos yang hidup di perairan (Goldman and Horne, 1983). Partikel allochthonous yang masuk ke dalam badan perairan kemudian dimakan oleh makrozobentos yang tergolong shredder feeder (detrivor pada substrat kasar) seperti jenis Plecoptera, Diptera, dan Trichoptera. Selain itu partikel allochtonous uang masuk ke badan perairan atau tambak itu dimanfaatkan juga oleh detritus.
Makrozoobentos
yang
tergolong
grazer
seperti
jenis
Moluska,
Ephemeroptera, Trichoptera dan Coleoptera memakan produsen perairan seperti fitoplankton, dan makrofita, selanjutnya makrozoobentos yang tergolong grazer dimakan oleh jenis makrozoobentos yang termasuk predator seperti Plecoptera, Megaloptera, dan Odonata. Makrozobentos yang tergolong shredder feeder langsung dimakan oleh ikan pemangsa, selain itu jenis shredder feeder ini dimakan oleh makrozoobentos yang tergolong collector seperti jenis Ephemeroptera, Trichoptera, Diptera, dan Oligochaeta dan selanjutnya dimakan oleh ikan. Dari keseluruhan jenis makrozoobentos yang ada di perairan baik jenis shredder feeder, collector feeder, predator dan grazer merupakan pakan alami bagi ikan di suatu perairan (Goldman and Horne, 1983) (Gambar 2). Muus (1999) jenis makrozoobentos yang memiliki peranan penting sebagai pakan alami ikan di ekosistem perairan tawar berasal dari kelas Huridinea, Crustacea, Insecta, Oligochaeta dan Gastropoda.
12
Partikel Organik allochthonous
Bahan organic dan anorganik terlarut (allochthonous)
Produsen Perairan
Makrozoobentos Shredders
Detritus
Makrozoobentos grazer
Ikan Pemangsa
Makrozoobentos Collector
Makrozoobentos Predator
Gambar 2. Hubungan Makrozoobentos Sebagai Pakan Alami (Sumber. Goldman and Horne 1983)
2.5
Keanekaragaman Shannon – Wiener (H’) Indeks keanekaragaman Shannon-Wiener digunakan untuk menunjukan
keanekaragaman Setiobudiandini keanekaragaman
makrozoobentos (1999) spesies
dalam
yang
Perdani
merupakan
ada
disuatu
(2001)
ukuran
komunitas
perairan.
menyatakan
bahwa
Indeks
keheterogenan
spesies
dalam
komunitasnya. Sinaga (2009) menyatakan bahwa hubungan perubahan lingkungan terhadap suatu
kestabilan komunitas makrozobentos dapat dianalisis secara
kuantitatif dan kualitatif. Analisis kuantitatif dapat dilakukan dengan melihat keanekaragaman jenis organisme yang hidup di lingkungan tersebut dengan kelimpahan tiap jenisnya sedangkan
kualitatif adalah dengan melihat jenis-jenis
organisme yang mampu beradaptasi dengan lingkungan tertentu. Odum (1994) dalam Sinaga (2009) menerangkan bahwa baik buruknya kondisi suatu ekosistem tidak dapat dientukan hanya dari hubungan keanekaragaman dan kestabilan komunitasnya. Suatu eksostem yang stabil dapat saja memiliki keanekaragaman yang rendah atau tinggi tergantung pada fungsi aliran energy pada
13
sistem tersebut. Berdasarkan Shannon Wiener (1963) dalam Noorthiningsih dkk (2008) klasifikasi indeks keanekaragaman dapat digilongkan sebagai berikut : •
H’ < 1, keanekaragaman rendah dan komunitas tidak stabil.
•
1 < H’ < 3, keanekaragaman sedang dan komunitas moderat
•
H’ > 3, keanekaragaman tinggi dan komunitas baik Nilan Indeks Keanekaragaman jenis dipengaruhi oleh pembagian atau
penyebaran individu dari tiap jenisnya, karena suatu komunitas walaupun banyak jenis tetapi bila penyebaran individunya tidak merata maka keanekaragaman jenisnya rendah (Odum 1994, dalam Sinaga 2009). Brower et al. (1990) menyatakan bahwa suatu komunitas dikatakan mempunyai keanekaragaman yang tinggi apabila terdapat banyak spesies dengan jumlah individu masing masing spesies relatif merata, dengan kata lain bahwa apabila suatu komunitas hanya terdiri dari sedikit spesies dengan jumlah individu yang tidak merata, maka komunitas tersebut mempunyai keankeragaman yang rendah. 2.6
Kurva ABC (Abundance Biomassa Comparison) Kurva ABC adalah kurva yang digunakan untuk menganalisis klasifikasi
kondisi suau lingkungan perairan yang berdasarakan perbandingan antara kelimpahan dan biomassa makrozoobentos (Warwick, 1986). Kondisi perairan yang tidak tercemar memilki kurva biomassa yang berada diatas kurva kelimpahan. Hal ini menunjukan
bahwa
keanekaragaman
jumlah
spesies
lebih
tinggi
dari
keanekaragaman biomassa. Pada kondisi lingkungan yang agak tercemar, kurva biomassa dan kurva kelimpahan berdekatan dan mungkin bersilangan antara satu dengan yang lainnya yang menandakan tidak ada dominansi antara keanekaragaman jumlah spesies dan keakeragaman biomassa. Sedangkan pada kondisi perairan tercemar kurva kelimpahan berada di atas kurva biomassa yang menunjukan bahwa keanekaragaman biomassa lebih tinggi dari keanekaragaman kelimpahan.
14
2.7
Parameter Yang Mempengaruhi Kehidupan Makrozoobentos Keberadaan Makrozoobentos di suatu perairan
dipengaruhi oleh faktor
lingkungan perairan dimana makrozoobentos hidup (Odum, 1998), parameter fisik dan kimiawi perairan dapat digunakan untuk menduga kualitas lingkungan perairan. Parameter kimiawi antara lain oksigen terlarut, salinitas, pH dan kandungan unsur sedimen. Sedangkan parameter fisik antara lain Suhu, kekeruhan dan tekstur sedimen. 2.7.1
Parameter Kimiawi
a. Oksigen Terlarut (DO)
Konsentrasi oksigen terlarut atau Dissolved Oxygen (DO) merupakan jumlah mg/L oksigen yang terlarut dalam air. Oksigen diperairan alami berasal dari difusi udara maupun hasil dari proses fotosintesis oleh fitoplankton dan tumbuhan air di zona eufotik. Oksigen dikonsumsi secara terus menerus dalam aktivitas respirasi. Kadar oksigen yang terlarut di perairan alami bervariasi, tergantung pada suhu, salinitas, turbulensi air, dan tekanan atmosfer. Semakin besar suhu dan lokasi tempat semakin tinggi serta tekanan atmosfer semakin kecil, maka kadar oksigen terlarut semakin kecil (Jeffries dan Mills 1996, dalam Effendi 2003). Peningkatan suhu sebesar 10C akan meningkatkan konsumsi oksigen sekitar 10%, (Brown 1987, dalam Effendi 2003). Kandungan oksigen terlarut sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor salah satunya adalah sumber masukkan dan pemanfaatan oksigen. Hendersen dan Markland (1987) oksigen dimanfaatkan oleh tumbuhan dan hewan perairan untuk respirasi serta untuk proses oksidasi bahanbahan organik secara biokimiawi (BOD) maupun secara kimia (COD). Konsentrasi oksigen juga dapat menjadi faktor pembatas, hal ini diungkapkan oleh Wardoyo (1975) menyatakan bahwa kandungan oksigen terlarut di perairan tidak boleh kurang dari 3 mg/L, karena dapat menyebabkan kematian organisme. Effendi (2003) menyatakan bahwa konsentrasi oksigen terlarut di perairan sangat berfluktuasi secara harian dan musiman, tergantung pada pencampuran dan pergerakan massa air, aktivitas fotosintesis, respirasi dan limbah yang masuk ke
15
dalam perairan. Dekomposisi bahan organik dan oksidasi bahan anorganik dapat mengurangi kadar oksigen terlarut hingga mencapai nol. Aktivitas budidaya ikan di perairan memanfaatkan oksigen yang cukup tinggi karena besarnya jumlah ikan pada satu tambak. konsentrasi oksigen yang aman bagi kehidupan di perairan sebaiknya diatas titik kritis dan tidak terdapat bahan racun, dengan
konsentrasi oksigen
minimum sebesar 2 mg/L cukup memadai dalam menunjang komunitas organisme perairan. b. Salinitas
Salinitas adalah konsentrasi total ion yang terdapat di perairan (Boyd et al. 2001). Salinitas menggambarkan padatan total di dalam air, setelah semua karbonat dikonversi menjadi oksida, semua bromida dan ionida digantikan oleh klorida dan semua bahan organik telah dioksidasi. Satuan salinitas dinyatakan dalam satuan permil (‰). c. Derajat Keasaman (pH)
Derajat keasaman (pH) adalah kadar asam atau basa dalam suatu larutan, melalui konsentrasi ion hidrogen (Santika dan Aleart, 1987). pH merupakan salah satu faktor penentu kualitas air, karena pH menunjukkan keberadaan ion hidrogen yang bersifat asam dan sangat menentukan ikatan fosfat dengan unsur lainnya seperti Ca, Fe, atau Al dan menentukan dominasi fitoplankton diperairan. Air yang basa dapat mendorong proses pembongkaran bahan organik yang ada dalam air menjadi mineral-mineral yang dapat diasimilasi oleh tumbuh-tumbuhan dan fitoplankton, sehingga pH ikut berperan
dalam membentuk produktifitas
perairan. pH perairan yang cocok untuk pertumbuhan organisme air berkisar antara 69 (Odum, 1998). Wardoyo (1975) menyatakan bahwa perairan dengan pH lebih kecil dari 4,0 merupakan perairan yang sangat asam dan dapat menyebabkan kematian, sedangkan lebih dari 9,5 merupakan perairan yang sangat basa yang juga dapat menyebabkan kematian dan mengurangi produktivitas perairan.
16
2.7.2
Parameter Fisik
a. Suhu
Suhu merupakan salah satu parameter lingkungan yang mempengaruhui laju fotosintesis dan pertumbuhan alga diperairan alami. Tingkat percepatan proses-proses dalam sel akan meningkat sejalan dengn meningkatnya suhu, nilai maksimum terjadi antar 25 – 300C (Nontji, 2008). Peningkatan suhu mengakibatkan peningkatan viscositas, evaporasi dan volatilisasi.
Peningkatan
suhu
juga
menyebabkan
peningkatan
percepatan
metabolisme dan respirasi organisme akuatik dan selanjutnya meningkatkan konsumsi oksigen organisme tersebut. Peningkatan suhu akan menurunkan kelarutan gas dalam air, diantaranya gas O2, CO2, N2, CH4 dan sebagainya (Haslam 1995, dalam Effendi 2003). Peningkatan suhu perairan sebesar 100C menyebabkan terjadinya peningkatan konsumsi oksigen oleh organisme akuatik sekitar 2-3 kali lipat, Sehingga perubahan suhu akan mempengaruhi proses biologis yang terjadi di dalam air yang pada akhirnya akan mempengaruhi kualitas biologi didalamnya (Effendi, 2003). b. Kekeruhan
Jenie dan Rahayu (1993) menyatakan bahwa kekeruhan biasanya disebabkan oleh adanya bahan tersuspensi (bahan organik, mikroorganisme dan partikel-partikel cemaran lain). Effendi (2003) menyatakan bahwa kekeruhan pada perairan tergenang (lentik), misalnya situ lebih banyak disebabkan oleh bahan tersuspensi yang berupa koloid dan partikel-partikel halus. Perairan yang keruh tidak disukai oleh organisme akuatik karena mengganggu perkembangan dan sistem pernapasan sehingga menghambat pertumbuhan terutama bagi makrozoobenthos. Kekeruhan dapat menyebabkan terhambatnya penetrasi cahaya ke dalam air sehingga akan menurunkan nilai kecerahan perairan (Nybakken, 1988). Selanjutnya Odum (1993) juga menyebutkan bahwa kekeruhan dapat berperan sebagai indikator bagi produktivitas hayati perairan jika kekeruhan itu disebabkan oleh bahan-bahan
17
organik dari organisme hidup. Batas maksimum kekeruhan bagi kehidupan biota air adalah 30 NTU (Pescod, 1973 dalam Retnowati, 2003). c. Sedimen Sedimen di perairan merupakan endapan yang terdiri dari bahan organik yang membusuk kemudian turun ke dasar perairan dan bercampur dengan lumpur serta bahan organik yang umumnya berasal dari pelapukan batu (Svendrup, 1966). Substrat dasar
perairan
akan
menentukan
kepadatan,
komposisi,
dan
penyebaran
makrozoobentos di suatu perairan. Bentos biasanya dapat dijumpai bersistirahat atau bergerak pada dasar, hal ini berkaitan dengan cara makan, dimana bentos dibagi ke dalam filter feeder
dan deposit feeder (Odum 1998). Struktur komunitas
makrozoobentos disutau perairan erat hubungannnya denga teskstur sedimen di perairan tersebut. Sedimen yang berstrukur lunak dihuni oleh makrozoobentos dari ordo Ephemeroptera, kelas Oligochaeta dan beberapa larva Chironomid. Sedangkan pada sedimen yang bertekstur keras dihuni oleh ordo Trichoptera, Plecoptera, dan sebagian Ephemeroptera (Patrcik dan Vannote, 1973).