BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Fisiologis Paru Paru adalah satu-satunya organ tubuh yang berhubungan dengan lingkungan diluar tubuh, yaitu melalui sistem pernafasan. Fungsi paru utama untuk respirasi yaitu pengambilan oksigen dari luar masuk ke dalam saluran nafas dan diteruskan kedalam darah. Oksigen digunakan untuk proses metabolisme karbon dioksida yang terbentuk pada proses tersebut dikeluarkan dari dalam darah ke udara luar (Gildea, 2009). Proses respirasi dibagi atas tiga tahap utama yaitu ventilasi, difusi dan perfusi. Ventilasi berkaitan dengan masuk dan keluarnya udara antara alveolus dan atmosfer. Difusi berhubungan dengan perpindahan oksigen dan karbondioksida melalui membran kapiler alveolus. Perfusi berkaitan dengan transportasi oksigen dan karbondioksida dalam darah dan cairan tubuh ke dan dari sel (Fischbach, 2003). Paru-paru, baik pada saat ekspirasi maupun inspirasi, dapat dikembangkan dan dikontraksikan dengan dua cara, yaitu dengan gerakan turun dan naik dari diafragma untuk memperbesar atau memperkecil diafragma, depresi dan elevasi costa untuk meningkatkan dan menurunkan diameter anteroposterior dari rongga dada. Pada pernapasan normal dan tenang biasanya hanya memakai gerakan dari diafragma. Selama inspirasi, kontraksi dari diafragma akan menarik permukaan bawah paru ke bawah. Kemudian selama ekspirasi, diafragma akan berelaksasi dan sifat elastik daya lenting paru, dinding dada dan perut akan menekan paru-paru (Gildea, 2009).
2.2. Pemeriksaan Fungsi Paru Pemeriksaan fungsi paru dapat dipergunakan secara luas, mulai dalam bidang penelitian fisiologi sampai dengan aspek klinis mencakup diagnosis, penilaian derajat keparahan penyakit, monitoring terapi, menetukan prognosis, pemeriksaan penunjang kesehatan kerja, tes medis olahraga dan lain sebagainya (Gibson, 2003; Shifren, 2006).
Universitas Sumatera Utara
Namun
demikian,
pemeriksaan
fungsi
paru
tidaklah
dapat
menentukan suatu diagnosa penyakit secara spesifik misalnya emfisema pulmonum atau fibrosis paru. Tes ini dapat berguna memberikan informasi pengukuran fisiologis yang dapat mengidentifikasi kelainan obstruksi atau restriksi sistem pernafasan dan tentu saja harus disertai evaluasi secara holistik dengan hasil pemeriksaan klinis, radiologis, dan pemeriksaan laboratorium pendukung lainnya (Shifren, 2006).
2.2.1 Jenis pemeriksaan fungsi paru Pemeriksaan fungsi paru mengevaluasi sistem ventilasi dan alveoli secara indirect dan tumpang tindih. Umur pasien, tinggi, berat badan, etnis dan jenis kelamin harus dicatat sebelum pemeriksaan dilakukan karena data-data tersebut penting dalam hal perhitungan nilai prediksi. Secara umum, pemeriksaan fungsi paru dibagi dalam 3 kategori yaitu (Fischbach, 2003): 1. Pemeriksaan terhadap kecepatan aliran udara di dalam saluran pernafasan, mencakup pengukuran sesaat atau rata-rata kecepatan aliran udara di saluran nafas sewaktu ekshalasi paksa maksimal untuk mengetahui resistensi saluran pernafasan. Termasuk juga dalam kategori ini adalah tes inhalasi bronkodilator dan tes provokasi bronkus. 2. Pengukuran volume dan kapasitas paru yaitu pengukuran terhadap berbagai kompartemen yng mengandung udara di dalam paru dalam rangka
mengetahui
air
trapping
(hiperinflasi,
overdistensi)
atau
pengurangan volume. Pengukuran ini juga dapat membantu membedakan gangguan restriktif dan obstruktif pada sistem pernafasan. 3. Pengukuran kapasitas pertukaran gas melewati membran kapiler alveolar dalam rangka menganalisa keberlangsungan proses difusi. 2.2.2 Indikasi pemeriksaan fungsi paru ( Miller, 2005) 1. Diagnostik: Beberapa manfaat untuk diagnostik adalah sebagai berikut :
Universitas Sumatera Utara
-
Mengevaluasi individu yang gejala, tanda atau hasil laboratorium yang abnormal
-
Skrining individu yang mempunyai resiko penyakit paru
-
Mengukur efek fungsi paru pada individu yang mempunyai penyakit paru
-
Merupakan salah satu faktor untuk menilai resiko operasi
-
Menentukan prognosis penyakit yang berkaitan dengan respirasi
-
Mengetahui status kesehatan sebelum memulai program latihan
2. Monitoring Beberapa manfaat untuk keperluan monitoring adalah sebagai berikut : -
menilai efek intervensi terapetik
-
memantau perkembangan penyakit yang mempengaruhi fungsi paru
-
Memonitoring individu yang terpajan agen beresiko terhadap fungsi paru
-
Memonitoring efek samping obat yang mempunyai toksisitas pada paru
3. Evaluasi terhadap kecacatan Beberapa manfaat untuk evaluasi terhadap kecacatan adalah sebagai berikut : -
Menentukan pasien yang membutuhkan program rehabilitasi
-
Kepentingan asuransi
-
Kepentingan hukum
4. Kesehatan masyarakat Beberapa manfaat untuk kesehatan masyarakat adalah sebagai berikut : -
Survei epidemiologis
-
Penelitian klinis
Universitas Sumatera Utara
2.2.3
Defenisi nilai normal dalam pemeriksaan fungi paru Hasil
pemeriksaan
fungsi
paru
diinterpretasikan
melalui
perbandingan nilai pengukuran yang didapat dengan nilai prediksi pada individu normal. Prediksi nilai normal itu sendiri mencakup berbagai variabel seperti umur, tinggi, berat badan, dan jenis kelamin. Ada juga beberapa faktor lain yang potensial mempengaruhi interpretasi tetapi belum diperhitungkan seperti ras, polusi udara, status sosial ekonomi (Gibson, 2003) Spirometri normal juga didefenisikan dari bentuk kurva flowvolume yang normal, berupa gambaran manuver FVC diikuti dengan inspirasi yang dalam. Sebuah kurva flow-volume yang normal mempunyai puncak yang tajam yang dicapai dalam waktu yang singkat diikuti dengan penurunan yang gradual menuju titik O pada kurva ekspirasi. Bentuk dari kurva inspirasi haruslah bulat. Kurva flow-volume normal dapat dilihat pada gambar 2.1 (Shifren, 2006; Fischbach, 2003).
2.2.4 Teknik pemeriksaan spirometri Secara garis besar, hal yang perlu dipersiapkan dalam melakukan pemeriksaan fungsi faal paru adalah (Anna, 2012): 1. Persiapan alat Alat harus dikalibrasi minimal 1 kali seminggu dan penyimpanan tidak boleh melebihi 1½ kalibrator. 2. Persiapan pasien a. Harus dilakukan anamnesis dan penilaian kondisi fisik yang berkaitan dengan fungsi paru pasien. Selain itu, juga harus dilakukan pencatatan data dasar (nama, usia, jenis kelamin, ras) serta berat badan dan tinggi badan pasien tanpa menggunakan sepatu. b. Pasien diberikan penjelasan tentang tujuan, cara pemeriksaan, dan contoh maneuver yang harus dilakukan. Pasien harus bebas rokok minimal 2 jam sebelum pemeriksaan, bebas bronkodilator yang
Universitas Sumatera Utara
dapat mempengaruhi hasil pemeriksaan minimal 8 jam sebelum pemeriksaan, tidak boleh makan kenyang sebelum pemeriksaan, dan tidak boleh menggunakan pakaian ketat pada saat pemeriksaan dilakukan. c. Pasien sebaiknya melakukan percobaan dalam posisi yang paling nyaman. d. Pemeriksaan dilakukan paling sedikit didapatkan 3 nilai yang reproduksibel untuk melihat dan memastikan apakah maneuver telah dilakukan secara maksimal. Dapat diulang 3 kali namun tidak lebih dari 8 kali untuk menghindari bias. 3. Manuver untuk mendapatkan data tentang parameter yang dibutuhkan a. Force Vital Capacity (FVC) a.1 Metode sirkuit tertutup -
Pastikan pasien berada dalam posisi yang benar (posisi tubuh dengan kepala sedikit dielevasikan)
-
Tempatkan nose clip, mouth piece pada mulut dan menutup mulut dengan baik
-
Inspirasi maksimal secara cepat dengan jeda < 1 detik, kemudian ekspirasi maksimal secara cepat (paksa) dan dalam sampai tidak ada udara yang dapat dikeluarkan saat masih dalam posisi yang sama.
a.2 Metode sirkuit terbuka -
Pastikan pasien berada dalam posisi yang benar (posisi tubuh dengan kepala sedikit dielevasikan)
-
Tempatkan nose clip
-
Inspirasi maksimal secara cepat dengan jeda < 1 detik
-
Tempatkan mouthpiece pada mulut dan menutup mulut dengan baik
-
Ekspirasi maksimal secara cepat (paksa) dan dalam sampai tidak ada udara yang dapat dikeluarkan saat masih dalam posisi yang sama.
Universitas Sumatera Utara
b. Slow Vital Capacity (SVC) Prinsip pengukuran sama dengan FVC yang berbeda hanyalah maneuver saat meniup dimana inspirasi maksimal secara normal dan ekspirasi maksimal secara normal sampai tidak ada udara yang dapat dikeluarkan saat masih dalam posisi yang sama. c. Maximal Voluntary Ventilation Pasien diinstruksikan untuk bernafas cepat dan dalam selama 15 detik dan mengumpulkan udara ekspirasi dalam kantong douglas. Uji ini telah banyak digunakan secara bertahun-tahun tetapi kemudian sebagian besar diganti dengan pengukuran Forced Expiratory Volume (FEV1) yang lebih sedikit persyaratannya dan memberikan informasi yang sama.
2.2.5. Standarisasi pemeriksaan fungsi paru Untuk mendapatkan informasi yang berguna dari suatu pemeriksaan fungsi paru, harus terlebih dahulu diamati mengenai masalah adekuasi alat serta akseptabilitas dan reprodusibilitas dari nilai pengukuran (Shifren, 2006).
Gambar 2.1. Spirometri normal (Shifren, 2006)
Dalam mengevaluasi hasil pemeriksaan fungsi paru, harus terlebih dahulu dinilai akseptabilitas dari hasil pemeriksaan tersebut. Pemeriksaan akseptabilitas paling baik ditentukan dengan mempelajari kurva flow-volume.
Universitas Sumatera Utara
Adapun kriteria akseptabilitas dari suatu pemeriksaan fungsi paru mencakup hal sebagai berikut (Shifren, 2006; Miller, 2005): 1. Bebas artefak (batuk, penutupan glottis, penghentian dini, usaha yang kurang maksimal dan bervariasi) 2. Start yang baik (fase awal kurva merupakan bagian yang paling baik dipengaruhi oleh usaha pasien sehingga harus bebas artefak) 3. Waktu ekspirasi yang cukup (ekspirasi paling sedikit 6 detik atau dijumpai plateau paling tidak selama 1 detik pada kurva volume-waktu) Bila telah didapat 3 kali pengukuran spirometri yang memenuhi kriteria akseptabilitas maka selanjutnya dinilai reprodusibilitasnya. Adapun kriteria reprodusibilitas dari pemeriksaan fungsi paru mencakup (Shifren, 2006): 1. Dua nilai pengukuran FVC yang terbesar tidak boleh berbeda lebih dari 0,2 L atau 5% satu sama lain. 2. Dua nilai pengukuran FEV1 yang terbesar tidak boleh berbeda lebih dari 0,2 L atau 5% satu sama lain. Jika kedua syarat ini terpenuhi maka pemeriksaan fungsi paru dapat dihentikan dan dievaluasi hasilnya. Bila tidak memenuhi maka pemeriksaan harus diulang sampai memenuhi kriteria di atas maksimal 8 kali pengulangan (Fischbach, 2003; Miller, 2005).
2.2.6. Pemeriksaan terhadap aliran udara di saluran pernafasan Kecepatan aliran udara di saluran nafas memberikan informasi mengenai adanya obstruksi di sistem saluran pernafasan. Metode pengukuran kecepatan aliran udara yang dihubungkan dengan fungsi waktu dan volume disebut sebagai spirometri dan alat untuk pengukurannya mempergunakan spirometer (Fischbach, 2003; Miller, 2005). Penilaian spirometri dasar mencakup FEV1, FVC, dan FEV1/FVC. Ketiga metode pengukuran ini luas dipergunakan, tidak mahal dan mudah diulang. Spirometri dapat digunakan dalam mendeteksi gangguan aliran udara akibat obstruksi saluran nafas dan mengindikasikan adanya suatu kelainan paru restriktif. Ada banyak nilai hasil pengukuran spirometri yang lainnya, namun kegunaan klinisnya masih belum dapat ditentukan (Winn, 2005; Gomella, 2007).
Universitas Sumatera Utara
Ketika nilai FEV1 berkurang, maka nilai FEV1/FVC juga akan berkurang yang menunjukkan suatu pola obstruksi. Rasio FEV1/FVC yang normal adalah >0,75 untuk individu yang berusia kurang dari 60 tahun dan >0,70 untuk yang berusia di atas 60 tahun (Lang, 2006). Namun Adrien Shifren menyebutkan bahwa suatu defek obstruksi dapat disangkakan bila FEV1/FVC <0,70 tanpa memandang usia (Shifren, 2006). Bila sangkaan defek obstruktif telah dibuat,
maka perlu dilanjutkan
dengan upaya untuk menentukan beratnya derajat obstruksi dan menilai reversibilitas dari obstruksi yang terjadi (Fischbach, 2003). Nilai prediksi FEV1 yang normal adalah 80%-120%. FEV1 70-79% nilai prediksi menunjukkan hambatan aliran udara ringan, FEV1 51-69% nilai prediksi menunjukkan hambatan aliran udara sedang, dan bila FEV1 <50% nilai prediksi digolongkan hambatan aliran udara berat, sangat berat FEV1 <30% nilai prediksi atau FEV1 <50% nilai prediksi disertai gagal nafas (Winn, 2003; GOLD, 2010). Pemeriksaan spirometri juga dapat digunakan untuk mendiagnosa kelainan penyakit paru restriktif, walaupun untuk gold standard haruslah diperiksa nilai TLCnya. Kelainan restriktif dapat disangkakan bila nilai FEV1/FVC>75% nilai prediksi. Kelainan restriktif ringan bila FVC 60-80% nilai prediksi, restriksi sedang bila FVC 50-60% nilai prediksi dan restriksi berat bila FVC<50% nilai prediksi (Gomella, 2007). Bila defek obstruktif terjadi maka kurva flow-volume akan berubah membentuk gambaran konkaf. Pada kurva masih dapat dilihat adanya puncak awal yang tajam dan cepat, tetapi aliran ekspirasi melemah lebih cepat daripada normal, sesuai dengan beratnya derajat obstruksi yang terjadi. (lihat gambar 2.2) (Shifren, 2006). Adapun kelainan-kelainan yang dapat mengakibatkan gambaran obstruksi pada pemeriksaan fungsi paru antara lain (Fischbach, 2003): 1. Penyakit pada saluran nafas perifer: bronkitis, bronkiektasis, bronkiolitis, asma bronkhial, fibrosis kistik. 2. Penyakit parenkim paru : emfisema
Universitas Sumatera Utara
3. Penyakit saluran nafas atas : tumor pada faring, laring atau trakea, edema, infeksi, benda asing, saluran nafas kolaps dan stenosis.
Gambar 2.2. Spirometri pada penyakit paru obstruktif (Shifren, 2006)
Gambar 2.3. Sprometri pada penyakit paru restriktif (Shifren, 2006)
Kelainan-kelainan yang dapat memberikan gambaran restriktif pada pemeriksaan fungsi paru antara lain (Fischbach, 2003): 1. Gangguan pada dinding toraks: cedera, kifoskoliosis, distrofi muscular. 2. Keadaan ekstra toraks: obesitas, peritonitis, asites, kehamilan. 3. Penyakit paru interstisial: interstisial pneumonitis, fibrosis, pneumokoniosis, granulomatosis. 4. Penyakit pleura: efusi pleura, pneumothorak, hemothorak, fibrothorak. 5. Space Occupaying lesion (SOL) : tumor, abses
2.2.7 Penyakit campuran restriktif dan obstruktif Penyakit infiltratif atau interstisial yang difus secara khas mengakibatkan pola yang restriktif berupa rasio FEV1/FVC yang normal atau meningkat dan penurunan volume paru . Gangguan hambatan terhadap aliran udara biasa dijumpai pada penyakit paru interstisial dan sarkoidosis stadium akhir. Bronkiektasis juga dapat memberikan gambaran penyakit campuran akibat penurunan aliran udara disertai kerusakan fibrotik jaringan paru distal akibat
Universitas Sumatera Utara
segmen bronkus yang mengalami bronkiektasis. Kelainan lain yang memberikan pola
serupa
adalah
bronkiolitis
obliterans
organizing
pneumonia
,
neurofibromatosis dan campuran antara Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK) yang disertai penyakit paru interstisial (Fischbach, 2003; Winn, 2003).
Gambar 2.4. Gambar spirogram dan kurva flow-volume pada keadaan normal, obstruktif dan restriktif (Hyatt, 2003).
2.2 Penyakit Ginjal Kronis Penyakit ginjal kronis (PGK) merupakan salah satu masalah utama dalam pelayanan kesehatan baik baik di negara maju maupun berkembang. Survei komunitas yang dilakukan oleh Perhimpunan Nefrologi Indonesia menunjukkan 12,5% populasi sudah mengalami penurunan fungsi ginjal (Sasulit, 2009). Penyakit Ginjal Kronis adalah suatu proses patofisiologi dengan etiologi yang beragam, mengakibatkan penurunan fungsi ginjal yang progresif, dan pada umumnya berakhir dengan gagal ginjal. Selanjutnya, gagal ginjal adalah suatu
Universitas Sumatera Utara
keadaan klinis yang ditandai dengan penurunan fungsi ginjal yang ireversibel, pada suatu derajat yang memerlukan terapi pengganti ginjal yang tetap, berupa dialisis atau transplantasi ginjal (Suwitra, 2006). Berbagai keadaan serta penyakit misalnya diabetes mellitus, hipertensi, penyakit kardiovaskular, batu ginjal, hipertrofi prostat, penyakit ginjal sistemik dan riwayat keluarga gagal ginjal berperan sebagai faktor resiko PGK. Diabetes mellitus dan penyakit glomerular merupakan penyebab tersering terjadinya penyakit gintal tahap akhir yang menjalani dialisis (Sasulit, 2009). KDOQ1 (Kidney Disease Outcome Quality Initiative) tahun 2003 mendefenisikan PGK, apabila kerusakan ginjal yang terjadi selama lebih dari 3 bulan, berdasarkan kelainan patologik atau petanda kerusakan ginjal seperti proteinuria, atau kelainan pada pemeriksaan pencitraan. Jika tidak ada tanda kerusakan ginjal, diagnosis penyakit ginjal kronis ditegakkan jika nilai laju filtrasi glomerulus kurang dari 60 ml/menit/1,73m2 (Suwitra, 2006; Sasulit, 2009). Penyakit ginjal kronis biasanya disertai berbagai komplikasi seperti penyakit kardiovaskuler, penyakit saluran nafas, penyakit saluran cerna, kelainan di tulang dan otot serta anemia (Sasulit, 2009). KDOQ1 membuat stadium Penyakit Ginjal Kronis dalam 5 tahap berdasarkan tingkat penurunan fungsi ginjal yang dinilai dengan laju filtrasi glomerular (LFG) (Suwitra, 2006). Untuk menghitung LFG, cara umum digunakan adalah dengan menggunakan rumus Cockroft-Gault, yaitu: (Suwitra, 2006; Sasulit, 2009).
(140-umur) X BB (kg) LFG (ml/min/1,73m2) = ---------------------------------- * 72 X Kreatinin Plasma
*) pada perempuan dikalikan 0,85
Universitas Sumatera Utara
Tabel 2.1. Klasifikasi penyakit ginjal kronis (Suwitra, 2006) : Stadium
Penjelasan
LFG (ml/min/1,73m2)
1
Kerusakan ginjal dengan LFG normal atau meningkat
≥ 90
2
Kerusakan ginjal dengan penurunan LFG yang ringan
60 - 89
3
Kerusakan ginjal dengan penurunan LFG yang sedang
30 - 59
4
Kerusakan ginjal dengan penurunan LFG yang berat
15 - 29
5
Gagal ginjal
< 15 atau dialisis
Penatalaksanaan PGK amat beragam, yaitu terapi spesifik terhadap penyakit dasarnya, pencegahan dan terapi terhadap kondisi komorbid, memperlambat perburukan (progression) fungsi ginjal, pencegahan dan terapi terhadap penyakit kardiovaskular, pencegahan dan terapi terhadap komplikasi, dan terapi pengganti ginjal berupa dialisis atau transplantasi ginjal. Terapi pengganti ginjal dilakukan pada PGK stadium 5 atau gagal ginjal tahap akhir, yaitu pada LFG < 15 ml/min/1,73m2. Terapi pengganti tersebut dapat berupa hemodialisis, peritoneal dialisis maupun transplantasi ginjal, di mana hemodialisis merupakan pilihan yang paling umum dijumpai di Indonesia (Clarckson, 2005; Purwanto, 2007).
2.3.1 Efek penyakit ginjal kronis terhadap pernafasan Paru juga mendapat pengaruh buruk dari gagal ginjal, pasien-pasien gagal ginjal dalam berbagai tahap (akut, kronik, tahap akhir) memiliki resiko untuk mengalami komplikasi paru yang signifikan secara klinis, yang paling sering edema pulmonum, fibrosis paru, kalsifikasi paru, hipertensi pulmonal, hemosiderosis, fibrosis paru. Pasien-pasien ini juga bisa mengalami berbagai tingkatan disfungsi paru yang mungkin tidak signifikan secara klinis dan hanya dapat dideteksi dengan serangkaian evaluasi non invasif yang dikenal sebagai tes faal paru. Disfungsi paru mungkin disebabkan langsung oleh toksin uremik yang bersirkulasi dalam peredaran darah atau mungkin disebabkan secara tidak
Universitas Sumatera Utara
langsung oleh volume overload, anemia, penekanan imunitas, kalsifikasi ekstra tulang, malnutrisi, gangguan elektrolit, atau ketidakseimbangan asam-basa (Karacan, 2009). Tes faal paru yang dilakukan pada pasien-pasien penyakit ginjal kronis dapat menunjukkan adanya gangguan yang amat bervariasi, mulai dari fungsi paru yang normal sampai dengan adanya gambaran penurunan minimal dari parameter fungsi jalan nafas kecil bahkan sampai gangguan yang menyebabkan penurunan volume paru dalam derajat yang berat, sebagaimana pada kasus edema paru (Karacan, 2009). Sejumlah komplikasi yang berhubungan dengan sistem pernafasan terjadi pada pasien dengan penyakit ginjal kronis (Tabel 2.2). Beberapa diantaranya berhubungan dengan perubahan pada status volume, tekanan onkotik plasma, metabolisme tulang dan mineral, adanya gagal jantung, serta perubahan faal imunitas pada pasien-pasien tersebut, meskipun pada beberapa kejadian lain belum dapat diketahui mekanisme yang benar-benar tepat (Pierson, 2006).
Tabel. 2.2. Komplikasi penyakit ginjal kronis pada sistem pernafasan. (Pierson, 2006)
Edema paru merupakan komplikasi yang sering terjadi pada penyakit ginjal akut dan kronik. Patogenesa terjadinya masih kontroversial. Pada penderita PGK terjadi hipoalbuminemia sehingga terjadi penurunan tekanan onkotik plasma yang menyebabkan keluarnya cairan dari pembuluh kapiler paru. Adanya penemuan bahwa terjadi peningkatan kadar protein pada cairan edema
Universitas Sumatera Utara
menunjukkan bahwa permeabilitas pembuluh kapiler paru juga mengalami perubahan. Kongestif paru pada penderita PGK memperlihatkan gambaran restriktif dan penurunan aliran udara pada tes fungsi paru (Hassan, 2005; Pierson, 2006). Penyakit pleura sering dijumpai pada penderita PGK, sekitar 20-40% hasil autopsi paru dengan kondisi ini. Yang paling sering adalah efusi pleura, terdapat sekitar 3% dari seluruh penderita PGK. Cairan efusi biasanya bersifat eksudat dan bisa hemoragik. Fibrinous pleuritis biasanya bersifat asimptomatik, biasanya gejalanya sesak napas, demam dan nyeri dada pleuritik (Pierson, 2006). Kalsifikasi metastatik merupakan komplikasi PGK dapat dijumpai pada organ-organ viseral dan jaringan lunak. Ketika hal ini terjadi di paru biasanya bersifat asimptomatik, gambaran pada foto toraks tidak jelas (Pierson, 2006). .
2.2.2
Efek penyakit ginjal kronis dengan hemodialisis terhadap pernafasan Sama seperti semua sistem organ lainnya, paru juga mendapat pengaruh
buruk dari gagal ginjal yang mernjalani HD. Sebagian besar pasien PGK yang menjalani HD ditemukan kejadian hipoksemia ketika terhubung dengan mesin dialisa. Beberapa fenomena yang diduga berperan terhadap kejadian hipoksemia ini adalah perubahan dari kurva disosiasi oksihemoglobin yang disebabkan oleh peningkatan pH selama dialisis, penekanan terhadap pusat pernafasan, gangguan difusi oksigen, leukostasis pada pembuluh darah paru yang menyebabkan ketidakseimbangan ventilasi-perfusi, serta hipoventilasi alveolar yang disebabkan oleh CO2 yang berdifusi ke dialisat (Pierson, 2006). Terganggunya fungsi paru pada pasien-pasien hemodialisis dapat disebabkan oleh adanya suatu penyakit paru yang mendasari, meskipun demikian pengaruh uremia dan efek dari pengobatan dengan dialisis belum sepenuhnya dimengerti (Pierson, 2006). Hemodialisis pada pasien PGK dapat mengurangi status uremia, mengeluarkan cairan tubuh yang berlebih dan menjaga keseimbangan asam basa dan elektrolit. Hemodialisis dapat mengurangi edema paru dan obstruksi di saluran napas kecil dan menyebabkan peningkatan ventilasi paru. Salah satu hasil HD adalah fungsi pernafasan yang lebih baik (Matavulja, 2004).
Universitas Sumatera Utara
Beberapa studi telah dilakukan untuk mengetahui dampak HD pada fungsi paru pasien PGK. Pada studi Alves dkk, 61 pasien HD dijumpai peningkatan FEV1 dan FVC setelah dialisis berkorelasi dengan penurunan berat badan pasien (Alves, 1989). Navari dkk menemukan pada studi 50 pasien PGK dengan HD dibandingkan 2 jenis dialisat (bikarbonat dibandingkan asetat) menemukan bahwa dialisis dengan dialisat bikarbonat menyebabkan perbaikan yang signifikan pada fungsi paru pada laki-laki (Navari, 2008). Studi yang dilakukan Kovelis mendapatkan dari 17 pasien penyakit ginjal kronis, 9 orang dengan spirometri normal, 8 restriktif ringan sebelum hemodialisis, setelah hemodialisis 2 dari 8 pasien tersebut mencapai spirometri normal (Kovelis, 2008). Lang dkk melaporkan 14 pasien hemodialisis yang stabil secara klinis tanpa penyakit paru akut, dijumpai penyakit paru restriktif dijumpai pada 8 dari 14 kasus dan penyakit paru obstruktif dijumpai pada 1 orang pasien (Lang, 2006). Herero dkk menyatakan bahwa 75% pasien dengan hemodialisis jangka panjang menunjukkan kelainan restriktif pada spirometri (Herero, 2002).
Universitas Sumatera Utara