3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Penginderaan Jauh Penginderaan jauh merupakan tehnik dan seni untuk memperoleh informasi tentang suatu objek, wilayah atau fenomena dengan menganalisa data yang diperoleh dari alat, tanpa menyentuh/kontak langsung dengan objek, wilayah atau fenomena yang dikaji (Lillesand & Kiefer 1990). Berdasarkan sumber energi elektromagnetik yang digunakan, penginderaan jauh dibedakan menjadi dua yaitu penginderaan jauh pasif dan pengideraan jauh aktif. Penginderaan jauh pasif merupakan suatu sistem yang menggunakan sumber energi yang telah ada (reflektansi energi matahari dan/atau radiasi dari objek secara langsung), sedangkan penginderaan jauh aktif merupakan suatu sistem yang menggunakan sumber energi buatan (microwave). Pengumpulan data penginderaan jauh dilakukan dengan menggunakan alat pengindera atau alat pengumpul data yang disebut sensor. Beberapa sensor yang menggunakan sistem penginderaan jauh pasif diantaranya MESSR, IRS, JERS-1, OPS dan potret udara, sedangkan sensor yang menggunakan sistem penginderaan jauh aktif adalah radar, seperti RADARSAT, ERS-1, JERS-1, ALOS PALSAR. 2.2 RADAR (Radio Detecting and Ranging) Radar merupakan metode penginderaan jauh gelombang mikro aktif yang meliputi pencitraan pulsa energi gelombang mikro dari sensor ke target dan kemudian mengukur pulsa balik atau sinyal pantulan (backscatter). Radar mempunyai sumber energi sendiri, sehingga dapat beroperasi siang dan malam serta mempunyai kemampuan menembus awan. Radar dikembangkan sebagai suatu cara yang menggunakan gelombang radio untuk mendeteksi adanya objek dan menentukan jarak (posisi)-nya (Lillesand & Kiefer 1990). Penginderaan jauh radar menggunakan spectrum elektromagnetik pada bagian microwave yaitu antara frekuensi 0,3 Ghz – 300 Ghz atau dalam bentuk panjang gelombang dari 1 mm – 1 m. Citra radar secara visual juga tampak mirip dengan foto udara dan karakteristik citra umumnya seperti rona, tekstur, pola, bentuk, ukuran, site dan asosiasi sehingga dapat diterapkan pada interpretasi citra radar. Rona atau warna
4
merupakan rekaman pantulan energi atau emisi yang memiliki arti yang berbeda berdasarkan kepekaan spektral detektor atau film yang digunakan. Tekstur dikaitkan dengan frekuensi perubahan rona, yang menghasilkan satu kesimpulan mengenai derajat kekasaran atau kehalusan dari kenampakan citra. Bentuk mencerminkan bentuk umum atau kerangka mengenai objek. Ukuran atau dimensi suatu objek merupakan kunci penting untuk identifikasi objek yang bentuknya sama dan dapat digunakan sebagai standar perbandingan. Asosiasi atau lokasi objek dalam hubungannya dengan objek lain yang berguna dalam memberikan informasi atau petunjuk tentang objek tersebut apabila karakteristik lainnya tidak dapat mengidentifikai objek tersebut (LO 1996). Menurut JICA dan Fakultas Kehutanan IPB (2010), sebuah sistem radar mempunyai tiga fungsi sebagai berikut: 1. Sensor memancarkan gelombang microwave (radio) ke bidang permukaan tertentu, 2. Sensor tersebut menerima beberapa bagian dari energi yang dipancarkan balik (backscatter) oleh permukaan, 3. Sensor ini dapat menangkap kekuatan (detection, amplitude) dan perbedaan waktu (ranging, phase) dari pancar balik gelombang energi. SAR (Synthetic Aperture Radar) merupakan sebuah sistem radar yang mengindera secara menyamping dan dapat menghasilkan citra resolusi tinggi. SAR mengindera sepanjang jalurnya dan dapat mengakumulasi data dan melalui cara ini, sebuah jalur permukaan bumi di iluminasi baik secara parallel maupun searah dengan jalur terbangnya. Dari data sinyal yang terekam, selanjutnya diproses untuk menghasilkan citra radar. Jarak yang menyamping tersebut disebut dengan “range”, sehingga dikenal near range (sapuan dekat) yaitu yang terdekat dengan nadir (titik di bawah sensor radar) dan far range (sapuan jauh) yaitu jarak terjauh dari sensor radar. Jarak yang searah jalur disebut dengan azimuth. SAR menggunakan proses sinyal dijital untuk memfokuskan sinar dan membuat resolusi yang lebih tinggi dibandingkan dengan yang dapat diperoleh oleh radar konvensional (Fakultas Kehutanan IPB 2011). Panjang gelombang dan polarisasi merupakan faktor utama yang mempengaruhi sifat khas transmisi sinyal sistem radar. Panjang gelombang sinyal
5
radar menentukan bentangan yang terpencar oleh atmosfer. Daya tembus pulsa radar dapat dibedakan atas dua jenis, yaitu daya tembus terhadap atmosfer dan daya tembus terhadap permukaan (Salman 2011). Polarisasi merupakan arah rambat dari gelombang mikro aktif yang dipancarkan dan ditangkap oleh sensor radar. Sinyal radar dapat ditransmisikan dan diterima dalam bentuk polarisasi yang berbeda. Satu sinyal radar dapat ditransmisikan pada bidang datar (H) ataupun tegak lurus (V), sinyal tersebut dapat pula diterima pada bidang datar atau tegak lurus. Ada empat kemungkinan kombinasi sinyal transmisi dan penerimaan yang berbeda, yaitu HH, HV, VH, dan VV. Polarisasi paralel atau searah merupakan kombinasi HH dan VV. Kekasaran atau bentuk umum objek-objek yang ada di permukaan bumi akan mempengaruhi bentuk pantulan pulsa radar. Secara umum Lillesand & Kiefer (1990) membagi bentuk pantulan pulsa radar menjadi tiga, yaitu pantulan baur, pantulan sempurna dan pantulan sudut.
Gambar 1
Bentuk pantulan radar dari berbagai macam permukaan menurut Lillesand & Kiefer (1990) Baur (a); Sempurna (b); Sudut (c).
Pantulan baur dihasilkan oleh benda atau objek yang permukaannya kasar (Gambar 1a). Hal ini terjadi karena arah pantulan pulsa yang menyebar acak ke segala arah, sehingga pantulan gelombang ada yang kembali ke sensor dan ada pula yang menjauhi sensor. Objek yang termasuk pemantul baur antara lain adalah lahan bervegetasi. Pantulan sempurna dihasilkan dari permukaan objek yang halus (Gambar 1b). Permukaan objek tersebut akan menjadi seperti cermin, sehingga membuat pantulan sempurna dengan sudut datang sama besar dengan sudut pantul. Arah gelombang pantulan akan menjauhi sensor sehingga tenaga
6
gelombang yang diterima sensor sangat sedikit. Objek-objek yang memantul secara sempurna antara lain permukaan air dan permukaan tanah yang diperkeras (Lillesand & Kiefer 1990), sedangkan pantulan sudut dihasilkan dari permukaan halus yang bersudut siku-siku (Gambar 1c). Permukaan bumi yang dikenai pancaran radar akan memberikan pancar balik (backscatter) yang antara lain bergantung pada sudut dari objek dengan arah pancarnya, atau biasa disebut sudut pandang lokal (local incident angle). Sudut ini bergantung pada slope bentang alam yang ada dalam wilayah yang sedang diindera, sehingga besaran sudut ini akan menentukan besaran kecerahan (tone) dari pikselnya. Faktor-faktor yang mempengaruhi besaran backscatter SAR dapat dikelompokan kedalam dua kelompok besar, yaitu sistem sensor dan target objeknya. Dari sistem sensor terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi besaran backscatter SAR (Fakultas Kehutanan IPB 2011), yaitu: 1. Panjang gelombang microwave yang digunakan (band X, C, S, L dan P) 2. Polarisasi (HH, HV, VV, VH) 3. Sudut pandang dan orientasi 4. Resolusinya Faktor yang mempengaruhi besaran backscatter SAR dari sistem target adalah : 1. Kekasaran, ukuran dan orientasi objek termasuk didalamnya biomassa 2. Konstanta dielektrik (antara lain dapat berupa kelembaban atau kandungan air) 3. Sudut kemiringan atau slope dan orientasinya (sudut pandang lokal, local incident angle). 2.3
ALOS PALSAR ALOS (Tabel 1) merupakan satelit Jepang yang menjadi pengembangan
satelit sebelumnya yaitu JERS (Japanesse Earth Resources Sattelite). Satelit ALOS (Advanced Land Observing Sattelite) diluncurkan pada 24 Januari 2006 menggunakan roket H-II dan didesain untuk dapat beroperasi selama 3-5 tahun. Satelit ALOS ini membawa tiga jenis sensor, yaitu PALSAR (Phased Array Lband Synthetic Aperture Radar), PRISM (Panchromatic Remote-sensing Instrument for Stereo Mapping), dan AVNIR-2 (Advanced Visible and Near Infrared Radiometer type-2). PRISM dan AVNIR merupakan sensor optik,
7
sedangkan PALSAR merupakan sensor SAR. Untuk dapat bekerja dengan ketiga jenis sensor diatas, ALOS dilengkapi dengan dua teknologi yang lebih maju. Pertama, teknologi yang mampu mengerjakan data dalam kapasitas yang sangat besar dengan kecepatan tinggi, dan selanjutnya kapasitas untuk menentukan posisi satelit dengan ketinggian yang lebih tepat. Tabel 1 Keterangan umum ALOS Uraian Alat Peluncuran
Keterangan Roket H-IIA
Tempat Peluncuran
Pusat Ruang Angkasa Tanagashima
Berat Satelit
4000 Kg
Power Waktu Operasional
7000 W 3-5 Tahun
Orbit
Sun-Synchronous Sub-Recurr Orbit
Recurrent Period
46 Hari Sub Cycle 2 hari
Tinggi Lintasan
692 km diatas Ekuator
Inklinasi
98,2°
Sumber: JAXA 2006
PALSAR merupakan sensor gelombang mikro aktif menggunakan frekuensi L-band. Sensor ini memberikan kinerja yang lebih tinggi daripada sensor SAR (Synthetic Apertur Radar) pada satelit JERS-1. Mode PALSAR ScanSAR memiliki memiliki tambahan untuk resolusi tinggi konvensionil sehingga memungkinkan untuk melakukan pengamatan permukaan bumi dengan cakupan area yang cukup luas yaitu 250 sampai 350 km yang lebih luas 3 sampai 5 kali dari ukuran citra SAR konvensionil. ScanSAR mode dapat menghasilkan cakupan citra seluas 350 km dengan polarisasi tunggal secara horisontal (HH) maupun vertikal (HV). JICA dan Fakultas Kehutanan IPB (2010) menjelaskan bahwa dalam PALSAR resolusi tinggi dapat diperoleh dengan berbagai cara: a. Resolusi ke arah range dapat ditingkatkan dengan sistem beam yang lebih lebar dan pengulangan waktu yang lebih pendek. b. Resolusi ke arah azimuth dapat ditingkatkan dengan beam yang lebih sempit dan pengulangan waktu yang lebih panjang. c. Resolusi sebesar 10 m ke arah range dan 6, ke arah azimuth dapat diperoleh dengan PALSAR.
8
d. Secara umum, target merupakan objek yang dihasilkan dari sejumlah scatter dan menyebabkan speckle. e. Sinyal yang diterima merupakan jarak antara target dengan radar. Prinsip geometri PALSAR dan karakteristik utama PALSAR disajikan pada Gambar 2 dan Tabel 2.
Gambar 2 Prinsip geometri PALSAR. Tabel 2 Karakteristik utama PALSAR Mode Frekuensi Lebar Kanal Polarisasi Resolusi Spasial Lebar Cakupan Incidence Angle NE Sigma 0 Panjang bit Ukuran Antena
Fine mode
ScanSAR mode
Polarimetry
1270 Mhz (L-Band) 24/14 MHz HH/VV/HH+HV atau VV+VH HH atau VV 10 m (2 look)/20 m (4look) 100 m (multi look) 70 km 250 – 350 km 8 – 60 derajat 14 – 43 derajat < - 23dB (70 km) <- 25 dB <- 25 dB (60 km) 3 bit / 5 bit 5 bit AZ: 8,9 m × EL: 2,9 m
HH+HV+VH+VV 30 m 30 km 8 – 30 derajat <- 29 dB 3 bit / 5 bit
Sumber: JAXA 2006
2.4
Penggunaan Citra ALOS PALSAR untuk identifikasi Tutupan Lahan Penelitian mengenai identifikasi tutupan lahan menggunakan citra ALOS
PALSAR telah dilakukan sebelumnya sejak diluncukan pada tahun 2007. Riswanto (2009) menggunakan citra komposit HH-HV-HH resolusi 200 m di Pulau Kalimantan mampu mengidentifikasi obyek ke dalam 4 kelas tutupan lahan
9
yaitu: badan air, vegetasi jarang, vegetasi sedang dan vegetasi rapat. Penelitian Bainnaura (2010) melakukan penelitian dengan menggunakan citra komposit HHHV-HH/HV resolusi 50 m di Kabupaten Bogor dan Sukabumi mampu mengidentifikasi adanya 12 kelas tutupan lahan, yaitu: badan air, bandara, hutan lahan kering, kebun campuran, perkebunan karet, perkebunan kelapa sawit, perkebunan teh, pertanian lahan kering, perumahan, sawah, semak belukar dan tanah terbuka. Penelitian Puminda (2010) di Yogyakarta dan Jawa Tengah dengan menggunakan
citra
komposit
yang
sama
(HH-HV-HH/HV)
mampu
mengklasifikasikan obyek dalam 8 (delapan) kelas, yaitu badan air, hutan tanaman pinus, kebun campuran, pertanian lahan kering, hutan tanaman jati, lahan terbangun, sawah dan kebun kelapa. Selanjutnya Maharani (2011) menggunakan citra komposit HH-HV-HH/HV resolusi 50 m di Kabupaten Tuban, Blora, Rembang dan Bojonegoro mampu mengidentifikasi adanya 7 kelas tutupan lahan (permukiman, sawah, kebun campuran, pertanian lahan kering, lahan terbuka, badan air, dan hutan tanaman jati). Salman (2011) berhasil mengklasifikasikan 11 kelas tutupan lahan yang dilakukan di Provinsi Bali dengan citra, komposit dan resolusi yang sama. Kesebelas tutupan lahan tersebut, yaitu badan air, bandara, hutan lahan kering, hutan mangrove, kebun campuran, lahan terbuka, padang rumput, permukiman, pertanian lahan kering, sawah, tambak. 2.5
Perubahan Tutupan Lahan Penutupan lahan merupakan istilah
yang berkaitan dengan jenis
kenampakan yang ada di permukaan bumi (Lillesand & Kiefer 1990). Burley (1961) diacu dalam Lo (1995) menyebutkan bahwa penutupan lahan menggambarkan konstruksi vegetasi dan buatan yang menutup permukaan lahan. Konstruksi tersebut seluruhnya tampak secara langsung dari citra penginderaan jauh. Secara umum ada tiga kelas data yang mencakup penutupan lahan, yaitu: Struktur fisik yang dibangun oleh manusia, fenomena biotik seperti vegetasi alami, tanaman pertanian dan kehidupan binatang dan tipe pembangunan. Perubahan penutupan lahan merupakan keadaan suatu lahan yang karena manusia mengalami kondisi yang berubah pada waktu yang berbeda (Lillesand & Kiefer 1990). Lo (1995) menyatakan bahwa deteksi perubahan lahan mencakup
10
penggunaan fotografi udara berurutan di wilayah tertentu dan dari data tersebut penggunaan lahan untuk setiap waktu dapat dipetakan dan dibandingkan. Cambell (1983) diacu dalam Lo (1995) juga menyatakan bahwa peta perubahan penggunaan lahan dua periode waktu biasanya dapat dihasilkan.