BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Persimpangan Persimpangan merupakan bagian yang tidak terpisah dari semua sistem jalan. Persimpangan jalan dapat didefinisikan sebagai daerah umum di mana dua jalan atau lebih bergabung atau bersimpangan, termasuk jalan dan fasilitas tepi jalan untuk pergerakan lalu lintas di dalamnya. (AASHTO, 2001, C. Jotin Khisty, B. Kent Lall, 2005). Secara umum terdapat tiga jenis persimpangan, yaitu: (1) persimpangan sebidang, (2) pembagian jalur jalan tanpa ramp, dan (3) interchange (simpang susun). Persimpangan sebidang (intersection at grade) adalah persimpangan di mana dua jalan raya atau lebih bergabung, dengan tiap jalan raya mengarah keluar dari sebuah persimpangan dan membentuk bagian darinya. Jalan – jalan ini disebut kaki persimpangan. Tujuan dari pembuatan persimpangan adalah mengurangi potensi konflik di antara kendaraan (termasuk pejalan kaki) dan sekaligus menyediakan kenyamanan maksimum dan kemudahan pergerakan bagi kendaraan. Berikut ini adalah empat elemen dasar yang umumnya dipertimbangkan dalam merancang persimpangan sebidang : 1. Faktor manusia, seperti kebiasaan mengemudi, dan waktu pengambilan keputusan dan waktu reaksi 2. Pertimbangan lalu-lintas, seperti kapasitas dan pergerakan membelok, kecepatan kendaraan, dan ukuran serta penyebaran kendaraan 3. Elemen-elemen fisik, seperti karakteristik dan penggunaan dua fasilitas yang saling berdampingan, jarak pandang dan fitur-fitur geometris 4. Faktor ekonomi, seperti biaya dan manfaat, dan konsumsi energi. Peralatan pengendalian lalu-lintas meliputi rambu, penghalang yang dapat dipindahkan, dan lampu lalu-lintas. Seluruh alat tersebut dapat digunakan secara terpisah atau digabungkan bila perlu. Kesemuanya adalah sarana utama
5
pengaturan, peringatan, atau pemandu lalu-lintas, diseluruh jalan. Alat pengendalian lalu-lintas berfungsi menjamin keamanan dan keefisienan persimpangan
dengan
cara
memisahkan
aliran
kendaraan
yang
saling
bersinggungan pada waktu yang tepat. Dengan kata lain, hal prioritas untuk melalui suatu persimpangan, selama periode waktu tertentu, diberikan hanya kepada satu atau beberapa aliran lalu-lintas saja. Sebagai contoh, rambu peringatan atau berhenti memberikan prioritas jalan kepada aliran lalu-lintas saja. Rambu berhenti empat-arah secara kasar memberikan prioritas jalan pada aliran yang tiba lebih dulu di persimpangan dengan menggunakan lampu lalu-lintas. (C. Jotin Khisty, B. Kent Lall, 2005) Terdapat
enam
cara
utama
untuk
mengendalikan
lalu-lintas
di
persimpangan, tergantung pada jenis persimpangan dan volume lalu-lintas pada tiap aliran kendaraan. Berdasarkan urutan tingkat pengendalian, dari kecil ke tinggi, di persimpangan, keenamnya adalah : tanpa kendali, kanalisasi, rambu pengendali kecepatan atau rambu berhenti, bundaran, dan lampu lalu-lintas. MUTCD (FHWA, 1985) memberikan petunjuk mengenai penggunaan jenis pengendali persimpangan.
2.2 Arus Lalu Lintas Ada beberapa cara dipakai oleh para ahli lalu lintas untuk mendefinisikan arus lalu lintas, tetapi ukuran dasar yang sering digunakan adalah konsentrasi aliran dan kecepatan. Aliran dan volume sering dianggap sama, meskipun istilah aliran lebih tepat untuk menyatakan arus lalu lintas dan mengandung pengertian jumlah kendaraan yang terdapat dalam ruang yang diukur dalam suatu interval waktu tertentu, tetapi konsentrasi ini kadang-kadang menunjukkan kerapatan (kerapatan). Kecepatan ditentukan dari jarak tempuh kendaraan pada suatu waktu tertentu (kecepatan waktu rata-rata) atau kecepatan distribusi ruang (kecepatan ruang rata-rata). Ada tiga karakteristik primer dalam teori arus lalu lintas yang saling terkait, secara makroskopik dikenal dengan : volume (flow) , kecepatan (speed),
6
kerapatan (density), yaitu ketiga variabel menggambarkan kualitas tingkat pelayanan yang dialami oleh pengemudi kendaraan. (Martin and Brian, 1967). -
Volume Volume adalah jumlah kendaraan yang melalui satu titik yang tatap pada jalan dalam satuan waktu. Volume biasanya dihitung dalam kendaraan/hari atau kendaraan/jam. Volume dapat juga dinyatakan dalam priode waktu yang lain
q=
1 h
.
dimana :
.
.
.
.
.
.
2.1
q = arus lalu lintas h = waktu antara (time headway)
-
Kecepatan Kecepatan adalah perubahan jarak dibagi dengan waktu. Kecepatan dapat diukur sebagai kecepatan titik, kecepatan perjalanan, kecepatan ruang dan kecepatan gerak. Kelambatan merupakan waktu yang hilang pada saat kendaraan berhenti, atau tidak dapat berjalan sesuai dengan kecepatan yang diinginkan kerena adanya sistem pengendali atau kemacetan lalu lintas. V =
dx . dt
dimana :
.
.
.
.
.
.
.
2.2
V = kecepatan dx = jarak yang ditempuh dt = waktu yang diperlukan untuk menempuh dx
-
Kerapatan Kerapatan adalah rata-rata jumlah kendaraan per satuan panjang jalan. k=
n l
1 atau k = . . s
dimana :
.
.
.
.
k = kerapatan lalu lintas (kend/km) n = jumlah kendaraan pada lintasan 1 (kend) l = panjang lintasan (km) s = jarak antara (space headway)
7
.
2.3
Volume adalah perkalian antara kecepatan dengan kerapatan q = vk .
.
.
.
.
.
.
.
2.4
Dengan menggunakan hubungan tersebut diatas maka : q = v/s dan s = v.h -
Headway Headway dari dua kendaraan didefinisikan sebagai interval waktu antara saat bagian depan kendaraan melalui suatu titik dengan saat dimana bagian depan kendaraan berikutnya melalui titik yang sama. Waktu headway untuk beberapa pasang kendaraan pada suatu lokasi akan berbeda-beda sehingga akan menimbulkan suatu konsep headway ratarata. Headway rata-rata ialah interval waktu rata-rata antara sepasang kendaraan berurutan dan diukur pada suatu periode waktu di lokasi tertentu. ht = 1 / q
.
.
.
.
.
dengan :
ht = Headway waktu rata-rata (detik)
.
.
2.5
q = Volume lalu lintas yang melalui titik persatuan waktu (kend/detik) Konsep headway lainya yang sering digunakan ialah jarak headway, yaitu jarak antara begian depan kendaraan dan bagian depan suatu kendaraan berikutnya pada suatu waktu tertentu. Headway jarak rata-rata dipergunakan pada situasi dimana terdapat nilai yang berbeda untuk pasangan kendaraan dalam arus lalu lintas. hd = 1 / K
.
.
.
.
.
dengan :
hd = headway jarak rata-rata (km)
.
.
2.6
K = kerapatan kendaraan pada jalan yang pangjangnya L pada suatu saat di dalam waktu tertentu. 2.2.1 Jenis Fasilitas Fasilitas lalu lintas terbagi dalam dua katagori utama, yaitu fasilitas arus tak terganggu dan fasilitas arus terganggu. Katagori ini didasarkan pada interaksi antar elemen arus lalu lintas yang mengatur perilaku umum dari arus di sepanjang fasilitas tersebut. (Titi Liliani Soedirdjo, 2002)
8
- Fasilitas arus tak terganggu Fasilitas arus tak terganggu tidak ada faktor luar yang menyebabkan gangguan secara periodik terhadap arus lalu lintas. Arus yang demikian terdapat di jalan bebas hambatan dan fasilitas lain yang aksesnya dibatasi, dimana tidak ada sinyal lalu lintas, rambu STOP atau YIELD, atau persimpangan sebidang yang mengganggu arus. Pada fasilitas arus tak terganggu, arus lalu lintas merupakan hasil interaksi antar kendaraan secara individu dan dengan geometrik dan lingkungan jalan. Pola arus sepanjang fasilitas hanya diatur oleh karakteristik tata guna lahan yang membangkitkan perjalanan kendaraan di fasilitas tersebut. Meskipun terjadi kemacetan, hal ini merupakan interaksi antar kendaraan dalam arus dan tidak ada penyebab dari luar. Meskipun pengemudi mengalami kemacetan, fasilitas tetap dikatagorikan sebagai arus tak terganggu. - Fasilitas arus terganggu Fasilitas arus terganggu, merupakan fasilitas yang mempunyai pengatur luar dimana secara periodik menggangu arus. Pengaturan utama secara periodik menghentikan arus adalah sinyal lalu lintas. Pengatur lain, seperti rambu STOP dan rambu YIELD dan juga persimpangan tanpa pengatur, juga mengganggu arus. Pada fasilitas arus terganggu, arus tidak saja terganggu pada interaksi antar kendaraan dan lingkungan jalan tetapi juga pengaturan sinyal. Sebagai contoh, sinyal lalu lintas memungkinkan pergerakan tertentu bergerak hanya sebagian waktu. Karena gangguan periodik terhadap arus pada suatu fasilitas, arus yang terjadi berbentuk ”peleton”. Peleton adalah sekelompok kendaraan bergerak disepanjang fasilitas secara bersama, dengan jarak antara (gap) yang cukup dengan kelompok berikutnya. Pada fasilitas sinyal lalu lintas, peleton ini terbentuk oleh pola dari fase hijau di perimpangan yang berurutan.
9
2.3 Pengaturan Simpang Tak Bersinyal Menurut Hobbs (1995), Pengaturan simpang tak bersinyal
dapat
dilakukan dengan beberapa cara seperti dengan penerapan konsep besarnya gap dan headway yang bisa diterima oleh pengemudi (gap acceptance) dan besarnya gap kritis yang masih memungkinkan pengemudi keluar simpang dengan selamat untuk keluar dari simpang atau dapat juga dengan penerapan sistem bundaran bila konflik utama akibat jumlah kendaraan belok kanan cukup tinggi. Pengaturan pergerakan dalam pengaturan simpang tak berlampu dikenal beberapa cara : a. Pada konsep yang dikembangkan oleh MKJI 1997, pengaturan dilakukan secara lebih komprehensif di mana kinerja yang dihasilkan sebagai acuan penentuan kontrol dan prosedur pergerakan yang akan ditetapkan, dengan melihat besarnya parameter tundaan, kapasitas, peluang antrian, dan kondisi geometrik yang ada pada simpang yang ditinjau. b. Pengaturan simpang tak berlampu dengan sistem TWSC (two-way stop control), seperti dalam USHCM 2000, dimana pada lengan simpang yang secara hierarki jalan lebih rendah ditempatkan pengaturan pergerakan seperti “STOP” atau dengan “GIVE WAY”. c. Pengaturan simpang dengan prioritas pergerakan, di mana pergerakan kendaraan yang diprioritaskan adalah pergerakan kendaraan yang berada pada lengan jalan yang secara hierarki jalan lebih utama. d. Perbedaan kesempatan bergerak pada setiap lengan dari simpang tak berlampu juga dilihat atau didasarkan atas perbedaan jumlah lalu lintas kendaraan yang bergerak, atau lebar geometri dari setiap lengan simpang. - Manual Kapasitas Jalan Indonesia (MKJI) Ukuran-ukuran kinerja dari simpang tak bersinyal untuk kondisi tertentu sehubungan dengan geometrik, lingkungan dan lalu lintas adalah : a. Kapasitas yaitu arus lalu lintas maksimum yang dapat dipertahankan pada suatu bagian jalan dalam kondisi tertentu (kendaraan/jam atau smp/jam).
10
Kapasitas harian sebaiknya tidak digunakan karena akan bervariasi sesuai dengan faktor k. b. Derajat kejenuhan yaitu rasio arus lalu lintas terhadap kapasitas. c. Tundaan yaitu waktu tempuh tambahan yang diperlukan untuk melewati suatu simpang dibandingkan tanpa melewati suatu simpang. Metoda MKJI ini menganggap bahwa simpang jalan berpotongan tegak lurus dan terletak pada alinyemen dan berlaku untuk derajat kejenuhan kurang dari 0.8 – 0.9. Pada kebutuhan lalu lintas yang lebih tinggi perilaku lalu lintas menjadi agresif dan ada resiko tinggi bahwa simpang tersebut akan terhalang oleh para pengemudi yang berebut ruang terbatas pada daerah konflik. Metoda ini memperkirakan pengaruh terhadap kapasitas dan ukuranukuran terkait lainnya akibat kondisi geometrik, lingkungan dan kebutuhan lalu lintas. - Kapasitas Kapasitas total untuk seluruh lengan simpang adalah hasil perkalian antara kapasitas dasar (Co) yaitu kapasitas pada kondisi tertentu atau ideal dan faktorfaktor penyesuaian (F), dengan memperhitungkan pengaruh kondisi lapangan terhadap kapasitas. Maka dari itu bentuk model kapasitas menjadi sebagai berikut : . . 2.7 C = CO x FW x FM x FCSs x FRSU x FFLT x FFRT x FFMI Variabel-variabel masukan untuk perkiraan kapasitas (smp/jam) dengan menggunakan model pada Tabel 2.1. Tebel 2.1 Ringkasan Variabel-Variabel Masukan Model Kapasitas Tipe Variabel Uraian Variabel dan Nama Masukan Geometrik Lingkungan Lalu lintas
Tipe simpang Lebar rata-rata pendekat Tipe median jalan utama Kelas ukuran kota Tipe lingkungan jalan Hambatan samping Rasio kendaraan tak bermotor Rasio belok-kiri Rasio belok-kanan Rasio arus jalan minor
11
IT WI M CS RE SF PUM PLT PRT QMI/QTOT
Faktor Model FW FM FCS FRSU FLT FRT FMI
- Derajat Kejenuhan Derajat kejenuhan untuk seluruh simpang, DS, dihitung sebagai berikut : DS = QSMP / C .
.
.
.
.
.
.
.
2.8
dimana : QSMP = arus total sesungguhnya (smp/jam) dihitung sebagai berikut: QSMP = Q Kendaraan x FSMP FSMP = faktor smp, dihitung sebagai berikut: FSMP = (empLV x LV% + empHV x HV% + empMC x MC%)100 dimana empLV, LV%, empHV, HV%, empMC, MC% adalah emp dan komposisi lalu lintas untuk kendaraan ringan, berat, dan sepeda motor, C = kapasitas (smp/jam)
- Tundaan Tundaan pada simpang dapat terjadi karena dua sebab : 1. Tundaan lalu lintas (DT) akibat interaksi lalu lintas dengan gerakan yang lain dalam simpang. 2. Tundaaan geometrik (DG) akibat perlambatan dan percepatan kendaraan yang terganggu dan tak terganggu. Tundaan lalu lintas seluruh simpang (DT), jalan minor (DTMI) dan jalan utama (DTMA), ditentukan dari kurva tundaan empiris dengan derajat kejenuhan sebagai variabel bebas Tundaan geometrik (DG) dihitung dengan rumus : Untuk DS<1,0 : DG = (1-DS)x(PTx6 + (1-PT) x3 + DS x 4 (det/smp) .
.
.
2.9
Untuk DS≥1.0; DG=4 dimana : DS = Derajat kejenuhan PT = Rasio arus belok terhadap arus total 6 = Tundaan geometrik normal untuk kendaraan belok yang tak terganggu (det/smp) 4 = Tundaan geometrik normal untuk kendaraan yang terganggu (det/smp)
12
Tundaan lalu lintas simpang dalam manual adalah berdasarkan anggapananggapan sebagai berikut : -
Kecepatan referensi 40 km/jam
-
Kecepatan belok kendaraan tak terhenti 10 km/jam
-
Tingkat percepatan dan perlambatan 1,5 m/det2
-
Kendaraan terhenti mengurangi kecepatan untuk menghindari tundaan perlambatan, sehingga hanya menimbulkan tundaan percepatan.
Tundaan meningkat secara berarti dengan arus total, sesuai dengan arus jalan utama dan jalan minor dengan derajat kejenuhan. Karena itu kapasitas ditentukan sebagai arus total simpang dimana tundaan lalu lintas rata-rata lebih 15 detik/smp, yang dipilih pada tingkat dengan probabilitas berarti untuk titik belok berdasarkan hasil pengukuran lapangan.
- Pemilihan Tipe Simpang Pada umumnya simpang tak bersinyal dengan pengaturan hak jalan (prioritas dari sebelah kiri) digunakan di daerah permukiman perkotaan dan daerah pedalaman untuk persimpangan antara jalan lokal dengan arus lalu lintas rendah. Untuk persimpangan dengan kelas dan/atau fungsi jalan yang berbeda, lalu lintas pada jalan minor harus diatur dengan tanda ”yield” atau ”stop”. Simpang tak bersinyal paling efektif apabila ukurannya kecil dan daerah konflik lalu lintasnya ditentukan dengan baik. Karena itu simpang ini sangat sesuai untuk persimpangan anrara jalan dua lajur tak terbagi. Untuk persimpangan antara jalan yang lebih besar, misalnya antara dua jalan empat lajur, penutupan daerah konflik dapat terjadi dengan mudah sehingga menyebabkan gerakan lalu lintas terganggu sementara. Bahkan jika perilaku lalu lintas simpang tak bersinyal dalam tundaan rata-rata selama periode waktu yang lebih lama lebih rendah dari tipe simpang lain, simpang ini masih lebih disukai karena kapasias tertentu dapat dipertahankan meskipun pada keadaan lalu lintas puncak. Perubahan dari simpang tak bersinyal menjadi simpang bersinyal dan bundaran dapat juga karena pertimbangan keselamatan lalu lintas untuk mengurangi kecelakaan lalu lintas akibat tabrakan antara kendaraan yang berlawanan arah. Hal ini mungkin terjadi jika kecepatan pendekat menuju
13
simpang tinggi, dan/atau jarak pandang untuk gerakan lalu lintas yang berpotongan tidak cukup akibat rumah, tanaman atau halangan lainnya dekat sudut persimpangan. Simpang bersinyal mungkin juga diperlukan untuk memudahkan melintasi jalan utama bagi lalu lintas jalan minor dan/atau pejalan kaki.
- Perencanaan Rinci Saran umum berikut dapat diberikan berkaitan dengan perencanaan rinci simpang tak bersinyal : 1. Sudut simpang sebaiknya mendekati 90 derajat, dan sudut yang lain dihindari untuk keselamatan lalu lintas. 2. Fasilitas sebaiknya disediakan agar gerakan belok kiri dapat dilewati dengan konflik minimum terhadap gerakan kendaraan yang lain. 3. Lajur belok terpisah sebaiknya direncanakan ”diluar” lajur utama lalu lintas, dan lajur belok sebaiknya cukup pajang untuk mencegah antrian pada arus lalu lintas tinggi yang dapat menghambat lajur menerus. Lajur tambahan akan memperlebar daerah persimpangan yang berdampak negatif terhadap keselamatan. 4. Pulau lalu lintas di tengah sebaiknya digunakan jika lebar lebih dari 10 m untuk memudahkan pejalan kaki menyeberang. Lajur belok kiri tambahan sebaiknya mempunyai pulau untuk pejalan kaki. 5. Lebar median di jalan utama sebaiknya paling sedikit 3-4 m untuk memudahkan kendaraan dari jalan minor melewati jalan utama dalam dua tahap, (meningkatkan kapasitas dan juga keselamatan). 6. Daerah konflik simpang sebaiknya kecil dengan lintasan yang jelas untuk gerakan yang konflik.
14
2.4 Pengaturan Simpang Dengan Sistem Sinyal Lalu Lintas
2.4.1 Manual Kapasitas Jalan Indonesia (MKJI) Pada umumya sinyal lalu lintas dipergunakan untuk satu atau lebih dari alasan berikut : -
untuk menghindari kemacetaan simpang akibat adanya arus lalu lintas, sehingga terjamin bahwa suatu kapasitas tertentu dapat dipertahankan, bahkan selama kondisi lalu lintas jam puncak
-
untuk memberi kesempatan kepada kendaraan dan/atau pejalan kaki dari jalan simpang (kecil) untuk/memotong jalan utama;
-
untuk mengurangi jumlah kecelakaan lalu lintas akibat tabrakan antara kendaraan-kendaraan dari arah yang bertentangan.
- Karakteristik Sinyal Lalu Lintas Untuk sebagian besar fasilitas jalan, kapasitas dan perilaku lalu lintas terutama adalah fungsi dari keadaan geometrik dan tundaan lalu lintas. Dengan menggunakan sinyal, dapat mendistribusikan kapasitas kepada berbagai pendekat melalui pengalokasian waktu hijau pada masing-masing pendekat. Penggunaan sinyal dengan lampu tiga warna (hijau, kuning, merah) diterapkan untuk memisah lintasan dari gerakan-gerakan lalu lintas yang saling bertentangan dalam dimensi waktu. Hal ini adalah keperluan yang mutlak bagi gerakan-gerakan lalu lintas yang datang dari jalan-jalan yang saling berpotongan (konflk-konflik utama). Sinyal-sinyal dapat juga digunakan untuk memisahkan gerakan membelok dari lalu lintas melawan, atau untuk memisahkan gerakan lalu lintas membelok dari pejalan kaki yang menyeberang (konflik-konflik kedua). Jika hanya konflik-konflik primer yang dipisahkan, maka untuk pengaturan sinyal lampu lalu lintas hanya dengan dua fase, masing-masing sebuah untuk jalan yang berpotongan. Penggunaan lebih dari dua fase biasanya akan menambah waktu siklus dan rasio waktu yang disediakan untuk pergantian antara fase (kecuali untuk tipe tertentu dari sinyal aktuasi kendaraan yang terkendali), pada umumnya berarti kapasitas keseluruhan dari simpang tersebut akan berkurang.
15
- Metodologi Simpang Bersinyal Metodologi untuk analisa simpang bersinyal yang diuraikan di bawah ini, didasarkan pada prinsip-prinsip utama sebagai berikut : a. Geometrik Satu lengan simpang dapat terdiri lebih dari satu pendekat, yaitu dipisahkan menjadi dua atau lebih sub pendekat. Hal ini terjadi jika gerakan belok kanan dan/atau belok kiri mendapat sinyal hijau pada fase yang berlainan dengan lalu lintas yang lurus, atau jika dipisahkan secara dalam pendekat. Untuk masing-masing pendekat atau sub pendekat lebar efektif (We) ditetapkan dengan mempertimbangkan denah dari bagian masuk dan ke luar suatu simpang dan distribusi dari gerakan-gerakan membelok. b. Arus Lalu lintas Perhitungan dilakukan per satuan jam untuk satu atau lebih periode, misalnya didasarkan pada kondisi arus lalu lintas rencana jam puncak pagi, siang dan sore. Arus lalu lintas (Q) untuk setiap pendekat (belok kiri QLT, lurus QST dan belok kanan QRT) dikonversi dari kendaraan per jam menjadi satuan mobil penumpang (smp) per jam dengan menggunakan ekivalensi kendaraan penumpang (emp) untuk masing-masing perndekat terlindung dan terlawan. c. Model Dasar Kapasitas pendekat simpang bersinyal dapat dinyatakan sebagai berikut : C = S x g/c
.
.
.
.
.
.
.
2.10
di mana : C = Kapasitas (smp/jam) S = Arus Jenuh, yaitu arus berangkat rata-rata dari antrian dalam pendekat Selama sinyal hijau (smp/jam hijau = smp per jam hijau) g = Waktu hijau (det) c = Waktu siklus, yaitu selang waktu untuk urutan perubahan sinyal yang lengkap (yaitu antara dua awal hijau yang berurutan pada fase yang sama)
16
Arus jenuh (S) dapat dinyatakan sebagai hasil perkalian dari arus jenuh dasar (So) yaitu arus jenuh pada keadaan standar, dengan faktor penyesuaian (F) untuk penyimpangan dari kondisi sebenarnya, dari suatu kumpulan kondisi-kondisi (ideal) yang telah ditetapkan sebelumnya. S = So x F1 x F2 x F3 x F4 x …x Fn
.
.
.
.
.
2.11
Untuk pendekat terlindung arus jenuh dasar ditentukan sebagai fungsi dari leher efektif pendekat (We) : So = 600 x We .
.
.
.
.
.
.
.
2.12
Penyesuaian kemudian dilakukan untuk kondisi-kondisi berikut ini : - Ukuran kota
CS, jutaan penduduk
- Hambatan samping SF, kelas hambatan samping dari lingkungan jalan dan kendaraan tak bermotor - Kelandaian
G, % naik (+), atau turun (-)
- Parkir
P, jarak garis henti – kendaraan parkir pertama
- Gerak membelok
RT, % belok kanan LT, % belok kiri
d. Penentuan Waktu Sinyal Penentuan waktu sinyal untuk keadaan dengan kendali waktu tetap dilakukan berdasarkan metoda Webster (1966) untuk meminimumkan tundaan total pada suatu simpang. Pertama-tama ditentukan waktu siklus (c), selanjutnya waktu hijau (gi) pada masing-masing fase (i). Waktu Siklus c = (1.5 x LTI + 5) / (1 - ∑FRcrit)
.
.
.
.
2.13
di mana : c
= Waktu siklus sinyal (detik)
LTI
= Jumlah waktu hilang per siklus (detik)
FR
= Arus dibagi dengan arus jenuh (Q/S)
FRcrit = Nilai FR tertinggi dari semua pendekat yang berangkat pada suatu fase sinyal E(FRcrir)= Rasio arus simpang = jumlah FRcrit dari semua fase pada siklus Tersebut.
17
Jika waktu siklus tersebut lebih kecil dari nilai ini maka ada rasiko serius akan terjadinya lewat jenuh pada simpang tersebut. Waktu siklus yang terlalu panjang akan menyebabkan meningkatnya tundaan rata-rata. Jika nilai E(FRcrit) mendekati atau lebih dari 1 maka simpang tersebut adalah lewat jenuh dan rumus tersebut akan menghasilkan nilai waktu siklus yang sangat tinggi atau negatif. Waktu Hijau gi = (c – LTI) x FRcrit, / L(FRcrit)
.
.
.
.
2.14
di mana : gi = Tampilan waktu hijau pada fase i (detik) Kinerja suatu simpang bersinyal pada umumya lebih peka terhadap kesalahan-kesalahan dalam pembagian waktu hijau daripada terhadap terlalu panjang waktu siklus. Penyimpangan kecilpun dari rasio hijau (g/c) yang ditentukan dari rumus 2.13 dan 2.14 di atas menghasilkan bertambah tingginya tundaan rata-rata pada simpang tersebut. e. Kapasitas dan derajat kejenuan Kapasitas pendekat diperoleh dengan perkalian arus jenuh dengan rasio hijau (g/c) pada masing-masing pendekat lihat rumus 2.10 di atas. Derajat kejenuhan diperoleh sebagai : DS = Q/C = (Qxc) / (Sxg)
.
.
.
.
.
2.15
f. Perilaku Lalu Lintas Berbagai ukuran perilaku lalu lintas dapat ditentukan berdasarkan pada arus lalu lintas (Q), derajat kejenuhan (DS) dan waktu sinyal (c dan g). Panjang Antrian Jumlah rata-rata antrian smp pada awal sinyal hijau (NQ) dihitung sebagai jumlah smp yang tersisa dari fase sebelumnya (NQ1) ditambah jumlah smp yang datang selama fase merah (NQ2) NQ = NQ1 + NQ2
.
.
.
.
.
.
2.16
Panjang antrian (QL) diperoleh dari perkalian (NQ) dengan luas rata-rata yang dipergunakan per smp (20m2) dan pembagian dengan lebar masuk. QL =NQMAX x W20 MASUK
.
.
Angka Henti
18
.
.
.
2.17
Angka henti (NS), yaitu jumlah berhenti rata-rata per kendaraan (termasuk berhenti terulang dalam antrian) sebelum melewati suatu simpang, dihitung sebagai : NS = 0.9 x (NQ/Q x c) x 3600
.
.
.
.
2.18
dimana c adalah waktu siklus (det) dan Q arus lalu lintas (smp/jam) dari pendekat yang ditinjau Rasio Kendaraan Terhenti Rasio kendaraan terhenti PSV, yaitu rasio kendaraan yang harus berhenti akibat sinyal merah sebelum melewati suatu simpang, i dihitung sebagai: PSV = min (NS,1)
.
.
.
.
.
.
2.19
Dimana NS adalah angka henti dan suatu pendekat Tundaan Tundaan pada suatu simpang dapat terjadi karena dua hal: 1. Tundaan lalu lintas (DT) karena interaksi lalu lintas dengan gerakan lainnya pada suatu simpang. 2. Tundaan geometrik (DG) karena perlambatan dan percepatan saat membelok pada suatu simpang dan /atau terhenti karena lampu merah. Tundaan rata-rata untuk suatu pendekat j dihitung sebagai: Dj = DTj + DGj
.
.
.
.
.
.
2.20
dimana : Dj
= Tundaan rata-rata untuk pendekat j (det/smp)
DTj
= Tundaan lalu lintas rata-rata untuk pendekat j (det/smp)
DGj
= Tundaan geometrik rata-rata untuk pendekat j (det/smp)
Tundaan lalu lintas rata-rata pada suatu pendekat j dapat ditentukan dari rumus berikut (didasarkan pada Akcelik 1988) : 0.5 x (1 – GR)2 NQ1 x 3600 DT = c x + (1 – GR x DS) C
.
19
.
.
.
2.21
dimana : DTj
= Tundaan lalu lintas rata-rata pada pendekat j (det/smp)
GR
= Rasio hijau (g/c)
DS
= Derajat kejenuhan
C
= Kapasitas (smp/jam)
NQ1
= Jumlah smp yang tertinggal dari fase hijau
Tundaan Geometrik rata-rata pada suatu pendekat j dapat diperkirakan sebagai berikut : DGj = (1-psv) x PT x 6 + (psv x 4)
.
.
.
.
.
2.22
Dimana : DGj
= Tundaan geometrik rata-rata pada pendekat j (det/smp
Psv
= Rasio kendaraan terhenti pada suatu pendekat
PT
= Rasio kendaraan membelok pada suatu pendekat
Nilai normal 6 detik untuk kendaran belok tidak berhenti dan 4 detik untuk yang berhenti didasarkan anggapan-anggapan : 1) kecepatan = 40 km/jam; 2) kecepatan belok tidak berhenti = 10 km/jam; 3) percepatan dan perlambatan = 1,5 m/det2; 4) kendaraan berhenti melambat untuk meminimumkan tundaan, sehingga menimbulkan hanya tundaan percepatan 2.4.2 SIDRA (Signalized Intersection Design and Research Aid) Pengoperasian sinyal lalu-lintas secara umum dapat dibedakan dalam dua katagori yaitu sistem sinyal fixed time dan traffic responsive. Pada sistem sinyal tetap sistem operasi menggunakan waktu siklus yang tetap, tetapi kita juga dapat melakukan beberapa rencana waktu siklus misalkan pembedaan waktu siklus untk jam sibuk dan jam tidak sibuk. Sistem responsive adalah sistem pengoperasian sinyal menggunakan waktu siklus yang disesuaikan dengan kondisi arus lalulintas di lapangan. Selain itu sinyal dapat dioperasikan secara individu/tunggal (isolated) maupun secara terkoordinasi, pada sistem tunggal pengaturan sinyal hanya berlaku pada satu simpang saja sedangkan pada sinyal koordinasi terdapat keterkaitan pengaturan sinyal lalu-lintas antar simpang satu dengan yang lainnya, waktu siklus yang digunakan adalah sama atau setengahnya.
20
- Sistem Sinyal Tunggal (isolated) R.Akcelik (1981) mengembangkan metode untuk menganalisis simpang bersinyal tunggal dengan menekankan pada pergerakan lalu-lintas yang sering dikenal dengan critical movement, artinya pengaturan sinyal lampu lalu-lintas didasarkan pada pergerakan kendaraan yang paling keritis. Konsep ini berbeda dengan motode Webster dimana pengaturan sinyal didasarkan pada jumlah fase yang paling sedikit dengan indikator tundaan minimum sehingga menghasilakan siklus optimum. Penelitian ini akan menggunakan metode Akcelik untuk menganalisis kinerja persimpangan yang memiliki lengan tujuh buah dengan bantuan program komputer SIDRA. - Pergerakan dan Fase Penyebab antrian pada persimpangan terdiri dari beberapa karakteristik seperti arah pergerakan, jalur yang digunakan dan jalur kanan, yang disebut dengan suatu pergerakan. Alokasi dari jalur kanan ke pergerakan individu di tentukan oleh sistim dari fase sinyal. Sistem fase dapat di tentukan oleh matrik fase pergerakan, yang mana nomor dari masing-masing pergerakan fase start dan stop, yang merupakan awal dan akhir dari fase - fase - Siklus Sinyal Suatu rangkaian dari fase sinyal disebut dengan siklus sinyal. Waktu akhir dari priode hijau dalam satu fase ke awal dari priode waktu hijau dalam phese birikutnya disebut dengan waktu intergreen (I), waktu intergreen terdiri dari kuning dan periode merah semua. Fase perubahan waktu (F) merupakan waktu akhir yang terjadi pada akhir dari priode hijau, dan priode intergreen merupakan bagian dari fase. Sehingga, start priode hijau waktu (F + I). Jika waktu hijau (G), lalu akhir priode hijau pada waktu (F+I+G). Ini merupakan waktu perubahan fase untuk fase berikutnya. Diagram siklus dapat dibuat dengan mesetting waktu perubahan fase pertama ke nol dan ditambah dengan (I + G) nilai dari fase pertama untuk menemukan waktu perubahan fase kedua, dan seterusnya. Jumlah dari seluruh fase intergreen dan waktu hijau adalah waktu siklus dengan persamaan : c = Σ (I + G) .
.
.
.
.
21
.
.
.
2.23
Ini merupakan waktu dimana akhir priode fase hijau; yang mana perubahan waktu fase pertama di dalam siklus sinyal berikutnya.
- Karakteristik Pergerakan Dasar dari karakteristik perjalanan seperti diperlihatkan pada Gambar 2.1 dengan hubungannya di dalam pengaturan fase sinyal. Yang penting pada Gambar 2.1 adalah pertukaran dua waktu fase (Fi , FK), dengan asumsi dasar yaitu, kedatangan kendaraan terjadi secara acak. Dasar dari karakteristik perjalanan dikenal dengan beberapa istilah seperti, “arus jenuh” (saturation flow), “waktu hijau efetif” (efective green time), “waktu yang hilang” (lost time).
- Arus jenuh dan waktu hijau efektif Sebuah studi tentang bergeraknya kendaraan melewati gari berhenti di sebuah persimpangan menunjukkan bahwa ketika lampu hijau mulai menyala, kendaraan membutuhkan waktu beberapa saat untuk mulai bergerak dan melakukan percepatan menuju kecepatan normal, tetapi setelah beberapa detik, antrian kendaraan mulai bergerak pada kecepatan yang relatif konstan, disebut dengan arus jenuh (s). Arus jenuh adalah arus yang akan diperoleh seandainya terdapat antrian kendaraan yang kontinu dan seandainya kendaraan diberi waktu hijau 100%. Arus jenuh biasanya dinyatakan dalam kendaraan per-jam waktu hijau. Dari Gambat 2.1 dapat dilihat bahwa tingkat arus rata-rata lebih rendah selama beberapa detik pertama (ketika kendaraan mempercepat menuju kecepatan normal) dan juga selama waktu kuning menyala (ketika beberapa kendaraan memutuskan untuk berhenti sementara lainya terus bergerak). Akan lebih mudah apabila kita mengganti periode hijau dan kuning dengan periode “hijau efektif”(g), selama arus diasumsikan terjadi pada tingkat kejenuhan, digabung dengan waktu yang “hilang” dimana selama periode ini arus diasumsikan jenuh. Waktu pada awal perjalanan hijau dan perjalanan pada periode hijau (ee`) dianggap sebagai start yang hilang (start loss). Waktu dari akhir perjalanan waktu hijau dan priode efektif hijau (ff`) dianggap sebagai akhir perjalanan (end gain), sehingga didapat rumusan untuk waktu efektif hijau adalah : g = G + ff` - ee`
.
.
.
.
22
.
.
.
2.24
Waktu hijau efektif, g
Kecepatan pelepasan antrian
Start lag, a Lengkung arus efektif
Arus jenuh, s
Kehilang an awal
Tambahan akhir, b = end gain
Antar hijau, I
Fase untuk Pergerakan Fase untuk Pergerakan konflik
Tampilan Waktu hijau, G
e
f Fk (akhir dari perubahan waktu fase)
Fi (awal dari perubahan waktu fase)
Kuning
Merah semua
Waktu
f’
e’
Gambar 2.1 Arus Jenuh
- Pergerakan waktu hilang Pergerakan waktu hilang (l) adalah, perbedaan antara waktu laju mulai dan akhir, atau selisih antara waktu hijau efektif dengan priode gabungan hijau dan kuning yang disebut dengan waktu yang hilang, dengan persamaan : l=a–b
.
.
.
.
.
.
.
.
2.25
Oleh karenan itu, waktu pergerakan hilang sama dengan waktu intergreen (l) ditambah start yang hilang dikurangi akhir perjalanan (l = l + ee’ – ff’). - Kapasitas dan Derajat Kejenuhan
1. Pertimbangan pergerakan Akcelik menyatakan, Kapasitas dari suatu pergerakan pada traffic sinyal terdiri dari jumlah maksimum dari kendaraan yang dapat melaju yaitu,
23
arus jenuh , s dan proporsi dari siklus waktu hijau efektif untuk pergerakan, g/c, dengan Rumus : Q = s (g / c)
.
.
.
.
.
.
.
.
2.26
Proporsi dari waktu hijau efektif untuk siklus waktu disebut dengan rasio waktu hijau untuk suatu pergerakan, dengan persamaan u=g/c
.
.
.
.
.
.
.
.
2.27
Parameter pergerakan dari rasio arus kedatangan, q untuk arus jenuh, disebut dengan rasio arus, dengan persamaan: y=q/s
.
.
.
.
.
.
.
.
2.28
Pergerakan dari derajat kejenuhan merupakan rasio dari arus kedatangan untuk kapasitas, Dari persamaan 2.26 – 2.28 dapat diturunkan menjadi : x = q / Q = qc / sg = y / u
.
.
.
.
.
.
2.29
Rasio arus merupakan parameter yang konstan yaitu sebagai ”demand”, dan rasio waktu hijau merupakan parameter yang dikontrol yang dinyatakan sebagai ”supply”, derajat kejenuhan merupakan rasio dari hubungan kedua paremeter tersebut. Untuk kapasitas pergerakan mempunyai persyaratan : Q > q atau x < 1
.
.
.
.
.
.
.
2.30
.
.
.
.
.
.
.
2.31
dan sg > qc atau u > y
Kapasitas pergerakan dapat meningkat (atau derajat kenejuhan menurun) dengan meningkatnya rasio waktu hijau untuk pergerakan.
2. Perimbangan Persimpangan Kondisi untuk kapasitas agar seluruh demand pergerakan terlayani seperti pada persamaan (2.30 atau 2.31) yang mencakupi dari pergerakan keseluruhan, merupakan kondisi kapasitas persimpangan, dengan persamaan (2.31) untuk pergerakan kritis, kondisi tersebut harus dipertahankan pada persimpangan . Σu > Σy
.
.
.
.
.
.
.
.
2.32
Parameter ini digambarkan pada rasio waktu hijau pada persimpangan. U = Σu
.
.
.
.
.
24
.
.
.
2.33
Dan rasio arus pada persimpangan Y = Σy
.
.
.
.
.
.
.
.
2.34
- Flow dan Saturation Flow dalam SIDRA Flow untuk setiap pergerakan diasumsikan dalam layer “Volume” dalam kendaraan/hour. SIDRA memberikan hanya 2 (dua) jenis kendaraan, ringat dan berat. Hal ini tidak sesuai dengan kondisi Indonesia di mana paling sedikit ada 4 (empat) jenis kendaraan, antara lain : 1. mobil penumpang; 2. bus/truk; 3. sepeda motor; 4. kendaraan tak bermotor. SIDRA secara otomatis mengkonversikan flow ke dalam “through car unit” (tcu’s) untuk tujuan analisa dengan menggunakan ekivalensi tcu pada Tebel 2.2. Tabel 2.2 Ekivalensi tcu dalam SIDRA KIRI
MENERUS
KANAN
Ringan Berat
Ringan Berat
Ringan
Berat
Normal
1.05
1.80
1.00
1.05
1.80
Restricted
1.25
2.25
1.25
2.25
1.65
Basic saturation flow dimasukkan pada layer “Intersection” dalam satuan tcu’s/hour/lane. Nilai ini akan digunakan untuk semua pergerakan kecuali diganti dengan layer “Lane”. Nilai yang digunakan di Australia umurnya adalah seperti pada Tabel 2.3. Tabel 2.3 Tabel Basic Saturation Flow dalam SIDRA EVIRONMENTAL CLASS
BASIC SATURATION FLOW pcu’s/hour/lane
1 2 3 4 5
1850 1700 1580 1440 2000
25
- Ukuran Kinerja Beberapa indikator kinerja yang menunjukkan efisiensi dari pengoperasian pengaturan sinyal pada persimpangan bersinyal dengan metode Akcelik antara lain tundaan (delay), jumlah berhenti (number of stop), panjang antrian (queue length), kapasitas dan derajat kejenuhan. 1. Antrian Arus Berlebih (Overflow Queue) Setiap formula yang diberikan di bawah ini untuk memperkirakan tundaan/delay, jumlah berhenti dan panjang antrian untuk pergerakan individu dapat dipertimbangkan seperti mempunyai sebuah komponen seragam dan kelebihan arus. Komponen seragam didasarkan pada asumsi kedatangan teratur/tetap (headway tetap), dan sebagian besar dinyatakan dalam hubungan dengan waktu merah. Komponen overflow dinyatakan secara eksplisit sebagai fungsi dari rata-rata antrian arus berlebih. Jika tingkat kedatangan arus adalah, dalam rata-rata, kurang dari kapasitas, terdapat beberapa siklus yang jenuh (oversaturated) karena fluktuasi acak pada tingkat kedatangan arus. Berikut ini adalah perkiraan rata-rata antrian arus berlebih (overflow queue) baik untuk kondisi tidak jenuh maupun jenuh pada pengaturan sinyal waktu tetap.
No =
QTf 4
dimana :
⎛ 12(x − x o ) ⎞ ⎜z + z2 + ⎟ untuk x > x 0 ⎜ ⎟ QT f ⎝ ⎠
.
.
.
2.35
No = antrian berlebih rata-rata dalam kendaraan (dimana terdiri dari beberapa lajur kendaraan, ini merupakan jumlah kendaraan total antrian dalam seluruh lajur) Q = kapasitas (yakni : Q = s(q/c)) kend/jam Tf = durasi arus, yakni interval waktu dalam jam QTf = pelepasan, yakni jumlah kendaraan maksimum yang Dapat dilepas selama interval Tf x = q/Q, derajat kejenuhan z = x -1 (catatan bahwa ini mempunyai nilai negatif untuk derajat kejenuhan < 1, kemudian z Q = (q – Q)
26
xo = 0.67 + sg/600
.
.
.
.
.
.
.
2.36
dimana sg adalah kapasitas dalam kendaraan per siklus : s = arus jenuh dalam kendaraan/detik g = waktu hijau efektif dalam detik 2. Jumlah Berhenti (Number of Stop) Rata-rata jumlah berhenti per kendaraan disebut sebagai tingkat berhenti (stop rate) yang dinotasikan dengan h. Tingkat berhenti untuk satu pergerakan pada pengaturan waktu tetap sinyal terisolasi dirumuskan sebagai berikut : ⎛1- u NO ⎞ ⎟⎟ . h = 0.9⎜⎜ + ⎝ 1 - y qc ⎠
.
.
.
.
.
.
2.37
Dimana u, y, qc, No adalah seperti pada persamaan (2.30) dan konstanta 0.9 adalah faktor pengurangan untuk kendaraan berhenti parsial (kendaraan yang tertunda tanpa harus benar-benar berhenti. Proporsi kendaraan terhenti dengan mengabaikan berapa waktu mereka terhenti (x < 1), sedangkan berhenti kelipatannya (multiple stop) dalam siklus lewat jenuh dengan menggunakan antrian arus berlebih sebagai parameter (x > 1). Pengaruh multiple stop menjadi signafikan untuk derajat kejenuhan (x) lebih besar dari 0.8. Jumlah benar-benar berhenti per unit waktu, H, yang terjadi pada pergerakan dengan tingkat arus q (kendaraan per unit waktu) dirumuskan sebagai : H = qh
.
dimana :
.
.
.
.
.
.
.
2.38
h = tingakat berhenti
4. Panjang Antrian (Queue Length) Panjang antrian merupakan jumlah kendaraan dalam antrian. Indikator ini merupakan salah satu ukuran kinerja dasar selain delay dan jumlah berhenti. Hal ini merupakan fakta penting untuk diperhartikan mengingat keterbatasan ruang antrian. Rata-rata jumlah kendaraan dalam antrian pada awal periode hijau di rumuskan sebagai :
27
N = qr + No
.
dimana :
.
.
.
.
.
.
.
2.39
N = rata-rata jumlah kendaraan antri dalam kendaraan (semua lajur) No = rata-rata antrian arus berlebih (pers (2.39)) qr = jumlah antrian dalam kendaraan yang didasarkan pada asumsi headway kedatangan seragam q = tingkat kedatangan arus dalam kendaraan/detik r = waktu merah efektif dalam detik (c-g)
Persamaan (2.39) di atas didasarkan pada model teoritis yang mengasumsikan bahwa kendaraan-kendaraan menyusul antrian ketika kendaraan tersebut mendekati stop line. Keterbatasan panjang antrian, kendaraan bergabung di belakang antrian yang lebih awal, dan karenanya panjang antrian diperkirakan terlalu pendek. Rumus di bawah ini dapat digunakan untuk memperkirakan antrian belakang (the back of the queue) :
Nb =
N 1 − ( j / v )q L
dimana :
.
.
.
.
.
.
.
2.40
Nb = antrian belakang dalam kendaraan N = antrian pada stop line dalam kendaraan qL = arus per lajur dalam kendaraan per detik (total pergerakan di bagi dengan jumlah lajur pada perkiraan awal) j = rata-rata ruang antri per kendaraan dalam meter v = kecepatan jelajah normal dalam meter/detik (karenanya, j/v = waktu untuk berjalan satu ruang kendaraan pada kecepatan jelajah) Nilai j/v dapat menggunakan 0,5 jika data lokal tidak tersedia Nilai Nb = 1.1 N dapat digunakan sebagai perkiraan awal.
28
Panjang antian pada awal priode hijau seperti persamaan (2.39) merepresentasikan antrian tak bergerak maksimum sepanjang rata-rata siklus sinyal. Bagaimanapun, antrian belakang maksimum, Nm, dicapai beberapa saat setelah awal periode hijau. Antrian ini dapat dirumuskan sebagai berikut : Nm =
N 1− y
.
dimana :
.
.
.
.
.
.
.
2.41
Nm, N = dalam kendaraan N
= seperti rumus (2.39)
y
= rasio arus
5. Kapasitas dan Derajat Kejenuhan Derajat kejenuhan menjelaskan mengenai pola perubahan dan hambatan, jumlah berhenti dan panjang antrian. Derajat kejenuhan dapat digunakan sebagai sebuah indikator tingkat pelayanan simpang bersinyal yang sederhana.
- Sistem Pengaturan Waktu Lalu lintas Pada persimpangan yang menggunakan sinyal lalu lintas, beberapa aliran lalu lintas dimungkinkan untuk mendapat hak-jalan bersama-sama, sementara aliran lainnya dihentikan. Fase sinyal lalu lintas adalah priode di mana pada priode tersebut satu pergerakan atau lebih diberi lampu hijau secara bersamaan. Pertimbangan keselamatan menentukan bahwa suatu fase hanya dapat digunakan bersama oleh aliran-aliran lalu lintas yang jalur-jalurnya tidak bersimpangan. Namun dalam penerapannya, beberapa persinggungan masih dapat ditolerir. Diagram fase dikembangkan dengan cara meninjau sekaligus geometri persimpangan (terutama jumlah lajur di setiap cabang persimpangan) dan jalurjalur pergerakan di keseluruhan persimpangan. Keselamatan adalah kriteria tunggal
untuk
menghitung
waktu
antar
hijau.
Beberapa
faktor
yang
mempengaruhi panjangnya intergreen meliputi jarak berhenti yang aman,
29
kecepatan mendekati persimpangan, kecepatan berjalan para pejalan kaki, dan lebar perkerasan. Apabila waktu siklus dikurangi dengan jumlah intergreen dari seluruh fase, maka hasilnya adalah waktu hijau total per siklus. Pemilihan waktu hijau bergantung pada apakah kita akan meminimalkan permintaan dan kapasitas pada suatu periode waktu tertentu, atau apakah kita ingin meminimalkan waktu tempuh individual maksimum di persimpangan.
30