BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Sistem Informasi Manajemen Kejaksaan Republik Indonesia
Sistem Informasi Manajemen didefinisikan pada Webopedia sebagai suatu sistem berbasis komputer yang menyediakan peralatan bagi manager untuk mengorganisasi, mengevaluasi dan mengefisienkan pelaksanaan kegiatan pada departemennya. SIMKARI 2 merupakan sisten informasi manajemen yang bertujuan untuk membantu pelaksanaan kegiatan administratif dan kegiatan teknis pada lingkup Kejaksaan Republik Indonesia. Hierarki SIMKARI 2 memiliki 2 lapisan (layer), lapisan pertama adalah aplikasi pelaksanaan operasional dan lapisan kedua adalah aplikasi pengambilan keputusan. Pelaksanaan operasional terdiri atas aplikasi umum dan aplikasi khusus. Aplikasi umum berisi aplikasi Kepegawaian, Otomasi Kantor, Aset, Keuangan, dan Hubungan Masyarakat (Humas), sedangkan aplikasi khusus berisi aplikasi Pendidikan dan Latihan (Diklat), Yustisi, Pidana Umum (Pidum), Pidana Khusus (Pidsus), Perdata dan Tata Usaha Negara (Datun), dan Supervisi. Lapisan kedua terdiri atas 2 kelompok yaitu manajemen tingkat menengah dengan aplikasinya adalah DSS (Decision Support System / Sistem Pendukung Keputusan) dan manajemen tingkat atas dengan aplikasinya EIS (Executive Information System / Sistem Informasi Eksekutif). DSS berfungsi sebagai pendukung untuk menyiapkan struktur dan data rekapitulasi, sedangkan EIS adalah sistem informasi yang berisi rekapitulasi data dan laporan
yang digunakan sebagai
pendukung pengambilan keputusan. Aplikasi yang berada pada tingkat kejaksaan pun berbeda. Pada tingkat Kejaksaan Agung (Kejagung), Kejaksaan Tinggi (Kejati), Kejaksaan Negeri (Kejari) semuanya tidak memiliki aplikasi Diklat. Aplikasi Diklat tersebut hanya dimiliki oleh Balai Pendidikan dan Latihan Kejaksaan yang berada di Ragunan. Kejati maupun Kejari hanya memiliki aplikasi pada lapisan pertama sedangkan pada Kejagung memiliki aplikasi lapisan pertama dan kedua. Hierarki SIMKARI 2 tersebut dapat digambarkan sebagai berikut.
6
Executive Information System
Top Level Management
Decision Support System
Medium Level Management
Specific Application(s)
Diklat
Yustisi
Pidum
Pidsus
Datun
Supervisi
Operational Otomatisasi Kantor
Aset
Keuangan
Humas
General Application(s) Sumber Daya Manusia(Kepegawaian)
Gambar 2.1 Hierarki SIMKARI 2 Sumber: Buku Program Pelatihan SIMKARI 2 (Anonim, 2005)
Menu dari SIMKARI 2 diharapkan sangat membantu Kejaksaan Republik Indonesia dalam menyelesaikan berbagai kasus yang ditangani oleh para Jaksa ataupun berbagai keperluan administratif. Berikut menu dan fungsi dari setiap fitur SIMKARI 2 secara umum.
7
Tabel 2.1 Jenis aplikasi dan menu SIMKARI 2 dengan Fungsinya No. 1.
Jenis Aplikasi / Menu Kepegawaian
Fungsi
Untuk mengelola data kepegawaian di seluruh wilayah Kejaksaan Republik Indonesia. 2. Otomasi Kantor Untuk mengelola surat masuk dan surat keluar 3. Aset Untuk mengelola aset millik Kejaksaan Republik Indonesia 4. Keuangan Untuk memunggah (upload) laporan keuangan dari setiap wilayah Kejaksaan Republik Indonesia yang telah disusun sebelumnya dengan perangkat lunak yang telah ditentukan oleh Departemen Keuangan. 5. Perpustakaan Untuk mengelola kepustakaan dari setiap wilayah Kejaksaan Republik Indonesia. 6. Diklat Untuk mengelola penyelenggaraan pendidikan dan latihan di Balai Pendidikan dan Latihan Kejaksaan RI Ragunan 7. Pidum Untuk mengelola proses tindak pidana umum yang sedang ditangani dari setiap wilayah Kejaksaan Republik Indonesia. 8. Pidsus Untuk mengelola proses tindak pidana khusus yang sedang ditangani dari setiap wilayah Kejaksaan Republik Indonesia. 9. Datun Untuk mengelola proses perdata dan ketatausahaan negara yang sedang ditangani dari setiap wilayah Kejaksaan Republik Indonesia. 10. Yustisi Untuk mengelola data intelijen di lingkungan kejaksaan di seluruh Indonesia 11. Supervisi Untuk mengelola data pengawasan di lingkungan kejaksaan di seluruh Indonesia 12. Security Untuk mengelola SIMKARI 2 dari setiap wilayah Kejaksaan Republik Indonesia. 13. DSS Sebagai pendukung untuk menyiapkan struktur dan data rekapitulasi di lingkungan Kejaksaan Republik Indonesia 14. EIS Aplikasi yang berisi rekapitulasi data dan laporan yang digunakan sebagai pendukung pengambilan keputusan Kejaksaan Republik Indonesia. Sumber: Buku Program Pelatihan SIMKARI 2 Olahan
2.2
Model Kesuksesan Sistem Informasi
Shannon dan Weaver (1949) menyebutkan bahwa kesuksesan suatu informasi yang merupakan hasil dari suatu sistem informasi membaginya menjadi tiga tingkatan yaitu 8
tingkatan teknis, tingkatan semantik dan tingkatan efektivitas. Tingkatan teknis didefinisikan sebagai akurasi dan efisiensi dari suatu sistem yang menghasilkan informasi. Tingkatan semantik didefinisikan sebagai kesuksesan suatu informasi dalam membawa arti yang diinginkan. Tingkatan efektivitas didefinisikan sebagai efek dari informasi terhadap penerimanya. Mason (1978) memperkenalkan teori yang disebut dengan teori pengaruh informasi (Information influence) yang menekankan pada pengaruh dari suatu informasi. Mason (1978) kemudian mengganti istilah efektivitas dengan pengaruh dan mendefinisikan tingkat pengaruh dari informasi sebagai suatu jenjang dari peristiwa-peristiwa yang terjadi pada titik akhir penerima dari sistem informasi. Tingkatan pengaruh ini berisi dengan urut-urutan peristiwa pengaruh, yaitu penerimaan dari informasi, evaluasi dari informasi, dan aplikasi dari informasi yang mengarah ke perubahan perilaku penerima dan perubahan kinerja. Mengacu pada Shannon dan Weaver (1949), Mason (1978) pada tingkatan teknis kualitas produksi diukur dengan kualitas sistem produksinya. Kualitas produk yang merupakan hasil dari proses produksi berada pada tingkatan semantik diukur dengan kualitas informasinya. Pada tingkatan efektivitas dan pengaruh, efektivitas diukur dengan penggunaan sistem dan kepuasan pemakai sedangkan pengaruh diukur dengan dampak indvidual dan dampak organisasional. Selain itu menurut Hartwirck dan Barki (1994) kesuksesan sistem teknologi informasi dapat diukur terhadap penggunaannya. Selanjutnya Hartwick dan Barki (1994) menyatakan bahwa penggunaan sistem di organisasi dapat bersifat sukarela (voluntary) atau bersifat wajib (mandatory). Karena penggunaan wajib sifatnya diharuskan, sehingga semua pengguna harus menggunakan sistem informasi dan akibatnya tidak ada variasi penggunaan sistem. Karena tidak adanya variasi di penggunaan ini, yaitu semuanya akan memakai, maka akan sulit untu memprediksinya secara empiris. Walaupun mungkin dapat diprediksi, tetapi sifat dari penggunaan wajib itu sendri menjadi kurang berarti sebagai penentu kesuksesan sistem. Sebaliknya, penggunaan sukarela akan merefleksikan persepsi dan perasaan masing-masing individual terhadap sistem. Sebaliknya, penggunaan sukarela akan merefleksikan persepsi dan perasaan masing-masing individual terhadap sistem yang akan bervariasi sesuai dengan individual dan menjadi penentu yang baik dari kesuksesan sistem. 9
Zmud (1979) mengutarakan 3 kategori keberhasilan sistem informasi manajemen (SIM) yaitu kinerja pemakai (user performance), penggunaan SIM (MIS Usage), dan kepuasan pemakai (user satisfaction). Iven dan Olson (1984) menggunakan 2 buah kategori untuk mengukur hasil dari SIM yaitu kualitas sistem (system quality) dan penerimaan sistem (system acceptance). Penerimaan sistem termasuk penggunaan sistem (system usage), dampak sistem terhadap perilaku pengguna (system impact on user behavior), dan kepuasan informasi (information satisfaction). Lebih lanjut Hartwick dan Barki (1994) mempunyai opini bahwa perilaku penggunaan wajib juga bervariasi, sehingga dapat diprediksi. Jika dikaitkan dengan Theory of Reasonal Action (TRA) maka TRA digunakan untuk memprediksi perilaku kemauan (volitional behavioral) yaitu suatu perilaku di bawah kendali seseorang. Model kesuksesan sistem informasi DeLone dan McLean ini memiliki enam elemen atau faktor atau komponen yaitu Kualitas Sistem (System Quality), Kualitas Informasi (Information Quality), Penggunaan (use), Kepuasan Pengguna (User Satisfaction), Dampak Individual (Individual Impact) dan Dampak Organisasi (Organizational Impact). Model kesuksesan ini didasarkan pada proses dan hubungan kausal dari dimensi-dimensi di model. Model ini tidak mengukur keenam dimensi pengukuran kesuksesan sistem informasi secara independen, tetapi mengukurnya secara keseluruhan satu mempengaruhi yang lainnya. Menurut Jogiyanto (2007) banyak sekali pengukuran yang digunakan untuk mengukur keberhasilan sistem informasi. Tidak ada satu pengukuran yang lebih baik dari yang lainnya. Pengukuran keberhasilan sistem informasi bukan pengukuran tunggal tapi merupakan suatu konstruk multidimensi. Banyak
peneliti
yang
mengembangkan
sendiri
pengukur-pengukur
konstruk
penelitiannya terhadap kesuksesan sistem informasi. Swanson (1974) menggunakan beberapa item kualitas sistem untuk mengukur apresiasi SIM diantara para manager pengguna. Emery (1971) juga menyarankan mengukur karakteristik sistem seperti isi basis data (content of data base), agregasi dari rincian (aggregation of details), faktor manusia (human factor), waktu respon (response time) dan keakuratan sistem (system accuracy). Hamilton dan Chervany (1981) mengusulkan keterkinian data (data currency), 10
waktu respon (response time), waktu putaran (turnaround time), akurasi data (data accuracy),
keandalan
(reliability),
kelengkapan
(completeness),
fleksibilitas
sistem(system flexibility), kemudahan penggunaan (ease of use). Larcker dan Lessig (1980) mengembangkan enam item kuesioner untuk mengukur persepsi kepentingan dan kegunaan informasi yang disajikan dalam bentuk laporan. Bailey dan Pearson (1983) mengajukan 39 item yang berhubungan dengan sistem untuk mengukur kepuasan pengguna. Diantara sepuluh item terpenting mereka terurut dari bawah adalah akurasi informasi (information accuracy) keluaran terurut (output timeliness), keandalan, kelengkapan, relevan (relevance), ketelitian (precision) dan keterkinian (currency). Ahituv (1980) memasukkan lima karakteristik informasi ke dalam sebuah utilitas multi-atribut untuk mengukur nilai dari informasi yaitu akurasi, terurut waktu (timeliness), relevan, agregasi dan pemformatan (formatting). Gallagher (1974) menggunakan instrumen relevan, keinformatifan(informativeness), kegunaan (usefulness) dan kepentingan (importance). Penggunaan senyatanya diukur dengan frekuensi penggunaan dan jumlah waktu dalam menggunakan suatu teknologi (Davis, 1989). Menurut Igbaria et al. (1997) mendefinisikan perceieved usage sebagai jumlah dari waktu yang digunakan untuk berinteraksi dengan suatu teknologi dan frekuensi penggunaan (frequency of use). Swanson (1974) menggunakan 16 item pertanyaan untuk mengukur apresiasi terhadap sistem informasi. Pearson menggunakan 39 item untuk mengukur kepuasan pengguna. Raymond (1985) menggunakan 13 item dari 39 yang dikembangkan oleh Pearson untuk mengukur kepuasan manager terhadap SIM (Sistem Informasi Manajemen) di perusahaan-perusahaan manufaktur. Sanders (1984) mengembangkan suatu daftar pertanyaan untuk mengukur keberhasilan DSS (Decision Support System). Ginzberg (1981) menggunakan pengukur penggunaan (use) dan kepuasan pengguna (user satisfaction) untuk mengukur keberhasilan sistem informasi. Lucas (1981) menggunakan kepuasan pengguna dengan menanyakan eksekutif perusahaan di penelitian laboratorium tentang kepuasan mereka menggunakan sistem informasi yang berhubungan dengan pengambilan keputusan permsalahan pemesanan sediaan. Pada penelitian Powers dan Dickson (1973), manager-manager ditanya tentang seberapa baik kebutuhan informasi 11
telah memuaskan mereka. Eindor dan Sergev (1978) serta Hamilton dan Chervany (1981), mengusulkan untuk menggunakan kepuasan pengguna sebagai pengukur dari keberhasilan penggunaan sistem informasi. Menurut Luciana dan Irmaya (2007) baik buruknya kinerja dari sebuah sistem informasi akuntansi dapat dilihat dari kepuasan pengguna dan penggunaan sistem informasi akuntansi itu sendiri. Khalil (1997) mengukur efektivitas sistem informasi dengan menggunakan kepuasan pengguna dan penggunaan sistem. Mason (1978) menyarankan bahwa salah satu metoda pengukuran dampak sistem informasi adalah dengan menentukan apakah keluaran dari sistem menyebabkan penerimanya (contoh: pengambil keputusan) untuk mengubah perilakunya. Ein-Dor, Segev, dan Steinfeld (1981) menanyai pengambil keputusan: “Apakah penggunaan PERT (sebuah sistem informasi spesifik) pernah mengarahkan pada perubahan dalam pengambilan keputusan atau suatu keputusan baru?”. Cerullo (1980) menanyai para manager untuk meranking nilai SIM berbasis komputer mereka dalam skala 1 sampai 10. Periset SIM dari lingkungan akademis memilih untuk tidak mengukur kinerja organisasi dikarenakan kesulitan membatasi pengaruh usaha sistem informasi dari pengaruh lain yang mempengaruhi kinerja organisasi. Pengukuran ini lebih banyak dilakukan di laboratorium menggunakan mahasiswa atau simulasi komputer. Eksperimen ini banyak dilakukan pada Universitas Minnesota oleh Dickson, Chervany dan Senn (1977). Alter (1999) berargumentasi bahwa pengukuran efektivitas suatu sistem informasi belum tentu mengukur efektivitas sistem informasi itu sendiri. Alasannya adalah karena suatu sistem informasi tidak dapat dilepaskan dengan sistem kerja yang didukungnya. Pengukuran efektivitas sistem informasi dapat tercampur dengan efektivitas sistem kerjanya dan pengamat yang menilai sistem ini dapat menilai sistem informasi dan sistem kerja dengan tumpang tindih dengan hasil evaluasi yang berbeda.
2.2.1
Penelitian-penelitian terdahulu
Model DeLone dan McLean (Model D&M) telah banyak digunakan dalam penelitian tentang
kesuksesan
sistem
informasi.
12
Terhitung
sebanyak
144
penelitian
menggunakannya sejak pertama diperkenalkan hingga tahun 1999. Berikut tabel yang menunjukkan jumlah artikel pada jurnal yang menerbitkannya.
Tabel 2.2 Jurnal-jurnal yang Menggunakan Model Kesuksesan SI DeLone dan McLean (Diluar jumlah dari laporan konferensi yang juga menggunakan Model D&M) Jurnal Information & Management Journal of Management Information Systems MIS Quarterly European Journal of Information System Information System Research Decision Science Omege – International Journal of Management Science Management Science IEEE Journals Communications of the ACM IBM Systems Journal Jurnal-jurnal lainnya Total Sumber: DeLone dan McLean
Jumlah Artikel yang Menggunakan Model 24 11 15 10 7 6 6 4 4 2 1 54 144
Menurut Huang et. al (2007) model DeLone dan McLean lebih dari 300 makalah telah memvalidasi (validated), menguji (challenged), atau mengajukan pengembangan (proposed enhancement).
2.2.2
Konstruk-konstruk Model DeLone dan McLean
Model DeLone dan McLean memiliki enam buah konstruk yang digambarkan dan dijelaskan sebagai berikut.
13
Kualitas Sistem (System Quality)
Penggunaan Senyatanya (Actual Use)
Dampak Individual (Individual Impact) Kualitas Informasi (Information Quality)
Dampak Organisasional (Organizational Impact)
Kepuasan Pengguna (User Satisfaction)
Gambar 2.2 Model Kesuksesan Sistem Informasi DeLone dan McLean (1992)
Pada gambar di atas menunjukkan bahwa Kualitas Sistem dan Kualitas Informasi diasumsikan secara bebas maupun bersama-sama mempengaruhi Penggunaan Senyatanya dan Kepuasan Pengguna. Penggunaan Senyatanya dengan Kepuasan Pengguna memiliki hubungan timbal balik dan sebagai penduga terhadap Dampak Individual yang dapat memiliki beberapa Dampak Organisasional. Menurut DeLone dan McLean (1992) Kualitas Sistem (System Quality) digunakan untuk mengukur kualitas pemrosesan informasi oleh sistem informasi itu sendiri. Kualitas Informasi (Information Quality) lebih pada mengukur kualitas hasil keluaran dari suatu sistem informasi terutama bentuk laporan daripada mengukur kinerja suatu sistem. Penggunaan Senyatanya (Actual Use) merupakan konsumsi keluaran dari sistem informasi oleh pengguna. Kepuasan Pengguna (User Satisfaction) didefinisikan sebagai respon dari pengguna tersebut terhadap penggunaan keluaran (output) dari suatu sistem informasi. Dampak Individual (Individual Impact) didefinisikan oleh DeLone dan McLean (1992) sebagai pengaruh dari suatu informasi terhadap perilaku penggunanya. Hal ini berkaitan dekat dengan kinerja dan kemudian akan meningkatkan kemampuan diri maupun kemampuan sebuah departemen. Dampak dapat juga merupakan indikasi bahwa sistem informasi telah memberikan pemahaman pengguna terhadap konteks keputusan. 14
Dampak Organisasional (Organizational Impact) Dampak Organisasional merupakan pengaruh dari suatu informasi terhadap kinerja organisasi.
2.3
Pengembangan Hipotesis
Penelitian ini merupakan replikasi dari penelitian yang dilakukan oleh Livari (2005) pada sektor publik kota Oulu, Finlandia, tentang penerapan sistem informasi manajemen di bidang akuntansi dan keuangannya yang diwajibkan untuk digunakan. Selain itu ditambahkan variabel kesukarelaan (voluntariness) untuk memprediksi penggunaan senyatanya (actual use) dengan menggunakan item seperti penelitian yang pernah dilakukan oleh Adrianto (2007). Berikut hipotesis yang dikembangkan dalam penelitian ini. a. Kualitas Sistem (System Quality) Menurut DeLone dan McLean (1992) bahwa kualitas sistem digunakan untuk mengukur kualitas pemrosesan informasi oleh sistem informasi itu sendiri. Kualitas sistem dalam hal ini adalah kualitas dari SIMKARI 2. Kualitas dari SIMKARI 2 dipersepsikan oleh pengguna, semakin tinggi penilaian pengguna akan kualitas SIMKARI 2 maka semakin tinggi pula tingkat kepuasan dari pengguna tersebut dan semakin sering pula SIMKARI 2 digunakan. H1: Persepsi kualitas SIMKARI 2 memprediksi Kepuasan Pengguna SIMKARI 2. H3: Persepsi kualitas SIMKARI 2 memprediksi Penggunaan SIMKARI 2 Senyatanya.
b. Kualitas Informasi (Information Quality) Menurut DeLone dan McLean (1992) kualitas informasi lebih pada mengukur kualitas hasil keluaran dari suatu sistem informasi terutama bentuk laporan daripada mengukur kinerja suatu sistem. Dalam hal ini adalah kualitas informasi yang dihasilkan oleh SIMKARI 2. Kualitas informasi yang dihasilkan oleh SIMKARI 2 dipersepsikan oleh pengguna, semakin tinggi penilaian pengguna akan kualitas 15
informasi yang dihasilkan oleh SIMKARI 2 maka semakin tinggi pula tingkat kepuasan dari pengguna tersebut dan semakin sering pula SIMKARI 2 digunakan. H2: Persepsi kualitas informasi SIMKARI 2 memprediksi Kepuasan Pengguna SIMKARI 2. H4: Persepsi kualitas informasi SIMKARI 2memprediksi Penggunaan SIMKARI 2 Senyatanya.
c. Penggunaan Senyatanya (Actual Use) Penggunaan senyatanya diukur dengan frekuensi penggunaan dan jumlah waktu dalam menggunakan suatu teknologi (Davis, 1989). Menurut Igbaria et al. (1997) mendefinisikan perceieved usage sebagai jumlah dari waktu yang digunakan untuk berinteraksi dengan suatu teknologi dan frekuensi penggunaan (frequency of use). Penggunaan senyatanya ini adalah frekuensi penggunaan SIMKARI 2. Frekuensi SIMKARI 2 sangat dipengaruhi oleh banyaknnya kasus yang ditangani kantor Kejaksaan namun demikian banyaknya kasus yang ditangani oleh Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta sangat memungkinkan penggunaan SIMKARI 2 setiap harinya. Penggunaan SIMKARI 2 dengan frekuensi yang tinggi menunjukkan kepuasan penggunanya dan mempengaruhi kinerja dari penggunanya. H5b: Penggunaan SIMKARI 2 Senyatanya memprediksi Kepuasan Pengguna SIMKARI 2. H7: Penggunaan SIMKARI 2 memprediksi Dampak Individual.
d. Kepuasan Pengguna (User Satisfaction) Menurut DeLone dan McLean (1992) kepuasan pengguna didefinisikan sebagai respon dari pengguna tersebut terhadap penggunaan keluaran (output) dari suatu sistem informasi (DeLone dan McLean, 1992). Kepuasan pengguna SIMKARI 2 akan menyebabkan penggunanya mau menggunakan SIMKARI 2 untuk menyelesaikan tugas-tugasnya dan akan meningkatkan kinerja penggunanya. 16
H5a: Kepuasan Pengguna SIMKARI 2memprediksi Penggunaan SIMKARI 2 Senyatanya H6: Kepuasan Pengguna SIMKARI 2memprediksi Dampak Individual.
e. Kesukarelaan (Voluntariness) Venkatesh dan Davis (2000) menyatakan bahwa tingkat kesukarelaaan didefinisikan sebagai perluasan pengadopsi potensial yang mempersepsikan bahwa keputusan mengadopsi bukanlah suatu paksaan. Dalam hal ini keputusan menggunakan SIMKARI 2 adalah diwajibkan, namun seperti menurut Hatrwick dan Barki (1994) bahwa perilaku penggunaan wajib juga bervariasi sehingga dapat diprediksi. Penggunaan wajib juga di bawah kendali seseorang bukan berbasis pada pertimbangan sikap seseorang, tetapi lebih pada normatif atau keharusan. Pengguna wajib SIMKARI 2 dapat memilih untuk tidak menggunakan dengan bermalasmalasan atau membantah perintah atasannya. Kesukarelaan ini akan mempengaruhi pengguna dalam menggunakan SIMKARI 2. H8: Kesukarelaan menggunakan SIMKARI 2memprediksi Penggunaan SIMKARI 2 Senyatanya.
2.4
Rerangka Pemikiran
Meskipun DeLone dan McLean telah memperbaharui model kesuksesan sistem informasi (2002) dan adanya kritik dari Seddon (1997) namun Livari (2005) memiliki pendapat sendiri yaitu bahwa model DeLone dan McLean (1992) lebih layak uji secara empiris. Model DeLone dan McLean terkini (2002) lebih fokus pada fungsi dari sistem informasi atau organisasi sistem informasi daripada aplikasi sistem informasi, sedangkan penelitian Livari (2005) lebih menekankan pada aplikasi sistem informasi. Hubungan antara kualitas sistem atau informasi adalah artifak dari sebuah pengukuran. Seddon (1997) memberikan kritik tentang keambiguan penggunaan sistem informasi (Usage) namun Livari (2005) berpendapat bahwa penulisannya berkaitan dengan jumlah penggunaan dari sistem informasi yang merupakan salah satu pertimbangan dalam pengukuran kesuksesan sistem 17
informasi. Meskipun DeLone dan McLean (1992) dan Seddon (1997) secara implisit mengisyaratkan bahwa dampak individual adalah manfaat yang diperoleh oleh pengguna, namun Livari (2005) mengintepretasikan dampak individual adalah merujuk lebih pada unit analisis daripada manfaatnya.
Persepsi Kualitas SIMKARI 2
H3
H8
Kesukarelaan menggunakan SIMKARI 2
Penggunaan Nyata SIMKARI 2 H7
H1 H5a
Dampak Individual dari penggunaan SIMKARI 2
H5b
H4 H6
Persepsi Kualitas Informasi yang dihasilkan SIMKARI 2 H2
Kepuasan Pengguna SIMKARI 2
Gambar 2.3 Rerangka pikir model DeLone dan McLean dalam penelitian Livari (2005) yang telah diubah objeknya menjadi SIMKARI 2 dan ditambahkan variabel kesukarelaan.
2.5
Hasil Penelitian Livari
Hasil penelitian Livari (2005) menunjukkan bahwa reliabilitas di atas 0,70 dan validitas konvergen di atas 0,50 serta validitas diskriminan dinilai cukup valid. Karena hipotesis H5a dan hipotesis H5b tidak dapat diuji secara bersama-sama maka model penelitian Livari (2005) dipecah menjadi 2 model. Model 1 mengasumsikan pengaruh dari kepuasan pengguna terhadap penggunaan senyatanya (H5a), sedangkan model 2 mengasumsikan pengaruh dari penggunaan senyatanya terhadap kepuasan pengguna. Berikut ringkasan hasil pengujian tersebut.
18
Tabel 2.3 Ringkasan hasil penelitian Livari (2005) Hipotesis
Model 1
Model 2
H1
Didukung (P ≤ 0,001)
Didukung (P ≤ 0,001)
H2
Didukung (P ≤ 0,05)
Didukung (P ≤ 0,05)
H3
Didukung (P ≤ 0,05)
Didukung (P ≤ 0,01)
H4
Tidak didukung
Tidak didukung
H5a
Didukung (P ≤ 0,10)
-
H5b
-
Didukung (P ≤ 0,10)
H6
Didukung (P ≤ 0,001)
Didukung (P ≤ 0,001)
H7
Tidak didukung
Tidak didukung
Sumber: Livari (2005) Olahan
2.6
Partial Least Square
Menurut Ghozali (2006) Partial Least Square (PLS) adalah bagian dari alat analisis yang bernama Structural Equation Modeling (SEM). Ada 2 model SEM yaitu berbasis kovarians yang menggunakan perangkat lunak AMOS dan LISREL sedangkan SEM berbasis varians atau komponen yang menggunakan perangkat lunak seperti SmartPLS dan PLS Graph. Manfaat utama SEM dibandingkan dengan generasi pertama multivariat seperti principal component analysis, analisis faktor, analisis diskriminan atau regresi berganda, SEM memiliki fleksibilitas yang lebih tinggi bagi peneliti untuk menghubungkan antara teori dan data. SEM berbasis kovarians harus memenuhi asumsi seperti bahwa data harus terdistribusi normal multivariat, model indikator harus refleksif, skala pengukuran variabel harus berkelanjutan (continous), dan jumlah sampel harus besar. Pada SEM berbasis komponen tidak memerlukan asumsi-asumsi di atas karena bersifat non- parametrik. Menurut Wold (1985) PLS merupakan metoda analisis yang powerfull karena tidak didasarkan banyak asumsi. Data tidak harus berdistribusi normal multivariat, sampel tidak harus besar dan residual distribution. Dibandingkan Covariance-based SEM, PLS menghilangkan dua
19
masalah serius yaitu inadmisable solution dan factor indeterminacy (Fornell dan Bookstein, 1982). SEM baik digunakan untuk penelitian yang bersifat konfirmatif, sedangkan PLS baik digunakan untuk penelitian yang bersifat prediktif (Jogiyanto, 2007). SEM berbasis komponen data tidak harus berdistribusi normal, skala dapat berupa nominal, ordinal, maupun interval dan rasio. Model kompleks dengan 100 indikator dapat dianalisis dengan hanya jumlah data 50 dan pengukuran indikator dapat berbentuk refleksif maupun formatif. Teknik Partial Least Square (PLS) banyak digunakan untuk analisis kausal-prediktif (causal-predictive analysis) yang rumit dan teori yang mendukungnya kurang (Jogiyanto, 2007, hal.137). PLS sangat baik terutama digunakan untuk memprediksi dan membangun sebuah teori (Chin & Newsted, 1999). PLS tidak akan mempengaruhi asumsi multivariat parametrik distribusi normal dan sampel dapat berukuran kecil, minimum adalah sepuluh kali dari jumlah item pada suatu konstruk terkompleks dalam suatu model (Chin, 1998; Gefen et al., 2000). Maka dengan menggunakan PLS tidak diperlukan uji kenormalan data dan jumlah sampel tidak harus lebih dari tigapuluh. Perbedaan utama dari SEM berbasis kovarians dengan SEM berbasis komponen adalah pada model yang dikembangkan. Model SEM berbasis kovarians harus dilandasi dengan teori yang kuat dan bertujuan untuk mengonfirmasi model dengan data empirisnya. Pada model SEM berbasis komponen bertujuan untuk memprediksi sehingga dukungan teori tidak begitu menjadi penting.
20