BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
Modal Social (Social Capital) Menurut para ahli modal sosial dapat didefinisikan sebagai kemampuan masyarakat
untuk bekerja bersama, demi mencapai tujuan-tujuan bersama, di dalam berbagai kelompok dan organisasi (Coleman, 1999). Sedangkan Burt (1992) mendefinisikan, modal sosial adalah kemampuan masyarakat untuk melakukan asosiasi (berhubungan) satu sama lain dan selanjutnya menjadi kekuatan yang sangat penting bukan hanya bagi kehidupan ekonomi akan tetapi juga setiap aspek eksistensi sosial yang lain. Adapun Putnam (2000) mendefinisikan, modal sosial adalah penampilan organisasi sosial seperti jaringan-jaringan dan kepercayaan yang memfasilitasi adanya koordinasi dan kerjasama bagi keuntungan bersama. Fukuyama (1995) mendefinisikan, modal sosial sebagai serangkaian nilai-nilai atau norma-norma informal yang dimiliki bersama diantara para anggota suatu kelompok yang memungkinkan terjalinnya kerjasama diantara mereka. Adapun Cox (1995) mendefinisikan, modal sosial sebagai suatu rangkaian proses hubungan antar manusia yang ditopang oleh jaringan, norma-norma, dan kepercayaan sosial yang memungkinkan efisien dan efektifnya koordinasi dan kerjasama untuk keuntungan dan kebajikan bersama. Sejalan dengan pendapat dari Fukuyama dan Cox, Partha (1999) mendefinisikan, modal sosial sebagai hubungan-hubungan yang tercipta dan norma-norma yang membentuk kualitas dan kuantitas hubungan sosial dalam masyarakat dalam spektrum yang luas, yaitu sebagai perekat sosial (social glue) yang menjaga kesatuan anggota kelompok secara bersama-sama. Pada jalur yang sama Solow (1999) mendefinisikan, modal sosial sebagai serangkaian nilai-nilai atau norma-norma yang diwujudkan dalam perilaku yang dapat 13 Universitas Sumatera Utara
mendorong kemampuan dan kapabilitas untuk bekerjasama dan berkoordinasi untuk menghasilkan kontribusi besar terhadap keberlanjutan produktivitas. Adapun menurut Cohen dan Prusak (2001), modal sosial adalah sebagai setiap hubungan yang terjadi dan diikat oleh suatu kepercayaan (trust), kesaling pengertian (mutual understanding), dan nilai-nilai bersama (shared value) yang mengikat anggota kelompok untuk membuat kemungkinan aksi bersama dapat dilakukan secara efisien dan efektif. Sependapat dengan penjelasan dari Cohen dan Prusak, Hasbullah (2006) menjelaskan, modal sosial sebagai segala sesuatu hal yang berkaitan dengan kerja sama dalam masyarakat atau bangsa untuk mencapai kapasitas hidup yang lebih baik, ditopang oleh nilai-nilai dan norma yang menjadi unsur-unsur utamanya seperti trust (rasa saling mempercayai), hubungan timbal balik dan aturan-aturan kolektif dalam suatu masyarakat atau bangsa dan sejenisnya. Dari pengertian para ahli di atas, maka menurut saya modal sosial (social capital) secara umum adalah hubungan-hubungan yang tercipta berupa jaringan, nilai dan norma, hubungan sosial, kepercayaan dan institusi yang membentuk kualitas dan kuantitas serta efisiensi masyarakat yang bekerja sebagai buruh bangunan dengan memfasilitasi tindakantindakan yang terkoordinasi serta sebagai perekat sosial (social glue) yang menjaga kesatuan diantara anggota masyarakat luas secara bersama-sama. Modal sosial juga adalah sebuah potensi yang dimana dapat meningkatkan kesadaran bersama tentang banyaknya kemungkinan peluang yang bisa dimanfaatkan dan juga kesadaran bahwa nasib bersama akan saling terkait dan ditentukan oleh usaha bersama yang dilakukan. 2.1.1. Dimensi Modal Sosial Dimensi modal sosial disini membahas bahwa sebenarnya Modal sosial (social capital) berbeda definisi dan terminologinya dengan modal manusia (human capital) (Fukuyama, 1995). Bentuk human capital adalah ‘pengetahuan’ dan ‘keterampilan’ manusia. Bentuk nyata dari human capital adalah dalam bentuk seperti halnya pendidikan di sekolah 14 Universitas Sumatera Utara
atau universitas, pelatihan programmer computer, kursus bahasa atau menyelenggarakan bentuk-bentuk pendidikan lainnya. Sedangkan modal sosial adalah kemampuan atau keahlian yang muncul dari adanya kepercayaan umum di dalam sebuah masyarakat atau bagian-bagian tertentu didalamnya. Modal sosial juga dapat dilembagakan dalam bentuk kelompok sosial paling kecil atau paling mendasar dan juga kelompok-kelompok masyarakat paling besar seperti halnya negara (bangsa). Modal sosial diterapkan atau dihubungkan melalui mekanisme-mekanisme kultural atau budaya seperti agama, tradisi, atau kebiasaan sejarah (Fukuyama, 2000). Akuisisi atau bentuk positif dari modal sosial memerlukan pembiasaan terhadap norma-norma moral sebuah komunitas yang dalam konteksnya sekaligus dapat mengadopsi nilai-nilai kebajikan seperti kesetiaan dan kejujuran serta menjadi suatu hal yang dapat dipercayai dan dipertanggungjawabkan serta pada akhirnya modal sosial lebih didasarkan pada kebajikankebajikan sosial umum. Dimensi modal sosial tumbuh di dalam suatu masyarakat yang didalamnya berisi nilai dan norma serta pola-pola interaksi sosial dalam mengatur kehidupan keseharian anggotanya (Woolcock dan Narayan, 2000). Oleh karena pendapat itu Adler dan Kwon (2000) menyatakan, dimensi modal sosial adalah merupakan gambaran dari keterikatan internal yang mewarnai struktur kolektif dan memberikan keterkaitan satu sama lain dan keuntungankeuntungan bersama dari proses dinamika sosial yang terjadi di dalam masyarakat. Sejalan dengan pendapat di atas maka dimensi modal sosial juga dapat menggambarkan segala sesuatu yang membuat masyarakat dapat membentuk sebuah kelompok untuk mencapai tujuan bersama atas dasar kebersamaan dan perasaan senasib yang di mana didalamnya diikat oleh nilai-nilai kepercayaan dan norma-norma yang tumbuh dan dipatuhi. Dimensi modal sosial berhubungan erat dalam struktur hubungan sosial dan jaringan sosial di dalam suatu masyarakat yang menciptakan berbagai ragam kewajiban
15 Universitas Sumatera Utara
sosial, menciptakan iklim saling percaya, membawa saluran informasi dan menetapkan norma-norma serta sanksi-sanksi sosial bagi para anggota masyarakat tersebut (Coleman, 1999). Namun demikian Fukuyama (1995, 2000) dengan tegas menyatakan, belum tentu norma-norma dan nilai-nilai bersama yang dipedomi sebagai acuan bersikap, bertindak dan bertingkah laku itu otomatis menjadi modal sosial. Akan tetapi hanyalah norma-norma dan nilai-nilai bersama yang dibangkitkan oleh kepercayaan (trust). Dimana kepercayaan ini adalah harapan-harapan terhadap keteraturan, kejujuran dan perilaku kooperatif yang muncul dari dalam sebuah komunitas masyarakat yang didasarkan pada norma-norma yang dianut bersama oleh para anggotanya. Norma-norma tersebut bisa berisi pernyataan-pernyataan yang berkisar pada nilai-nilai luhur (kebajikan) dan keadilan. Dengan mendasarkan konsepsi-konsepsi di atas sebelumnya, maka dapat ditarik suatu kesimpulan pengertian bahwa dimensi dari modal sosial adalah sebuah proses yang dimana memberikan penekanan pada kebersamaan masyarakat untuk mencapai tujuan memperbaiki kualitas hidup kedepannya agar senantiasa melakukan perubahan dan penyesuaian secara terus menerus kearah yang lebih baik lagi dari yang sebelumnya. Di dalam proses suatu perubahan dan upaya dalam mencapai tujuan tersebut, masyarakat senantiasa terikat pada nilai-nilai dan norma-norma yang diyakini sebagai acuan dalam bersikap, bertindak dan bertingkah laku serta berhubungan atau membangun jaringan dengan pihak lain. Beberapa acuan nilai dan unsur yang merupakan modal sosial antara lain: sikap yang partisipatif, sikap yang saling memperhatikan, saling memberi dan menerima, saling percaya mempercayai dan diperkuat oleh nilai-nilai dan norma-norma yang mendukungnya. Unsur lain yang memegang peranan penting adalah kemauan masyarakat untuk secara terus menerus proaktif baik dalam mempertahakan nilai, membentuk jaringan kerjasama maupun
16 Universitas Sumatera Utara
dengan penciptaan kreasi dan ide-ide baru. Inilah bentuk dari jati diri modal sosial yang sebenarnya yang mampu menopang kekuatan dalam kehidupan bermasyarakat. Oleh karena itu menurut Hasbullah (2006), dimensi inti dari modal sosial terletak pada bagaimana kemampuan masyarakat untuk bekerja sama membangun suatu jaringan guna mencapai tujuan bersama. Kerja sama tersebut diwarnai oleh suatu pola hubungan timbal balik dan saling menguntungkan antara sesama individu yang
dibangun di atas
kepercayaan dan ditopang oleh aturan norma-norma dan nilai-nilai sosial yang positif dan kuat. Kekuatan tersebut akan maksimal jika didukung oleh semangat proaktif membuat jalinan hubungan di atas prinsip-prinsip sikap yang partisipatif, sikap yang saling memperhatikan, saling memberi dan menerima, saling percaya mempercayai dan diperkuat oleh nilai-nilai dan norma-norma yang mendukungnya. 2.1.2. Tipologi Modal Sosial Para ahli yang memiliki perhatian terhadap modal sosial pada umumnya tertarik untuk mengkaji kedekatan kaitan hubungan sosial dimana sebuah kelompok masyarakat terlibat didalamnya, terutama kaitannya dengan pola-pola interaksi sosial atau hubungan sosial antar anggota masyarakat atau kelompok dalam suatu kegiatan sosial. Cara dan ciri perbuatan dari keanggotaan dan aktivitas mereka dalam suatu hubungan sosial merupakan hal yang selalu menarik untuk dikaji. Dimensi lain yang juga sangat menarik perhatian adalah yang berkaitan dengan tipologi modal sosial, yaitu bagaimana perbedaan pola-pola interaksi berikut konsekuensinya antara modal sosial yang berbentuk terikat (bonding/exclusive) atau menjembatani (bridging/inclusive). Keduanya memiliki pengertian, pemahaman dan implikasi yang berbeda pada hasil-hasil yang dapat dicapai dan pengaruh-pengaruh yang dapat muncul dalam sebuah proses kehidupan dan pembangunan masyarakat.
17 Universitas Sumatera Utara
(a)
Modal Sosial Terikat (Bonding Social Capital) Modal sosial terikat adalah modal sosial yang cenderung bersifat eksklusif
(Hasbullah, 2006), dimana yang menjadi karakteristik dasar, ciri khas, konteks ide, relasi dan perhatian pada tipologi ini adalah lebih berorientasi ke dalam (inward looking) dibandingkan dengan berorientasi keluar (outward looking). Beraneka ragam masyarakat yang menjadi anggota kelompok ini pada umumnya serba sama (homogeneous) atau cenderung bersifat homogen. Di dalam bahasa lain bonding social capital ini dikenal pula sebagai ciri dari masyarakat yang memeiliki aturan atau tempat keramat yang dianggap suci dan harus senantiasa dipatuhi dan dijaga nilai-nilai yang terkandung didalamnya. Menurut Putnam (1993), pada masyarakat sacred society dogma tertentu mendominasi dan mempertahankan struktur masyarakat yang bersangkutan dengan pemerintah setempat, hierarkis dan tertutup. Di dalam pola interaksi sosial sehari-hari selalu dituntun oleh nilai-nilai dan norma-norma yang menguntungkan level tingkatan kedudukan kelompok tertentu dan feodal. Hasbullah (2006) menyatakan, pada mayarakat yang bonded atau inward looking maupun sacred, meskipun hubungan sosial yang tercipta memiliki tingkat kaitan satu sama lain yang kuat, akan tetapi kurang merefleksikan kemampuan masyarakat tersebut untuk menciptakan dan memiliki modal sosial yang kuat. Kekuatan yang tumbuh sekedar dalam batas kelompok dalam keadaan dan kondisi tertentu, struktur tingkatan kedudukan yang feodal serta tingkatan yang berkaitan satu sama lain yang bersifat terikat (bonding). Secara umum gambaran pemahaman yang diatas akan lebih banyak membawa pengaruh negatif dibandingkan dengan pengaruh positifnya. Kekuatan interaksi sosial terkadang berkecenderungan untuk menjauhi, menghindar bahkan pada situasi yang luar biasa mengandung unsur kebencian terhadap masyarakat lain yang di luar dari kelompok masyarakat, group, asosiasi dan suku tersebut. Oleh karena itu di dalam kaitannya dengan
18 Universitas Sumatera Utara
upaya pembangunan masyarakat di negara-negara berkembang saat ini, mengidentifikasi dan mengetahui secara teliti tentang kecenderungan dan konfigurasi modal sosial di masingmasing daerah menjadi salah satu kebutuhan utama. Dapat ditarik suatu asumsi hubungan bahwa terdapat kekeliruan jika pada masyarakat tradisonal yang socially inward looking kelompok-kelompok masyarakat yang terbentuk dikatakan tidak memiliki modal sosial. Modal sosial itu ada, akan tetapi kekuatannya terbatas pada satu dimensi saja, yaitu dimensi yang berkaitan satu sama lain dalam kelompok. Keterkaitan satu sama lain dalam kelompok tersebut terbentuk karena adanya faktor keeratan hubungan emosional ke dalam yang sangat kuat. Keeratan tersebut juga disebabkan oleh pola nilai yang melekat dalam setiap proses hubungan interaksi yang juga berpola tradisional. Kelompok tersebut juga kurang atau sama sekali tidak paham dengan prinsip-prinsip kehidupan masyarakat modern yang mengutamakan efisiensi produktivitas dan kompetisi yang dibangun atas prinsip pergaulan yang bersifat sederajat dan bebas. Konsekuensi lain dari sifat dan tipologi ketertutupan sosial ini adalah sulitnya mengembangkan ide baru, orientasi baru dan nilai-nilai serta norma baru yang memperkaya nilai-nilai dan norma yang telah ada. Kelompok bonding social capital yang terbetuk pada akhirnya memiliki resistensi kuat terhadap perubahan. Pada situasi tertentu, kelompok masyakakat yang demikian bahkan akan menghambat hubungan yang kreatif dengan negara, dengan kelompok masyarakat lain, serta menghambat pembangunan masyarakat itu sendiri secara keseluruhan. Dampak negatif lain yang sangat menonjol di era moderen ini adalah masih kuatnya dominasi kelompok masyarakat bonding social capital yang mewarnai kehidupan masyarakat atau bangsa (Putnam, dkk: 1993). Konsekuensi yang kuat pula akan tingkat akomodasi masyarakat terhadap berbagai perilaku penyimpangan yang dilakukan oleh anggota kelompok terhadap kelompok lain atau negara yang berada di luar kelompok mereka.
19 Universitas Sumatera Utara
(b)
Modal Sosial yang Menjembatani (Bridging Social Capital) Menurut Hasbullah (2006), bentuk modal sosial yang menjembatani ini ini biasa juga
disebut bentuk moderen dari suatu pengelompokan, group, asosiasi atau masyarakat. Prinsipprinsip pengorganisasian yang dianut didasarkan pada prinsip-prinsip universal tentang; persamaan, kebebasan serta nilai-nilai yang terdiri dari beberapa bagian dan merupakan kesatuan (kemajemukan) dan sifat kemanusiaan (humanitarian) yang terbuka dan mandiri. Prinsip persamaan, bahwasannya setiap anggota dalam suatu kelompok masyarakat memiliki hak-hak dan kewajiban yang sama. Setiap keputusan kelompok pada dasarnya harus berdasarkan kesepakatan yang sederajat dari setiap anggota kelompok. Pimpinan kelompok masyarakat hanya menjalankan kesepakatan-kesepakatan yang telah ditentukan oleh para anggota kelompok. Prinsip kebebasan, bahwasannya setiap anggota kelompok bebas berbicara, mengemukakan pendapat dan ide yang dapat mengembangkan kelompok tersebut. Suasana kebebasan yang tercipta memungkinkan ide-ide kreatif muncul dari dalam tubuh kelompok, yaitu dari beragam pikiran anggotanya yang kelak akan memperkaya ide-ide kolektif yang tumbuh dalam kelompok tersebut. Prinsip kemajemukan dan humanitarian yang pada dasar bahwasannya nilai-nilai kemanusiaan, penghormatan terhadap hak asasi setiap anggota dan orang lain yang merupakan prinsip dasar dalam pengembangan asosiasi, group, kelompok suatu masyarakat. Maksud kuat untuk membantu orang lain, merasakan penderitaan orang lain, memahami perasaan dan situasi yang dihadapi oleh orang lain merupakan dasar-dasar ide humanitarian. Sebagai konsekuensinya, masyarakat yang menyandarkan pada bridging social capital biasanya cenderung bersifat berlainan jenis (heterogen) dari berbagai ragam unsur latar belakang budaya dan suku. Setiap anggota kelompok memiliki akses yang sama untuk membuat jaringan atau koneksi keluar kelompoknya dengan prinsip persamaan, kemanusiaan dan kebebasan yang dimiliki. Bridging social capital akan membuka jalan untuk lebih cepat
20 Universitas Sumatera Utara
berkembang dengan kemampuan menciptakan akses jaringan yang kuat, menggerakkan identitas yang lebih luas dan hubungan timbal balik yang lebih variatif serta akumulasi ide yang lebih memungkinkan untuk berkembang sesuai dengan prinsip-prinsip pembangunan yang lebih diterima secara universal. Bila dibandingkan dengan Coleman (1999), tipologi masyarakat bridging social capital dalam gerakannya lebih memberikan tekanan pada dimensi berjuang untuk (fight for). Yaitu mengarah kepada pencarian jawaban bersama untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi oleh suatu kelompok (pada situasi tertentu, termasuk problem di dalam kelompok atau problem yang terjadi di luar kelompok tersebut). Pada keadaan tertentu jiwa gerakan lebih diwarnai oleh semangat berjuang melawan (fight against) yang bersifat memberi perlawanan terhadap ancaman berupa kemungkinan runtuhnya simbul-simbul dan kepercayaan-kepercayaan tradisional yang dianut oleh kelompok masyarakat. Pada kelompok masyarakat yang demikian ini, perilaku kelompok yang dominan adalah sekedar pengertian dan perasaan kesetiakawanan (solidarity making). Bentuk modal sosial yang menjembatani (bridging capital social) umumnya mampu memberikan kontribusi besar bagi perkembangan kemajuan dan kekuatan masyarakat. Hasilhasil kajian di banyak negara menunjukkan bahwa dengan tumbuhnya bentuk modal sosial yang menjembatani ini memungkinan perkembangan di berbagai dimensi kehidupan, terkontrolnya korupsi, semakin efisiennya pekerjaan-pekerjaan pemerintah, mempercepat keberhasilan upaya penanggulangan kemiskinan, kualitas hidup manusia akan meningkat dan bangsa menjadi jauh lebih kuat (Suparman, 2012). Terdapat perbedaan pola-pola interaksi berikut konsekuensinya antara modal sosial yang berbentuk terikat (bonding/exclusive) atau menjembatani (bridging/inclusive). Keduanya memiliki pengertian, pemahaman dan implikasi yang berbeda pada hasil-hasil
21 Universitas Sumatera Utara
yang dapat dicapai dan pengaruh-pengaruh yang dapat muncul dalam sebuah proses kehidupan dan pembangunan masyarakat yang dapat dilihat pada tabel 1. Tabel 1 Modal Sosial Terikat dan Modal Sosial Menjembatani Bonding Social Capital
Bridging Social Capital
• Terikat/ketat, jaringan yang eksklusif. • Perbedaan yang kuat antara orang kami dan orang luar. • Hanya ada satu alternatif jawaban. • Sulit menerima arus perubahan. • Kurang akomodatif terhadap pihak luar. • Mengutamakan kepentingan kelompok. • Mengutamakan solidaritas kelompok
• • • •
Terbuka. Memiliki jaringan yang lebih fleksibel. Toleran. Memungkinkan untuk memiliki banyak alternatif jawaban dan penyelesaian masalah. • Akomodatif untuk menerima perubahan. • Cenderung memiliki sikap yang altruistik, humanitaristik, dan universal.
Sumber: Hasbullah (2006)
2.2.
Elemen-Elemen Modal Sosial Dilihat dari aspek sosiologis maka elemen-elemen modal sosial terdiri dari :
1.
Jaringan Sosial (Social Networks) Jaringan (network) diartikan sebagai berikut (1) adanya ikatan antar simpul (orang
atau kelompok) yang dihubungkan dengan media (media sosial). Hubungan ini diikat dengan kepercayaan; (2) adanya kerja antar simpul (orang atau kelompok) yang melalui media hubungan sosial menjadi satu kerjasama, bukan kerja bersama-sama; (3) seperti halnya sebuah jaringan (yang tidak putus) kerja yang terjalin antar simpul itu pasti kuat menahan beban bersama dan lebih banyak; (4) dalam kerja jaringan itu ada ikatan (simpul) yang tidak dapat berdiri sendiri, malah kalau satu simpul saja putus, maka keseluruhan jaringan itu tidak bisa berfungsi lagi, sampai simpul itu diperbaiki lagi. Semua simpul itu menjadi satu kesatuan dan ikatan yang kuat; (5) media (benang dan kawat) dan simpul tidak dapat 22 Universitas Sumatera Utara
dipisahkan. Atau antara orang-orang dan hubungannya tidak dapat dipisahkan; (6) ikatan atau pengikat (simpul) dalam kapital sosial adalah norma yang mengatur dan menjaga bagaimana ikatan dan medianya itu dipelihara dan dipertahankan (Lawang, 2004:50). Jaringan sosial terjadi berkat adanya keterkaitan (connectedness) antara individu dan komunitas. Keterkaitan terwujud di dalam beragam tipe kelompok pada tingkat lokal maupun pada tingkat yang lebih tinggi. Jaringan sosial yang kuat antara sesama anggota dalam kelompok, mutlak diperlukan dalam menjaga sinergi dan kekompakan. Apalagi jika kelompok sosial kapital itu bentuknya kelompok formal. Adanya jaringan-jaringan hubungan sosial antara individu dalam modal sosial memberikan manfaat dalam konteks pengelolaan sumber daya milik bersama, karena hal tersebut dapat mempermudah koordinasi dan kerjasama untuk keuntungan yang bersifat timbal balik, itulah yang dikatakan Putnam dalam Lubis (2001) tentang jaringan sosial sebagai salah satu elemen dari modal sosial. Dari pengertian di atas dapat diketahui bahwa jaringan sosial merupakan media sosial yang dimana menghubungkan dan mengikat antara individu dengan individu atau individu dengan kelompok agar dapat berdiri dan menjadi satu. Melalui jaringan sosial sesama individu atau kelompok akan saling tahu, saling menginformasikan sesuatu yang bermakna dan menguntungkan, saling mengingatkan satu sama lain, saling bantu dalam melaksanakan atau mengatasi suatu masalah. 2.
Nilai dan Norma Timbal Balik Setiap kehidupan sosial senantiasa ditandai dengan adanya aturan-aturan pokok yang
mengatur perilaku anggota-anggota masyarakat yang terdapat di dalam lingkungan sosial tersebut. Dalam kehidupan manusia terdapat seperangkat pola hubungan yang tertata dengan baik yang tidak disamai dengan mahluk lain. Pola-pola tersebut meliputi; (a) segala sesuatu yang menjadi dasar-dasar tujuan kehidupan sosial ideal atas dasar pola-pola yang terbentuk di
23 Universitas Sumatera Utara
dalam realitas sosial tersebut; (b) Sesuatu yang menjadi pola-pola pedoman untuk mencapai tujuan dari kehidupan sosial, yang didalamnya terdapat seperangkat perintah dan larangan berikut sanksinya yang dinamakan sistem norma. Nilai dan norma merupakan susunan imajinasi artinya sebuah susunan yang hanya ada karena dibayangkan di dalam pikiran-pikiran dan banyak dipengaruhi oleh daya kreatif mental. Nilai-nilai yang menjadi kesepakatan bersama di dalam kehidupan sosial adalah konsep-konsep umum tentang sesuatu yang dicita-citakan, diinginkan atau dianggap baik. Adapun norma merupakan penjabaran dari nilai-nilai secara terperinci ke dalam bentuk polapola kehidupan sosial yang berisi perintah, anjuran dan larangan yang dijabarkan baik dalam bentuk tata aturan yang bernilai informal maupun nonformal. Menurut lawang nilai adalah gambaran mengenai apa yang diinginkan, pantas, berharga dan mempengaruhi perilaku sosial dari orang yang memiliki nilai itu. Norma tidak dapat dipisahkan dari jaringan dan kepercayaan, kalau struktur jaringan itu terbentuk karena pertukaran sosial yang terjadi antar dua orang. Sifat norma adalah muncul dari pertukaran yang saling menguntungkan (Blau 1963 dan Fukuyama 2000), artinya kalau dalam pertukaran itu keuntungan hanya dinikmati oleh salah satu pihak saja, pertukaran sosial selanjutnya pasti tidak akan terjadi. Karena itu norma yang muncul bukan hanya satu pertukaran saja. Kalau dari beberapa kali pertukaran prinsip saling menguntungkan dipegang teguh, maka dari situlah muncul norma dalam bentuk kewajiban sosial, yang intinya membuat kedua belah pihak merasa diuntungkan dari pertukaran, dengan demikian hubungan pertukaran itu dipelihara (Blau dalam Lawang, 2004). 3.
Hubungan antar Individu/Interaksi Sosial Interaksi sosial merupakan suatu hubungan timbal balik antara individu dengan
individu, individu dengan kelompok dan kelompok dengan kelompok. Perilaku individu manusia yang saling terkait dan saling mempengaruhi melalui alat komunikasi disebut
24 Universitas Sumatera Utara
sebagai interaksi sosial (Here dalam Outhwaite, 2008:397). Interaksi berarti semua kata, simbol dan isyarat yang dipakai orang untuk saling merespon atau menanggapi suatu hal yang saling berhubungan satu sama lain. Teori pertukaran sosial (social exchange) menjelaskan interaksi sosial dalam bentuk imbalan dan biaya. Teori ini lebih banyak berhubungan dengan interaksi dua orang. Interaksi terjadi jika dua orang bertemu, kemudian ia saling menegur sapa, berjabat tangan saling berbicara, bahkan sampai terjadi perkelahian, pertengkaran dan sebagainya. Interaksi sosial merupakan syarat utama terjadinya aktivitas-aktivitas sosial bahkan interaksi merupakan inti dari suatu kehidupan sosial, artinya tidak ada kehidupan yang sesungguhnya apabila tidak ada interaksi. Interaksi sosial merupakan hubungan-hubungan sosial yang dinamis dan terjadinya interaksi sosial adalah karena adanya kesadaran masing-masing pihak sehingga dari kesadaran tersebut menyebabkan adanya perubahan-perubahan diantara mereka seperti reaksi terhadap suatu bau keringat bau parfum atau kesan tentang diluar dirinya terhadap orang lain. Jika dua orang saling mengadakan interaksi maka dalam proses sosial tersebut akan bertemu dua kepribadian yang berbeda. Dalam proses interaksi sosial akan ditemukan kepentingan, pemikiran, sikap, cara-cara bertingkah laku keinginan, tujuan dan sebagainya yang dipertemukan dalam suatu wadah yang namanya komunitas sosial. 4.
Kepercayaan (Trust) Menurut Fukuyama (1995) kepercayaan adalah harapan yang tumbuh di dalam sebuah
masyarakat yang ditunjukkan oleh adanya perilaku jujur, teratur dan kerjasama berdasarkan norma-norma yang dianut bersama. Menurut Cox (1995) bahwa dalam masyarakat yang memiliki tingkat kepercayaan
tinggi, aturan-aturan sosial cenderung bersifat positif,
hubungan-hubungan juga bersifat kerjasama. Kepercayaan sosial pada dasarnya merupakan produk dari modal sosial yang baik.
25 Universitas Sumatera Utara
Kepercayaan/trust sebagai salah satu elemen paling penting dan pokok dalam modal sosial, yang diartikan sebagai keyakinan atau juga rasa percaya. Rasa percaya ini mutlak menyangkut akan orang, akan kelompok, akan keluarga, masyarakat bahkan negara. (Lawang, 2004:36) menyebutkan bahwa inti kepercayaan antar manusia terdapat tiga hal yang saling terkait yaitu; (a) Hubungan sosial antara dua orang atau lebih, termasuk dalam hubungan ini adalah institusi yang dalam pengertian ini diwakili orang; (b) Harapan yang akan terkandung dalam hubungan itu, yang kalau direalisasikan tidak akan merugikan salah satu atau kedua belah pihak; (c) Interaksi sosial yang memungkinkan hubungan dan harapan itu terwujud. 5.
Institusi dan Asosiasi Institusi adalah sistem-sistem yang menjadi wahana yang memungkinkan warga
masyarakat melakukan interaksi menurut pola-pola yang sudah terstruktur di dalam masyarakat dalam sosiologi disebut pranata sosial, bangunan sosial atau lembaga kemasyarakatan. Dalam Bahasa Indonesia institusi adalah lembaga yang seringkali disamakan artinya dengan konsep pranata atau institution. Padahal antara pranata dan lembaga memiliki perbedaan yang tajam, yakni pranata adalah sistem norma atau aturan-aturan yang mengenai aktivitas masyarakat khusus yang berupa perilaku yang diwujudkan dalam bentuk tingkah laku, sedangkan lembaga atau institute adalah badan atau organisasi yang melaksanakan aktivitas itu (Setiadi dan Kolip, 2010). Jika istilah lembaga diperhatikan lebih mendalam dan dihubungkan dengan istilah kelompok atau perkumpulan, maka lembaga adalah perkumpulan yang khusus. Wadah sebagai tempat manusia beraktivitas dalam rangka hidup bersama adalah lembaga atau institusi. Jadi lembaga bermanfaat bagi manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Jadi, pada hakekatnya, modal sosial (social capital) merupakan dasar berpijak
26 Universitas Sumatera Utara
yang kokoh, yang apabila dijalankan secara baik akan meringankan biaya pembangunan. Selama ini kita sering salah kaprah terhadap peran uang dalam pembagunan pedesaan. Uang memang dibutuhkan, tapi uang memberi sumbangan yang paling sedikit dalam memperbaiki proses (Cernea, 1988). Penunjang berupa uang tidak pernah secara ampuh menggantikan yang bukan uang. Variabel yang terlewatkan misalnya adalah variabel sosiobudaya dan kelembagaan. 2.3.
Potensi Modal Sosial Kemampuan masyarakat dalam suatu entitas atau kelompok untuk bekerja sama
membangun suatu jaringan untuk mencapai tujuan bersama. Kerja sama tersebut diwarnai oleh suatu pola hubungan satu sama lain yang timbal balik dan saling menguntungkan (resiprocity dan dibangun di atas kepercayaan (trust) yang ditopang oleh norma-norma dan nilai-nilai sosial yang positif dan kuat (Hasbullah, 2006). Kajian empiris tersebut tidak jauh berbeda dengan penelitian yang pernah dilakukan dengan para perempuan manajer. Responden dalam penelitian tersebut adalah para perempuan manajer di propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kesuksesan perempuan manajer terkait dengan beberapa hal. Pertama, nilai-nilai spiritual yang menjadi fondasi bisnis yang dijalankannya. Kedua, perempuan manajer memiliki kemampuan komunikasi interpersonal yang baik. Ketiga, mereka memiliki kemampuan menjaga hubungan dengan orang lain atau pelanggan. Hal keempat adalah bahwa para perempuan manajer cenderung memiliki tingkat kepedulian sosial yang tinggi. Mereka mempunyai naluri berempati dan bersimpati atas masalah-masalah yang dialami orang lain. Secara umum potensi-potensi untuk peduli, bersimpati, berempati, bermultiperan, berinteraksi dan berelasi dengan lingkungan merupakan potensi-potensi yang lebih dekat dengan sosok perempuan. Potensi-potensi tersebut dikenal dengan istilah modal sosial. Modal sosial berkaitan dengan kekayaan personal yang melekat pada diri individu. Banyak peneliti 27 Universitas Sumatera Utara
modal sosial seperti Coleman, Putnam, Fukuyama, Nahapiet dan Ghoshal menjelaskan bahwa mereka yang memiliki modal sosial tinggi cenderung memiliki kinerja yang tinggi. Dalam konteks di Indonesia, Djamaludin Ancok dan Wisnu Prajogo melihat bahwa modal sosial yang tinggi konsisten meningkatkan kinerja. Masyarakat bisnis melihat kemampuan, keterampilan dan sikap profesionalisme menjadi hal yang lebih penting. Sesungguhnya, para perempuan manajer memiliki potensi luar biasa yang tidak kalah dengan laki-laki untuk berperan menjadi manajer-manajer bisnis yang handal. Dengan kekayaan modal sosial yang dimilikinya, perempuan manajer berpotensi untuk semakin berperan dalam mengelola bisnis. Hal ini juga dimiliki oleh seluruh individu baik yang bekerja dimanapun tak terkecuali buruh bangunan, yang diharapkan juga mampu menciptakan dan mengembangkan sikap dan potensi modal sosial yang mereka miliki. 2.4.
Peranan Modal Sosial Dalam Pembangunan Perkembangan paradigma dan teori pembangunan telah mengalami perubahan sejak
30 tahun lalu. Perubahan ini dipicu oleh ketidakpuasan pada perkembangan pembangunan di banyak negara berkembang dan negara miskin di benua Asia dan Afrika. Paradigma pembangunan yang ada sebelumnya telah menjerumuskan negara-negara tersebut dalam kemiskinan akibat lemahnya kontrol negara terhadap pengaruh dan intervensi negara asing dalam bidang perekonomian, perdagangan, industri, budaya dan politik yang berimbas pada lemahnya kebijakan publik yang dibuat oleh pemerintah yang berpihak pada kepentingan masyarakat. Perubahan paradigma yang terjadi kemudian, banyak negara belum juga berdampak positif bagi masyarakat. Upaya penanggulangan kemiskinan dan upaya membebaskan bangsa dari keterbelakangan senantiasa tidak menghasilkan sesuatu yang optimal. Hal ini erat kaitannya dengan tidak dimasukkannya modal sosial sebagai faktor penting dalam 28 Universitas Sumatera Utara
mempengaruhi efisiensi dan efektivitas kebijakan. Kenyataan ini menumbuhkan kesadaran akan pentingnya dimensi kultural dan pendayagunaan peran lembaga-lembaga yang tumbuh dalam masyarakat untuk mempercepat dan mengoptimalkan proses-proses pembangunan. Fukuyama (2002) misalnya menyebutkan faktor kultural, khususnya modal sosial menempati posisi yang sangat penting sebagai faktor yang menentukan kualitas masyarakat (Inayah 2012 dalam Jurnal Pengembangan Humaniora hal 46-47). 2.4.1. Modal Sosial dan Pembangunan Manusia Putnam dalam Hasbullah (2006) menyatakan bahwa bangsa yang memiliki modal sosial tinggi cenderung lebih efisien dan efektif dalam menjalankan berbagai kebijakan untuk mensejahterakan dan memajukan kehidupan rakyatnya. Modal sosial dapat meningkatkan kesadaran individu tentang banyaknya peluang yang dapat dikembangkan untuk kepentingan masyarakat. Dalam konteks pembangunan manusia, modal sosial mempunyai pengaruh yang besar sebab beberapa dimensi pembangunan manusia sangat dipengaruhi oleh modal sosial antara lain kemampuan untuk menyelesaikan kompleksitas berbagai permasalahan bersama, mendorong perubahan yang cepat di dalam masyarakat, menumbuhkan kesadaran kolektif untuk memperbaiki kualitas hidup dan mencari peluang yang dapat dimanfaatkan untuk kesejahteraan. Hal ini terbangun oleh adanya rasa saling mempercayai, kohesifitas, tindakan proaktif, dan hubungan internal-eksternal dalam membangun jaringan sosial didukung oleh semangat kebajikan untuk saling menguntungkan sebagai refleksi kekuatan masyarakat. Situasi ini akan memperbesar kemungkinan percepatan perkembangan individu dan kelompok dalam masyarakat tersebut. Bagaimanapun juga kualitas individu akan mendorong peningkatan kualitas hidup masyarakat itu berarti pembangunan manusia paralel dengan pembangunan sosial.
29 Universitas Sumatera Utara
2.4.2. Modal Sosial dan Pembangunan Sosial Masyarakat yang memiliki modal sosial tinggi akan membuka kemungkinan menyelesaikan kompleksitas persoalan dengan lebih mudah. Dengan saling percaya, toleransi, dan kerjasama mereka dapat membangun jaringan baik di dalam kelompok masyarakatnya maupun dengan kelompok masyarakat lainnya. Masyarakat tradisional diketahui memiliki asosiasi-asosiasi informal yang umumnya kuat dan memiliki nilai-nilai, norma, dan etika kolektif sebagai sebuah komunitas yang saling berhubungan. Hal ini merupakan modal sosial yang dapat mendorong munculnya organisasiorganisasi modern dengan prinsip keterbukaan, dan jaringan-jaringan informal dalam masyarakat yang secara mandiri dapat mengembangkan pengetahuan dan wawasan dengan tujuan peningkatan kesejahteraan dan kualitas hidup bersama dalam kerangka pembangunan masyarakat. Berkembangnya modal sosial di tengah masyarakat akan menciptakan suatu situasi masyarakat yang toleran, dan merangsang tumbuhnya empati dan simpati terhadap kelompok masyarakat di luar kelompoknya. Hasbullah (2006) memaparkan mengenai jaringan-jaringan yang memperkuat modal sosial akan memudahkan saluran informasi dan ide dari luar yang merangsang perkembangan kelompok masyarakat. Hasilnya adalah lahirnya masyarakat peduli pada berbagai aspek dan dimensi aktifitas kehidupan, masyarakat yang saling memberi perhatian dan saling percaya. Situasi yang mendorong kehidupan bermasyarakat yang damai, bersahabat dan tenteram. 2.4.3. Modal Sosial dan Pembangunan Ekonomi Modal sosial sangat tinggi pegaruhnya terhadap perkembangan dan kemajuan berbagai sektor ekonomi. Fukuyama (2002) menunjukkan hasil-hasil studi di berbagai negara yang menunjukkan bahwa modal sosial yang kuat akan merangsang pertumbuhan berbagai
30 Universitas Sumatera Utara
sektor ekonomi karena adanya tingkat rasa percaya yang tinggi dan kerekatan hubungan dalam jaringan yang luas tumbuh antar sesama pelaku ekonomi. Hasbullah (2006) memberikan contoh perkembangan ekonomi yang sangat tinggi di Asia Timur sebagai pengaruh pola perdagangan dan perekonomian yang dijalankan pelaku ekonomi Cina dalam menjalankan usahanya memiliki tingkat kohesifitas yang tinggi karena dipengaruhi oleh koneksi-koneksi kekeluargaan dan kesukuan, meskipun demikian pola ini mendorong pembentukan jaringan rasa percaya (networks of trust) yang dibangun melewati batas-batas keluarga, suku, agama dan negara. Budaya gotong-royong, tolong menolong, saling mengingatkan antar individu dalam entitas masyarakat desa merefleksikan semangat saling memberi (reciprocity), saling percaya (trust) dan adanya jaringan-jaringan sosial (sosial networking). Hal ini membangun kekompakan pada masyarakat desa untuk bersama-sama dalam memulai bercocok tanam bersama-sama untuk menghindari hama, membentuk kelompok tani untuk bersama-sama menyelesaikan permasalahan dan mencari solusi bersama dalam rangka meningkatkan perekonomian pertanian. Pembangunan industri pada masyarakat dengan modal sosial tinggi akan cepat berkembang karena modal sosial akan menghasilkan energi kolektif yang memungkinkan berkembangnya jiwa dan semangat kewirausahaan di tengah masyarakat yang pada gilirannya akan menumbuhkembangkan dunia usaha. Investor asing akan tertarik untuk menanamkan modal usaha pada masyarakat yang menjunjung nilai kejujuran, kepercayaan, terbuka dan memiliki tingkat empati yang tinggi. Modal sosial, berpengaruh kuat pada perkembangan sektor ekonomi lainnya seperti perdagangan, jasa, konstruksi, pariwisata dan lainnya (Inayah 2012 dalam Jurnal Pengembangan Humaniora hal 46-47).
31 Universitas Sumatera Utara
2.5.
Modal Sosial dalam Produktivitas Satu konsep lain yang dekat dengan modal sosial adalah konsep Kualitas Masyarakat.
Menurut Dahlan dalam Rajoki Simarmata (2009) kualitas masyarakat perlu untuk mewujudkan kemampuan dan prestasi bersama. Hal ini mencakup ciri-ciri yang berhubungan dengan kelangsungan masyarakat itu sendiri. Kualitas masyarakat ditelaah atas beberapa kelompok dengan detail sebagai berikut: Perihal kehidupan bermasyarakat yang dilihat dari keserasian sosial, kesetiakawanan sosial, disiplin sosial dan kualitas komunikasi sosial. Kehidupan sosial politik melalui level demokrasi, keterbukaan akses untuk partisipasi politik, kepemimpinan yang terbuka, ketersediaan sarana dan prasarana komunikasi politik, serta keberadaan media massa. Kehidupan kelompok, kualitas lembaga dan pranata kemasyarakatan dengan mempelajari kemutakhiran institusi dan kualitas, kemampuan institusi menumbuhkan kemandirian masyarakat dan menjalankan fungsi yang baik, kualitaspemahaman terhadap hak dan kewajiban tiap orang, struktur institusi yang terbuka, dan mekanisme sumber-sumber yang potensial dalam membangkitkan daya kemasyarakatan secara berkelanjutan. Pembangunan atau pengembangan dalam hal ini bukan suatu kondisi atau keadaan yang ditentukan oleh apa yang dimiliki manusia, dalam hal ini masyarakat lokal. Sebaliknya, pengembangan itu adalah kemampuan yang ditentukan oleh apa yang dapat mereka lakukan dengan apa yang mereka miliki untuk meningkatkan kualitas hidupnya dan juga masyarakat sekitarnya. Jadi pembangunan harus diartikan sebagai keinginan untuk memperoleh perbaikan serta kemampuan untuk merealisasikannya. Artinya, pengembangan lebih kepada motivasi dan pengetahuan (M.T. Zen, 2001 dalam Rajoki Simarmata). Beberapa konsep mengenai produktivitas : 1.
Konsep ekonomi adalah produktivitas merupakan usaha manusia untuk menghasilkan barang yang beguna bagi pemenuhan kebutuhan hidup manusia.
32 Universitas Sumatera Utara
2.
Konsep fisiologis adalah produktivitas mengandung pandangan hidup, sikap mental yang selalu berusaha untuk meningkatkan mutu kehidupan dimana keadaan hari ini harus lebih baik dari hari kemarin dan keadaan esok harus lebih baik dari hari ini.
3.
Konsep sistem adalah produktivitas mengandung arti pencapaian suatu tujuan harus ada kerja atau keterpaduan dari unsur-unsur yang relevan sebagai suatu sistem. Banyak sekali faktor yang mempengaruhi produktivitas seseorang dalam bekerja.
Produktivitas orang yang bekerja pada lingkungan kerja yang baik dan nyaman lebih tinggi produktivitasnya dari pada lingkungan kerja yang tidak menyenangkan. Produktivitas kerja dipengaruhi oleh faktor-faktor antara lain (Sinungan, 2005) : 1.
Motivasi, termasuk motivasi berprestasi, motivasi terhadap mutu kerja dan kehidupan.
2.
Kecakapan, termasuk menggunakan peralatan dan teknologi, manajerial antara hubungan manusia, pemecahan masalah dari hasil pendidikan, pengalaman, dan penelitian.
3.
Kepribadian, termasuk pandangan terhadap nilai-nilai, etos kerja, disiplin pendidikan, kerja sama, partisipasi pada pekerjaan.
4.
Peran, pandangan terhadap peran yang dilakukan terhadap pengembangan dan pembangunan yang di pengaruhi rasa ikut memiliki, pengalaman serta solidaritas kelompok.
2.6.
Konsep Buruh Bangunan Sebelum membahas lebih lanjut tentang potensi modal sosial buruh bangunan, perlu
diperjelas apa sebenarnya yang dimaksud dengan pengertian buruh bangunan itu sendiri. Undang-undang No.13 tahun 2003 (tentang ketenagakerjaan) mendefinisikan pekerja atau buruh adalah setiap orang yang bekerja pada si pemberi pekerjaan dan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain. Pekerja yang saya maksud disini adalah pekerja bangunan, tukang atau kenek yang pada dasarnya adalah manusia yang menggunakan tenaga dan fisik yang 33 Universitas Sumatera Utara
kuat, kemampuan dan keahliannya untuk mendapatkan balasan berupa pendapatan baik berupa uang maupun bentuk lainnya dari si pemberi kerja, pengusaha atau majikan. Menurut ILO, buruh adalah seseorang yang bekerja pada orang lain/badan hukum dan mendapatkan upah sebagai imbalan atas jerih payahnya menyelesaikan pekerjaan yang dibebankan padanya, dengan kata lain semua orang yang tidak memiliki alat produksi dan bekerja pada pemilik alat produksi maka bisa dikatakan sebagai buruh. Konsepsi ini juga sejalan dengan pemikiran Karl Marx tentang borjuis dan proletar, pada hakikatnya di dunia ini hanya ada dua kelas yaitu borjuis dan proletar, borjuis adalah pemilik alat produksi dan proletar adalah orang yang tidak memiliki alat produksi. Tidak ada kelas menengah karena sebenarnya kelas menengah adalah pecahan dari kelas proletar. Dari berbagai sumber definisi, buruh bukan hanya pekerja kasar bangunan tetapi juga semua orang yang bekerja di bawah perintah kekuasaan orang lain dan menerima upah. Jadi pegawai negeri sipil maupun eksekutif pun sebenarnya adalah buruh juga. Tapi definisi ini sengaja dikaburkan di jaman Orde Baru sebagai upaya pengkotak-kotakan dan pemecah belahan, sehingga definisi terpecah menjadi buruh, pekerja, pegawai, kaum profesional dan sebagainya. Tujuannya supaya kekuatan buruh tidak bersatu sehingga tidak bisa mempengaruhi kekuasaan politik penguasa saat itu. Di Indonesia, pada tataran praktis ketika kita berbicara tentang buruh, maka yang dimaksud adalah pekerja “berkerah biru” (blue collar) yang selalu diidentikkan dengan kemiskinan, kumuh, untuk makan harus “gali lobang tutup lobang” dan selalu terpinggirkan. Buruh inilah yang kemudian dilihat dari tingkat kesejahteraannya berada pada level bawah masyarakat. 2.6.1. Mandor/kepala tukang Mandor atau kepala tukang adalah orang yang membawahi belasan hingga ratusan tukang dan kenek. Jika menggunakan sistem borongan maka ia adalah orang yang membayar 34 Universitas Sumatera Utara
gaji tukang yang ditagih ke kontraktor sebagai pelaksana. Pada prakteknya, seorang mandor akan mencari tukang dan kenek untuk dipekerjakan. Hubungan kerja antara mandor dan tukang tidak mempunyai ikatan formal atau tidak ada kontrak hitam di atas putih. 2.6.2. Tukang Tukang adalah pekerja atau buruh bangunan yang pekerjaannya membangun rumah atau bangunan. Keahliannya juga berbeda-beda mulai dari tukang batu, tukang kayu, tukang besi, tukang cor, tukang listrik, finishing dan lain-lain. Untuk membantu tugas tukang biasanya seorang mandor atau tukang akan mempekerjakan seorang kenek. Kenek adalah pekerjaan di bawah tukang yang bertugas membantu apa saja pekerjaan tukang. 2.6.3. Kriteria pencarian proyek kerja Seorang mandor ketika mendapatkan pekerjaan akan mencari tukang untuk dipekerjakan. Dalam prakteknya, seorang mandor akan mencari tukang berdasarkan kriteriakriteria tertentu. Diantaranya yaitu spesifikasi keahlian tukang, upah tukang dan wilayah proyek kerja. 2.6.4. Spesifikasi Keahlian Tukang Tenaga kerja tukang yang dibutuhkan dalam suatu proyek konstruksi untuk berbagai jenis pekerjaan yang ada di lapangan akan berbeda antara satu dengan yang lainnya. Menurut Ikatan Arsitek Indonesia (IAI) perbedaan ini disebabkan karena setiap jenis pekerjaan konstruksi yang dilakukan membutuhkan keahlian tenaga kerja yang berbeda-beda. Untuk itu seorang mandor akan mencari tukang berdasarkan keahlian yang dibutuhkan di lapangan. Adapun pembagian spesifikasi tukang berdasarkan keahliannya adalah sebagai berikut: a.
Tukang Rangka Baja
b.
Tukang Kayu
c.
Tukang Listrik / Instrumen
d.
Tukang Besi 35 Universitas Sumatera Utara
e.
Tukang Keramik
f.
Tukang Batu
g.
Tukang Cat
h.
Tukang Batu
i.
Tukang Pemasang Pipa
j.
Dan lain sebagainya Biasanya seorang tukang hanya dapat mendalami satu keahlian saja, namun ada juga
tukang yang dapat menguasai lebih dari satu keahlian atau biasa disebut multifungsi. Contohnya tukang keramik dapat mengerjakan tugas dari tukang batu namun tidak semua tukang batu dapat mengerjakan tugas seorang tukang keramik. Keahlian-keahlian ini didapatkan dari pendidikan formal maupun non formal. Sebuah lembaga pemerintah yaitu Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi Nasional (LPJK) bertugas menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan keterampilan kerja jasa konstruksi. Pendidikan formal tersebut akan membentuk suatu Badan Sertifikasi Keterampilan Institusi Diklat yaitu Badan penyelenggara sertifikasi yang independen dan mandiri, yang menyelenggarakan pengujian keterampilan kerja untuk proses sertifikasi keterampilan kerja tertentu. Dengan itu seorang tukang yang telah mendapatkan sertifikasi suatu bidang keahlian telah mendapat pengakuan tertulis tentang keahliannya tersebut. Selain dari pendidikan formal keahlian ini juga bisa didapatkan dari pendidikan non formal seperti pengalaman kerja. Biasanya sebelum menjadi seorang tukang, seorang buruh bangunan dipekerjakan sebagai kenek terlebih dahulu. Lama kelamaan kenek akan mahir dan bisa naik menjadi tukang dengan keahlian tertentu (skripsi buruh.pdf diakses pada tanggal 17 oktober 2012 pada jam 14:05). 2.6.5. Upah kerja Biasanya seorang mandor akan membayar tukang dan kenek dengan upah yang dihitung secara harian. Besarnya upah harian tukang dan kenek berdasarkan kesepakatan 36 Universitas Sumatera Utara
antara kedua pihak. Salah satu pertimbangan tukang menerima suatu pekerjaan dari seorang mandor ataupun sebaliknya yaitu berdasarkan kesepakatan besar upah harian yang diberikan mandor kepada tukang. Belum adanya standarisasi upah terkadang dapat membuat adanya kemungkinan salah satu pihak dirugikan. 2.6.6. Wilayah kerja Terkadang seorang mandor tetap mempertahankan tukang yang pernah dipekerjakan untuk melaksanakan proyek kerja baru. Tak jarang jika ada proyek di luar kota mandor akan memboyong tukang-tukang ini untuk dipekerjakan. Biasanya para tukang ini akan mendapatkan upah lebih karena wilayah kerja yang berada di luar kota. Wilayah kerja merupakan salah satu kriteria dalam pencarian kerja. Karena tak selamanya seorang tukang bersedia kerja diluar kota karena berbagai alasan diantaranya upah kerja yang tak dapat menutupi biaya hidup di luar kota, jauh dari keluarga dan lain sebagainya. 2.7.
Penelitian Terdahulu Untuk memudahkan peneliti dalam melakukan penelitian maka peneliti juga
mencamtumkan hasil-hasil penelitian terdahulu yang berhubungan dengan penelitian ini sebagai bahan rujukan yang dapat dilihat pada tabel 2. Tabel 2 Penelitian terdahulu No
Judul/ peneliti/ tahun/ tujuan
Metodologi
Hasil penelitian
1.
“ Penguatan modal sosial untuk
Penelitian ini Secara
historis
dapat
dikatakan
pemberdayaan masyarakat pedesa- menggunakan
bahwa kerusakan ALK di desa- desa
an dalam pengelolaan agroekosis- pendekatan
(boyolali) bagian hulu DAS dinilai
tem lahan kering” /Tri Pranadji / kualitatif
sudah
2006 / Tujuan penelitian :
dengan
masyarakat pedesaan dalam meng-
1.Menjelaskan adanya hubungan
penganalisaan
urangi
sangat
tekanan
parah,kemampuan
terhadap
ALK
37 Universitas Sumatera Utara
Erat
antara
terhadap
kerusakan
tingkat
ALK secara croos- dipengaruhi oleh kekuatan modal
melemahnya section.
sosialyang berhasil diwujudkan oleh
modal sosial setempat.
masyarakat pedesaan setempat. Desa
2.Menganalisis pengaruh penerapan
yang memiliki modal sosial yang
model
paling kuat adalah adalah desa yang
pengelolaan
ALK
yang
dikembangkan pemerintah terhadap
masyarakatnya memiliki modal sosial
tingkat
yang relatif kuat, sehingga tingkat
kehidupan
dan
cara
masyarakat pedesaan setempat.
kesejahteraan masyarakatnya cende-
3. Menganalisis elemen modal
rung tinggi dan proses tranformasi
sosial dilandaskan pada nilai- nilai
sosial ekonominya berlangsung lebih
budaya, manajemen sosial,
cepat.
kepemimpinan, penyelenggaraan, pemerintah desa. 2.
Pemetaan dan Pemanfaatan Modal Analisis Sosial
dalam
Kemiskinan Lembaga
di
data Modal sosial yang ada, baik di
Penanggulangan dilakukan,
kalangan masyarakat rural maupun
/ baik secara
urban masih dalam tahap bonding
Jawa
Penelitian
Barat
Universitas kuantitatif
Padjajaran /2008 /
maupun
(sebagai
pengikat
saja),
belum
sebagai jembatan (bridging) yang
1. Mengidentifikasi dan mengukur kualitatif.
menghubungkan
kondisi modal sosial di Jawa Barat.
warga. Hal ini ditandai oleh: (a)
Data yang
2. Menganalisis keterkaitan antara diperoleh modal sosial dengan penanggu- dalam langan kemiskinan di Jawa Barat.
potensi
kelompok-kelompok yang terbentuk studi mayoritas
kepustakaan
3. Merumuskan desain pemanfaatan dan
seluruh
berdasarkan
persamaan
baik karena kekerabatan, persamaan
focus etnik, persamaan agama, persamaan
modal sosial untuk penanggulangan group
strata ekonomi, dsb; (b) kerjasama
kemiskinanJawa Barat.
discussion
yang
dianalisis
komunitas yang sama; serta (c)
dilaksanakan
terbatas
pada
dengan teknik pendanaan dalam kelompok tersebut analisis
pada umumnya swadaya dari iuran
kualitatif
anggota.
berupa
2. Kapasitas modal sosial yang
interpretasi
tersedia
belum
secara
optimal
dimanfaatkan untuk penanggulangan
38 Universitas Sumatera Utara
kemiskinan
karena
kelompok-
kelompok yang tersedia memiliki keterbatasan akses untuk memberdayakan anggotanya. 3. Desain pemanfaatan modal sosial untuk penanggulangan kemiskinan di Jawa Barat dapat dirumuskan melalui 3 (tiga) model, yakni: (a) model rural-pertanian;
(b)
model
rural-
pesisir; dan (c) model urban-industri. 3.
“Making Democracy Work civic Penelitian ini Pertama, Desentralisasi menumbuhTraditions in Modern Italy“ / menggunakan
kan
Robert Putnam / 1993 / bertujuan Pendekatan
kewargaan di tingkat lokal.
untuk:
Kedua, kawasan Italia Utara jauh
hubungan
pertama antara
mengetahuhi Kualitatif modal
sosial
sosial
dan
tradisi
lebih unggul dan maju ketimbang
dengan tradisi kewargaan di tingkat
kawasan Italia Selatan, dari sisi
lokal, kedua mengetahui pengaruh
desentralisasi,
demokrasi
desentralisasi
modal
tradisi
di
kawasan
Italy
Utara dan Italy Selatan. 4.
modal
sosial,
lokal,
kewargaan,
kinerja pembangunan ekonomi.
“Modal Sosial sebagai Sarana
Penelitian ini Bentuk modal sosial dapat diketahui
Pengembangan Masyarakat (Studi menggunakan
dengan tingginya nilai-nilai kemasya-
kasus di kecamatan Wonomulyo, Pendekatan
rakatan yang ditandai dengan sikap
kabupaten
gotong royong di desa sumberjo dan
Provinsi
Polewali Sulawesi
Mamasa, Kualitatif Selatan)”
/ untuk mencari
Masdin AP / 2002 / bertujuan
fakta
bentuk
modal
sosial
di
dalam
dengan masyarakat petani adalah dengan
Pertama, Untuk mengetahui bentuk interpretasi
adanya
organisasi
dan peran modal sosial dalam yang tepat
kelompok tani dan peran modal
pengembangan masyarakat yang
berhasil di dalam mengembangkan
dikhususkan pada aspek pertanian,
masyarakat khususnya masyarakat
Kedua mengidentifikasi faktor –
tani. Faktor- faktor yang
faktor yang mempengaruhi tum-
mendorong
buhnya modal sosial pada aspek
tumbuhnya modal sosial ditentukan
pertanian di dalam pengembangan
dari tindakan bersama masyarakat,
dan
lokal
seperti
mempengaruhi
39 Universitas Sumatera Utara
masyarakat.
adanya partisipasi yang setara dari anggota sikap
masyarakat, saling
tumbuhnya
percaya
dalam
masyarakat, serta transparansi dan kebebasan. 5.
“Modal Sosial komunitas migran Penelitian ini Dari Penelitian ini dijelaskan bahwa dalam
upaya
eksistensi
mempertahankan menggunakan
komunitasnya”
(studi Pendekatan
sebagai
warga
pendatang
di
perkotaan, mereka selalu dihadapkan
kasus warga PJKA di Permukiman kualitatif
pada
Ilegal Jalan Bungur Besar Raya,
pemenuhan kebutuhan sehari-hari,
JakPus/Triyani Anugrahini / 2004 /
melakukan kegiatan sehari-hari atau
bertujuan untuk memahami tentang
usaha
bagaimana
eksistensinya di kota Jakarta.
suatu
komunitas
persoalan
tempat
untuk
tinggal,
mempertahankan
migrant di wilayah perkotaan. 6.
“Modal
sosial
dan
Ketahanan Pendekatan
Hasil Analisis kuantitatif ditemukan
Ekonomi keluarga Miskin”: studi yang
bahwa
ditemukan
Sosiologi pada Komunitas Bantaran dilakukan
bermakna yang kuat diantara variabel
Ciliwung. Oleh Ujianto Singgih dalam
yang
di uji
Prayitno / 2004 / tujuan untuk penelitian ini ekonomi menemukan
modal
sosial adalah
hubungan
terhadap
keluarga
ketahanan
miskin.
Uji
korelasi terhadap ketahanan ekonomi
komunitas di Bantaran Ciliwung kuantitatif
keluarga
untuk
kelompok dan jaringan, kepercayaan
mempengaruhi
ketahanan dengan
ekonomi keluarga miskin.
miskin
dengan
variabel
pendekatan
dan solidaritas, aksi kolektif dan
positivisme
kerjasama, informasi dan komunikasi,
dan
kohesi dan inklusi sosial terdapat
kualitatif
hubungan bermakna lemah.
dengan pendekatan substantif. 7.
Fukuyama (1995)
Modal sosial, Modal sosial berhubungan positif efektivitas
dengan
efektivitas
organisasional
organisasional
melalui pengurangan biaya transaksi
, biaya tran- organisasional. 40 Universitas Sumatera Utara
saksi. 8.
Badarudin (2003)
1. Patron-klien yang lahir dari sikap
Modal Sosial, Masyarakat nelayan.
saling percaya (trust) sebagai salah satu elemen modal sosial. 2.
Koperasi
sebagai
salah
satu
perwujudan modal sosial sikap saling percaya, mampu menjadi kekuatan yang cukup potensial. 3.
Serikat
Tolong
Menolong
merupakan pranata yang berfungsi secara ekonomi dan juga berfungsi sosial dalam hal ritual keagamaan. 4. Arisan sebagai suatu pranata untuk mensiasati
perangkap
kemiskinan
pada masyarakat nelayan.
41 Universitas Sumatera Utara