BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Film
2.1.1
Pengertian Film Film atau gambar bergerak adalah bentuk dominan dari komunikasi massa
visual di belahan dunia ini. Film merupakan karya seni yang diproduksi secara kreatif dan memenuhi imajinasi orang-orang yang bertujuan memperoleh estetika (keindahan) yang sempurna. Film ditemukan dari hasil penggambaran prinsipprinsip fotografi dan proyektor1 Film merupakan karya sinematografi yang memanfaatkan media celluloid sebagai
media
penyimpanan.
Sejalanan
dengan
perkembangan
media
penyimpanan dalam bidang sinematografi, pengertian film telah bergeser. Saat ini tidak sedikit film yang menggunakan media celluloid pada tahap pengambilan gambar, kemudian pada tahap pasca produksi gambar yang telah diedit dari media analog maupun digital dapat disimpan pada media yang lebih fleksibel seperti cakram (VCD dan DVD). Pada istilah lain pun tidak lagi sebagai media penyimpanan bentuk karya audio visual namun lebih diartikan sebagai suatu genre seni cerita berbasis audio visual atau cerita yang dituturkan pada penonton melalui gambar bergerak.2
1
Elvinaro Ardianto, Lukiati Komala, dan Siti Karlinah. Komunikasi Massa Suatu Pengantar, Edisi Revisi, Simbiosa Rekatama Media, Bandung, 2007, Hal 143 2 Ilham Zoebary, Kamus Istilah Televisi dan film, PT Gramedia Pustaka Umum, Jakarta, 2010, Hal 104
11
12
Monaco mengartikan film secara luas, yaitu direkam dalam media yang tergolong rumpun cerita bergerak yang meliputi ditayangkan di bioskop, rekaman pada pita video, piringan laser, serta siaran televisi. Selain itu Monaco juga memberikan pengertian lain. Menurutnya film adalah medium komunikasi massa yaitu alat penyampaian berbagai jenis pesan dalam peradaban modern. Film merupakan medium ekspresi artistik bagi para seniman film untuk menyampaikan gagasan, ide, lewat suatu wawasan keindahan.3 2.1.2
Karakteristik Film Faktor-faktor yang dapat menunjukan menunjukan karakteristik film
adalah: a. Layar yang luas atau lebar Film dan televisi sama-sama menggunakan layar, namun kelebihan media film adalah layarnya yang berukuran luas. Layar film yang luas telah memberikan keleluasaan penontonnya untuk melihat adegan-adegan yang disajikan dalam film. Seiring dengan adanya kemajuan teknologi, layar film saat ini menjadi tiga dimensi (3D) sehingga khalayak seolaholah melihat kejadian nyata dan tidak berjarak. b. Pengambilan gambar Sebagai konsekuensi layar lebar, maka pengambilan gambar atau shot dalam film dengan menggunakan extreme long shot atau panoramic shot, yakni pengambilan gambar menyeluruh. Shot tersebut dipakai untuk
3
Marseli Sumarno, Dasar-dasar Apresiasi Film, PT Gramedia Widiasarna Indonesia, Jakarta, 1996, Hal 27
13
member kesan artistik dan suasana yang sesungguhnya sehingga film menarik. c. Konsentrasi penuh Saat menonton film dibioskop, kita akan terbebas dari gangguan apapun karena semua mata khalayak hanya tertuju pada layar. Dalam keadaan demikian maka emosi khalayak akan terbawa suasana sehingga khalayak dapat berkonsentrasi penuh untuk menyaksikan setiap adegan yang ditampilkan dalam film tersebut. d. Identifikasi psikologis Pengaruh film terhadap jiwa khalayak (penonton) tidak hanya pada saat menonton, tetapi terus sampai waktu yang cukup lama, misalnya peniruan semangat pantang menyerah yang ditunjukan pada film yang ditonton, peniruan terhadap cara berpakaian atau model rambut.4 2.1.3
Fungsi Film Seperti halnya televisi siaran, tujuan khalayak menonton film terutama
adalah ingin memperoleh hiburan. Akan tetapi dalam film dapat terkandung fungsi informatif maupun edukatif, bahkan persuasif hal ini pun sejalan dengan misi perfilman nasional sejak tahun 1979, bahwa selain sebagai media hiburan, film nasional dapat digunakan sebagai media edukasi untuk pembinaan generasi muda dalam rangka nation and character building (Effendy, 1981: 212)
4
Elvinaro Ardianto, Lukiati Komala, dan Siti Karlinah, Komunikasi Massa Suatu Pengantar, Edisi Revisi, Simbiosa Rekatama Media, Bandung, 2007, Hal 145
14
Fungsi edukasi dapat tercapai apabila film nasional memproduksi filmfilm sejarah yang objektif, atau film dokumenter dan film yang diangkat dari kehidupan sehari-hari secara berimbang.5 2.1.4
Jenis Film
Ada beberapa jenis-jenis film seperti dibawah ini :6
Film Dokumenter (Documentary Films) Dokumenter adalah sebutan yang diberikan untuk film pertama karya lumiere bersaudara yang berkisah tentang perjalanan (travelogues) yang dibuat sekitar tahun 1890-an. Film dokumenter menyajikan realita melalui berbagai cara dan dibuat untuk berbagai macam tujuan. Namun harus diakui, film dokumenter tak pernah lepas dari tujuan penyebaran informasi, pendidikan, dan propaganda bagi orang atau kelompok tertentu.
Film Cerita Pendek (Short Films) Durasi film cerita pendek biasanya di bawah 60 menit. Banyak dibeberapa Negara seperti German, Australia, Kanada, dan Amerika menjadikan langkah ini sebagai laboratorium eksperimen atau batu loncatan untuk melangkah kedalam cerita film panjang.
Film Cerita Panjang (Feature-Length Films) Film panjang secara umum memiliki durasi sekitar 90-100 menit. Film yang sering kita lihat dibioskop umumnya adalah termasuk film cerita panjang.
5
Elvinaro Ardianto dan Lukiati Komala Erdinaya, Komunikasi Suatu Pengantar, Simbiosa Rekatama Media, Bandung, 2004, Hal 136 6 Heru Effendy, Mari Membuat Film Panduan Menjadi Produser, Erlangga, Jakarta, 2002, Hal 13
15
Film-film Jenis Lain (corporate profile) Film ini diproduksi untuk kepentingan sebuah institusi berhubungan dengan kegiatan yang mereka lakukan. Film ini sendiri berfungsi sebagai alat bantu presentasi.
2.1.5
Unsur – Unsur Film Film merupakan karya seni orang-orang kreatif yang menuangkan ide
maupun gagasan berupa pemikiran yang dituangkan menjadi suatu karya yang disebut film. Berikut adalah beberapa unsur-unsur dalam sebuah film :7 1. Sutradara Sutradara memiliki tanggung jawab yang meliputi aspek-aspek kreatif baik interpretative maupun teknis dari sebuah produksi film. Sutradara juga harus mampu membuat film dengan wawasan dan keartistikan untuk mengontrol film dari awal produksi hingga tahap penyelesaian. Dengan demikian, sutradara harus membuat unsur-unsur yang terpisah menjadi satu kesatuan dan mengisi film dengan jiwa dan makna. 2. Penulis Skenario Naskah atau Skenario merupakan unsur yang sangat penting dalam film. Naskah sebuah skenario adalah sebuah cerita yang sudah ditata dan dipersiapkan menjadi naskah jadi yang siap di produksi. Penataan dilakukan untuk membuat struktur cerita dengan format-format standar. Skenario mempunyai kedudukan penting, karena merupakan rantai pertama sebelum proses pembuatan film, sebelum melalui tahap 7
Marselli Sumarno, Dasar-Dasar Apresiasi Film, PT. Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta, 1996, Hal 31
16
shooting/pengambilan gambar di lapangan karena skenario merupakan cetak biru setelah susunan rencana sebuah film. 3. Penata Fotografi Penata Fotografi atau yang sering kita sebut sebagai juru kamera bekerja sama dengan sutradara untuk menentukan jenis shot, jenis lensa, membuat komposisi dari subjek yang hendak direkam. Ia juga bertanggung jawab untuk memeriksa hasil shooting dan menjadi pengawas pada proses film di laboratorium. 4. Penyunting Seorang editing atau editor bertugas menyusun hasil shooting hingga membentuk suatu cerita agar sempurna dan mendapatkan isi yang diinginkan. 5. Penata Artistik Penyusun segala sesuatu yang melatar belakangi cerita film atau yang biasa disebut setting. Penata artistik menerjemahkan konsep visual sutradara kepada pengertian-pengertian visual. Pada artistik didampingi oleh tim kerja yang terdiri dari kostum, make-up, dekorasi dan jika perlu tenaga pembuat efek khusus. 6. Penata Suara Penata suara adalah media audio-visual dalam film yang akan membuat pertunjukkan film lebih hidup.
17
2.1.6 Film Sebagai Media Massa Film bermula pada akhir abad ke-19 sebagai teknologi baru, tetapi konten dan fungsi yang ditawarkan masih sangat jarang. Film kemudian berubah menjadi alat presentasi dan distribusi dari tradisi hiburan yang lebih tua, menawarkan cerita, panggung musik, drama, humor, dan trik teknis bagi konsumsi populer. Film juga hampir menjadi media massa yang sesungguhnya dalam artian bahwa film mampu menjangkau populasi dalam jumlah besar dengan cepat, bahkan wilayah pedesaan. Sebagai media massa, film merupakan bagian dari respons terhadap penemuan waktu luang, waktu libur dari kerja, dan sebuah jawaban atas tuntutan untuk cara menghabiskan waktu luang keluarga yang besifat terjangkau dan (biasanya) terhormat. Film memberikan keuntungan budaya bagi kelas pekerja yang telah dinikmati oleh kehidupan sosial mereka yang cukup baik. Dinilai dari pertumbuhannya yang fenomenal, permintaan yang dipenuhi oleh film sangatlah tinggi. Dari elemen penting yang disebutkan diatas, bukanlah teknologi atau iklim politik tetapi kebutuhan individu yang dipenuhi oleh filmlah yang paling penting. Hal yang paling jelas adalah mereka yang kabur dari realitas yang membosankan kedunia yang glamor, keinginan yang kuat untuk terjebak di dalamnya, pencarian tokoh idola dan pahlawan, keinginan untuk mengisi waktu luang dengan aman, murah dan dengan bersosialisasi. Dalam makna seperti ini tidak banyak hal yang berubah.8
8
Dennis McQuail, Teori Komunikasi Massa, Salemba Humanika, Jakarta, 2011, Hal 35
18
Tema pertama ialah pemanfaatan film sebagai alat propaganda. Tema ini penting terutama dalam kaitannya dengan upaya pencapaian tujuan nasional dan masyarakat. Hal tersebut berkenaan dengan pandangan yang menilai bahwa film memiliki jangkauan, pengaruh emosional dan popularitas yang hebat. Upaya membaurkan pengembangan pesan dengan hiburan memang sudah lama diterapkan dalam kesusastraan dan drama, namun unsur-unsur baru dalam film memiliki kelebihan dalam segi kemampuannya menjangkau sekian banyak orang dalam waktu yang cepat dan kemampuannya memanipulasi kenyataan yang tampak dengan pesan fotografis, tanpa kehilangan kredibilitas.9 Walaupun media film telah dinomorduakan terhadap televisi, film juga menjadi lebih menyatu dengan media lain, terutama penerbitan buku, musik pop, dan televisi. Film telah mendapatkan peran yang besar walaupun berkurangnya khalayak mereka sendiri sebagai sebuah pajangan bagi media lain dan sebagai sumber kebudayaan yang darinya menghasilkan buku, kartun strip, lagu dan bintang televisi, serta serial. Oleh karena itu, film adalahh sebuah pencipta budaya massa. Bahkan, menurunnya penonton film kemudian dikompensasikan oleh para penonton film domestik yang dijangkau oleh televisi, rekaman digital, kabel, dan saluran satelit. Karakter utama film adalah sebagai berikut.10
9
Dennis McQuail, Teori Komunikasi Massa Suatu Pengantar, Erlangga, Jakarta, 1987, Hal 14 Op.Cit, Dennis Mcquail, 2011, Hal 37
10
19
Media film dan lembaga: (cirri-ciri utama) Aspek Media: a. Saluran penerimaan audio visual. b. Pengalaman pribadi terhadap konten publik. c. Daya tarik universal yang luas. d. Memiliki format dan genre internasional. Aspek Kelembagaan: a. Ketundukan terhadap kontrol sosial. b. Organisasi dan distribusi yang rumit. c. Biaya produksi yang tinggi. d. Bentuk distribusi yang seragam. 2.2
Feminisme
2.2.1
Pengertian Feminisme Feminisme adalah sebuah gerakan wanita yang menuntut emansipasi atau
kesamaan hak dengan pria. Ditinjau secara etimologis, istilah feminisme berasal dari bahasa latin femmina yang berarti perempuan. Kata tersebut diadopsi dan digunakan oleh berbagai bahasa di dunia. Dalam bahasa perancis, femme untuk menyebut perempuan. Feminitas dan maskulintas dalam arti sosial dan psikologis harus dibedakan dengan istilah male (laki-laki) dan female (perempuan) dalam arti biologis.11
11
Hastanti Widy Nugroho. Diskriminasi Gender (potret perempuan dalam hegomoni laki-laki), Andi Offset, Yogyakarta, 2004, Hal 72
20
Menurut Toril Moi dalam esainya, feminist, female and feminine, femininitas adalah suatu rangkaian karakteristik yang didefinisi secara kultural, feminisme adalah posisi politis sementara femaleness (yang paling tepat diterjemahkan sebagai “kebetinaan”) adalah biologis.12 Teori feminis berbeda dengan kebanyakan teori sosiologi dalam berbagai hal. Pertama, teori ini adalah pemikiran sebuah komunitas interdisipliner, yang tidak hanya mencakup para sosiolog tetapi juga sarjana dari disiplin lain seperti penulis kreatif dan aktivis politik. Kedua, sosiolog feminis bekerja dengan agenda ganda; memperluas dan memperdalam ilmu asli mereka dalan kasus ini adalah sosiolog dengan menggunakan pengetahuan sosiolog untuk menganalisis kembali temuan studi yang dibuat oleh sarjana feminis; dan mengembangkan pemahaman kritis mengenai masyarakat untuk mengubah kehidupan ke arah yang dianggap lebih adil dan berprikemanusiaan. Dua agenda ini merupakan hallmark setiap teori kritis. Teori feminis modern bertolak dari pertanyaan sederhana: “dan bagaimana dengan perempuan?” Dengan kata lain, dimana wanita berada di dalam setiap situasi yang diteliti? Bila wanita tidak berperan,mengapa? Bila mereka berperan, apa sebenarnya yang mereka lakukan? Bagaimana mereka mengalami situasi? Apa yang mereka sumbangkan untuk itu? Apa artinya itu bagi mereka?
12
Aquarini Priyatna Prabasmoro, Kajian Budaya Feminis, Tubuh, Sastra, dan Budaya Pop, Jalasutra, Yogyakarta, 2006, Hal 22
21
Pertanyaan-pertanyaan yang telah diajukan selama lebih dari 30 tahun ini menghasilkan kesimpulan yang dapat digeneralisasikan. Di mana wanita tak berperan, itu bukan karena keterbatasan kemampuan atau perhatian mereka tetapi karena adanya upaya sengaja untuk mengucilkan mereka. Di mana mereka berperan, peran mereka sangat berbeda dari gambaran populer tentang mereka (misalnya, sebagai istri dan ibu yang pasif). Memang, sebagai istri dan sebagai ibu dan dalam sederetan peran lainnya, wanita bersama lelaki, secara aktif menciptakan situasi yang dipelajari. Tetapi, walau wanita secara aktif berperan dalam kebanyakan situasi sosial, namun sarjana, publik, dan aktor sosial sendiri, baik lelaki maupun wanita, telah mengaburkan peran wanita itu sendiri. Pertanyaan mendasar kedua feminisme adalah: “mengapa semuanya ini terjadi?” pertanyaan ini memerlukan penjelasan tentang dunia sosial itu sendiri deskripsi dan penjelasan tentang kehidupan sosial adalah dua wajah setiap teori sosiologi. Upaya feminisme menjawab pertanyaan ini telah mengahasilkan teori sosial umum. Pertanyaan mendasar ketiga untuk semua feminisme adalah: “bagaimana kita dapat mengubah dan memperbaiki dunia sosial untuk membuatnya menjadi tempat yang lebih adil bagi perempuan dan semua orang?” komitmen kepada transformasi sosial dalam keadilan adalah ciri istimewa dari teori sosial kritis, sebuah komitmen yang juga dianut dalam sosiologi oleh feminisme, marxisme, neo-marxisme, dan teori-teori sosial yang dikembangkan oleh minoritas etnis dan ras dan masyarakat pascakolonial. Patricia Hill Collins (1998:xiv) menyatakan arti penting dari komitmen mencari keadilan dan menentang ketidakadilan ini:”teori
22
sosial kritis mencakup bidang-bidang pengetahuan yang secara aktif bergulat dengan persoalna sentral yang dihadapi oleh kelompok orang yang berada ditempat yang berbeda dalam konteks politik, sosial, dan sejarah yang dicirikan oleh ketidakadilan.” Komitmen pada teori kritis ini mensyaratkan agar teoritis feminis bertanya:”apa konsekuensi dari cara berpikir untuk mengubah ketimpangan dalam kehidupan wanita? Bagaimana cara menjelaskan dunia seperti ini
akan
memperbaiki
kehidupan
semua
perempuan?”(Hennessey
dan
Ingraham,1997:5). Selama periode ini, para feminis meneliti pertanyaan keempat:”Dan bagaimana dengan perbedaan di antara perempuan?” Jawaban untuk pertanyaan ini mengahasilkan kesimpulan umum bahwa ketidakterlihatan, kesenjangan, dan perbedaan peran dalam hubungannya dengan lelaki, yang umumnya mencirikan kehidupan wanita, sangat dipengaruhi oleh lokasi sosial wanita yaitu, oleh kelasnya, rasnya, usianya, preferensi afeksionalnya, status maritalnya, agamanya, etnisitasnya, dan lokasi globalnya.13 2.2.2
Sejarah feminisme Gerakan feminisme tidak timbul begitu saja, hal ini berkembang dari tahun
ke tahun, mulai gelombang pertama hingga gelombang ke-dua yang keduanya merupakan gerakan emansipasi memperjuangkan kesetaraan gender. Contohnya dalam bidang sosial, pekerjaan, pendidikan, dan hak politik kaum wanita yang pada abad ke-19 dinomer dua kan disbanding laki-laki seperti yang terjadi di dalam gelombang pertama. 13
George Ritzer dan Douglas J. Goodman, Teori Sosiologi Modern, Edisi keenam, Prenada Media Group, Jakarta, 2007, Hal 403
23
Adapun penjelasan dari masing-masing gelombang adalah sebagai berikut:14 a. Gelombang Pertama Feminisme sebagai filsafat dan gerakan dapat dilacak dalam sejarah kelahirannya dengan kelahiran era pencerahan di eropa yang dipelopori oleh Lady Mary Worley Mountagu dan Marquis De Condorect. Menjelang abad ke 19 feminisme lahir menjadi gerakan yang cukup mendapatkan perhatian dari para perempuan kulit putih di eropa. Perempuan di Negaranegara penjajah eropa memperjuangkan apa yang mereka sebut sebagai Universal sisterhood. Kata feminisme dikreasikan pertama kali oleh aktivis sosial utopis, Charles Fourier pada tahun 1837. Pergerakan di eropa tengah ini berpindah ke Amerika dan berkembang pesat sejak publikasi John Stuart Mill, The subjection of woman (1869). Perjuangan mereka menandai kelahiran feminisme gelombang pertama. Pada awalnya gerakan ini memang diperlukan pada masa itu, dimana ada masa-masa pemasungan terhadap kebebasan perempuan. Sejarah dunia menunjukkan bahwa secara umum kaum perempuan (feminine) merasa dirugikan dalam semua bidang dan dinomer dua kan oleh kaum laki-laki (maskulin) khususnya dalam masyarakat yang bersifat patriaki. Dalam bidang-bidang sosial, pekerjaan, pendidikan, dan lebih-lebih politik hakhak kaum ini biasanya memang lebih inferior ketimbang apa yang dapat dinikmati oleh laki-laki, apalagi masyarakat tradisional yang berorientasi 14
Sarah Gamble. Pengantar Memahami Feminisme dan Postfeminisme, Jalasutra, Yogyakarta, 2010, Hal 19-35
24
agraris cenderung menempatkan kaum laki-laki di depan umum di luar rumah dari pada kaum perempuan. Dari latar belakang demikianlah di eropa berkembang gerakan untuk menaikkan derajat perempuan, tetapi gaungnya kurang keras, baru setelah di amerika serikat terjadi revolusi sosial dan politik, perhatian terhadap hak-hak kaum perempuan mulai mencuat. Di tahun 1972 Mary Wollstonecraft membuat karya tulis vindication of the right of woman yang isinya dapat dikatakan meletakkan dasar prinsip-prinsip feminisme di kemudian
hari.
Pada
tahun-tahun
1830-1840
sejalan
terhadap
pemberantasan praktek perbudakkan, hak-hak kaum perempuan mulai diperhatikan, jam kerja dan gaji kaum ini mulai diperbaiki dan mereka diberikan kesempatan ikut dalam pendidikan dan diberi hak pilih, sesuatu yang selama ini hanya dinikmati oleh kaum laki-laki. b. Gelombang Kedua Setelah berakhirnya perang dunia kedua, ditandai dengan lahirnya Negaranegara baru yang terbebas dari penjajah eropa, lahirlah feminisme gelombang kedua pada tahun 1960. Dengan puncak diikutsertakannya perempuan dalam kedudukan parlemen. Pada tahun ini merupakan awal bagi perempuan mendapatkan hak pilih dan selanjutnya ikut mendiami ranah politik kenegaraan. Karena sebelumnya kebangkitan semua Negaranegara terjajah dipimpin oleh elit nasionalis dari kalangan pendidikan, politik, dan militer yang kesemuanya adalah laki-laki. Sehingga pada era itu kelahiran feminisme gelombang kedua mengalami puncaknya.
25
Secara umum pada gelombang pertama dan kedua hal-hal berikut ini menjadi
momentum
perjuangannya:
gender
inequality,
hak-hak
perempuan, hak reproduksi, hak berpolitik, peran gender, identitas gender dan seksualitas. Gerakan feminisme adalah gerakan pembebasan perempuan dari: rasisme, strereotyping, seksisme, penindasan perempuan. 2.2.3
Aliran Feminisme Berbagai macam aliran dalam feminisme :15
Feminisme Liberal. Ekspresi utama dari teori ketimpangan jender adalah feminisme liberal, yang berargumen bahwa perempuan bisa mengklaim kesamaan dengan lelaki atas dasar kapasitas esensial manusia sebagai agen moral yang bernalar, bahwa ketimpangan jender adalah akibat dari pola seksis dan patriakis dari divisi kerja, dan bahwa kesetaraan jender dapat dicapai dengan mengubah divisi kerja melalui pemolaan ulang institusi-institusi kunci-hukum, pekerjaan, keluarga, pendidikan, dan media (bem, 1993; friedan, 1963; lorber, 1994; pateman, 1999; rhode, 1997; schaeffer,2001). Sejarah historis, elemen utama argument feminis liberal adalah klaim kesetaraan jender, dokumen kunci untuk memahami basis klaim ini adalah Declaration of Sentiments yang dikeluarkan oleh konvensi hak-hak perempuan pertama di sneca Falls, New York, pada 1848. Declaration of Independence, para penandatanganan mendeklarasikan bahwa: “kami menganggap kebenarankebenaran ini terbukti dengan sendirinya (selfevident); bahwa semua lelaki dan perempuan (“dan perempuan” ditambahkan) diciptakan sederajat; bahwa mereka 15
George Ritzer dan Douglas J. Goodman. Teori Sosiologi Modern, Edisi Keenam, Prenada Media Group, Jakarta, 2007, Hal 417
26
dianugrahi oleh sang pencipta dengan hak-hak yang tak dapat diabaikan; bahwa untuk menjamin hak-hak tersebut pemerintah dilembagakan (“di antara manusia (men)” dihilangkan), mendapatkan kekuasaanya dari persetujuan pihak yang diperintah” dan mereka melanjutkannya untuk mendukung hak revolusi ketika “setiap bentuk pemerintahan menghancurkan tujuan-tujuan tersebut. Feminisme Psikoanalisis. Feminisme psikoanalisis kontemporer berupaya menerangkan sistem patriaki dengan menggunakan teori freud dan pewaris intelektualnya. Teori-teori ini memetakan dan menekankan dinamika emosional kepribadian, emosi, yang sering terpendam dibawah sadar atau ketidaksadaran kejiwaan: teori-teori ini juga menyoroti pentingnya peran masa anak-anak dalam memolakan emosi ini. Namun, dalam upaya menggunakan teori freud, teoritis feminis terpaksa mengolah kembali kesimpulan mendasar freud karena freud sendiri mempunyai kesimpulan yang gender-spesific, yang terkenal seksis dan patriakis. Seperti semua teoritis tentang penindasan, mereka melihat patriaki sebagai sebuah sistem di mana lelaki menaklukkan wanita, sebuah sistem universal, yang merembes ke dalam organisasi sosialnya, bertahan lama di ruang dan waktu, dan mampu bertahan atas tantangan berkala. Kekhasan feminism psikoanalisis adalah pandangannya bahwa sistem patriaki adalah sebuah sistem di mana seluruh lelaki dalam tindakan sehari-hari mereka dengan penuh semangat terus-menerus bekerja untuk menciptakan dan melestarikan sistem. Wanita hanya kadang-kadang menentang namun jauh lebih sering menyetujui penindasan atas diri mereka tanpa bantahan atau secara aktif berperan karena posisi subordinasi mereka sendiri.
27
Teka-teki yang harus dijawab feminis psikoanalisis adalah mengapa lelaki mengeluarkan energi yang sangat besar dan tak henti-hentinya untuk melestarikan patriaki dan mengapa tak ada pengumpulan energi tandingan di pihak wanita. Feminise Radikal. Feminisme radikal didasarkan atas dua keyakinan sentral; 1 bahwa wanita mempunyai nilai positif mutlak sebagai wanita, suatu keyakinan yang ditegaskan untuk menentang apa yang mereka nyatakan sebagai devaluasi wanita universal; dan 2 bahwa wanita dimana-mana ditindas-ditindas dengan keras-oleh sistem patriaki. Dengan semangat dan militansi seperti “black power” afrika-amerika atau “kesaksian” orang yahudi yang selamat dari holocaust, feminis radikal mengelaborasi sebuah teori organisasi sosial, penindasan jender dan strategi perubahan. Feminisme radikal melihat bahwa di dalam setiap intitusi dan di dalam struktur masyarakat yang paling mendasar terdapat sistem penindasan dimana orang tertentu mendominasi orang lain-penindasan itu terjadi antarseks (jenis kelamin),kelas, kasta, etnis, umur, dan warna kulit. Struktur penindasan paling mendasar terdapat dalam sistem patriaki, penindasan lelaki atas wanita. Melalui partisipasi dalam sistem patriaki, lelaki belajar memandang hina orang lain, memandang mereka bukan sebagai manusia, dan belajar mengendalikan mereka. Dalam sistem patriaki, lelaki memahami dan wanita mempelajari seperti apa rasanya disubordinasikan. Patriaki menciptakan kesalahan dan penindasan, sadis dan kesenangan karena disiksa, manipulasi dan muslihat, yang kesemuanya mendorong lelaki dan wanita kebentuk tirani yang lain. Menurut feminis radikal,
28
patriaki kurang diperhatikan, tetapi merupakan struktur yang sangat penting dari ketimpangan sosial. Feminisme Sosialis. Teoritis feminisme sosialis dikembangkan di seputar tiga tujuan; 1 mencapai kritik yang distingtif dan saling berkaitan terhadap penindasan patriaki dan kapitalisme dari sudut pandang pengalaman perempuan; 2 mengembangkan metode yang ekspilit dan memadai untuk analisis sosial yang berasal dari pemahaman matrealisme historis yang diperluas; 3 menggabungkan pemahaman terhadap signifikansi ide dengan analisis materialis atar determinasi persoalan manusia. Feminis sosialis telah menyusun sendiri proyek formal untuk mencapai sintesis dan langkah-langkah teoritis yang melampaui teori feminis lain, terutama pemikiran feminis marxis dan radikal. Feminisme radikal adalah kritik terhadap patriaki. Feminisme Marxian, yang dideskripsikan disini secara tradisional menyatukan analisis kelas Marxian dengan protes sosial feminis. Tetapi, penggabungan ini, yang digambarkan sebagai perkawinan yang sulit (hartmann, 1981; Shelton dan agger, 1993), sering kali tidak mengahsilkan teori yang intensif tentang penindasan jender tetapi mengahasilkan pernyataan bisu tentang ketimpangan jender karena perhatian perempuan dijadikan cabang dari kritik penindasan kelas. Sementara feminisme Marxian murni adalah teori yang relatif terbengkalai dalam feminisme amerika kontemporer, iah masih tetap penting karena pengaruhnya terhadap feminis sosialis.
29
Feminisme Kultural. Feminisme kultural biasanya, tetapi tidak selalu, lebih berkaitan dengan peningkatan nilai-nilai perbedaan perempuan ketimbang menjelaskan asal-usulnya. Jadi, ia sering kali menghindari pertanyaan apakah perbedaan antara lelaki dan perempuan tercipta secara biologis atau ilmiah-tesis esensialis-ataukah sebagian besar tercipta secara sosial (socially constructed). Tesis esensialis tentang perbedaan jender yang abadi menyatakan bahwa jender ditentukan oleh jenis kelamin (sex) dan sex ini menentukan sebagian besar faktor, seperti kepribadian, kecerdasan, kekuatan fisik dan kapasitas menjadi pemimpin masyarakat. Argument perbedaan jender yang kekal ini pertama kali dipakai untuk melawan perempuan dalam diskursus patriakis pria untuk mengklaim bahwa perempuan adalah inferior dan tunduk pada lelaki. Tetapi argument itu dibalikkan oleh beberapa feminis gelombang pertama yang menciptakan teori feminis cultural, yang memuji aspek positif dari apa yang dilihat sebagai “karakter perempuan” atau “personalitas perempuan”. Para teoritis seperti Margaret fuller, Frances Willard, jane Addams, dan Charlotte Perkins Gilman merupakan proponen feminisme kultural yang mengatakan bahwa dalam mengatur Negara, masyarakat memerlukan nilai-nilai perempuan seperti kerja sama, perhatian, pasifisme, dan penyelesaian konflik tanpa menggunakan kekerasan (Deegan Hill, 1998; Donovan, 1985; Lengermann dan Niebrugge Brantley, 1998).
30
2.3
Patriaki Patriaki adalah sistem sosial hubungan gender yang di dalamnya terdapat
ketidaksetaraan gender. Relasi gender adalah relasi sosial antara laki-laki dengan perempuan dan melekat dalam beragam institusi sosial dan struktur sosial. Konsep patriaki menggambungkan konsep hubungan-hubungan gender, dan kemudian berkembang menjadi dua pandangan. Pertama, meliputi ketidakadilan yang sering terjadi dalam relasi gender. Kedua, menarik perhatian kepada keterhubungan antara beberapa aspek hubungan-hubungan gender yang berbeda yang kemudian membentuk sistem sosial. Dalam berbagai aspek kehidupan sosial terdapat ketidakadilan gender, di mana perempuan sering tidak diuntungkan jika dibandingkan dengan laki-laki. Contohnya, dalam pekerjaan, terdapat kesenjangan gender dalam upah, di mana perempuan rata-rata dibayar lebih rendah dari laki-laki. Perempuan mengerjakan pekerjaan domestik yang tidak proporsional, seperti pekerjaan rumah tangga dan mengurus anak. Perempuan lebih terlihat miskin daripada laki-laki, terutama dalam usia tua. Laki-laki mengambil porsi yang berlebih dalam kekuasaan politik, misalnya menjadi anggota parlemen. Perempuan memiliki pengalaman kekerasan dari laki-laki, seperti kekerasan dalam rumah tangga dan kekerasan seksual. Lakilaki terlihat memiliki pengaruh untuk membentuk kultur dan standar moral, misalnya sebagai editor Koran dan pemuka agama. Tentu saja ada pengecualian individual dari kalimat-kalimat tersebut, jika yang dimaksud adalah rata-rata peristiwa ketidakadilan gender, bukan apa yang dialami setiap laki-laki atau
31
perempuan. Pola ketidakadilan gender tersebut berulang terus-menerus di dalam struktur sosial. Terdapat beragam definisi patriaki. Beberapa definisi awal cenderung memfokuskan diri kepada peran laki-laki dewasa sebagai kepala rumah tangga, meliputi fokus kepada generasi dan satu lembaga sosial yang spesifik. Definisi yang paling akhir saat ini tampak lebih leluasa, di mana lembaga-lembaga sosial dipandang berkontribusi dalam membentuk patriaki, dan keluarga menjadi salah satunya. Konsep patriaki mengungkap adanya keterhubungan beragam aspek yang berbeda dalam ketidakadilan gender. Ada sebab yang saling berkaitan antara ketidakadilan gender dalam satu ranah yang lain. Contohnya, ketidakadilan gender dalam representasi politik dihubungkan dengan ketidakadilan dalam tempat kerja. Ketika ketidakadilan gender dalam kekuasaan politik menurun, jika perempuan meningkatkan representasinya di parlemen dan kabinet, muncul kecenderungan meningkatnya jumlah peraturan yang mendukung perempuan dalam pekerjaan, yang oleh karenanya mampu mempersempit jurang pemberian upah secara gender. Aspek yang lain, dimensi atau ranah patriaki dihubungkan. Keterhubungan ini berarti menjadi bukti adanya sistem ketidakadilan gender, bukan semata sekumpulan keterpisahan dan peristiwa-peristiwa yang tidak berkait satu dengan lain.16
16
Iman Santosa, Sosiology The Key Concept, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2011, Hal 193
32
2.4
Maskulinitas Dibawah pengaruh feminisme gelombang kedua, para ahli sosiologi
mengembangkan konsep maskulinitas untuk dua alasan. Telah diketahui bahwa pendahulu dan kebanyakan sosiologi pascafeminis secara sederhana telah menyetarakan studi mengenai laki-laki dengan studi mengenai manusia, dan oleh karena itu konsep mengenai maskulinitas memungkinkan laki-laki untuk diteliti selanjutnya sebagai orang yang berjender. Dengan begitu, sebagai contoh, studi-studi mengenai para buruh tambang yang sampai sekarang dilihat sebagai analisis kelas, bisa dibaca sebagai studistudi maskulinitas. Kedua, dikenal “maskulin”, posisi laki-laki bisa dilihat dalam fungsi sebagai relasi gender yang terkonstruksi secara sosial lebih dari sekedar perbedaan seksual atau biologi. Studi mengenai gender dan power dari Connel yang berpengaruh mempertanyakan bahwa kekuatan superior laki-laki, sumbersumber dan status merupakan sebuah fungsi dari perkembangan budaya dalam bentuk identitas gender, hegomoni maskulinitas, yang secara sosial membentuk dominanasi mereka. Pengakuan bahwa tidak semua laki-laki, misalnya laki-laki berwarna (non putih) atau homo, mendapatkan manfaat yang setara dari “keuntungan patriakal” mengarah pada “maskulinitas” ganda. Hal ini membangkitkan melimpahnya studi mengenai keberagaman maskulinitas, bahkan sejak “laki-laki kuat” mungkin mengalami hegomoni dalam beberapa hal.
33
Kenyataan atau ancaman kekerasan fisik dan seksual mungkin menjadi salah satu sumber terbuka sebaliknya terhadap laki-laki lemah. Penekanan Connel pada “pengejawentahan maskulinitas” menelorkan studi-studi mengenai olah raga dan sosiologi tubuh, sementara studi lain meneliti hubungan antara militarisme dan kekerasan yang terorganisasi. Dominasi laki-laki di dunia publik kerja mengarah pada studi-studi mengenai maskulinitas dan manajemen, politik, ekonomi dan lingkungan, seperti halnya studi-studi wacana, beragam bentuk pergerakan laki-laki dan kebapakan, di mana sosiologi menemukan kembali “bapak yang hilang” (seringnya tidak sadar bahwa ini adalah sebuah tema dengan silsilah yang panjang). Jumlah kerja maskulinitas sayangnya tidak selalu cocok dengan kualitas analitis kasar. Beberapa teori bahkan mencoba untuk mendefinisikan objek kajian, menjelaskan bagaimana “maskulin/kelaki-lakian” bisa dipelajari secara empiris atau dibedakan dengan perilaku “laki-laki”, atau ingin tahu betapa banyaknya kajian-kajian maskulinitas dalam “bahasa-bahasa roman” yang kurang akan istilah-istilah yang nyata untuk “laki-laki” dan “maskulin” bahkan telah menjadi sesuatu yang biasa. Maskulinitas telah diartikan secara beragam seperti apa yang biasanya laki-laki lakukan, sebuah tipe ideal model aksi sosial mereka, representasi diskursif yang kedua, atau wacana-wacana yang melegitimasi baik patriaki secara umum atau kaum laki-laki secara khusus.
34
Beberapa usaha yang meyakinkan telah dilakukan untuk menghubungkan konsep maskulinitas ke patriaki, namun belum ada refleksi dari kurang simestrinya dalam penggunaan istilah feminitas dan maskulinitas. Masih terdapat kekurangan dari kajian-kajian empiris dari materi dan dampak diskursif pada pria mengenai perubahan relasi gender, atau peran mereka pada proses tersebut, meskipun langkah cepat perubahan gender dalam lingkungan semacam itu seperti pendidikan, pembagian buruh yang dibayar dan tidak, kesenangan dan konsumsi, hukum dan politik. Akhirnya putusnya sosiologi patriarchal masa lalu mungkin terlalu dibesar-besarkan. Konsep-konsep parsons mengenai peran jenis kelamin instrumental dan ekspresif sangatlah dekat, pada praktiknya, menurut definisidefinisi maskulinitas hegemonis Connel dan penekanan femininitas, sementara sosiologi prafeminis yang hampir tidak mempermasalahkan jenis kelamin kadangkadang digambarkan sebagaimana adanya.17 2.5
Kesetaraan Gender Salah satu isu penting yang muncul menjelang berakhirnya abad ke-20
adalah persoalan gender. Isu tentang gender ini telah menjadi bahasan yang memasuki setiap analisis sosial, menjadi pokok bahasan dalam wacana perdebatan mengenai perubahan sosial dan juga menjadi topik utama dalam perbincangan mengenai pembangunan dan perubahan sosial.
17
Iman Santosa. Sosiologi The Key Concepts. PT RajaGrafindo. Jakarta. 2011. Hal 153
35
Bahkan beberapa waktu terakhir ini, berbagai tulisan baik di media massa maupun buku-buku, atau kegiatan-kegiatan seperti seminar, diskusi, dan sebagainya banyak membahas tentang protes dan gugatan yang terkait dengan ketidakadilan dan diskriminasi terhadap kaum perempuan. Ketidakadilan dan diskriminasi tersebut terjadi hampir di semua tingkatan dan sektor, mulai dari tingkat internasional, Negara, keagamaan, sosial (kemasyarakatan), budaya, ekonomi, sampai pada tingkat rumah tangga. Apa sebenarnya pengertian gender? Istilah gender pada awalnya dikembangkan sebagai suatu analisis ilmu sosial oleh Ann Oakley (1972, dalam Fakih, 1997), dan sejak saat itu menurutnya gender lantas dianggap sebagai alat analisis yang baik untuk memahami persoalan diskriminasi terhadap kaum perempuan secara umum.. Gender berbeda dengan jenis kelamin (seks). Seks adalah pembagian jenis kelamin yang ditentukan secara biologis dan melekat pada jenis kelamin tertentu. Oleh karena itu, konsep jenis kelamin digunakan untuk membedakan laki-laki dan perempuan berdasarkan unsure biologis dan anatomi tubuh (Tuttle, Lisa, Encyclopedia of Feminism, 1986). Misalnya, laki-laki memiliki penis, testis, jakun, memproduksi sperma, dan cirri-ciri biologis lainnya berbeda dengan biologis perempuan. Sementara perempuan mempunyai alat reproduksi seperti rahim, dan saluran-saluran untuk melahirkan, memproduksi telur (indung telur), vagina, mempunyai payudara dan air susu, dan alat biologis perempuan lainnya sehingga bisa haid, hamil, dan menyusui atau yang disebut dengan fungsi reproduksi.
36
Alat-alat yang dimiliki laki-laki dan perempuan tersebut merupakan atribut yang melekat pada setiap manusia selamanya dan fungsinya tak dapat ditukarkan. Alat-alat tersebut bersifat permanen, tidak beerubah, dan merupakan ketentuan biologis atau ketentuan Tuhan (kodrat). Sementara Illich (1991:14) membedakan seks atau jenis kelamin laki-laki dan perempuan berdasarkan biologis dan anatomi. Karena itu jenis kelamin merupakan sifat bawaan dengan kelahirannya sebagai manusia. Sedangkan
gender
adalah
suatu
istilah
yang
digunakan
untuk
menggambarkan pembedaan antara laki-laki dan perempuan secara sosial. Gender adalah kelompok atribut dan perilaku yang dibentuk secara cultural yang ada pada laki-laki dan perempuan. Margert Mead (sex and temperament in three primitive societies, 1935) menyatakan bahwa jenis kelamin adalah biologis dan perilaku gender adalah konstruksi sosial. Menurut Oakley (1972, dalam Fakih, 1997), gender adalah pembagian laki-laki dan perempuan yang dikonstruksi secara sosial maupun cultural. Sebagai missal, perempuan dianggap lemah lembut, emosional, keibuan, dan lain sebagainya. Sementara laki-laki dianggap kuat, rasional, perkasa, dan sebagainya. Sifat-sifat tersebut bukan kodrat, karena tidak selamanya dan dapat pula dipertukarkan. Artinya laki-laki ada yang emosional, lemah lembut, keibuan dan sebagainya, sebaliknya perempuan pun ada juga yang kuat, rasional, perkasa, dan sebagainya.
37
Gender adalah konsep hubungan sosial yang membedakan (memilahkan atau memisahkan) fungsi dan peran antara laki-laki dan perempuan. Pembedaan fungsi dan peran antara laki-laki dan perempuan itu tidak ditentukan karena keduanya terdapat perbedaan biologis atau kodrat, melainkan dibedakan menurut kedudukan, fungsi, dan peranan masing-masing dalam berbagai bidang kehidupan dan pembangunan18 Dengan demikian gender sebagai suatu konsep merupakan hasil pemikiran atau rakayasa manusia, dibentuk oleh masyarakat sehingga gender bersifat dinamis dapat berbeda karena perbedaan adat istiadat, budaya, agama, dan sistem nilai dari bangsa, masyarakat, dan suku bangsa tertentu. Selain itu, gender dapat berubah karena perjalanan sejarah, perubahan politik, ekonomin dan sosial budaya, atau karena kemajuan pembangunan. Dengan demikian gender tidak bersifat universal atau tidak berlaku secara umum, akan tetapi bersifat situasional masyarakatnya. Oleh karena itu, tidak terjadi kerancuan dan pemutarbalikan makna tentang apa yang disebut jenis kelamin (seks) dan gender.19 2.6
Semiotika
2.6.1
Semiotika Teori semiotika atau yang sering disebut semiotik, sebuah teori yang
mengartikan makna yang didapat berdasarkan presepsi interpretan yang dilihat oleh interpretan dari tanda-tanda yang ada dalam objek. Tanda-tanda ini meliputi bahasa verbal juga bahasa non verbal.
18
J. Dwi Narwoko – Bagong Suyanto, Sosiologi Teks Pengantar dan Terapan Edisi Kedua, Prenada Media Group, Jakarta, 2007, Hal 333 19 Ibid. 335
38
Kajian semiotika sampai sekarang telah membedakan dua jenis semiotika, yakni semiotika komunikasi dan semiotika signifikasi. Yang pertama menekankan pada teori produksi tanda yang salah satu diantaranya mengasumsikan adanya enam faktor dalam komunikasi, yaitu pengirim, penerima kode (sistem tanda), pesan, saluran komunikasi, dan acuan (hal yang dibicarakan). Yang kedua memberikan tekanan pada teori tanda pemahamannya dalam suatu konteks tertentu.20 Umberto eco, yang disamping Metz merupakan tokoh semiotik film mutakhir yang paling terkemuka, telah melukiskan empat tingkat perkembangan ilmu ini semenjak permulaan tahun enam-puluhan. Tahap pertama, yang menurut eco berlanjut sampai permulaan tahun tujuh puluhan, ditandai oleh apa yang ia sebut “penilaian terlalu tinggi terhadap modus linguistik”. Tahap kedua, mulai waktu para pengikut semiotik mulai sadar bahwa sistem analisa mereka tidaklah begitu bersahaja dan bersifat universal seperti semula mereka anggap. Tahap ketiga pada permulaan tahun tujuh-puluhan semiotik memusatkan perhatian pada pengkajian satu aspek khusus dari dunia arti dalam film: semiotik dari pada proses dan pembuatan teks, menjadi titik pusat disini, dan ideologi politik menjadi bagian dari perbandingan semiotik.
20
Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, Remaja rosdakarya, Bandung, 2006, Hal 15
39
Tahap keempat, permulaan tahun 1975 adalah tahap peralihan dari produksi ke konsumsi, dari pembuatan teks ke presepsi. Dalam tahap keempat ini, semiotik film banyak sekali dipengaruhi oleh pendekatan orang bijaksana Prancis Jasques Lacan terhadap psikologi fred.21 2.6.2
Semiotika Roland Barthes Tokoh ini lahir di Cherbourg pada tahun 1915, dibesarkan di dua kota di
perancis, yaitu di bayonne, sebuah kota kecil dekat pantai atlantik di sebelah barat daya perancis dan di paris. Ia berasal dari keluarga kelas menengah Prostestan. Ayahnya seorang perwira angkatan laut yang terbunuh dalam tugas ketika Barthes masih kecil. Ia dapat bermain piano berkat bimbingan bibinya. Masa kecilnya, ia habiskan di Bayonne dan pindah ke paris ketika berumur Sembilan tahun beserta ibunya yang bekerja sebagai penjilid buku. Masa hidupnya didasari oleh budaya borjuis dan sering mendengarkan para nyonya bergosip saat minum teh. Pada 1934, Barthes terobsesi masuk Ecole Normale Superiure, tetapi niatnya tidak terlaksana karena sakit TBC. Ia harus berobat dibeberapa sanatoria di pyrennes dan Alps (1942-1947). Selama berobat, banyak hal yang dilakukan Barthes. Ia meluangkan waktu untuk menggeluti Marxisme dan Eksistensialisme Sarte. Itulah sebabnya, intelektualisme awal Barthes cenderung Marxian dan Sartrean. Setelah satu tahun berobat, Barthes masuk Universitas Sorbone dan mengambil studi bahasa dan sastra perancis dan studi klasik (Latin, Romawi, dan Yunani). Ia juga aktif dalam teater dan drama-drama klasik bersama beberapa koleganya.
21
Ibid. Hal 51
40
Pada 1948, ia menjadi dosen bahasa dan sastra prancis di Bukarest (Rumania) dan kairo (Mesir). Selama di Rumania, Barthes banyak belajar kepada salah seorang linguis terkenal, yaitu A.J. Greimas. Sekembalinya ke perancis, ia bekerja untuk Centre National de Recherche Scientifique (Pusat Nasional Untuk Penelitian Ilmiah) dan melahirkan sejumlah artikel tentang sastra. Pada tahun 1942, ia mendapat beasiswa untuk mengerjakan tesis leksikologi (tentang kamus sosial
abad
XIX).
Sebelum
merampungkan
proyek
tersebut,
Barthes
memublikasikan dua kritik sastra, yaitu Le Degree Zero de I’ecriture (Nol Derajat di bidang menulis; 1953) dan Micheletpar Lui Meme (1954). Buku pertama berisi kritik Barthes terhadap kebudayaan borjuis. Dalam hal ini ia sejalan dengan Sartre dan beberapa Marxis perancis saat itu. Kreativitas pemikirannya sangat dinamis dan plural. Pemikirannya dapat dikatakan sebagai ikonoklas (anti-kemapanan) dan menentang segala macam kontinuitas dan kesatuan. Sebaliknya, ia menekankan diskontinuitas dan pluralitas. Ia hampir mengalami semua tren pemikiran pada zamannya, seperti Eksistensialisme, Marxisme, dan Strukturalisme. Pada tahun 1955, ia kehilangan beasiswa sebelum menyelesaikan karya leksikologinya. Ia bekerja di sebuah penerbitan sambil menulis banyak artikel. Kegagalan dalam bidang akademik tidak membuat barthes kehilangan elan intelektual kritisnya. Pergulatan intelektual Barthes menghasilkan sebuah karya, yaitu Mythologies (1957). Karya barthes ini berisi analisi kritis fakta-fakta kultural populer seperti mobil citroen DS, balap sepeda Tour de France, dan reklame dalam media massa yang
41
merepresentasikan gejala masyarakat borjuis dan ia berusaha menunjukkan verisimilitude (ideologi tersembunyi) dari fakta-fakta tersebut. Pengembaraan intelektualnya semakin tidak tertahankan saat ia membaca karya Ferdinand de Saussure, Course de Lenguistic Generale, pada tahun 1956. Ia menyadari adanya kemungkinan penerapan semiologi di luar bidang linguistik. Akan tetapi, berbeda dengan Saussure, sang maestro linguistic panutannya, barthes beranggapan bahwa semiologi harus merupakan bagian dari linguistic, bukan sebaliknya. Ia sepakat dengan E. Benveniste, Linguis prancis asal Lebanon yang menekankan bahwa sekolompok tanda hanya bermakna apabila terbahaskan. Oleh karena itu, bahasa mempunyai prioritas di atas semua sistem tanda yang lain. Eksperimentasi Barthes dalam menerapkan analisi structural-semiologis semakin tampak dalam karya berikutnya, yaitu systeme de la mode (sistem mode; 1967). Ia menerapkan analisis structural semiologis atas mode pakaian wanita. Dalam pandangan umum, mode pakaian merupakan sesuatu yang kebetulan dan sepele. Akan tetapi, analisis Barthes menunjukkan bahwa di balik mode-mode pakaian wanita tersimpan suatu sistem (tersembunyi). Dalam sistem semiologi Saussure, para ahli semiotic sering membedakan berbagai tingkatan yang saling memengaruhi. Semiologi structural dikembangkan dengan cara lain oleh Hjelmslev, kemudia oleh Greimas (1. 1917), dan “aliran paris”-nya. Aliran yang terkenal antara lain karena anailisis mereka tentang interaksi yang terjadi antara berbagai pemegang peran (subjek dan objek tindakan, pengirim dan penerima pesan, dan sebagainya.) dalam teks tertentu. Puncaknya di tangan seorang ilmuwan perancis yang mengembangkan teori Saussure mengenai
42
tanda pada berbagai bidang, yaitu Roland Barthes. Akan tetapi, ditangan Roland Barthes pula, semiologi structural mulai beranjak ke tradisi post-struktural, beranjak dari situ teks menuju analisis orientasi-pembaca dan lainnya. Sebagaimana Saussure, Roland Barthes meyakini bahwa hubungan antara petanda dan penanda tidak terbentuk secara alamiah, tetapi bersifat arbiter, yaitu hubungan yang terbentuk berdasarkan konvensi. Oleh karena itu, penanda pada dasarnya membuka berbagai peluang petanda atau makna. Rolanda Barthes menyatakan bahwa apa pun jenis tanda yang digunakan dalam sistem pertandaan, menurut semiotik structural, ia harus menyandarkan dirinya pada hubungan structural dalam sistem langue. Dengan demikian, dalam tahap ini Roland Barthes masih mempertahankan kaidah-kaidah strukturalisme, tetapi tidak terpaku pada konsep diadik signifier-signified Saussure. Barthes menyebut proses pemaknaan tanda dengan dengan signification (signifikasi). Baginya signifikasi merupakan proses memadukan penanda (signifier) dan petanda (signified) sehingga mengahasilkan tanda. Signifikasi tidak mempersatukan entitas-entitas yang unilateral, tidak pula memadukan dua terma semata-mata, sebab baik penanda maupun pertanda merupakan terma-terma dari relasi. Ia lebih banyak mengembangkan konsep pemaknaan denotatif (makna primer). Itulah sebabnya, orang banyak menyebut Barthes sebagai tokoh semiotik konotasi (panuti dan van zoest, 1992: 3-4).
43
Barthes membagi makna pada dua tataran, yakni denotatif (sistem makna primer) dan konotatif (sistem makna kedua). Menurut Roland Barthes, denotasi (denotation) merupakan tanda yang penandanya mempunyai tingkat konvensi atau kesepakatan yang tinggi dan sebaliknya tingkat keterbukaan maknanya rendah. Dengan kata lain, denotasi merupakan tanda yang menghasilkan makna-makna eksplisit. Denotasi biasanya dimengerti sebagai makna yang harfiah, makna yang sesungguhnya, bahkan kadang-kadang dirancukan dengan referensi atau acuan. Proses signifikasi, yang secara tradisional disebut sebagai denotasi, biasanya mengacu pada penggunaan bahasa dengan arti yang sesuai dengan apa yang terucap. Akan tetapi, dalam semiologi, Roland Barthes dan para pengikutnya, denotasi merupakan sistem signifikasi tinngkat pertama. Reaksi yang paling ekstrem melawan keharfiahan denotasi yang bersifat operasif, Barthes mencoba menyingkirkan dan menolaknya. Baginya, yang ada hanya konotasi. Penolakan ini mungkin terasa berlebihan, tetapi ia tetap berguna sebagai koreksi atas kepercayaan bahwa makna “harfiah” merupakan sesuatu yang bersifat alamiah. Dengan demikian, bagi barthes denotasi merupakan sistem signifikasi tingkat pertama.
44
1.signifier (Penanda)
2. signified (Petanda)
3. Denotative Sign (Tanda Denotatif) 4. Connotative Signifier (Penanda Konotatif)
5. Connotative Signified (Petanda Konotatif)
6. Connotative Sign (Tanda Konotatif)
Dari peta Barthes di atas, terlihat bahwa tanda denotatif (3) terdiri atas penanda (1) dan petanda (2). Akan tetapi, pada saat bersamaan, tanda denotatif juga merupakan penanda konotatif (4). Denotasi menempati tingkat pertama dan Barthes mengasosiasikan terhadap “ketertutupan makna”. Dengan kata lain, suatu kata yang pertama mewakili idea tau gagasan atau sebenar-benarnya makna. Denotasi adalah aspek makna sebuah atau sekelompok kata yang didasarkan atas perasaan atau pikiran yang timbul atau ditimbulkan pada pembicaraan (penulis) dan pendengar. Sementara itu, konotasi (connotation) merupakan tanda yang penandanya mempunyai keterbukaan petanda atau makna. Dengan kata lain, konotasi adalah makna yang dapat menghasilkan makna lapis kedua yang bersifat implisit, tersembunyi atau makna konotatif (connotative meaning).22 Konotasi sebagai sistem tersusun oleh penanda, petanda serta proses yang memadukannya (signifikasi). Signifier dari konotasi (disebut sebagai konotator) dibentuk oleh tanda-tanda (kesatuan signifier dan signified) dari sistem denotasi, secara predikat gabungan tanda denotasi dapat tergabung dalam konotator unggul.
22
Dadan Rusmana, Filsafat Semiotika, CV Pustaka Setia, Bandung, 2014, Hal 181
45
Sementara itu, petanda konotasi sekaligus berkarakter general, global, dan tersebar, merupakan fragmen ideology (kris Budiman, 1999: 66). Menginduk pada ajaran diadik (dikotomis) Saussure, Barthes menyibak rahasia tanda, symbol, dan representasi kolektif. Inilah sumbangan barthes yang sangat berarti bagi penyempurnaan semiologi Saussure yang berhenti pada penandaan dalam tataran denotative. Hal ini yang ditulis oleh Roland Barthes dalam Mythologies ingin memperkuat keberadaan fondasi atau kaidah strukturalisme Saussure.23
23
Ibid, Hal 202