BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Bahan Organik Tanah Bahan organik tanah merupakan bagian dari fraksi organik yang telah mengalami degradasi dan dekomposisi, baik sebagian atau keseluruhan menjadi satu dengan tanah. Menurut Kononova (1966) bahan organik tanah adalah suatu bahan yang kompleks dan dinamis, berasal dari sisa tanaman dan hewan yang terdapat di dalam tanah dan mengalami perombakan terus menerus, sedangkan menurut Soepardi (1983) bahan organik tanah adalah timbunan sisa tumbuhan dan binatang yang sebagian telah mengalami pelapukan dan pembentukan kembali. Secara umum bahan organik di dalam tanah terakumulasi di lapisan atas. Jumlahnya tidak lebih besar dari 3-5 persen, tetapi pengaruhnya terhadap sifatsifat tanah besar sekali. Faktor yang penting mempengaruhi kadar bahan organik tanah adalah kedalaman tanah, tekstur tanah dan drainase. Kedalaman lapisan menentukan kadar bahan organik. Kadar bahan organik terbanyak ditemukan di lapisan teratas kurang lebih setebal 20 cm yaitu sebesar 15-20 %, makin ke bawah makin berkurang (Imas, Sudarsono dan Djajakirana, 1998). Hal ini disebabkan akumulasi bahan organik terjadi di lapisan atas. Tekstur tanah cukup berperan, makin tinggi jumlah klei makin tinggi pula kadar bahan organik tanah bila kondisi lainnya sama. Tanah berpasir memungkinkan oksidasi yang baik sehingga bahan organik cepat habis. Tanah dengan drainase buruk pada umumnya mempunyai kadar bahan organik lebih tinggi daripada tanah berdrainase baik. Kadar bahan organik pada ekosistem alami terutama ditentukan oleh kadar klei dan tipe mineral klei.
2.1.1 Sumber Bahan Organik Tanah Sumber utama bahan organik tanah adalah jaringan tumbuhan. Bahan organik tersebut akan mengalami pelapukan dan selanjutnya akan menjadi satu dengan tanah. Binatang biasanya dianggap penyumbang sekunder setelah tumbuhan. Mereka akan menggunakan bahan organik sebagai sumber energi dan bila mereka mati, jasadnya merupakan sumber bahan organik baru (Soepardi, 1983).
3
Menurut Rowell (1995), sumber dasar bahan organik tanah adalah jaringan tanaman dan komposisi dari bahan organik tersebut mencerminkan sumber bahan itu. Bagian atas dan akar dari tanaman, semak belukar, rumput-rumputan dan tanaman asli lainnya, setiap tahun memberikan residu organik dalam jumlah besar (Buckman dan Brady, 1969). 2.1.2 Dekomposisi Bahan Organik Tanah Di dalam tanah, bahan organik akan mengalami degradasi dan dekomposisi, baik sebagian maupun keseluruhan, baik secara kimia dan biologi. Dekomposisi dapat didefinisikan sebagai proses biokimia yang di dalamnya terdapat bermacam-macam kelompok mikroorganisme yang menghancurkan bahan organik ke dalam bentuk humus (Gaur, 1986). Millar dan Turk (1951) menyatakan bahwa dekomposisi bahan organik di dalam tanah merupakan suatu proses biokimia, beberapa faktor mempengaruhi aktivitas organisme tanah juga mempengaruhi laju pelapukan atau pembusukan bahan organik. Bahan organik dapat dikelompokkan menjadi senyawa yang cepat dan yang lambat sekali didekomposisikan. Bahan organik cepat didekomposisikan terdiri dari (1) gula, zat pati dan protein sederhana, (2) protein kasar, dan (3) hemiselulosa. Sementara itu, bahan organik yang termasuk lambat sekali didekomposisikan terdiri dari (1) hemiselulosa, (2) selulosa, (3) lignin, lemak, waks, dan lain-lain. Hemiselulosa termasuk di antara bahan organik yang cepat didekomposisikan dan lambat didekomposisikan. Dekomposisi bahan organik dapat berlangsung secara aerobik ataupun anaerobik, tergantung pada ketersediaan oksigen (Gaur, 1986). Secara umum reaksi dekomposisi bahan organik yang berlangsung secara aerobik digambarkan sebagai berikut : Aktivitas
Bahan Organik + O2
CO2 + H2O + Hara + Humus + Energi Mikroba
Hasil dari proses dekomposisi bahan organik terdiri dari (1) energi yang dibebaskan, (2) hasil akhir sederhana, (3) humus. Pertumbuhan jasad mikro memerlukan energi dan bahan organik untuk pembentukan jaringan tubuhnya. Jumlah energi yang terdapat dalam bahan organik sebagian digunakan oleh jasad
4
mikro tanah, selebihnya tetap tinggal dalam sisa bahan organik atau dibebaskan sebagai panas. Hasil akhir sederhana dari proses dekomposisi yaitu : 1. Karbon
: CO2, CO3-2, HCO3-, CH4
2. Nitrogen : NH4+, NO2-, NO33. Belerang : S, H2S, SO3-2, SO4-2, CS2 4. Fosfor
: H2PO4-, HPO4-2
5. Lainnya
: K+, Ca2+, Mg2+, H2O, H+, OH-, dan lain- lain
Humus merupakan bahan yang tahan terhadap perombakan selanjutnya oleh jasad mikro dari bahan aslinya, berwarna coklat atau hitam (Soepardi, 1983). Humus mempunyai daya menahan air dan unsur hara yang tinggi, hal ini disebabkan karena tingginya kapasitas tukar kation (KTK) dari humus. Humus tersusun dari : 1) asam fulvik yang larut dalam asam maupun alkali, 2) asam humik yang larut dalam alkali tetapi tidak larut dalam asam, dan 3) humin yang tidak larut dalam asam maupun alkali. 2.1.3 Laju Dekomposisi Bahan Organik Laju dekomposisi bahan organik di dalam tanah dipengaruhi oleh banyak faktor yang dapat dibagi ke dalam tiga kelompok, yaitu : 1. Bahan atau jaringan tanaman (jenis tanaman, umur tanaman, dan komposisi kimia) 2. Tanah (aerasi, suhu, pH, kelembaban, dan tingkat kesuburan) 3. Iklim (terutama yang mempengaruhi suhu dan kelembaban) Bahan tanaman berbeda dalam dekomposisi dan kecepatan dekomposisi tergantung spesies tanaman, umur tanaman, dan terutama bagian tanaman (akar, daun, buah, ranting, dan batang) (Singer dan Munns, 1987). Meskipun secara umum tanaman mengandung kelompok bahan yang sama (lemak, resin, protein, kelompok karbohidrat, lignin dan komponen lainnya) tetapi proporsi dari bahanbahan ini pada berbagai jenis tanaman berbeda-beda, dan bahan-bahan ini mempengaruhi laju dekomposisi (Kononova, 1966). Laju dekomposisi bahan organik meningkat dengan naiknya suhu dan curah hujan. Laju dekomposisi bahan organik tertinggi terjadi di daerah tropik (Leagred, Beckman, dan Kaarstad, 1999).
5
Pelapukan bahan organik merupakan salah satu kegiatan jasad mikro, sehingga unsur hara yang terikat dalam bentuk organik menjadi tersedia bagi tumbuhan. Kecepatan pelapukan tergantung pada kandungan senyawa dari bahan organik tersebut. Adapun urutan senyawa-senyawa yang ditemukan dalam jaringan tumbuhan menurut tingkat mudah tidaknya senyawa tersebut dilapuk (Soepardi, 1983) adalah: 1. Gula, zat pati, protein sederhana
(mudah dilapuk)
2. Protein kasar 3. Hemiselulosa 4. Selulosa 5. Lignin, lemak, lilin dan waks.
(Sangat tahan lapuk)
2.1.4 Peranan Bahan Organik Tanah Peranan bahan organik tanah sangat penting bagi tumbuhan, bahan organik mengandung sejumlah zat tumbuh dan vitamin. Pada waktu tertentu bahan organik dapat merangsang pertumbuhan tanaman dan jasad mikro. Bahan organik tanah juga berpengaruh penting terhadap ciri tanah baik secara fisik, kimia, maupun biologi (Hakim et al.,1986). Peranan bahan organik terhadap ciri fisik antara lain : 1. Kemampuan tanah menahan air meningkat 2. Warna tanah menjadi coklat hingga hitam 3. Merangsang granulasi agregat dan memantapkannya 4. Menurunkan plastisitas, kohesi, dan sifat buruk lainnya dari klei Peranan bahan organik terhadap ciri kimia antara lain : 1. Meningkatkan daya jerap dan kapasitas tukar kation (KTK) 2. Meningkatkan jumlah kation yang mudah dipertukarkan 3. Unsur N, P, dan S diikat dalam bentuk organik 4. Pelarutan sejumlah unsur hara dari mineral oleh asam humat Peranan bahan organik terhadap ciri biologi antara lain : 1. Jumlah dan aktivitas metabolik organisme tanah meningkat 2. Kegiatan jasad mikro dalam dekomposisi bahan organik meningkat
6
2.1.5 Bentuk-Bentuk Bahan Organik Tanah 1. Bahan organik berikatan dengan klei Mineral klei dan bahan organik saling berinteraksi membentuk kompleks klei-organik di dalam tanah. Tidak hanya senyawa-senyawa seperti protein, karbohidrat, selulosa, dan hemiselulosa tetapi juga fraksi humus dapat berinteraksi dengan mineral klei, akibatnya menjadi kurang tersedia bagi mikroorganisme (Kononova, 1966). Meskipun mekanisme pembentukan kompleks bahan organik dengan klei secara pasti belum diketahui, reaksi hipotesis berikut dapat digunakan sebagai contoh : Si
O
Si Al OH + HO
Si
O
COOH
O
Al-O Si
COOH + H2O
O
Reaksi di atas menunjukkan penambahan suatu gugus asam (COOH) pada permukaan klei yang menyumbang suatu muatan negatif yang kuat kepada klei tersebut. Sebagai kompleks klei-organik, klei akan tersuspensi untuk waktu yang lama dan bergerak ke bawah bersama air perkolasi. Senyawa organik dan anorganik hasil dekomposisi dijerap oleh partikel klei melalui beberapa mekanisme, yaitu 1) ikatan Van der Waals, 2) ikatan ion, 3) ikatan hidrogen, dan 4) ikatan kovalen (Stevenson, 1982). Ikatan kovalen merupakan ikatan yang paling kuat, sedangkan ikatan Van der Waals merupakan ikatan yang lemah. Ikatan klei dan bahan organik dapat terjadi dalam keadaan saat klei dan bahan organik bermuatan negatif maupun positif. Pada kondisi biasa, klei mempunyai muatan negatif dan pada kondisi tertentu permukaan tepi klei yang patah mempunyai muatan positif (Tan, 1992), sama halnya dengan bahan organik pada kondisi biasa bermuatan negatif.
7
2. Bahan organik berikatan dengan Al dan Fe Bahan organik di dalam tanah dapat membentuk kompleks dengan ion-ion logam, terutama Al dan Fe. Kompleks bahan organik dengan Al dan Fe disebut khelat. Salah satu bentuk khelat digambarkan oleh Stevenson (1982) sebagai berikut : COOO
CH2 C
O
O
C
O
C
CH2
COO-
M -
OOC
H2C
C
O
CH2
O
COOKhelat Asam Sitrat
Pengkhelatan tersebut secara efektif akan menurunkan aktivitas ion-ion logam dan secara tidak langsung mempengaruhi kelarutan mineral yang mengandung unsur tersebut (Kussow, 1971). Senyawa-senyawa Fe dan Al biasanya tidak dapat larut pada kisaran pH tanah yang normal. Namun, kelarutan dari zat-zat ini dapat ditingkatkan dengan pembentukan kompleks atau pengkhelatan Fe dan Al oleh senyawa humat tanah.
Reaksi yang terjadi adalah sebagai berikut : M2+ + 2AH M AH MA2
MA2 + 2H+
= Ion Logam = Asam Humat = Kompleks Logam Humat
3. Bahan organik bebas (belum terlapuk) Bahan organik bebas merupakan bahan organik yang belum melapuk atau belum terdekomposisi. Bahan organik dalam bentuk bebas memiliki peranan dalam fisika tanah antara lain sebagai penutup tanah untuk melindungi tanah
8
terhadap daya perusak butir-butir hujan yang jatuh, melindungi tanah dari daya perusak aliran permukaan. 2.2 Kompos Kompos adalah salah satu pupuk organik yang berasal dari sisa-sisa organik dari hijauan atau hasil pertanian dan kotoran hewan yang ditumpuk dan mengalami proses dekomposisi sehingga dapat digunakan sebagai pupuk. Kompos sebagai salah satu sumber bahan organik, kandungan haranya tergantung pada bahan tanaman yang dijadikan kompos tersebut (Rowell, 1995). Menurut Indranada (1986) pengomposan adalah dekomposisi bahan organik segar menjadi bahan yang menyerupai humus (rasio C/N mendekati 10). Proses perombakan bahan organik ini terjadi secara biofisika-kimia, melibatkan aktivitas biologi mikroba dan mesofauna (Suriadikarta dan Simanungkalit, 2006). Prinsip pengomposan adalah menurunkan C/N ratio bahan organik hingga sama dengan C/N tanah (< 20). Dengan semakin tingginya C/N bahan maka proses pengomposan akan semakin lama karena C/N harus diturunkan. Dalam proses pengomposan terjadi perubahan seperti : 1) karbohidrat, selulosa, hemiselulosa, lemak dan lignin menjadi CO2 dan air, 2) zat putih telur menjadi amonia, CO2 dan air, 3) Penguraian senyawa organik menjadi senyawa yang dapat diserap tanaman. Dengan perubahan tersebut, kadar karbohidrat akan hilang atau turun dan senyawa N yang terlarut (amonia) meningkat (Indriani, 2004). Dengan demikian, C/N semakin rendah dan relatif stabil mendekati C/N tanah. 2.2.1 Faktor yang Mempengaruhi Pengomposan Faktor-faktor yang mempengaruhi proses pengomposan : 1. Nilai C/N bahan Semakin rendah C/N bahan, waktu yang diperlukan untuk pengomposan semakin singkat. 2. Ukuran bahan Bahan yang berukuran lebih kecil akan lebih cepat proses pengomposannya karena semakin luas bahan yang tersentuh oleh mikroba perombak. Oleh karena itu, bahan perlu dicacah sehingga berukuran kecil. Pencacahan bahan
9
yang tidak keras sebaiknya tidak terlalu kecil karena bahan yang telah hancur (banyak air) kurang baik (kelembabannya menjadi tinggi). 3. Jumlah mikroorganisme Biasanya mikroorganisme sering ditambahkan ke dalam bahan yang akan dikomposkan. Semakin banyak jumlah mikroorganisme, diharapkan proses pengomposan akan lebih cepat. 4. Kelembaban dan aerasi Umumnya mikroorganisme tersebut dapat bekerja dengan kelembaban sekitar 40 - 60 %. Kondisi tersebut perlu dijaga agar mikroorganisme dapat bekerja secara optimal. Kelembaban yang lebih rendah atau lebih tinggi dapat menyebabkan mikroorganisme tidak berkembang atau mati. Adapun kebutuhan aerasi tergantung dari proses berlangsungnya pengomposan tersebut aerobik atau anaerobik. 5. Suhu Suhu optimal sekitar 30 – 500C. Bila suhu terlalu tinggi, mikroorganisme akan mati. Bila suhu relatif rendah, mikroorganisme belum dapat bekerja atau dalam keadaan dorman. Aktivitas mikrorganisme dalam proses pengomposan tersebut juga menghasilkan panas sehingga untuk menjaga suhu tetap optimal sering dilakukan pembalikan kompos. Hasil pengomposan berupa kompos, yaitu jenis pupuk yang terjadi karena proses penghancuran oleh alam (Sarief, 1985) dan mikroorganisme pengurai terhadap bahan organik (daun-daunan, jerami, alang-alang, rumput-rumputan, dedak padi, batang jagung serta kotoran hewan). Adapun karakteristik umum yang dimiliki kompos antara lain; (1) mengandung unsur hara dalam jenis dan jumlah bervariasi tergantung bahan asal, (2) menyediakan unsur hara secara lambat (slow release) dan dalam jumlah terbatas, dan (3) mempuyai fungsi utama memperbaiki kesuburan dan kesehatan tanah (Suriadikarta dan Simanungkalit, 2006). Sifat dari kompos yang matang antara lain kadar kelembaban < 35%, suhu stabil, berwarna cokelat tua, berbau tanah (earthy), pH alkalis, COD stabil, BOD stabil, C/N rasio < 20, KTK > 60 me 100 g -1 dan laju respirasi < 10 mg g -1 (Yang, 1996).