BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kemiskinan Definisi kemiskinan yang digunakan di berbagai negara bermacam-macam. Kemiskinan sering dipandang sebagai ketidakmampuan untuk membayar biaya hidup minimal, walaupun beberapa ahli berpendapat bahwa kemiskinan juga merupakan kurangnya akses terhadap jasa-jasa seperti pendidikan, kesehatan, informasi, serta kurangnya akses masyarakat terhadap partisipasi pembangunan dan politik (Bank Dunia, 1990). Berdasarkan Perpres Nomor 7 Tahun 2005 tentang RPJMN, kemiskinan terjadi ketika seseorang atau sekelompok orang, baik laki-laki dan perempuan, tidak terpenuhi hak-hak dasarnya untuk mempertahankan dan mengembangkan kehidupan yang bermartabat. Menurut (Ridlo, 2001) definisi ini beranjak dari pendekatan berbasis hak yang mengakui bahwa masyarakat miskin mempunyai hak-hak dasar yang sama dengan anggota masyarakat lainnya. Ketidaksamaan kesempatan untuk mengakumulasi basis kekuatan sosial yang meliputi: aset, sumber-sumber keuangan, organisasi dan jaringan sosial, pengetahuan dan informasi untuk memperoleh pekerjaan menjadikan seseorang menjadi miskin. Provinsi Bali yang dikenal sebagai daerah pariwisata, sampai saat ini juga belum bisa luput dari permasalahan kemiskinan. Berikut ini tabel yang menunjukkan perkembangan jumlah dan persentase penduduk miskin di Bali selama lima tahun terakhir Statistik Provinsi Bali, 2013)
7
(Badan Pusat
8
Tabel 2.1 Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin di Provinsi Bali Menurut Kabupaten/Kota Tahun 2012 - 2013 Kabupaten/Kota Regency/City
(1) 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
Jumlah Penduduk Miskin (000 jiwa) Number of Poor People (000) 2012 2013
Persentase Penduduk Miskin Percentage of Poor People 2012 2013
(2)
(3)
(4)
(5)
Jembrana Tabanan Badung Gianyar Klungkung Bangli Karangasem Buleleng Denpasar
15,3 21,0 12,5 22,6 9,3 9,9 22,7 33,0 12,7
14,9 22,5 14,5 20,8 12,2 12,0 27,8 40,3 17,6
5,74 4,90 2,16 4,69 5,37 4,52 5,63 5,19 1,52
5,56 5,21 2,46 4,27 7,01 5,45 6,88 6,31 2,07
BALI
158,9
182,8
3,95
4,49
Sumber : Badan Pusat Statistik (berdasarkan hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional - September) Tabel diatas menunjukkan bahwa rata-rata persentase penduduk miskin di Provinsi Bali pada tahun 2013 adalah sebesar 4,59% hanya dua kabupaten dengan persentase dibawah rata-rata daerah yaitu Kabupaten Badung dan Kota Denpsaar. Sebagian besar diatas rata-rata dengan Kabupaten Klungkung, Kabupaten Karangasem, Kabupaten Buleleng, Kabupaten Jembrana dan Kabupaten Bangli yang dengan persentase tertinggi penduduk miskin. 2.2 Ketahanan Pangan Ketahanan pangan merupakan terjemahan dari food security. Ketahanan pangan mencakup aspek yang luas dan kompleks, sehingga setiap orang mencoba menerjemahkannya sesuai dengan kondisi dan situasi yang berkembang pada saat itu, serta sesuai dengan kedalaman pemahamannya. Ketahanan pangan diinterpretasikan
9
dengan banyak cara, sehingga pemakaian istilah ketahanan pangan dapat menimbulkan perdebatan. Sejak istilah ketahanan pangan mulai diperkenalkan, pengertian
ketahanan
pangan
terus
berkembang
sesuai
dengan
keadaan
perkembangan permasalahan (Badan Ketahanan Pangan, 2014). Ketahanan pangan sebagaimana hasil rumusan International Congres of Nutrition (ICN) yang diselenggarakan di Roma tahun 1992 mendefinisikan bahwa ketahanan pangan (food security) adalah kemampuan rumah tangga untuk memenuhi kecukupan pangan anggotanya dari waktu ke waktu agar dapat hidup sehat dan mampu melakukan kegiatan sehari-hari. Dalam sidang Committee on World Food Security tahun 1995 definisi tersebut diperluas dengan menambah persyaratan “harus diterima oleh budaya setempat” (Ariani & Rachman, 2003). Pada peluncuran peta kerawanan pangan (FIA) tahun 2005 tingkat nasional ternyata masih menyebabkan kesalah pahaman mengenai pengertian pemeringkatan kabupaten “rawan pangan”. Kata rawan pangan (food insecurity) diindikasikan secara langsung bahwa kabupaten – kabupaten peringkat bawah adalah kabupaten yang semua penduduknya rawan pangan. Oleh karena itu pada peta nasional tahun 2009 dirubah dari peta kerawanan pangan (FIA) tahun 2005 menjadi peta ketahanan dan kerentanan pangan (FSVA) pada tahun 2009. Perubahanan nama tersebut dilakukan dengan pertimbangan untuk memperjelas konsep ketahanan pangan. Sehingga istilah rawan pangan diganti dengan kerentanan pangan (Dewan Ketahanan Pangan, 2009). Berdasarkan Undang-Undang Pangan Nomor: 18 Tahun 2012, ketahanan pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi negara sampai dengan perseorangan, yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, beragam, bergizi, merata, dan terjangkau serta tidak bertentangan dengan agama,
10
keyakinan, dan budaya masyarakat, untuk dapat hidup sehat, aktif, dan produktif secara berkelanjutan. Ketika kondisi pangan bagi negara sampai dengan perorangan tidak terpenuhi maka kondisi yang akan terjadi adalah kondisi kerawanan pangan, sehingga kerawanan pangan dapat diartikan adalah kondisi tidak tersedianya pangan yang cukup bagi individu/perorangan untuk dapat hidup sehat, aktif, dan produktif secara berkelanjutan. Kerawanan pangan juga dapat didefinisikan sebagai kondisi apabila rumah tangga (anggota rumah tangga) mengalami kurang gizi sebagai akibat tidak cukupnya ketersediaan pangan (physical unavailability of food), dan/atau ketidakmampuan rumah tangga dalam mengakses pangan yang cukup, atau apabila konsumsi makanannya (food intake) berada dibawah jumlah kalori minimum yang dibutuhkan (BPMPD, 2014). Berdasarkan penelitian yang dilakukan di Kabupaten Asahan, hasil analisisnya menunjukkan bahwa secara serempak faktor-faktor yang mempengaruhi ketahanan dan kerentanan pangan yang bersifat kronis di kabupaten tersebut adalah ketersediaan pangan, akses pangan dan pemanfaatan pangan. Secara parsial akses pangan dan pemanfaatan pangan secara signifikan mempengarui ketahanan dan kerentanan pangan kronis di kabupaten tersebut, sedangkan ketersediaan pangan secara parsial tidak mempengaruhi ketahanan dan kerentanan pangan kronis. Indikator akses pangan yang paling mempengaruhi ketahanan dan kerentanan pangan secara signfikan adalah persentase penduduk yang hidup dibawah garis kemiskinan. Dari 25 kecamatan yang ada di Kabupaten Asahan, terdapat 68% daerah yang tahan pangan dan 32% dalam kondisi rentan pangan. Kecamatan yang rentan pangan memiliki kondisi akses pangan dan pemanfaatan pangannya kurang baik. Daerah yang rentan pangan juga termasuk daerah-daerah yang defisit pangan (Saputra, 2014).
11
Gambar 2.1 Kerangka Konsep Ketahanan Pangan dan Gizi (Dewan Ketahanan Pangan, 2009) Kerangka konsep ketahanan pangan mempertimbangkan ketersediaan pangan, akses terhadap pangan dan pemanfaatan pangan sebagai aspek-aspek utama penopang ketahanan pangan serta menghubungkan aspek-aspek tersebut dengan kepemilikan asset rumah tangga, strategi penghidupan, dan lingkungan politik, sosial, kelembagaan dan ekonomi. Dengan kata lain, status ketahanan pangan suatu rumah tangga, atau individu ditentukan oleh interaksi dari faktor lingkungan pertanian (agro-environmental), sosial ekonomi dan biologi dan bahkan faktor politik (Dewan Ketahanan Pangan, 2009). Berdasarkan penelitian yang dilakukan di Amerika pada tahun 2010 , ketahanan pangan pada tingkat rumah tangga mencapai 85,5%. Hal ini menjelaskan bahwa sebagian besar warga Amerika memiliki akses yang baik untuk mencukupi
12
kebutuhan pangan rumah tangga. Sementara itu, rumah tangga lainnya yang ketahanannya kurang (14,5%) yang disebabkan oleh asupan makanan salah satu anggota rumah tangga berkurang dan kebiasaan makan berubah. Hal ini disebabkan oleh kemiskinan yang dialami sehingga menyebabkan akses terhadap sumber pangan berkurang (Coleman-Jensen et al., 2011). Penelitian
yang
dilakukan
di
kabupaten
yang
berada
di
Provinsi
D.I Yogyakarta, sebagian besar (51,5%) rumah tangga miskin yang diteliti diantaranya menggantungkan hidupnya dengan bekerja pada usaha pertanian. Ratarata tertinggi ketersediaan pangan, akses pangan, stabilitas pangan, dan kualitas pangan dimiliki RTM dari Kabupaten Gunungkidul. Rata-rata terendah ketersediaan pangan dan akses pangan dimiliki RTM dari Kabupaten Sleman. Adapun rata-rata terendah stabilitas pangan, dan kualitas pangan dimiliki RTM dari Kabupaten Kulonprogo (Mustofa, 2012). Hal ini menunjukkan bahwa ketahanan pangan pada daerah miskin masih kurang. 2.3 Sistem Kewaspadaan Pangan dan Gizi Kerawanan pangan di Indonesia dapat diketahui dari tingkat kecukupan gizi masyarakat yang diukur dari Angka Kecukupan Gizi (AKG). AKG merupakan tingkat konsumsi zat-zat gizi esensial yang dinilai cukup untuk memenuhi kebutuhan gizi hampir semua orang sehat di suatu negara. AKG diperoleh dari data Susenas BPS yang dikumpulkan setiap triwulan dalam tahun. Angka kecukupan konsumsi kalori penduduk Indonesia per kapita per hari berdasarkan Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VIII (WNPG) 2004 adalah 2000 kkal. Persentase rawan pangan berdasar angka kecukupan gizi (AKG) suatu daerah, dihitung dengan menjumlahkan penduduk dengan konsumsi kalori kurang dari 1400 kkal (70% AKG) perkapita
13
dibagi dengan jumlah penduduk pada golongan pengeluaran tertentu (Badan Ketahanan Pangan, 2014). Berdasarkan Persentase Angka Rawan Pangan Tahun 2008-2012, diperoleh bahwa pada tahun 2012 ternyata masih terdapat 47,64 juta penduduk atau 19,46 persen dari seluruh penduduk di Indonesia yang mengalami kondisi sangat rawan pangan dan apabila dibiarkan terjadi selama dua bulan berturut-turut akan menjadi rawan pangan akut yang menyebabkan kelaparan (Badan Pusat Statistik, 2013). Sejak tahun 2010, Badan Ketahanan Pangan telah menyempurnakan suatu alat analisis pemantauan situasi pangan dan gizi yang dikenal dengan Sistem Kewaspadaan Pangan dan Gizi (SKPG). Sistem Kewaspadaan Pangan dan Gizi (SKPG) berdasarkan Peraturan Menteri Pertanian/Ketua Harian Dewan Ketahanan Pangan Nomor 43 Tahun 2010 tentang Pedoman Sistem Kewaspadaan Pangan dan Gizi merupakan serangkaian proses untuk mengantisipasi kejadian rawan pangan dan gizi melalui pengumpulan, pemrosesan, penyimpanan, analisis, dan penyebaran informasi situasi pangan dan gizi. Kegiatan SKPG terdiri dari analisis data situasi pangan dan gizi bulanan dan tahunan serta penyebaran informasi. Data bulanan dan tahunan tersebut menginformasikan tentang 3 (tiga) aspek utama yaitu ketersediaan, akses, dan pemanfaatan pangan yang menjadi dasar untuk menganalisis situasi pangan dan gizi di suatu daerah. Untuk aspek pemanfaatan pangan, dalam SKPG yang dinilai adalah persentase balita ditimbang (D), persentase balita naik berat badan (N), persentase balita yang tidak naik berat badannya 2 kali penimbangan berturut-turut (2T), serta persentase balita dengan berat-badan dibawah garis merah (BGM). Hasil SKPG dapat digunakan sebagai dasar pelaksanaan investigasi untuk menentukan tingkat kedalaman kejadian kerawanan pangan dan gizi di lapangan
14
serta intervensi dalam rangka mewujudkan ketahanan pangan masyarakat (Badan Ketahanan Pangan, 2014). Penelitian yang dilakukan di Kabupaten Aceh Tenggara mengenai pelaksanaan SKPG di kabupaten tersebut, menunjukkan hasil bahwa jumlah balita KEP dan keluarga miskin masih tinggi diantaranya Desa Natam sebesar 86,34% dan 59,71% , Desa Salang Sigotom sebesar 55,22% dan 29,65%. Berdasakan hasil yang ditemukan bahwa kewaspadaan pangan dan gizi semakin meningkat (Hidayat, 2001). 2.4 Ketersediaan Pangan Ketersediaan (food availability) yaitu ketersediaan pangan dalam jumlah yang cukup aman dan bergizi untuk semua orang dalam suatu negara baik yang berasal dari produksi sendiri, impor, cadangan pangan maupun bantuan pangan. Ketersediaan pangan ini diharapkan mampu mencukupi pangan yang didefinisikan sebagi jumlah kalori yang dibutuhkan untuk kehidupan yang aktif dan sehat. Informasi data yang digunakan untuk mengetahui ketersedian pangan antara lain: 1) produksi : peningkatan produksi pangan dan kualitas pangan dapat dilakukan dengan program intensifikasi budidaya dan diversifikasi pangan antara lain dengan usaha pengolahan bahan pangan menjadi produk pangan yang menpunyai nilai tambah, 2) pasokan pangan dari luar (impor), 3) cadangan pangan merupakan salah satu sumber penyediaan pangan penting bagi pemantapan ketahanan pangan. Pengelolaan cadangan yang baik akan dapat menanggulangi masalah pangan seperti adanya gejolak harga yang tidak wajar, atau keadaan darurat karena adanya bencana atau paceklik yang berkepanjangan, sehingga membatasi aksesibilitas pangan masyarakat, 4) bantuan pangan, 5) jumlah penduduk (Hanani, 2008).
15
Laju peningkatan kebutuhan pangan lebih cepat dibandingkan dengan laju peningkatan kemampuan produksi. Disamping itu peningkatan produktivitas tanaman di tingkat petani relatif stagnan, karena terbatasnya kemampuan produksi, penurunan kapasitas kelembagaan petani, serta kualitas penyuluhan pertanian yang jauh dari memadai. Laju pertumbuhan penduduk yang tinggi di Indonesia menjadi tantangan lain yang perlu dihadapi dalam pemenuhan kebutuhan pangan (Dewan Ketahanan Pangan, 2009). Perhitungan rasio konsumsi terhadap ketersediaan bersih sereal dan umbi-umbian ini diasumsikan untuk mengukur tingkat konsumsi serealia penduduk dan tingkat kemampuan suatu daerah dalam menyediakan bahan pangan/sereal dalam mencukupi kebutuhan penduduknya. Rasio konsumsi normatif terhadap ketersediaan netto pangan serealia per kapita per hari adalah merupakan petunjuk kecukupan pangan pada satu wilayah. Konsumsi normatif (Cnorm) didefinisikan sebagai jumlah pangan serealia yang harus dikonsumsi oleh seseorang per hari untuk memperoleh kilo kalori energi dari serealia. Pola konsumsi pangan di Indonesia menunjukkan bahwa hampir 50% dari kebutuhan total kalori berasal dari serealia. Standar kebutuhan kalori per hari per kapita adalah 2.000 KKal, dan untuk mencapai 50% kebutuhan kalori dari serealia dan umbi umbian (menurut angka pola pangan harapan), maka seseorang harus mengkonsumsi kurang lebih 300 gram serealia per hari. (Dewan Ketahanan Pangan, 2009). Penelitian yang dilakukan di Lampung Barat mengenai analisa situasi pangan dan gizi menunujukkan bahwa ketersedian pangan dalam bentuk energi dan protein pada tahun 2007 secara kuantitas menunjukkan keragaan lebih dari cukup, yaitu sebesar 3101 kkal (140% AKE) dan 74.28 gram protein (130% AKP) (Mahfi et al., 2008).
16
2.5 Akses Pangan Akses Pangan adalah kemampuan rumah tangga untuk memperoleh cukup pangan, baik yang berasal dari produksi sendiri, pembelian, barter, hadiah, pinjaman dan bantuan pangan maupun kombinasi diantara kelimanya (Badan Ketahanan Pangan, 2014). Akses rumah tangga dari individu terdiri dari akses ekonomi, fisik dan sosial. Adapun indikator untuk menjelaskan akses pangan dapat dikategorikan dalam indikator yang bersifat fisik antara lain kelancaran sistem distribusi, terpenuhinya sarana dan prasana transportasi sehingga tidak menimbulkan terjadinya isolasi daerah. Indikator yang bersifat ekonomi antara lain kemampuan atau peningkatan daya beli masyarakat atau individu dikarenakan adanya kesempatan kerja menyebabkan pendapatan tinggi sehingga harga pangan terjangkau. Indikator yang bersifat sosial antara lain tidak adanya konflik sosial yang disebabkan oleh buruknya adat atau kebiasaan, tinggi-rendahnya pengetahuan sehingga berpengaruh pada preferensi atau pemilihan jenis pangan. Beberapa indikator yang digunakan untuk menjelaskan akses pangan : a. Persentase penduduk hidup di bawah garis kemiskinan . Indikator ini menunjukkan ketidakmampuan dalam mengakses pangan sebagai kebutuhan dasar manusia secara baik karena rendahnya daya beli. Kemiskinan sebenarnya secara teoritis merupakan indikator kunci yang berperan besar dalam menentukan tingkat ketahanan pangan suatu wilayah. Dengan tingginya kemiskinan maka akses terhadap pekerjaan dan pengelolaan sumberdaya menjadi rendah dan itu akan menyebabkan rendahnya income masyarakat. Rendahnya income menyebabkan daya beli masyarakat menjadi rendah. Dan rendahnya daya beli menyebabkan pemenuhan kebutuhan dasar yaitu
17
kebutuhan akan pangan yang memenuhi pola pangan harapan sebagai syarat asupan gizi yang cukup juga berpeluang besar tidak dapat dipenuhi. b. Persentase desa yang tidak memiliki akses penghubung yang memadai. Jalan merupakan infrastruktur wilayah yang sangat mempengaruhi kinerja kegiatan ekonomi. Dalam perdagangan atau pemasaran produk pertanian ada fungsi pertukaran dan fungsi fisik. Proses pengangkutan dan handling product diperlancar infrastruktur jalan yang baik. Kondisi jalan tanah relatif kurang tahan dalam memfasilitasi sarana transportasi seperti truk pengangkut hasil pertanian maupun dalam mendistribusikan hasil pangan dari luar daerah ke daerah tersebut. Sehingga indikator ini dipilih sebagai indikator yang memperlancar akses pangan c. Persentase rumah tangga tanpa akses listrik. Listrik merupakan faktor yang mendukung kegiatan ekonomi di suatu wilayah. Dinamika ekonomi akan semakin tinggi dengan adanya listrik yang dapat diakses masyarakat disuatu wilayah. Tersedianya fasilitas listrik di suatu wilayah akan membuka peluang yang lebih besar untuk meningkatkan volume pekerjaan yang telah dijalankan atau menambah peluang kerja baru yang lebih baik. Indikator ini merupakan indikasi tingkat kesejahteraan masyarakat di wilayah tersebut (Hanani, 2008). 2.6 Pemanfaatan Pangan Pemanfaatan pangan (food utilization) yaitu penggunaan pangan untuk kebutuhan hidup sehat yang meliputi kebutuhan energi dan gizi, air dan kesehatan lingkungan. Efektifitas dari penyerapan pangan tergantung pada pengetahuan rumah tangga atau individu sanitasi dan ketersediaan air, fasilitas kesehatan, serta penyuluhan gizi dan pemeliharaan balita. Pemanfaatan atau penyerapan pangan erat kaitannya dengan
18
mutu dan keamanan pangan. Mutu dan keamanan pangan tidak hanya berpengaruh terhadap kesehatan manusia, tetapi juga terhadap produktivitas ekonomi dan perkembangan sosial baik individu, masyarakat maupun negara. Selain itu mutu dan keamanan pangan terkait erat juga dengan kualitas pangan yang dikonsumsi, yang secara langsung berpengaruh terhadap kualitas kesehatan serta pertumbuhan fisik dan intelegensi manusia (Dewan Ketahanan Pangan, 2009). Penyerapan pangan sebenarnya adalah indikator dampak dari ketersediaan maupun akses pangan. Akses pangan dan ketersediaan yang baik akan memberikan peluang bagi penyerapan pangan secara lebih baik. Dalam menyusun indikator maka aspek-aspek yang perlu diperhatikan berkenaan dengan: 1) fasilitas dan layanan kesehatan, 2) sanitasi dan ketersediaan air, 3) pengetahuan ibu RT, 4) outcome nutrisi dan kesehatan. Aspek-aspek di atas sangat strategis dalam memberikan gambaran penyerapan pangan suatu wilayah. Penyerapan pangan secara implisit adalah merupakan permasalahan asupan gizi di masyarakat (Hanani, 2005). Selain itu konsumsi pangan sangat terkait dengan aspek pemanfaatan pangan, karena dalam konsumsi pangan dapat diketahui kebiasaan makan dan gambaran tingkat kecukupan bahan makanan dan zat gizi pada tingkat kelompok, rumah tangga dan individu serta faktor-faktor berpengaruh terhadap konsumsi makanan tersebut (Supariasa et.al, 2002). Konsumsi pangan yang disajikan pada FSVA menunjukkan tingkat asupan energi penduduk yang dinyatakan dalam energi (Kkal) per kapita per hari, dan asupan protein dinyatakan dalam gram per kapita per hari. Konsumsi pangan dihitung berdasarkan pengeluaran untuk makanan dalam rumah tangga selama sebulan dari sampel yang di survei setiap tahun (Dewan Ketahanan Pangan, 2009)
19
Buta huruf dijadikan indikator penting karena dengan kondisi seperti tersebut maka sangat lemah sekali menangkap informasi untuk meningkatkan kualitas gizi keluarga. Demikian juga berkenaan dengan kemudahan dalam mengakses fasilitas kesehatan. Akses fasilitas kesehatan didekati dengan jaraknya dengan fasilitas kesehatan pada masing-masing wilayah. Variabel ini tentunya diharapkan akan sangat mempengaruhi semakin rendahnya persentase balita kurang gizi dan IMR di suatu wilayah. Air bersih adalah indikator ketiga yang menggambarkan tingkat penyerapan pangannya. Variabel ini dipilih karena air merupakan bahan baku yang sangat vital bagi ibu-ibu rumah tangga dalam memasak. Tingginya akses air bersih tentunya menunjukkan tingkat kualitas hidup yang lebih baik dan lebih sehat, hal ini tentunya akan berimplikasi pada makin tingginya harapan hidup rata-rata penduduk (Hanani, 2005). Indikator untuk menjelaskan tentang penyerapan pangan antara lain fasilitas dan layanan kesehatan dengan cara peningkatan fasilitas kesehatan yang memadai dan mempermudah layanan kesehatan, sanitasi dan ketersediaan air dengan kecukupan air bersih. Hal ini dikarenakan air yang kurang bersih rentan terhadap penyakit. Indikator lain yang digunakan terhadap penyerapan pangan yaitu pengetahuan ibu rumah tangga yang mana pola makan dan pola asuh kesehatan berdampak pada seberapa besar jumlah asupan gizi yang dikonsumsi. Apabila indikator tersebut terpenuhi tidaklah mustahil bahwasannya hasil yang diharapkan seperti peluang harapan hidup dari terpenuhinya gizi balita akan meminimkan angka kematian bayi sebagi penerus generasi (Hanani, 2008).
20
2.7 Penilaian Status Gizi Status gizi adalah ekspresi dari keadaan keseimbangan dalam bentuk variabel tertentu atau perwujudan dari nutriture dalam bentuk variabel tertentu. Penilaian status gizi ada 2 macam yaitu penilaian secara langsung dan penilaian secara tidak langsung. Penilaian secara langsung dapat dilakukan dengan 4 cara yaitu antropometri, klinis, biokimia, dan biofisik. Sedangkan penilaian secara tidak langsung dapat dilakukan dengan survei konsumsi makanan, statistik vital, dan faktor ekologi (Supariasa et al, 2002). Berat badan dan tinggi badan adalah salah satu parameter penting untuk menentukan status kesehatan anak balita, khususnya yang berhubungan dengan status gizi anak. Penggunaan Indeks BB/U, TB/U dan BB/TB merupakan indikator status gizi untuk melihat adanya gangguan fungsi pertumbuhan dan komposisi tubuh (Abunaim, 1990). Penggunaan berat badan dan tinggi badan akan lebih jelas dan sensitif atau peka dalam menunjukkan keadaan gizi kurang bila dibandingkan dengan penggunaan BB/U. Dinyatakan dalam BB/TB, menurut standar WHO bila prevalensi kurus/wasting < -2SD diatas 10 % menunjukan suatu daerah tersebut mempunyai masalah gizi yang sangat serius dan berhubungan langsung dengan angka kesakitan (Abunaim, 1990). Untuk menentukan status gizi anak balita, digunakan standar antropometri WHO 2005. Dalam WHO 2005, gizi kurang dan gizi buruk adalah status gizi yang didasarkan pada indeks berat badan menurut umur (BB/U) yang merupakan padanan istilah underweight (gizi kurang) dan severely underweight (gizi buruk). Pendek dan sangat pendek adalah status gizi yang didasarkan pada indeks panjang badan menurut umur (PB/U) atau tinggi badan menurut umur (TB/U), yang merupakan padanan
21
istilah stunted (pendek) dan severely stunted (sangat pendek). Kurus dan sangat kurus adalah status gizi yang didasarkan pada indeks berat badan menurut panjang badan (BB/PB) atau berat badan menurut tinggi badan (BB/TB) yang merupakan padanan istilah wasted (kurus) dan severely wasted (sangat kurus) (KEMENKES RI, 2010).