BAB II TINJAUAN PUSTAKA
II.1. Definisi Kecerdasan Kecerdasan ialah istilah umum yang digunakan untuk menjelaskan sifat fikiran yang mencakup sejumlah kemampuan, seperti kemampuan menalar, merencanakan, memecahkan masalah, berfikir abstrak, memahami gagasan, menggunakan bahasa dan belajar. Kecerdasan erat kaitannya dengan kemampuan kognitif yang dimiliki oleh individu. Kecerdasan dapat diukur dengan menggunakan alat psikometri yang biasa disebut dengan test IQ (Rositayanti, 2012). Claparde
menyatakan
bahwa
intelegensi
adalah
kemampuan
untuk
menyesuaikan secara mental terhadap situasi atau kondisi yang baru. Buhler menyatakan bahwa intelegensi adalah perbuatan yang disertai dengan pemahaman atau pengertian. Weschler (1958) mendefinisikan kecerdasan sebagai kumpulan atau totalitas kemampuan seseorang untuk belajar (ability to learn), bertindak dengan tujuan tertentu, berpikir secara rasional, serta menghadapi lingkungannya dengan efektif. (Kolb, 1984 ). Stenberg & Slater (1982) mendefinisikan kecerdasan sebagai tindakan atau pemikiran yang bertujuan dan adaptif. Menurut
Thurstone
(1924/1973)
spesifikasi
kecerdasan
terdiri
dari
pemahaman dan kemampuan verbal, angka dan hitungan, kemampuan visual, daya ingat, penalaran, kecepatan perseptual. Makin tinggi tingkat kecerdasan seseorang, makin memungkinkannya melakukan suatu tugas yang banyak menuntut rasio dan akal dan melaksanakan tugas-tugas yang sifatnya kompleks ( Kolb, 1984). Pada tahun 1904, Alfred Binet dan Theodor Simon, 2 orang psikolog asal Perancis merancang suatu alat evaluasi yang dapat dipakai untuk mengidentifikasi
Tahun 1916, Lewis Terman, seorang psikolog dari Amerika mengadakan banyak perbaikan dari tes Binet-Simon. Sumbangan utamanya adalah menetapkan indeks numerik yang menyatakan kecerdasan sebagai rasio (perbandingan) antara mental age dan chronological age. Hasil perbaikan ini disebut Tes Stanford Binet. Indeks seperti ini sebetulnya telah diperkenalkan oleh seorang psikolog Jerman yang bernama William Stern (1912), yang kemudian dikenal dengan Intelligence Quotient atau IQ. Tes Stanford-Binet ini banyak digunakan untuk mengukur kecerdasan anak-anak sampai usia 13 tahun. Salah satu reaksi atas tes Binet-Simon atau tes Stanford-Binet adalah bahwa tes itu terlalu umum. Seorang tokoh dalam bidang ini, Charles Sperrman mengemukakan bahwa inteligensi tidak hanya terdiri dari satu faktor yang umum saja (general factor), tetapi juga terdiri dari faktor-faktor yang lebih spesifik. Teori ini disebut Teori Faktor (Factor Theory of Intelligence). Alat tes yang dikembangkan menurut teori faktor ini adalah WAIS (Wechsler Adult Intelligence Scale) untuk orang dewasa, dan WISC (Wechsler Intelligence Scale for Children) untuk anakanak. Skala Wechsler yang umum dipergunakan untuk mendapatkan taraf kecerdasan membagi kecerdasan menjadi dua kelompok besar yaitu kemampuan kecerdasan verbal (VIQ) dan kemampuan kecerdasan tampilan (PIQ). Pengukuran nilai kecerdasan pada penelitian ini menggunakan nilai WISC (Wechsler Intelligance Scale for Children) yang dibuat oleh David Wechsler (1974), karena ini pengukuran tingkat kecerdasan yang terbaik dibandingkan dengan pengukuran tingkat kecerdasan yang lain (skala Stanford-Binet). Pengukuran nilai kecerdasan pada penelitian ini menggunakan nilai WISC (Wechsler Intelligance Scale for Children) yang dibuat oleh David Wechsler (1974), yang terbagi atas 12 macam test dan dikelompokkan dalam 2 kategori yaitu: verbal dan performa sebagaimana tabel dibawah ini :
Tabel 1. Kategori Pengukuran Kecerdasan SKALA VERBAL SKALA PERFORMANCE 1. Informasi 1. Melengkapi gambar 2. Pemahaman 2. Menyusun gambar 3. Hitungan 3. Rancangan Balok 4. Persamaan 4. Perakitan objek 5.Perbendaharaan kata 5. Simbol 6.Rentangan angka 6. Mazes Dikutip dari David Wechsler,1974
Pemberian skor pada WISC didasarkan atas kebenaran jawaban dan waktu yang diperlukan oleh subjek dalam memberikan jawaban yang benar tersebut. Skor tesebut kemudian diterjemahkan dalam angka standard melalui norma sehingga akhirnya diperoleh angka IQ untuk skala verbal, dan satu angka IQ untuk skala performans dan satu angka IQ untuk keseluruhan, skala Test Intelligensi Wecshler adalah test individual, yang diberikan secara lisan dan dijawab secara lisan pula. Serta dasar pengukurannya adalah deviation IQ dengan nilai rata-rata 100 dan besar penyimpangan = 15 (Kolb, 1984). Berikut ini pada Tabel 2 diberikan klasifikasi intelegensia berdasarkan skala Wechsler. Tabel 2. Klasifikasi Intelegensia berdasarkan Skala Wechsler Skala Wechsler
≥ 128
Klasifikasi
Skala Stanford Binet Diatas 170 Genius
Klasifikasi khusus
Very superior
140 – 169
120 – 127
Superior
120 – 139
111 – 119
Bright normal/ High average
110 – 119
60 – 83 Borderline
91 – 110
Average
90 – 109
52 – 67 Mild Mental Retardation
80 – 90
Dull Normall/Low average
80 – 89
36 – 51 Moderate mental retardation
66 – 79 ≤ 65
Borderline Mentally defective
70 – 79
20 – 35 Sever mental retardation Dibawah 19 Profound Mental Retardation
Dikutip dari David Wechsler,1974
II.2. Epidemiologi Anak usia pra sekolah sangat mudah mengalami defisiensi besi akibat infeksi cacing, sementara mereka berada dalam masa perkembangan mental dan fisik yang maksimum dan cepat, terutama sekali sangat membutuhkan vitamin dan mikronutrient yang hilang akibat infeksi cacing (Pollit, 1997; Siregar, 2006). Diperkirakan 1,47 milyar penduduk dunia menderita Ascariasis dengan morbidity rate 23,7% dan mortality rate 0,02%, penderita Trichuariasis diperkirakan 1,3 milyar penduduk dunia dengan morbidity rate 20,9% dan mortality rate 0.005%, sementara 1.3 milyar penduduk dunia menderita infeksi hookworms dengan morbidity rate 12,3% dan mortality rate 0.04% (Oemijati, 1996). Prevalensi di Indonesia menurut beberapa penelitian menunjukkan prevalensi yang relatif tinggi, lebih dari 60%-90% dan prevalensi terbesar ditemukan pada anak balita dan anak usia sekolah dasar (Oemijati, 1996). Hasil survei cacing di sekolah dasar di beberapa propinsi pada tahun 19861991 menunjukkan prevalensi 60%-80%, sedangkan untuk semua umur berkisar 40%-60%. Hasil survei Subdit Diare Depkes RI pada tahun 2002 dan 2003 pada 40 SD di 10 propinsi menunjukkan prevalensi berkisar antara 2,2%-96,3% (Depkes, 2006). Laporan Broker (2002) menyebutkan distribusi infeksi cacing di Indonesia secara geografis menunjukkan prevalensi yang berbeda. Prevalensi tertinggi di Irian dan Sumatera Utara, sementara prevalensi terendah ditemukan di Jawa Timur. Hasil penelitian di beberapa SD di Badung menunjukkan prevalensi infeksi 58,3%-96,8%. Penelitian Wachidanijah (2002) pada anak SD di Kebumen menunjukkan prevalensi 70,6% dan 58,4% diantaranya pada anak berusia 11-13 tahun. Beberapa penelitian di Kabupaten Deli Serdang menunjukkan prevalensi infeksi cacing sebesar 87% (Tiangsa, 1985), sementara prevalensi infeksi berdasarkan cacing yang menginfeksi yaitu prevalensi Ascariasis 76,2%, Trichuariasis 77,2% dan infeksi cacing tambang 10,9% (Alemina, 2002).
Terdapat beberapa faktor yang berperan penting dalam tingginya prevalensi infeksi cacing STH, antara lain faktor sosio demografi dan faktor tindakan pengobatan yang dilakukan. Faktor geografis suatu wilayah sangat berpengaruh terhadap perbedaan tingkat infeksi dan secara geografis, Sumatera Utara adalah salah satu wilayah dengan distribusi infeksi cacing tertinggi di Indonesia. Perbedaan jenis kelamin, pekerjaan, pengetahuan dan perilaku, serta faktor sosial ekonomi juga erat kaitannya dengan prevalensi infeksi cacing. Pengetahuan dan perilaku seorang anak dan orang tua khususnya ibu, erat kaitannya dengan tingkat infeksi, berhubungan dengan epidemologi penyakit. Perilaku hidup bersih dan sehat seorang anak sangat berpotensi untuk mencegah terjadinya infeksi cacing. II.3. Morfologi, Daur Hidup dan Patogenesis Ascaris lumbricoides Ascaris lumbricoides yang kita sebut juga cacing gelang termasuk family Ascarididae, Genus Ascaris. Hospesnya adalah manusia, cacing ini menyebabkan penyakit yang disebut Ascariasis. Penyebarannya diseluruh dunia (kosmopolit) dan lebih sering dijumpai pada anak usia diatas 5 tahun sampai 10 tahun. Di Indonesia frekwensinya tinggi yaitu 80%-90%. (Brown 1982: Beaver dkk, 1984) II.3.1. Morfologi Morfologi cacing terdiri dari: •
Cacing betina panjangnya 20cm-35cm, bentuk silindris (bulat panjang), warna putih kemerah-merahan. Ekor lurus/ Tidak melengkung.
•
Cacing jantan panjangnya 10cm-30cm bentuk silindris, warna putih kemerahmerahan. ekor melengkung.
Morfologi telur terdiri dari: •
Stadium tidak dibuahi: ukuran ± 90 x 40 mikron, dinding dalam: hialin tipis, dinding luar: albuminoid kasar berwarna kuning trengguli. Berisi granulagranula kasar.
•
Stadium dibuahi terdiri dari : corticated ukuran ± 60 x 45 mikron, dinding dalam: hialin tebal, dinding luar albuminoid kasar berwarna kuning trengguli dan decorticated tanpa lapisan albuminod (Pinardi, 1994).
Gambar 1. Cacing dan Telur Ascaris lumbricoides Dikutip dari: http://curezone.com/image_gallery/parasites/ http://aapredbook.aappublications.org/cgi/content/full/2009/1/3.8/008_02
II.3.2 Daur Hidup Daur hidup Ascaris lumbricoides dimulai sejak dikeluarkannya telur oleh cacing betina di usus halus kemudian dikeluarkan bersama tinja, dengan kondisi yang menguntungkan seperti udara yang hangat, lembab, tanah yang terlindung matahari, embrio akan berubah didalam telur menjadi larva yang infektif. Apabila manusia tertelan telur yang infektid, larva akan keluar di duodenum dan kemudian menembus dinding usus halus menuju ke venula mesenterika, masuk ke sirkulasi portal, kemudian ke jantung kanan melalui pembuluh darah kecil paru sampai di jaringan alveolar paru. Setelah itu larva berimigasi ke saluran nafas atas yakni daerah bronkiolus, menuju bronchus, trachea, epiglottis kemudian tertelan, turun ke esophagus, dan menjadi dewasa di usus halus.Dalam perjalanan siklus hidupnya larva A lumbricoides dapat menyebabkan trauma pada alveoli berupa pendarahan (petechial hemorrhage). Yang mengakibatkan darah mengumpul di alveoli dan bronkioli sehingga menyebabkan edema paru, keadaan ini disebut dengan Pneumonitis ascaris (Bundy dkk, 2000). A lumbricoides dapat hidup dalam tubuh penderita selama 12-18 bulan (Brown, 1982; Kazura, 2000; Haburchak, 2001). Untuk kelangsungan hidupnya, cacing gelang ini membutuhkan karbohidrat dan protein dalam jumlah yang relatif besar (karbohidrat 0,14 gram perekor per hari dan protein 0,035 gram perekor per hari) (Maharani, 2005).
Gambar 2. Siklus hidup cacing A lumbricoides Dikutip dari: http://www.dpd.cdc.gov.
II.3.3. Patogenesis A lumbricoides menimbulkan gejala penyakit yang disebabkan oleh: a. Larva Larva bisa menimbulkan kerusakan paru – paru tetapi biasanya hanya kerusakan kecil dan larva ini dapat menyebabkan Loeffler syndrome dengan gejala sebagai berikut: - Demam, batuk, Infiltrasi paru – paru, Asthma, Leukosiotis, Eosinofilia, Foto Thorax menggambarkan seperti gambaran Pneumonia. Ini akibat migrasi larva di paru – paru. Gejala klinis ini biasanya hanya ringan saja kecuali bagi orang yang sensitive, bisa agak berat (Brown, 1982; Beaver dkk, 1984). b. Cacing Dewasa Adanya A lumbricoides dalam usus halus dapat menyebabkan kerusakan mukosa usus halus, berupa proses peradangan pada dinding usus, pelebaran dan memendeknya villi, bertambah panjangnya kripta, menurunnya ratio villus
kripta dan infiltrasi sel bulat ke lamina propria. Kondisi ini berakibat pada gangguan absorbs makanan. Sebagian kelainan ini dapat kembali normal bila cacing dikeluarkan (Onggowaluyo dkk, 1998). Efek langsung yang terukur akibat kelainan mukosa usus halus adalah meningkatnya nitrogen dalam tinja. Steatorhoe karena terjadi gangguan absorbsi lemak, gangguan absorbsi karbohidrat yang diukur dengan xylo test. Akibat lainnya cacing gelang ini menyebabkan hiperperistaltik sehingga menimbulkan diare. Hal ini dapat mengakibatkan rasa tidak enak diperut, kolik akut pada daerah epigastrium dan gangguan selera makan (Brown, 1982; Beaver dkk, 1984). Cacing mungkin juga masuk ductus choledochus, appendix, menyumbat ampula vateri dan menyebabkan Pancreatitis haemoragik. Waktu muntah, cacing dewasa dapat juga keluar melalui mulut dan hidung. Dalam sehari setiap ekor cacing ini menghisap 0,14 gram karbohidrat dan protein 0,035 gram dalam usus halus penderita.(Gani; 2004). II.4. Morfologi, Daur Hidup dan Patogenesis Trichuris trichiura Trichuris trichiura (whip worm) atau cacing cambuk merupakan salah satu Nematoda usus yang penting pada manusia cacing Trichuris ini termasuk family Trichinellidae, genus Trichiuris. Hospes definitifnya adalah manusia dan habitat normalnya di sekun dan kolom ascendes (Beaver dkk, 1984; Kazura.2000) II.4.1 Morfologi Cacing betina panjangnya kira-kira 5 cm, sedangkan cacing jantan kira-kira 4 cm. Bagian anterior langsing seperti cambuk, panjangnya kira-kira3/5 dari panjang seluruh tubuh. Bagian posterior bentuknya membulat tumpul, sedangkan pada cacing jantan melingkar dan terdapat satu spirulun.
Gambar 3. Cacing dan Telur Trichuris trichiura Dikutip dari : http://www.dpd.cdc.gov.
Telur berukuran 50-54 mikron x 32 mikron, berbentuk seperti tempayan, dengan semacam penonjolan yang jernih pada kedua kutub. Kulit telur bagian luar berwarna kekuningan – kuningan dan bagian dalamnya jernih. II.4.2 Daur Hidup Daur hidup cacing ini dimulai dengan tertelannya telur yang mengandung embrio matur (stadium infektif), kemudian larva menetas di usus halus, larva ini selanjutnya masuk kedalam villi usus halus dan menetap selama3 sampai 10 hari kemudian berimigrasi ke lumen sekum. Tiga per empat anterior bagian cacing masuk (embedded) di mukosa superfisialis dan bagian posterior yang pendek bebas di dalam lumen. Cacing berkembang menjadi dewasa dan mampu bertelur dalam waktu 1 sampai 3 bulan. Rata – rata usia cacing dewasa adalah 1 tahun (Beaver dkk,1984; Strickland, 2000).
Gambar 4. Siklus hidup Trichuris trichiura
Dikutip dari: http://www.dpd.cdc.gov
II.4.3. Patogenesis Mekanisme pasti bagaimana T trichiura menimbulkan kelainan pada manusia tidak diketahui, akan tetapi diketahui ada dua proses yang berperan yakni trauma oleh cacing dan efek toksik. Trauma pada dinding usus terjadi karena cacing ini membenamkan bagian kepalanya pada dinding sekum dehingga menyebabkan reaksi anafilaksis lokal yang dimediasi oleh lg E, terlihat infiltrasi lokal eosinofil di submukosa usus dan dapat terjadi edema pada dinding usus. Pada keadaan ini mukosa mudah berdarah. Pada infeksi berat dapat dijumpai mencret yang mengandung darah dan lendir (sindroma disentri klasik/ Trichuris disentry syndrome, massive infantile Trichuriasis), menimbulkan intoksikasi sistemik dan diikuti anemia.
Ada juga
sindroma disentri yang lebih ringan berupa kolitis dengan gangguan kecerdasan. Anemia yang ditimbulkan cacing T trichiura, pernah dilaporkan kadar hemoglobin penderita mencapai 3gr/dl akibat infeksi cacing ini (Beaver dkk, 1984; Strickland, 2000; WHO, 1996; Onggowaluyo dkk, 1998).
Efek infeksi T trichiura dapat menyebabkan menurunnya insulin like growth factor (IGF-1), suatu hormon pertumbuhan bersifat anabiotik yang berfungsi pada pertumbuhan skeletal dan hematopoesis (Duff dkk,1999). Plasma IGF-1 meningkat pada masa anak dan mencapai puncaknya pada pubertas. Hormon ini merupakan marker biokimia yang baik untuk menilai gangguan pertumbuhan dan menilai gangguan nutrisi pada seorang anak (Clayton dkk, 2003). Dari suatu penelitian terhadap 14 anak sekolah usia dasar dengan sindroma disentri trikuris. Didapatkan kadar plasma IGF-1 rendah, kadar serum tumor necrosis factor (TNF) meningkat. Konsentrasi rerata hemoglobin rendah dan sintesis kolagen menurun. Keadaan tersebut bila berlangsung kronik ini akan dapat menyebabkan gangguan pertumbuhan pada anak (Duff dkk, 1999). Bila infeksinya ringan biasa asymptomatis (tanpa gejala). Bila jumlah cacingnya banyak biasanya timbul diare dengan feses yang berlendir, nyeri perut, dehidrasi, anemia, lemah dan berat badan menurun. II.5. Morfologi, Daur Hidup dan Patogenesis Cacing Tambang II. 5. 1 Morfologi Ancylostoma cenderung lebih besar dan daripada Necator. Cacing dewasa jarang terlihat karena melekat erat pada mucosa usus dengan bagian mulutnya berkembang dengan baik (gigi pada Ancylostoma dan lempeng
pemotong pada
Necator) (Gambar 5).
Dikutip dari : http://www.dpd.cdc.gov
Gambar 5. Bagian mulut cacing A duodenale dan N americanus
Telur- telur yang keluar bersama feses biasanya pada stadium awal pembelahan, bentuknya lonjong dengan ujung bulat melebar dan berukuran kira-kira panjang 60µm dan lebar 40µm. Ciri khasnya yaitu adanya ruang yang jernih di antara embrio dengan kulit yang tipis (Kazura, 2000; Gilman, 2000). Cacing dewasa berbentuk silindrik. Ukuran cacing betina 9-13 mm dan cacing jantan 5-10 mm. Bentuk Necator americanus seperti huruf S, sedangkan Ancylostoma duodenale seperti huruf C. Rongga mulut kedua species cacing ini lebar dan terbuka. Pada Necator americanus mulut dilengkapi gigi kitin, sedangkan pada Ancylostoma duodenale dilengkapi dua pasang gigi berbentuk lancip. Kedua cacing ini, yang jantan ujung ekornya mempunyai bursa kopulatriks, sedangkan yang betina ujung ekornya lurus dan lancip. Kedua spesies cacing dewasa ini secara morfologis mempunyai perbedaan yang nyata (terutama bentuk tubuh, rongga mulut, dan bursa kopulatriksnya). II.5.2 Daur Hidup Infeksi cacing tambang pada manusia disebabkan oleh Necator americanus dan Anyclostoma duodenale. Manusia merupakan tuan rumah utama infeksi cacing ini. Di Indonesia lebih sering disebabkan oleh Necator americanus.
Dari suatu
penelitian diperoleh bahwa sepuluh anak-anak, telah terinfeksi sebelum usia 5 tahum dan 90% terinfeksi pada usia 9 tahun. Intensitas infeksi meningkat sampai usia 6-7 tahun (Kazura, 2000; Gilman, 2000). Cacing tambang dapat menghasilkan telur 10.000 - 20.000 setiap harinya. Telur cacing tambang dikeluarkan bersama tinja dan berkembang di tanah, didalam kondisi kelembaban dan temperatur yang optimal telur akan menetas dalam 1-2 hari dan melepaskan larva rhabditiform, yang kemudian berkembang menjadi larva filariform. Perkembangan dari telur ke larva filariform berlangsung 5-10 hari. Larva ini masuk kedalam tubuh manusia dengan menembus kulit dan tertelan bersama makanan atau air yang terkontaminasi kemudian masuk ke sirkulasi darah melalui pembuluh darah vena dan sampai alveoli kemudian bermigrasi ke saluran nafas setelah itu larva masuk ke esophagus tertelan dan menjadi dewasa di usus halus.
Migrasi melalui darah dan paru – paru berlangsung selama 1 minggu, sedangkan siklus dari larva berlangsung selama 7-8 minggu (Kazura, 2000; Gilman, 2000). Cacing ini dapat bertahan selama 7 tahun atau lebih (Gilman, 2000). Cacing dewasa umumnya hidup di sepertiga bagian atas usus halus dan melekat pada lapisan mukosa dan submukosa usus halus dengan rongga mulutnya. Cacing ini menyebabkan laserasi pada kapiller villi usus halus dan menyebabkan pendarahan lokal pada usus. Sebagian dari darah akan ditelan oleh cacing dan sebagian keluar bersama dengan tinja. Tinja penderita dapat mengandung sejumlah darah. Pada infeksi sedang (angka telur pergram tinja > 5000) kehilangan darah dapat didektesi dalam tinja rata-rata 8 ml per hari. Sehingga gejala utama infeksi cacing ini adalah terjadinya
anemia
(Anemia
Hypochrom
Microcyter)
dan
defisiensi
besi
(Onggowaluyo dkk, 1998). Gejala klinis yang terjadi tergantung pada derajat infeksi, makin berat infeksi manifestasi klinis yang terjadi semakin mencolok berupa anoreksia, mual, muntah, diare, kelelahan, sakit kepala, sesak napas, palpitasi, dispepsia, nyeri disekitar duodenum, yeyunum dan ileum,
juga bisa ditemukan
protein plasma yang rendah (hypoalbuminemia), kelainan absorbsi nitrogen dan vitamin B12, akan tetapi yang paling tetap menonjol adalah berkurangnya zat besi. Dapat juga dijumpai kardiomegali, serta retardasi mental dan fisik (Onggowaluyo dkk, 1998; WHO, 1996).
Dikutip dari: http://www.dpd.cdc.gov
Gambar 6. Siklus hidup Cacing Tambang II.5.3. Patogenesis Telur kedua cacing ini keluar bersama-sama dengan tinja. Di dalam tubuh manusia, dengan waktu 1-1,5 hari telur telah menetas dan mengeluarkan larva Rhabditiform yang panjangnya kurang lebih 25 μ, rongga mulut panjang dan sempit, esofagus memiliki dua bulbus yang terletak, panjang tubuh bagian anterior. Selanjutnya dalam waktu kira-kira 3 hari, larva rhabditiform berkembang menjadi larva filariform (bentuk infektif) yang panjangnya kira-kira 500 mikron, rongga mulut tertutup dan esofagus terletak >4 panjang tubuh bagian anterior. Larva filariform apat tahan di dalam tanah selama 7-8 minggu. Daur hidup kedua cacing tambang ini mulai dari larva filariform menembus kulit manusia kemudian masuk ke kapiler darah dan berturut-turut menuju jantung, paru-paru, bronkus, trakea, laring, dan terakhir dalam usus halus sampai menjadi dewasa. Gejala klinis nekatoriasis dan ankilostomiasis di timbulkan oleh adanya larva maupun cacing dewasa. Gejala permulaan yang timbul setelah larva menembus kulit adalah timbulnya rasa gatal-gatal biasa. Apabila larva menembus kulit dalam jumlah banyak, rasa gatal-gatal semakin hebat dan kemungkinan terjadi infeksi sekunder.
Apabila lesi berubah menjadi vesikuler akan terbuka karena garukan. Gejala ruam papuloeritematosa yang berkembang akan menjadi vesikel. Ini diakibatkan oleh banyaknya larva filariform yang menembus kulit. Kejadian ini disebut ground itch. Apabila larva mengadakan migrasi ke paru maka dapat menyebabkan pneumonitis yang tingkat gejalanya tergantung pada jumlah larva tersebut. Gejala klinik yang di sebabkan oleh cacing tambang dewasa dapat berupa nekrosis jaringan usus, ganguan gizi, dan kehilangan darah. II.6. Reaksi imunologi pada infeksi cacing Respon tubuh terhadap infeksi cacing pada umumnya lebih kompleks oleh karena cacing lebih besar dan tidak bisa ditelan oleh fagosit. Pertahanan terhadap banyak infeksi cacing diperankan oleh aktivasi sel Th2. Cacing merangsang subset Th2 sel CD4+ yang melepas IL-4 dan IL-5. IL-4 merangsang produksi Ig E dan IL5 merangsang perkembangan dan aktivasi eusinofil. IgE yang berikatan dengan permukaan cacing diikat eusinofil,selanjutnya eusinofil diaktifkan dan mensekresi granul enzim yang menghancurkan parasit cacing. Eusinofil lebih efektif dibanding leukosit lain karena eusinofil mengandung granul yang lebih toksik dibanding enzim proteolitik dan ROI yang diproduksi neutrofil dan makrofag. Cacing yang masuk kedalam lumen saluran cerna.pertama dirusak oleh IgG, IgE dan dibantu oleh ADCC. Sitokin yang dilepas sel T yang dipacu antigen spesifik merangsang proliferasi sel goblet dan sekresi bahan mukus yang menyelubungi cacing yang dirusak. Hal itu memungkinkan cacing dapat dikeluarkan dari tubuh melalui peningkatan gerakan usus yang diinduksi mediator sel mast seperti LTD4 dan diare akibat pencegahan absorbsi natrium yang tergantung glukosa oleh histamin dan prostaglandin asal sel mast. Cacing biasanya terlalu besar untuk fagositosis. Degranulasi sel mast/basofil yang IgE dependen menghasilkan produksi histamin yang menimbulkan spasme usus tempat cacing hidup. Eusinofil menempel pada cacing melalui IgG/IgA dan melepas protein kationik. MBP dan neurotoksin. PMN dan makrofag menempel melalui IgA/IgG dan melepas superoksida oksida nitrit dan enzim yang membunuh cacing, Ig E cacing diduga merupakan bagian dari peningkatan masif IgE yang diinduksi IL-4
oleh sel Th2 dan eksesnya diduga untuk memenuhi IgE pada permukaan sel mast untuk dijadikan refrakter terhadap rangsangan antigen cacing (Baratawijaya, 2004). II. 7. Status anemia gizi Anemia adalah suatu keadaan dimana kadar hemoglobin dalam darah kurang dari normal yang berbeda untuk setiap kelompok umur dan jenis kelamin (Depkes RI, 2006). Sedangkan anemia gizi adalah kekurangan kadar hemoglobin (Hb) dalam darah yang disebabkan karena kekurangan zat gizi yang diperlukan untuk pembentukan Hb tersebut. Di Indonesia sebagian besar anemia ini disebabkan kerena kekurangan zat besi (Fe) hingga disebut anemia kekurangan zat besi atau anemia defisiensi besi. Salah satu faktor penyebab yang memperberat keadaan anemia pada anak usia sekolah dasar adalah infeksi kecacingan STH. Infeksi cacing yang banyak diderita anak-anak adalah cacing gelang (Ascaris lumbricoides), cacing cambuk (Trichuris trichuria) dan cacing tambang (Ancylostoma duodenale & Necator americanus). Pada infeksi cacing gelang yang berat, terutama pada anak dapat terjadi malabsorpsi sehingga memperberat keadaan malnutrisi, efek yang serius terjadi obstruksi usus (ileus, intussuspection). Cacing cambuk dan cacing tambang menghisap darah penderita sehingga dapat menimbulkan anemia (Onggowaluyo dkk, 1998). II. 8. Status gizi berdasarkan hasil dan rekomendasi Semiloka Antropometri di Indonesia. Ada beberapa cara melakukan penilaian status gizi pada kelompok masyarakat. Salah satunya adalah dengan pengukuran tubuh manusia yang dikenal dengan Antropometri. Dalam pemakaian untuk penilaian status gizi, antropomteri disajikan dalam bentuk indeks yang dikaitkan dengan variabel lain. Variabel tersebut adalah sebagai berikut : a. Umur Umur sangat memegang peranan dalam penentuan status gizi, kesalahan penentuan akan menyebabkan interpretasi status gizi yang salah. Hasil penimbangan berat badan maupun tinggi badan yang akurat, menjadi tidak berarti bila tidak disertai dengan penentuan umur yang tepat. Kesalahan yang sering muncul adalah adanya
kecenderungan untuk memilih angka yang mudah seperti 1 tahun; 1,5 tahun; 2 tahun. Oleh sebab itu penentuan umur anak perlu dihitung dengan cermat. Ketentuannya adalah 1 tahun adalah 12 bulan, 1 bulan adalah 30 hari. Jadi perhitungan umur adalah dalam bulan penuh, artinya sisa umur dalam hari tidak diperhitungkan (Depkes, 2006). b. Berat Badan Berat badan merupakan salah satu ukuran yang memberikan gambaran massa jaringan, termasuk cairan tubuh. Berat badan sangat peka terhadap perubahan yang mendadak baik karena penyakit infeksi maupun konsumsi makanan yang menurun. Berat badan ini dinyatakan dalam bentuk indeks BB/U (Berat Badan menurut Umur) atau melakukan penilaian dengam melihat perubahan
berat badan pada saat
pengukuran dilakukan, yang dalam penggunaannya memberikan gambaran keadaan kini. Berat badan paling banyak digunakan karena hanya memerlukan satu pengukuran, hanya saja tergantung pada ketetapan umur, tetapi kurang dapat menggambarkan kecenderungan perubahan situasi gizi dari waktu ke waktu (Depkes RI, 2006). c. Tinggi Badan Tinggi badan memberikan gambaran
fungsi pertumbuhan yang dilihat dari
keadaan kurus kering dan kecil pendek. Tinggi badan sangat baik untuk melihat keadaan gizi masa lalu terutama yang berkaitan dengan keadaan berat badan lahir rendah dan kurang gizi pada masa balita. Tinggi badan dinyatakan dalam bentuk Indeks TB/U ( tinggi badan menurut umur), atau juga indeks BB/TB ( Berat Badan menurut Tinggi Badan) jarang dilakukan karena perubahan tinggi badan yang lambat dan biasanya
hanya dilakukan setahun sekali. Keadaan indeks ini pada
umumnya memberikan gambaran keadaan lingkungan yang tidak baik, kemiskinan dan akibat tidak sehat yang menahun (Depkes RI, 2006). Berat badan dan tinggi badan adalah salah satu parameter penting untuk menentukan status kesehatan manusia, khususnya yang berhubungan dengan status gizi. Penggunaan Indeks BB/U, TB/U dan BB/TB merupakan indikator status gizi
untuk melihat adanya gangguan fungsi pertumbuhan dan komposisi tubuh (Depkes RI, 2006). Untuk menentukan klasifikasi gizi digunakan Z-score (Standar Deviasi = SD) sebagai batas ambang. Kategori sesuai dengan klasifikasi status gizi berdasarkan indeks Berat Badan menurut Tinggi Badan (BB/TB)
yang dibagi menjadi 4
klasifikasi dengan batas ambang sebagai berikut : a. Batas bawah gizi buruk adalah mean − 3 Standar deviasi (SD). b. Batas bawah gizi kurang adalah mean − 3 SD dan batas atas mean -2 SD. c. Batas bawah gizi sedang adalah mean − 2 SD dan batas atas mean -1 SD. d. Batas bawah gizi baik adalah mean − 1 SD.