BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Pengertian Auditing Menurut Arens, Elder and Becesley (2003:11) yaitu : “Auditing is accumulation and evaluation of evidence about information to determine and report the degree of correspondence between the information and established criteria auditing should be done by competent independent person.” Definisi auditing tersebut dalam bahasa Indonesia dapat diartikan sebagai berikut: “Suatu akumulasi dan evaluasi bukti-bukti mengenai informasi untuk menentukan dan melaporkan mengenai tingkat kesesuaian antara informasi dan criteria yang ditetapkan. Auditing harus dikerjakan oleh seorang yang kompeten dan Independen”. Definisi Auditing menurut Arens, Elder, Becesley diterjemahkan oleh Tim Dejacarta (2003:15 ) meliputi beberapa konsep penting yang memiliki pengertian sebagai berikut: a. Informasi dan Kriteria yang ditetapkan Untuk melaksanakan audit, maka harus terdapat informasi dalam bentuk yang dapat diuji serta beberapa standar (kriteria) yang digunakan oleh sang auditor untuk mengevaluasi informasi tersebut. b. Pengumpulan serta Pengevaluasian Bukti Merupakan hal yang sangat penting untuk memperoleh sejumlah bukti audit yang cukup berkualitas agar dapat mencapai tujuan audit. Menentukan tipe serta banyaknya bukti audit yang harus dikumpulkan dan mengevaluasi apakah informasi tersebut sesuai dengan criteria yang telah ditetapkan merupakan suatu bagian yang kritis dari setiap audit. c. Orang yang Kompeten dan Independen Auditor harus memiliki kualifikasi tertentu dalam memahami criteria yang digunakan serta harus kompeten agar mengetahui bukti audit yang harus 11
12
dikumpulkan untuk mencapai kesimpulan yang tepat setelah bukti-bukti audit tersebut selesai diuji. Kompetensi yang dimiliki seseorang dalam melaksanakan proses audit hanya bernilai sedikit saja jika ia tidak memiliki sikap objektif pada pengumpulan dan pengevaluasian bukti-bukti audit ini. Walaupun indepedensi mutlak merupakan hal yang tidak mungkin terjadi, para auditor berusaha berusaha sekuat tenaga untuk memelihara indepedensinya pada tingkat yang tinggi, agar dapat menjaga tingkat kepercayaan para pengguna informasi yang menyandarkan dirinya pada laporan auditor. d. Pelaporan Tahapan terakhir dari proses audit adalah mempersiapkan laporan audit, yang merupakan komunikasi atas temuan auditor kepada para pengguna informasi. Menurut Mulyadi (2002: 9) : “Suatu proses sistematik untuk memperoleh dan mengevaluasi bukti secara objektif mengenai pernyataan-pernyataan tentang kegiatan dan kejadian ekonomi, dengan tujuan untuk menetapkan tingkat kesesuain antara pernyataan- pernyataan tersebut dengan kriteria yang telah ditetapkan, serta penyampaian hasilnya kepada pemakai yang berkepentingan”. Definisi auditing secara umum tersebut memiliki unsur-unsur yang diuraikan berikut ini menurut Mulyadi (2002:9) : a. Suatu proses sistematik, Auditing merupakan suatu proses sistematik, yaitu berupa suatu rangkain langkah atau prosedur yang logis dan terorganisasi. Auditing dilaksanakan dengan suatu urutan langkah yang direncanakan, terorganisasi, dan bertujuan. b. Untuk memperoleh dan menevaluasi bukti secara objektif, proses sistematik tersebut ditujukan untuk memperoleh bukti yang mendasari pernyataan yang dibuat oleh individu atau badan usaha, serta untuk mengevaluasi tanpa memihak atau berperasangka terhadap bukti-bukti tersebut.
13
c. Pernyataan mengenai kegiatan dan kejadian ekonomi. Yang dimaksud dengan pernyataan mengenai kegiatan ekonomi disini adalah hasil proses akuntansi. Akuntansi merupakan proses pengindetifikasian, pengukuran, dan penyampaian informasi ekonomi yang dinyatakan dalam satuan uang. Proses akuntansi ini menghasilkan suatu pernyataan yang disajikan dalam laporan keuangan, yang umumnya terdiri dari empat laporan keuangan pokok : neraca, laporan laba-rugi, laporan saldo laba dan laporan arus kas. d. Menetapkan tingkat kesesuaian Pengumpulan bukti mengenai pernyataan dan evaluasi terhadap hasil pengumpulan pernyataan
bukti
tersebut
dengan
kriteria
dimaksudkan tersebut
untuk
menetapkan
kemungkinan
dapat
dikuantifikasikan, kemungkinan bersifat kualitatif. e. Kriteria yang ditetapkan Kriteria atau standar yang dipakai sebagai dasar untuk menilai pernyataan (yang berupa hasil proses akuntansi) dapat berupa: 1) Peraturan yang telah ditetapkan oleh badan legislatif. 2) Anggaran atau ukuran prestasi lain yang ditetapkan oleh manajemen. 3) Prinsip Akuntansi Berlaku Umum. f. Penyampain Hasil Penyampain hasil auditing sering disebut dengan atestasi (attestation). Penyampain hasil ini dilakukan secara tertulis dalam bentuk laporan audit (audit report). Atestasi dalam bentuk laporan tertulis ini dapat menaikkan atau menurunkan tingkat kepercayaan pemakai informasi keuangan atau asersi yang dibuat oleh pihak yang diaudit. g. Pemakai yang berkepentingan Dalam dunia bisnis, pemakai yang berkepentingan terhadap laporan audit adalah para pemakai informasi keuangan seperti: pemegang saham, manajemen, kreditur, calon investor, organisasi buruh dan kantor pelayanan pajak
14
Menurut Strawser and Strawser “A systematic process of objektif obtaining and evaluating evidence regarding assertion about economic actions and events to ascertain the degree of correspondence those assertion and established criteria and communicating the result to interest users”. Definisi Auditing tersebut dalam bahasa Indonesia dapat diartikan sebagai berikut: “Suatu proses sistematik untuk memperoleh dan mengevaluasi secara objektif yang berkenaan pernyataan mengenai tindakan ekonomi dan kejadian-kejadian untuk memastikan tingkat kesesuaian antara pernyataan tersebut dengan criteria yang telah ditetapkan dan mengkomunikasikan hasilnya kepada pihak yang berkepentingan”. Dari pengertian di atas, dapat disimpulakan bahwa auditing merupakan: 1. Suatu proses yang sistematik dan terdiri dari serangkain langkah atau prosedur yang disusun secara tersetruktur. 2. Dilakukan oleh pihak yang independen dan kompeten dalam bidangnya. 3. Membandingkan antara bukti audit dengan kriteria yang telah ditetapkan. 4. Mengumpulkan dengan mengevaluasi secara objektif bukti-bukti yang diperlukan untuk menilai tingkat kesesuain antara informasi yang terukur dengan criteria yang telah ditetapkan.
2.2 Jenis Audit Akuntan publik melaksanakan tiga tipe utama yaitu: audit atas laporan keuangan, audit operasional, serta audit kepatuhan. Dua jenis audit yang terakhir yang sering kali dinamakan sebagai audit aktivitas, walaupun kedua jenis tersebut sangat mirip dengan jasa assurance dan jasa atestasi. Kita sekarang akan mempelajari masing-masing jenis audit tersebut lebih rinci. Menurut Mulyadi (2002 : 30-32) ada tiga tipe yaitu : 1) Audit Laporan Keuangan ( Financial Statement Audit) Audit
Laporan Keuangan adalah audit yang dilakukan oleh auditor
independen terhadap laporan keuangan yang disajikan oleh kliennya untuk menyatakan pendapat mengenai kewajaran laporan keuangan tesebut.
15
Dalam audit laporan keuangan ini, auditor indepenen menilai kewajaran laporan keuangan atas dasar kesesuiannya dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum. Hasil auditing terhadap laporan keuangan tersebut disajikan dalam bentuk tertulis berupa laporan audit. Laporan audit ini dibagikan kepada pemegang saham, kreditur dan kantor pelayanan pajak. 2) Audit Kepatuhan ( Compliance Audit) Audit kepatuhan adalah audit yang tujuannya untuk menentukan apakah perusahaan yang diaudit sesuai dengan kondisi atau peraturan tertentu. Hasil audit kepatuhan umumnya dilaporkan kepada pihak yang berwenang membuat kriteria. Audit kepatuhan banyak dijumpai dalam pemerintahan. 3) Audit Operasional ( Operational Audit) Audit operasional merupakan review secara sistematis kegiatan organisasi atau, bagian dari padanya dalam hubungannya dengan tujuan tertentu. Tujuan audit operasional adalah untuk : a. Mengevaluasi kinerja b. Mengindentifikasi kesempatan untuk peningkatan c. Membuat rekomendasi untuk perbaikan atau tindakan lebih lanjut 2.3. Jenis Akuntan Akuntan adalah seseorang yang melaksanakan pekerjaan akuntansi sesuai dengan undang-undang no. 34 tahun 1954 tentang jabatan akuntan. Gelar akuntan hanya diberikan bagi: “mereka yang dinyatakan lulus dari universitas negeri jurusan akuntansi atau badan perguruan tinggi lainnya yang dibentuk menurut undang- undang atau diakui oleh pemerintah. Mereka dinyatakan lulus dalam suatu ujian lain yang menurut para ahli dapat menjalankan pekerjaan akuntan dan ijazahnya dapat disamakan dengan ijazah tersebut di atas.” Sesuai dengan fungsinya akuntan atau auditor terdiri atas. -
Auditor Pemerintah atau akuntan Negara
-
Akuntan ekstern atau akuntan publik
-
Akuntan intern atau akuntan manajemen atau akuntan perusahaan
-
Akuntan pendidik
16
2.4. Akuntan Publik Bersertifikat Penggunaan gelar certified public accountant (CPA) di Indonesia gelar akuntan publik, diatur dalam undang-undang negara bagian dan dikelola oleh departemen perijinan yang terdapat di masing-masing negara bagian. Pada setiap negara bagian, peraturan-peraturan yang ada mengenai tata cara menjadi seseorang akuntan publik bersertifikat hingga peraturan untuk mempertahankan lisensinya sebagai akuntan publikbersertifikat umumnya berbeda.Untu menjadi seorang akuntan publik, terdapat tiga persyaratan yang harus dipenuhi. Tiga syarat menjadi akuntan publik bersertifikat menurut Arens ( 2003: 22) 1. Persyaratan Pendidikan -
Seseorang yang ingin menjadi akuntan publik harus menempuh pendidikan tinggi di Universitas program Akuntansi S-1
-
Seseorang yang ingin menjadi akuntan publik harus mengikuti Pendidikan Profesi Akuntansi (PPA) yang diselenggarakan oleh badan/ lembaga tinggi sesuai kurikulum yang ditetapkan IAI.
2. Persyaratan Ujian Sertifikasi Akuntan Publik -
Ujian sertifikasi Akuntan Publik merupakan suatu ujian bagi calon akuntnan publik yang diselenggarakan 2 kali dalam setahun oleh IAI kompartemen Akuntan Publik untuk mendapatkan sertifikasi Akuntan Publik.
-
Ujian sertifikasi Akuntan publik meliputi : 1) Auditing 2) Akuntasi dan Pelaporan 3) Akuntansi Keuangan dan Pelaporan 4) Hukum Bisnis
3. Persyaratan Pengalaman -
Seorang calon Akuntan Publik harus memiliki pengalaman yang dipersyaratkan oleh IAI kompartemen Akuntan Publik.
-
Khususnya pengalaman yang berkaitan dengan akuntansi dan audit
17
Keputusan Menteri Keuangan RI nomor 470/KMK.017/1999 (Pasal 7), menyatakan persyaratan Akuntan Publik: 1. Berdomisili di wilayah Indonesia 2. Memiliki register Akuntan 3. Menjadi anggota IAI 4. Lulus ujian sertifikasi Akuntan Publik diselenggarakan oleh IAI 5. Memiliki persyaratan pengalaman kerja sekurang-kurangtnya 3000 jam dengan reputasi baik 6. Telah menduduki jabatan manajer atau ketua tim dalam audit umum sekurangkurangnya 1 tahun.
2.5. Kode Etik Profesional Akuntan Publik Aturan etika profesional Akuntan Publik dinyatakan dalam kode etik Akuntansi Indonesia. Kode Etik Akuntansi Indonesia ditetapkan dalam kongres VIII di Jakarat pada tahun 1998. Aturan Etika Kompartemen Akuntansi Publik di adopsi American Institute of Public Accountant Code of Profesional Conduct. Kode Etik Akuntnsi Indonesia berkaitan dengan Akuntan Publik terdiri atas: 1) Tanggung Jawab Profesi Dalam pemenuhan tanggung jawabnya, sebagai seorang profesioanal, Akuntan Publik harus menunjukkan kualitas professional dan moral dalam setiap aktivitasnya. 2) Kepentingan Umum Akuntan Publik harus menerima kewajibannya untuk melayani kepentingan public, menghormati kepercayaan public, dan menunjukkan komitmen terhadap professional. 3) Integritas Akuntan Publik harus selalu berterus terang, jujur, dan bersungguh-sungguh dalam memenuhi tanggung jawabnya untuk mempertahankan kepercayaan public, Akuntan Publik harus melaksanakan tanggung jawab profesionalnya dan integritas yang tinggi.
18
4) Objektivitas Objektif berarti tidak memihak, tidak bias dalam mengungkapkan penddapa, tidak berprasangka dan adil bagi semua pihak. Akuntan Publikb harus mempertahankan objektivitasnya dan membebaskan diri dari konflik kepentingan dalam pelaksanaan tanggung jawab profesionalnya. 5) Kompetensi dan Kehati-hatioan Profesional Akuntan Publik harus memilki kemampuan dan keahliannya sesuai dengan pemenuhan tanggung jawab profesionalnya. Pemenuhan tanggung jawab profesionalisme Akuntan
Publik
diawali
dengan
sikap
kehati-hatian
professional khususnya dalam pengungkapan dalam kecurangan. 6) Kerahasiaan Akuntan Publik wajib menjaga kerahasiaan kliennya. 7) Perilaku Profesional Perilaku Profesional Akuntan Publik yang paling utama adalah independensi, baik in fact maupun in appreance. Akuntan Publik harus menunjukkan professional dalam pemenuhan tanggung jawab profesionalnya. 8) Standar Teknis Dalam pemenuhan tanggung jawab profesionalnya, Akuntan Publik harus mematuhi standar teknis yang ditetapkan oleh IAI
2.6. Aturan Et ika Akuntan Publik ( KAP- IAI) Aturan etika Kompartemen Akuntan Publik yang hanya mengikat pada akuntan publik adalah: 100. Indepedensi, Intergitas dan Obyektivitas 101. Independensi Dalam
menjalankan
mempertahankan
si
tugasnya, mental
anggota
independent,
KAP yang
harus berarti
selalu mampu
membebaskan diri dari hal- hal yang menggangu integritas dan objektivitasnya, maupun membebaskan diri dari dugaan bahwa profesi tidak independent lagi.
19
102. Intregitas dan obyektivitas Dalam
menjalankan
tugasnya
anggota
KAP
harus
selalu
mempertahankan integritasnya 200. Standar umum dan prinsip akuntansi 201. Standar umum meliputi - Anggota KAP hanya boleh memberikan jasa professional yang layak dan dapat diselesaikan dengan kompetensi profesional - Pemberian jasa professional oleh anggota KAP dilaksanakan dengan kecermatan dan keseksamaan profesional - Anggota KAP wajib merencanakan dan mensupervisi setiap pelaksanaan pemberian jasa profesional secara memadai - Anggota KAP wajib memperoleh data relevan yang memadai sehubungan dengan jasa profesional 202. Kepatuhan terhadap standar Anggota KAP yang melaksanakan jasa professional wajib mematuhi standar IAI. 203. prinsip-prinsip akuntansi Anggota KAP wajib melaksanakan tanggung jawab profesionalnya berdasarkan prinsip-prinsip akuntansi 300. Tanggung jawab kepada klien 301. Informasi klien yang rahasia Anggota KAP tidak diperkenankan mengungkapkan informasi klien yang rahasia. 302. Fee Profesional - Besaran fee Anggota KAP tidak diperkenankan mendapatkan klien dengan cara menawarkan fee yang merusak citra profesi. - Fee kontijen Anggota KAP tidak diperkenankan untuk menetapkan fee kontijen apabila penetapan tersebut dapat mengurangi indepedensi.
20
400. Tanggung jawab kepada rekan seprofesi 401. Tanggung jawab kepada rekan seprofesi Anggota KAP wajib memelihara citra profesi dengan melakukan perkataan dan perbuatan yang dapat merusak reputasi rekan seprofesi 402. Komunikasi antar akuntan publik Akuntan publik wajib berkomunikasi tertulis dengan akuntan publik pendahulu bila akan mengadakan perikatan audit menggantikan akuntan publik pendahulu atau periode akuntansi yang sama di tunjuk akuntan public lain dengan tujuan berbeda 500. Tanggung jawab dan praktek lain 501. Perbuatan dan perkataan yang mendiskritkan Anggota
KAP
tidak
diperkenankan
melakukan
tindakan
dan
mengucapkan perkataan yang mencemarkan profesi 502. Iklan, promosi, dan kegiatan pemesaran lainnya Anggota KAP diperkenankan mencari klien melalui pemasangan iklan melakukan promosi, dan kegiatan pemasangan lainnya sepanjang tidak merendahkan citra profesi. 503. Komisi dan fee referal - Komisi Anggota KAP tidak diperkenankan untuk mencari dan menerima komisi apabila tidak mengurangi indepedensi - Fee referral ( Rujukan) Fee reveral hanya diperkenankan bagi sesama profesi 504. Bentuk organisasi dan nama KAP Anggota KAP hanya dapat berpraktik Akuntan Publik dalam bentuk KAP 2.7. Indepedensi Dalam menjalankan tugasnya anggota KAP harus selalu mempertahankan sikap mental independent di dalam memberikan jasa professional sebagaimana diatur dalam Standar Profesional Akuntan Publik yang ditetapkan oleh IAI. Sikap
21
mental independen tersebut harus meliputi independent dalam fakta (in facts) maupun dalam penampilan (in appearance).
2.8. Integritas dan Obyektivitas Dalam menjalankan tugasnya anggota IAI KAP harus mempertahankan integritas dan obyektivitas, harus bebas dari benturan konflik (conflict of interest) dan tidak boleh membiarkan factor salah saji material (material misstatement) yang diketahuinya atau mengalihkan pertimbangannya kepada pihak lain. Kode etik Akuntan Indonesia pasal 2 menyebutkan bahwa: “Setiap anggota harus mempertahankan tingkat intregitas dan obyektivitas dalam melaksanakan pekerjaannya”. Secara lebih khusus untuk profesi akuntan public, Kode Etik Akuntan Indonesia pasal 15 ayat 1 menyebutkan: “Seorang akuntan publik dalam pelaksanaan fungsi pelaporan pemeriksaan akuntan, haruslah bebas dari setiap kepentingan yang dapat menyebabkan penyimpangan dari independensi dan obyektivitas, sehingga ia senantiasa dalam posisi yang memungkinkannya untuk dapat menyatakan pendapat akuntan, tanpa terikat oleh satu kepentingan.
2.9. Errors dan Irregularities Istilah kekeliruan dalam SPAP berarti salah saji atau hilangnya jumlah atau pengungkapan dalam laporan keuangan yang tidak disengaja. Kekeliruan dapat berupa: 1) Kekeliruan dalam pengumpulan atau pengolahan data akuntansi yang dipakai sebagai dasar pembuatan laporan keuangan. 2) Estimasi akuntansi salah akibat dari kekhilafan atau penafsiran salah terhadap prinsip akuntansi yang menyangkut jumlah, klasifikasi, cara penyajian, atau pengungkapan. Ketidakberesan
adalah
pengungkapan dalam laporan
salah
saji
atau
hilangnya
jumlah
atau
keuangan yang disengaja. Ketidakberesan
mencakup kecurangan dalam pelaporan keuangan yang dilakukan untuk
22
menyajikan laporan keuangan yang menyesatkan, yang seringkali diserbut dengan kecurangan manajemen, dan penyalahgunaan aktiva, yang seringkali disebut dengan unsur penggelapan. Ketidakberesan dapat terdiri dari perbuatan: 1) Yang tidak mengandung unsure manipulasi, pemalsuan, atau pengubahan catan akuntansi atau dokumen pendukungnya yang merupakan sumber untuk pembuatan laporan keuangan. 2) Penyajian salah atau penghilangan dengan sengaja peristiwa transaksi, atau informasi signifikan lainnya. 3) Penerapan salah prinsip akuntansi yang dilakukan dengan sengaja. Faktor utama yang membedakan antara kekeliruan dengan ketidakberesan terletak pada penyebab salah saji laporan keuangan yang melandasinya bersifat sengaja atau tidak. Namun, kesengajaan seringkali sulit untuk ditentukan, terutama jika menyangkut estimasi akuntansi atau penerapan prinsip akuntansi. Berdasarkan hal- hal yang diuraikan di atas, auditor harus menaksir resiko bahwa kekeliruan dan ketidakberesan kemungkinan menyebabkan laporan keuangan berisi salah saji material. Berdasarkan taksiran ini, auditor harus merancang auditnya agar memberikan keyakinan memadai untuk pendeteksian kekeliruan dan ketidakberesan material bagi laporan keuangan. Penaksiran resiko salah saji laporan keuangan mengharuskan auditor memahami karakteristik kekeliruan dan ketidakberesanserta kerumitan kaitan antar berbagau karakteristik yang menyertainya. Berdasarkan pemahamannya tersebut, auditor merancang prosedur audit yang cocok
dan mengevaluasi
hasilnya. Karena karakteristik ketidakberesan, terutama yang mengandung pemalsuan dari unsure persekongkolan, audit yang dirancang dan dilaksanakan dengan baik kemungkinan tidak dapat mendeteksi ketidakberesan material. Auditor harus menerapkan (a) keseksamaan di dalam perencanaan, pelaksanaan, penilaian hasil prosedur auditnya, dan (b) derajat skeptisme professional yang se mestinya untuk memberikan keyakinan memadai bahwa kekeliruan atau ketidakberesan akan terdeteksi. Karena pendapat auditor atas laporan keuangan didasarkan atas konsep keyakinan memadai, maka auditor
23
bukan penjamin penuh dan dengan demikian laporannya bukan keyakinan penuh bahwa laporan keuangan bebas dari salah saji material terdapat dalam laporan keuangan bebas dari salah saji material. Oleh karena itu, penemuan kemudian bahwa salah saji material terdapat dalam laporan keuangan bukan dengan sendirinya merupakan bukti tidak memadainya perencanaan dan pelaksanaan auditnya, atau pertimbangan auditor.
2.10. Materialitas Definisi material menurut Financial Accounting Standard Board (FASB) Statement of Financial Accounting Concept No.2, Qualitative Characteristics of Accounting Information (2003: 339) adalah: “The magnitude of an mission or misstatement of accounting information that, in the light of surrounding circumstances, makes it probable that the judgment of reasonable person relying on the information would have been changes or influenced by the mission or misstatement”. Sedangkan pada Statement on Auditing Standar (SAS) No. 47 (AU312) (2003:340) menyatakan: “ Consederation of internal control of control in a financial statement audit”. Juga pada Statemant on Auditig Standard (SAS) No 47, Audit Risk and Materiality in Conducting an Audit, paragraph 6b menyatakan: “Materiality ia matter of professional judgment and is influenced by (the auditor’s) perception of the needs of a reasonable person who will rely on the financial statement.” Laporan
keuangan mengandung salah saji material apabila laporan
keuangan tersebut mengandung salah saji yang dampaknya secara individu/ keseluruhan, cukup signifikan sehingga dapat mengakibatkan laporan keuangan tidak disajikan secara wajar, dalam semua hal yang material, sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum. Sebagai akibat interaksi antara pertimbangan kuantitatif dan kualitattif dalam pertimbangan materialiatas, salah saji yang jumlahnya relative kecil yang
24
ditemukan oleh auditor dapat mempunyai dampak material terhadap laporan keuangan. Sebagai contoh, suatu pembayaran yang melanggar hokum yang jumlahnya tidak material dapat menjadi material, jika kemungkinan besar hal tersebut dapat menimbulkan kewajiban bersyarat yang material atau hilangnya pendapatan yang material. Dewasa ini, baik akuntansi maupun auditing memuat petunjuk resmi pada pengukuran kuantitatif materialitas. Di bawah ini adalah beberapa ilustrasi dari petunjuk tersebut yang banyak digunakan dalam praktek (Modern Auditing, Boytnton & Kell, 226-227): •
5% to 10% of net income before taxes (10% for smaller incomes, 5% for larges one)
•
½ % to 1% of total assets
•
1% of eguity
•
½% sampai 1% of revenue
2.11. Konsep Dasar Sikap Pengotrolan tingkah laku manusia menjadi lebih mudah jika secara tepat kita memahami sikap yang kita dimiliki manusia itu sendiri, baik dia sebagai makhluk individual maupun sebagai makhluk kelompok. Oleh karenanya proses pembentukan dan perkembangan sikap akan senantiasa menarik untuk diikuti dan akan sangat banyak manfaatnya apabila dimengerti dan dihayati. Sikap merupakan masalah yang penting dan menarik untuk dipelajari dalam kajian- kajian psikologi, khususnya psikologo social. Bahkan ada sementara ahli yang berpendapat bahwa psikologi social menempatkan masalah sikap sebagai permasalahan sentralnya. Seperi yang diungkapkan dalam Azwar (1995: 20) disebutkan bahwa : “ masalah sikap manusia merupakan salah satu telaah utama di bidang sosiologi. Meski demikian, dalam hal ini psikologi memiliki akar telaahnya sendiri. Kebetulan pengertian sikap secara umum di bidang sisiologi sangat bersesuian dengan pengertian sikap dalam dunia psikologi. Minat para ahli psikologi sendiri pada masalah sikap dibangkitkan oleh minat mereka terhadap masalah sikap manusia dalam hal ini, digunakan untuk
25
menjelaskan mengapa orang- orang dapat berperilaku berbeda dalam situasi yang sama. Dalam Azwar (1995) disebutkan bahwa istilah “sikap” (attitude) secara histories digunakan pertama kalinya oleh Herbert Spencer (1862:3) yang pada saat itu diartikan olehnya sebagai status mental seseorang. Pada masa- masa awal tersebut pula penggunaan konsep sering dikaitkan dengan konsep mengenai postur fisik atau posisi tubuh sesorang. Pada tahun 1888 Lange menggunakan istilah sikap bidang eksperimen mengenai respons untuk menggambarkan kesiapan subjek dalam stimulus yang akan dating tiba- tiba. Masih menurut Azwar, oleh Lange kesiapan (set) yang terdapat dalam diri individu untukmemberikan respons itu disebut aufgabe atau task attitude. Sehingga dalam pengertian Lange ini, sikap tidak hanya merupakan aspek mental semata melainkan pula aspek respons fisik. Pada saat Thomas dan Znaniecki (1918: 4) mengatakan bahwa psikologi social adalah studi ilmiah mengenai sikap maka konsepsi sikap pun telah secar formal dalam dunia pengetahuan.
2.11.1. Pengertian Sikap Pendapat Myers ( 2002:130), mendifinisikan sikap sebagai berikut: “Sikap merupakan suatu reaksi evaluatif baik
atau tidak baik,
terhadap sesuatu atau seseorang, diperlihatkan dalam keyakinan seseorang, perasaan atau perilaku.” Menurut kamus besar bahasa Indonesia (2002:1063), Sikap didefinisikan sebagai berikut: “Perbuatan dan sebagainya yang berdasarkan pada pendirian (pendapat atau keyakinan).” Sikap manusia telah didefinisikan dalam berbagai versi oleh para ahli. Berbagai definisi dan pengertian itu pada umumnya menurut Azwar (1995) dapat dimasukkan ke dalam salah satu di antara tiga kerangka pemikiran. Pertama adalah kerangka pemikiran yang diwakili oleh Louis Thurstone (1982:4), Rensis Linkert (1932: 4) dan Charles Osgood (1932:4). Menurut
26
mereka, sikap adalah suatu bentuk evaluasi atau reaksi perasaan, mendukung atau memihak mapupun perasaan tidak mendukung atau tidak memihak pada objek (Berkowitz,1992: 5). Secara lebih spesifik, Thurstone sendiri memformulasikan sikap sebagai “derajat afek positif atau efek negatif terhadap suatu objek psikologis” ( Edwards, 1957:1957). Kerangka pemikiran yang kedua diwakili oleh para ahli seperti Chave (1928:5), Borgadus (1931:5), La Pierre (1934:5), Mead (1974:5) dan Gordon Allport (1935:5). Menurut mereka, sikap merupakan semacam kesiapan untuk bereaksi terhadap suatu objek dengan cara-cara tertentu. Atau dapat juga diartikan bahwa kesiapan yang dimaksudkan merupakan kecenderungan potensial untuk bereaksi dengan cara tertentu, apabila dihadapkan pada stimulus yang menghendaki adanya respons. La Pierre(1934:5) dalam Allen, Guy & Edgley (1980:5) dalam Azwar (1995) mendefinisikan sikap sebagai “suatu pola perilaku, tendensi atau kesiapan antisipatif, predisposisi untuk menyesuaikan diri dalam situasi social, atau secara sederhana, sikap adalah respons terhadap stimuli social yang terkondisikan”. Kelompok pemikiran yang ke tiga adalah kelompok yang berorientasi kepada skeme triadic. Menurut kerangka pemikiran ini suatu sikap merupakan konstelasi komponen- komponen kognitif, afektif, dan konatif yang saling berinteraksi dalam memahami, merasakan, dan berperilaku terhadap suatu objek. Secord &Backman (1964), misalnya, mendefinisikan sikap sebagai ‘ keteraturan tertentu dalam hal perasaan (afeksi), pemikiran (kognisi), dan predisposisi tindakan (konasi) seseorang terhadap suatu aspek di lingkungan sekitarnya’.
2.11.2. Komponen Sikap Sikap memiliki tiga komponen yang berdiri sendiri melainkan saling berkaitan dan saling mempengaruhi. Tiap komponen sikap memiliki fungsi masing- masing yang diarahkan pada objek atau sasaran yang dituju. Ketiga komponen itu, sebagaimana diuraikan dalam azwar (1995:20) Komponen kognitif merupakan proses mental tertinggi dalam mengolah suatu objek atau sasaran. Hal ini meliputi kesadaran akan suatu masalah,
27
dan fungsi suatu objek. Heider mengemukakan bahwa komponen kognitif ini merupakan suatu unit yang membentuk suatu hubungan antara subjek dan objek atau situasi dengan tujuan secara sadar mempersiapkan dirinya untuk membentuk. Jadi di sini jelas adanya unsure knowledge atau pengetahuan subjek tentang objek atau situasi atau sasaran tertentu. Komponen Afektif merupakan keadaan yang bersifat emosional yang berhubungan dengan objek atau situasi tertentu. Dengan demikian dalam komponen ini berperan perasaan, kesan yang diwarnai dengan adanya rasa senang, atau tidak senang, simpati atau antipati, cemas, takut atau lainnya. Komponen konatif. Dalam komponen ini terdapat suatu situasi di mana keputusan untuk bertingkah laku telah diambil yang berarti komponen ini berhubungan dengan psiko-motorik. Sehingga , di sini ada kecenderungan kesiapan keinginan untuk bertindak terhadap suatu objek atau situasi yang dihadapi. Ketiga komponen ini bekerja bersama-sama hingga menghasilkan sikap tertentu seseorang terhadap objek atau situasi tertentu. Interaksi ketiga komponen ini memberikan kondisi dinamik pada diri individu sehingga memungkinkan sikap seseorang berbeda dengan yang lainnya. Meskipun secara konseptual ketiga komponen dibahas secar terpisah namun pada kenyataannya dalam dinamika yang terjadi secara utuh sulit untuk membedakan dan menerangkan di mana letak keterpisahannya secara sendiri-sendiri.
2.11.3. Karakteristik Sikap Sax (1980:87) dalam Azwar (1995) menunjukkan beberapa karakteristik (dimensi) sikap yaitu arah, intensitas, keluasaan, konsistensi dan spontanitas. Berikut akan diuraikan dimensi- dimensi tersebut satu persatu. 1. Sikap mempunyai arah, artinya sikap terpilah pada dua arah kesetujuan, yaitu apakah setuju atau tidak setuju, apakah memihak atau tidaj memihak terhadap suatu objek. Orang yang setuju atau memihak berate memiliki sikap yang arahnya negative.
28
2. Sikap memiliki intensitas, artinya kedalaman atau kekuatan sikap terhadap sesuatu belum tentu sama pada setiap orang walaupun arahnya mungkin tidak berbeda. Dua orang yang sama- sama memiliki sikap negative misalnya tidak suka pada suatu objek belum tentu memiliki sikap negative yang sama intensitas negatifnya. Orang pertama mungkin tidak setuju tapi orang kedua dapat sangat tidak setuju. 3. Sikap
mempunyai
keleluasaan,
maksudnya
kesetujuan
atau
ketidaksetujuan terhadap suatu objek sikap hanya mengenai aspek yang sedikit dan sangat spesifik akan tetapi dapat pula mencakup banyak sekali aspek yang ada pada objek sikap. 4. Sikap memiliki konsistensi, maksudnya adalah kesesuaian antara pernyataan sikap yang dikemukakan dengan responnya terhadap objek sikap termaksu. Konsistensi sikap diperlihatkan oleh kesesuaian sikap antar waktu. Untuk dapat konsisten, sikap harus bertahan dalam diri individu untuk waktu yang relative panjang. Harus dibedakan antara pengertian sikap yang tidak konsisten dan pengertian sikap yang tidak memihak atau netral. Sikap tidak memihak atau netral tetap disebut sikap juga walaupun arahnya tidak positif atau tidak negatif. Orang dapat bersikap netral secar konsisten. 5. Dimensi yang terakhir adalah spontanitas, yaitu menyangkut sejauh mana kesiapan individu akan mengemukakan sikapnya tanpa desakan terlebih dahulu.
2.11.4. Pembentukan Frame of Reference Sikap bukan merupakan sesuatu yang telah terjadi yang dibawa sejak lahir melainkan dibentuk sejalan dengan perkembangan manusia, merupakan hasil dari proses yang tertata dalam jangka panjang dan merupakan hasil interaksi antara individu dengan lingkungannya. Melaui proses sosialisasi inilah, menurut Natanegara (1984:90) frame of reference individu akan terbentuk. Oleh karena itu, dapat diperkirakan bahwa perbedan- perbedaan klutural akan mencerminkan nilainilai yang beraneka ragam yang sangat mempengaruhi proses social individu.
29
Sehingga dengan demikian dapat diperkirakan pula adanya perbedaan sikap yang dibentuk melaui proses sosialisasi tersebut. Secara singkat dapat kita katakana bahwa manusia mengenal dunia melalui proses sosialisasi, proses belajar dari kecil hingga dewasa. Suatu kebudayaan akan menghasilkan nilai- nilai tertentu dalam masyarakat baik nilai itu bersifat formal, tertulus maupun bersifat informal atau tidak tertulis. Nilai kana memberikan etik dan spirit dalam kehidupan manusia. Demikian pula halnya dengan norma yang ada pada masyarakat akan memberikan batasan pada manusia dalam bertingkah laku, tersirat didalamnya mana yang baik mana yang layak untuk diperbuat dan mana yang harus dihindari. Norma ini bergerak dalam bidang ruang lingkup yang terbatas dalam arti tidak semua orang hidup dalam norma yang sama walaupun ada norma yang universal sifatnya. Suatu norma biasanya memiliki territorial sendiri sejauh mana norma ini berlaku. Dalam perkembangan masyarakat modern aktivitas manusia makin terdiferensi dan ini berate makin banyak dan makin banyak dan makin kompleks norma yang ada. Dengan demikian bisa terjadi karena peran yang berbeda seseorang menghadapi suatu kasus tertentu akan konflik karena ada dua kemungkinan atau lebih norma yang bertentangan. Disimpulkan bahwa peran kebudayaan melalui frame or reference akan sangat berpengaruh dalam perkembangan dan pembentukan sikap.
2.11.5. Proses Pembentukan Sikap Sikap kita mempengaruhi apa yang menjadi perhatian kita, hal tersebut kembali mempengaruhi sikap kita. Pendapat Waston (1992:581), hal- hal yang membentuk sikap adalah: 1) Experience ( Pengalaman) Sikap terbentuk melalui masa lalu kita dan segala tang teman kita alami,sikap dibentuk dari latar belakang pendidikan, social, budaya, dll.
2) Conditioning (Pengkondisian) Suatu sikap yang diakibatkan karena kondisi yang ada.
30
3) Reinforcement (Pengaruh) Suatu pembentukan sikap melalui pengaruh yang dihasilkan oleh sikap orang lain
2.11.6.Peranan Kelompok dalam Pembentukan Sikap Tidak jarang kita lihat bahwa sikap individu mencerminkan sikap dari anggota kelompok dan sebaliknya seringkali sikap seseorang mendapat dukungan dari anggota kelompok yang disukainya. Seseorang menyimpang dari norma akan merasa tidak aman.Jika orang- orang tersebut tidak bisa menemukan orang-orang yang berpandangan sama maka harus menyesuaikan diri dengan yang lainnya. Oleh karena itu pula, maka akan dimengerti sepenuhnya bahwa perkembangan sikap seseorang harus pula ditinjau dari sisi afiliasi dan identifikasinya terhadap sutu kelompok. Suatu masyarakat adalah suatu system kelompok dalam ukuran besar. Setiap individu dalam masyarakat adalah anggota dari suatu kelas social tertentu dan ia juga bisa menjadi anggota kelompok tertentu yang lebih kecil lagi yang terdapat dalam masyarakat tersebut. Adanya norma dan nilai yang menjadi panutan anggota kelompok secara bersama akan memberikan bingkai pandang yang sama bahkan juga cenderung sama dalam tingkah lakunya. Keseragaman sikap–sikap tersebut adalah karena setiap anggota kelompokmempunyai keyakinan umum yang sama terhadap suatu objek, kejadian atau situasi tertentu. Kepribadian seseorang akan terbentuk sebagai hasil unsure-unsur heriditer serta pengalamannya yang dapat selama seseorang menempuh hidup di mana di dalam unsure belajar. Keseluruhan proses sosialisasi, pendidikan yang disertai dengan anutan terhadap nilai-nilai, norma yang berlaku di tempat individu berada akan membentuk frame of refence inilah yang akan membentuk sikap seseorang. Sehing masing-masing kelompok di sisi lain mempunyai karakeristik tertentu dan berbeda pula dalam tingkah lakunya. Kondisi sosio-kultural yang berupa nilai dan norma mempengaruhi motivasi, attitude dan lain lain-lain pada diri seseorang yang pada akhirnya akan menentukan pola tingkah laku sosialnya.
31
2.11.7. Pengukuran Sikap Berkenaan dengan kedudukan sikap yang sangat penting dalam proses rangkain terjadinya tingkah laku maka peramalan akan setepat- tepatnya akan sikap ini menjadi usaha utama para ahli. Ketepatan dan ketajaman pengukuran sikap akan sangat berguna untuk tujuan pengendalian tingkah laku manusia. Pengukuran sikap sebagaimana halnya dengan
pengukuran variable lain
menunjukkan masalah yang unik dan seringkali sukar. Oleh karena itu, menurut Natanegara (1984:70), dalam usaha mengukur sikap sebagai suatu intervening variable ada beberapa hal yang harus diperhatikan, yaitu: 1. Pengukuran sikap secara tidak langsung. Sikap sebagai suatu organisasi yang ditata dengan jangka panjang lama dan pada akhirnya akan membimbing dan mengarahkan tingkah laku tidak dapat diukur secara langsung. Sikap hanya tidak dapat diukur secara langsung. Siap hanya dapat diukur secara tidak langsung melalui kesimpulan-kesimpulan yang ditarik dari tingkah laku seseorang. 2. Cara di mana sikap mencerminkan dirinya dalm tingkah laku dan pengalaman, sebagian telah dipengaruhi
oleh sifat diri situasi
sementara. Reaksi individu terhadap objek yang diberikan adalah merupakan fungsi ganda dari kekuatan sikap tentang objek atau situasi tersebut dan sifat situasi sementara. Karena situasi dapat berubah-ubah maka reaksi terhadap objek mungkin juga berubah. Arti kenyatan ini penting sekali dalam pengukuran sikap sebab ini berate situasi psikologi di mana sikap diukar benar-benar harus dalam keadaan terkontrol dan sudah harus dalam keadaan terkontrol dan sudah distandarisasi jika pengukuran pada suatu waktu hendak dibandingkan dengan hasil pengukuran. 3. Suatu pengukuran sikap seperti halnya pengukuran yang lain harus mempunyai realibilitas. Realibilitas adalah suatu keadaan di mana suatu alat ukur akan diulangi kemudian pada situasi yang sama. Bila pengulangan itu diduga tidak akan memberikan hasil yang sama maka pengukuran itu tidak mempunyai nilai nilai sistemetis untuk keperluan
32
analis. Kesulitan utama dalam mengukur reliabilitas alat ukur sikap ialah suatu hasil pengukuran ulangan bisa saja memberikan hasil yang berbeda disebabkan adanya variable lain yang tidak terkontrol, sehingga mengganggu jalannya pengukuran atau alternative yang kedua adalah dengan adanya pergeseran waktu bisa saja terjadi sikap yang diukur memang berubah. 4. Suatu pengukuran sikap harus mempunyai validitas. Validitas adalah suatu keadaan di mana alat ukur yang dibuat memang mengukur apa yang hendak diukur. Untuk mengukur sikap ini ada beberapa cara. Salah satu dari tipe pengukuran sikap yang paling terkenal adalah skala sikap dari likert.. Pada prinsipnya metode ini menuntut individu agar memberikan reaksi dengan kata-kata yang disertai dengan pernyataan yaitu seajauh mana individu tersebut setuju atau tidak setuju terhadap serentetan item atau proporsi-proporsi yang telah ditentukan secar seksama sebagai standar. Pola dan jumlah reaksi terhadap serentetan item itu membuka suatu peluang untuk menarik suatu kesimpulan dan mengintrepetasikan sikap seseorang bahkan
memungkinkan untuk
mendapatkan sikap orang tersebut dalam skala kuantitatif. Di sini jelas bahwa penilain tidak ditekankan pada analisis suatu item secara khusus walaupun pada kenyatannya analisis item ini cukup berguna juga melainkan
mencari reaksi secar luas dari sejumlah
item. Ini berati
penarikan kesimpulan dilakukan secara bersama- sama dengan item yang setara. Untuk mendapatkan item yang baik ada beberapa kriteria yang harus dipenuhi menurut David Krech dan Richard S.Crutchfield (1970:50) adalah: 1. Diagnostic function. Dimaksudkan agar item tersebut mempunyai hubungan diagnotis terhadap sikap yang akan diukur. Dengan kata lain item harus mempunyai fungsi diskriminatif sehingga mampu membedakan
mana
ynag
bersikap
positif
bersikapnegatif atau mana yang bersikap setuju bersikap tidak setuju.
dan
mana
yang
dan mana yang
33
2. Sharpness of discrimination. Maksudnya ialah bahwa item tersebut tidak hanya mapu melahirkan jawaban yang secar psikologi berhubungan dengan sikap namun harus mampu membedakan denagn jelas orang-orang yang dimaksuddlam point yang berbeda dari dimensi-dimensi yang diukur. Idealnya jawaban terhadap suatu item sungguh-sungguh berhubungan dengan hal-hal yang mendasari sikap. 3. Discrimonation along the entire scale. Item item harus mempunyai arti penuh dengan kata lain item dipilih dengan maksud untuk dapat membedakan masalah-masalah yang beranejka ragam dalam satu paket. 4. Minimal number of item for reliability. Untuk suatu angket maka dibutuhkan sejumlah item cukup agar item-item tersebut reliable. Untuk mengurangi ketidaksempurnaan item, maka semakin banyak item yang mengukur suatu aspek akan makin baik. Artinya, item yang satu akan menutupi kelemahan yang lain kalau hal itu ada.
2.11.8 Faktor-faktor yang Menentukan Terjadinya Perubahan Sikap Perubahan sikap individu terhadap objek tertentu sangat mungkin untuk terjadi. Beberapa factor penting yang mempengaruhi terjadinya perubahan sikap tersebut dalam Natanegara (1984:8) ialah sebagai berikut: 1. Extremeness. Suatu sikap yang lebih ekstrim mempunyai kepekaan yang sangat rendah untuk berubah. Sikap yang lebih ekstrim dihubungkan dengan keyakinan dan tingkat intensitas oleh karena itu lebih dalam dan lebih kebal terhadap perubahan sikap. Perubahan yang terjadi biasanya mengurangi intensitas (congruent). Jika tidak ada peristiwa yang sangat luar biasa yang mampu menggoyahkan keyakinan individu maka sukar sekali terjadi perubahan (incongruent) 2. Multiplexity. Kemampuan dari perubahan sikap dapat berbeda-beda tergantung dari derajat multipleksitasnya. Suatu sikap yang sederhana seacr relative lebih mudah dirubah secar incongruent daripada suatu sikap yang sangat majemuk. Bertambahnya informasi yang relevan
34
tentang objek pada komponen kognitif akan membuat pengetahuan individu terhadap objek atau situasi menjadi lebih kompleks dan itu berate lebih sulit untuk mengubahnya lagi. 3. Consistency. Jika ketiga komponen sikap saling menyokong ia menjadi stabil dan konsisten maka keadaan ini menyulitkan kita untuk mengadakan perubahan sikap yang inkonsisten relative tidak stabil karena komponen-komponennya lebih mudah untuk dirubah. 4. Interconnectedness. Sifat dan kuatnya kaitan suatu sikap dengan sikap lainnya pula berpengaruh pula dalam mudah atau tidaknya sikap itu dirubah. Sikap yang sangat kuat kaitannya dengan sikap lain relative akan melawan kekuatan-kekuatan yang dipakai untuk merubah sikap tersebut. Dalam hal ini emosionalitas dari hubungan tersebut akan dikerahkan untuk melawan kekuatan perubahan. 5. Consonance. Sukar atau tidaknya merubah suatu sikap induvidu yang menjadi bagian dari suatu kelompok tertentu tergantung dari tingkat keselarasannya dengan sikap-sikap lain dalam kelompok tersebut. Sikap yang berada dalam keadaan yang selaras relative kebal terhadap kekuatan-kekuatan yang menuju perubahan incongruent disbanding dengan sikap-sikap yang tidak selaras. Sikap-sikap yang selaras lebih mudah berubah secara congruent daripada sikap lainnya. 6. Strength and number of wants served. Telah diketahui bahwa suatu sikap terbentuk tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan pokok, tetapi juga kebutuhan-kebutuhab lainnya. Penolakan suatu sikap untuk berubah tergantung pada kekuatran dan jumlah kebutuhan untuk dipenuhi. Sikap yang didasai kebutuhan yang kuat dan majemuk akan lebih kebal terhadap perubahan. 7. Centrality of related values. Banyak sikap dari individu mencerminkan penilaiannya terhadap suatu objek atau situasi. Oleh karena itu, suatu sikap yang didasari oleh suatu nilai yang prinsipil dan didukung oleh kebudayaan yang kuat lebih sukar kea rah congruent. 8. Kepribadian dan atribut-atribut tertentu dari individu.
35
9. Intelegency. Individu yang memiliki intelegensi tinggi akan cenderung kritir terhadap suatu permasalahn. Oleh karenanya ia tidak akan mudah terbujuk oleh propaganda. Orang yang demikian akan merubah sikapnya jika argument yang diberikan benar-benar dapat meyakinkan terutama dari segi kognitifnya. 10. Persuasibility. Mudah tidaknya suatu sikap dirubah juga bergantung pada mudah tidaknay seseorang dibujuk oleh orang lain. 11. Cognitive needs and styles. Orang yang kebutuhannya atas kejelasan kognitif akan bereaksi dengan kuat pada informasi baru yang bertentangan dengan sikap yang sudah ada pada diri orang tersebut. Sifat dari reaksi bergantung pada style kognitifnya masing-masing. Ada orang yang mencari keterangan dengan sejelas-jelasnya serta selengkap-lengkapnya sehingga sikapnya berubah secar incongruent atau justru berusaha menutup diri hingga perubahan yang terjadi hanya congruent saja sifatnya.