BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Motivasi 2.1.1 Pengertian Motivasi Teori motivasi dikelompokkan oleh Konopaske, Ivanecevich, Matteson (2006:147-149) atas kepuasan (Content Theory) dan Teori Proses (Process Theory). Teori kepuasan mendasarkan pendekatannya atas faktor – faktor kebutuhan dan kepuasan individu yang menyebabkan individu bertindak dan berperilaku dengan cara tertentu. Teori ini memusatkan perhatiannya pada faktor – faktor dalam diri orang yang menguatkan, mengarahkan, mendukung, dan menghentikan perilaku. Teori ini juga mencoba menjawab pertanyaan kebutuhan apa yang memuaskan dan mendorong semangat kerja seseorang. Hal yang memotivasi semangat kerja seseorang adalah untuk memenuhi kebutuhan dan kepuasan material maupun nonmaterial yang diperoleh dari hasil pekerjaannya. Jika kebutuhan dan kepuasannya semakin terpenuhi maka semangat bekerjanya pun akan semakin baik. Menurut Robbins (2006:155) yang dialihbahasakan oleh Hendayana Pujaatmika mengemukakan bahwa : “Motivasi adalah kesediaan untuk mengeluarkan tingkat upaya tinggi kearah tujuan organisasi, yang dikendalikan oleh kemampuan upaya itu untuk memenuhi sesuatu kebutuhan individual. Biasanya yang termasuk dalam definisi motivasi adalah satu kata atau lebih berikut : keinginan, keperluan, harapan, maksud, kebutuhan, perangsang, motif dan insertif.” Pada dasarnya teori kepuasan mengemukakan bahwa seseorang akan bertindak (bersemangat kerja) untuk dapat memenuhi kebutuhan – kebutuhan (inner needs) dan kepuasannya. Semakin tinggi standar kebutuhan dan kepuasan yang diinginkan maka semakin giat orang itu bekerja. Tinggi rendahnya tingkat kebutuhan dan kepuasan yang ingin dicapai seseorang mencerminkan semangat bekerja orang itu.
Beberapa teori kepuasan yang dikenal antara lain menurut Robbins (2006:225-229) yaitu : I.
Need Hierarchy Theory – Abraham Maslow Dalam teori ini Maslow menjelaskan terdapat beberapa motif atau keutuhan (Needs) yang muncul dalam diri individu dan berinteraksi dengan faktor faktor biological, budaya dan situasional untuk menentukan perilaku. Teori ini
menghipotesiskan bahwa terdapat lima kategori kebutuhan dan seseorang termotivasi untuk berperilaku memenuhi kebutuhan tersebut pada waktu tertentu. Kebutuhan manusia tersusun dalam bentuk hirarki mulai dari level peling rendah sampai level tertinggi. Adapun kebutuhan-kebutuhan itu adalah : 1. Kebutuhan fisik (Physycological Need’s), yaitu kebutuhan – kebutuhan yang diperlukan untuk mempertahankan kelangsungan hidup seseorang; seperti makan, minum, perumahan, dan lain - lain 2. Kebutuhan akan rasa aman dan keselamatan (Safety and Security Need’s), yaitu kebutuhan akan keamanan dari ancaman yakni merasa aman dari ancaman kecelakaan, keamanan harta di tempat pekerjaan, dan keselamatan dalam melakukan pekerjaan 3. Kebutuhan sosial (Social Nedd’s), yaitu kebutuhan yang berkaitan dengan menjadi bagian dari orang lain. Kebutuhan-kebutuhan sosial ini terdiri dari empat kelompok, yaitu kebutuhan akan perasaan diterima orang lain (Sense of Belonging), kebutuhan akan perasaan dihormati (Sense of Importance), kebutuhan akan kemajuan (Sense of Achievement), dan kebutuhan berperan serta (Sense of Participation) 4. Kebutuhan akan penghargaan (Esteem Need’s), yaitu kebutuhan akan penghargaan diri, pengakuan serta penghargaan prestasi dari masyarakat lingkungannya. Semakin tinggi kedudukan seseorang dalam masyarakat atau posisi seseorang dalam organisasi, maka semakin tinggi pula prestasinya 5. Kebutuhan akan perwujudan diri (Self Actualization Need’s), yaitu kebutuhan akan
aktualisasi
diri
dengan
menggunakan
kecakapan,
kemampuan,
keterampilan, dan potensi optimal untuk mencapai prestasi kerja yang sangat memuaskan atau luar masa yang sulit dicapai.
II.
Motivator, Hygiene – Frenderick Herzberg Herzberg menyimpulkan dua faktor yang mendasari perilaku seseorang
yaitu : 1. Satisfier/Motivator/Job cintent Yaitu faktor-faktor yang dapat menimbulkan kepuasan kerja dan dapat mendorong motivasi seseorang. Faktor-faktor ini merupakan faktor yang berhubungan secara langsung dengan isi dari pekerjaan itu sendiri. Dengan meningkatkan faktor ini akan meningkatkan kepuasan kerja dan mendorong motivasi 2. Dissatisfier/Hygiene factor/Job content Yaitu faktor-faktor yang dapat menimbulkan ketidakpusan kerja, tapi walaupun faktor ini relatif baik dalam suatu organisasi tidak akan berpengaruh terhadap motivasi kerja karyawan. III.
Achievement Motivation – David McClelland Teori Achievement motivation merupakan temuan David McClelland
beserta murid-muridnya. Teori ini berawal dari investigasi terhadap hubungan antara rasa lapar dan bayangan mengenai jenis makanan yang mendominasi proses berpikir. McClelland menemukan bahwa semakin lama jenis makanan tersebut dipikirkan, semakin kuat bayangan makanan tersebut muncul dipikran seseorang. Selanjutnya, pemahaman ini diperluaskan ke dalam aspek-aspek afiliasi, kekuasaan, agresi, seks, rasa takut, dan pencapaian. Achievement motivation memandang bahwa perilaku sebagian besar individu dimotivasi oleh tiga kebutuhan yaitu Need for Affiliation, need for Power, dan Need for Achievement. • Kebutuhan akan prestasi (Need for Achievement), merupakan dorongan menjadi unggul, dorongan untuk memenuhi standar yang ditetapkan, dan dorongan untuk maju • Kebutuhan akan kekuasaan (need for Power), merupakan dorongan untuk memaksa orang supaya bertindak sesuai dengan keinginannya • Kebutuhan akan persahabatan (Need for Affiliation), merupakan dorongan untuk menciptakan hubungan peetemanan dan hubungan interpersonal.
Kemudian teori X dan Y Mc. Gregor mengemukakan bahwa yang dimaksud “Teori X, adalah pengandaian bahwa karyawan tidak menukai kerja malas, tidak menyukai tanggung jawab dan harus dipaksa agar berprestasi”. Sedangkan teori Y, “merupakan pengandaian bahwa karyawan menyukai kerja, kreatif, berusaha. Sedangkan Teori Motivasi proses pada dasarnya berusaha untuk menjawab “bagaimana menguatkan, mengarahkan, memelihara, dan menghentikan perilaku individu agar setiap individu bekerja giat sesuai dengan keinginan atasan (manajer)”. Teori ini merupakan sebab akibat bagaimana seseorang bekerja serta hasil apa yang ingin diperolehnya. Jika bekerja baik hari ini maka hasilnya akan diperoleh hari esok. Hasil yang dicapai tercermin dalam proses bagaimana proses kegiatan yang dilakukan seorang pegawai, hasil hasi hari ini merupakan kegiatan hari kemarin. Dari berbagai pendapat yang dikemukakan tersebut dapat disimpulkan bahwa teori motivasi kerja pada dasarnya ada didalam dan diluar individu. Ketika motivasi itu bercokol dalam diri individu dan mampu membangkitkan semangat kerja akan memberikan kekuatan bagi individu untuk berprestasi dan bersemangat dalam mencapai tujuan namun sebaliknya ktika motivasi tersebut bercokol diluar diri individu dan tidak mampu mendorong semangat untuk berprestasi dan berupaya mencapai tujuan, maka saat itu motivasi dapat dikatakan jauh dari diri individu.
2.1.2 Motivasi Dalam Organisasi Motivasi merupakan suatu set kekuatan yang menyebabkan orang memilih perilaku tertentu diantara sejumlah alternatif yang ada (Robbins, 2006:155). Motivasi sangat erat kaitannya dengan kinerja seseorang, karena
motivasi
merupakan salah satu faktor penentu kinerja selain kemampuan seseorang dan lingkungan kerjanya (tersedianya alat-alat material dan kesempatan yang diperlukan untuk melalukan pekerjaan). Untuk memahami bagaimana orang memilih suatu perilaku tertentu, berikut ini disajikan gambar yang memberikan kerangka bagi proses motivasi.
Proses ini dimulai dengan mengidentifikasi kebutuhan oleh individu itu sendiri, dilanjutkan dengan memperkirakan pilihan untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Setelah pilihan ditetapkan dilakukan evaluasi atas terpenuhi tidaknya kebutuhan. Jika tidak terpenuhi maka individu akan mencari pilihan perilaku lainnya dan jika terpenuhi maka individu akan kembali mengidentifikasikan kebutuhan lainnya. Berikut ini adalah gambar kerangka proses motivasi Gambar 2.1 Proses Motivasi
Identification of needs
Eventual development of future deficiencis
Enactment of alternative behviour action
Assesment of behavioral options for satisfying need
Enactment of behavioral option
Need is satisfied
Evaluation of need satisfaction
Need is not satisfied
Sumber : Wilson (2008:115) Sebelum membahas berbagai teori motivasi, perlu diketahui bahwa teori motivasi telah berkembang melewati tiga tahap perkembangan, yaitu : 1. Scientific Management, yang dipelopori oleh Frederick.W.Taylor. Asumsi yang digunakan adalah manfaat ekonomi merupakan satu-satunya motivasi utama bagi pekerja dan bekerja bukanlah sesuatu yang menyenangkan bagi sebagian orang. Meskipun peranan uang sebagai faktor motivasi tidak dapat dihilangkan akan tetapi tidak memperhatikan faktor motivasi lainnya. 2. Human Relation Movement, pendekatan ini menekankan peranan proses sosial ditempat kerja. Asumsi yang digunakan adalah pegawai merasa ingin berrguna ditempat kerja dan menjadi anggota suatu kelompok sosial dan kebutuhan ini lebih penting dari sekedar uang untuk memotivasi karyawan
3. Human Resource Approach, selangkah lebih maju daripada sebelumnya. Asumsi orang tidak hanya ingin tetapi juga memberikan kontribusi terbaiknya pada organisasi, sehingga adanya tugas-tugas organisasi mendorong partisipasi dan menciptakan lingkungan kerja yang mendayagunakan sumber daya manusianya. Banyak teori yang mencoba menjelaskan masalah motivasi ini, tetapi untuk lebih singkatnya teori – teori ini akan dibahas berdasarkan pendekatan yang mendasarinya. Pendekatan – pendekatan itu adalah sebagai berikut : 1. Pendekatan
berdasarkan
kebutuhan
(Need
Basic
Approach),
yang
memfokuskan pada kebutuhan individu sebagai pendorong motivasi. Teori-teori yang menggunakan pendekatan ini misalnya teori Maslow tentang hierarki kebutuhan, teori ERG atau pendekatan dual struktur. 2. Pendekatan
berdasarkan
proses
(Process
Based
Approach),
yang
memperhatikan bagaimana motivasi terjadi. Pendekatan ini memfokuskan mengapa orang memilih untuk menetapkan perilaku tertentu untuk memenuhi kebutuhan mereka dan bagaimana mereka mengevaluasi kepuasan mereka setelah mencapai tujuan tersebut. Contoh teori yang menggunakan pendekatan ini adalah Expectacy Theory of motivation dan Equity Theory. 3. Pendekatan
berdasarkan
dorongan
(Reforcement
Based
Approach),
memfokuskan mengapa perilaku tertentu dipertahankan atau atau beberapa waktu dan perilaku lain berubah. Pendekatan ini menjelaskan peranan imbalan, yang menyebkan perilaku tertentu dipertahankan atau diubah (Reinforcement Theory, menganggap perilaku yang mengakibatkan terjadinya hukuman cenderung diubah). 4. Goal Setting Theory, yang mengasumsikan bahwa tujuan sfesifik yang diterima dan dissepakati karyawan dan dihubungkan pada imbalan akan meningkatkan motivasi. Pendekatan ini dianggap lebih baik, karena Goal Setting Theory dapat mengaitkan reward pada kebutuhan masng – masing individu, mengklasifikasi
penghargaan, dan memelihara ekuitas serta memberikan dorongan secara konsisten terhadap timbulnya motivasi. Teori ini memberikan kerangka untuk menyatakan pendekatan – pendekatan yang lain atas motivasi.
2.2 Kinerja 2.2.1 Pengertian Kinerja Konopaske, Ivanecevich, Matteson (2006:217)) kinerja adalah sebagai berikut: ”Kinerja (performance) adalah hasil yang diinginkan dari perilaku, dan kinerja individu adalah dasar kinerja organisasi.” Menurut Murdjianto P (2004:29) menyatakan bahwa: ”Kinerja adalah hasil yang dicapai oleh seseorang atau kelompok orang dalam suatu organisasi sesuai dengan wewenang dan tanggung jawab masing-masing dalam rangka upaya mencapai tujuan organisasi bersangkutan secara legal, tidak melanggar hukum dan sesuai dengan moral maupun etika.” Dengan demikian kinerja adalah prestasi yang dicapai oleh suatu perusahaan sebagai suatu kesatuan bisnis selama periode tetentu. Prestasi yang dimaksud adalah efektivitas operasional perusahaan baik dilihat dari segi ekonomi (laporan keuangan) maupun manajemennya. Untuk mengetahui prestasi yang berhasil dicapai perusahaan maka kita harus melakukan penilaian atas kinerja dari perusahan tersebut. Pada dasarnya penilaian kinerja merupakan alat pengendalian bagi perusahaan. Penilaian kinerja digunakan perusahaan untuk melakukan perbaikan dan pengendalian atas kegiatan operasionalnya agar dapat bersaing dengan perusahaan lain. Selain itu, melalui pengukuran kinerja perusahaan juga dapat memilih strategi yang akan dilaksanakan dalam mencapai tujuan perusahaan. Menurut Siswanto (2003:231): ”Penilaian kinerja adalah suatu kegiatan yang dilakukan manajemen untuk menilai kinerja tenaga kerja dengan cara membandingkan kinerja atas kinerja dengan deskripsi pekerjaan dalam suatu periode tertentu biasanya setiap akhir tahun.”
Mulyadi (2001:416) menyatakan tentang penilaian kinerja sebagai berikut: ”Penilaian kinerja adalah menentukan penetapan secara periodik efek operasional suatu organisasi, bagian organisasi dan karyawannya berdasarkan sasaran, standar, dan kinerja yang telah ditetapkan sebelumnya.” Dengan demikian pengertian penilaian kinerja adalah suatu usaha formal yang dilaksanakan manajemen untuk mengevaluasi hasil-hasil dari aktivitasaktivitas yang telah dilaksanakan, dibandingkan dengan standar yang telah ditetapkan agar membuahkan tindakan dan hasil yang diinginkan. Standar tersebut dapat berupa kebijakan manajemen atau rencana formal yang dituangkan dalam anggaran.
2.2.2
Tujuan dan Manfaat Penilaian Kinerja Penilaian kinerja merupakan suatu hal penting dalam proses persencanaan
dan pengendalian. Melalui penilaian kinerja perusahaan dapat melakukan perencanaan serta memilih strategi yang akan dilaksanakan dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Menurut Mulyadi (2001:416) tujuan pokok penilaian kinerja adalah : ” Untuk memotivasi karyawan dalam mencapai sasaran organisasi dan dalam mematuhi standar perilaku yang telah ditetapkan sebelumnya, agar membuahkan tindakan dan hasil yang diinginkan.” Selain dapat digunakan sebagai standar dalam penentuan tinggi rendahnya kompensasi serta administrasi bagi tenaga kerja, menurut Siswanto (2003:233) penilaian kinerja dilakukan dengan tujuan sebagai: 1. Sumber
data
untuk
perencanaan
ketenagakerjaan
dan
kegiatan
pengembangan jangka panjang bagi perusahaan yang bersangkutan 2. Nasihat yang perlu disampaikan kepada para tenaga kerja dalam perusahaan 3. Alat untuk memberikan umpan balik (feed back) yang mendorong kearah kemajuan 4. Salah satu cara untuk menetapkan kinerja yang diharapkan dari seorang pemegang tugas dan pekerjaan
5. Landasan/bahan informasi dalam pengambilan keputusan pada bidang ketenagakerjaan, baik promosi, mutasi, maupun kegiatan ketenagakerjaan lainnya. Disamping tujuan-tujuan diatas, menurut Susilo Martoyo (2002:92) yang dialih bahasakan dari Hani Handoko terdapat 10 manfaat penilaian kinerja bagi manajemen: 1. Perbaikan Prestasi Kerja 2. Penyesuaian-penyesuaian Kompensasi 3. Keputusan-keputusan Penempatan 4.
Kebutuhan-kebutuhan Latihan dan Pengembangan
5. Perencanaan dan Pengembangan Karier 6. Penyimpangan-penyimpangan Proses Staffing 7. Ketidakakuratan Informasional 8. Kesalahan-kesalahan Desain Pekerjaan 9. Kesempatan Kerja yang Adil 10. Tantangan-tantangan Eksternal Sedangkan menurut Mulyadi (2001:416) penilaian kinerja dimanfaatkan manajemen untuk: 1. Mengelola operasi organisasi secara efektif dan efisien melalui pemotivasian karyawan secara maksimum. 2. Membantu pengambilan keputusan yang bersangkutan dengan karyawan, seperti: promosi, transfer, dan pemberhentian. 3. Mengidentifikasi kebutuhan peatihan dan pengembangan karyawan dan untuk menyediakan kriteria seleksi dan evaluasi program pelatihan karyawan. 4. Menyediakan umpan balik bagi karyawan mengenai bagaimana atasan mereka menilai kinerja mereka.
2.2.3
Hubungan Motivasi terhadap Kinerja Kemampuan sebagai suatu yang dimiliki oleh seiap individu pada intinya
tidak akan dapat berkembang ketika tidak didorong oleh daya (kekuatan) dari luar maupun dari dalam. Daya tersebut dikenal dengan istilah ”motivasi” disisi lain motivasi dianggap sebagai alasan berkembangnya kemampuan pada setiap individu, sehingga dapat dipahami bahwa kemampuan yang ada pada individu tersebut dapat berkembang ketika didorong oleh motivasi baik dalam dalam diri seseorang maupun dari dari luar. Kenyataan itu didukung oleh pernyataan yang dikemukakan oleh Robbins (2006:198) bahwa, ”motivasi ssebagai kesediaan untuk mengeluarkan daya dan kekuatan yang tinggi ke arah tujuan – tujuan yang diinginkan dan dikoordinasikan oleh kemampuan untuk memenuhi sesuatu kebutuhan individual maupun organisasi”. Dari pendapat tersebut semakin memperjelas adanya hubungan antara kemampuan dengan motivasi. Secara operasional kemampuan akan dkeluarkan oleh individu jika suatu hasil pekerjaan dapat memenuhi kebutuhannya. Begitu pula ketika individu memilki motivasi yang tinggi untuk melakukan suatu pekerjaan namun tidak memiliki kemampuan memadai maka hasil yang dicapai tidak akan sesuai dengan keinginan yang diharapkan. Tujuan pokok penilaian kinerja adalah untuk memotivasi karyawan dalam mencapai sasaran organisasi dan dalam mematuhi standar perilaki yang telah ditetapkan sebelumnya, agar membuahkan tindakan dan hasil yang digunakan, Mulyadi (2001:415). Kinerja sebagai suatu hasil kerja yang dicapai baik oleh individu maupun kelompk dapat diketahui melalui kemampuan dan motivasi kerja yang dimiliki, Robbins (2006:218). Dengan demikian untuk mencapai kinerja yang diinginkan oleh suatu organisasi dibtuhkan adanya kemampuan dan motivasi.
2.3.1 Sejarah Balanced Scorecard Pada tahap awal perkembangannya, balanced scorecard ditujukan untuk memperbaiki sistem pengukuran kinerja eksekutif. Sebelum tahun 1990-an, eksekutif di USA hanya diukur kinerja mereka dari perspektif keuangan saja.
Sebagai akibatnya, fokus perhatian dan usaha eksekutif lebih dicurahkan untuk mewujudkan kinerja keuangan, sehingga terdapat kecenderungan eksekutif untuk megabaikan kinerja nonkeuangan, seperti kepuasan customer, produktivitas, dan cost-effectiveness proses yang digunakan untuk menghasilkan produk dan jasa, serta keberdayaan dan komitmen karyawan dalam menghasilkan produk dan jasa bagi kepuasan customer. Oleh karena ukuran kienrja keuangan mengandalkan informasi yang dihasilkan dari sistem akuntansi yang berjangka pendek (umumya mencakup satu tahun), maka pengukuran kinerja yang berfokus ke keuangan mengakibatkan eksekutif lebih memfokuskan perwujudan kinerja jangka pendek. Pada tahun 1990, Nolan Norton Institute, bagian riset kantor akuntan publik KPMG di USA yang dipimpin oleh David P. Norton, mensponsori studi tentang “Pengukuran Kinerja dalam organisasi Masa Depan.” Ada dua belas perusahaan yang menjadi objek pada waktu itu: Advanced Micro Devices, American Standard, apple Computer, Bell South, CIGNA, Corner Peripherals, Cray Research, DuPont, Electronic Data Systems, General Electric, Hewlett Packard, dan Shell Canada. Studi ini didorong oleh kesadaran bahwa pada waktu itu ukuran kinerja keuangan yang digunakan oleh semua perusahaan untuk mengukur kinerja eksekutif tidak lagi memadai. Balanced scorecard digunakan untuk menyeimbangkan usaha dan perhatian eksekutif ke kinerja keuangan dan nonkeuangan, serta kinerja jangka pendek dan kinerja jangaka panjang. Dengan memperluas ukuran kinerja eksekutif ke kinerja nonkeangan, ukuran kinerja eksekutif menjadi komprehnsif. Balanced scorecard memperluas ukuran kinerja eksekutif keempat perspektif : keuangan, customers, proses serta pembelajaran dan pertumbuhan. Berdasarkan pendekatan balanced scorecard, kinerja keuangan yang dihasilkan oleh eksekutif harus merupakan akibat diwujudkannya kinerja dalam pemuasan kebutuhan customer, pelaksanaan proses yang produktif dan cost-effectiveness dan atau pembangunan personel yang produktif dan berkomitmen. Dari percobaan penggunaan balanced scorecard dalam tahun 1990-1992, perusahaan–perusahaan
yang
ikut
serta
dalam
eksperimen
tersebut
memperlihatkan pelipatgandaan kinerja keuangan mereka. Keberhasilan ini
disadari sebagai akibat dari penggunaan ukuran kinerja balanced scorecard yang komprehensif. Dengan menambahkan ukuran kinerja nonkeuangan, seperti kepuasan
customer,
produktivitas,
dan
cost-effectiveness
proses,
serta
pembelajaran dan pertumbuhan. Eksekutif dipacu untuk memperhatikan dan melaksanakan usaha-usaha yang merupakan pemacu sesungguhnya untuk mewujudkan kinerja keuangan. Pesan yang disampaikan kepada para eksekuif dengan penggunaan balanced scorecard dalam pengukuran kinerja eksekutif adalah “kinerja keuanganyang berkesinambungan tidak dapat dihasilkan melalui usaha-usaha yang semu. Jika eksekutif bermaksud menigkatkan kinerja keuangan yang berkesinambungan, harus diwujudkan melaui usaha–usaha nyata dengan menghasilkan value bagi customer, dan meningkatkann produktivitas dan costeffectiveness proses dan meningkatkan kapabilitas dan komitmen personel”. Oleh karena itu balanced scorecard memperluas ukuran kinerja eksekutif ke customer, proses, serta pembelajaran dan pertumbuhan, karena di ketiga perspektif itulah usaha-usaha sesungguhnya. Gambar di bawah ini memperlihatkan tentang perluasan ukuran kinerja eksekutif yang sebelumnya hanya terpusat pada ukuran keuangan saja. Dengan pendekatan balanced scorecard, ukuran kinerja eksekutif diperluas ke perspektif nonkeuangan : customer, proses bisnis internal serta pembelajaran dan pertumbuhan.
Gambar 2.2 Pendekatan Balanced scorecard untuk Perluasan Ukuran Kinerja Eksekutif ke perspektif Nonkeuangan : customer, proses bisnis internal serta pembelajaran dan pertumbuhan PERSPEKTIF
UKURAN KINERJA EKSEKUTIF YANG BERIMBANG
KEUANGAN
EVA Pertumbuhan pendapatan
Pemanfaatan Aktiva (Assetss turnover)
Cost Effectiveness
Jumlah Customers baru
Jumlah Customers yang menjadi noncustomers
Ketepatan waktu layanan customers
Cycle Time
On Time Delivery
Cycle Effectiveness
CUSTOMER
PROSES BISNIS INTERNAL
PEMEBELAJARAN DAN PERTUMBUHAN
Sumber : Mulyadi (2005:4)
Skill Coverage Ratio
Quality Work Life Index
2.3.2 KONSEP BALANCED SCORECARD Pada awalnya balanced scorecard diciptakan untuk mengatasi problem tentang kelemahan sistem pengukuran kinerja eksekutif yang berfokus pada aspek keuangan. Akibat dari terlalu fokusnya kinerja eksekutif pada aspek keuangan, menyebabkan kurang diperhatikannya kinerja nonkeuangan. Kinerja keuangan pada umunya mencakup jangka waktu relatif pendek, yaitu satu tahun. Oleh karena itu para eksekutif lebih befokus pada kinerja jangka pendek dibandingkan dengan kinerja jangka penjang yang seharusnya diperhatikan juga. Informasi yang diberikan oleh data keuangan merupakan data masa lalu (historis) yang dirasakan tidak cukup. Kelemahan – kelemahan pada pengukuran kinerja tradisional telah memunculkan kebutuhan akan pengukuran yang lebih luas dan tidak semata-mata berdasarkan pada sudut pandang keuangan saja. Ukuran keuangan lebih banyak menginformasikan masa lalu dan tidak dapat sepenuhnya membimbing organisasi untuk menciptakan nilai melalui investasi pada pelanggan, pemasok, karyawan, proses, teknologi, dan inovasi. Hadirnya balanced scorecard sebagai pendekatan baru dalam sistem pengukuran kinerja dianggap mampu mengatasi kelemahan – kelemahan tersebut. Balanced scorecard merupakan sistem pengukuran kinerja komprehensif yang meliputi aspek keuangan dan nonkeuangan. Dalam balanced scorecard ukuran keuangan yang menunjukkan kinerja masa lalu dilengkapi dengan ukuran– ukuran nonkeuangan yang menunjukkan penggerak (driver) bagi kinerja dimasa yang akan datang. Seperti yang dikatakan oleh Kaplan dan Norton yang dialihbahasakan oleh Yosi (2000:7) : “Balanced scorecard melengkapi seperangkat ukuran finansial kinerja masa lalu dengan ukuran pendorong (drivers) kinerja masa depan”. Pada
dasarnya
balanced
scorecard
berusaha
untuk
membuat
keseimbangan antara pengukuran internal yang digunakan untuk proses bisnis, inovasi, pertumbuhan dan pembelajaran dengan pengukuran eskternal yang berguna baik bagi pemegang saham (shareholder), dan pelanggan. Menurut Hongren, dkk dalam buku Widjaja (2003:3) yang mengatakan bahwa :
“Balanced scorecard is a performance measurement and reporting system that strikes a balance between financial and operating measures, links performance to reward and give explisit recognation to the diversity of organizational goals”. Dengan kata lain balanced disini bertujuan untuk menekan adanya pengembangan antara beberapa faktor yang dilakukan dalam pengukuran yang dilakukan yaitu : 1. Keseimbangan
antara
pengukuran
eksternal
untuk
pemegang
saham
(shareholders), dan pelanggan dengan pengukuran internal dari proses bisnis internal, inovasi, proses pembelajaran dan pertumbuhan 2. Keseimbangan antara pengukuran hasil dari usaha masa lalu dengan pengukuran yang mendorong kinerja masa mendatang 3. Keseimbangan antara unsur objetivitas, yaitu pengukuran berupa hasil kuantitatif yang diperoleh secara mudah dengan unsur subjektivitas, yaitu pengukuran pemicu kinerja yang membutuhkan pertimbangan. Balanced scorecard menekankan bahwa pengukuran keuangan dan nonkeuangan harus menjadi bagian dari sistem informasi di semua tingkat organisasi. Pegawai front-line harus mengetahui konsekuensi terhadap keuangan sebagai akibat dari keputusan dari tindakan yang diambil. Senior eksekutif harus mengetahui pemicu dari kesuksesan keuangan jangka panjang. Jadi tujuan dari balanced scorecard bukan hanya untuk penggabungan dari ukuran-ukuran keuangan dan nonkeuangan yang ada, melainkan merupakan hasil dari suatu proses atas bawah (top-down) berdasarkan misi dan strategi dari suatu unit usaha. Menurut Hansen dan Mowen (2004:509) menyatakan bahwa : “Balanced scorecard menerjemahkan misi dan strategi organisasi ke dalam tujuan operasional dan ukuran kinerja dalam empat perspektif, yaitu perspektif keuangan, perspektif pelanggan, perspektif proses bisnis internal, dan perspektif pembelajaran dan pertumbuhan (infrastruktur)”.
Menurut blocker, dkk dalam buku Widjaja (2003:3) “Balanced scorecard is an accounting report that include the firm critical success factors in four area: (1) financial performance, (2) customers satisfaction, (3) internal business process, and (4) innovation and learning.” Balanced scorecard memandang kinerja melalui empat perspektif, yaitu perspektif keuangan, perspektif pelanggan, perspektif proses bisnis internal, dan perspektif pembelajaran dan pertumbuhan. Melalui keempat perspektif ini sasaran dan ukuran scorecard diturunkan dari visi, misi, dan strategi. Organisasi balanced scorecard tetap mempertahankan perspektif keuangan karena ukuran-ukuran keuangan
dapat
menunjukkan
apakah
strategi
perusahaan
yang
telah
diimplementasikan dan dilaksanakan telah memberikan kontribusi pada perbaikan pendapatan
perusahaan.
Dalam
perspektif
pelanggan,
amanajer
mengidentifikasikan segmen pasar juga menetapkan ukuran kinerja perusahaan pada sasaran tersebut. Sementara dalam perspektif proses bisnis internal, para eksekutif mengidentifikasikan proses-proses internal yang dianggap penting untuk dilaksanakan.
Pada
perspektif
yang
keempat
yaitu
pertumbuhan
dan
pemebelajaran, manajer mengidentifikasikan infrastruktur yang harus dibenahi perusahaan untuk menciptakan perbaikan dan pengembangan perusahaan.
2.3.3 Empat Perspektif dalam Balanced Scorecard a. Perspektif Keuangan (Financial Perpektif) Tujuan keuangan merupakan cerminan tujuan utama perusahaan. Secara umum tujuan keuangan setiap perusahaan adalah memaksimalkan laba, akan tetapi untuk mengukura keberhasilan masing – masing perusahaan tidak dapat digunakan standar yang sama. Tolok ukur yang digunakan tergantung pada posisi perusahaan dalam siklus bisnis usaha, sebab pada siklus usaha yang berbeda tujuan keuangan perusahaan bisa berbeda pula. Menurut Kaplan dan Norton yang dialihbahasakan oleh Yosi (2000:42) membagi siklus usaha dalam tiga tahap yaitu:
1. Tahap bertumbuh (Growth) Tahap ini merupakan tahap awal dalam siklus hidup perusahaan. Dalam tahap ini, perusahaan memiliki baran atau jasa yang mempunyai pertumbuhan potensi yang signifikan, namun dapat beroperasi dengan cash flow yang negatif dan tingkat pengembangan investasi masih rendah. Oleh karena itu, keuangan yang paling cocok untuk tahap ini adalah ssebesar tingkat pertumbuhan pendapatan dan penjualan. 2. Tahap bertahan (sustain) pada tahap ini perusahaan berupaya untuk mempertahankan pangsa pasar yang dimilikinya, sehingga semua aktivitas ditujukan untuk menyempurnakan kekurangan–kekurangan
yang
ada.
Investasi
yang
dilakukan
dengan
mengisyaratkan tingkat pengembangan yang terbaik, investasi yang dilakukan pada umunya untuk meningkatkan kapasitas dan penyempurnaan proses operasi secara konsisten. Pada tahap ini sasaran keuangan lebih diarahkan pada besarnya tingkat pengembalian atas investasi yang dilakukan, sehingga tolok ukur yang umumnya dipakai adalah besarnya pendapatan operasional (operating income), besarnya laba kotor (gross profit), tingkat pengembalian investasi (Return on Investment), tingkat pengembalian modal (Return of Capital), atau besarnya nilai tambah ekonomis (Economic Value Added). 3. Tahap menuai (Harvest) Tahap harvest merupakan suatu tahap dimana perusahaan telah mencapai titik jenuh atas barang dan ajsa yang dihasilkan. Perhatian dipusatkan pada upaya meningkatkan efisiensi untuk memaksimalkan arus kas sebagai hasil atas investasi lebih jauh, sehingga pada tahap ini besarnya arus kas masuk dari kegiatan operasional dan tingkat penurunan modal kerja (retuction rate in working capital) dijadikan sebagai tolok ukur kinerja finansial perusahaan. Sasaran tolok ukur keuangan memilki peran ganda selain merupakan target akhir bagi sasaran dan ukuran dalam perspektif lain dalam scorecrad juga menggambarkan kinerja keuangan yang diharapkan dari perencanaan strategis perusahaan. Tujuan keuangan yang digunakan sebagai fokus pada indikator dan tujuan dalam semua scorecard pada perspektif lain. Pengukuran kinerja
keuangan menunjukkan apakah strategi perusahaan, implementasi, dan aktivitasnya memberikan kontribusi terhadap perbaikan yang mendasar. b. Perspektif Pelanggan (Customer Perspektif) Dalam perspektif pelanggan, manajer mengidentifikasikan segmen pelanggan dan segmen pasar dimanan perusahaan akan berkompetensi, serta ukuran kinerja yang akan digunakan pada segmen tersebut. Berdasarkan pengetahuan bahwa disatu pihak potential customer sangatlah beragam dan dipihak lain perusahaan pun memilki keterbatasan yang dapat memusatkan seluruh potential customernya, maka perusahaan membuat segmentasi pasar yang paling mungkin untuk dilayani dengan cara yang terbaik berdasarkan kemampuan sumber daya yang ada. Penetapan segmen pasar yang dijadikan sasaran dan identifikasi keinginan dannkebutuhan pelanggan dalam segmen tersebut merupakan langkah awal dalam penetuan seperangkat tolok ukur dalam mengukur kinerja dalam perspektif pelanggan. Tolok ukur kinerja dalam perspektif ini dibagi dua kelompok, kelompok pertama di sebut kelompok inti (cistomer core measurement group), dan yang kedua di sebut kelompok penunjang (customer value proporsittions), menurut Kaplan dan norton yang dialhbahasakan oleh Yosi (2000:59) kelompok inti (cistomer core measurement group), tersebut adalah : 1. Pangsa Pasar (Market Share) Menggambarkan proporsi bisnis yang dijual oleh suatu unit bisnis di perusahaan tertentu dalam bentuk jumlah pelanggan, yang dibelanjakan, atau volume satuan uang dijual 2. Retensi pelanggan (Customer Retention) Mengukur seberapa banyak perusahaan berhasil mempertahankan pelanggan 3. Akuisisi pelanggan (Customer Acquisition) Mengukur keberhasilan unit bisnis dengan menarik atau mendapatkan pelanggan bisnis baru
4. Kepuasan pelanggan Mengukur dan menilai tingkat kepuasan pelanggan dan seberapa jauh pelanggan merasa puas terhadap layanan perusahaan 5. Profitabilitas pelanggan Mengukur keuntungan bersih yang diperoleh dari pelanggan atau segmen tertentu setelah menghitung berbagai pengeluaran yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan pelanggan tersebut Agar tolok ukur kelompok inti tersebut dapat dilaksanakan maka dibutuhkan penjabaran yang lebih lanjut didalam tolok ukur kelompok peninjang (customer value proporsitions) yang merupakan aktivitas–aktivitas penentu untuk memahami penggerak (driver) pengukuran kelomok inti. Menurut Kaplan dan Norton yang dialihbahasakan oleh Yosi (2000:74) kelompok penunjang tersebut adalah : 1. Atribut produk dan pelayanan (product/service attributes) yang terdiri dari fungsi, kualitas, dan harga, 2. Atribut keuangan dangan palanggan (customer relationship) yaitu menyangkut kualitas pengalaman pelayanan dan bagaimana perasaan pelanggan pada saat membeli barang atau jasa sebuah perusahaan, 3. Atribut citra dan reputasi (image and reputation) mencerminkan faktor-faktor yang menarik pelanggan pada perusahaan yang bersangkutan. c. Perspektif Proses Bisnis Internal (Internal Business Process Perspective) Dalam
perspektif
proses
internal
bisnis,
manajer
berusahaa
mengidentifkasikan proses–proses penting bagi tercapainya tujuan perusahaan yang
ada
dalam
perspektif
sebelumnya.
Perusahaan
biasanya
akan
mengmbangkan sasaran yang ada dalam perspektif proses bisnis internal setelah perusahaan terlebih dahulu menetapkan sasarannya dalam perspektif keuangan dan pelanggan. Kaplan dan Norton dialhbasakan oleh Yosi (2000:83) mengidentifikasikan prosses bisnis internal terdiri dari tiga tahap, yaitu :
1. Proses Inovasi Proses inovasi terdiri dari dua komponen yaitu yang pertama manajemen menggunakan riset pasar untuk mengenali indikator pasar, sifat pilihan pelanggan, dan harga barang atau jasa sasaran. Sebagai tambahannya inovasi meneliti keberadaan dan kesanggupan pelanggan, hal ini juga dapat meliputi perspektif keseluruhan kesempatan dan pasar baru untuk barnag dan jasa yang dapat diberikan perusahaan, tingkat keuntungan pelanggan dinilai untuk barang dan jasa mendatang dan melalui inovasi, mendahului pesaing–pesaing dalam menyampaikan keuntungan market place. 2. Proses Operasi atau Produksi Proses produksi merupakan bagian dari penciptaan nilai dari sebuah organisasi. Tahapnya dimulai dari order pelanggan sampai pada pengiriman barang dan jasa kepada pelanggan. Kegiatan operasi yang ada sekarang cenderung pada proses yang sama. Sehingga teknik manajemen ilmiah dapat segera diterapkan untuk mengendalikan dan memperbaiki penerimaan order pelanggan, proses produksi, dan proses pendistribusian barang dan jasa. Proses produksi diukur dari kualitas produk dan besarnya biaya produksi, termasuk fleksibilitas proses produksi untuk menciptakan produk khusus yang nilainya tinggi dimata pelanggan. 3. Layanan Purna Jual Pada tahapan purna jual perusahaan berusaha memberikan manfaat tambahan kepada para pelanggan yang telah membeli barang dan jasa dalam bentuk berbagi layanan pasca transaksi. Perusahaan ingin mengukur apakah upayanya dalak pelayanan pasca transaksi ini telah memenuhi harapan pelanggannya, tahap ini bisa diukur dari kualitas pelayanan terhadap pelanggan, biaya dan kecepatan palayanan terhadap pelanggan. d. Perspektif Pertumbuhan dan Pembelajaran (learning and Growth Perspective) Perspektif ini memberikan infrastruktur untuk mendukung tiga perspektif sebelumnya. Tolok ukur kinerja utnuk tahap ini dibagi menjadi tiga kelompok. Kelompok pertama adalah kemampuan karyawan (Employee Capabilities),
tolok ukur ini diarahkan untuk mencapai kepuasan karyawan, loyalitas karyawan, dan produktivitas karyawan. Tolok ukur yang dapat digunakan adalah tingkat kepuasan kerja para karyawan, besarnya pendapatan per karyawan atau nilai tambah per karyawan. Kelompok kedua adalah kemampuan sistem informasi (information technology and system). Sistem informasi akan memberikan dukungan kepada para pegawai untuk menyempurnakan proses proses pelaksanaan yang menyempurnakan proses pelaksanaan yang memerlukan umpan balik yang cepat, tepat waktu dan teliti mengenai barang dan jasa yang diberikan. Tolok ukur kinerja ini dapat berupa tingkat ketersediaan informasi, misalnya keterdediaan umpan balik dan persentase karyawan yang dapat mengakses intformasi yang dibutuhkan untuk pelaksaan tugas, tingkat ketepatan informasi yang tersedia, dan jangka waktu untuk memperoleh informasi yang dibutuhkan. Kelompok yang ketiga adalah motivasi, pemberdayaan dan keserasian (motivation, employee, and alighment) individu dalam perusahaan. Aspek ini merupakan kondisi persyaratan yang diperlukan untuk mencapai tujuan perspektif pertumbuhan dan pembelajaran. Meskipun seorang karyawan memiliki akses kepada informasi yang luas, hal ini tidak akan memberikan kontribusi bagi keberhasilan perusahaan jika mereka tidak termotivasi untuk bertindak yang terbaik untuk perusahaan. Bisa dilakukan denga cara penciptaan iklim organisasi yang memotivasi karyawan. Tolok ukur dalam kelompok ini antara lain adalah jumlah saran tiap pegawai yang diajukan dan diwujudkan, jumlah saran yang diimplementasikan dan direalisasikan, jumlah saran yang berhasil guna serta banyaknya pegawai yang mengetahui dan mengerti visi dan tujuan perusahaan.
2.3.4 Prinsip – prinsip Balanced scorecard Konsep sebab akibat memegang peranan yang sangat penting dalam balanced scorecard, terutama dalam penjabaran tujuan dan pengukuran masing– masing perspektif. Unsur sebab akibat tersebut akan terkait antara keempat
perspektif yang disebutkan sebelumnya. Sebagai misal, apabila telah ditetapkan tujuan perspektif keuangan yaitu Return On Capital employed (ROCE). Pemicu kinerja tersebut adalah tingkat penjualan yang ada pada pelanggan, yang merupakan hasil dari loyalitas pelanggan. Sehingga loyalitas pelangan akan dimasukkan dalam balanced scorecard dalam kategori perspektif pelanggan karena dianggap mempunyai pengruh yang kuat terhadap besarnya ROCE. Hal ini demikian telah dijelasakan oleh Kaplan dan Norton yang dialhbahasakan oleh Yosi (2000:130) memilki prinsip–prinsip sebagai berikut : 1. Melengkapi tolok ukur keuangan dengan tolok ukur pemicu kinerja. Tolok ukur keuangan merupakan tolok ukur pemicu tidak mampu untuk menyatakan bagaimana hasil akhir tersebut dicapai dan juga tidak memberikan indikasi awal atas sejauh mana keberhasilan penerapan strategi. Sebaliknya tolok ukur pemicu kinerja tanpa tolok ukur keuangan tidak memungkinkan unit bisnis mengetahui apakah perbaikan–perbaikan operasional yang dilakukan telah diterjemahkan kepada perkembangan usaha yaitu peningkatan kinerja keuangan 2. Rangkaian sasaran dan tolok ukur yang dipakai diturunkan dari srategi serta dilakukan pemilahan sasaran dan tolok ukur yang hanya bernilai kritis bagi pencapaian strategis success perusahaan 3. Rangkaian sasaran tolok ukur dikomunikasikan ke seluruh bagian organisasi, komunikasi berguna untuk mengirimkan signal bagi seluruh karyawan atas sasaran–sasaran penting yang harus dicapai agar strategis organisasi dapat berhasil 4. Tiap tolok ukur yang dimaksudkan dalam balanced scorecard merupakan sebuah elemen dari hubungan sebab akibat yang menggambarkan strategis organisasi dan terkait dengan sasaan keuangan 5. Balanced scorecard perusahaan menggambarkan hasil strategis dari para senior eksekutif. Untuk dapat berhasil, aplikasi balanced scorecard diawali dari para senior eksekutif sampai manajemen tingkat menengah.
2.3.5 Manfaat Aplikasi balanced scorecard Aplikasi balanced scorecard memberikan manfaat sebagai berikut : 1. Memungkinkan perusahaan untuk terus memantau hasil–hasil dalam bidang keuangan yang dicapainya, dengan tetap memantau perkembangan dalam membangun keunggulan kompetitif dan meningkatkannilai aktiva tak berwujud yang dibutuhkan bagi masa depan perusahaan 2. menjaga agar tidak timbul pandangan sempit atas kinerja perusahaan yang akan terjadi apabila hanya digunakan tolok ukur tunggal dalam motivasi dan mengevaluasi kinerja unit bisnis 3. Menjembatani pengembangan dan formulasi strategi dengan penerapannya 4. menumbuhkan konsesus dan kerjasama diantara para senior eksekutif dan anggota organisasi lainnya, baik secara vertikal maupun horizontal 5. menterjemahkan sebuah visi menjadi tema–tema kunci strategik yang dapat dikomunikasikan.
2.3.6 Keunggulan balanced scorecard Keunggulan pendekatan balanced scorecard dalam sistem perencanaan strategik yang
mampu
menghasilkan
rencana
strategik
yang
memiliki
karakteristik. Menurut Mulyadi (2005:11) karakteristik tersebut adalah sebagai berikut : 1. Komprehensif Balanced scorecard memperluas perspektif yang dicakup bukan hanya dari segi keuangan saja tapi juga dari segi nonkeuangan seperti : customer, proses bisnis internal, serta pembelajaran dan pertumbuhan 2. Koheren Koheren yang berarti membangun hubungan sebab akibat di antara berbagai sasaran strategik yang dihasilkan dalam perencanaan strategik. Setiap sasaran strategik yang ditetapkan dalam perspektif nonkeuangan harus mempunyai hubungan kausal dengan sasaran keuangan, baik secara langsung maupun tidak langsung. Kekoherenan juga berarti dibangunnya hubungan sebab akibat antara keluaran yang dihasilkan sistem perimisan strategi dengan
keluaran yang dihasilkan sistem perumusan strategi dengan keluaran yang dihasilkan sistem perencanaan strategik 3. Berimbang Keseimbangan sasaran strategik yang dihasilkan oleh suatu sistem perencanaan strategik penting untuk menghasilkan kinerja keuangan berkesinambungan 4. Terukur Keterukuran sasaran strategik yang dihasilkan oleh sistem perencanaan strategik menjanjikan keterampilan berbagai sasaran strategik yang dihasilkan oleh sistem tersebut.
2.3.7 Kelemahan balanced scorecard Balanced scorecard sebagai sistem pengukuran kinerja perusahaan mempunyai beberapa kelemahan seperti yang ditulis oleh Anthony dan Govindarajan (2005:180) adalah sebagai berikut : 1. “Korelasi yang buruk antara ukuran nonkeuangan dengan hsilnya, 2. Terpaku pada hasil keuangan, 3. Tidak ada mekanisme perbaikan, 4. Ukuran – ukuran tidak diperbaharui, 5. Terlalu banyak pengukuran, 6. Kesulitan dalam menetapkan trade – off.” Secara lebih jelas lagi kelemahan balanced scorecard adalah sebagai berikut : 1. Lemahnya hubungan antara ukuran nonkeuangan dengan hasil. Dengan kata lain bahwa tidak ada garansi bahwa profitabilitas di masa yang akan datang mengikuti hasil yang dicapai pada bidang nonkeuangan. Hal ini terjadi masalah karena adanya asumsi bahwa profitabilitas masa depan mengikuti pencapaian dari setiap pengukuran scorecard 2. Ketetapan (Fixation) pada hasil finansial. Pada umumnya manajer merasa tertekan dengan kinerja keuangan saham perusahaan mereka, terlebih dengan adanya tekanan dari pemegang saham (shareholder). Tekanan – tekanan yang terjadi
lama
kelamaan
akan
menjadi
berlebihan
dan
menimbulkan
ketidakpastian terhadap pengukuran nonkeuangan. Ditambah dengan tekanan yang terjadi hasil dari pengukuran – pengukuran balanced scorecard yang sedikit hubungannya dengan program intensif. Padahal manajer sering kali di nilai dari kinerja keuangannya. Hal ini akan mengacaukan kesesuaian tujuan (goal congruence) yang menyebabkan manajer lebih peduli terhadap kinerja keuangan 3. Tidak ada mekanisme untuk perbaikan salah satu kelemahan yang paling menonjol dari balanced scorecard atau perusahaan tidak dapat mencapai jika perusahaan tidak mempunyai mekanisme perbaikan. Untuk mencapai “Stretch goal” sebuah perusahaan harus fleksibel, atau memiliki inovasi proses bisnis yang lebih baik. Seorang eksekutif manajer akan memilih mana skenario yang cocok dan menentukan fleksibilitasnya kemudian mengembangkan beberapa pengukuran yang diperkirakan dapat membantu perusahaan mencapai skenario tersebut. Sayangnya untuk mencapai skenario tersebut perusahaan memerlukan perubahan yang lengkap dan pada umumnya perusahaan tidak mempunyai mekanisme untuk melakukan perubahan tersebut. Perubahan yang terjadi akan perubahan budaya perusahaan dan juga adanya penambahan sumber daya, dan perubahan tersebut tidak dapat terjadi hanya dalam satu hari. Jadi tanpa adanya metode untuk perbaikan, perubahan tidak akan terjadi tanpa peduli sebagus apa stretch goal yang dimiliki 4. Pengukuran tidak update. Banyak perusahaan yang tak memiliki mekanisme formal untuk melakukan updatingnpengukuran untuk meluruskan perubahan – perubahan dalam strategi. Hasilnya perusahaan masih membuat pengukuran berdasarkan strategi yang lalu atau yang sama 5. Pengukuran berlebihan (overload). Terlalu banyaknya pengukuran akan menyebabkan manajer kehilangan fokus cenderung akan melakukan banyak hal dalam satuan waktu 6. kesulitan dalam membuat trade–offs. Beberapa perusahaan menggabungkan pengukuran keuangan dan nonkeuangan dalam satu laporan, dan memberi masing–masing laporan dengan bobot. Tetapi kebanyakan balanced scorecard tidak memperbaiki bobot pada ukuran tersebut. Jika bobot tersebut tidak
tersedia maka akan sulit untuk membuat trade–offs antara ukuran keuangan dan nonkeuangan.
2.3.8 Pengukuran kinerja Perusahaan dengan Menggunakan Balanced Scorecard Untuk mengetahui performansi perusahaan secara kemprhehensif, kinerja perusahaan harus diukur berdasarkan kinerja keuangan dan nonkeuangan, penilaian tersebut didesain untuk menilai seberapa baik aktivitas yang berhasil oleh perusahaan. Peningkatan kinerja perusahaan diupayakan antara lain agar dapat memenagkan persaingan. Banyak perusahaan yang mengubah sistem pengukuran kinerja dengan menambahkan ukuran – ukuran non keuangan dan memperkuat strategi bersaing. Sistem pengukuran yang mndasarkan pada kinerja keuangan dan nonkeuangan
yang
dikembangkan
bidang
akuntasni
manajemen
adalah
pengukuran dengan pendekatan balanced scorecard Balanced scorecard yang baik harus mencerminkan bauran antara pengukuran hasil yang diperoleh dan pengukuran antara pemicu kinerja. Pengukuran atas hasil yang diperoleh tidak menunjukkan bagaimana hasil tersebut diperoleh dan tidak memberikan indikasi awal apakah strategi perusahaan dilaksanakan dilaksanankan dengan sukses atau tidak. Sebaliknya, pengukuran atas pemicu kienrja, misalnya waktu siklus produksi atau tingkat kerusakan dalam produksi, hanya memberikan informasi apakah perusahaan dapat mencapai perbaikan operasional tersebut berdampak pada peningkatan usaha maupun kinerja keuangan. Idealnya suatu organisasi tidaki hanya mempertahankan kinerja relatif yang ada akan tetapi akan memperbaiki secara terus menerus. Perbaikan secara terus menerus hanya dapat dicapai apabila perusahaan melibatkan mereka yang langsung terkait dalam proses bisnis internal. Balanced
scorecard
yang
dirancang
dengan
empat
perspektif
menghendaki keseimbangan antara tujuan jangka pendek dengan jangka panjang, antara hasil yang diinginkan dan driver performasi hasil tersebtu.
Upaya penyeimbangan tersebut akan menyangkut pihak–pihak di di dalam dan di luar organisasi yang dijadikan tolok ukur guna mengimbangi scorecard yang berdimensi ukuran profitabilitas. Biasanya tolok ukur yang dikembangkan adalah aspek customer satisfaction and employee retention. Peningkatan sales ataupun penurunan cost tidak ada artinya apabila akan menimbulkan ketidakpuasan dimata konsumen yang pada akhirnya menurunkan tingkat loyalitas para pelanggan. Situasi–situasi seperti tersebut dapat tergambar dalam implementasi balanced scorecard seperti berikut : 1. Perspektif keuangan Balanced scorecard memakai perspektif keuangan untuk meringkas kejadian ekonomi yang terukur dengan mudah sebagai akibat tindakan– tindakan yang diambil. Tujuan keuangan khususnya berhubungan dengan pencapaian keuntungan seperti pendapatan operasi, perputaran pada modal kerja, performasi nilai ekonomi, percepatan pertumbuhan keuangan atau peningkatan arus kas. Contoh dari perspektif keuangan adalah meningkatnya return on investment, kinerja keuangan diperoleh dari usaha – usaha nyata real effort) yang menjadi penyebab utama diwujudkannya kinerja keuangan. 2. Perspektif pelanggan Perpektif ini meliputi beberapa pengukuran utama dan pengukuran umum atas keberhasilan dari rumusan dan pelaksanaan strategi yang baik. Pengukuran hasil
utama meliputi kepuasan pelanggan, bergabungnya pelanggan baru,
keuntungan pelanggan, pangsa pasar, dan perhitungan dalam segmen pasar. Perspektif pelanggan dalam balanced scorecard menerjemahkan misi dan strategi organisasi kepada tujuan tertentu baik mengenai segmen pasar maupun segmen pelanggan yang menjadi sasaran yang harus disampaikan kepada seluruh organisasi. Contoh dari perspektif ini adalah meningkatnya tingkat kepercayaan pelanggan, kecepatan pelayanan, quality relationship dengan pelanggan. 3. Perspektif proses internal bisnis Pengukuran proses internal bisnis memfouskan pada proses–proses internal yang mempunyai pengaruh besar pada kepuasan pelanggan dan
tercapainya kepuasan tujuan pelanggan. Balanced scorecard adalah proses inovasi, tergabung ke dalam perspektifn proses bisnis internal. Manajemen berusaha untuk mengawasi dan memperbaiki operasi yang berlaku untuk menunjukkan
gelombang
pendek
pada
penciptaan
nilai.
Perusahaan
menciptakan nilai. Perusahaan mencipakan nilai mulai dari memproduksi, penyediaan, palayanan, dan penyediaan jasa pelanggan dengan biaya dibawah harga yang diterima. Kunci sukses keuangan jangka penjang memerlukan penciptaan keseluruhan jasa baru yang akan bertemu dengan timbulnya kebutuhan pelanggan diwaktu sekarang dan yang akan datang. Proses inovasi jangka panjang penciptaan nilai yang drivernya lebih bertenaga pada performasi keuangan dimasa depan dibandingka perputaran operasi dalam jangka pendek. Perspektif proses bisnis internal pada pengukuran dan tujuan balanced scorecard merupakan gabungan untuk perputaran inovasi jangka panjang sebaik perputaran operasi jangka pendek. Contoh dari perspektif ini adalah meningkatnya proses layanan pelanggan, state of the art technology dan terintegrasikannya proses layanan pelanggan. 4. Perspektif pertumbuhan dan pembelajaran Perspektif ini datang dari tiga sumber prinsip yaitu orang, sistem, dan prosedur. Proses bisnis internal pada balanced scorecard akan memperlihatkan perbedaan yang besar antara kemampuan orang, sistem, dan prosedur yang ada pada saat ini dengan yang dibutuhkan untuk memperoleh performasi terobosan. Untuk menutup perbedaan ini, perusahaan harus menginvestasikan dalam pelatihan pegawai, meningkatnya sistem dan teknologi informasi, dan meluruskan kebiasaan – kebiasaan dan prosedur yang menyimpang. Contoh dari perspektif ini adalah meningkatnya kapabilitas personel dan meningkatnya komitmen personerl. Pengukuran kinerja perusahaan tidak sama dengan pengukuran kinerja manajernya. Untuk kedua hal tersebut sebaiknya diterapkan ukuran – ukuran dan standar–standar yang berbeda. Pertimbangan utama dalam memilih ukuran kinerja manajer adalah masalah perilaku (behaviour), yaitu apakah ukuran tersebut
memicu manajer untuk bertindak sesuai dengan kepentingan perusahaan (goal congruence) dan apakah ukuran tersebut memberikan penilaian yang adil dan wajar atas seberapa baik manajer melakukan tugasnya, sedangkan pengukuran kinerja bagi perusahaan berkenan seberapa baik sistem pengukuran tersebut memberikan sebuah dasar yang baik bagi manajemen perusahaan untuk menentukan derajat keberhasilan perusahaan tersebut dalam menetapkan strategi usahanya.