BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Proses Pengolahan Limbah
Proses pengolahan limbah di PT ANTAM Tbk. UBPE Pongkor secara umum ditunjukkan pada Gambar 2.1
THICKENER FEED SUMP
FLOCCULANT
THICKENER O/F SUMP
THICKENER I
THICKENER O/F SUMP
THICKENER II
40-45% solid
45-50% solid
THICKENER U/F SUMP
To ballmill as spray water
Retention time 6-8 hours
AIR Air from atmosfer contain oxygen
SMBS
DETOX TANK I
CuSO4
DETOX TANK II CN 1-2 ppm pH 7-8
BACKFILL SILO I
BACKFILL SILO II
BACKFILL SUMP
BACKFILL SUMP
TAILING SUMP
TO TAILING DAM
MINING BACKFILLING
Gambar 2.1 Diagram Alir Proses Pengolahan Limbah (Sumber : PT Antam Tbk UBPE Pongkor)
Proses pengolahan limbah tersebut dimulai dari tahap tailing thickening, detoxification, backfill silo, tailing dam dan IPAL yang dibagi menjadi 2 yakni IPAL tambang dan IPAL Cikaret. Tailing thickening merupakan terjadi proses pengendapan slurry dengan bantuan flokulan. Setelah tahap tersebut, dilakukan tahap detoksifikasi yakni proses destruksi sianida dengan menggunakan SMBS (Sodium Meta-bisulfit) serta CuSO 4 5H 2 O. Metode ini dilakukan untuk mengoksidasi sianida (CN¯) menjadi sianat (CNO¯) dengan menggunakan O 2 dari injeksi udara ke dalam slurry dan SO 2 dari SMBS (kadar 25%) dan ion Cu2+ 6
7
dari pelarutan CuSO 4 5H 2 O (kadar 0.25%) sebagai katalis. Reaksi yang terjadi, yaitu :
Na 2 S 2 O 5 CN¯ + SO 2
(g)
(s)
+ H2 O
2SO 2
+ H 2 O + O 2 (g)
M(CN) 4 -2 + 4SO 2 + 4O 2 + 4H 2 O Cu
+2
Cu+2 Catalyst
Catalyst
(g)
+ 2 NaOH CNO¯ + H 2 SO 4
4CNO¯ + 8H+ + 4SO 4-2 + M+2
Hasil proses detoxification menghasilkan tailing dalam bentuk slurry yang
dipompakan ke Backfill Silo dengan beroperasi secara overflow, dengan kadar sianida ≤1 ppm, pH 6-9 dan 40-45% solid. Backfill Silo merupakan tempat
penampungan sementara sebelum material backfilling dipompakan ke Backfilling Facility, yang terlebih dahulu ditampung di Backfill Sump. Material ini kemudian dicampur dengan semen, yang akan digunakan sebagai material pengganti untuk mengisi ruang kosong di lokasi tambang akibat proses pertambangan (metode cut and fill). Jika Backfill Silo penuh, maka overflow akan dipompa ke Tailing Dam, yang terlebih dahulu ditampung di Tailing Sump. Tailing Dam berfungsi sebagai tempat pembuangan akhir tailing. Tailing Dam menampung limbah yang berasal dari hasil proses detoxification dengan konsentrasi sianida kurang dari 1 ppm. Selain itu, terdapat pula pipa overflow dari Tailing Dam menuju Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) Cikaret untuk diolah agar air limbah yang keluar ke lingkungan sesuai dengan baku mutu yang ditentukan. IPAL Tambang merupakan tempat pengolahan air limbah yang berasal dari kegiatan backfilling dan penambangan agar memenuhi baku mutu lingkungan sebelum dibuang ke lingkungan. 2.2 Adsorpsi Adsorpsi adalah proses dimana substansi molekul meninggalkan larutan dan bergabung pada permukaan zat padat oleh ikatan fisika dan kimia. Substansi molekul atau bahan yang diserap disebut adsorbat, dan zat padat penyerapnya disebut adsorben. Proses adsorpsi biasanya menggunakan karbon aktif untuk menyisihkan
senyawa-senyawa
aromatik
dan
senyawa
organik
terlarut
(Tjokrokusumo, 1991/1992). Beberapa syarat yang harus dipenuhi oleh adsorben Recovery Ion Cu2+ dari Sisa Proses Detoksifikasi SO2/udara dengan Metode CIP di PT ANTAM Tbk. UBPE Pongkor
8
antara lain adalah mempunyai luas permukaan yang besar, berpori, aktif dan murni, serta tidak bereaksi dengan adsorbat (Bernasconi, et al.,1995).
Menurut Weber (1977) dan Sawyer and Mc. Carty (1987), faktor-faktor
yang mempengaruhi proses adsorpsi antara lain : a. Luas permukaan adsorben Semakin besar luas permukaan adsorben, semakin banyak adsorbat yang diserap, sehingga proses adsorpsi lebih efektif. Semakin kecil ukuran atau diameter partikel maka semakin besar luas permukaan adsorben.
b. Ukuran partikel Semakin kecil ukuran partikel yang akan diadsorp semakin besar kecepatan adsorpsinya. c. Konsentrasi larutan Semakin besar konsentrasi larutan maka semakin banyak jumlah substansi yang terkumpul pada permukaan adsorben. d. Suhu Reaksi-reaksi adsorpsi yang terjadi adalah eksoterm. Maka dari itu tingkat adsorpsi umumnya meningkat sejalan dengan menurunya suhu. e. pH larutan Pada umumnya adsorpsi bertambah pada kisaran pH dimana suatu senyawa organik bermuatan netral. f. Waktu kontak Waktu kontak merupakan hal yang sangat menentukan dalam proses adsorpsi. Gaya adsorpsi molekul dari suatu zat terlarut akan meningkat apabila waktu kontaknya dengan karbon aktif makin lama. Waktu kontak yang lama memungkinkan proses difusi dan penempelan molekul zat terlarut yang teradsorpsi berlangsung lebih baik. Dalam proses adsorpsi satu atau lebih komponen dari suatu aliran gas atau cairan teradsorpsi pada permukaan adsorben (media adsorp). Dalam proses komersial, adsorben biasanya dalam bentuk partikel kecil dalam unggun diam. Biasanya, adsorben yang digunakan dalam bentuk pelet, beads, atau granular. Recovery Ion Cu2+ dari Sisa Proses Detoksifikasi SO2/udara dengan Metode CIP di PT ANTAM Tbk. UBPE Pongkor
9
Partikel adsorben memiliki struktur yang sangat porous dan volume pori hingga 50% dari volume partikel total. Fluida mengalir melewati partikel padat dalam
unggun dan komponen solutnya diadsorpsi oleh adsorben. Ketika unggun hampir jenuh, aliran dalam unggun ini dihentikan dan unggun diregenerasi dengan
pemanasan atau dengan metode lainnya sehingga terjadi desorpsi, dan adsorben padat dapat digunakan kembali untuk siklus adsorpsi lainnya. Adsorben telah dikembangkan untuk berbagai pemisahan.
(Anonim, 2005) Gambar 2.1 Proses Adsorpsi pada Karbon Aktif
2.3 Isotherm Adsorption Freundlich Isoterm adsorpsi adalah hubungan antara banyaknya zat yang teradsorpsi per satuan luas atau per satuan berat adsorben dengan konsentrasi zat terlarut pada suhu tertentu. Untuk rentang konsentrasi yang kecil dan campuran yang encer, isoterm adsorpsi dapat
digambarkan
dengan persamaan empirik
yang
dikemukakan oleh Freundlich. Isoterm ini berdasarkan asumsi bahwa adsorben mempunyai permukaan yang heterogen dan tiap molekul mempunyai potensi penyerapan yang berbeda-beda. Persamaan ini merupakan persamaan yang paling banyak digunakan saat ini. Persamaannya adalah sebagai berikut : x/m = kC1/n ............................................(1) dimana :
x = jumlah zat terlarut yang teradsorpsi (mg). m = jumlah adsorben (mg). C = konsentrasi zat terlarut setelah kesetimbangan adsorpsi tercapai.
Recovery Ion Cu2+ dari Sisa Proses Detoksifikasi SO2/udara dengan Metode CIP di PT ANTAM Tbk. UBPE Pongkor
10
k, n = konstanta. Persamaan 2.2 dapat diubah menjadi :
log x/m = log k + n log C .............................(2)
dari persamaan 2.3, jika log C diplot sebagai ordinat dan log x/m sebagai absis
pada koordinat logaritmik, akan diperoleh n sebagai gradien dan k sebagai intersep seperti yang ditunjukkan di gambar 2.7.
Gambar 2.2 Isoterm Freundlich
Dari isoterm ini dapat ditentukan ultimate loading capacity (k-value) dari suatu adsorben, yaitu kemampuan maksimal suatu adsorben dalam menyerap senyawa dalam larutan. Larutan yang digunakan untuk menentukan kapasitas adsorpsi biasanya memiliki konsentrasi tinggi. Hal ini bertujuan agar penyerapan larutan pada adsorben lebih cepat. 2.4 Adsorption Recovery Adsorption recovery adalah proses adsorpsi emas dan perak dengan adsorben karbon aktif atau resin penukar ion. Ada beberapa variasi proses pada adsorpsi dengan karbon, yaitu : a. Carbon In Pulp (CIP) b. Carbon In Leach (CIL) c. Carbon In Column (CIC) Proses CIP digunakan dalam proses pelindian dengan waktu pengadukan yang lama dan penambahan karbon aktif terhadap slurry (padatan dan cairan) Recovery Ion Cu2+ dari Sisa Proses Detoksifikasi SO2/udara dengan Metode CIP di PT ANTAM Tbk. UBPE Pongkor
11
dilakukan setelah selesai proses pelindian. Dengan cara ini, emas yang terkandung pada fase cair akan teradsorp pada permukaan karbon aktif.
Proses CIL diterapkan jika pelindian dilakukan dengan pengadukan dalam
yang singkat (kurang dari 10 jam) dan/atau jika emas pada fase cair waktu
diadsorp lagi ke permukaan fase padat residu melalui efek material berkarbonasi atau mineral lempung pada bijih. Proses ini lebih ekonomis karena pelarutan dan adsorpsi dilakukan pada tangki yang sama secara serempak dengan penambahan
karbon aktif selama pelindian. Proses ketiga adalah (CIC) digunakan dalam ekstraksi padat-cair dimana
residu padatan dan larutan leaching diperoleh secara terpisah misalnya heap leaching. Larutan hasil pelindian dilewatkan pada kolom adsorpsi yang mengandung karbon aktif untuk mendapatkan logam emasnya (Gonen, N., dkk, 2006). Karbon aktif dapat digunakan pada larutan kaya (pregnant solution) yang sudah jernih melalui kolom (Carbon In Column) maupun pada tangki leaching, baik itu dengan cara Carbon In Leach ataupun Carbon In Pulp. Dengan kemampuan ekstraksi emas berkisar 85-98% pada umumnya metode CIL dan CIP digunakan untuk bijih dengan grade tinggi. Namun ada beberapa kelemahan metode CIL dibandingkan CIP. Proses CIL cenderung tidak efisien dalam hal pemulihan emas dibandingkan konvensional leach-rute CIP (Davidson, 1988). Karbon aktif akan memuat 20 sampai 30% lebih sedikit dibanding dengan metode CIP, yang berarti penggunaan karbon aktif pada metode CIL lebih banyak. Proses recovery emas yang dilakukan di PT ANTAM Tbk. UBPE Pongkor dilakukan dengan menggunakan karbon aktif dengan metode Carbon In Leach Adsorption (CIL Adsorption), dengan reaksi sebagai berikut: 2[Au(CN) 2 -] + Ca2+ + C Ca[C – Au(CN) 2 ] 2
2[Ag(CN) 2 -] + Ca2+ + C Ca[C – Ag(CN) 2 ] 2 Kondisi operasi di unit CIL PT ANTAM Tbk UBPE Pongkor adalah: •
Au dalam ore : 7 – 8 ppm
•
Konsentrasi padatan dalam slurry: 38 – 42% solid
Recovery Ion Cu2+ dari Sisa Proses Detoksifikasi SO2/udara dengan Metode CIP di PT ANTAM Tbk. UBPE Pongkor
12
•
Au dalam slurry: 3 – 4 ppm
•
Larutan yang digunakan untuk menentukan kapasitas adsorpsi adalah larutan standar Au konsentrasi 100 ppm.
Kadar Au Pada proses adsorpsi Au dan Ag dari barren solution electrowining
adalah 3 ppm, sehingga dalam penentuan kapasitas adsorpsi dapat digunakan
larutan dengan konsentrasi yang sama yaitu larutan standar Au konsentrasi
100 ppm.
Gambar 2.3 Skema Diagram Proses Carbon In Leach atau Carbon In Pulp, menunjukkan interstate screens (IS), the screen at the exit of the first tank (S), and the carbon transfer pumps (P).
Pada proses adsorption recovery dengan menggunakan adsorben berupa resin penukar ion juga dapat menggunakan metode adsorpsi seperti halnya dengan karbon aktif, yaitu Resin In Pulp (RIP), Resin In Leach (RIL), dan Resin In Column (RIC). Untuk proses pemisahan emas dari resin dapat dilakukan dengan menggunakan larutan soda caustic (NaOH). Contoh proses adsorption recovery dengan metode Resin In Column (RIC) secara umum ditunjukkan pada gambar 2.4 di bawah ini.
Recovery Ion Cu2+ dari Sisa Proses Detoksifikasi SO2/udara dengan Metode CIP di PT ANTAM Tbk. UBPE Pongkor
13
Sumber : Himsley, Southam Bussines Publ Gambar 2.4 Proses Resin In Column
Pada proses adsorpsi emas dan perak dari barren solution electrowinning, metode adsorpsi yang dapat dilakukan adalah Carbon In Column (CIC) atau Resin In Column (RIC). Penggunaan metode ini dilakukan karena kandungan emas dan perak dalam barren solution kurang dari 3 ppm. 2.5. Adsorben Adsorben ialah zat yang melakukan penyerapan terhadap zat lain (baik cairan maupun gas) pada proses adsorpsi. Umumnya adsorben bersifat spesifik, hanya menyerap zat tertentu. Dalam memilih jenis adsorben pada proses adsorpsi, disesuaikan dengan sifat dan keadaan zat yang akan diadsorpsi. Adsorben yang paling banyak dipakai untuk menyerap zat-zat dalam larutan adalah arang. Karbon aktif yang merupakan contoh dari adsorpsi, yang biasanya dibuat dengan cara membakar tempurung kelapa atau kayu dengan persediaan udara (oksigen) yang terbatas. Tiap partikel adsorben dikelilingi oleh molekul yang diserap karena terjadi interaksi tarik menarik. Zat ini banyak dipakai di pabrik untuk menghilangkan zat-zat warna dalam larutan. Penyerapan bersifat selektif, yang Recovery Ion Cu2+ dari Sisa Proses Detoksifikasi SO2/udara dengan Metode CIP di PT ANTAM Tbk. UBPE Pongkor
14
diserap hanya zat terlarut atau pelarut sangat mirip dengan penyerapan gas oleh zat padat. Beberapa jenis adsorben yang biasa digunakan yaitu :
Karbon aktif/ arang aktif/ norit Karbon aktif adalah suatu jenis karbon yang telah mengalami suatu proses
sehingga memiliki pori yang sangat banyak dan luas permukaan yang sangat besar
serta dapat digunakan untuk adsorpsi atau reaksi kimia.
Gambar 2.5 Karbon Aktif
Sejak perang dunia pertama arang aktif produksi dari peruraian kayu sudah dikenal sebagai adsorben atau penyerap yang efektif. Sehingga banyak dipakai sebagai adsorben pada topeng gas Arang aktif adalah bahan berupa karbon bebas yang masing-masing berikatan secara kovalen atau arang yang telah dibuat dan diolah secara khusus melalui proses aktifasi, sehingga pori-porinya terbuka dan dengan demikian mempunyai daya serap yang besar terhadap zat-zat lainnya, baik dalam fase cair maupun dalam fase gas. Dengan demikian, permukaan arang aktif bersifat non-polar. Struktur pori berhubungan dengan luas permukaan, dimana semakin kecil pori-pori arang aktif, mengakibatkan luas permukaan semakin besar. Dengan demikian kecepatan adsorpsi bertambah. Untuk meningkatkan kecepatan adsorpsi, dianjurkan menggunakan arang aktif yang telah dihaluskan. Karbon aktif ini cocok digunakan untuk mengadsorpsi zat-zat organik. Komposisi arang aktif terdiri dari silika (SiO2), karbon, kadar air dan kadar debu. Unsur silika merupakan kadar bahan yang keras dan tidak mudah larut dalam air, maka khususnya silika yang bersifat sebagai pembersih partikel yang terkandung dalam air keruh dapat dibersihkan sehingga diperoleh air yang jernih. Recovery Ion Cu2+ dari Sisa Proses Detoksifikasi SO2/udara dengan Metode CIP di PT ANTAM Tbk. UBPE Pongkor
15
Bahan baku yang berasal dari hewan, tumbuh-tumbuhan, limbah maupun mineral yang mengandung karbon dapat dibuat menjadi arang aktif yaitu dibuat
melalui proses pembakaran secara karbonisasi (aktifasi) dari semua bahan yang mengandung unsur karbon dalam tempat tertutup dan dioksidasi/ diaktifkan
dengan udara atau uap untuk menghilangkan hidrokarbon yang akan menghalangi/ mengganggu penyerapan zat organik. Bahan tersebut antara lain tulang, kayu lunak maupun keras, sekam, tongkol jagung, tempurung kelapa,
ampas penggilingan tebu, ampas pembuatan kertas, serbuk gergaji, dan batubara.
Pembuatan arang aktif
Secara umum dan sederhana, proses pembuatan arang aktif terdiri dari 3 tahap, yaitu : 1. Dehidrasi : proses penghilangan air dimana bahan baku dipanaskan sampai temperatur 170°C. 2. Karbonisasi : pemecahan bahan-bahan organik menjadi karbon. Suhu diatas 170°C akan menghasilkan CO dan CO 2 . Pada suhu 275°C, dekomposisi menghasilkan “tar”, methanol dan hasil samping lainnya. Pembentukan karbon terjadi pada temperatur 400-600°C. 3. Aktifasi : dekomposisi tar dan perluasan pori-pori. Dapat dilakukan dengan uap atau CO 2 sebagai aktifator. Yang dimaksud dengan aktifasi adalah suatu perlakuan terhadap arang yang bertujuan untuk memperbesar pori yaitu dengan cara memecahkan ikatan hidrokarbon atau mengoksidasi molekul-molekul permukaan sehingga arang mengalami perubahan sifat, baik fisika maupun kimia, yaitu luas permukaannya bertambah besar dan berpengaruh terhadap daya adsorpsi. Arang aktif mempunyai warna hitam, tidak berasa dan tidak berbau, berbentuk bubuk dan granular, mempunyai daya serap yang jauh lebih besar dibandingkan dengan arang yang belum mengalami proses aktifasi, mempunyai bentuk amorf yang terdiri dari plat-plat dasar dan disusun oleh atom-atom karbon C yang terikat secara kovalen dalam suatu kisi yang heksagon. Plat-plat ini bertumpuk satu sama lain membentuk kristal-kristal dengan sisa-sisa hidrokarbon yang tertinggal pada permukaan. Dengan menghilangkan hidrokarbon tersebut Recovery Ion Cu2+ dari Sisa Proses Detoksifikasi SO2/udara dengan Metode CIP di PT ANTAM Tbk. UBPE Pongkor
16
melalui proses aktifasi, akan didapatkan suatu arang atau karbon yang membentuk struktur jaringan yang sangat halus atau porous sehingga permukaan adsorpsi atau
penyerapan yang besar dimana luas permukaan adsorpsi dapat mencapai 300 cm2/gram. 3.500
Proses pembuatan arang aktif dibagi menjadi 2, yaitu : 1) Proses Kimia Bahan baku dicampur dengan bahan-bahan kimia tertentu, kemudian
dibuat padat. Selanjutnya padatan tersebut dibentuk menjadi batangan dan
dikeringkan serta dipotong-potong. Aktifasi dilakukan pada temperatur 100°C. Arang aktif yang dihasilkan dicuci dengan air selanjutnya
dikeringkan pada temperatur 300°C. Dengan proses kimia, bahan baku dapat dikarbonisasi terlebih dahulu, kemudian dicampur dengan bahanbahan kimia. 2) Proses Fisika Bahan baku terlebih dahulu dibuat arang. Selanjutnya arang tersebut digiling, diayak untuk selanjutnya diaktifasi dengan cara pemanasan pada temperatur 1.000°C yang disertai pengaliran uap. Penyerapan Bahan - bahan Terlarut Dengan Arang Aktif Sifat arang aktif yang paling penting adalah daya serap. Untuk menghilangkan bahan-bahan terlarut dalam air, biasa menggunakan arang aktif dengan mengubah sifat permukaan partikel karbon melalui proses oksidasi. Partikel ini akan menyerap bahan-bahan organik dan akan terakomulasi pada bidang permukaannya. Pada umumnya ion organik dapat diturunkan dengan arang aktif. Adsorpsi oleh arang aktif akan melepaskan gas, cairan dan zat padat dari larutan dimana kecepatan reaksi dan kesempurnaan pelepasan tergantung pada pH, suhu, konsentrasi awal, ukuran molekul, berat molekul dan struktur molekul. Penyerapan terbesar adalah pada pH rendah. Dalam Laboratorium Manual disebutkan bahwa pada umumnya kapasitas penyerapan arang aktif akan meningkat dengan turunnya pH dan suhu air. Pada pH rendah aktifitas dari bahan Recovery Ion Cu2+ dari Sisa Proses Detoksifikasi SO2/udara dengan Metode CIP di PT ANTAM Tbk. UBPE Pongkor
17
larut dengan larutan meningkat sehingga bahan-bahan larut untuk tertahan pada arang aktif lebih rendah.
Proses adsorpsi arang aktif dapat digambarkan sebagai molekul yang
meninggalkan zat pengencer yang terjadi pada permukaan zat padat melalui ikatan
kimia maupun fisika. Molekul tersebut digunakan sebagai adsorbat dan zat padat disebut adsorben arang aktif. Adapun adsorpsi yang terjadi pada arang aktif dapat bersifat :
1. Adsorpsi Fisika Adsorpsi fisika terjadi berdasarkan ikatan fisika antara zat-zat
dengan arang aktif dalam keadaan suhu rendah dengan penyerapan relative
kecil. 2. Adsorpsi Kimia Adsorpsi kimia terjadi berdasarkan ikatan kimia antara adsorben (arang aktif) dengan zat-zat teradsopsi. Dijelaskan pula bahwa bahan dalam larutan yang bersifat elektrolit akan diserap lebih efektif dalam suasana basa oleh arang aktif. Sedangkan bahan dalam larutan yang bersifat non elektrolit penyerapan arang aktif tidak dipengaruhi oleh sifat keasaman atau sifat kebasaan larutan. Dalam hal ini, ada beberapa faktor yang mempengaruhi daya serap adsorpsi, yaitu: •
Sifat serapan banyak senyawa yang dapat diadsorpsi oleh arang aktif, tetapi kemampuannya untuk mengadsorpsi berbeda untuk masing-masing senyawa. Adsorpsi akan bertambah besar sesuai dengan bertambahnya ukuran molekul serapan dari struktur yang sama, seperti dalam deret homolog. Adsorpsi juga dipengaruhi oleh gugus fungsi, posisi gugus fungsi, ikatan rangkap, dan struktur rantai dari senyawa serapan.
•
Suhu Dalam pemakaian arang aktif dianjurkan untuk mengamati temperatur pada saat berlangsungnya proses. Faktor yang mempengaruhi temperatur proses adsorpsi adalah viskositas dan stabilitas senyawa serapan. Jika
Recovery Ion Cu2+ dari Sisa Proses Detoksifikasi SO2/udara dengan Metode CIP di PT ANTAM Tbk. UBPE Pongkor
18
pemanasan tidak mempengaruhi sifat-sifat senyawa serapan, seperti terjadi
perubahan warna maupun dekomposisi, maka perlakuan dilakukan pada
titik didihnya. Untuk senyawa volatil, adsorpsi dilakukan pada temperatur
kamar atau bila memungkinkan pada temperatur yang lebih rendah.
•
pH (derajat keasaman) Untuk asam-asam organik, adsorpsi akan meningkat bila pH diturunkan,
yaitu dengan penambahan asam-asam mineral. Ini disebabkan karena kemampuan asam mineral untuk mengurangi ionisasi asam organik tersebut. Sebaliknya apabila pH asam organik dinaikkan yaitu dengan penambahan alkali, adsorpsi akan berkurang sebagai akibat terbentuknya
garam. •
Waktu singgung Bila arang aktif ditambahkan dalam suatu cairan, dibutuhkan waktu untuk mencapai kesetimbangan. Waktu yang dibutuhkan berbanding terbalik dengan jumlah arang yang digunakan. Selisih ditentukan oleh dosis arang aktif, pengadukan juga mempengaruhi waktu singgung. Pengadukan dimaksudkan untuk memberi kesempatan pada partikel arang aktif untuk bersinggungan dengan senyawa serapan. Secara garis besar penyerapan arang aktif terhadap zat yang terlarut akan menyebabkan zat teradsorp mengalami proses, yakni :
1. Berpindah dari larutannya menuju lapisan luar dari adsorben (arang). 2. Diserap oleh permukaan arang aktif. 3. Teradsorpsi dan akhirnya diserap oleh permukaan dalam atau permukaan porous arang. Adapun secara umum faktor yang menyebabkan adanya daya serap dari arang aktif adalah : 1. Pori-pori mikro yang jumlahnya besar pada arang aktif sehingga menimbulkan gejala kapiler yang menyebabkan adanya daya serap. 2. Permukaan yang luas (300 – 3.500 cm2/gram) pada arang aktif sehingga mempunyai kemampuan daya serap yang besar.
Recovery Ion Cu2+ dari Sisa Proses Detoksifikasi SO2/udara dengan Metode CIP di PT ANTAM Tbk. UBPE Pongkor
19
Menurut SII No.0258-79, arang aktif yang baik mempunyai persyaratan seperti yang tercantum pada tabel dibawah ini : Tabel 2.1 Ukuran pori dalam tipikal karbon aktif
Mesopores or Transitional Micropore Pores Macropores < 20 20-500 >500 0,15-0,5 0,02-0,1 0,2-0,5
Diameter (Å) Pore volume (cm3/g) 100-1000 10-100 Surface area 2 (m /g) (Particle density 0,6-0,9 g/ cm3; porosity 0,4-0,6)
0,5-2
Sumber : Principle of Adsorption & Adsorption Processes
2.6 Proses SO 2 /udara (Sulfur dioxide and air process) Dalam proses SO 2 /udara, sianida bebas dan lemah terikat logam-sianid kompleks mengalami proses oksidasi menjadi cyanate (CNO-) dialiran limbah dengan penambahan sulfur dioksida dan oksigen sesuai dengan reaksi stoikiometri berikut: CN- + SO 2 + O 2 + H 2 O
Cu+2 Catalyst
OCN- + SO 4 2- + 2H+
Reaksi proses SO 2 /udara biasanya terjadi dalam reaktor aerasi. Aerasi ini menghasilkan pencampuran dan oksigen. Sulfur dioksida diumpankan ke reaktor dalam fasa gas atau cair, dari natrium sulfit atau natrium metabisulfit (SMBS). Proses SO 2 /udara telah membuktikan secara actual dosis SO 2 untuk menjadi 3-5 g/g CN T untuk solusi tandus dan 4-7 g/g CN T untuk tailing lumpur. Secara teoritis reagen yang dikonsumsi untuk sulfur dioksida adalah 2,5 mg SO 2 / mg WAD sianida dan kapur, 2,2 mg CaO / mg WAD sianida. (Smith dan Mudder, 1991). Dosis lebih tinggi diperlukan untuk mengatasi asam lemah dengan konsentrasi rendah yang dapat dipisahkan (WAD) bentuk sianida (Vergunst et al., 1991). Reaksi tersebut dipengaruhi nilai pH: kisaran pH yang optimal adalah 8-10. Oksidasi yang tidak baik terjadi pada kondisi pH >11. Pada tingkat pH dibawah 8 juga terjadi pengurangan dalam laju reaksi. Dalam reaksi oksidasi pembentukan asam sulfat, ditambahkan kapur atau lime untuk menjaga reaksi dalam pH Recovery Ion Cu2+ dari Sisa Proses Detoksifikasi SO2/udara dengan Metode CIP di PT ANTAM Tbk. UBPE Pongkor
20
optimal. Kehadiran katalis tembaga pada konsentrasi mendekati 50 mg/L juga diperlukan agar reaksi berlangsung. Jika konsentrasi tembaga yang ada dalam
wastestream terlalu rendah, maka tembaga tambahan dapat diberikan dengan penambahan larutan tembaga sulfat pentahidrat (CuSO 4 5H 2 O) ke dalam reaktor.
Meskipun oksigen juga ditambahkan ke dalam reaktor, pada literatur tidak
menyatakan dengan spesifik saran kondisi operasi untuk dissolved oxygen (oksigen terlarut). Hal ini dimungkinkan tergantung pada kondisi tempat tertentu.
Reaksi oksidasi juga bergantung pada temperatur. Pada 25oC, reaksi berlangsung cepat dan hasil konsentrasi sianida sisa 0,2 mg/L sedangkan pada 5oC reaksi lebih
berlangsung lebih lambat dan hasil konsentrasi sianida sisa 2,0 mg/L (McGill dan Comba, 1990). Selain dengan reaksi oksidasi sianida, logam juga dapat dihilangkan dari larutan dengan proses pengendapan logam hidroksida. Tidak seperti proses oksidasi klorinasi alkali, proses SO 2 /udara mampu menghilangkan besi-sianida kompleks stabil dari larutan. Ferricyanides direduksi menjadi garam ferricyanide yang tidak larut dan diendapkan dari larutan. Kehadiran besi sianida kompleks yang tidak diinginkan memberikan kemampuan mereka untuk terurai dibawah sinar matahari, untuk melepaskan sianida bebas. Dalam kondisi biasa, hanya 1020% dari tiosianat akan dilepaskan. Hal ini hasil dalam persyaratan kimia yang lebih rendah untuk SO 2 dibandingkan dengan proses oksidasi lainnya dan juga menjamin menghilangkan pembentukan dari sianida yang lebih beracun. Penambahan tiosianat removal ini dimungkinkan dengan melanjutkan penerapan system SO 2 setelah mengikuti proses oksidasi lengkap dari pembentukan sianida bebas dan kompleks. Pada umumnya sistem SO 2 /udara terdiri dari reaktor tunggal (terkadang juga dua unit paralel), sistem SO 2 storage dan umpan, sistem umpan kapur chemical, sistem umpan Copper Sulfat chemical (jika diperlukan), dan sistem aerasi. Pada beberapa kondisi yang mengandung konsentrasi nikel yang tinggi atau saat pengurangan arsen diperlukan, reaktor yang memiliki beberapa tahap dapat digunakan. Karena sistem SO 2 /udara umumnya tidak menghilangkan secara signifikan kandungan tiosianat, cyanate, atau amonia, penambahan unit Recovery Ion Cu2+ dari Sisa Proses Detoksifikasi SO2/udara dengan Metode CIP di PT ANTAM Tbk. UBPE Pongkor
21
pengolahan mungkin belum diperlukan untuk memenuhi baku mutu yang lebih ketat dalam perizinannya untuk beberapa parameter. Pemeliharaan dalam kontrol
pH mungkin sulit dilakukan pada proses pembentukan slurry padat dalam proses menetralkan asam kuat yang dihasilkan selama proses.(Smith dan Mudder, 1991)
Ketiga parameter, tiosianat, cyanate, dan amonia, memiliki potensi untuk
mencemari tanah air dan beracun bagi ikan. Amonia dapat menyebabkan kadar nitrat dalam air tanah meningkat dengan asumsi nitrifikasi terjadi di lapisan tanah
bagian atas. Amonia tambahan mungkin dihasilkan oleh hidrolisis cyanate di perairan yang ditampung di kolam tailing. Retensi logam yang diendapkan
lumpur hidroksida di kolam tailing juga mungkin memiliki efek lingkungan yang tidak diinginkan. Tailing yang tersisa dari proses oksidasi SO 2 /udara memiliki kandungan logam yang cukup berat. Jika lumpur disimpan untuk waktu yang lama di (atau tidak benar berjajar) kolam bergaris, ada potensi untuk logam untuk bermigrasi ke air tanah. Tabel 2.2 Hasil Pengolahan Slurry dengan Metode Proses SO 2 /udara Komponen Total Sianida Tembaga (Cu) Besi (Fe) Seng (Zn)
Larutan Untreated (mg/L) Treated (mg/L) 450 0,1 – 2,0 35 1 – 10 1.5 <0,5 66 0,5 – 2,0
Tailings slurry Untreated (mg/L) Treated (mg/L) 115 0,1 – 1,0 17 0,2 – 2,0 0,7 0,02 – 0,3 18 <0,01
Sumber : (Ingles and Scout,1987)
2.6.1 Sodium Metabisulfit (Na 2 S 2 O 5 ) Sodium Metabisulfit atau Natrium Metabisulfit adalah bahan kimia yang berbentuk bubuk kristal putih, tidak berbau atau sedikit berbau seperti sulfur dioksida terbuka dan lembab perlahan-lahan akan teroksidasi menjadi sulfat. Pada PT Antam Tbk UBPE Pongkor, Sodium Metabisulfit ( SMBS) dalam bentuk SO 2 membantu dalam bentuk oksigen (O 2 ) sebagai oksidator untuk merubah sianida (CN-) menjadi sianat (CNO-).
Recovery Ion Cu2+ dari Sisa Proses Detoksifikasi SO2/udara dengan Metode CIP di PT ANTAM Tbk. UBPE Pongkor
22
Sifat-Sifat Fisika Bentuk Fisik
: Bubuk kristal putih
pH/kemasan
: 4,0-4,6
Daya larut
: Larut bebas dalam gliserol, sedikit larut dalam alkohol
Bau
: Tidak berbau atau sedikit berbau seperti sulfur dioksida
Pembuangan limbah dengan cara menambahkan sejumlah air dan netralisir
dengan soda ash sebelum dicuci dan dibuang dengan sejumlah air, beri Sodium Hipoklorit sebelum dialirkan ke pembuangan.
2.6.2 Cooper Sulpate Pentahidrat ( CuSO 4 .5H 2 O ) Tembaga Sulfat merupakan zat kimia padatan, berwarna grayish putih kehijau-hijauan, kristal putih rhombic. Tembaga sulfat kelarutannya dalam air 12,5 % (pada temperature kamar) dan larut sangat baik dalam metanol. Tembaga sulfat pada proses detoksifikasi biasanya dilarutkan dengan air terlebih dahulu pada holding tank sehingga membentuk ion Cu2+ yang berfungsi sebagai katalis. Selain berfungsi sebagai katalis, Cu juga berfungsi sebagai pengkompleks Fe sianida yang berasal dari ore sehingga mengendap bersama-sama dengan Fe. Kelebihan ion Cu yang tidak bereaksi selanjutnya dapat secara perlahan mengendap sebagai hidroksidanya. Mekanisme reaksi yang terjadi yaitu : Fe(CN) 6 3- + SO 2 + 2H 2 O Cu2+ + Fe(CN) 6 3-
Fe(CN) 6 4- + 4H+ + SO 4 2- + Cu2+ Cu 2 Fe(CN) 6 (solid)
Pada PT Antam Tbk UBPE Pongkor Tembaga Sulpate digunakan sebagai katalis pada proses destruksi sianida (detoksifilkasi). Tembaga sulfat digunakan dengan kadar 0,25 %. Sifat-Sifat Fisik Berat Molekul
: 159 g/mol
Bentuk Fisik
: Padatan berwarna biru kristal
pH
: 4 (0,2 M larutan)
Recovery Ion Cu2+ dari Sisa Proses Detoksifikasi SO2/udara dengan Metode CIP di PT ANTAM Tbk. UBPE Pongkor
23
Tembaga sulfat dapat dimusnahkan dengan membakar di tempat terbuka atau dalam insinerator. Pembuangan dalam tanah (land fill) yang aman dapat pula
dilakuakan. Asam asetat dalam air limbah dapat diolah dengan cara kimiawi (netralisir) dan degradasi biologi (activated sludge).
2.6.3 Sodium Cyanide ( NaCN)
Natrium Sianida adalah padatan putih granular atau serbuk yang tidak berbau. Dalam bentuk uap (HCN) berbau Amonium dan sangat menyesakkan. Dapat teradsorp ke dalam tubuh melalui uap yang terhirup, tertelan dan melalui
kulit. Banyak digunakan dalam proses ekstraksi logam (pelindian selektif, flotasi selektif), elektroplating (pelapisan logam), industri farmasi, industri kimia polimer dan sebagainya. Pada PT. Antam Tbk UBPE Pongkor, sianida digunakan sebagai pelarut sebagai pelindi Au dan Ag dalam proses leaching. Sifat-Sifat Fisika Berat Molekul
: 49,015 g/mol
Bentuk Fisik
: Padatan
Titik Leleh
: 563oC (gas)
Titik Didih
: 1496oC
Tekanan Uap
: 1 mm pada 1500oC
Berat Jenis
: 1,6 pada 20oC
Berat Molekul
: 49,015 g/mol
Larut dalam pelarut organik : etanol, aseton, eter. Larut dalam air dan terurai Limbah sianida cair dapat dinetralkan dengan berbagai metode sampai di bawah nilai ambang batas.
Recovery Ion Cu2+ dari Sisa Proses Detoksifikasi SO2/udara dengan Metode CIP di PT ANTAM Tbk. UBPE Pongkor