BAB II TINJAUAN PUSTAKA
Pada BAB ini dijabarkan mengenai tori-teori yang dapat mendukung argumentasi dalam penelitian. Tinjauan teori yang ditampilkan pada BAB ini meliputi hipertensi, latihan isometrik, serta pengaruh latihan isometrik terhadap tekanan darah. 2.1
Hipertensi
2.1.1 Definisi Hipertensi Tekanan darah adalah gaya yang diberikan oleh darah kepada tiap satuan luas pembuluh darah arteri ketika jantung memompa darah, yang dikontrol oleh berbagai proses fisiologis (Guyton & Hall, 2006; Palmer & William, 2007). Tekanan darah pada arteri terdiri atas tekanan sistolik, yaitu tekanan darah pada saat ventrikel kiri berkontraksi, dan tekanan diastolik yang merupakan tekanan darah pada saat ventrikel kiri berelaksasi (Gunawan, 2007). Hipertensi didefinisikan sebagai tekanan darah sistolik yang lebih besar dari 140 mmHg, atau tekanan darah diastolik yang lebih besar dari 90 mmHg secara persisten setidaknya dalam tiga kali pemeriksaan berturut-turut pada orang dewasa (McPhee & Ganong, 2006). Price & Wilson (2012) mendefinisikan hipertensi sebagai peningkatan tekanan darah yang menetap di atas 140/90 mmHg. Sedangkan menurut Guyton dan Hall (2006), hipertensi berarti kondisi tekanan darah arteri rata-rata (MAP) seseorang 10
11
lebih tinggi dari batas normal yaitu 110 mmHg. Corwin (2009) juga mendefinisikan hipertensi sebagai tekanan darah tinggi yang diukur paling tidak dalam tiga kali kesempatan yang berbeda dan bervariasi sesuai usia. Jadi, dapat disimpulkan bahwa hipertensi adalah peningkatan tekanan darah yang menetap dengan kriteria tekanan darah sistolik lebih dari 140 mmHg dan/atau tekanan darah diastolik lebih dari 90 mmHg, atau tekanan arteri rata-rata lebih dari 110 mmHg atau disesuaikan dengan usia, yang diukur dalam tiga kali pemeriksaan. 2.1.2 Penyebab Hipertensi Tekanan
darah
tergantung
pada
tiga
komponen
yang
saling
mengkompensasi, yaitu kecepatan denyut jantung, volume sekuncup, dan resistensi perifer. Apabila terjadi gangguan pada salah satu komponen tersebut, namun tidak terjadi kompensasi oleh komponen lainnya, maka hal tersebut dapat menyebabkan hipertensi (Corwin, 2009). Setiap penyebab hipertensi tersebut dapat diakibatkan oleh peningkatan aktivitas susunan saraf simpatis yang dapat merupakan respon yang berlebihan terhadap kondisi stres. Peningkatan denyut jantung dapat terjadi karena rangsangan abnormal pada saraf simpatis dan hormon yang memengaruhi nodus sino-atrial (SA) (McPhee & Ganong, 2006). Penyebab umum hipertensi adalah terjadinya peningkatan resistensi perifer (McPhee & Hammer, 2010). Peningkatan resistensi perifer yang kronis juga dapat disebabkan oleh rangsangan saraf simpatis dan hormon pada arteriol
12
sehingga mengakibatkan vasokontriksi. Vasokonstriksi mengakibatkan peningkatan
kerja
jantung
untuk
memompa
lebih
kuat
sehingga
menghasilkan tekanan yang lebih besar. Peningkatan volume sekuncup dapat disebabkan oleh gangguan pengaturan garam dan air oleh ginjal atau peningkatan konsumsi garam. Selain itu, peningkatan abnormal kadar renin dan aldosteron atau penurunan aliran darah ke ginjal juga dapat mengganggu pengaturan garam dan air di ginjal (McPhee & Ganong, 2006; McPhee & Hammer, 2010). 2.1.3 Jenis Hipertensi Peningkatan risiko morbiditas dan mortalitas pasien hipertensi seiring dengan tingginya penyimpangan tekanan darah dari batas normal (Hinkle & Cheever, 2013). Berbagai faktor dianggap berperan dalam menyebabkan hipertensi, namun secara umum hipertensi dibedakan menjadi dua jenis, yaitu: a. Hipertensi primer (hipertensi esensial) Kira-kira 95% orang dewasa mengalami hipertensi primer yaitu hipertensi yang penyebabnya tidak diketahui (McPhee & Ganong, 2006). Hipertensi primer sering dihubungkan dengan faktor lingkungan yang meliputi tingginya intake garam, obesitas, dan gaya hidup yang menetap; faktor genetik, peningkatan aktivitas sistem renin-angiotensin-aldosteron (RAA) dan sistem saraf simpatik; serta penyebab lain yaitu semakin kakunya aorta akibat peningkatan usia (Weber, et al, 2014).
13
b. Hipertensi sekunder Hipertensi ini meliputi hanya 5% dari seluruh penderita hipertensi, dimana penyebab peningkatan tekanan darah dapat diidentifikasi dan biasanya diobati (Price &Wilson, 2012; Weber, et al, 2014). Hipertensi sekunder biasanya disebabkan oleh gagal ginjal kronik, stenosis arteri renalis, peningkatan sekresi aldosteron, peokromositoma, dan apnea ketika tidur (Weber, et al, 2014). 2.1.4 Klasifikasi Hipertensi Menurut Weber, et al (2014) dalam Clinical Practice Guidelines for The Management of Hypertension in The Community: A Statement by The American Society of Hypertension and The International Society of Hypertension, tekanan darah dapat diklasifikasikan berdasarkan besarnya penyimpangan dari nilai normal untuk usia 18 tahun keatas, dengan kriteria sebagai berikut:
Tabel 2.1. Klasifikasi Hipertensi Klasifikasi Normal Prehipertensi Hipertensi derajat 1 Hipertensi derajat 2 Sumber. Weber, et al, 2014
Sistolik (mmHg) <120 120-139 140-159 ≥160
Diastolik (mmHg) Dan <80 Atau 80-89 Atau 90-99 Atau ≥100
2.1.5 Faktor Risiko Hipertensi Faktor risiko adalah pengalaman, perilaku, atau karakteristik individu yang apabila pajanan terhadapnya meningkat, dapat mempermudah terbentuknya suatu penyakit, atau gangguan (Kabo, 2008).
14
a. Faktor risiko yang dapat dimodifikasi Faktor risiko yang dapat dimodifikasi adalah faktor yang dapat diubah untuk menghindari terjadinya penyakit atau gangguan. Faktor risiko hipertensi yang dapat dimodifikasi adalah intake garam, berat badan, merokok, konsumsi alkohol, aktivitas fisik, dan stres psikososial (Mancia, et al, 2013; Weber, et al, 2014). 1) Intake garam Pada orang normal, konsumsi garam dalam satu hari tidak boleh melebihi enam gram (satu sendok teh) karena telah mengandung 2300 mg natrium. Garam sangat erat kaitannya dengan hipertensi karena tiga gram garam dapat menaikkan tekanan darah sistolik sebesar 5 mmHg dan tekanan darah diastolik sebesar 3 mmHg (Susanto, 2010). 2) Berat badan Tingginya komposisi lemak tubuh khususnya pada area abdominal erat kaitannya dengan hipertensi, sehingga penurunan berat badan efektif dalam menurunkan tekanan darah (Ross, Caballero, Cousins, Tucker, Ziegler, (2012). Terdapat 2 mekanisme utama yang mengakibatkan peningkatan tekanan darah akibat tingginya komposisi lemak tubuh yaitu terjadinya resistensi insulin dan adanya kelainan struktur dan fungsi vaskuler (Mohler & Townsend, 2006). 3) Merokok Nikotin yang terdapat dalam rokok merupakan substansi yang dapat menyebabkan koagulasi serta meningkatkan risiko arterosklerosis.
15
Disamping itu, nikotin bersifat toksik terhadap sistem saraf simpatis yang dapat meningkatkan tekanan darah, denyut jantung, dan peningkatan beban kerja jantung (Hinkle& Cheever, 2013). 4) Konsumsi alkohol Konsumsi alkohol yang regular tiap hari meningkatkan risiko hipertensi. Sampai saat ini mekanisme alkohol mempengaruhi tekanan darah masih belum jelas, namun sering dihubungkan dengan perubahan sistem saraf simpatik diantaranya dapat meningkatkan denyut nadi, kontraksi jantung dan vasokonstriksi serta dapat menurunkan sensitivitas baroreseptor (Porth, Hannon, & Pooler, 2009). 5) Aktivitas fisik Aktivitas fisik mempengaruhi tekanan darah dalam jangka waktu yang panjang. Selama latihan tekanan darah meningkat secara tajam akibat peningkatan resistensi pembuluh darah, namun kemudian menurun (Stensel & Hardman, 2009). Penurunan tekanan darah setelah aktivitas fisik tampak setelah 15 menit istirahat (Chrysant, 2010). Efek penurunan tekanan darah ini menetap selama 22 jam pascalatihan pada lansia. Penurunan tekanan darah pascalatihan ini dapat terjadi akibat penurunan akitivitas saraf simpatik dan peningkatan respon vasodilator seperti NO yang menginisiasi terjadinya penurunan resistensi perifer (Stensel & Hardman, 2009).
16
6) Stres psikologis Stres psikologis memiliki pengaruh terhadap tekanan darah pada rentang usia 18-64 tahun. Individu dengan peningkatan tekanan darah selama stres dan pada periode adaptasi menunjukkan peningkatan risiko terjadinya hipertensi (Gasperin, Netuveli, Dias, Pattussi, 2009). b. Faktor yang tidak dapat dimodifikasi Faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi adalah karakteristik yang tidak dapat diubah dan dapat mempermudah terjadinya penyakit atau gangguan. Faktor risiko hipertensi yang tidak dapat dimodifikasi adalah faktor genetik, usia, dan jenis kelamin (Mancia, et al, 2013; Weber, et al, 2014). 1) Faktor genetik Faktor keturunan berkaitan dengan nilai tekanan darah dan respon terhadap penurunan intake natrium. Hal ini dibuktikan dengan adanya genotip yang teridentifikasi memengaruhi aksis RAA pada pengaturan garam di ginjal (Institute of Medicine, 2005). 2) Usia Tekanan
darah
sistolik
biasanya
meningkat
sejajar
dengan
pertambahan usia, sedangkan tekanan darah diastolik meningkat biasanya hanya sampai usia 50 tahun (Kabo, 2008). Hal ini berhubungan dengan perubahan fisiologis yang terjadi pada masa lansia, meliputi penebalan dan kekakuan katup jantung, penurunan kemampuan memompa darah, penurunan elastisitas pembuluh darah,
17
serta peningkatan resistensi pembuluh darah perifer (Maryam, Ekasari, Rosidawati, Jubaedi, Batubara, 2008). 3) Jenis kelamin Perbedaan tekanan darah berdasarkan jenis kelamin dimulai pada masa remaja hingga lansia. Pada pria yang berusia kurang dari 60 tahun, rata-rata tekanan darah sistolik lebih tinggi 6-7 mmHg dan tekanan darah diastolik lebih tinggi 3-5 mmHg daripada wanita dengan usia yang sama. Namun setelah usia 60 tahun, tekanan darah meningkat pada wanita sehingga hipertensi lebih sering terjadi pada wanita daripada pria. Hormon ovarium diperkirakan sangat berpengaruh terhadap penurunan tekanan darah wanita premenopausal (Benhagen, 2005). 2.1.6 Manifestasi Klinis Hipertensi Hipertensi sendiri tidak menampakkan gejala, namun beberapa tanda seperti sakit kepala, keletihan, dan pening sering dianggap berhubungan dengan hipertensi. Temuan fisik awal juga tidak tampak pada pasien hipertensi, dan perubahan yang tampak biasanya ditemukan pada kasus lanjut (McPhee & Hammer, 2010). Sedangkan manifestasi klinis hipertensi kronis menurut Corwin (2009), meliputi sakit kepala saat terjaga, kadang-kadang diserta mual dan muntah, akibat peningkatan tekanan darah intrakranium, penglihatan kabur, cara berjalan yang kurang mantap akibat kerusakan sistem saraf pusat, nokturia
18
akibat peningkatan aliran darah ginjal serta laju filtrasi glomerulus, dan edema dependen dan pembengkakan akibat peningkatan tekanan kapiler. 2.1.7 Penatalaksanaan Hipertensi Menurut Mancia, et al, (2013), penatalaksanaan hipertensi dilakukan secara berkesinambungan antara terapi nonfarmakologi dan terapi farmakologi. Terapi nonfarmakologi dimulai ketika terjadi kondisi prehipertensi, sedangkan pemberian terapi farmakologi dimulai ketika terjadi hipertensi derajat 2 atau pada hipertensi derajat 1 yang tidak berespon terhadap terapi nonfarmakologi. a. Terapi nonfarmakologi 1) Penurunan berat badan Pada pasien dengan berat badan berlebih atau obesitas, penurunan berat badan sangat membantu untuk mengatasi hipertensi, diabetes, dan gangguan lemak (Mancia, et al, 2013; Weber, et al, 2014). Penurunan berat badan yang disarankan adalah mencapai IMT pada rentang ideal (18,5-24,9 kg/m2) (Mancia et al, 2013; Rilantono, 2013). 2) Pengurangan garam Mekanisme yang berhubungan antara intake garam dan peningkatan tekanan
darah
meliputi
peningkatan
volume
intraseluler
dan
meningkatkan resistensi perifer akibat aktivasi saraf simpatik (Mancia, et al, 2013). Pengurangan intake garam direkomendasikan sampai 5 gram/hari yang dapat menurunkan tekanan darah sistolik sebesar 4-5 mmHg pada pasien hipertensi (Mancia et al, 2013; Weber, et al, 2014).
19
3) Olahraga Olahraga penting dalam penatalaksanaan hipertensi karena tubuh dapat meningkatkan respon tubuh terhadap kebutuhan oksigen dan energi yang meningkat pada sistem tubuh. Penurunan tekanan darah yang bermakna terlihat setelah dua minggu latihan dan akan menetap selama individu meneruskan kebiasaan latihannya (Choudhury & Lip, 2005). 4) Pembatasan konsumsi alkohol Konsumsi 2 gelas alkohol dalam satu hari membantu dalam perlindungan terhadap kanker, namun jumlah konsumsi alkohol yang lebih banyak dapat meningkatkan tekanan darah dan harus diantisipasi. Pada wanita, alkohol harus dibatasi yaitu satu gelas tiap hari (Weber, et al, 2014). Total konsumsi alkohol tidak lebih dari 140 gram per minggu pada laki-laki dan 80 gram per minggu pada perempuan (Mancia et al, 2013). 5) Berhenti merokok Merokok menyebabkan peningkatan tekanan darah dan nadi akut, dan menetap selama lebih dari 15 menit setelah mengonsumsi satu rokok, hal ini terjadi akibat adanya stimulasi saraf simpatis pada tingkat sentral dan ujung saraf (Mancia, et al, 2013). Sangat direkomendasikan untuk menghentikan kebiasaan merokok pada semua perokok dan hal ini memerlukan bantuan (Mancia et al, 2013; Weber, et al, 2014).
20
b. Terapi farmakologis Terapi dengan obat harus dimulai pada pasien dengan tekanan darah lebih dari 140/90 mmHg apabila modifikasi gaya hidup tidak efektif menurunkan tekanan darah (Rilantono, 2013; Mancia, et al, 2013). Pada pasien dengan hipertensi derajat 2, terapi obat harus dimulai sesegera mungkin setelah diagnosis, biasanya dengan kombinasi 2 obat, tanpa menunggu efek modifikasi gaya hidup (Mancia, et al, 2013). Untuk pasien yang berusia lebih dari 80 tahun, batas yang disarankan untuk memulai terapi obat adalah pada tekanan darah ≥ 150/90 mmHg, dan target pengobatan mencapai tekanan darah <140/90 mmHg (Mancia, et al, 2013; Weber, et al, 2014). Pasien ini biasanya menerima lebih dari satu obat untuk mencapai target kontrol tekanan darah (Weber, et al, 2014). Obat yang biasanya digunakan untuk pengobatan hipertensi, diantaranya: 1) Penghambat enzim angiotensin-converting (ACE Inhibitor) Obat ini menurunkan tekanan darah dengan menghambat sistem reninangiotensin dengan cara menghambat sintesis atau menghambat kerja angiotensia II, dan kemudian mencegah efek vasokonstriksi (Mancia, et al, 2013; Rilantono, 2013; Weber, et al, 2014). Kemudian mekanisme lain yang terjadi adalah adanya peningkatan kemampuan vasodilator bradikinin. Efek samping umum obat ini adalah batuk (Weber, et al, 2014).
21
2) Diuretika Obat ini bekerja dengan cara meningkatkan ekskresi natrium dengan menghambat pompa Na+/K+ di tubulus distal ginjal dan juga dapat menimbulkan efek vasodilatasi, dengan efek samping umum adalah gangguan metabolik (Weber, et al, 2014; Rilantono, 2013). 3) Penghambat kanal kalsium (Ca antagonis) Obat ini menurunkan tekanan darah dengan menghalangi aliran masuk ion kalsium melalui kanal L pada sel otot halus arteri (Weber, et al, 2014; Mancia, et al, 2013; Rilantono, 2013). Efek samping umum obat ini adalah edema perifer di tungkai, biasanya berhubungan dengan pemberian obat ini dengan dosis tinggi (Weber et al, 2014; Rilantono, 2013). 4) ß-bloker ß-bloker menurunkan cardiac output dan juga menurunkan pelepasan renin dari ginjal dengan cara menghambat secara kompetitif pengikatan katekolamin ke reseptor adregenik (Weber, et al, 2014; Rilantono, 2013). Efek samping obat ini yaitu mengganggu metabolisme glukosa sehingga tidak disarankan pada pasien dengan risiko diabetes (Weber, et al, 2014; Mancia, et al, 2013). 5) α-bloker Obat ini menurunkan tekanan darah dengan memblok reseptor αadregenik dengan berperan sebagai neurotransmiter palsu yang menurunkan aliran saraf simpatis sehingga dapat menurunkan tonus
22
simpatis dan kemudian mencegah vasokonstriksi (Weber, et al, 2014; Rilantono, 2013). Obat ini biasanya dikombinasikan dengan diuretik untuk mendapat efek yang maksimal (Weber, et al, 2014). Efek samping penggunaan obat ini adalah mulut kering, hipotensi ortostatik, dan sedasi, serta adanya efek withdrawl (Rilantono, 2013). 6) Centrally acting agents Obat golongan ini yang banyak digunakan adalah clonidine dan metildopa, yang bekerja secara langsung menurunkan aliran simpatik dari sistem saraf pusat. Namun mengantuk dan mulut kering menjadi efek samping terapi obat ini (Weber, et al, 2014; Mancia, et al, 2013). 7) Vasodilator Obat ini bekerja dengan cara meningkatkan cAMP intraseluler yang mengakibatkan vasodilatasi langsung pada arteriol (Rilantono, 2013). Karena agen ini sering menyebabkan retensi cairan dan takikardia, obat ini lebih efektif dalam menurunkan tekanan darah ketika dikombinasikan dengan diuretik dan ß-bloker atau agen simpatik (Weber, et al, 2014). 8) Antagosnis reseptor mineralokortikoid Obat yang paling terkenal dari golongan ini adalah spironolakton. Obat golongan ini merupakan jenis baru dan dapat ditoleransi dengan lebih baik. Efek samping obat ini adalah ginekomastia dan gangguan seksual (Weber, et al, 2014).
23
2.2
Latihan Isometrik
2.2.1 Pengertian Latihan Isometrik Latihan isometrik adalah bentuk latihan statis yang mengkontraksikan otot dan menghasilkan tahanan tanpa perubahan panjang otot dan tanpa gerakan sendi (Kisner & Colby, 2007; Millar, McGowan, Cornelissen, Araujo & Swaine, 2013). Tekanan dan tahanan dihasilkan otot tanpa tegangan mekanis (tahanan x jarak). Sumber resistensi pada latihan isometrik meliputi menggenggam dan melawan tahanan secara manual, menggenggam beban pada posisi khusus, mengatur posisi melawan berat tubuh, atau menarik dan mendorong objek yang tak dapat bergerak (Kisner & Colby, 2007). 2.2.2 Tujuan Latihan Isometrik Latihan isometrik merupakan bagian penting dalam desain program rehabilitasi untuk meningkatkan kemampuan fungsional. Menurut Funnell, Koutoukidis dan Lawrence (2009) serta Kisner dan Colby (2007), tujuan melakukan latihan isometrik adalah: a. Untuk mencegah dan meminimalisir atropi otot ketika pergerakan sendi tidak memungkinkan akibat imobilisasi eksternal (gips, bidai, traksi skeletal) b. Untuk mengaktifkan otot untuk memulai mengembalikan kontrol neuromuskuler dengan tetap menjaga jaringan yang mengalami penyembuhan ketika pergerakan sendi tidak diperbolehkan setelah cedera jaringan lunak atau operasi. c. Untuk meningkatkan stabilitas postural dan sendi
24
d. Untuk meningkatkan kekuatan otot ketika penggunaan latihan tahanan dinamik dapat mengganggu integritas sendi atau menyebabkan nyeri sendi. e. Untuk mengembangkan kekuatan otot statis khususnya pada titik ROM sesuai dengan kebutuhan tertentu yang diinginkan. 2.2.3 Keuntungan dan Kerugian Latihan Isometrik Latihan isometrik oleh pasien dengan posisi statik memiliki beberapa keuntungan, diantaranya memiliki risiko injuri lebih kecil dibandingkan latihan lain, memerlukan waktu yang minimal sehingga mengefisiensi waktu, dapat dilakukan dimana saja asalkan ruang gerak cukup, alat yang digunakan sedikit atau tidak ada, serta membantu pasien/klien untuk meningkatkan rentang kontraksi statis (Fair, 2011; Pearl, 2005). Kerugian yang mungkin dari latihan isometrik adalah bahwa otot yang terbentuk hanya pada sudut yang dilatih pasien/klien (Fair, 2011). 2.2.4 Prinsip Latihan Isometrik a. Intensitas latihan Jumlah tekanan yang dapat dihasilkan selama kontraksi otot isometrik dibedakan oleh bagian pada posisi sendi dan panjang otot pada waktu kontraksi. Untuk meningkatkan kekuatan otot, intensitas latihan dengan 60%-80% maximum voluntary contraction (MVC) dianggap kurang. Namun resistensi harus ditingkatkan secara progresif untuk melanjutkan pemberian beban yang tinggi pada otot hingga menjadi lebih kuat (Kisner & Colby, 2007; Devereux, Wiles & Swaine, 2010).
25
Sedangkan untuk menurunkan tekanan darah pasien hipertensi, intensitas latihan yang tepat untuk menurunkan tekanan darah belum diteliti (Badrov, Bartol, DiBartolomeo, Millar, McNevin & McGowan, 2013). Namun, dalam beberapa penelitian, para peneliti memberikan latihan dengan intensitas 30% MVC (Owen, Wiles & Swaine, (2010). Variasi intensitas kontraksi yang digunakan pada beberapa penelitian dalam yang dikaji dengan meta-analisis oleh Millar, McGowan, Corneilissen, Araujo dan Swaine,
(2013) adalah antara 10%-50% MVC dengan hasil
menurunkan tekanan darah sistolik sebesar 4-15 mmHg, tekanan darah diastolik sebesar 3-9 mmHg, serta menurunkan MAP sebesar 3-4 mmHg. b. Durasi aktivasi otot Untuk mendapatkan perubahan adaptif pada performa otot statis, kontraksi
otot
harus
diimbangi
dengan
waktu
jeda.
Hal
ini
memungkinkan adanya istirahat agar tidak terjadi kelelahan otot. Waktu ini juga memberikan kesempatan untuk terjadinya perubahan metabolik di otot setelah tekanan puncak (Davies, 2013; Kisner & Colby, 2007). Menurut McGowan, et al (2007) dan Millar, McGowan, Corneilissen, Araujo dan Swaine, (2013) durasi kontraksi otot untuk pasien hipertensi adalah 45 detik sampai dua menit. Periode istirahat untuk tiap kontraksi adalah satu sampai empat menit yang memungkinkan terjadinya peningkatan aliran darah ke otot (Badrov, Bartol, DiBartolomeo, Millar, McNevin & McGowan, 2013; Millar, McGowan, Corneilissen, Araujo & Swaine, 2013). Dalam satu sesi latihan biasanya terdiri atas 4 kali
26
pengulangan kontraksi yang masing-masing diselingi dengan waktu istirahat. Pasien hipertensi disarankan melakukan tiga sampai lima sesi dalam satu minggu (Millar, McGowan, Corneilissen, Araujo & Swaine, 2013; Owen, Willes & Swaine, 2010). 2.2.5 Kontraindikasi Latihan Isometrik Latihan isometrik dengan intensitas tinggi dikontraindikasikan pada pasien dengan riwayat gangguan jantung dan pembuluh darah yang berat (Kisner & Colby, 2007). Apabila latihan isometrik intensitas tinggi diberikan, dikhawatirkan dapat mengakibatkan adanya gangguan pembuluh darah dan jantung yang lebih serius. (McGowan, et al, 2007; Millar, et al, 2013; Owen, Willes & Swaine, 2010). 2.2.6 Latihan Isometrik Menggenggam (Handgrip)
Gambar 2.1. Latihan Isometrik Handgrip (Sumber: Cirrus Media, 2013)
Handgrip merupakan pegangan ketika besarnya kekuatan otot digunakan pada objek yang digenggam. Kekuatan genggaman dinilai dengan skala MVC yang dinilai menggunakan dinamometer handgrip (Karwowski, 2006). Latihan handgrip memiliki keuntungan diantaranya meningkatkan
27
kekuatan tangan, meningkatkan muskularitas lengan bawah, dan memacu ketahanan tangan. Latihan handgrip sangat baik untuk meningkatkan kekuatan pergelangan tangan, tangan dan melatih keseragaman otot. Menggenggam dilakukan dengan membuka dan menutup jari dan pergelangan tangan yang juga melibatkan otot fleksor dan ekstensor lengan bawah (Musa, 2013).
2.3
Pengaruh Latihan Isometrik terhadap Tekanan Darah Meskipun
mekanisme
yang
mendasari
penurunan
tekanan
darah
pascalatihan isometrik masih belum jelas, penurunan tekanan darah ini dapat disebabkan oleh adanya adaptasi sistem pembuluh darah yang menurunkan resistensi perifer total yang dapat mempengaruhi cardiac output. Selain itu, adanya mekanisme neural mengakibatkan adaptasi yang mempengaruhi aliran darah (McGowan, Levy, McCartney & McDonald, 2007). Penelitian terkini menunjukkan adanya efek hipotensi yang signifikan pada tekanan darah sistolik lima menit setelah menyelesaikan satu set kontraksi bilateral handgrip. Hasil ini penting untuk meningkatkan adaptasi tekanan darah jangka panjang (Millar, MacDonald, Bray & McCartney, 2009). Latihan isometrik handgrip juga menurunkan reaktivitas kardiovaskuler terhadap stresor psikofisiologis pada orang dengan tekanan darah tinggi (Badrov, Horton, Millar & McGowan, 2013). Mekanisme lain yang dapat terjadi adalah perubahan pada sistem saraf yaitu menurunkan aktivitas sistem saraf simpatik (McGowan, Levy, McCartney & MacDonald, 2007).
28
Pada penelitian, 5 menit setelah satu kali kontraksi bilateral handgrip nadi meningkat yang dapat diinterpretasikan sebagai perubahan keseimbangan neurokardiak yaitu peningkatan respon vagal dan/atau penurunan modulasi simpatik (Millar, McDonald, Bray & McCartney, 2009). Terdapat efek yang menguntungkan dari kontraksi handgrip bilateral akut pada reaktivasi vagal setelah latihan. Terjadinya perbaikan pada modulasi otonom
kardiak
meningkatkan
meningkatkan
kontrol
aktivasi
neurokardiak
dan
vagal.
Isometrik
menyeimbangkan
handgrip sistem
simpatovagal (Millar, MacDonald, Bray & McCartney, 2009). Peningkatan respon vagal memperlambat kontraksi jantung dan menurunkan fungsi sirkulasi, sedangkan penurunan modulasi saraf simpatik mengakibatkan penurunan kerja jantung dan pembuluh darah (Muttaqin, 2009). Latihan isometrik mengakibatkan penekanan otot pada pembuluh darah sehingga menghasilkan stimulus iskemik dan menstimulasi mekanisme shear stress (Guyton & Hall, 2006). Stimulus iskemik menginduksi peningkatan aliran arteri brakialis untuk menurunkan efek langsung iskemia pada pembuluh darah tersebut. Ketika tekanan dilepaskan, aliran darah pembuluh darah lengan bawah membesar dikarenakan dilatasi pembuluh darah distal yang menginduksi stimulus shear stress pada arteri brakialis (McGowan, et al, 2007). Mekanisme shear stress menimbulkan pelepasan turunan NO-endotelium, vasodilator potensial (McGowan, et al, 2007). Penemuan terbaru
29
menemukan bahwa terjadi peningkatan kapasitas istirahat pada sistem produksi, pelepasan dan/atau penggunaan NO-dilator memiliki kontribusi pada penurunan tekanan darah sistolik setelah latihan. Selain itu stimulus hiperemia reaktif berkontribusi dalam pelepasan substansi vasodilator lain termasuk prostasiklin dan metabolit iskemik (McGowan, Levy, McCartney & MacDonald, 2007). Respon reaktivitas puncak aliran darah dari keadaan dasar menghasilkan peningkatan akumulasi metabolit (misalnya asam laktat) yang berespon dalam
melawan
iskemia.
Latihan
kronik
akan
menyeimbangkan
metabolisme aerob dan anaerob yang mendorong pengurangan produksi metabolit dalam berespon terhadap stimulus iskemik yang sama (McGowan, Levy, McCartney & MacDonald, 2007). Hal ini menghasilkan penurunan kebutuhan aliran darah ke jaringan lengan bawah (Guyton & Hall, 2006; McGowan, et al, 2007). Selain itu, dalam latihan, kekuatan tekanan akibat sumbatan pada pembuluh darah, meningkatkan perfusi dan pasokan oksigen selama oklusi pembuluh darah sehingga menurunkan stimulus aliran (Guyton & Hall, 2006; McGowan, Levy, McCartney & MacDonald, 2007). Jadi, penurunan puncak reaktivitas aliran darah hiperemia dapat mempengaruhi perubahan fungsi otot polos pembuluh darah dan mendasari perubahan struktur pembuluh darah sehingga menyebabkan penurunan resistensi perifer (McGowan, Levy, McCartney & MacDonald, 2007).