3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Papan partikel Papan partikel adalah papan yang dibuat dari partikel kayu atau bahan berlignoselulosa lainnya yang diikat dengan perekat organik ataupun sintesis kemudian dikempa panas (Iskandar 2006). Papan partikel merupakan salah satu jenis panil yang memiliki beberapa kelebihan dibandingkan dengan panil lainnya dan bahan bakunya dapat berasal dari berbagai macam bahan berlignoselulosa seperti kayu, jerami, sekam padi, dan yang lainnya. Menurut Maloney (1993) klasifikasi papan partikel dibagi menjadi tiga diantaranya : Low density particleboard : papan partikel yang memiliki kerapatan kurang dari 37 lbs/ft3 (berat jenis < 0,59 g/cm3) Medium density particleboard : papan partikel yang memiliki kerapatan dengan kisaran 37 – 50 lbs/ft3 (berat jenis antara 0,59 g/cm3 – 0,80 g/cm3) High density particleboard : papan partikel yang memiliki kerapatan lebih dari 50 lbs/ft3 (berat jenis > 0,80 g/cm3) Papan partikel mempunyai kelemahan stabilitas dimensi yang rendah. Pengembangan tebal papan partikel sekitar 10-25% dari kondisi kering ke basah melebihi pengembangan kayu utuhnya serta pengembangan liniernya sampai 0,35%. Pengembangan panjang dan tebal pada papan partikel ini sangat besar pengaruhnya terhadap pemakaian terutama jika digunakan sebagai bahan bangunan (Bowyer et al. 2003). Faktor yang mempengaruhi kualitas papan partikel adalah sebagai berikut (Sutigno dalam Prasetyo 2006) : 1. Berat jenis kayu Berat jenis papan partikel dibandingkan dengan berat jenis kayu harus lebih dari satu, biasanya sekitar 1,3 agar kualitas dari papan partikel tersebut baik. Hal ini dikarenakan pada kondisi tersebut, proses pengempaan berjalan dengan optimal sehingga kontak antar partikel baik.
4
2. Jenis partikel Antara jenis partikel yang satu dengan yang lainnya, antara kayu dan bukan kayu akan menghasilkan kualitas papan partikel yang berbeda-beda. 3. Zat ekstraktif Kandungan zat ekstraktif yang tinggi akan menghambat pengerasan zat perekat. Sehingga akan muncul pecah-pecah pada papan yang dipicu oleh tekanan ekstraktif yang mudah menguap pada proses pengempaan dan zat ekstraktif yang seperti itu akan mengganggu proses perekatan. 4. Campuran jenis partikel Papan partikel yang dibuat dari satu jenis bahan baku akan memiliki kualitas struktural lebih baik dibandingkan dengan campuran jenis partikel. 5. Ukuran partikel Papan partikel yang terbuat dari tatal akan lebih baik dari pada yang dibuat dari serbuk karena ukuran tatal lebih besar dari serbuk. Oleh karena itu, semakin besar ukuran partikel maka akan semakin baik kualitas struktural yang dimilikinya. 6. Kulit kayu Kulit kayu akan mempengaruhi sifat papan partikel karena kulit kayu banyak mengandung zat ekstraktif sehingga akan mengganggu proses perekatan antar partikel. Banyaknya kulit kayu maksimal 10%. 7. Perekat Penggunaan perekat eksterior akan menghasilkan papan partikel eksterior sedangkan pemakaian perekat interior akan menghasilkan papan partikel interior. Namun, dapat terjadi penyimpangan, misalnya karena ada perbedaan dalam komposisi perekat dan terdapat banyak sifat papan partikel. Sebagai contoh, penggunaan perekat urea formaldehid dengan kadar formaldehidanya yang tinggi akan menghasilkan papan partikel yang memiliki keteguhan lentur dan keteguhan rekat internal yang baik akan tetapi emisi formaldehidanya sangat tinggi. 8. Pengolahan Dalam pembuatan papan partikel, kadar air hamparan (campuran partikel dengan perekat) maksimum 10-14%. Jika terlalu tinggi, keteguhan lentur dan keteguhan rekat internal papan partikel tersebut akan menurun. Selain itu, tekanan
5
kempa dan suhu optimum yang digunakan juga dapat berpengaruh terhadap kualitas papan partikel.
2.2 Keawetan Kayu Keawetan kayu adalah daya tahan jenis kayu terhadap faktor-faktor perusak yang datang dari luar kayu itu sendiri secara alami kayu memiliki sifat keawetan tersendiri dan berbeda untuk setiap jenis kayu. Keawetan kayu biasanya ditentukan oleh adanya zat ekstraktif yang terkandung di dalam kayu tersebut (Anonim 2011) Keawetan kayu merupakan daya tahan suatu jenis kayu terhadap berbagai faktor perusak kayu seperti faktor biologis yaitu jamur, serangga, dan cacing laut. Keawetan kayu ditentukan oleh genetik kayu tersebut seperti berat jenis, kandungan zat ekstraktif, dan umur pohon (Weiss 1961 dalam Simamora 2010). Di Indonesia penggolongan keawetan kayu dibagi menjadi lima kelas awet yaitu kelas I (yang paling awet) sampai dengan kelas V (yang paling tidak awet). Penggolongan keawetan kayu didasarkan pada umur pakai kayu dalam kondisi penggunaan yang selalu berhubungan dengan tanah lembab dimana terdapat koloni rayap (Anonim 2011). Pembagian kelas awet kayu menurut LPHH (lembaga penelitian hasil hutan) : Kelas awet I : jika kayu dipakai dalam lahan basah dan dapat bertahan selama minimal selama 8 tahun, terbuka terhadap angin dan iklim tetapi tetap dilindungi terhadap permukaan air dan kelemasan tahannya paling sedikit 20 tahun, dan kayu tersebut jarang dimakan rayap Kelas awet II : selalu berhubungan dengan lahan lembab dan dapat bertahan minimal 3 tahun, terbuka terhadap angin dan iklim tetapi terlindungi dari pemasukan air dan kelemasan minimal 15 tahun. Kelas awet III : selalu berhubungan dengan lahan lembab dan dapat bertahan minimal 3 tahun, terbuka terhadap angin dan iklim tetapi terlindungi dari pemasukan air dan kelemasan minimal 10 tahun. Kelas awet IV : selalu berhubungan dengan lahan lembab, tetapi kayu lekas lapuk oleh angin dan iklim, tetapi terlindungi dari pemasukan air, kelemasan hanya bertahan beberapa tahun saja.
6
Kelas awet V : kumpulan kayu yang lekas rapuh dan lapuk karena serangan bubuk kayu maupun rayap. Menurut Martawijaya (1981), keawetan alami kayu adalah suatu ketahanan kayu secara alamiah terhadap serangan jamur dan serangga dalam lingkungan yang sesuai bagi organisme yang bersangkutan, selanjutnya Martawijaya (1981) menggolongkan keawetan kayu dalam lima kelas awet, seperti yang tersaji dalam Tabel 1.
Tabel 1 Penggolongan kelas awet kayu Kelas I II III IV V Sumber: (SNI 01. 7207-2006 )
Ketahanan Sangat Tahan Tahan Sedang Buruk Sangat Buruk
Penurunan Berat (%) < 3,52 3,52 – 7,50 7,50 – 10,96 10,96 – 18,94 18,94 – 31,89
2.3 Kayu Kempas (Koompassia malaccensis Maing.) Kayu
Kempas
merupakan
jenis
kayu
perdagangan
dari
famili
caesalpiniaceae yang biasa ditemukan di daerah Sumatera dan Kalimantan, menurut Anonim (2011) karena kekerasannya yang sangat tinggi sedang keawetannya rendah, kayu Kempas jarang dipergunakan sebagai bahan bangunan. Penduduk banyak memakainya untuk rumah (balok) alat serut, tetapi jarang untuk mebel, jenis kayu ini menghasilkan arang yang sangat baik. Berat jenis kayu Kempas sekitar 0,95 (0,68-1,29) dan kayu Kempas dimasukkan ke dalam kelas awet III dengan kelas kuat I-II (Martawijaya et al. 1989). Sifat kayu Kempas yang kekerasannya tinggi dan strukturnya berpadu, menyebabkan kayu Kempas sulit dikerjakan. Jenis kayu ini lebih mudah dikerjakan dengan gergaji pita daripada dengan gergaji bundar. Kayunya sukar dibubut, tetapi dapat diserut dengan mesin, jika diamplas dapat menghasilkan permukaan yang halus. Kayu Kempas dapat menimbulkan karat pada logam karena kayu Kempas bersifat agak asam (Martawijaya et al. 1989; Pandit 2002), berikut adalah komposisi kimia dalam kayu Kempas, yang tersaji dalam Tabel 2.
7
Tabel 2 Komposisi kimia kayu Kempas Komponen Selulosa Lignin Pentosan Abu Silika Sumber: (Martawijaya et al. 1989)
Kadar 47,2% 29,2% 17,3% 0,7% 0,1%
Kayu Kempas (Gambar 1) dengan kayu banir yang lebih padat, lebih berat dan lebih awet dari kayu batang banyak dipergunakan sebagai daun meja. Kayu Kempas cocok untuk lantai, terutama pada tempat yang terdapat asam atau bahan kimia seperti dalam laboratorium. Setelah diawetkan kayu Kempas cocok untuk bantalan rel kereta api, balok dan lantai gerbong, konstruksi berat, dan bangunan pelabuhan. Jenis kayu ini dapat juga dipakai untuk palet, panil, dan kayu lapis (Martawijaya et al. 1989; Pandit 2002).
Gambar 1 Pohon Kempas
Kayu Kempas dapat dibor, dibuat lubang persegi dan diampelas, dengan hasil yang sangat baik serta baik pula untuk dibentuk. Tetapi adanya proses pembubutan akan memberikan hasil yang buruk. Kayu Kempas sebaiknya dibor terlebih dahulu sebelum dipaku supaya tidak mudah pecah (Martawijaya et al. 1989).
8
2.4 Kayu Tusam (Pinus merkusii Jungh. et de Vr.) Tusam merupakan jenis kayu perdagangan yang tergolong dalam famili Pinaceae yang tersebar di Indo-Cina, Thailand timur, Filipina, Burma selatan, Cina selatan dan Sumatera. Tusam banyak ditemukan di Sumatera utara dan satusatunya yang mengalami penyebaran alami. Tusam memiliki tekstur kayu yang kasar dan berserat lurus namun tidak beraturan. Kayu Tusam tergolong dalam kelas awet IV dan kelas kuat III (Soerianegara 1994; Pandit 2002). Pohon Tusam dapat menghasilkan berbagai macam produk, seperti terpentin dan gondorukem yang berbahan baku dari getah Tusam, dapat juga dijadikan bahan baku kayu korek api, karena kandungan oleoresin yang tinggi pada kayu Tusam, berikut komposisi kimia kayu Tusam yang tersaji dalam Tabel 3.
Tabel 3 Komposisi kimia kayu Tusam Komponen Selulosa Lignin Pentosan Abu Silika Sumber: (Martawijaya et al. 1989)
Kadar 54,9% 24,3% 14,0% 1,1% 0,2%
Tusam (Gambar 2) sering dijadikan sebagai bahan baku kertas karena tergolong pohon berserat panjang sehingga menghasilkan kualitas kertas yang baik. Kayu Tusam direkomendasikan untuk bahan baku pembuatan blockboard namun diperlukan perlakuan pendahuluan karena kandungan getah dan oleoresin yang tinggi. Kayu Tusam cocok dijadikan sebagai bahan baku konstruksi, sambungan kerangka jendela, peti, pensil dan meubel (Soerianegara 1994; Pandit 2002).
9
Gambar 2 Pohon Tusam
2.5 Kayu Karet ( Hevea brasiliensis Muell. Arg.) Kayu Karet dalam bahasa latin disebut (Hevea brasiliensis Muell. Arg.), termasuk Genus Hevea-Famili Euphorbiaceae dan sering juga disebut para atau balam perak serta memiliki berbagai nama internasional seperti hevea, rubbertree (Inggris); hevea (Perancis); hevea, rubberboom (Belanda); hevea, seringueira (Spanyol), gambar tegakan Karet dapat dilihat dalam Gambar 3. Di Indonesia jenis ini banyak ditanam di pulau Sumatera, Jawa dan Kalimantan sebagai tanaman perkebunan besar dan perkebunan rakyat untuk tujuan produksi getah (Boerhendy dan Agustina 2006 dalam Simamora 2010).
Gambar 3 Pohon Karet
Ciri umum dari kayu Karet adalah kayu terasnya berwarna putih kekuningkuningan pucat, kadang agak merah jambu jika segar, lambat laun menjadi kuning jerami atau coklat pucat, dan batasnya dengan kayu gubal tidak tegas (sulit
10
dibedakan), selanjutnya dalam Tabel 4 disajikan komposisi kimia dalam kayu Karet.
Tabel 4 Komposisi kimia kayu Karet Komponen Selulosa Pentosan Lignin Abu Sumber: (Martawijaya et al. 1989)
Kadar (%) 60,0-68,0 19,0-22,0 19,0-24,0 0,65-1,30
Kelemahan dari kayu ini adalah mudah pecah bila dipaku, mudah bengkok dan pecah bila dikeringkan, serta peka terhadap serangan organisme perusak kayu terutama jamur pewarna (bluestain) (Martawijaya 1972). Kayu Karet umumnya digunakan sebagai bahan baku perabot rumah tangga, panel dinding, bingkai gambar/lukisan, lantai parket, peti kemas, finir, kayu lamina, dan inti papan blok (Pandit dan Kurniawan 2008). Tekstur kayu Karet agak kasar tetapi rata, arah seratnya lurus sampai agak berpadu. Berat jenis kayu ini tergolong menengah yaitu 0,61 (0,55-0,70) dengan kelas awet V (Mandang dan Pandit 1997).
2.6 Rayap tanah (Coptotermes curvignathus holmgren.) Rayap adalah serangga sosial yang hidup dalam suatu komunitas yang disebut koloni. Mereka tidak memiliki kemampuan untuk hidup lebih lama bila tidak berada dalam koloninya (Nandika et al. 2003). Rayap dikelompokkan ke dalam tujuh famili yaitu Mastotermitidae, Kalotermitidae, Termopsidae, Hodoteritidae, Rhinotermitidae, Serritermitidae dan Termitidae. Enam keluarga pertama digolongkan sebagai rayap tingkat rendah dan keluarga Termitidae sebagai rayap tingkat tinggi. Di dalam usus belakang rayap tingkat rendah terdapat protozoa yang berperan sebagai simbion dalam proses mencerna selulosa. Sedangkan pada rayap tingkat tinggi peranan protozoa digantikan oleh bakteri (Nandika et al. 2003). Menurut Nandika et al. (2003) Secara umum kasta dalam rayap terbagi menjadi tiga, diantaranya adalah kasta prajurit memiliki ciri-ciri kepalanya besar yang mengalami penebalan yang nyata, kasta ini berperan sebagai pelindung bagi
11
koloni dari berbagai gangguan dari luar, mekanisme pertahanan yang dilakukan kasta ini adalah dengan cara menusuk, mengiris, dan menjepit menggunakan mandibel, Gambar 4 adalah gambar rayap tanah kasta prajurit.
Gambar 4 Rayap Coptotermes curvignathus kasta prajurit perbesaran 100x (Sumber: Nandika et al. 2003)
Kasta pekerja (Gambar 5) memiliki ciri-ciri tubuhnya berwarna pucat dan penebalan yang terjadi pada kutikula cenderung sedikit, merupakan rayap yang mempunyai peranan penting dalam koloni, tercermin dengan jumlahnya dalam koloni yang mencapai 80-90%, tugas rayap ini sangat banyak, seperti memberi makan dan memelihara ratu, mencari sumber makanan, menumbuhkan jamur dan memeliharanya, membuat serambi sarang, dan tunnel-tunnel, merancangnya sekaligus merawatnya apabila terjadi kerusakan, sehingga kasta rayap inilah yang sering kali menimbulkan kerusakan-kerusakan yang kita lihat pada tanaman, meubel, dan bahan berlignoselulosa lainnya.
Gambar 5 Rayap Coptotermes curvignathus kasta pekerja perbesaran 100x (Sumber: Nandika et al. 2003)
Kasta reproduktif, terdiri atas betina dan jantan, ukuran jantan jauh lebih kecil dibanding ukuran betina, betina (ratu) bertugas bertelur dan jantan (raja)
12
bertugas membuahi betina, terbagi menjadi 2 jenis, yakni kasta reproduksi primer yang merupakan pendiri koloni, dan kasta reproduktif suplementer, yang biasa disebut neoten yang terbentuk setelah kasta reproduktif primer mati, pembentukan neoten dapat terjadi beberapa kali tergantung dari perkembangan koloni, yang nantinya akan berkembang menjadi kasta reproduksi primer dan membentuk koloni baru kembali. Menurut Tambunan dan Nandika (1989), di dalam hidupnya rayap mempunyai 4 sifat yang khas, yaitu: 1. Trophalaksis, yaitu sifat rayap untuk saling menjilat dan melakukan pertukaran makanan melalui anus dan mulut. 2. Cryptobiotic, yaitu sifat menyembunyikan diri, menjauhkan diri dari cahaya dan gangguan. Sifat ini tidak berlaku pada rayap yang bersayap. 3. Cannibalism, yaitu sifat rayap untuk memakan sesamanya yang telah lemah atau sakit. Sifat ini menonjol dalam keadaan kekurangan makanan. 4. Necrophagy, yaitu sifat rayap yang memakan bangkai sesamanya. Menurut Nandika et al. (2003) rayap hidup pada tipe tanah tertentu, secara umum lebih menyukai tanah yang menggandung liat, dan kurang menyukai tipe tanah yang berpasir, karena memiliki kandungan organik yang rendah, pada areal berpasir, rayap dapat meningkatkan infiltrasi air dan mampu mengembalikannya ke bagian atas tanah. Rayap tanah seperti jenis Coptotermes, Macrotermes, Odontotermes, dan lain lain memerlukan kelembaban yang tinggi agar mencapai tingkat reproduksi yang maksimum, kisaran kelembaban nya adalah 75-90%, sebaliknya rayap kayu kering Cryptotermes tidak terlalu memerlukan kadar air yang tinggi untuk mencapai tingkat reproduksi maksimumnya. Proses pembuatan tunnel dilakukan rayap dengan bantuan perekat berupa kotoran dan air liur mereka, pada rayap Coptotermes lebih banyak menggunakan kotoran mereka untuk membantu membangun sarang dibanding dengan air liurnya, proses pembangunan sarang seperti ini biasa disebut dengan istilah khusus yaitu “karton”. Rayap Coptotermes dikenal sebagai hama utama. Intensitas kerusakan yang ditimbulkan dapat mencapai ratusan hektar dimana didalamnya terdapat puluhan ribu pohon yang terserang rayap Coptotermes, dampak kerusakan yang
13
ditimbulkanya pun baru dapat dilihat setelah kerusakan sudah parah yakni dengan munculnya bagian kulit pohon yang sudah tertutupi dengan tanah. Di negara Malaysia rayap Coptotermes termasuk golongan hama primer, pohon yang diserang rayap Coptotermes curvignathus tidak menunjukkan gejala awal yang jelas kecuali saat pohon akan mati, yang ditunjukkan dengan perubahan warna pada daun, pada umumnya bagian pangkal batang pohon yang diserang rayap cenderung rapuh karena mengalami kerusakan yang parah sehingga dapat dengan mudah patah dengan tiupan angin (Nandika et al. 2003).