BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kajian Teori 1. Prestasi Belajar Matematika a. Prestasi Prestasi adalah hasil dari suatu kegiatan yang telah dikerjakan, diciptakan baik secara individu maupun secara kelompok. Sedangkan menurut Mas’ud Hasan Abdul Dahar dalam Syaiful Bahri Djamarah (1994: 21) bahwa prestasi adalah apa yang telah dapat diciptakan, hasil pekerjaan, hasil yang menyenangkan hati yang diperoleh dengan jalan keuletan kerja. Menurut Freedman dan Houtz (2004: 2), “achievement is a measure of the quality and or the quantity of the success one has in mastery of knowledge, skills, or understanding”. Artinya, prestasi merupakan suatu ukuran mutu kualitas atau kuantitas
keberhasilan
seseorang
dalam
menguasai
pengetahuan,
keterampilan, atau pemahaman. Dari uraian mengenai prestasi, maka dapat disimpulkan bahwa prestasi adalah hasil dari suatu kegiatan yang telah dikerjakan, diciptakan, yang menyenangkan hati, yang diperoleh dengan jalan keuletan kerja, baik secara individual maupun secara kelompok dalam bidang kegiatan tertentu berdasarkan ukuran mutu kualitas atau kuantitas keberhasilan seseorang dalam menguasai pengetahuan, keterampilan, atau pemahaman. b. Belajar Konsep tentang belajar telah banyak didefinisikan oleh para tokoh psikologi adalah teori belajar behaviorisme, humanistik, aliran kontemporer, dan teori belajar konstruktivisme. Menurut Purwoto (2003: 21) bahwa, ”belajar adalah proses yang berlangsung dari keadaan tidak tahu menjadi lebih tahu, dari tidak terampil menjadi terampil, dari belum cerdas menjadi cerdas, dari sikap belum baik menjadi baik, dari pasif menjadi aktif, dari tidak teliti menjadi lebih teliti dan seterusnya”.
12
13
Menurut Olivier dalam Haris Mudjiman (2006: 25) menyatakan bahwa menurut paradigma konstruktivisme, belajar adalah proses menginternalisasi, membentuk kembali, atau membentuk pengetahuan baru. Pembentukan pengetahuan baru ini dengan menggunakan pengetahuan yang telah dimiliki. Pengetahuan
dan
pengalaman
yang
lama
digunakan
untuk
menginterpretasikan informasi dan fakta baru dari luar, sehingga tercipta pengetahuan baru. Dari beberapa pendapat di atas, maka dapat disimpulkan bahwa belajar merupakan proses yang berlangsung dari keadaan tidak tahu menjadi lebih tahu, dari tidak terampil menjadi terampil, dari belum cerdas menjadi cerdas, dari sikap belum baik menjadi baik, dari pasif menjadi aktif, dari tidak teliti menjadi lebih teliti dan seterusnya dengan membentuk kembali pengetahuan yang telah dimiliki sebelumnya dengan pengalaman atau pengetahuan baru yang diperoleh. c. Prestasi Belajar Menurut Syaiful Bahri Djamarah (1994: 23) prestasi belajar adalah hasil yang diperoleh berupa kesan-kesan yang mengakibatkan perubahan dalam diri individu sebagai hasil dari aktivitas dalam belajar. Menurut Sutratinah (2001: 43), prestasi belajar adalah hasil dari pengukuran serta penilaian usaha belajar. Nana (2013: 22) menyatakan bahwa prestasi belajar adalah kemampuan-kemampuan yang dimiliki siswa setelah ia menerima pengalaman belajarnya. Dari uraian mengenai prestasi belajar, maka dapat disimpulkan bahwa prestasi belajar adalah hasil atau taraf kemampuan yang telah dicapai siswa setelah mengikuti proses belajar dalam waktu tertentu baik pengetahuan, keterampilan, atau pemahaman yang kemudian akan diukur dan dinilai lalu diwujudkan dalam angka atau pernyataan. d. Matematika Sampai saat ini belum ada definisi pasti tentang matematika. Namun, ada beberapa tokoh ahli yang mengemukakannya. Purwoto (2003: 12-13) mengemukakan bahwa matematika adalah pengetahuan tentang pola
14
keteraturan pengetahuan tentang struktur yang terorganisasi mulai dari unsurunsur yang tidak didefinisikan ke unsur-unsur yang didefinisikan ke aksioma dan postulat dan akhirnya ke dalil. Sedangkan R. Soedjadi (2000: 11) mengemukakan bahwa ada beberapa definisi dari matematika, yaitu sebagai berikut: 1) Matematika adalah cabang ilmu pengetahuan eksak dan terorganisir secara sistematik. 2) Matematika adalah pengetahuan tentang bilangan dan kalkulasi. 3) Matematika adalah pengetahuan tentang penalaran logik dan berhubungan dengan bilangan. 4) Matematika adalah pengetahuan tentang fakta-fakta kuantitatif dan masalah tentang ruang dan bentuk. 5) Matematika adalah pengetahuan tentang struktur-struktur yang logik. 6) Matematika adalah pengetahuan tentang aturan-aturan yang ketat. Johnson & Mykiebust dalam Mulyono (2003: 252) menyatakan matematika
adalah
bahasa
simbolis
yang
fungsi
praktisnya
untuk
mengekspresikan hubungan-hubungan kuantitatif dan keruangan sedangkan teoritisnya adalah untuk memudahkan berpikir. Berdasarkan uraian diatas, diperoleh suatu pengertian tentang matematika, yaitu merupakan suatu pengetahuan tentang fakta kuantitatif dan struktur logika yang terorganisasi dari unsur-unsur yang tidak didefinisi ke unsur-unsur yang didefinisikan ke aksioma dan postulat dan akhirnya ke dalil agar memudahkan dalam berpikir. e. Prestasi Belajar Matematika Dari penjabaran tentang definisi belajar, prestasi belajar, dan matematika dapat diartikan bahwa prestasi belajar matematika adalah hasil belajar yang diperoleh melalui proses pembelajaran yang dinyatakan dengan angka untuk mengetahui kemampuan pada aspek pengetahuan yang meliputi bahasa simbol, ilmu tentang bilangan dan ruang, ilmu yang mempelajari hubungan pola, bentuk, struktur, atau ilmu yang berkembang dari pemikiran yang berhubungan dengan ide mengenai elemen dan kuantitas, strukturstruktur dan konsep abstrak yang memiliki aturan-aturan ketat melalui tes prestasi belajar.
15
2. Model Pembelajaran Model pembelajaran adalah rencana atau pola yang digunakan untuk penyusunan kurikulum, mengatur materi, dan memberi petunjuk guru di kelas. Pateliya (2013: 125) menyatakan bahwa, “model of teaching can be defined as instructional design which describes the process of specifying and producing particular environmental situations which cause the students to interact in such a way that a specific change occurs in their behavior”. Artinya, model pembelajaran dapat diartikan sebagai perencanaan pembelajaran yang menggambarkan proses menentukan dan menghasilkan situasi-situasi lingkungan tertentu yang menyebabkan siswa berinteraksi dengan berbagai cara sehingga perubahan tertentu muncul pada perilaku mereka. Sementara Fadjar (2009: 8) berpendapat bahwa model-model pembelajaran merupakan kerangka konseptual yang dapat digunakan sebagai acuan pada kegiatan perancangan yang sistematik dalam mengkomunikasikan isi pelajaran kepada siswa untuk mencapai tujuan pembelajaran. Sejalan dengan Arends (2008:7) bahwa “the term teaching model refers to a particular approach to instruction that includes its goals, syntax, environment, and management system.” Artinya, istilah model pengajaran mengarah pada suatu pendekatan pembelajaran tertentu termasuk tujuannya, sintaksnya, lingkungannya, dan sistem pengelolaannya. Hal ini dipertegas oleh Endang (2012: 227) bahwa dalam model pembelajaran sudah mencerminkan penerapan suatu pendekatan, metode, teknik atau taktik pembelajaran sekaligus. Ini berarti model pembelajaran memiliki makna yang lebih luas daripada makna pendekatan, metode, teknik, atau taktik pembelajaran sekaligus. Model pembelajaran mempunyai empat ciri khusus yang tidak dimiliki oleh strategi, metode atau prosedur. Ciri-ciri tersebut adalah adanya rasional teoritik logis yang disusun oleh para pencipta atau pengembangnya, memiliki landasan pemikiran tentang apa dan bagaimana siswa belajar (tujuan pembelajaran yang akan dicapai), memuat tingkah laku mengajar yang diperlukan agar model tersebut dapat dilaksanakan dengan berhasil, dan memberikan lingkungan belajar
16
yang diperlukan agar tujuan pembelajaran dapat tercapai (Kasdi dan Nur, 2000: 9). Dari beberapa penjelasan terkait model pembelajaran, dapat disimpulkan bahwa model pembelajaran adalah pola atau rencana pembelajaran yang digunakan untuk perencanaan kurikulum, mengatur materi, dan memberi petunjuk kegiatan guru di kelas dengan siswa yang disusun secara sistematik untuk mencapai tujuan pembelajaran. a. Model Pembelajaran Langsung Model pembelajaran langsung menekankan
pembelajaran
yang
didominasi oleh guru dan bersifat teacher center. Guru berperan penting dan dominan dalam proses pembelajaran. Sedangkan menurut Kardi dalam Trianto (2007) pembelajaran langsung merupakan pembelajaran yang digunakan untuk menyampaikan pelajaran yang ditransformasikan langsung kepada siswa. Pembelajaran langsung banyak digunakan di sekolah-sekolah, karena pembelajaran ini tergolong mudah dalam penyampaiannya. Guru sendiri merasa belum mengajar kalau tidak menjelaskan materi pelajaran kepada siswa. Guru yang baik adalah guru yang menguasai bahan dan selama pembelajaran mampu menyampaikan materi tanpa melihat buku pelajaran serta berceramah dengan suara lantang. Berdasarkan uraian tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa pembelajaran langsung merupakan pembelajaran yang berpusat pada guru, yang mana siswa hanya berlaku menyerap hal-hal yang disampaikan oleh guru tanpa harus mengetahui bagaimana hal-hal tersebut dapat terjadi, siswa cenderung pasif dalam pembelajaran. Berikut ini Tabel 2.1 berupa sintaks model pembelajaran langsung menurut Yatim Riyanto (2010: 281-282).
17
Tabel 2.1 Sintaks Model Pembelajaran Langsung Fase-fase Aktivitas Guru Fase 1 Menjelaskan kompetensi dan tujuan Menyampaikan kompetensi dan pembelajaran, informasi latar belakang tujuan pembelajaran serta pelajaran, pentingnya pelajaran, mempersiapkan siswa mempersiapkan siswa untuk belajaran Fase 2 Mendemonstrasikan pengetahuan yang Mendemonstrasikan benar atau menyajikan informasi tahap pengetahuan/keterampilan demi tahap Fase 3 Merancang dan memberikan bimbingan Membimbing pelatihan pelatihan Fase 4 Mengecek apakah siswa telah berhasil Mengecek pemahaman dan melakukan tugas dengan baik, memberi umpan balik memberikan umpan balik Fase 5 Mempersiapkan kesempatan melakukan Memberikan kesempatan untuk pelatihan lanjutan, dengan perhatian pelatihan lanjut dan penerapan khusus pada penerapan kepada situasi lebih komplek dalam kehidupan seharihari Kelebihan model pembelajaran langsung sebagai berikut: 1) Mengajarkan materi dapat dilakukan dengan cepat. 2) Tidak membutuhkan biaya yang besar dan mudah digunakan dalam proses belajar mengajar. Di samping mempunyai kelebihan, model pembelajaran langsung juga mempunyai kelemahan sebagai berikut: 1) Siswa akan mendapatkan kesulitan dalam memahami materi karena proses belajar hanya dilakukan dengan mendengarkan saja. 2) Pendekatan tersebut cenderung menjadikan siswa kurang aktif dalam pembelajaran. 3) Penekanan sering hanya pada penyelesaian tugas. 4) Kurang menekankan keterampilan proses. 5) Siswa hanya bekerja dengan menghafal sehingga materi yang sudah diajarkan cepat lupa. 6) Siswa tidak mengetahui apa tujuan yang harus dicapai dalam pembelajaran.
18
Dari uraian tersebut, sintaks model pembelajaran langsung dalam penelitian ini berdasarkan acuan pada Permendiknas Nomor 41 tahun 2007, yaitu: 1) Pendahuluan a) Guru mengawali pelajaran dengan salam untuk menciptakan suasana yang religius. b) Guru memeriksa kehadiran siswa, kebersihan, dan kerapian kelas. c) Guru memberikan beberapa pertanyaan mengenai materi terkait yang akan diajarkan untuk mengecek pemahaman siswa. d) Guru menyampaikan kompetensi dasar dan indikator pelajaran untuk menumbuhkan rasa ingin tahu siswa. e) Guru menjelaskan pentingnya mempelajari materi operasi hitung bentuk aljabar dan mempersiapkan siswa untuk belajar. f) Guru menyampaikan kepada siswa bahwa tujuan pembelajaran yang ingin dicapai melalui model pembelajaran langsung. 2) Kegiatan Inti a) Menjelaskan materi. b) Guru melakukan tanya jawab dengan siswa mengenai materi yang baru saja dijelaskan. c) Memberikan contoh-contoh soal dan tanya jawab. d) Guru memberi kesempatan kepada siswa untuk berpikir dan menyelesaikan contoh-contoh soal tersebut. e) Guru memfasilitasi siswa untuk menyajikan hasil pekerjaannya. f) Guru sebagai fasilitator memberikan refleksi dan kesimpulan dengan melibatkan siswa secara aktif. g) Memberi kuis untuk dikerjakan secara jujur dan mandiri. 3) Penutup a) Guru dan siswa merangkum seluruh materi pembelajaran. b) Pemberian tugas rumah secara mandiri dan disiplin.
19
c) Guru meminta siswa untuk membaca dan menyiapkan dengan sungguh-sungguh dan penuh tanggung jawab materi yang akan didiskusikan pada pertemuan selanjutnya. b. Model Pembelajaran Kooperatif Liang (2002: 6) menyatakan bahwa, “cooperative learning is defined as a system of concrete teaching and learning techniques, rather than an approach, in which students are active agents in the process of learning through small groups structures so that students work together to maximize their own and each other's learning”. Berdasarkan pernyataan Liang dapat diketahui bahwa pembelajaran kooperatif adalah suatu sistem teknik pengajaran dan pembelajaran yang konkrit, daripada pendekatan, dimana siswa adalah agen aktif dalam proses pembelajaran melalui struktur kelompok kecil sehingga siswa bekerja sama untuk memaksimalkan pembelajaran mereka sendiri dan satu sama lainnya. Menurut Farzaneh dan Nejadesari (2014: 288) menyatakan bahwa pembelajaran kooperatif adalah suatu model pembelajaran dimana pembelajar dengan kemampuan, bakat, dan latar belakang yang berbeda-beda bekerja sama dalam kelompok-kelompok kecil untuk mencapai tujuan bersama. Dalam pembelajaran kooperatif terdapat lima elemen utama yang mendefinisikan
pembelajaran
kooperatif
dan
membuat
pembelajaran
kooperatif dapat berjalan secara maksimal atau sukses. Lima elemen utama tersebut adalah: 1) Positive Interdependence yaitu siswa harus mengisi tanggung jawab belajarnya sendiri dan saling membantu dengan anggota lain dalam kelompoknya. 2) Face to face interaction yaitu siswa memiliki kewajiban untuk menjelaskan apa yang dipelajari kepada siswa lain yang menjadi anggota kelompoknya. 3) Individual accountability yaitu masing-masing siswa harus menguasai apa yang menjadi tugas dirinya didalam kelompok
20
4) Interpersonal skill yaitu masing-masing anggota harus mampu berkomunikasi, membuat kesimpulan, saling percaya, dan bekerja sama untuk saling menyelesaikan konflik 5) Group processing yaitu kelompok harus dapat menilai dan melihat bagaimana tim mereka telah bekerja sama dan memikirkan bagaimana agar dapat memperbaikinya. Model pembelajaran kooperatif dirancang dan diterapkan untuk mengembangkan strategi sosial dan sikap sosial siswa, dan untuk meningkatkan hubungan sosial baik di dalam kelompok maupun antar kelompok. Sebagai tambahan, sebagian besar tujuan model pembelajaran kooperatif adalah pada pengembangan kognitif seperti pada pelajaran matematika. Terkadang model pembelajaran kooperatif juga diarahkan di antara pengembangan manusia dari segi sosial maupun segi kognitif (Terwel, 2011: 1). Model pembelajaran kooperatif sudah banyak diterapkan oleh beberapa guru dan dianjurkan oleh para peneliti, terutama implementasi pembelajaran kooperatif pada bidang matematika. Hal ini dikarenakan pada pembelajaran kooperatif siswa diberikan kesempatan untuk mengembangkan, berinteraksi, dan berbagi dengan temannya. Siswa juga lebih aktif di dalam kelas dan secara kreatif memperoleh pengetahuan sehingga siswa dapat meningkatkan pemahaman dan kemampuan pemecahan masalah matematika. Hal tersebut sesuai dengan Zakaria et al. (2013: 98) bahwa, “to enhance the understandimg of mathematics, students must be more active in the classroom and must creatively acquire knowledge, especially in understanding and solving mathematical problems. Students should be given the opportunities to develop, to interact, and to share with friends through cooperative learning activity”. Kemudian Gillies et al. (2008: 259) menyatakan “cooperative learning in mathematics provides new ways to adapt teaching and learning to individual differences among students”. Artinya, pembelajaran kooperatif pada pelajaran matematika menghasilkan cara-cara baru yang disesuaikan
21
dengan kegiatan belajar dan pembelajaran terhadap perbedaan individu di antara siswa. Kelebihan dan kelemahan dalam pembelajaran kooperatif menurut Hasbullah Thabrany (1993: 94), yaitu: 1) Kelebihan pembelajaran kooperatif: a) Dapat mengurangi rasa kantuk dibanding belajar sendiri. b) Dapat merangsang motivasi belajar. c) Ada tempat bertanya. d) Kesempatan melakukan resitasi oral. e) Dapat membantu timbulnya asosiasi dengan peristiwa lain yang mudah diingat. 2) Kekurangan pembelajaran kooperatif: a) Bisa menjadi tempat mengobrol atau gosip. b) Sering terjadi debat sepele di dalam kelompok, bisa terjadi kesalahan kelompok. Menurut Agus (2013: 65) dalam menerapkan model pembelajaran kooperatif perlu diperhatikan beberapa fase atau sintaks seperti yang disajikan dalam Tabel 2.2 berikut. Tabel 2.2 Fase-fase Pembelajaran Kooperatif Fase-fase Perilaku guru Fase 1: Present Goal and Set Menjelaskan tujuan pembelajaran dan Menyampaikan tujuan dan mempersiapkan siswa siap belajar. mempermainkan siswa Fase 2: Present Information Mempresentasikan informasi kepada Menyajikan informasi. siswa secara verbal Fase 3: Organize Student into Memberikan penjelasan kepada siswa Learning Team tentang cara pembentukan tim belajar dan Mengorganisir siswa ke dalam membantu kelompok melakukan transisi yang efisien. tim-tim belajar. Fase 4: Assist Team Work and Membantu tim-tim belajar selama siswa Study mengerjakan tugasnya. Membantu kerja tim dan belajar. Fase 5: Test on the Materials Menguji pengetahuan siswa mengenai Mengevaluasi. berbagai materi pembelajaran atau kelompok-kelompok mempresentasikan hasil kerjanya. Fase 6: Provide Recognition Mempersiapkan cara untuk mengakui Memberi pengakuan atau usaha dan prestasi individu maupun penghargaan kelompok.
22
Berdasarkan Tabel 2.2, dapat dilihat fase atau sintaks dalam melakukan pembelajaran kooperatif secara umum, dan juga dapat dilihat kegiatan guru dalam menerapkan pembelajaran kooperatif. Dari uraian mengenai pembelajaran kooperatif dapat disimpulkan bahwa pembelajaran kooperatif adalah suatu model pembelajaran dimana siswa dengan kemampuan, bakat, dan latar belakang yang berbeda-beda akan memperoleh pengetahuan secara aktif dan bekerja sama dalam kelompokkelompok kecil terstruktur untuk memaksimalkan pembelajaran mereka sendiri dan anggota lainnya. c. Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Think Pair Share (TPS) Salah satu cara termudah untuk membuat siswa berpikir tentang suatu isu atau topik adalah dengan menggunakan Think Pair Share (Suhadi, 2010: 9). Siswa diberikan waktu setengah menit sampai satu menit untuk berpikir tentang perntanyaan yang diberikan. Siswa-siswa kemudian berpasangan dengan seorang anggota pada kelompoknya atau teman yang duduk berdekatan dan berdiskusi ide tentang pertanyaan selama beberapa menit (Siburian, 2013: 32). Sedangkan Lyman dan McTighe (1988: 19) menyatakan, Think Pair Share merupakan kegiatan diskusi dengan berbagai cara dimana siswa-siswa mendengarkan suatu pertanyaan atau presentasi, diberikan waktu untuk berpikir secara individu, berbincang dengan yang lain secara berpasangan, dan akhirnya memberikan tanggapan pada kelompok besar. Selain itu, Azlina (2010: 21) menyatakan bahwa “this technique involves sharing with a partner which enables students to access new ideas and if necessary, clarify or rearrange them before presenting them to the larger group”. Dari pernyataan Azlina dapat diketahui bahwa, model TPS melibatkan kegiatan saling berbagi dengan seorang pasangan yang memungkinkan setiap siswa untuk mengakses ide-ide baru, dan jika perlu, memperjelas atau menyusun ulang ide-idenya sebelum mempresentasikannya ke kelompok yang lebih besar. Model ini dapat menuntun pengetahuan awal mereka dan membuat siswa secara aktif berpartisipasi pada diskusi kelas. Selain itu, salah satu
23
tujuan pembelajaran dengan model ini adalah melatih siswa untuk memahami konsep-konsep yang ada dalam suatu materi. Hal ini dimaksudkan agar siswa terhindar dari kebiasaan menghafalkan isi materi yang berkaitan sehingga jika dihadapkan pada permasalahan yang bervariasi siswa dapat menerapkan pengetahuan yang dimiliki. Dari
pembahasan
mengenai
model
pembelajaran
TPS,
dapat
disimpulkan bahwa model pembelajaran tipe TPS adalah model kooperatif dimana siswa mendengarkan presentasi,
diberikan waktu untuk berpikir
secara individu, berbincang dengan yang lain secara berpasangan untuk berbagi
informasi
dan
mengakses/menyusun
ulang
ide-ide
sebelum
mempresentasikannya ke kelompok yang lebih besar. Menurut Aris Shoimin (2014: 211), model pembelajaran TPS mempunyai kelebihan dan kekurangan sebagai berikut. 1) Kelebihan: a) TPS mudah diterapkan di berbagai jenjang pendidikan dan dalam setiap kesempatan. b) Menyediakan waktu berpikir untuk meningkatkan kualitas respons siswa. c) Siswa menjadi lebih aktif dalam berpikir mengenai konsep dalam mata pelajaran. d) Siswa lebih memahami tentang konsep topik pelajaran selama diskusi. e) Siswa dapat belajar dari siswa lain. f) Setiap siswa dalam kelompoknya mempunyai kesempatan untuk berbagi atau menyampaikan idenya. 2) Kekurangan: a) Banyak kelompok yang melapor dan perlu di monitor. b) Lebih sedikit ide yang muncul. c) Jika ada perselisihan, tidak ada penengah. d) Ketergantungan pada pasangan. Menurut Arra et al. (2011: 126), langkah-langkah dalam pembelajaran TPS adalah a) guru memberikan suatu permasalahan untuk kelas, b) siswa kemudiam memikirkan jawaban secara individu (think), c) setiap individu berpasangan dan saling bertukar pikiran atau gagasan (pair), d) akhirnya, setiap pasangan menyampaikan tanggapannya ke seluruh kelompok (share).
24
Berdasarkan uraian terkait model TPS, maka langkah-langkah pembelajaran model TPS pada penelitian ini berdasarkan acuan pada Permendiknas Nomor 41 tahun 2007 adalah sebagai berikut. 1) Pendahuluan a) Guru mengawali pelajaran dengan salam untuk menciptakan suasana yang religius. b) Guru memeriksa kehadiran siswa, kebersihan, dan kerapian kelas. c) Guru memberikan beberapa pertanyaan mengenai materi terkait yang akan diajarkan untuk mengecek pemahaman siswa. d) Guru menyampaikan kompetensi dasar dan indikator pelajaran untuk menumbuhkan rasa ingin tahu siswa. e) Guru menjelaskan pentingnya mempelajari materi operasi hitung bentuk aljabar dan mempersiapkan siswa untuk belajar. f) Guru menyampaikan kepada siswa bahwa tujuan pembelajaran yang ingin dicapai melalui model pembelajaran TPS. 2) Kegiatan Inti a) Guru menjelaskan materi. b) Guru melakukan tanya jawab dengan siswa mengenai materi yang baru saja dijelaskan. c) Guru memberikan latihan soal yang ada dalam LAS (dapat dilihat pada Lampiran 10) untuk dipikirkan solusi atau jawaban secara individu oleh siswa (Think). d) Guru meminta siswa untuk berdiskusi mengenai latihan soal yang ada dalam LAS dengan pasangannya masing-masing (Pair). e) Guru memfasilitasi kelompok yang mengalami kesulitan. f) Guru meminta beberapa kelompok memaparkan hasil diskusinya ke depan kelas dan kelompok lain menanggapinya. g) Guru sebagai fasilitator memberikan kesimpulan dan konsep pembelajaran dengan melibatkan siswa secara aktif. h) Guru memberi reward untuk siswa yang aktif dalam proses pembelajaran dengan memberi simbol “bintang” pada lembar yang
25
telah disediakan dan memotivasi siswa yang sudah/kurang/belum berpartisipasi aktif dalam pembelajaran. i) Guru memberikan kuis untuk dikerjakan siswa secara mandiri dan jujur. 3) Penutup a) Guru dan siswa merangkum seluruh topik yang telah didiskusikan. b) Pemberian tugas rumah secara mandiri dan disiplin c) Guru meminta siswa untuk membaca dan menyiapkan dengan sungguh-sungguh dan penuh tanggung jawab materi yang akan didiskusikan pada pertemuan selanjutnya. 3. Metode Snowball Drilling Metode snowball drilling dikembangkan untuk menguatkan pengetahuan yang diperoleh siswa dari membaca bahan-bahan bacaan. Dalam penerapan metode snowball drilling, peran guru adalah mempersiapkan paket soal-soal dan menggelindingkan bola salju berupa soal latihan dengan cara menunjuk/mengundi untuk mendapatkan seorang siswa yang akan menjawab soal nomor 1. Jika siswa yang mendapat giliran pertama menjawab soal nomor tersebut dengan benar, maka siswa tersebut diberi kesempatan menunjuk salah satu temannya untuk menjawab soal nomor berikutnya yaitu soal nomor 2. Seandainya siswa yang pertama gagal menjawab soal, maka siswa itu diharuskan menjawab soal berikutnya dan seterusnya hingga siswa tersebut berhasil menjawab benar item soal pada suatu nomor soal tertentu. Jika pada gelindingan (putaran) pertama bola salju masih terdapat item-item soal yang belum terjawab, maka soal-soal tersebut dijawab oleh siswa yang mendapat giliran berikutnya. (Agus, 2013: 106). Dari uraian mengenai metode snowball drilling, dapat disimpulkan bahwa metode snowball drilling dapat menguatkan pengetahuan yang diperoleh siswa melalui paket soal-soal yang diberikan dengan cara menunjuk siswa secara acak.
26
4. Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Think Pair Share (TPS) dengan Metode Snowball Drilling Ada beberapa kelemahan pada model pembelajaran TPS, seperti yang dinyatakan oleh Aris Shoimin (2014: 211), yaitu banyak kelompok yang melapor dan perlu di monitor, lebih sedikit ide yang muncul, jika ada perselisihan tidak ada penengah, dan ketergantungan pada pasangan. Selain itu Alfiyatul Fajar (2010) dalam penelitiannya menyatakan bahwa siswa yang pandai cenderung mendominasi sehingga dapat menimbulkan sikap kecil hati dan pasif dari siswa yang kurang pandai, adanya hal seperti ini akan membuat diskusi tidak berjalan dengan lancar karena siswa yang kurang pandai hanya menyalin pekerjaan siswa yang pandai (bergantung pada pasangan) tanpa memahami bagaimana proses menyelesaikan pekerjaan atau tugas yang diberikan. Oleh karena itu, perlu dilakukan upaya untuk menguatkan pengetahuan siswa yaitu dengan modifikasi model pembelajaran, dalam hal ini dengan mengkombinasikan model pembelajaran TPS dengan metode snowball drilling. Tahapan snowball drilling dilaksanakan setelah kegiatan berdiskusi dengan pasangan dilaksanakan. Tujuan dari kegiatan ini adalah agar setiap anggota kelompok benar-benar saling bertanggung jawab atas keberhasilan dari setiap anggota kelompoknya dan dapat menciptakan suasana yang kompetitif antar kelompok. Selain itu, dengan adanya tahapan snowball drilling diharapkan siswa akan lebih mempersiapkan diri untuk mengikuti pembelajaran sehingga hal ini dapat memperlancar proses pembelajaran di kelas. Sintaks model pembelajaran TPS dengan metode snowball drilling pada penelitian ini berdasarkan acuan pada Permendiknas Nomor 41 tahun 2007 adalah sebagai berikut. a. Pendahuluan 1) Guru mengawali pelajaran dengan salam untuk menciptakan suasana yang religius. 2) Guru memeriksa kehadiran siswa, kebersihan, dan kerapian kelas. 3) Guru memberikan beberapa pertanyaan mengenai materi terkait yang akan diajarkan untuk mengecek pemahaman siswa.
27
4) Guru menyampaikan kompetensi dasar dan indikator pelajaran untuk menumbuhkan rasa ingin tahu siswa. 5) Guru menjelaskan pentingnya mempelajari materi operasi hitung bentuk aljabar dan mempersiapkan siswa untuk belajar. 6) Guru menyampaikan kepada siswa bahwa tujuan pembelajaran yang ingin dicapai melalui model pembelajaran TPS dengan metode snowball drilling. b. Kegiatan Inti 1) Guru menjelaskan materi. 2) Guru melakukan tanya jawab dengan siswa mengenai materi yang baru saja dijelaskan. 3) Guru memberikan latihan soal yang ada dalam LAS (dapat dilihat pada Lampiran 10) untuk dipikirkan solusi atau jawaban secara individu oleh siswa (Think). 4) Guru meminta siswa untuk berdiskusi mengenai latihan soal yang ada dalam LAS dengan pasangannya masing-masing (Pair). 5) Guru memfasilitasi kelompok yang mengalami kesulitan. 6) Guru memulai proses snowball drilling dengan memberikan satu soal dari latihan soal kepada salah satu siswa. Siswa tersebut memaparkan jawabannya ke seluruh siswa lainnya (Share), apabila siswa tersebut dapat memaparkan soal tersebut dengan baik dan benar, maka siswa dan pasangannya tersebut mendapatkan nilai tambahan sebagai penghargaan dan siswa yang menjawab benar dapat memilih siswa lain untuk menjawab soal selanjutnya. Namun apabila siswa tersebut tidak dapat menjawab, guru menunjuk siswa lain untuk mengerjakan soal snowball drilling. 7) Guru
sebagai
fasilitator
memberikan
kesimpulan
dan
konsep
pembelajaran dengan melibatkan siswa secara aktif. 8) Guru memberi reward untuk siswa yang aktif dalam proses pembelajaran dengan memberi simbol “bintang” pada lembar yang
28
telah disediakan dan memotivasi siswa yang sudah/kurang/belum berpartisipasi aktif dalam pembelajaran. 9) Guru memberikan kuis untuk dikerjakan siswa secara mandiri dan jujur. c. Penutup 1) Guru dan siswa merangkum seluruh topik yang telah didiskusikan. 2) Pemberian tugas rumah secara mandiri dan disiplin. 3) Guru meminta siswa untuk membaca dan menyiapkan dengan sungguh-sungguh dan penuh tanggung jawab materi yang akan didiskusikan pada pertemuan selanjutnya. 5. Kecerdasan Majemuk Sejarah penelitian tentang kecerdasan sudah dimulai pada tahun 1904 saat menteri pendidikan di Paris meminta seorang psikolog Perancis Alferd Binet dan koleganya untuk mengembangkan suatu cara menentukan siswa SD mana yang beresiko mengalami kegagalan. Pertama, intelligence quotient (IQ) tes telah dikembangkan dan penilaian tes kecerdasan ini meliputi aspek keterampilan matematis logis dan penggunaan kata-kata. Hingga sampai pada tahun 1983, paradigma kecerdasan tersebut sudah mulai bergeser. Howard Gardner seorang psikolog havard menentang konsep suatu pengukuran kecerdasan yang tunggal tersebut dan mulai mengembangkan teori kecerdasan majemuk. Gardner
mendefinisikan
kecerdasan
sebagai
kemampuan
untuk
memproses berbagai macam informasi yang bisa diaktifkan untuk memecahkan setiap masalah atau menciptakan produk yang bernilai (Gardner dan Hatch, 1989: 4). Gardner juga menegaskan bahwa “itu tidak mengenai seberapa pintarnya kamu tapi bagaimana kamu pintar” (Hunter, 2006: 3). Muhammad dan Arif (2013: 238) menyatakan bahwa, kecerdasan majemuk adalah suatu kemampuan ganda untuk memecahkan suatu masalah-masalah yang dihadapi dalam kehidupan. Gardner awalnya menunjuk setiap individu memiliki profil kecerdasan yang terdiri atas tujuh kombinasi tipe kecerdasan yang berbeda-beda. Kecerdasan tersebut meliputi kecerdasan linguistik, kecerdasan matematis logis, kecerdasan musikal, kecerdasan kinestetik, kecerdasan spasial, kecerdasan interpersonal, kecerdasan intrapersonal. Gardner (1999: 41-43) menyatakan bahwa untuk
29
kecerdasan matematis logis dan linguistik berguna di lingkup sekolah. Untuk musikal, kinestetik, dan spasial selalu dihubungkan dengan seni. Selanjutnya untuk kecerdasan interpersonal dan intrapersonal disebut dengan kecerdasan pribadi. Dalam perkembangannya telah ditemukan kembali beberapa kecerdasan lainnya yaitu kecerdasan naturalis dan kecerdasan eksistensial. Sehingga terdapat sembilan tipe kecerdasan yaitu kecerdasan linguistik, kecerdasan matematis logis, kecerdasan spasial, kecerdasan musikal, kecerdasan kinestetik, kecerdasan interpersonal, kecerdasan intrapersonal, kecerdasan naturalis, dan kecerdasan naturalis (Hoerr, 2000). Penjelasan dari masing-masing kecerdasan tersebut adalah sebagai berikut. a. Kecerdasan linguistik “sensitivity to spoken and written language, the ability to learn languages, and the capacity to use language to accomplish certain goals”. Dari pernyataan Abdulkarim dan Al Jadiry (2012: 141) tersebut dapat diketahui bahwa kecerdasan linguistik meliputi kepekaan dalam bicara dan menulis. Kemampuan dalam belajar bahasa, dan kemampuan untuk menggunakan bahasa untuk mencapai tujuan tertentu. Sejalan dengan Hoerr (2000) bahwa kecerdasan linguistik meliputi kepekaan dalam memahami makna dari perintah atau kata-kata. b. Kecerdasan matematis logis Kecerdasan matematis logis terdiri dari kemampuan menganalisis masalahmasalah logis, menyelesaikan operasi matematika, dan menyelidiki isu yang bersifat ilmiah (Abdulkarim dan Al Jadiry, 2012: 141). Sedangkan Hoerr (2000) menyatakan bahwa, kecerdasan matematis logis meliputi kemampuan untuk mengatasi masalah yang rumit dan untuk mengenali pola-pola perintah. c. Kecerdasan spasial Abdulkarim dan Al Jadiry (2012: 142) menyatakan bahwa “spatial intelligence involves the potential to recognize and use the patterns of space”
30
atau kecerdasan spasial meliputi kemampuan untuk mengenal dan menggunkan pola ruang. d. Kecerdasan musikal “sensitivity to pitch melody, rhytm and tone”, artinya kepekaan dalam mengenali melodi, ritme, dan suara (Hoerr, 2000). Atau kemampuan untuk mengapresiasi setiap bentuk ekspresi musikal. e. Kecerdasan kinestetik “abilities to control one’s body movement and to handle object skillfully” atau kemampuan untuk mengontrol gerak tubuh dan mengatasi objek yang membutuhkan banyak keterampilan (Adelaide, 2007: 3). f. Kecerdasan interpersonal “interpersonal intelligence is the ability to understand people and relationship” atau kemampuan untuk memahami orang dan menjalin hubungan dengan orang lain (Hoerr, 2000). g. Kecerdasan intrapersonal “Intrapersonal intelligence entails the capacity to understand oneself, to appreciate one’s feellings, fear, and motivations. It involves having an affective working model of ourselves, and be able to use such information to regulate our lives” atau dalam kecerdasan intrapersonal membutuhkan kemampuan untuk mengerti dirinya sendiri, untuk menghargai perasaannya, rasa takutnya, dan motivasinya (Abdulkarim dan Al Jadiry, 2012: 142). h. Kecerdasan naturalis “the ability to appreciate and understand the environment and its relationship and importance to humanity”. Dari pernyataan tersebut dapat diketahui bahwa kecerdasan naturalis meliputi kemampuan untuk menghargai dan memahami lingkungan serta hubungan dan kepentingannya pada seluruh umat manusia (Hunter, 2006: 3). i. Kecerdasan eksistensi “the ability to see the “big picture”, having an appreciation of culture, spirituality, and historical perspective”. Dari pernyataan tersebut dapat diketahui bahwa kecerdasan eksistensi meliputi kemampuan untuk melihat
31
“gambaran yang luas”, memiliki suatu penghargaan terhadap budaya, hal-hal keagamaan, dan pandangan historis (Hunter, 2006: 3). Berdasarkan penjelasan mengenai kecerdasan majemuk, kecerdasan majemuk dalam penelitian ini diartikan sebagai beberapa tipe kecerdasan yang berbeda-beda yang dimiliki setiap individu yang digunakan untuk menyelesaikan permasalahan dalam kehidupan sehari-hari dan untuk mencapai keberhasilan dalam bidang tertentu. Berikut penjelasan dan indikator dari tiga tipe kecerdasan yang digunakan sebagai tinjauan dalam penelitian ini. a. Kecerdasan Matematis Logis Kecerdasan matematis logis berkaitan dengan kemahiran seseorang dalam menggunakan logika atau penalaran, menggunakan bilangan, dan berpikir kritis. Mereka yang memiliki kecerdasan matematis logis yang tinggi pada umumnya tertarik pada kegiatan eksplorasi matematis, seperti menggolong-golongkan (mengklasifikasikan), menghitung, membuktikan, atau menggeneralisasi. Selain itu, metode penemuan akan disukai siswa-siswa dengan kecerdasan matematis logis yang tinggi. Untuk mengakomodasi siswa dengan kecerdasan ini, sebaiknya siswa diberikan kesempatan untuk menemukan, membuat dugaan, atau membuktikan rumus matematis tertentu (Djamilah, 2012: 3-4). Armstrong (2009: 6) menyatakan bahwa kecerdasan matematika memuat kemampuan dalam menggunakan angka secara efektif dan kepekaan terhadap pola-pola dan hubungan-hubungan yang logis, pernyataan dan dalil (jika-maka, sebab-akibat), fungsi, dan abstraksi terkait lainnya.
Berbagai
macam proses yang digunakan dalam tugas kecerdasan matematis logis meliputi
mengkategorikan,
mengklasifikasikan,
menyimpulkan,
menggeneralisasikan, mengkalkulasi, dan menguji dugaan. Karakteristik kecerdasan logis matematis adalah senang menyimpan sesuatu dengan rapi dan teratur, merasa tertolong dengan arahan yang dilakukan secara bertahap, mudah menyelesaikan masalah, selalu merasa kecewa atau frustasi ketika bersama dengan orang yang tidak teratur atau acak-acakan, dapat
32
mengkalkulasikan secara cepat walaupun hanya di kepala, sangat senang dengan teka-teki yang membutuhkan alasan rasional, tidak berhenti menyelesaikan latihan sampai semua pertanyaan dapat dijawab, bekerja dengan struktur yang teratur, mudah meraih sukses, dan tidak merasa puas jika sesuatu yang akan dilakukan atau dipelajari tidak memberikan makna dalam kehidupan. Indikator kecerdasan matematis logis berdasarkan teori aspek kecerdasan majemuk Thomas Armstrong dalam penelitian ini adalah: 1.
kapasitas siswa dalam melakukan perhitungan matematis,
2.
kepekaan dalam mengklasifikasikan, membedakan pola-pola, dan peka terhadap hubungan-hubungan yang logis,
3.
kemampuan siswa dalam menyelesaikan masalah dengan penalaran yang panjang.
b. Kecerdasan Linguistik Armstrong (2009: 6) menyatakan bahwa kecerdasan linguistik adalah kecerdasan yang meliputi kemampuan untuk menggunakan kata-kata dan bahasa secara efektif, bisa melalui pengucapan ataupun tulisan. Selain itu, kecerdasan ini juga meliputi kemampuan untuk memanipulasi langkahlangkah atau struktur bahasa, fonologi atau suara dari bahasa, sematik atau makna dari bahasa. Seseorang dengan kecerdasan linguistik yang kuat pada umumnya akan terampil dalam menggunakan kata-kata, menulis, membaca, mendengarkan, bercerita, dan menghafalkan kata-kata. Sehingga individu ini akan belajar paling baik dengan membaca, menulis, mendengarkan penjelasan, berdiskusi serta berdebat tentang apa yang telah mereka pelajari (Djamilah, 2012: 3). Armstrong (2009: 73-76) menyarankan suatu kegiatan berbahasa seperti kegiatan dengan strategi bercerita, brainstorming, tape recording, menulis karya ilmiah, dan publishing untuk dapat mendorong siswa menggunakan kecerdasan linguistik yang dimilkinya. Upaya untuk mengakomodasi siswa dengan kecerdasan linguistik pada pembelajaran matematika, dapat dilakukan dengan meminta siswa untuk menjelaskan secara lisan maupun tertulis apa
33
yang diketahui dan apa yang ditanyakan (Djamilah, 2012: 3). Karakteristik dari kecerdasan linguistik adalah senang membaca semua bentuk bacaan, senang mencoret-coret atau menulis saat mendengar maupun berbicara, selalu memaparkan ide atau gagasannya di hadapan orang lain, senang bergabung pada acara-acara debat, diskusi, atau dialog dengan orang lain, sering menulis jurnal, senang pada pelajaran bahasa. Indikator kecerdasan linguistik berdasarkan teori aspek kecerdasan majemuk Thomas Armstrong dalam penelitian ini adalah: 1.
kemampuan siswa dalam memahami kata-kata atau bahasa,
2.
kemampuan untuk menggunakan kata-kata atau bahasa,
3.
kemampuan siswa dalam menafsirkan kata-kata atau bahasa.
c. Kecerdasan Interpersonal Kecerdasan ini meliputi kemampuan untuk memahami dan membuat perbedaan-perbedaan pada suasana hati, maksud, motivasi, dan perasaan terhadap orang lain (Armstrong, 2009:7). Hal ini sejalan dengan Arnold dan Fronseca (2004: 128) bahwa “the ability to understand other people, to work cooperatively and to communicate effectively is part of the interpesonal intelligence” atau kemampuan dalam memahami orang lain, bekerja secara kooperatif dan berkomunikasi secara efektif merupakan bagian dari kecerdasan interpersonal. Siswa yang memiliki kecerdasan interpersonal yang dominan juga akan menyukai interaksi sosial. Menyampaikan ide atau gagasan dengan yang lain dan bekerja secara efektif dapat membuat mereka nyaman dalam pembelajaran. Untuk mengakomodasi siswa dengan kecerdasan ini dapat dilakukan dengan menyusun kegiatan kerja kelompok untuk siswa, agar mereka dapat mengembangkan rasa empatinya dengan siswa lainnya. Kemudian kegiatan dalam mendengarkan dan berdiskusi dengan teman sebaya akan membantu siswa dalam mengembangkan sebaik-baiknya keterampilan berorganisasi dan kepemimpinan (Armstrong, 2009: 88-89). Hoerr (2000) menyatakan bahwa seorang dengan kecerdasan interpersonal akan menikmati permainan berkelompok, senang dan memiliki perasaan
34
empati pada orang lain, menunjukkan jiwa kepemimpinan, dan senang menjadi penengah. Karakteristik dari kecerdasan interpersonal adalah senang berinteraksi dengan orang lain, senang berpartisipasi dalam organisasiorganisasi, senang berkelompok, mudah jenuh jika sendiri, mudah peduli atau simpati. Indikator kecerdasan interpersonal berdasarkan teori aspek kecerdasan majemuk Thomas Armstrong dalam penelitian ini adalah: 1.
kepekaan siswa dalam membangun interaksi dengan orang lain,
2.
kepekaan siswa dalam memahami situasi di sekitarnya,
3.
keinginan yang kuat untuk mencapai tujuan bersama dengan orang lain.
B. Penelitian yang Relevan Dalam penelitian ini terdapat beberapa penelitian yang relevan yang digunakan sebagai pendukung dari teori peneliti. Dari penelitian yang relevan ini peneliti bisa menyusun kerangka berpikir dan juga hipotesis. Penelitian yang relevan tersebut bermula dari kurangnya pemahaman dan penguasaan matematika siswa di sekolah. Penelitian yang dilakukan oleh Walmsley dan Muniz (2003) menyatakan bahwa para siswa memiliki kesulitan dalam mengekspresikan pemikiran matematikanya tersebut pada kertas atau di depan kelas. Selain itu, Dede dan Soybas (2011) menunjukkan bahwa “students at every levels have some difficulties in algebraic equations as well as in understanding concept of function, and in determining the relationship between them” . Dapat diartikan bahwa, beberapa siswa pada setiap tingkat memiliki beberapa kesulitan dalam persamaan-persamaan aljabar seperti operasi hitung bentuk aljabar. Keberhasilan seseorang dalam pembelajaran dipengaruhi oleh banyak faktor. Salah satunya adalah kecerdasan yang dimiliki siswa. Gardner menjelaskan bahwa seseorang menggunakan berbagai kombinasi jenis kecerdasan yang bekerja untuk menyelesaikan masalah. Teori kecerdasan dari Gardner tersebut dikenal dengan teori kecerdasan majemuk. Menurut Arnold dan Fonseca (2004) teori
35
kecerdasan Gardner disajikan sebagai prespektif kognitif dalam kecerdasan membawa impliksi yang besar untuk pendidikan pada umumnya. Yilmaz (2012) menunjukkan bahwa kegiatan pembelajaran yang dilakukan siswa dengan kecerdasan matematis logis dan linguistik berkorelasi tinggi dengan prestasi belajar matematika. Selanjutnya hasil penelitian yang diperoleh oleh Rizqona Maharani (2015), yaitu siswa yang dominan pada kecerdasan matematis logis mempunyai prestasi belajar matematika yang lebih baik dibanding siswa yang dominan pada kecerdasan linguistik dan kecerdasan interpersonal dan siswa yang dominan pada kecerdasan linguistik mempunyai prestasi belajar matematika yang lebih baik dibanding siswa yang dominan pada kecerdasan interpersonal. Hal ini dapat disimpulkan bahwa pembelajaran matematika berlangsung efektif pada siswa dengan kecerdasan matematis logis dan linguistik. Selain itu, hasil penelitian Abdulkarim dan Al Jadiry (2012) menunjukkan adanya hubungan signifikan antara pembagian kelompok pada pembelajaran kooperatif berdasarkan teori kecerdasan majemuk dan prestasi belajar siswa. Akan tetapi menurut Yilmaz (2012), pada kegiatan pembelajaran pada siswa yang cenderung memiliki kecerdasan interpersonal kurang efisien dalam
belajar matematika meskipun
kegiatan
kerja
kelompok
tampak
menyenangkan pada siswa tersebut. Hal ini dapat disimpulkan bahwa prestasi belajar siswa dipengaruhi oleh kecerdasan majemuk dan pembelajaran kooperatif. Salah satu tipe model pembelajaran kooperatif adalah Think Pair Share (TPS) yang memungkinkan siswa untuk saling berinteraksi dan kemudian berpasangan untuk berbagi informasi serta melibatkan tiga tahapan inti pada struktur kooperatif. Hasil penelitian mengenai model pembelajaran TPS ditunjukkan Sampsel (2013) bahwa, partisipasi dalam pembelajaran ini meningkat dan siswa nyaman dan kepercayaaan diri saat berkontribusi dalam diskusi kelas juga meningkat. Hal ini dipertegas hasil penelitian Satya Sri Handayani (2010) bahwa, model pembelajaran think pair share (TPS) memberikan prestasi belajar siswa yang lebih baik dibandingkan dengan menggunakan model pembelajaran langsung.
36
Upaya lain untuk mengembangkan siswa yaitu dengan modifikasi model pembelajaran, seperti penelitian yang dilakukan oleh Nindia (2014), yaitu model pembelajaran tipe TPS dengan Guided Note Taking (GNT) dan Hidayat (2014), yaitu model pembelajaran tipe TPS dengan problem posing dapat memberikan prestasi belajar yang lebih baik daripada model pembelajaran TPS biasa dan pembelajaran langsung. Kemudian penelitian yang dilakukan oleh Eka (2014), yaitu model pembelajaran tipe TAI dengan metode snowball drilling dapat memberikan prestasi belajar yang lebih baik daripada model pembelajaran TAI biasa dan pembelajaran langsung. Persamaan peneliti dengan penelitian yang relevan adalah penelitian ini juga meneliti mengenai tinjauan kecerdasan majemuk (matematis logis, linguistik, dan interpersonal), modifikasi model pembelajaran kooperatif, dan materi operasi hitung bentuk aljabar. Dalam penelitian ini, variabel bebasnya adalah kecerdasan majemuk siswa dan model pembelajaran. Sementara variabel terikat pada penelitian ini adalah prestasi belajar matematika siswa yaitu pada materi operasi hitung bentuk aljabar.
C. Kerangka Berpikir 1.
Kaitan Masing-masing Model Pembelajaran dengan Prestasi Belajar Matematika Prestasi belajar matematika merupakan hasil dari tes prestasi belajar yang diperoleh siswa setelah menempuh proses pembelajaran matematika. Faktor yang mempengaruhi prestasi belajar matematika adalah model pembelajaran yang digunakan guru di dalam kelas. Model pembelajaran langsung merupakan model pembelajaran yang kegiatan mengajar guru dilakukan dengan berceramah di kelas yang diselingi tanya jawab antara guru dan siswa. Pembelajaran ini berpusat pada terselesaikannya bahan ajar, sehingga tidak semua siswa terlayani dengan baik kebutuhan belajarnya. Model pembelajaran ini tergantung pada kemampuan guru dalam mengajar, sehingga seorang guru dituntut untuk dapat mengelola kelas dengan baik. Selain itu, pada pembelajaran ini siswa
37
cenderung cepat bosan dan guru tidak dapat mengevaluasi ketercapaian peserta didik dalam menyerap materi yang diberikan. Pada model pembelajaran kooperatif, siswa diberikan kesempatan untuk mengembangkan, berinteraksi, dan berbagi dengan temannya. Siswa juga lebih aktif di dalam kelas dan secara kreatif memperoleh pengetahuan sehingga siswa dapat meningkatkan pemahaman dan kemampuan pemecahan masalah seperti pemecahan masalah matematika. Salah satu model pembelajaran kooperatif adalah tipe model pembelajaran kooperatif adalah model pembelajaran TPS (Think Pair Share). Pada model pembelajaran TPS, upaya mengaktifkan siswa dilakukan dengan diskusi secara berpasangan. Sebelum diskusi dengan pasangannya, setiap anggota mencoba menyelesaikan permasalahan secara individu. Dalam fase ini siswa membuat dan menentukan dugaan penyelesaian permasalahan dengan waktu yang telah ditentukan. Pada model ini, informasi hanya diperoleh dari pasangannya saja karena kelompok yang terbentuk hanya beranggotakan dua siswa. Tujuan pada pengembangan akademik dan sosial siswa
pada
model
TPS
meliputi
berpikir
(thinking),
komunikasi
(communication), dan saling membagi informasi (share). Selain itu, untuk mencapai keberhasilan pembelajaran terdapat tanggung jawab kelompok. Pada pelaksanaannya setiap model pembelajaran tentunya mempunyai kekurangan dan kelebihan. Kekurangan model pembelajaran kooperatif tipe TPS, diantaranya adalah ketergantungan dari pasangannya. Sehingga model pembelajaran kooperatif TPS dimodifikasi dengan metode snowball drilling. Tujuannya adalah agar setiap anggota kelompok benar-benar saling bekerja sama dan bertanggung jawab atas keberhasilan dari setiap anggota kelompoknya dan dapat menciptakan suasana yang kompetitif antar kelompok. Selain itu, dengan adanya tahapan snowball drilling diharapkan siswa akan lebih mempersiapkan diri untuk mengikuti pembelajaran sehingga hal ini dapat memperlancar proses pembelajaran di kelas. Oleh karena itu, model kooperatif tipe TPS dengan metode snowball drilling diduga dapat
38
menghasilkan prestasi belajar yang lebih baik dari model pembelajaran tipe TPS maupun langsung. 2.
Kaitan Kecerdasan Matematis logis, Kecerdasan Linguistik, dan Kecerdasan Interpersonal dengan Prestasi Belajar Matematika Siswa Selama ini kebanyakan orang menganggap kecerdasan intelektual (intelligence quotient, IQ) adalah salah satu faktor penting penentu keberhasilan seseorang. Namun kemudian berkembang temuan bahwa setiap manusia memiliki profil
kecerdasan masing-masing yang terdiri dari
kombinasi sembilan jenis kecerdasan yang berbeda yang disebut dengan kecerdasan majemuk. Kecerdasan majemuk adalah suatu kemampuan ganda untuk memecahkan suatu masalah-masalah yang dihadapi dalam kehidupan sehari-hari. Kecerdasan majemuk yang dimaksud pada penelitian ini adalah kecerdasan matematis logis, linguistik, dan interpersonal. Siswa yang memiliki kecenderungan pada kecerdasan matematis logis akan tertarik pada kegiatan eksplorasi matematis, seperti menggolonggolongkan
(mengklasifikasikan),
menghitung,
membuktikan,
atau
menggeneralisasi. Sehingga siswa dengan kecerdasan matematis logis akan belajar baik pada pembelajaran matematika. Siswa ini akan dengan mudah dalam menemukan, membuat dugaan, melakukan operasi matematika, dan membuktikan rumus tertentu. Selanjutnya siswa dengan kecerdasan linguistik akan mudah dalam memahami permasalahan yang tersaji dalam bentuk kata-kata, menggunakan kata-kata
ataupun
mengkomunikasikan
bahasa,
mengolah
pengetahuan
yang
informasi
secara
dimilikinya.
efektif
Siswa
dan
dengan
kecerdasan ini akan senang mendengarkan orang lain dengan hati-hati, dan memiliki kemampuan untuk membandingkan apa yang orang lain katakan. Selain itu, siswa dengan kecerdasan linguistik akan mudah dalam mengkomunikasikan pengetahuan matematika yang dimilikinya secara tertulis maupun lisan. Sementara siswa dengan kecerdasan interpersonal akan menyukai interaksi sosial. Siswa ini akan bekerja baik dalam pembelajaran matematika
39
jika pembelajaran dilakukan secara berkelompok. Siswa ini tidak akan segan bertanya dan mencari tahu apa yang mereka tidak ketahui tentang pengetahuan matematika kepada teman sebayanya atau guru. Dari uraian tersebut diduga bahwa siswa yang dominan pada kecerdasan matematis logis akan memberikan prestasi belajar matematika yang lebih baik dibandingkan siswa dengan kecerdasan linguistik dan siswa dengan kecerdasan interpersonal, serta siswa yang dominan pada kecerdasan linguistik akan memberikan prestasi belajar matematika lebih baik dibandingkan siswa dengan kecerdasan interpersonal. 3.
Kaitan Masing-masing Model Pembelajaran dengan Prestasi Belajar Matematika Siswa pada Masing-masing Tipe Kecerdasan Majemuk Siswa a.
Dalam pembelajaran matematika, siswa yang dominan pada kecerdasan matematis logis akan mampu dalam berpikir logis, melakukan operasi matematika, dan membuktikan isu ilmiah. Untuk mengakomodasi siswa dengan kecerdasan ini, sebaiknya siswa diberikan kesempatan untuk menemukan, membuat dugaan, atau membuktikan rumus matematis tertentu sehingga siswa ini akan cocok pada setiap kegiatan pembelajaran yang berhubungan dengan matematika. Akibatnya, siswa ini dapat bekerja dengan baik pada semua kegiatan pembelajaran yang berkaitan dengan pelajaran matematika. Oleh karenanya, siswa dengan kecerdasan ini diduga akan memperoleh prestasi belajar matematika yang sama baik pada model pembelajaran TPS dengan metode snowball drilling, model pembelajaran TPS, dan model pembelajaran langsung.
b.
Siswa yang dominan pada kecerdasan linguistik akan mampu dalam menggunakan kata-kata secara efektif, bisa melalui pengucapan ataupun tulisan. Siswa dengan kecerdasan ini akan sesuai jika pembelajaran mencakup
kegiatan
yang
mengaktifkan
siswa
untuk
berbicara,
mendengarkan, membaca, dan saling menjelaskan konsep. Upaya untuk mengakomodasi siswa dengan kecerdasan linguistik pada pembelajaran matematika, dapat dilakukan dengan meminta siswa untuk menjelaskan secara lisan maupun tertulis apa yang diketahui dan apa yang ditanyakan.
40
Ini berarti siswa pada kecerdasan linguistik akan dapat belajar dengan baik pada pembelajaran yang menggunakan model TPS dengan metode snowball drilling, karena pada model ini mengkondisikan setiap siswa secara mandiri untuk dapat berdiskusi dengan tanya jawab dan saling menjelaskan tentang materi yang sedang dipelajari. Selain itu, siswa dengan kecerdasan linguistik dapat mendukung kecerdasan matematis logis yang dimiliki untuk mengkomunikasikan pengetahuan matematika yang dimilikinya. Sedangkan pada model pembelajaran TPS, untuk berdiskusi dan berinteraksi dengan temannya siswa secara berpasangan menentukan jawaban yang sesuai. Pada model ini kegiatan belajar dalam upaya untuk mengakomodasi siswa dengan kecerdasan ini hanya meliputi kegiatan diskusi kelompok yang tidak banyak menggunakan kemampuan bahasanya. Pada model pembelajaran langsung, siswa cenderung pasif dan jarang bertanya tentang materi yang belum dipahami. Oleh karena itu, siswa yang dominan pada kecerdasan linguistik diduga akan memperoleh prestasi yang lebih baik saat kegiatan belajar menggunakan model pembelajaran TPS dengan metode snowball drilling dibandingkan siswa pada model pembelajaran TPS dan siswa pada model pembelajaran langsung. Sementara siswa pada pembelajaran dengan menggunakan model TPS akan mencapai prestasi yang lebih baik dibandingkan dengan siswa pada pembelajaran yang menggunakan model pembelajaran langsung. c.
Selanjutnya siswa yang dominan pada kecerdasan interpersonal akan menyukai interaksi sosial. Menyampaikan ide atau gagasan dengan yang lain dan bekerja secara berkelompok dapat membuat mereka nyaman dalam pembelajaran. Untuk mengakomodasi siswa dengan kecerdasan ini dapat dilakukan dengan menyusun kegiatan kerja kelompok untuk siswa, agar mereka dapat mengembangkan rasa empatinya dengan siswa lainnya. Dengan kegiatan kerja kelompok maka siswa dapat memperoleh informasi lebih banyak lagi. Siswa yang dominan pada kecerdasan ini
41
akan dapat belajar dengan baik pada pembelajaran dengan model TPS dengan metode snowball drilling dan TPS. Sementara pada model TPS dengan metode snowball drilling akan membentuk siswa untuk lebih aktif berdiskusi dibandingkan dengan kelompok yang terbentuk pada model TPS, maka siswa yang dominan pada kecerdasan ini diduga akan memperoleh prestasi yang lebih baik pada kegiatan pembelajaran model TPS dengan metode snowball drilling dibandingkan pada model TPS. Sedangkan pada model pembelajaran langsung, siswa tidak dibentuk kelompok dalam proses pembelajarannya. Akibatnya, diduga siswa hanya akan dapat berinteraksi dan memperoleh pengetahuan dari guru. Oleh karena itu, siswa dengan kecerdasan interpersonal pada model pembelajaran model TPS dengan metode snowball drilling diduga akan memperoleh prestasi belajar matematika yang lebih baik dibandingkan siswa pada model pembelajaran TPS dan siswa yang memiliki kecerdasan interpersonal pada model pembelajaran TPS diduga akan mencapai prestasi belajar yang lebih baik dibandingkan siswa pada model pembelajaran langsung. 4.
Kaitan Kecerdasan Majemuk dengan Prestasi Belajar Matematika Siswa pada Masing-masing Model Pembelajaran a.
Dalam pembelajaran matematika, kebanyakan siswa meyakini bahwa mereka tidak bisa mengerjakan matematika dan hanya memiliki sedikit kemampuan belajar. Bagaimanapun setiap individu terlahir dengan berbagai macam kemampuan hanya saja berbeda kadarnya. Kemampuan yang dimiliki siswa tersebut tercermin dalam berbagai jenis kecerdasan yang ada atau biasa disebut dengan kecerdasan majemuk. Oleh karenanya, sebaiknya guru memperhatikan berbagai macam kecerdasan siswa di kelas. Upaya tersebut dapat dilakukan dengan menyiapkan model
pembelajaran
pada
pelajaran
matematika
yang
dapat
mengakomodasi kecerdasan siswa sehingga siswa dapat mencapai prestasi yang optimal.
42
Pada model pembelajaran kooperatif tipe TPS dengan metode snowball drilling siswa ditunjuk secara acak oleh guru untuk mengerjakan latihan soal secara langsung, pembelajaran matematika dilakukan dengan membentuk kelompok kecil yang terdiri dari dua anggota dan berdiskusi secara berpasangan. Model ini mengkondisikan siswa agar setiap siswa benar-benar saling bertanggung jawab atas keberhasilan dari setiap anggota kelompoknya dan dapat menciptakan suasana yang kompetitif antar kelompok. Ini artinya, diduga terdapat interaksi yang seimbang antar siswa dan siswa dengan mudah dapat berbagi ide-ide atau gagasan yang dimilikinya kepada setiap pasangan. Model ini tidak hanya sekedar membiasakan siswa untuk mengetahui dan memahami, akan tetapi juga mengaplikasikan, mensintesis, dan menganalisis suatu masalah. Ini berarti bagi siswa yang dominan pada kecerdasan matematis logis, kecerdasan linguistik, dan siswa dengan kecerdasan interpersonal diduga akan memperoleh prestasi belajar yang sama baiknya. b.
Pada model pembelajaran kooperatif tipe TPS, pembelajaran matematika dilakukan dengan membentuk kelompok yang terdiri dari dua anggota dan berdiskusi secara berpasangan, dengan kurangnya tanggung jawab dari setiap siswa untuk dapat mengerjakan latihan yang diberikan oleh guru. Siswa yang dominan pada kecerdasan matematis logis pada model ini diduga akan mudah dalam mengambil atau memutuskan kesimpulan yang tepat saat kegiatan berdiskusi. Kegiatan diskusi pada model ini juga akan dipengaruhi oleh kecerdasan linguistik yang dimiliki siswa. Sedangkan siswa yang dominan pada kecerdasan interpersonal diduga akan berinteraksi dengan baik untuk memperoleh ide-ide. Akan tetapi, pada model ini informasi atau ide-ide yang diperoleh siswa kurang maksimal karena kurangnya tanggung jawab siswa pada setiap soal. Ini dapat disimpulkan bahwa siswa yang dominan pada kecerdasan matematis logis diduga akan mencapai prestasi belajar matematika yang lebih baik dibandingkan siswa yang dominan pada kecerdasan linguistik dan siswa yang dominan pada kecerdasan interpersonal. Sementara siswa
43
yang dominan pada kecerdasan linguistik diduga akan mencapai prestasi belajar matematika yang lebih baik dibandingkan siswa yang dominan pada kecerdasan interpersonal. c.
Pembelajaran matematika pada model pembelajaran langsung, siswa cenderung bosan. Meskipun siswa juga belajar dalam kelompok besar namun pembelajaran ini berpusat pada terselesaikannya bahan ajar sehingga tidak semua siswa terpenuhi kebutuhan belajarnya. Guru selalu menggunakan metode ceramah dengan tanya jawab bervariasi. Ini artinya siswa yang dominan pada kecerdasan linguistik diduga dapat menerima pembelajaran dengan baik karena pada model ini siswa dikondisikan untuk selalu menyimak dan mendegarkan penjelasan dari guru. Oleh karena siswa yang dominan pada kecerdasan matematis logis cenderung menyukai suatu kegiatan yang menantang dan inovatif, maka pada model pembelajaran ini diduga siswa yang dominan pada kecerdasan matematis logis tidak dapat terakomodasi dengan baik. Sama halnya pada siswa yang dominan pada kecerdasan interpersonal diduga tidak terakomodasi dengan baik karena saat menyelesaikan permasalahan siswa bekerja secara individual dan tidak dikondisikan untuk berkelompok. Dapat disimpulkan bahwa siswa yang dominan pada kecerdasan linguistik diduga akan memperoleh prestasi belajar yang lebih baik dibandingkan siswa yang dominan pada kecerdasan matematis logis dan siswa yang dominan pada kecerdasan interpersonal. Sementara siswa yang dominan pada kecerdasan matematis logis diduga akan memperoleh prestasi belajar yang lebih baik dibandingkan dengan siswa yang dominan pada kecerdasan interpersonal.
44
D. Hipotesis Berdasarkan kerangka berpikir, dirumuskan hipotesis penelitian sebagai berikut: 1.
Prestasi belajar matematika siswa yang dikenai model pembelajaran TPS dengan metode snowball drilling diduga lebih baik jika dibandingkan dengan siswa yang dikenai model pembelajaran TPS atau pembelajaran langsung dan prestasi belajar siswa yang dikenai model pembelajaran TPS diduga lebih baik jika dibandingkan dengan siswa yang dikenai pembelajaran langsung.
2.
Prestasi belajar matematika pada siswa yang dominan pada kecerdasan matematis logis diduga lebih baik dibandingkan dengan siswa yang dominan pada kecerdasan linguistik dan interpersonal, dan siswa yang dominan pada kecerdasan linguistik diduga memiliki prestasi belajar lebih baik dibandingkan siswa yang dominan pada kecerdasan interpersonal.
3.
a. Pada siswa yang dominan pada kecerdasan matematis logis, siswa yang dikenai pembelajaran dengan model pembelajaran TPS dengan metode snowball drilling, model pembelajaran TPS, dan langsung diduga mempunyai prestasi belajar matematika yang sama. b. Pada siswa yang dominan pada kecerdasan linguistik, siswa yang dikenai pembelajaran dengan model pembelajaran TPS dengan metode snowball drilling diduga mempunyai prestasi belajar matematika lebih baik dibandingkan siswa yang dikenai pembelajaran dengan model TPS, dan langsung. Kemudian, siswa yang dikenai pembelajaran dengan model pembelajaran TPS diduga mempunyai prestasi belajar lebih baik dibandingkan siswa yang dikenai pembelajaran langsung. c.
Pada siswa yang dominan pada kecerdasan interpersonal, siswa yang dikenai pembelajaran dengan menggunakan model pembelajaran TPS dengan metode snowball drilling diduga mempunyai prestasi belajar matematika lebih baik dibandingkan siswa yang dikenai pembelajaran dengan model pembelajaran TPS, dan langsung. Kemudian siswa yang
45
dikenai pembelajaran dengan model pembelajaran TPS diduga mempunyai prestasi belajar lebih baik dibandingkan pembelajaran langsung. 4.
a. Pada model pembelajaran TPS dengan metode snowball drilling, siswa yang dominan pada kecerdasan matematis logis, kecerdasan linguistik, dan siswa dengan kecerdasan interpersonal diduga mempunyai prestasi belajar yang sama baiknya. b. Pada model pembelajaran TPS, siswa yang dominan pada kecerdasan matematis logis diduga mempunyai prestasi belajar matematika yang lebih baik dibandingkan siswa yang dominan pada kecerdasan linguistik dan siswa yang dominan pada kecerdasan interpersonal. Sementara siswa yang dominan pada kecerdasan linguistik diduga mempunyai prestasi belajar matematika yang lebih baik dibandingkan siswa yang dominan pada kecerdasan interpersonal. c.
Pada model pembelajaran langsung, siswa yang dominan pada kecerdasan linguistik diduga mempunyai prestasi belajar yang lebih baik dibandingkan siswa yang dominan pada kecerdasan matematis logis, dan siswa yang dominan pada kecerdasan interpersonal. Sementara siswa yang dominan pada kecerdasan matematis logis diduga mempunyai prestasi belajar yang lebih baik dibandingkan dengan siswa yang dominan pada kecerdasan interpersonal.