Perbaikan kualitas sliver combing pada proses combing menggunakan metode six sigma dmaic (studi kasus : PT. Adetex Spinning unit I) Ani Rudiyanti I 0302013
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1.
Teori Benang Pada sub bab teori benang dipaparkan pengertian dan klasifikasi serat
sebagai bahan baku pembuatan benang, metode penomeran benang, proses pembuatan benang dan pengukuran yang dilakukan terhadap sliver combing. Secara rinci, sub bab teori benang dipaparkan sebagai berikut: 2.1.1. Penomeran Benang Untuk menyatakan kehalusan benang biasanya dinyatakan dengan perbandingan antara panjang dan beratnya.
Perbandingan ini disebut nomer.
Untuk memudahkan perhitungan, terlebih dahulu harus dipelajari satuan yang digunakan yaitu: Satuan panjang 1 inch (1”)
= 2,54 cm
12 inches
= 1 feet (1’)
= 30,48 cm
36 inches
= 3 feet
= 1 yard
120 yards
= 1 lea
= 109,73 m
7 lea’s
= 1 hank
= 840 yards
= 91,44 cm = 768 m
Satuan berat 1 grain
= 64,799 miligram
1 pound (1 lb) = 16 ounces 1 ounce
= 7000 grains = 453,6 gram
= 437,5 grains
Macam-macam penomeran benang yang dikenal adalah sebagai berikut : (Ernie dan Karmayu, 1980) 1. Penomeran benang secara tidak langsung
II-1
Pada cara ini ditentukan bahwa makin besar (kasar) benangnya makin kecil nomernya atau makin kecil (halus) makin tinggi nomernya. Rumus umum untuk mencari nomer benang dengan cara ini ialah: Nomer = Panjang (P) Berat (B) 2. Penomeran benang secara langsung Cara penomeran ini kebalikan dari cara penomeran benang secara tidaklangsung. Pada cara ini makin kecil (halus) benangnya maka makin rendah nomernya, semakin kasar benangnya maka semakin tinggi nomernya. Adapun rumus matematisnya adalah: Nomer =
Berat (B) Panjang (P)
2.1.2. Proses Pembuatan Benang Enie dan Karmayu (1997), proses pembuatan benang
dibagi dalam
beberapa operasi, yaitu: I. Operasi I Terdiri dari dua jenis operasi yaitu blowing dan carding. A Proses Blowing Pada proses ini, bahan baku akan mengalami pengerjaan-pengerjaan sebagai berikut: a
pembukaan dan penguraian serat-serat dari gumpalan-gumpalan serat sehingga serat akan terurai
b penghilangan kotoran-kotoran seperti serat-serat pendek, serat-serat mati, kulit biji kapas, pecahan-pacahan ranting, daun-daun kering serta kotoran lain. c
membuat lap, yaitu lapisan serat dengan lebar kurang lebih 40 inchi, panjang kurang lebih 50 yard serta dengan ketebalan 12 ons per yard.
d
mencampur serat-serat yang satu dengan yang lain.
B. Proses Carding Pada proses ini, serat yang telah terbentuk lap akan mengalami pengerjaan-pengerjaan sebagai berikut:
II-2
•
melanjutkan proses pembukaan serat dari gumpalan-gumpalan yang masih ada pada proses sebelumnya, sehingga diperoleh serat-serat individu.
•
melanjutkan pembersihan kotoran pada gumpalan serat.
•
membersihkan lebih lanjut serat-serat yang satu dengan yang lain.
•
mengubah lap menjadi kumpulan serat yang berbentuk sumbu dan disebut sliver.
II. Operasi II Lebih dikenal dengan nama proses drawing. Proses ini merupakan proses peregangan, pencampuran dan penarikan sliver.
Hasil akhir dari proses
drawing adalah benang dengan diameter agak besar yang disebut rooving. Proses ini merupakan proses awal penentu kualitas benang. Operasi II terdiri dari beberapa tahapan proses lagi, yaitu: 1. Untuk bahan baku kapas alami (cotton), proses yang dilalui adalah pre drawing frame atau pre comber, super lap former, combing. Hasil akhir dari proses combing adalah sliver combing. 2. Untuk bahan baku kapas buatan (polyester), proses yang dilalui adalah pre drawing frame 1st, pre drawing frame 2nd. Hasil dari proses ini adalah sliver. Kedua jenis sliver di atas kemudian dicampur pada proses mixing dilanjutkan dengan proses drawing frame 1st, drawing frame 2nd dan berakhir pada proses flyer. Hasil akhirnya adalah rooving. A. Proses Pre Drawing untuk polyester dan proses Pre Comber untuk cotton. Pada dasarnya tujuan dari kedua proses ini sama yaitu: •
perangkapan, maksudnya ialah 8 can sliver carding dirangkap menjadi satu sehingga didapatkan sliver yang lebih rata.
•
mensejajarkan serat-serat dengan sumbu sliver.
B. Proses Super Lap Former Pada proses ini, sliver dari proses Pre Comber akan diproses menjadi lap yaitu gulungan kapas yang akan digunakan sebagai input proses combing. Adapun gambar mesin super lap former adalah sebagai berikut:
II-3
Gambar 2.1 Mesin Super Lap Former Sumber: Hartanto dan Watanabe, 1980 C. Proses Combing Pada proses ini hanya dilakukan untuk memperoleh atau memproses seratserat dengan tujuan-tujuan sebagai berikut: •
memisahkan serat-serat panjang dan serat-serat pendek.
•
menghilangkan kotoran-kotoran dan neps yang mungkin masih ada.
•
membuat serat-serat dalam bentuk sumbu.
•
mencampur serata satu dengan yang lainnya.
Adapun gambar mesin combing disajikan dalam Gambar 2.2 di bawah ini:
II-4
Gambar 2.2 Mesin Combing Sumber: Hartanto dan Watanabe, 1980 Sedangkan gambar proses penyisiran mesin combing adalah sebagai berikut:
Gambar 2.3 Proses Penyisiran Mesin Combing Sumber: Hartanto dan Watanabe, 1980
II-5
D. Proses Mixing Pada proses ini, sliver dari Combing dan Pre Drawing Frame 2nd akan dicampur dengan komposisi tertentu. E. Proses Drawing Tujuan proses ini adalah: •
mengadakan percampuran serat-serat yang satu dengan yang lain, misalnya pencampuran serat kapas dengan serat polyester.
•
menghasilkan sesuai dengan nomor benang yang direncanakan
Sedangkan bentuk sliver dari proses carding dan drawing (pre drawing frame, combing, mixing dan drawing) adalah sebagai berikut:
Gambar 2.4 Sliver Sumber: Enie dan Karmayu, 1980 F. Proses Rooving atau Flyer Sliver hasil mesin drawing sebelum dipintal akan mengalami proses pengerjaan pada mesin rooving dengan maksud: •
melanjutkan proses drafting (penarikan) untuk memperoleh hasil rooving yang lebih kecil dari sliver.
II-6
•
memberi lilitan (twist) sekedar memberikan agar kekuatan agar tidak mudah putus pada pengerjaan berikutnya.
•
penggulungan hasil mesin rooving dengan bentuk tertentu sehingga siap digunakan untuk proses berikutnya.
III. Operasi III Dikenal dengan proses spinning atau ring spinning, merupakan proses pengolahan rooving menjadi benang dengan cara penggulungan, peregangan dan pemberian puntiran (twist). Produk dari proses ini adalah benang dalam bentuk cop. Pengerjaan memintal dikerjakan pada mesin ring spinning dengan tujuan sebagai berikut: •
penggulungan hasil mesin rooving dengan bentuk tertentu sehingga siap digunakan untuk proses berikutnya.
•
membuat benang dengan nomer tertentu sesuai dengan rencana.
•
memberikan kekuatan benang dengan memberikan lilitan (twist)
•
menggulung hasil benang yang dihasilkan dengan gulungan serata susunan yang teratur dan berbentuk tertentu.
IV. Operasi IV Disebut proses winding, merupakan proses pengolahan benang dari benang dalam bentuk cop manjadi benang dalam bentuk cone.
Secara rinci,
pengerjaan –pengerjaan pada proses ini adalah: •
menggulung benang hasil pemintalan pada kelos-kelos (cone) tertentu dengan bentuk gulungan sesuai dengan tujuan selanjutnya.
•
merangkap benang untuk digulung.
•
memperbaiki mutu benang hasil mesin ring spinning.
Proses pembuatan benang pada PT. ADETEX Spinning Unit I dijelaskan pada Gambar 2.5 di bawah ini:
II-7
Serat kapas
Serat Polyester
BLOWING
BLOWING
CARDING
CARDING
PRE DRAWING 1
PRE DRAWING 1
PRE DRAWING 2
SUPER LAP FORMER
COMBING
MIXING
DRAWING 1 PASSE
DRAWING 2 PASSE
ROOVING / FLYER
RING SPINNING
WINDING
Gambar 2.5 Proses Pembuatan Benang Sumber : Arsip PT. ADETEX, 2004 2.2.
Konsep Kualitas Pada sub bab ini dipaparkan beberapa definisi kualitas, definisi
pengendalian dan perbaikan kualitas. Konsep kualitas secara rinci dipaparkan sebagai berikut: 2.2.1. Definisi Kualitas Mitra (1998) menyebutkan bahwa beberapa pakar kualitas mendefinisikan kualitas, antara lain: 1. Crosby (1979), kualitas adalah sesuai dengan apa yang disyaratkan atau sesuai spesifikasi. 2. Juran (1974), kualitas adalah cocok untuk digunakan.
II-8
3. Garvin (1984), membagi kualitas dalam lima kategori yaitu transcendent, product-based, user based, manufacturing based dan value basd. Kemudian Garvin mengidentifikasi delapan atribut yang digunakan untuk mendefinisikan kualitas.
Delapan atribut tersebut adalah performansi (performance),
keistimewaan
produk
(features),
kehandalan
(reliability),
kesesuaian
(conformance), keawetan (durability), kegunaan (serviceability), estetika (aesthetics), dan kualitas yang dipersepsikan (perceived quality). Berdasarkan ketiga definisi di atas, dapat disimpulkan kualitas adalah sesuai
dengan spesifikasi dan cocok digunakan dilihat dari sudut pandang
performansi
(performance),
(reliability),
kesesuaian
keistimewaan
(conformance),
produk keawetan
(features), (durability),
kehandalan kegunaan
(serviceability), estetika (aesthetics), dan kualitas yang dipersepsikan (perceived quality). 2.2.2. Pengendalian Kualitas (Quality Control) Pengendalian kualitas secara umum didefinisikan sebagai sebuah sistem yang digunakan untuk mencapai tingkatan kualitas yang diinginkan dari sebuah produk atau jasa (Mitra, 1998 ). Quality control adalah profesi inspecting, testing dan grading dengan menggunakan statistik sebagai analisa data yang tepat sebagai jawaban untuk pembanding dan estimasi yang baik dan yang tidak baik dipisah-pisahkan (grading) untuk mencari mana yang dapat diterima (accept) dan mana yang ditolak (Chang, Peter, 2002). Mitra (1998) menyatakan bahwa keuntungan pengendalian kualitas antara lain: 1.
Dapat melakukan perbaikan kualitas produk atau jasa.
2.
Sistem secara kontinu dievaluasi dan dimodifikasi untuk memenuhi kebutuhan pelanggan yang berubah-uabah.
3.
Meningkatkan
produktivitas
yang
merupakan
tujuan
perusahaan.
Peningkatan produktivitas ini berarti penurunan scrap dan proses ulang. 4.
Menurunkan biaya produksi.
II-9
5.
Meningkatkan produktivitas dengan menurunkan leadtime pembuatan part atau subassemblies.
6.
Dapat melakukan perbaikan kualitas dan produktivitas secara terus-menerus.
2.2.3. Perbaikan Kualitas (Quality Improvement) Perbaikan kualitas adalah sebuah proses yang tidak pernah berakhir dan mengupayakan untuk menurunkan variasi proses dan produk yang tidak memenuhi spesifikasi (Mitra, 1998 ). Six Sigma merupakan salah satu metodologi perbaikan kualitas yang secara rinci dipaparkan pada sub bab 2.3. 2.3.
Six Sigma
2.3.1. Sejarah Six Sigma Motorola mempelajari mengenai kualitas dengan cara yang sulit. Saat perusahaan Jepang mengambil alih perusahaan Motorola yang memproduksi pesawat televisi di Amerika Serikat, mereka dengan cepat menetapkan perubahan yang drastis dalam menjalankan perusahaan. Di bawah manajemen Jepang, perusahaan segera memproduksi televisi dengan jumlah kerusakan satu dibanding duapuluh yang pernah mereka produksi di bawah manajemen Motorola. Di akhir tahun 1970-an dan awal 1980-an perusahaan menanggapi tekanan yang kompetitif dengan menggunakan kampanye publisitas yang mencela kompetisi yang tidak fair dan meminta penyelesaian perlindungan secara politis. Akhirnya bahkan eksekutif Motorola mengakui “ kualitas kita rendah”, dan Motorola memutuskan untuk menekuni kualitas dengan serius. CEO Motorola saat itu, Bob Galvin, memulai perusahaan pada jalur kualitas dan menjadi tokoh sebagian besar karena hasil yang dicapai dalam kualitas di Motorola (Pyzdek, 2002). Sebagai hasil dari upaya tersebut, Motorola pada tahun 2002 dapat menampilkan kinerja membangun pager dan telepon seluler dalam satuan berkisar dari satu unit sampai 100.000. Melalui produksi massal khusus perusahaan dapat memenuhi pesanan yang tepat dalam beberapa menit setelah diterimanya pesanan. Berkat sebagian besar aktivitas Six Sigma, perusahaan menguasai industri kunci dengan teknologi yang tinggi seperti pager (radio panggil), telepon seluler dan
II-10
komunikasi bergerak dan sebagai kekuatan yang berarti dalam banyak bidang (Pyzdek, 2002). 2.3.2. Definisi Six Sigma Definisi Six Sigma berbeda-beda tergantung dari sudut pandang pendefinisiannya.
Berikut merupakan definisi Six Sigma dari sudut pandang
bisnis: 1. Pande (2000) mendefinisikan Six Sigma sebagai sistem yang komprehensif dan fleksibel unuk mencapai, mempertahankan dan memaksimalkan suskes bisnis.
Six Sigma secara unik dikendalikan oleh pemahaman yang kuat
terhadap kebutuhan pelanggan, penggunaan yang disiplin terhadap fakta, data, analisis statistik dan perhatian yang cermat untuk mengelola, memperbaiki proses bisnis. 2. Harry dan Schroeder (2000) mendefinisikan Six Sigma sebagai suatu strategi manajemen proses bisnis yang mengizinkan perusahaan untuk meningkatkan lini produksinya secara drastis dengan merancang dan memonitor aktivitas bisnis setiap hari dalam rangka meminimumkan pemborosan dan sumber daya serta meningkatkan kepuasan konsumen. 3. Six Sigma merupakan suatu metodologi terstruktur untuk memperbaiki proses yang difokuskan pada usaha mengurangi variasi proses (process variances) sekaligus mengurangi cacat (produk/jasa yang diluar spesifikasi) dengan menggunakan
statistik
dan
problem
solving
tools
secara
intensif.
(www.beranda.net) Berdasarkan definisi Six Sigma di atas, dapat disimpulkan Six Sigma dilihat dari sudut pandang bisnis adalah suatu sistem yang komprehensif dan fleksibel dalam manajemen proses bisnis untuk meningkatkan lini produksi, variasi suatu proses dan mengurangi kecacatan menggunakan statistik dan problem solving tools. Selain itu, definisi Six Sigma dari sudut pandang statistik adalah sebagai berikut: 1. Secara harfiah, Six Sigma adalah besaran yang bisa kita terjemahkan secara gampang sebagai sebuah proses yang memiliki kemungkinan cacat (defects
II-11
opportunity)
sebanyak
3,4
buah
dalam
satu
juta
produk
/jasa.(www.beranda.net) 2. Gasperz (2002) memberikan definisi bahwa Six Sigma merupakan suatu visi peningkatan kualitas menuju target 3,4 kegagalan per sejuta kesempatan (DPMO- defects per million opportunities) untuk setiap transaksi produk (barang/jasa). Upaya giat menuju kesempurnaan (zero defect-kegagalan nol). Berdasarkan definisi Six Sigma di atas, dapat disimpulkan bahwa Six Sigma dilihat dari sudut pandang statistik adalah suatu visi peningkatan kualitas menuju proses dengan kemungkinan kecacatan 3,4 dalam sejuta produk. 2.3.3. Konsep Six Sigma Motorola Pada dasarnya pelanggan akan puas apabila mereka menerima nilai yang diharapkan mereka. Apabila produk (barang/jasa) diproses pada tingkat kualias Six Sigma, maka perusahaan boleh mengharapkan 3,4 kegagalan per sejuta kesempatan (DPMO) atau mengharapkan bahwa 99,99966 persen dari apa yang diharapkan pelanggan akan ada dalam produk itu. Dengan demikian Six Sigma dapat dijadikan ukuran target kinerja sistem industri, tentang bagaimana baiknya suatu proses transaksi produk antara pemasok (industri) dan pelanggan (pasar). Semakin tinggi target sigma dicapai, maka kinerja sistem industri akan semakin baik.
Sehingga Six Sigma otomatis lebih baik daripada 4-Sigma, lebih baik dari
3-Sigma.
Six Sigma juga dapat dianggap sebagai strategi terobosan yang
memungkinkan perusahaan melakukan peningkatan luar biasa (dramatik) di tingkat bawah. Six Sigma juga dapat dipandang sebagai pengendalian proses indusri berfokus pada pelanggan, malalui memperhatikan kemampuan proses (Gaspersz, 2002). Pendekatan pengendalian proses Six Sigma Motorola mengijinkan adanya pergeseran nilai target rata-rata (mean) setiap CTQ individual dari proses industri sebesar
± 1,5 Sigma sehingga akan menghasilkan 3,4 DPMO (defects per
million opportunities-kegagalan per sejuta kesempatan). Proses Six Sigma dengan distribusi normal bergeser 1,5 Sigma ditunjukkan dalam Gambar 2.6:
II-12
LSL
6 Sigma
1,5 Sigma
3 Sigma
USL
1,5 Sigma
MEAN
+3 Sigma
+6 Sigma
Gambar 2.6 Konsep Six Sigma Motorola dengan Distribusi Normal Bergeser 1,5 Sigma Sumber : Gasperz, 2002 2.3.4. Metodologi Six Sigma Pada sub bab ini dipaparkan jenis metodologi Six Sigma, DMAIC secara terperinci dan persamaan metodologi Six Sigma tersebut. Adapun penjelasan lebih detil dipaparkan sebagai berikut: A.
Jenis Metodologi Six Sigma
1.
DMAIC DMAIC merupakan salah satu
metodologi Six Sigma yang digunakan
dengan tujuan melakukan perbaikan proses terhadap produk atau proses yang sedang berlangsung di perusahaan. (www.isixsigma.com) Terdiri dari beberapa tahapan yaitu: Define
: mendefinisikan proses yang memberikan kontribusi masalah yang pada akhirnya akan mempengaruhi kualitas produk.
Measure
: pada tahap ini dilakukan pengukuran kapabilitas proses. Jika perusahaan tidak mengetahui kapabilitas proses maka kapabilias bisnis yang dijalankan juga tidak diketahui.
Analyze
: menganalisa seberapa baik proses yang sedang berlangsung dan
mengidentifikasi
penyebab
variasi
produk
yang
mempengaruhi kapabilitas proses. Improve
: melakukan perbaikan pross dengan mengeliminasi defect.
Control
: mengendalikan performansi proses di masa yang akan datang.
II-13
2.
DFSS Metodologi Six Sigma selain DMAIC. Akronim DFSS adalah Design For Six Sigma. Metode ini digunakan untuk mendesain atau mendesain ulang suatu produk atau proses baru pada sebuah perusahaan.
Salah satu
metodologi DFSS yang terkenal adalah DMADV. (www.isixsigma.com) Tahapan DMADV adalah: Define
: mendefinisikan tujuan proyek dan mendefinisikan keinginan pelanggan tentang produk yang dihasilkan.
Measure
: mengukur dan menentukan kabutuhan dan spesifikasi produk menurut pelanggan.
Selain itu melakukan benchmarking
terhadap produk pesaing. Analyze
: menganalisis proses agar sesuai dengan keinginan pelanggan.
Design
: mendesain proses secara detail untuk memenuhi keinginan pelanggan.
Verify
: verifikasi
performansi
desain
dan
kemampuan
untuk
memenuhi keinginan pelanggan. B.
Metodologi DMAIC (Define-Measure-Analyze-Improve-Control)
DMAIC adalah salah satu metode perbaikan dalam Six Sigma. Adapun unsurunsur DMAIC secara rinci dipaparkan dalam Tabel 2.1.
Menurut Gaspersz
(2002), tahap pengembangan rencana operasional (improve) dapat dilakukan menggunakan metode 5W-2H.
Penjelasan mengenai metode 5W-2H secara
terperinci disajikan dalam bentuk Tabel 2.2.
II-14
Tabel 2.1 Aktivitas Six Sigma DMAIC Tahap
Aktivitas
Six Sigma 1.
Define
(D)
Measure
(M) Analyze
(A) Improve
(I) Control
(C)
Memperoleh dukungandan komitmen menejemen organisasi untuk melaksanakan proyekproyek Six Sigma. 2. Mendefinisikan kebutuhan spesifik pelanggan agar proyek-proyek Six Sigma mampu memenuhi demi kepuasan total kepada pelanggan. 3. Mendefinisikan tujuan peningkatan kualitas yangterukur sepanjang waktu dari setiap proyek Six Sigma. 4. Mendefinisikan serta menetapkan peran dan tanggung jawab orang-orang yang terlibat dalamp royek-proyek Six Sigma. 5. Mendefinisikan kebutuhan dan melaksanakan pelatihan metodologi Six Sigma bagi orangorang yang terlibat dalam proyek-propyek Six Sigma agar menjamin bahwa mereka berkompeten untuk melaksanakan proyek Six Sigma. 6. Mendefinisikan kebutuhan sumber daya dan hambatan yang ada serta yang mungkin dihadapi berkaitandengan infrastruktur dan lingkungan kerja saat penerapan proyek Six Sigma sehingga dapat mengantisipasi dan memperbaikinya. 7. Mendefinisikan persyaratan output dan pelayanan yang merefleksikan kebutuhan spesifik pelanggan. 8. Mendefinisikan proses-proses kunci, sekuens dan interaksi proses dengan pelanggan internal dan eksternal yang terlibat dalam proses-proses kunci yang menjadi ruang lingkup setiap proyek Six Sigma 1. Menetapkan persyaratan-persyaratan karakteristik kualitas (CTQ) kunci yang berkaitan langsung dengan kebutuhan pelanggan yang menjadi ruang lingkup tugas proyek-proyek Six Sigma 2. Menetapkan rencana pengumpulan data termasuk mengendalikan peralatan pengukuran agar memperoleh data yang akurat dan sahih bagi keperluan analisis dalam tahap Analyze setiap proyek Six Sigma 3. Melakukanpengukuran terhadap karakteristik kritis kualitas (CTQ) kunci pada tingkat proses, outputs dan outcomes dari proyek Six Sigma Menganalisis kestabilan proses, kapabilitas proses serta sumber dan akar penyebab masalah kualitas yang ada dalam proyek-proyek Six Sigma Menetapkan dan mengimplementasikan rencana tindakan perbaikan atau peningkatan yang ada dalam setiap peoyek Six Sigma untuk menghilangkan akar-akar penyebab dan mencegah berulang kembali. 1. Mendokumentasikakn hasil peningkatan kualitas dan menstandarisasikan praktek kerja terbaik proyek-proyek Six Sigma ke dalam prosedur kerja agar dijadikan sebagai pedoman standar kerja. 2. Menyebarluaskan hasil peningkatan kualitas danpraktek terbaik yang telah distandarisasikan ke dalam prosedur kerja itu ke seluruh organisasi.
Sumber: Gasperz, 2003
II-15
Tabel 2.2 Metode 5W-2H Jenis Tujuan Utama Alasan Kegunaan
5W-2H What (Apa)
Deskripsi Apa tujuan utama perencanaan?
Why (Mengapa)
Lokasi Where (Di mana) Sekuens (urutan)
Tindakan
When (Bilamana)
Orang Who (Siapa)
Metode How (Bagaimana)
Biaya How much (Berapa)
Mengapa rencana itu diperlukan? Penjelasan tentang kegunaan rencana yang dilakukan. Di mana rencana itu akan dilaksanakan? Apakah aktivitas itu harus dikerjakan di sana? Bilamana saat paling baik untuk melaksanakan aktivitas rencana itu? Apakah aktivitas itu dapat dikerjakan kemudian? Siapa yang akan mengerjakan aktivitas rencana itu? Apakah ada orang lain yang dapat mengerjakan aktivitas rencana itu? Mengapa harus orang itu yang ditunjuk untuk mengerjakan aktivitas itu? Bagaimana mengerjakan aktivitas rencana itu? Apakah metode yang digunakan sekarang merupakan metode terbaik? Apakah ada cara lain yang lebih mudah? Berapa biaya yang dikeluarkan untuk melaksanakan aktivitas rencana itu? Apakah akan memberikan dampak positif pada pendapatan dan biaya (meningkatkan efektivitas dan efisiensi), setelah malaksanakan rencana itu?
Merumuskan tujaun sesuai dengan kebutuhan masyarakat atau lingkungan.
Mengubah sekuens atau urutan aktivitas atau mengkombinasikan aktivitas-aktivitas yang dapat dilaksanakan bersama.
Menyederhanakan aktivitas-aktivitas rencana yang ada.
Memilih rencana yang paling efektif dan efisien.
Sumber: Gasperz, 2003 C.
Persamaan DMAIC dan DMADV Persamaan
DMAIC
dan
DMADV
adalah
sebagai
berikut:
(www.isixsigma.com) • Merupakan metodologi Six Sigma yang digunakan untuk mengatur kecacatan kurang dari 3,4 per sjuta kesempatan. • Pendekatan pemecahan menggunakan data, intuisi tidak digunakan dalam Six Sigma. • Diimplementasikan oleh Black Belts, Green Belts dan Master Black Belts.
II-16
2.3.5. Pengujian Validitas dan Reliabilitas Uji validitas menunjukkan sejauh mana suatu alat pengukur itu mengukur apa yang ingin diukur. Suatu pertanyaan dianggap valid jika nilai korelasi berada diatas angka kritis (J = 0,05 berdasarkan R tabel). Sedangkan reliabilitas adalah suatu angka indeks yang menunjukkan konsitensi suatu alat pengukur di dalam mengukur gejala yang sama. Adapun teknik pengukuran reliabilitas yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik Cronbach’s Alpha. Teknik ini mencari reliabilitas alat ukur dengan skor nilai berupa rentangan antara beberapa nilai. Reliabilitas dicapai jika nilai r11 lebih besar dari angka kritis (J = 0,05 berdasarkan R tabel). Hasil pengujian validitas dan reliabilitas serta Tabel R akan disajikan dalam lampiran 5 dan 6. 2.3.6. Tools yang digunakan dalam Six Sigma Pada sub bab ini dipaparkan alat-alat yang digunakan dalam Six Sigma terkait dengan penelitian ini.
Adapaun alat-alat tersebut dipaparkan secara
terperinci sebagai berikut: 1.
Process Flow Map Merupakan gambaran grafik dari suatu proses, menunjukkan urutan tugas
menggunakan versi yang dimodifikai dari simbol flowchart.
Dengan
menggunakan peta proses, berbagai alternatif ditunjukkan dan perencanaan yang efektif dipermudah. (Pyzdek, 2001) 2.
Diagram Supplier-Input-Process-Output-Customer (SIPOC) Diagram SIPOC adalah sebuah alat dalam Six Sigma yang digunakan
untuk mengidentifikasi semua elemen dari sebuah proyek perbaikan kualitas produk. kompleks.
Diagram ini juga membantu dalam mendefinisikan proyek yang Diagram ini dapat menjawab beberapa pertanyaan misalnya:
(www.isixsigma.com) •
Siapa supllier input pada proses?
•
Apa spesifikasi atau syarat yang harus dimiliki input?
II-17
•
Siapa customer masing-masing proses?
•
Apa yang diinginkan customer?
3.
Process Metrics Process metrics terbagi menjadi tiga macam yaitu: (Harry dan Schroeder,
2000) •
Throughput Yield Mengukur kemungkinan terjadinya kecacatan produk pada suatu titik proses atau proses kunci.
Dengan kata lain, kecacatan dapat diatasi dengan
melakukan sesuatu yang benar pada suatu titik yang penting. •
Rolled Throughput Yield Mengidentifikasi kecacatan produk melalui seluruh proses yang menyebabkan kecacatan. Oleh karena itu, kecacatan dapat diatasi dengan melakukan sesuatu yang benar pada seluruh rangkaian proses.
•
Normalized Yield Merupakan rata-rata hasil Throughput Yield.
4.
Control Chart Pada sub bab control chart, dipaparkan pengertian, jenis, definisi variabel dan atribut, manfaat control chart dan bagan kendali untuk atribut dan variabel.
a. Pengertian Bagan Kendali (Control Chart) Salah satu alat terpenting dalam pengendalian kualitas secara statistis adalah bagan kendali Shewart, dinamakan demikian karena teknik ini dikembangkan oleh Dr. Walter A.Shewart pada taun 1920-an sewaktu bekerja di Bell Telephone Laboratories.
Kendatipun bagan kendali ini nampaknya
sederhana, namun banyak ahli teknik, karyawan bagian produksi dan para pemerikasi berpendapat bahwa dalam menggunakan bagan ini diperlukan suatu pandangan yang sama sekali baru. (Grant dan Leavenworth, 1988)
II-18
b. Jenis Bagan Kendali (Control Chart) •
Bagan kendali Shewart untuk karakteristik mutu yang terukur. Dalam bahasa teknisnya, dinyatakan sebagai peubah atau sebagai bagan X dan R (rata-rata dan standar deviasi sampel).
•
Bagan kendali Shewart untuk bagian yang ditolak.
Dalam bahasa
teknisnya dinyatakan sebagai bagan p. •
Bagan kendali Shewart untuk banyaknya ketaksesuaian per unit. Dalam bahasa teknisnya dinyatakan sebagai bagan c.
•
Bagan dari teori penarikan sampel yang berhubungan dengan proteksi mutu yang diperoleh dari prosedur penarikan sampel.
c. Peubah (variabel) dan Atribut Bila dalam sebuah catatan (record) dibuat berdasarkan karakteristik mutu yang diukur secara sebenarnya, misalnya dimensi yang dinyatakan dalam per seribu inci, mutu tadi dapat dikatakan sebagai peubah. Bila suatu catatan hanya memperlihatkan banyaknya barang yang sesuai dengan persayaratan dan banyaknya barang yang tidak sesuai dangan persyaratan, maka ia dikatakan sebagai catatan yang berdasarkan atribut. d. Manfaat Bagan Kendali •
Manfaat bagan kendali untuk peubah Gangguan merupakan hal umum terjadi dalam pabrik. Bilamana
gangguan itu terdiri dari kesulitan untuk memenuhi spesifikasi mutu yang dinyatakan dalam peubah, bagan kendali Shewart X dan R merupakan alat yang tidak boleh dilupakan oleh si pencari gangguan. Kedua bagan kendali tersebut dapat memberikan tiga informasi dan semuanya diperlukan untuk menentukan tindakan selanjutnya. Ketiga informasi itu adalah: a. Keragaman dasar karakteristik mutu b. Kekonsistenan penampilan (performance) c. Tingkat rata-rata dari karakteristik mutu. Tidak ada proses produksi yang cukup baik untuk menghasilkan bentuk produk yang persis serupa.
Keragaman tidaklah terhindarkan, besarnya
keragaman dasar ini tergantung pada berbagai karakteristik proses produksi
II-19
seperti, mesin, bahan dan operator. Keragaman suatu karakteristik mutu boleh jadi mengikuti suatu pola acak atau mungkin juga terjadi secara menyimpang akibat munculnya sebab-sebab terusut pada waktu-waktu tertentu yang dapat dicari dan dihapus. Manfaat bagan kendali adalah memberitahukan kapan harus membiarkan suatu proses berjalan seadanya atau kapan harus mengambil tindakan untuk mengatasi gangguan. •
Manfaat bagan kendali untuk bagian yang ditolak Kebanyakan pemeriksaan rutin terhadap produk-produk yang dibuat
merupakan
pemeriksaan
terhadap
atribut-atributnya,
dengan
cara
mengklasifikasikan produk yang diterima dan yang ditolak. Dengan demikian, bagan kendali Shewart untuk bagian yang ditolak umumnya memanfaatkan data yang sudah tersedia untuk keperluan lain atau yang dapat segera disediakan. Walaupun bagan kendali atribut (bagan kendali p) kurang begitu peka dibandingkan dengan bagan peubah dan tidak mempunyai nilai diagnostik yang cukup besar namun bagan ini dapat memberikan informasi tentang kapan dan dimana harus mengerahkan tekanan guna perbaikan mutu. Selain digunakan dalam pengendalian proses, bagan p juga amat berguna dalam hal yang berhubungan dengan penjual. Biasanya sangat disuai bila dapat diketahui apakah mutu produk yang diserahkan oleh penjual pada hari ini merupakan petunjuk yang dapat dipercaya bagi apa yang akan diserahkan pada bulan yang akan datang. •
Manfaat bagan kendali untuk ketaksesuaian per unit Tipe bagan kendali ini dapat diterapkan untuk dua situasi yang agak
khusus.
Yang pertama adalah untuk keperluan penghitungan jumlah
ketaksesuaian seperti cacat pada daerah tertentu dari permukaan yang dilapisi atau di cat, titik-titik lemah pada panjang tertentu karet pembungkus kabel atau ketaksempurnaan pada sekayu kain. Yang lain adalah pemeriksaan unit-unit yang dirakit secara cukup rumit yang banyak membuka kemungkinan untuk timbulnya berbagai macam tipe ketaksesuaian dan jumlah total dari semua tipe ketaksesuaian per unit yang diketemukan oleh pemeriksa dicatat untuk tiap-tiap unit.
II-20
e. Bagan Kendali untuk Bagian yang Ditolak Walaupun diakui adanya manfaat bagan X dan R lainnya, baik sebagai alat yang ampuh untuk mendiagnosis persoalan mutu maupun sebagai alat untuk mendeteksi sumber-sumber gangguan rutin, terbukti bahwa kegunaannya terbatas hanya untuk sebagian kecil karakteristik mutu yang ditentukan pada produk dan pelayanan. Salah satu keterbatasan bagan X dan R adalah untuk karakteristik mutu yang hanya dapat diukur dan dinyatakan dalam angka. Banyak karakteristik mutu dapat diamati hanya sebagai atribut, yaitu dengan menggolongkan setiap butir yang diperiksa ke dalam salah satu dari dua kelas, yang sesuai dan yang tak sesuai spesifikasi. Adapun batas control untuk X dan R adalah sebagai berikut: UCL X
=
X + A2 R
(2.1)
LCL X
=
X - A2 R
(2.2)
UCLR
= D4 R
(2.3)
LCLR
= D3 R
(2.4)
Nilai A2, D4 dan D3 didapatkan dari tabel faktor-faktor untuk penetapan batas kendali 3-sigma dari R untuk bagan kendali X dan R. Sedangkan standar deviasi proses dihitung menggunakan rumus: ^
=
R
d
(2.5)
2
Nilai d2 didapatkan dari tabel konstanta tabel control. f. Bagan Kendali Atribut 1. Bagan p, bagan untuk bagian yang ditolak karena tak sesuai terhadap spesifikasi. 2. Bagan np, bagan kendali untuk banyaknya butir yang tak sesuai. 3. Bagan c, bagan kendali untuk banyaknya ketaksesuaian. 4. Bagan u, bagan kenali untuk banyaknya ketaksesuaian per satuan.
II-21
Data berbentuk atribut biasanya menggunakan Control Chart tipe c, dengan batas-batas kendali sebagai berikut: UCL = c + 3 c
(2.6)
LCL = c
(2.7)
3 c
Sedangkan standar deviasi proses dihitung menggunakan rumus: ^
=
s
c
(2.8)
4
dimana s melambangkan standar deviasi, sedangkan nilai C4 didapatkan dari tabel konstanta tabel control yang akan disajikan dalam lampiran 1. 6. Diagram Sebab Akibat (Cause Effect Diagram) Diagram sebab akibat adalah alat yang digunakan untuk mengatur dan menunjukkan secara grafik semua pengetahuan yang dimiliki sebuah kelompok sehubungan dengan masalah tertentu. (Pyzdek, 2001) Lingk.Kerja
Metode Kerja
Karakteristik kualitas
Material
Mesin
Manusia
Gambar 2.7 Cause Effect Diagram Sumber : www.manggala.com, 2006 7.
Failure Mode and Effect Analysis (FMEA) Analisis mode kegagalan dan pengaruh (failure mode and effect
analysis/FMEA) adalah suatu usaha untuk menggambarkan semua kegagalan yang
mungkin
dan
pengaruhnya
pada
sistem.
Tujuannya
adalah
mengklasifikasikan kegagalan menurut pengaruhnya. FMEA menyediakan dasar yang baik untuk pengklasifikasian karakteristik. (Pydek, 2001).
Sedangkan
menurut Stamatis (1995), FMEA adalah sebuah cara teknis yang digunakan untuk
II-22
mendefinisikan, mengidentifikasi dan menghilangkan potensial
kegagalan,
masalah, kesalahan dan sebagainya dari suatu sistem, desain, proses dan pelayanan sebelum sampai kepada customer. Salah satu cara lain untuk menentukan significant few opportunities adalah dengan FMEA, terutama jika kita tidak punya data yang cukup untuk membuat diagram pareto.
Dari hasil FMEA, prioritas perbaikan akan diberikan pada
komponen yang memiliki tingkat prioritas (RPN) tinggi (www.beranda.com). Secara singkat dan sederhana, berikut ini adalah contoh Tabel FMEA: Tabel 2.3 Contoh FMEA 1 Component
2
3
Failure
Failure
Mode
Effect
4
5
6
7
8
9
SEV
Causes
OCC
Controls
DET
RPN
Sumber : www.manggala.com, 2006 8.
Pareto Diagram Diagram pareto adalah sebuah alat yang digunakan untuk membantu,
misalnya dalam mengidentifikasi masalah yang sulit terpecahkan dalam proses manufaktur(Breyfogle, 1999). Menurut
Pyzdek
(2002),
analisis
pareto
adalah
proses
dalam
memperingkat kesempatan untuk menentukan yang mana dari kesempatan potensial yang banyak harus dikejar lebih dahulu.
Ini dikenal juga sebagai
“memisahkan sedikit yang penting dari banyak dari sepele”. Sedangkan kegunaan analisis pareto adalah digunakan pada berbagai tahap dalam suatu program perbaikan kualitas untuk menentukan langkah mana yang diambil berikutnya. Analisis pareto digunakan untuk menjawab pertanyaan seperti, “departemen apa yang harus memiliki tim SPC berikutnya?” atau “Pada jenis kerusakan apa kita seharusnya mengkonsentrasikan usaha kita?”.
II-23
2.3.7. Penelitian Six Sigma yang pernah dilakukan Pada sub bab ini akan dipaparkan mengenai penelitian-penelitian yang sejenis yang sudah dilakukan. Adapun penelitian tersebut adalah sebagai berikut: 1.
Tugas Akhir oleh Trinanto Wibowo, Teknik Industri Universitas Sebelas Maret Surakarta dengan judul Analisis Penelusuran Sumber Variasi Pada Proses Produksi Benang Untuk Pengendalian Kualitas Dengan Metode Six Sigma. PT. Surakarta Sentosa Sejahtera adalah sebuah perusahaan pemintalan benang (spinning industry) yang memproduksi benang sebagai bahan dasar pembuatan kain. Jenis benang yang diproduksi antara lain TR 65/35 Ne1 45s. Ada beberapa produk dari perusahaan ini yang mendapat keluhan dari pelanggan karena adanya gulungan benang pada cone yang kusut (scramble) lolos sampai pelanggan. Kondisi gulungan benang yang seperti ini sangat merugikan karena ketika memasuki proses pembuatan kain, benang yang tertarik lebih dari satu helai. Metode yang digunakan : Metode Six Sigma DMAIC (Define-Measure-Analyze-Improve dan Control). Sedangkan alat-alat yang digunakan adalah peta proses, matriks XY (House of Quality), diagram pareto, peta kendali, indeks kapabilitas proses dan diagram sebab-akibat. Kesimpulan penelitian ini adalah terdapat tujuh karakteristik kritis benang yang diperhatikan customer, yaitu dengan urutan mulai dari yang paling kritis ketidakrataan benang, kekuatan benang, thin (benang tipis), nomor benang, thick (benang tebal), puntiran (Twist per Inch /TPI) dan nep (bintik benang). Karakteristik cacat ketidakrataan benang paling dominan terjadi di bagian proses ring spinning, maka perbaikan dan pengendalian kualitas untuk karakteristik ini dimulai pada proses mesin ini. Perhitungan nilai sigma menunjukkan proses berada pada peringkat 4,22 sigma.
II-24
2.
Tugas Akhir oleh Sahrial Amri, Teknik Industri Universitas Sebelas Maret Surakarta dengan judul Analisis Stabilitas Dan Kapabilitas Proses Spinning Benang Katun Dengan Metode Six Sigma di PT. Primissima. Dalam proses pemintalan secara nyata dari waktu ke waktu, kualitas benang yang dihasilkan cenderung mengalami penurunan di beberapa karakteristik kualitas penting.
Keadaan seperti ini masih
berlangsung hingga saat ini. Misalnya, dalam kurun waktu bulan Mei hingga Agustus 2004 kualitas benang
produksi departemen pemintalan benang
pabrik III mengalami penurunan yang cukup signifikan di beberapa karakteristik seperti ketidakrataan benang (penyimpangan terhadap lebar penampang atau permukaan benang), benang tebal serta nep. Pada karakteristik ketidakrataan benang (nilai U%), dari nilai target benang 40CD yang seharusnya berada pada level 15 %, ternyata mulai bulan Mei 2004 terjadi gejala penurunan yang sangat signifikan yang berkelanjutan hingga bulan Agustus 2004 dengan rata-rata U%-nya mencapai 15,86%. Rata-rata penurunan kualitas dapat mencapai nilai 5% setiap bulannya baik jenis benang 40 CD, 40 CM maupun 50 CM. Metode yang digunakan adalah Metode Six Sigma DMAIC (Define-Measure-Analyze-Improve dan Control). Sedangkan alat-alat yang digunakan adalah peta proses, matriks XY (House of Quality), diagram pareto, peta kendali, indeks kapabilitas proses dan diagram sebab-akibat. Beberapa kesimpulan yang diperoleh berdasarkan penelitian yang telah dilakukan adalah kebutuhan proses pertenunan dapat diakomodasi oleh 10 CTQ pengukuran benang yang berkualitas, yaitu nomer benang, kekuatan benang, ketidakrataan benang, nep, TPI, bentuk gulungan pada cone, sambungan benang, panjang benang dalam cone, benang tipis dan benang tebal. Rata-rata output nilai karakteristik kualitas ketidakrataan (U%) benang produksi PT. Primissima berada pada kinerja 4,07 sigma.
Pada tingkat
kinerja 4,07 sigma tersebut, rata-rata proses dinilai kurang stabil. Adapun penyebab ketidakstabilan dan ketidakmampuan proses tersebut diduga berasal dari faktor lingkungan, mesin dan peralatan, proses, material, tenaga kerja dan pengukuran.
II-25
3.
Penelitian oleh Jani Raharjo, Debora Anne Yang Aysia dan Susan Anitasari, Teknik
Industri Universitas Kristen Petra Surabaya dengan judul
Peningkatan Kualitas Melalui Implementasi Filosofi Six Sigma (Studi Kasus di sebuah Perusahaan Speaker) Perusahaan perakitan speaker yang menjadi obyek penelitian telah memiliki sistem kualitas yang baik. Namun alangkah baiknya jika sistem kualitas tersenut ditingkatkan lagi melalui peningkatan kualitas dengan filosofi Six Sigma karena adanya peningkatan level sigma menandakan bahwa perusahaan tersebut semakin mendekati kepuasan pelanggan. Metode yang digunakan : Metode Six Sigma DMAICS (Define-Measure-AnalyzeImprove-Control-Standarize). Sedangkan alat-alat yang digunakan antara lain
Quality Function Deployment (QFD), mapping process, diagram
pareto, diagram tulang ikan dan Statistical Process Control. Kesimpulan penelitian tersebut adalah proyek peningkatan kualitas perlu dilanjutkan dengan cara antara lain tenaga kerja harus bekerja dengan standart operating procedure, melanjutkan proyek peningkatan kualitas dengan memperbaiki faktor yang lain, membudayakan perbaikan kualitas secara kontinu, membentuk tim peningkatan kualitas untuk setiap departemen dan memberikan penghargaan untuk tim yang berhasil meningkatkan kualitas departemennya. 4.
Penelitian oleh Rakhma Oltavina dan Siska Indrawati, Teknik Industri Universitas Gunadarma dengan judul Penerapan Metode Six Sigma dalam Pengendalian Kualitas Produk Tekstil (Studi Kasus
:
PT. SM, Lippo
Cikarang, Bekasi). PT. SM sebagai salah satu industri tekstil yang menghasilkan produk yang cukup beragam diantaranya kain vitrasi, kain trikot, kain brukat, kain embroidery dan rachel. Proses produksi kain embroidery tile full merupakan salah satu proses yang mempunyai kemungkinan menghasilkan produk dengan jenis cacat yang beragam. Banyaknya produk yang cacat selama proses produksi sangat mampengaruhi produktivitas perusahaan, biaya produksi yang lebih tinggi karena adanya pengerjaan ulang, yang tentu
II-26
saja mempengaruhi kepuasan pelanggan. Metode pengendalian kualitas Six Sigma diharapkan mampu meminimasi cacat, menghasilkan produk yang berkualitas sehingga dapat mengurangi biaya yang tidak perlu. Six Sigma menjadi ukuran target kinerja sistem industri tentang bagaimana suatu proses transaksi produk antara pemasok dan pelanggan (pasar). Semakin tinggi target sigma yang dicapai, semakin baik pula kinerja sistemnya. Metode yang digunakan : Metode Six Sigma DMAICS (Define-Measure-AnalyzeImprove-Control). Sedangkan alat yang digunakan adalah diagram pareto, diagram aliran proses, diagram IPO, peta kendali, diagram tulang ikan dan FMEA. Berdasarkan hasil dan pembahasan dapat disimpulkan bahwa jenis cacat yang terjadi pada proses produksi kain embroidery tile full yaitu kain berlubang, jarum patah, benang putus, desain berubah, hasil bordir tidak baik, bor terlalu besar, berlubang saat rolling dan kain berkerut. Kerusakan dominan terjadi pada lini produksi 2 adalah benang putus sehingga menjadi prioritas dalam program peningkatan kualitas Six Sigma. Berdasarkan nilai DPMO didapatkan nilai level sigma 3,066 sigma. Ada 5 faktor penyebab utama kerusakan benang putus yaitu faktor manusia, material, peralatan, metode kerja dan lingkungan dan yang menjadi mode kegagalan utama adalah berdasarkan nilai RPN tertinggi yang ada pada tabel FMEA yaitu jenis kerusakan benang putus akibat material buruk yang mengakibatkan biaya kegagalan COPQ yang tinggi.
Hasil implementasi menunjukkan
bahwa proporsi kecacatan sesudah implementasi lebih kecil dari proporsi kecacatan sebelum implementasi.
Biaya akibat kualitas buruk setelah
implementasi program Six Sigma mengalami penurunan. Indeks kapabilitas proses dan nilai sigma untuk produksi kain embroidery tile full setelah implementasi mengalami kenaikan.
II-27
2.3.8. Perbedaan Penelitian Sebelumnya dengan Penelitian Ini Sub bab ini memaparkan perbedaan penelitian sebelumnya dengan penelitian ini. Secara ringkas, penelitian sebelumnya disajikan dalam tabel di bawah ini: Tabel 2.4 Ringkasan Penelitian Sebelumnya No
1
2 3
4 5
Nama Peneliti
Studi Kasus
Trinanto Wibowo
PT. Surakarta Sentosa Sejahtera (Spinning Industry)
Sahrial Amri Jani R, Debora & Susan A Rakhma O & Siska Igunadarma Penelitian Ini
Metode yang digunakan
Tools yang digunakan Cause Bagan Indeks Effect Kendali Cpk Diagram
Peta Proses
House of Quality
Diagram Pareto
DMAIC
;
;
;
;
;
PT.Primissima
DMAIC
;
;
;
;
Perusahaan Speaker
DMAICS
;
;
;
PT. SM
DMAICS
;
<
PT. ADETEX
DMAIC
;
<
Analisis Gap
Diagram IPO
FMEA
;
<
<
<
;
;
<
<
<
<
<
;
<
<
<
;
;
<
;
<
;
;
;
;
;
;
;
<
;
Penelitian yang dilakukan ini pada dasarnya hampir sama dengan penelitian-penelitian yang telah dilakukan sebelumnya. Objek studi kasus sama dengan tiga penelitian sebelumnya yaitu pada sebuah perusahaan tekstil. Metode yang digunakan juga sama yaitu menggunakan Six Sigma DMAIC.
Adapun
kelebihan penelitian ini adalah: 1. Untuk melakukan perbaikan (improve), sebelumnya dilakukan analisis menggunakan FMEA yang bertujuan untuk mengetahui fokus perbaikan. Hal ini tidak dilakukan pada ketiga peneliti sebelumnya. 2. Penelitian ini memberikan usulan perbaikan dan pengendalian secara lebih nyata
yaitu
dalam
bentuk
pendokumentasian data.
perbaikan
prosedur
dan
form
untuk
Hal ini tidak dilakukan pada dua peneliti
sebelumnya. 3. Untuk mengidentifikasi CTQ, penelitian ini tidak menggunakan HOQ karena objek yang diteliti adalah produk suatu proses pembuatan benang sehingga untuk mencari suara pelanggan akhir benang (voice of customer) sulit karena tidak semua customer mengetahui proses pembuatan benang secara detil.
II-28