BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
Pencemaran Udara Dalam Ruang
2.1.1. Pengertian Pencemaran Udara Dalam Ruang Pencemaran udara adalah kehadiran satu atau lebih substansi fisik, kimia, atau biologi di atmosfer dalam jumlah yang dapat membahayakan kesehatan manusia, hewan, dan tumbuhan, mengganggu estetika dan kenyamanan, atau merusak properti. Defenisi lain dari pencemaran udara adalah peristiwa pemasukan dan/atau penambahan senyawa, bahan, atau energi ke dalam lingkungan udara akibat kegiatan alam dan manusia sehingga temperatur dan karakteristik udara tidak sesuai lagi untuk tujuan pemanfaatan yang paling baik atau dengan singkatan dapat dikatakan bahwa nilai lingkungan udara tersebut telah menurun (Hutagalung, 2008). Menurut UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, pencemaran udara adalah masuknya atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi atau berubahnya tatanan lingkungan oleh kegiatan atau aktivitas manusia atau proses alam sehingga kualitas lingkungan turun sampai tingkat tertentu yang menyebabkan lingkungan menjadi kurang atau tidak berfungsi lagi sesuai dengan peruntukkannya. Pencemaraan udara dibagi menjadi dua yaitu pencemaraan udara luar ruangan dan pencemaran udara dalam ruangan. Pencemaran udara dalam ruang merupakan masalah kesehatan yang sangat serius dalam berbagai lingkungan non industri (Anies, 2004). Pencemaran udara dalam ruang, walaupun tidak
Universitas Sumatera Utara
berhubungan langsung dengan emisi global, namun sangat penting untuk menentukan keterpajanan seseorang. Di daerah perkotaan, isu mengenai pencemaran udara dalam ruang berkembang pesat mengingat sebagian besar masyarakat menghabiskan waktunya lebih banyak di dalam ruangan terutama dalam ruang kerja perkantoran dan industri (Kusnoputranto, 2002). Berdasarkan sumbernya, polusi udara dalam ruang dibagi menjadi enam kelompok, yaitu (Kusnoputranto, 2002) : 1.
Polusi dalam ruangan (bahan-nahan sintesis dan beberapa bahan alamiah yang digunakan sebagai perabotan rumah tangga seperti karpet, busa, pelapis dinding, furniture, dan lain-lain).
2.
Pembakaran bahan bakar (pembakaran bahan bakar dalam rumah yang digunakan untuk memasak dan pemanas ruangan menghasilkan nitrogen oksida, karbon monoksida, sukfur dioksida, hidrokarbon, partikulat).
3.
Gas-gas toksik yang terlepas ke dalam ruangan yang berasal dari dalam tanah (radon).
4.
Produk
konsumsi,
seperti
pengkilap
perabot,
perekat,
kosmetik,
pestisida/insektisida. 5.
Asap tembakau.
6.
Mikroorganisme. Berdasarkan hasil penelitian, di Indonesia pernah menyebutkan bahwa
pencemaran udara yang berasal dari dalam ruang (gedung) berkontribusi 17%, luar gedung 11%, gangguan ventilasi 52% dan sisanya bahan bangunan, mikroorganisme, dan yang belum diketahui penyebabnya (Fardiaz, 1992).
Universitas Sumatera Utara
2.1.2. Penyebab Pencemaran Udara Dalam Ruang Hidup di kota besar, yang serba modern ini banyak hal positif yang bisa kita dapat begitu juga dampak negatifnya. Seperti kenyamanan berkendara, di kantor yang berpendingin (AC), serta kenyamanan dan kemudahan-kemudahan lainnya, sehingga sering kadang melupakan dampak atau bahaya polusi yang ditimbulkannya. Diluar ruangan kita dihadapkan pada polusi berbagai asap dan jenis kendaraan bermotor, asap rokok, debu dan zat polutan lainnya. Sedangkan di dalam ruangan berpendingin ini ternyata tidak juga seratus persen aman dari zat polutan ini, karena dapat berpotensi menimbulkan penyakit. Dalam beberapa dekade terakhir, peluang manusia terpapar polusi udara dalam ruangan diyakini meningkat, akibat beberapa faktor. Beberapa faktor tersebut diantaranya seperti konstruksi bangunan yang tertutup rapat, penggunaan formula material sintesis untuk perabot dan bangunan, penggunaan formula kimia untuk berbagai produk perawatan, insektisida, pestisida, rodentisida, hingga beragam pembersih barangbarang rumah tangga (Fardiaz, 1992). Berdasarkan hasil pemeriksaan NIOSH (The National Institute of Occupational Safety and Health) menyebutkan ada 5 sumber penyebab pencemaran di dalam ruangan yaitu : 1. Pencemaran dari alat-alat di dalam gedung seperti asap rokok, pestisida, bahan-bahan pembersih ruangan. 2. Pencemaran di luar gedung meliputi masuknya gas buangan kendaraan bermotor, gas dari cerobong asap atau dapur yang terletak didekat gedung,
Universitas Sumatera Utara
dimana semuanya dapat terjadi akibat penempatan lokasi lubang udara yang tidak tepat. 3. Pencemaran akibat bahan bangunan meliputi pencemaran formaldehide, lem, asbes, fiberglass, dan bahan-bahan lain yang merupakan komponen pembentuk gedung tersebut. 4. Pencemaran akibat mikroba dapat berupa bakteri, jamur, protozoa, dan produk mikroba lainnya yang dapat ditemukan di saluran udara dan alat pendingin beserta seluruh sistemnya. 5. Gangguan ventilasi udara berupa kurangnya udara segar yang masuk, serta buruknya distribusi udara dan kurangnya perawatan sistem ventilasi udara. 2.1.3. Akibat Pencemaran Udara Dalam Ruang Pencemaran udara dalam ruang akan memberikan dampak terhadap sistem kehidupan makhluk hidup dan sistem yang tidak termasuk di dalam sistem kehidupan. Ada banyak sumber polusi udara dalam ruangan. Asap tembakau, asap dari pembakaran memasak, uap dari bahan bangunan, cat, furniture, dan lain-lain menyebabkan polusi didalam gedung. Oleh karena paparan polusi didalam ruangan lebih besar daripada diluar ruangan diperkirakan tingkat polutan dalam ruangan adalah 25-62% lebih besar dari tingkat diluar ruangan dan dapat menimbulkan masalah kesehatan yang serius ( Aditama, 2002). Secara umum efek pencemaran udara dalam ruang terhadap individu atau manusia dapat berupa sakit baik akut maupun kronis, mengganggu fungsi fisiologi (paru, syaraf, transpot oksigen, hemoglobin), iritasi sensorik, kemunduran penampilan dan rasa tidak nyaman. Efek terhadap saluran pernafasan antara lain
Universitas Sumatera Utara
iritasi pada saluran pernafasan yang dapat menyebabkan pergerakan silia menjadi lambat sehhingga tidak dapat membersihkan saluran pernafasan, peningkatan produksi lendir akibat iritasi oleh bahan pencemar, rusaknya sel pembunuh bakteri di saluran pernafasan, membengkaknya saluran pernafasan dan merangsang pertumbuhan sel. Polutan udara dapat menjadi sumber penyakit virus, bakteri, dan beberapa jenis cacing (Aditama, 2002). Dampak yang diakibatkan oleh polutan udara yang buruk dapat mengakibatkan seseorang menjadi alergi yang selanjutnya menjadi pintu masuk bagi bakteri yang dapat berpotensi terjadinya infeksi (Sunu, 2001). Menurut Aditama (2002), berbagai bahan pencemar (kontaminan) dapat mengganggu lingkungan udara dalam gedung (indoor air environment) melalui empat mekanisme utama, yaitu : 1. Gangguan sistem kekebalan tubuh (immunology) Gangguan sistem kekebalan tubuh dipengaruhi oleh konsumsi gizi. Konsumsi zat gizi yang buruk dan yang tidak memenuhi syarat kesehatan akan memberikan kekebalan tubuh seseorang menjadi lemah sehingga akan mudah terserang penyakit terutama jika berada di wilayah dengan lingkungan udara yang buruk dan tercemar (Depkes RI, 2007). 2. Terjadi infeksi Konsumsi zat gizi yang baik akan memperbaiki status gizi, sehingga meningkatkan ketahanan fisik dan meningkatkan produktivitas kerja, disamping mengurangi infeksi (Depkes RI, 2007).
Universitas Sumatera Utara
3. Bahan pencemar yang bersifat racun (toksik) Bahan kimia yang bersifat racun (toksik)lebih banyak diserap oleh orang usia muda dan tua dibanding pada orang dewasa. 4. Bahan pencemar yang mengiritasi dan menimbulkan gangguan kesehatan. Akibat dari semua hal tersebut akan menyebabkan terjadinya kesulitan bernafas, sehingga benda asing termasuk bakteri atau, mikroorganisme lain tidak dapat dikeluarkan dari saluran pernafasan dan akibatnya memudahkan terjadinya infeksi saluran pernafasan (Mukono, 2000). 2.2.
Kualitas Udara dalam Ruangan (Indoor Air Quality) Kualitas udara atau Indoor Air Quality dalam suatu ruangan adalah salah
satu aspek keilmuan yang memfokuskan pada kualitas atau mutu udara dalam suatu ruang yang dimasukkan ke dalam ruang atau gedung yang ditempati oleh manusia, apakah udara yang dipergunakan dalam ruangan atau gedung tersebut memenuhi syarat kesehatan atau sebaliknya (Idham, 2003). Pengertian Indoor Air Quality(IAQ) adalah istilah yang mengacu pada kualitas udara di dalam dan di sekitar bangunan dan struktur, terutama yang berkaitan dengan kesehatan dan kenyamanan penghuni bangunan. Kualitas udara di dalam ruangan merupakan gambaran dari kondisi udara di dalam ruangan yang memadai untuk dihuni oleh manusia. Defenisi dan standard mengenai kualitas udara dalam ruangan yang memadai yang umum digunakan adalah standard ASHRAE 62-2001 mengenai ventilasi untuk kualitas udara yang memadai (Ventilation for Acceptable Indoor Air Quality). Pengertian kualitas udara dalam ruang yang memadai menurut
Universitas Sumatera Utara
standard tersebut adalah udara dimana tidak ada kontaminan pada konsentrasi yang membahayakan yang sudah ditetapkan oleh para ahli dimana sebesar 80% atau lebih para penghuni suatu gedung merasakan ketidakpuasaan dan ketidaknyamanan. Menurut Idham (2003) ada tiga syarat utama yang berhubungan dengan kualitas udara dalam suatu ruang atau Indoor Air Quality yaitu : 1. Level suhu atau panas dalam suatu ruang atau gedung masih dalam batasbatas yang dapat diterima. 2. Gas-gas hasil proses pernafasan dalam konsentrasi normal. 3. Kontaminan atau bahan-bahan pencemar udara berada di bawah level ambang batas kesehatan. 2.2.1. Faktor Yang Mempengaruhi Kualitas Udara Dalam Ruangan Kualitas udara dalam ruang dapat dipengaruhi oleh gas (karbon monoksida, radon, senyawa organik yang mudah menguap), partikulat, kontaminan mikroba (jamur, bakteri) atau massa atau energi stressor yang dapat menimbulkan kondisi yang merugikan kesehatan. Penggunaan ventilasi untuk mencairkan kontaminan merupakan metode utama untuk meningkatkan kualitas udara dalam ruang gedung. Faktor lain yang mempengaruhi kualitas udara dalam ruangan adalah aktivitas penghuni ruangan, material bangunan, furniture dan peralatan yang ada di dalam ruang, kontaminasi pencemar dari luar ruang, pengaruh musim, suhu dan kelembaban udara dalam ruang serta ventilasi (EPA, 1998).
Universitas Sumatera Utara
Sedangkan menurut US-EPA (1995) ada empat elemen yang berpengaruh dalam Indoor Air Quality yaitu : 1.
Sumber yang merupakan asal dari dalam, luar atau dari sistem operasional mesin yang berada dalam ruangan.
2.
Heating Ventilation and Air Conditioning System (HVAC).
3.
Media yaitu berupa udara.
4.
Pekerja yang berada dalam ruangan tersebut mempunyai riwayat pernapasan atau alergi.
2.2.2. Parameter Kualitas Udara Dalam Ruangan a) Parameter Fisik a) Suhu/Temperatur Suhu udara sangat berperan dalam kenyamanan bekerja karena tubuh manusia menghasilkan panas yang digunakan untuk metabolisme basal dan maskuler. Namun dari semua energi yang dihasilkan tubuh hanya 20% saja yang dipergunakan dan sisanya akan dibuang ke lingkungan (Mukono, 2000). Pada suhu udara yang panas dan lembab, makin tinggi kecepatan aliran udara malah akan makin membebani tenaga kerja. Pada tempat kerja dengan suhu udara yang panas maka akan menyebabkan proses pemerasan keringat. Beberapa hal buruk berkaitan dengan kondisi demikian dapat dialami oleh tenaga kerja. Suhu panas dapat mengurangi kelincahan, memperpanjang waktu reaksi dan waktu pengambilan keputusan., mengganggu kecermatan kerja otak, mengganggu koordinasi syaraf perasa dan motoris. Sedangkan suhu dingin mengurangi efisiensi dengan keluhan kaku atau kurangnya koordinasi otot. (Suma’mur, 1996).
Universitas Sumatera Utara
Suhu udara sangat berperan dalam kenyamanan bekerja. Suhu ruangan harus antara 18oC dan 24°C untuk orang sehat. Meskipun studi tentang Sick Building Syndrome tidak dapat memberikan gambaran suhu yang tepat hasil studi yang ada, karyawan dapat menunjukkan kinerja terbaik saat bekerja pada suhu antara 19oC dan 20°C (ASHRAE 2003b). Institut Nasional untuk Keselamatan dan Kesehatan Kerja (NIOSH) merekomendasikan bahwa suhu tidak boleh melebihi 26°C untuk pria dan 24°C bagi perempuan. Dalam beberapa sumber, menurut Heryuni (1993) untuk lingkungan kerja disarankan mempunyai suhu kering 22°C-26°C dan suhu basah 21°C-24°C. Sedangkan menurut Mukono (1993), temperatur yang dianggap nyaman untuk suasana bekerja adalah 23°C25°C. Dalam laporan yang berasal dari European Commision, menunjukkan bahwa suhu antara 20 dan 26°C merupakan suhu yang cocok bagi lingkungan kerja. b) Kelembaban Udara Air bukan merupakan polutan, namun uap air merupakan pelarut berbagai polutan dan dapat mempengaruhi konsentrasi polutan di udara. Uap air dapat menumbuhkan dan mempertahankan mikroorganisme di udara dan juga dapat melepaskan senyawa-senyawa volatile yang berasal dari bahan bangunan seperti formaldehide, amonia dan senyawa lain yang mudah menguap, sehingga kelembaban yang tinggi melarutkan senyawa kimia lain lalu menjadi uap dan akan terpajan pada pekerja (Fardiaz, 1992). Ruang yang lembab dan dinding yang basah akan sangat tidak nyaman dan mengganggu kesehatan manusia (Pudjiastuti, 1998).
Universitas Sumatera Utara
Kelembaban udara adalah presentase jumlah kandungan air dalam udara (Depkes RI, 2002). Kelembaban terdiri dari 2 jenis, yaitu : 1. Kelembaban absolut, yaitu berat uap air per unit volume udara. 2. Kelembaban nisbi (relatif), yaitu banyaknya uap air dalam udara pada suatu temperatur tersebut. Secara umum penilaian kelembaban dalam ruang dengan menggunakan hygrometer. Menurut indikator pengawasan perumahan, kelembaban udara yang memenuhi syarat kesehatan dalam ruang kerja adalah 40-60% dan kelembaban udara yang tidak memenuhi syarat kesehatan adalah <40% atau >60% (Depkes RI, 2002). Kelembaban yang relatif rendah yaitu kurang dari 20% dapat menyebabkan kekeringan selaput lendir membran, sedangkan kelembaban yang tinggi akan meningkatkan pertumbuhan mikroorganisme (Mukono, 2005). c) Kecepatan Aliran Udara Kecepatan alir udara mempengaruhi gerakan udara dan pergantian udara dalam ruang. Besarnya berkisar antara 0,15 sampai dengan 1,5 meter/detik, dapat dikatakan nyaman. Kecepatan udara kurang dari 0,1 meter/detik atau lebih rendah menjadikan ruangan tidak nyaman karena tidak ada pergerakan udara. Sebaliknya bila kecepatan udara terlalu tinggi akan menyebabkan kebisingan di dalam ruangan (Arismunandar dan Saito, 2002). Tingkat kenyamanan panas dipengaruhi oleh kecepatan udara. Ketika pendinginan diperlukan, dapat dilakukan peningkatan kecepatan udara.
Universitas Sumatera Utara
Sementara ASHRAE sendiri mensyaratkan ventilation rate (jumlah suplai udara dalam ruangan) minimal 20 cfm/orang dalam suatu gedung dan untuk ruangan khusus seperti ruangan merokok ventilation rate yang disyaratkan sebesar 60cfm/orang (EPA, 1998). Ventilation rate memang berpengaruh terhadap mitigasi kontaminan dalam ruangan selain juga suplai udara segar bagi penghuni gedung. Hal inilah yang menjadi alasan mengapa ventilation rate menjadi krusial dalam pencegahan SBS. d) Pencahayaan Penerangan di tempat kerja adalah salah satu sumber cahaya yang menerangi benda-benda di tempat kerja. Banyak obyek kerja beserta benda atau alat dan kondisi disekitar yang perlu dilihat oleh tenaga kerja. Hal ini penting untuk menghindari kecelakaan yang mungkin terjadi. Selain itu penerangan yang memadai memberikan kesan pemandangan yang lebih baik dan keadaan lingkungan yang menyegarkan. Akibat-akibat penerangan yang buruk adalah : 1. Kelelahan mata dengan berkurangnya daya efisiensi kerja. 2. Kelelahan mental. 3. Keluhan-keluhan pegal di daerah mata, dan sakit kepala sekitar mata. 4. Kerusakan alat penglihatan. 5. Meningkatnya kecelakaan (Budiono dkk, 2003) Adapun
pencahayaan
yang
kurang
bisa
memaksa
mata
untuk
berakomodasi maksimum sedangkan pencahayaan yang terlalu kuat juga bisa memaksa mata untuk mengurangi intensitas cahaya yang masuk kedalamnya.
Universitas Sumatera Utara
Kedua kondisi ini pada akhirnya bisa menimbulkan kelelahan dan memicu gejalagejala SBS lainnya. e) Kebisingan Menurut KepMen N0. 48 Tahun 1996 kebisingan adalah bunyi yang tidak diinginkan dari usaha atau kegiatan dalam tingkat dan waktu tertentu yang dapat menimbulkan gangguan kesehatan manusia dan kenyamanan lingkungan. Kebisingan bisa menimbulkan sakit kepala, dan kesulitan berkonsentrasi. Hal ini berpotensi untuk menghasilkan berbagai keluhan termasuk gejala-gejala SBS. Kebisingan dapat berasal dari mesin-mesin industri, alat-alat perkantoran yang menimbulkan bunyi yang cukup tinggi, dan lain-lain. Untuk mencegah kemungkinan gangguan pada manusia terutama ketulian akibat bising (noise induced hearing loss), maka telah ditetapkan batas pemaparan yang aman terhadap bising untuk jangka waktu tertentu, dan dikenal dengan sebutan Nilai Ambang Batas (threshold limit value). Nilai ambang batas dimaksudkan sebagai batas konsentrasi dimana seseorang dapat terpapar dalam lingkungan kerjanya selama 8 jam perhari, 40 jam seminggu berulang-ulang kali tanpa mengakibatkan gangguan kesehatan yang tidak diinginkan. f) Bau Bau merupakan faktor kualitas udara yang penting. Bau dapat menjadi petunjuk keberadaan suatu zat kimia berbahaya seperti Hidrogen Sulfida, Ammoniak, dan lain-lain. Selain itu bau juga dihasilkan oleh berbagai proses biologi oleh mikroorganisme. Kondisi ruangan yang lembab dengan suhu tinggi
Universitas Sumatera Utara
dan aliran udara yang tenang biasanya menebarkan bau kurang sedap karena proses pembusukan oleh mikroorganisme (Mukono, 2005). g) Ventilasi Ventilasi merupakan salah satu faktor yang penting dalam menyebabkan terjadinya Sick Building Syndrome. Luas ventilasi ruangan yang kurang dari 10% menurut standard WHO atau ventilation rate kurang dari 20CFM OA memberikan risiko yang besar untuk terjadinya gejala SBS.. Ventilasi yang paling ideal untuk suatu ruangan apabila ventilasi dalam keadaan bersih, luas memenuhi syarat, sering dibuka, adanya cross ventilation sehingga tidak menyebabkan adanya dead space dalam ruangan. Ketidakseimbangan antara ventilasi dan pencemaran udara merupakan salah satu sebab terbesar gejala SBS. Ventilasi dalam lingkungan kerja ditujukan untuk : 1. Mengatur kondisi kenyamanan ruangan. 2. Memperbaruhi udara dengan pencemaran udara ruangan pada batas normal. 3. Menjaga kebersihan udara dari kontaminasi berbahaya.
b) Parameter Kimia a. Karbon monoksida (CO) Karbon monoksida merupakan pencemaran udara yang paling besar dan umum dijumpai. Sebagian besar CO terbentuk akibat proses pembakaran bahanbahan yang digunakan sebagai bahan bakar secara tidak sempurna. Misalnya dari pembakaran bahan bakar minyak, pemanas, proses-proses industri dan pembakaran sampah (Soedomo, 2001).
Universitas Sumatera Utara
Pengaruh beracun CO terhadap tubuh terutama disebabkan oleh reaksi antara CO dengan Hemoglobin (Hb) di dalam darah. Hb di dalam darah secara normal berfungsi dalam sistem transport untuk membawa oksigen dari paru-paru. Dengan adanya CO , Hb, dapat membentuk COHb. Jika terjadi demikian maka kemampuan darah untuk mentransport oksigen menjadi berkurang. Polusi udara oleh CO juga terjadi selama merokok. Konsentrasi CO yang tinggi di dalam asap rokok yang terhisap tersebut mengakibatkan kadar COHb di dalam darah meningkat (Fardiaz, 1992). Jika
CO
terhirup
dapat
mengakibatkan
hal-hal
sebgai
berikut
(Kusnoputranto, 2002) : 1. Gangguan keseimbangan refleksi, sakit kepala, pusing, koma, kerusakan sel otak dengan keterpajanan CO selama 1 jam atau lebih dengan konsentrasi 50-100 ppm. 2. Menyebabkan sakit kepala yang cukup berat, pusing, koma, kerusakan sel otak dengan keterpajanan selama 2 jam dengan konsentrasi CO sebesar 250 ppm. 3. Keterpajanan CO selama 1 jam dengan konsentrasi 750 ppm menyebabkan kehilangan kesadaran, keterpajanan 3-4 jam menyebabkan kematian. b. NOX Gas ini adalah kontributor utama smog dan deposisi asam. Nox bereaksi dengan senyawa organik volatile membentuk ozon dan oksida lainnya. Organ tubuh yang paling peka terhadap pencemaran gas NOx adalah paru-paru. Paru-
Universitas Sumatera Utara
paru terkontaminasi oleh gas NOx akan membengkak sehingga penderita sulit bernafas dan mengakibatkan kematian. Pengaruhnya terhadap kesehatan yaitu terganggunya sistem pernafasan,bila kondisinya kronis dapat berpotensi terjadi Bronkhitis serta akan terjadi penimbunan Nitrogen Oksida dan dapat merupakan sumber Karisogenik (Sunu, 2001). c. SOx SOx merupakan gas yang tidak berbau bila berada dalam konsentrasi rendah, akan tetapi memberikan bau yang tajam pada konsentrasi pekat. SOx berasal dari pembakaran bahan bakar fosil, seperti minyak bumi dan batu bara. SOx merupakan polutan yang berbahaya bagi kesehatan terutama bagi penderita penyakit kronis sistem pernafasan dan kardiofaskuler (Sunu, 2001). d. Volatile Organic Compound (VOC) Kehadiran pencemar organik mungkin merupakan konstituen terbesar dari aerosol yang ada di dalam ruang. Dikarenakan jumlah spesies bahan kimia hadir di udara dalam ruang, dan kesulitan di dalam identifikasi dan kuantifikasi dari kimia organik yang tercampur, maka kontaminasi senyawa organik (VOC) di dalam ruangan belum dapat diketahui dengan baik sampai saat ini. Menurut Bortoli dari senyawa-senyawa yang telah dilakukan studi, senyawa paling banyak teridentifikasi meliputi toluene, xylene, dan apiene (Pudjiastuti, 1998). Beberapa senyawa organik volatile yang ditemukan di dalam ruangan telah menunjukkan adanya hubungan dengan sejumlah gejala penyakit. Beberapa gejala penyakit yang ada di dalam ruang yang banyak dijumpai yaitu sakit kepala,
Universitas Sumatera Utara
iritasi mata dan selaput lendir, iritasi sistem pernafasan, drowsiness (mulut kering), fatigue (kelelahan), malaise umum. e. Formaldehide Formaldehide adalah gas yang tidak bernyawa dengan bau yang menyengat. Banyak sekali bahan yang ada dalam ruangan dapat mengemisikan gas formaldehide termasuk bahan yang diisolasi, flafon, kayu lapis, furniture kantor, lem karpet, bermacam-macam plastik, serat sintesis dalam karpet, pestisida, cat dan kertas. Tingkat emisi formaldehide naik dengan kenaikan suhu (Pudjiastuti, 1998). Formaldehide adalah aldehida yang paling sederhana yang memiliki sifat mudah menguap. Dalam industri sering digunakan sebagai bahan pelarut, perekat, dan pengawet. Untuk kesehatan, formaldehide sering digunakan sebagai bahan antiseptik, sterilisasi khususnya untuk alat pembersih ginjal (Fardiaz, 1992). Pemaparan formaldehide ke tubuh manusia dapat dengan berbagai cara antara lain melalui penyuntikan, kuloit, dan pernafasan. Berikut adalah efek akut dari formaldehide (Meyer, 1977) : 1. Melalui pernafasan, iritasi terhadap kulit, dan sistem pernafasan Formaldehide dapat menimbulkan iritasi pada selaput lendir di rongga hidung, bagian mulut, sistem pernafasan atas yang menimbulkan perasaan panas, penyempitan kerongkongan, tercekik, dan batuk terus menerus.
Universitas Sumatera Utara
2. Sensitifitas Formaldehide dapat menimbulkan bau yang tidak sedap, dan bau tersebut sangat sensitif pada bagian pernafasan atas. 3. Anasthesia Formaldehide dapat digunakan sebagai anasthesia yang diberikan melalui oral dan suntikan. Bila pemberian tidak memenuhi dosis yang sesuai dengan peruntukkan maka tidak terjadi anasthesia, formaldehide akan mengalami metabolisme secara cepat yang menimbullkan mual, muntahmuntah, sakit kepala, dan kelemahan. 4. Penyakit organ Keterpajanan formaldehide secara terus-menerus pada dosis yang tinggi, di samping merusak sistem pernafasan, infeksi paru, dapat mengganggu fungsi hati, ginjal, sistem saraf pusat, jaringan tubuh, dan sistem reproduksi wanita.. c) Parameter Mikrobiologi Mikrobiologi Udara terdapat mikroorganisme yang dapat muncul dalam waktu dan tempat yang berbeda. Meskipun tidak ada mikroorganisme yang mempunyai habitat asli udara, tetapi udara di sekeliling kita sampai beberapa kilometer di atas permukaan bumi mengandung bermacam-macam jenis mikroba dalam jumlah yang beragam (Michael J,1988). Mikrobiologi adalah organisme yang dapat dilihat hanya dengan bantuan pembesaran mikroskop berdaya tinggi, berukuran sangat kecil (mikro), sehingga mudah
dihembuskan
angin
dan
menempel
pada
debu
(bioaerosol).
Universitas Sumatera Utara
Mikroorganisme dapat berasal dari lingkungan luar seperti serbuk sari, jamur dan spora, dapat pula berasal dari dalam ruang seperti serangga, jamur, kutu binatang peliharaan dan bakteri (Pudjiastuti, dkk, 1998). Bioaerosol adalah partikel debu yang terdiri atas makhluk hidup atau sisa yang berasal dari makhluk hidup. Makhluk hidup terutama adalah jamur dan bakteri. Penyebaran bakteri, jamur, dan virus pada umumnya terjadi melalui sistem ventilasi. Sumber bioaerosol ada 2 yakni yang berasal dari luar ruangan dan dari perkembangbiakan dalam ruangan atau dari manusia, terutama bila kondisi terlalu berdesakan (crowded). Pengaruh kesehatan yang ditimbulkan oleh bioaerosol ini terutama 3 macam, yaitu infeksi, alergi, dan iritasi. Kontaminasi bioaerosol pada sumber air sistem ventilasi (humidifier) yang terdistribusi keseluruh ruangan dapat menyebabkan reaksi yang berbagai seperti demam, pilek, sesak nafas dan nyeri otot dan tulang (Waluyo, 2009). a. Bakteri Patogen Bakteri merupakan makhluk hidup yang kasat mata, dan dapat juga menyebabkan berbagai gangguan kesehatan serta efek deteriorasi bagi gedung apabila tumbuh dan berkembang biak pada lingkungan indoor. Gangguan kesehatan yang muncul dapat bervariasi tergantung dari jenis dan rute pajanan. Bakteri dalam gedung datang dari sumber luar (misalnya dari kerusakan tangga, endapan kotoran, dan sebagainya) serta dapat memberikan pengaruh bagi manusia seperti saat bernapas, batuk, bersin. Selain itu, bakteri juga didapati pada sistem cooling towers (seperti Legionella), bahan bangunan dan furniture, walpaper, dan
Universitas Sumatera Utara
karpet lantai. Di dalam gedung, bakteri tumbuh dalam standingwater tempat water spray dan kondensasi AC (Jawetz, 2003). Kelompok mikroba yang paling banyak ditemukan sebagai jasad hidup yang tidak diharapkan kehadirannya di udara, umunya disebut jasad kontaminan. Suatu benda atau substrat yang ditumbuhinya dinyatakan sebagai benda atau substrat yang terkontaminasi. Jasad-jasad renik kontaminan, antara lain yaitu (Louise, 2003) : 1. Bakteri Bacillus Genus Bacillus termasuk batang besar, gram positif, aerob, yang membentuk rantai. Kebanyakan anggota genus ini adalah organisme saprofit yang lazim terdapat dalam tanah, air, udara dan tumbuh-tumbuhan. Beberapa diantaranya patogen terhadap insekta, seperti : a) Bacillus Anthracis, berbahaya bagi orang yang menangani hewan berkuku, kulit hewan, penyebab antraks ini adalah bakteri patogen utama dalam genus ini. b) Bacillus Cereus, dapat tumbuh dalam makanan dan menghasilkan enterotoksin yang menyebabkan keracunan makanan, dapat menimbulkan penyakit pada orang dengan gangguan daya tahan tubuh. c) Bacillus Subtilis, bakteri yang sangat banyak diudara tetapi tidak patogen. 2. Bakteri Staphylococcus Genus ini merupakan sel gram positif berbentuk bulat biasanya tersusun dalam bentuk kluster yang tidak teratur, beberapa merupakan anggota flora
Universitas Sumatera Utara
normal pada kulit dan selaput lendir manusia, tiga tipe stafilokokus yang berkaitan dengan medis adalah sebagai berikut : a) Staphylococcus Aureus, adalah patogen utama pada manusia, penularan berdiam di mukosa hidung manusia atau di kulit, kuman ini menyebar melalui tangan, bersin, dan lesi kulit. b) Staphylococcus Epidermis, flora kulit yang menyebabkan infeksi kateter atau alat prostetik yang melekat melalui pembentukan biofilm. c) Staphylococcus Saprophyticus, umumnya menyebabkan infeksi saluran urin (ISK) pada wanita muda. 3. Bakteri Streptococcus Bakteri gram positif berbentuk bulat, beberapa diantaranya merupakan anggota flora normal pada manusia dan sebagian lain dapat menimbulkan sensitisasi akibat kuman, beberapa jenis diantaranya : a) Streptococcus Pyogenes (group A), reservoir adalah orofaring pada manusia meliputi kapsul asam hialuronat yang berperan dalam kemampuan menyebarnya kuman. b) Streptococcus Agalactiae (group B), pada orang dewasa menyebabkan demam simtomatik dan pada neonatus ditandai dengan gangguan pernapasan, sepsis, pneumonia dan meningitis. c) Streptococcus Pneumonia, kolonisasi mukosa nasofaring (sampai 30% orang normal) menyebabkan penyebaran melalui percikan ludah, tetapi tidak dianggap sangat menular karena jarang timbul pada orang sehat.
Universitas Sumatera Utara
4. Bakteri Pseudomonas Bakteri gram-negatif, motil, aerobik, beberapa galur memproduksi pigmen larut air. Pseudomonas tersebar secara luas pada tanah, air, tanaman, dan binatang, dan banyak dijumpai : a) Pseudomonas Aeruginosa, tersebar luas di alam dan biasanya ada di lingkungan lembab di rumah sakit, dapat berada pada orang sehat, dimana bersifat saprofit, ini menyebabkan penyakit pada manusia dengan ketahanan tubuh yang tidak normal. 2.2.3. Standar Kualitas Udara Dalam Ruangan Menurut Keputusan Menteri Kesehatan RI No 1405 Tahun 2002 tentang persyaratan kesehatan di lingkungan kerja perkantoran dan industri, standar kualitas udara dalam ruangan adalah sebagai berikut : 1. Suhu dan Kelembaban a. Suhu
: 18-28oC
b. Kelembaban
: 40% - 60%
2. Debu Kandungan debu maksimal didalam udara ruangan dalam pengukuran rata-rata 8 jam adalah sebagai berikut : No
JENIS DEBU
KONSENTRASI MAKSIMAL
1.
Debu Total
0,15 mg/m3
2.
Asbes Bebas
5 serat/ml udara dengan panjang serat 5 u (mikron)
Universitas Sumatera Utara
3. Pertukaran Udara Pertukaran udara 0,283 m3/menit/orang dengan laju ventilasi : 0,15 – 0,25 m/detik. Untuk ruangan kerja yang tidak menggunakan pendingin harus memiliki lubang ventilasi minimal 15% dari luas lantai dengan menerapkan sistem ventilasi silang. 4. Gas Pencemar Kandungan gas pencemar dalam ruang kerja dalam rata-rata pengukuran 8 jam sebagai berikut : No
PARAMETER
KONSENTRASI MAKSIMAL (mg/m3)
Ppm
1.
Asam Sulfida (H2S)
1
-
2.
Amonia (NH3)
17
25
3.
Karbon Monoksida (CO)
29
25
4.
Nitrogen Dioksida (NO2)
5,60
3,0
5.
Sulfur Dioksida (SO2)
5,2
2
5. Mikrobiologi a. Angka kuman kurang dari 700 koloni/m3 b. Bebas kuman patogen 2.3.
Jenis – Jenis AC (Air Conditioner)
Universitas Sumatera Utara
Secara umum pengertian dari AC (Air Conditioner) suatu rangkaian mesin yang memiliki fungsi sebagai pendingin udara yang berada di sekitar mesin pendingin tersebut. Secara khusus pengertian dari AC (Air Conditioner) adalah suatu mesin yang di gunakan untuk mendinginkan udara dengan cara mensirkulasikan gas refrigerant berada di pipa yang di tekan dan di hisap oleh kompresor. Beberapa jenis AC (Air Conditioner) yang biasa digunakan dalam ruangan kantor, mall, perusahaan, sekolah, dan lainnya, yaitu antara lain : 1) AC (Air Conditioner) Split Di lihat dari segi bentuknya AC Split ini memiliki dua bagian yaitu indoor dan outdoor. Compressor pada AC Split ini terletak pada bagian outdoornya dan memiliki kipas sebagai alat untuk mengurangi panas yang ada pada pipa kondensornya. Sedangkan pada bagian indoornya terdapat pipa evaporator dan motor listrik yang berfungsi memutar blower dan kemudian di keluarkan pada ruangan yang telah di tentukan sehingga ruangan tersebut menjadi dingin. Prinsip kerja pada AC Split adalah dimulai dari kompresor. Kompresor memompa gas yang bertekanan tinggi dan bersuhu tinggi melalui pipa tekan (Discharge) ke kondensor. Di dalam kondensor suhu gas yang tinggi dibuang oleh Fan yang terletak pada outdoor unit, sehingga suhu gas refrigerant menjadi dingin. Setelah melalui Condensor gas refrigerant masuk ke Filter Dryer untuk disaring, agar gas yang mengalir tidak terdapat kotoran. Setelah disaring gas
Universitas Sumatera Utara
(Freon) masuk ke pipa kapiler yang lubangnya begitu kecil, di dalam pipa ini freon saling bertubrukan dan berdesak-desakan disini freon telah berubah wujud menjadi cair yang sebelumnya berupa gas. Setelah melewati pipa kapiler freon akan menguap dan mengambil panas didalam Evaporator yang hampa udara. Sehingga pipa-pipa di evaporator menjadi dingin dan dihembuskan oleh fan motor yang ada dalam indoor unit. Setelah melakukan proses pendinginan freon di dalam evaporator, freon kembali disedot masuk kembali melalui pipa hisap (suction) ke dalam Kompresor. Begitulah cara kerja AC, singkatnya freon dipompa oleh kompresor keluar melalui pipa tekan lalu masuk ke condensor lalu ke filter dryer kemudian masuk melalui pipa kapiler menuju evaporator dan kembali ke kompresor melalui pipa hisap (Suction). Proses ini terus berulang ketika AC digunakan. 2) AC (Air Conditioner) Window Pada AC Window ini memiliki bentuk yang berbeda dengan bentuk lainnya, yaitu antara indoor dan outdoornya memiliki tempat yang sama (menyatu), sehingga tidak memerlukan tambahan pipa antara indoor dan outdoor AC tersebut. Didalam pemasangan AC Window ini, kita harus melubangi tembok ruangan yang akan di pasang tersebut. Letak indoornya berada di dalam ruangan dan letak outdoornya berada di luar ruangan, tembok pembatas ini sangat di perlukan agar udara panas yang berada di luar ruangan tidak masuk ke dalam ruangan yang bersuhu rendah, yang dapat mengakibatkan kerusakan pada compressor AC Window tersebut.
Universitas Sumatera Utara
3) AC (Air Conditioner) Floor Standing AC Floor standing ini memiliki bentuk yang besar baik pada indoornya maupun pada outdoornya, peletakan AC Floor standing ini yaitu pada bagian indoornya di letakkan pada dasar lantai ruangan yang di lengkapi dengan dudukannya, daerah pada bagian depan indoornya harus lapang hal ini di sebabkan agar sirkulasi udara pada AC Floor standing tersebut tidak terganggu. AC Floor standing ini mampu mencapai temperatur terendah hingga kurang lebih 10 derajat celcius sedangkan pemasangan pada bagian indoornya disebelah atas dibuat suatu corong/dakting udara, yang dapat di tempatkan hingga ketinggian 3,5 meter. AC Floor standing ini sangat banyak di gunakan pada setiap industri, karena memiliki kapasitas ruangan yang cukup besar dibandingkan dengan AC lainnya dan AC ini biasanya di letakkan dalam suatu ruangan produksi. 4) AC (Air Conditioner) Central Ukuran pada AC ini hampir sama dengan AC Floor standing yang memiliki bentuk dan ukuran cukup besar. Perbedaannya ialah ukurannya dan tempatnya peletakkan pada bagian indoornya. AC Central ini di pasang (di letakkan) pada bagian atas dekat ceilings (plafon), dan AC ini lebih banyak di pasang dalam keadan tergantung. AC Central ini memiliki dua buah blower yang di gunakan untuk menghisap suhu dingin pada bagian evaporatornya dan mengeluarkannya keruangan yang telah di tentukan. AC ini biasanya diberi corong udara/dakting
Universitas Sumatera Utara
pada depan blowernya, sebagai tempat penyalur udara dari blower menuju ruangan. AC ini memiliki filter, yang dipasang pada bagian belakang blower.
2.4.
Kualias Udara Dalam Ruangan AC (Air Conditioner) Beberapa tahun terakhir AC (Air Conditioner) menjadi salah satu pilihan
terbaik. Ruangan yang dilengkapi Air Conditioner (AC) seakan-akan memberikan kenyamanan bagi kita. Terlebih bagi yang bekerja dikantor. Hampir sebagian pekerja kantoran itu berada di dalam ruangan ber-AC. Ruangan yang ber-AC memang dapat memberikan rasa sejuk ketimbang berada di luar yang penuh asap kendaraan atau terik matahari. Ruangan ber-AC sebenarnya merupakan ruangan yang dirancang khusus sedemikian rupa sehingga kedap udara. Karena itulah, udara yang ada di dalam ruangan ber-AC hanyalah udara yang sama yang didaur ulang. Proses pendaurulangan ini nyatanya dapat meningkatkan jumlah zat-zat pencemar di dalam ruangan. Begitu pula, AC yang jarang dibersihkan akan menjadi tempat nyaman bagi mikroorganisme. Kondisi tersebut mengakibatkan kualitas udara dalam ruangan menurun dan dapat menimbulkan berbagai gangguan kesehatan serta mempengaruhi produktivitas kerja (Achmadi, 1994).
Universitas Sumatera Utara
Jenis AC peruntukan rumah, gedung dan gedung yang tidak memerlukan pengaturan suhu dan kelembaban secara tepat, umumnya menggunakan sistem penyegaran udara tunggal atau sentral (Arismunandar & Saito, 2002). 2.4.1. Faktor Kualitas Udara dalam Ruangan AC Menurut Anies (2004) kualitas udara dalam ruangan ber-AC dipengaruhi oleh faktor-faktor sebagai berikut :
1. Suhu Defenisi suhu yang nyaman (thermal comfort) menurut ASHRAE adalah suatu kondisi yang dirasakan dan menunjukkan kepuasan terhadap suhu yang ada dilingkungan. Untuk pekerja kantor dimana pekerjanya harus duduk menetap dan mengerjakan pekerjaan yang berulang-ulang selama beberapa jam, aktivitas personal, pakaian, tingkat kebugaran, dan pergerakan udara merupakan faktor yang sangat berpengaruh terhadap persepsi seseorang dengan kenyamanan suhu. Sedangkan kelembaban relatif juga turut berpengaruh terhadap suhu dimana kelembaban yang rendah akan membuat suhu akan semakin dingin demikian juga sebaliknya (Aditama, 2002). 2. Kelembaban Kelembaban udara yang ekstrim dapat berkaitan dengan buruknya udara. Kelembaban yang rendah dapat mengakibatkan terjadinya gejala Sick Building
Universitas Sumatera Utara
Syndrome sepeeti iritasi mata, iritasi tenggorokan, dan batuk-batuk. Selain itu rendahnya kelembaban udara dalam ruang juga dapat meningkatkan kerentanan terhadap penyakit infeksi, serta penyakit asthma. Kelembaban udara juga merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kelangsungan hidup mikroorganisme. Beberapa jenis virus hidup pada tingkatan kelembaban yang tinggi ataupun yang rendah tapi tidak pada level kelembaban yang sedang. Sedangkan bakteri seperti Legionella hidup pada range kelembaban yang terbatas yaitu 55-65% dan bertahan dalam bentuk aerosol (bioaerosol). Pada tingkat kelembaban yang rendah, permukaan yang menjadi dingin dapat mempercepat pertumbuhan jamur dan penggumpalan debu (Aditama, 2002). 3. Particulate Matter (PM) Debu partikulat merupakan salah satu polutan yang paling sering disebut sebagai partikel yang melayang diudara (suspended particulate matter/spm) dengan ukuran 1 mikron sampai dengan 500 mikron. Dalam kasus pencemaran udara baik didalam maupun diluar ruang gedung (indoor dan outdoor pollutan) debu sering dijadikan salah satu indikator pencemaran yang digunakan untuk menunjukkan tingkat bahaya baik terhadap lingkungan maupun kesehatan dan keselamatan kerja. Partikel debu akan berada diudara dalam waktu yang relatif lama dalam keadaan yang melayang-layang di udara kemudian masuk kedalam tubuh manusia melalui pernafasan. Selain dapat membahayakan terhadap kesehatan juga dapat mengganggu daya tembus pandang mata dan dapat mengadakan berbagai reaksi kimia sehingga komposisi debu di udara menjadi
Universitas Sumatera Utara
partikel yang sangat rumit karena merupakan campuran dari berbagai bahan dengan ukuran dan bentuk yang relatif berbeda (Pudjiastuti, 1998). 2.4.2
Standar Kualitas Udara dalam Ruangan AC Berdasarkan SK Gubernur No.54 Tahun 2008 mengenai Baku Mutu
Kualitas Udara Dalam Ruangan (khususnya tempat kerja perkantoran di dalam ruangan AC) yaitu : 1. Suhu, Kelembaban, Pencahayaan a. Suhu
: 23oC-28oC
b. Kelembaban
: 40%-80%
c. Pencahayaan
: minimal 100 lux
2. Debu (PM10) Kandungan debu partikulat <10 mikron maksimal di dalam ruangan berAC dalam pengukuran rata-rata 8 jam adalah 0,09 mg/m3. 2.4.3. Pengendalian Kualitas Udara Dalam Ruangan ber-AC Upaya penyehatan udara dalam ruangan ber-AC harus dilakukan dengan pendekatan yang terintegrasi untuk memisahkan dan mengendalikan pencemar, berdasarkan pengendalian sumber pencemar, penyaringan, penutupan sumber pencemar dan ventilasi yang cukup. Ada beberapa upaya yang dapat dilakukan menurut KepMenKes RI No 1405 tahun 2002 untuk menjaga kualitas suhu, kelembaban, pencahayaan, debu, dan pertukaran udara adalah sebagai berikut : 1. Suhu, Kelembaban, Pencahayaan
Universitas Sumatera Utara
Agar ruang kerja perkantoran dapat berjalan dengan baik maka dapat dilakukan upaya-upaya sebagai berikut : a. Tinggi langit-langit dari lantai minimal 2,5 m b. Bila suhu > 28oC perlu menggunakan alat penetral udara seperti Air Conditioner (AC) dan kipas angin. c. Bila suhu udara luar < 18oC perlu menggunakan alat pemanas ruang. d. Bila kelembaban > 60% perlu menggunakan alat dehumidifier. e. Bila < 40% perlu menggunakan humidifier misalnya mesin aerosol.
2. Debu Agar kandungan debu dalam ruang perkantoran dapat memenuhi persyaratan kesehatan dengan baik maka diperlukan upaya-upaya sebagai berikut : a. Kegiatan membersihkan ruang kerja perkantoran dilakukan pada pagi dan sore hari dengan menggunakan kain pel basah atau pompa hampa (vacuum pump). b. Pembersihan dinding dilakukan secara periodik 2 kali/tahun dan dicat ulang 1 kali setahun. c. Sistem ventilasi yang memenuhi syarat. 3. Pertukaran Udara Agar pertukaran udara dalam ruang perkantoran dapat berjalan dengan baik maka dapat dilakukan upaya-upaya sebagai berikut :
Universitas Sumatera Utara
a. Untuk ruangan yang menggunakan AC secara periodik harus dimatikan dan diupayakan mendapat pergantian udara secara alamiah dengan cara membuka seluruh pintu jendela atau dengan kipas angin. b. Membersihkan saringan/filter udara secara periodik sesuai dengan ketentuan pabrik. 2.5.
Kondisi Lingkungan Kerja
2.5.1. Pengertian Kondisi Lingkungan Kerja Lingkungan kerja merupakan keadaan sekitar tempat kerja baik secara fisik maupun non fisik yang dapat memberikan kesan yang menyenangkan, mengamankan, menentramkan, dan betah kerja (Subroto, 2005). Berdasarkan teori tersebut maka dapat diambil pengertian bahwa keadaan lingkungan sekitar para karyawan bekerja merupakan tempat yang menentukan para karyawan dalam bekerja perlu diciptakan suatu lingkungan yang kondusif yang dapat menentramkan dan betah dalam bekerja. 2.5.2. Faktor Lingkungan Yang Mempengaruhi Lingkungan Kerja Faktor lingkungan yang mempengaruhi lingkungan kerja diantaranya adalah (Subroto, 2005) : A. Lingkungan kerja non fisik 1) Faktor lingkungan sosial Lingkungan sosial yang sangat berpengaruh terhadap kinerja pegawai adalah latar belakang keluarga, yaitu antara lain status keluarga, jumlah keluarga, tingkat kesejahteraan dan lain-lain. 2) Faktor status sosial
Universitas Sumatera Utara
Semakin tinggi jabatan seseorang semakin tinggi pula kewenangan dan keleluasaan dalam mengambil keputusan. 3) Faktor hubungan kerja dalam organisasi Hubungan kerja yang ada dalam orgnasasi adalah hubungan kerja antara pegawai dengan pegawai dan antara pegawai dengan atasan /pimpinan. 4) Faktor sistem informasi Hubungan kerja akan dapat berjalan dengan baik apabila ada komunikasi yang baik diantara anggota organisasi. Adanya komunikasi akan berinteraksi, saling memahami, saling mengerti satu sama lain dapat menghilangkan perselisihan salah paham. B. Lingkungan kerja fisik 1) Faktor lingkungan tata ruang kerja Tata ruang kerja yang baik akan mendukung terciptanya hubungan kerja yang baik antara sesama pegawai maupun dengan atasan karena akan mempermudah mobilitas bagi pegawai untuk bertemu. Tata ruang yang tidak baik akan membuat ketidaknyamanan dalam bekerja sehingga menurunkan kinerja. 2) Faktor kebersihan dan kerapian ruang kerja Ruang kerja yang bersih, rapi, sehat dan aman akan menimbulkan rasa nyaman dalam bekerja. Hal ini akan meningkatkan gairah dan semangat kerja pegawai dan secara tidak langsung akan meningkatkan kinerja. Faktor-faktor yang termasuk lingkungan kerja yang harus diketahui dan diperhatikan yang berpengaruh besar terhadap semangat kegairahan kerja antara
Universitas Sumatera Utara
lain pewarnaan, kebersihan, pertukaran udara, penerangan, keamanan dan kebisingan. Kondisi lingkungan yang sehat dan aman merupakan dambaan setiap orang yang akan lebih baik apabila ditunjang dengan kondisi kantor yang baik dan peralatan yangmemadai maka akan menjadikan kinerja pegawai baik (Subroto, 2005). 2.6.
Sick Building Syndrome
2.6.1. Pengertian Sick Building Syndrome Sick Building Syndrome (SBS) atau yang disebut juga dengan Tight Building Syndrome atau Building Related Illness / Bulding Related Occupant Complaints Syndrome adalah Situasi dimana penghuni Gedung (Bangunan) mengeluhkan permasalahan kesehatan dan kenyamanan yang akut, yang timbul berkaitan dengan waktu yang dihabiskan dalam suatu bangunan, namun gejalanya tidak spesifik dan penyebabnya tidak dapat diidentifikasikan (EPA, 2010). Istilah sindrom gedung sakit (Sick Building Syndrome) pertama dikenalkan oleh para ahli di negara Skandinavia di awal tahun 1980-an. Istilah SBS dikenal juga dengan TBS (Tigh Building syndrome) atau Nonspecific building-related symptoms (BRS), karena sindrom ini umumnya dijumpai dalam ruangan gedung gedung pencakar langit (Guntoro, 2008). Namun dari penelitian tahun 1978-1988 oleh NIOSH ditemukan pada gedung gedung biasa dengan karakteristik kualitas udara yang buruk (NIOSH, 1997). EPA mendefinisikan sindrome gedung sakit merupakan istilah untuk menguraikan situasi dimana penghuni gedung atau bangunan mengalami
Universitas Sumatera Utara
gangguan kesehatan akut dan efek timbul saat berada dalam bangunan, tetapi tidak ada penyebab yang spesifik. Menurut Aditama (2002), istilah SBS mengandung dua maksud yaitu: 1. Kumpulan gejala (sindroma) yang dikeluhkan seseorang atau sekelompok orang meliputi perasaan-perasaan tidak spesifik yang mengganggu kesehatan berkaitan dengan kondisi gedung tertentu, dan 2. Kondisi gedung tertentu berkaitan dengan keluhan atau gangguan kesehatan tidak spesifik yang dialami penghuninya, sehingga dikatakan “gedung yang sakit”. Penyebab SBS dikarenakan gedung, atau karena peralatan yang digunakan atau produk yang digunakan dalam gedung tersebut. Gejala kemudian akan hilang dalam beberapa menit sampai beberapa jam setelah meninggalkan gedung. 2.6.2. Gejala Sick Building Syndrome Berbagai keluhan dan gejala yang timbul pada saat seseorang berada di dalam gedung dan kondisi membaik setelah tidak berada di dalam gedung besar kemungkinan karena menderita SBS. Kasus-kasus SBS memang tidak menunjukan gejala-gejala yang khas dan secara objektif tidak dapat diukur. Keluhan dan tanda berupa sakit kepala, lesu, iritasi mata maupun kulit serta berbagai problem pernapasan, seringkali sulit diperoleh penyebab yang nyata dan kadang-kadang dihubungkan dengan SBS apabila terdapat riwayat tinggal di gedung dengan kualitas ruangan yang buruk (Anies, 2004). Pada umumnya gejala dan gangguan SBS berupa penyakit yang tidak spesifik, tetapi menujukan pada standar tertentu, misal berapa kali seseorang
Universitas Sumatera Utara
dalam jangka waktu tertentu menderita gangguan saluran pernafasan. Keluhan itu hanya dirasakan pada saat bekerja digedung dan menghilang secara wajar pada akhir minggu atau hari libur, keluhan tersebut lebih sering dan lebih bermasalah pada individu yang mengalami perasaan stress, kurang diperhatikan dan kurang mampu dalam mengubah situasi pekerjaannya (EPA, 2010). Keluhan SBS antara lain sakit kepala, iritasi mata, iritasi hidung, iritasi tenggorokan, batuk kering, kulit kering atau iritasi kulit, kepala pusing, sukar berkonsentrasi, cepat lelah atau letih dan sensitif terhadap bau (EPA, 2010) dengan gejala yang tidak dikenali dan kebanyakkan keluhan akan hilang setelah meninggalkan gedung. Menurut Aditama (2002), membagi keluhan atau gejala dalam 7 kategori sebagai berikut: 1. Iritasi selaput lendir, seperti iritasi mata, pedih, merah dan berair. 2. Iritasi hidung, seperti iritasi tenggorokan, sakit menelan, gatal, bersin, batuk kering. 3. Gangguan neurotoksik (gangguan saraf/gangguan kesehatan secara umum), seperti sakit kepala, lemah, capek, mudah tersinggung, sulit berkonsentrasi. 4. Gangguan paru dan pernafasan, seperti batuk, nafas bunyi, sesak nafas, rasa berat di dada. 5. Gangguan kulit, seperti kulit kering, kulit gatal. 6. Gangguan saluran cerna, seperti diare.
Universitas Sumatera Utara
7. Gangguan lain-lain, seperti gangguan perilaku, gangguan saluran kencing, dll. SBS merupakan kumpulan gejala yang disebabkan oleh buruknya kualitas udara dalam ruangan, yang terjadi minimal satu gejala dirasakan oleh 30% responden di dalam gedung (WHO, 2005). Gejala-gejala tersebut sesuai kriteria WHO terdiri dari : a. Iritasi mata, flu tenggorokan. b. Kekeringan membran mukosa/bibir. c. Kulit kering, merah dan gatal-gatal. d. Sakit kepala dan mental fatigue Seseorang dikatakan terkena gejala SBS apabila dari sekumpulan gejala seperti lesu, hidung tersumbat, kerongkongan kering, sakit kepala, kulit gatalgatal, mata pedih, mata kering, mata tegang, pilek, pegal-pegal, sakit leher/punggung dalam waktu bersamaan. Seseorang disebut terkena SBS apabila terdapat lebih dari 20%-50% responden mempunyai keluhan tersebut diatas. Akan tetapi apabila hanya 2-3 orang, maka kejadian tersebut hanya diindikasikan flu biasa (Aditama, 2002). 2.6.3. Penyebab Sick Building Syndrome Penyebab dari gejala SBS menurut Soemirat, 2004, tidak jelas dan dapat bermacam-macam penyebabnya, tetapi yang jelas fenomena ini berkaitan dengan kondisi gedung serta kualitas udara yang tidak memnuhi syarat. Berdasarkan evaluasi penyebab SBS oleh NIOSH terhadap gedung perkantoran, sekolah, universitas, dan gedung pelayanan kesehatan selama tahun
Universitas Sumatera Utara
1978-1989 telah ditemukan faktor kondisi gedung yang diduga menyebabkan SBS. Faktor ventilasi gedung yang tidak adekuat menjadi penyebab utama (>50%), kontaminasi dalam ruang (<20%), kontaminasi udara luar (10%), sedangkan kontaminasi mikrobiologi dan material bangunan masing-masing tidak lebih dari 5%. Beberapa faktor yang berkaitan dengan kualitas udara dalam ruangan yang perlu diperhatikan dalam hubungannya dengan kejadian Sick Building Syndrome menurut Kusnoputranto (2002) : a. Kondisi Lingkungan dalam ruangan Kondisi lingkungan yang sangat penting untuk diperhatikan adalah suhu ruangan, kelembaban, dan aliran udara. Ketiga hal tersebut dapat menyebabkan peningkatan absorbsi polutan kimia dalam ruangan, peningkatan pertumbuhan mikroorganisme udara, dan timbulnya bau yang tidak sedap. b. Konstruksi gedung dan furniture Konstruksi bangunan dan furniture dapat melepaskan gas-gas polutan dalam ruangan, misalnya formaldehide, serat asbes, cat, polutan dari karpet, fiberglass. c. Proses dan alat-alat dalam gedung Banyak polutan dilepaskan oleh alat-alat dan proses dalam gedung, misalnya ozon dari mesin fotokopi dan asap rokok. d. Ventilasi
Universitas Sumatera Utara
Ventilasi udara merupakan salah satu hal yang perlu diperhatikan. Ventilasi udara yang buruk dapat menyebabkan kurangnya udara segar yang masuk dan buruknya distribusi udara yang ada. e. Status kesehatan pekerja Status kesehatan pekerja antara lain adalah alergi/asma yang diderita pekerja yang bersangkutan, perilaku merokok, pengguna alkohol, dan sebagainya. f. Faktor psikososial Faktor psikososial/stress juga ikut mempengaruhi terjadinya Sick Building Syndrome pada seorang pekerja. Untuk dapat mengetahui penyebab sindrom ini maka perlu dilakukan penelitian terhadap situasi lingkungan udara di dalam suatu gedung. The National Institute for Occupational Safety and Health (NIOSH), suatu badan untuk kesehatan dan keselamatan kerja di Amerika Serikat telah memeriksa 466 gedung di negara itu. Pemeriksaan ini dilakukan berdasarkan permintaan dari pemilik/pengguna gedung-gedung itu untuk menilai apakah gedung tempat mereka bekerja masih dalam keadaan sehat atau tidak. Hasil pemeriksaan NIOSH di atas menunjukan enam sumber utama pencemaran udara di dalam suatu gedung sebagaimana tampak pada tabel 1.1. Maka yang dimaksud dengan pencemaran oleh alat-alat di dalam gedung adalah pencemaran akibat mesin fotokopi, asap rokok, pestisida, bahan-bahan pembersih ruangan dan lain-lain. Sementara itu yang dimaksud dengan pencemaran dari luar gedung meliputi masuknya gas buang kendaraan bermotor
Universitas Sumatera Utara
yang lalu lalang, gas dari cerobong asap atau dapur yang terletak di dekat gedung, yang kesemuanya dapat terjadi akibat penempatan lokasi lubang pemasukan udara yang tidak tepat. Pencemaran akibat bahan bangunan meliputi antara laian formaldehide, lem, asbes, fiberglass dan bahan-bahan lain yang merupakan komponen bangunan pembentuk gedung tersebut. Di pihak lain, pencemaran akibat mikroba dapat berupa bakteri, jamur, protozoa dan produk mikroba lainnya yang dapat ditemukan di saluran udara dan alat pendingin (AC) beserta seluruh sistemnya. Akhirnya, gangguan ventilasi udara berupa kurangnya udara segar yang masuk, buruknya distribusi dan kurangnya perawatan sistem ventilasi udara ternyata punya peranan besar dalam menentukan sehat tidaknya lingkungan udara di dalam suatu gedung. Tabel 1.1 Sumber Pencemaran Udara Dalam Ruang Sumber
Persentase
Pencemaran dari alat-alat di dalam gedung
17%
Pencemaran dari luar gedung
11%
Pencemaran akibat bahan bangunan
3%
Pencemaran mikroba
5%
Gangguan ventilasi
52%
Tidak diketahui
12%
Sumber : Laporan NIOSH, 1984 2.6.4. Pencegahan Sick Building Syndrome Pencegahan SBS harus dimulai sejak perencanaan sebuh gedung, penggunaan bahan bangunan mulai pondasi bangunan, dinding, lantai, penyekat ruangan, bahan, perekat (lem) dan cat dinding yang dipergunakan, tata letak
Universitas Sumatera Utara
peralatan yang mengisi ruangan sampai operasional peralatan tersebut perlu kewaspadaan dalam penggunaan bahan bangunan, terutama yang berasal dari hasil tambang, termasuk asbes. Dianjurkan agar gedung didesain berdinding tipis serta memiliki ventilasi yang baik. Pengurangan konsentrasi sejumlah gas, partikel dan mikroorganisme di dalam ruangan, dapat dilakukan dengan pemberian tekanan yang cukup besar di dalam ruangan. Peningkatan sirkulasi udara seringkali menjadi upaya yang sangat efektif untuk mengurangi polusi di dalam ruangan (Anies, 2004). Bahan-bahan kimia tertentu yang merupakan polutan yang sumbernya berada dalam ruangan seperti bahan perekat, bahan pembersih, pestisida dan lain sebagainya sebaiknya diletakkan di dalam ruangan khusus yang berventilasi atau ruang kerja. Untuk ruangan yang menggunakan karpet untuk pelapis dinding atau lantai secara rutin harus dibersihkan dengan penyedot debu apabila dianggap perlu dalam jangka waktu tertentu dilakukan pencucian, demikian juga untuk pembersihan AC harus secara rutin dibersihkan (Anies, 2004). Hindari pula menyalakan AC secara terus menerus. AC perlu dimatikan supaya kuman tidak berkembang biak di tempat lembab. Ketika AC mati, jendela-jendela perlu dibuka lebar-lebar agar sinar matahari masuk ke dalam ruangan, karena panas matahari akan membunuh sebagian besar kuman (Hidayat, 2005). Tata letak peralatan elektronik memegang peranan penting. Tata letak terkait dengan jarak pajanan peralatan yang menghasilkan radiasi elektromagnetik tidak hanya dipandang dari segi ergonomik, tetapi juga kemungkinan dapat menimbulkan SBS (Anies, 2004).
Universitas Sumatera Utara
2.7.Karakteristik Responden Karakteristik karyawan yang bekerja didalam ruangan umumnya dapat dilihat berdasarkan jenis kelamin, usia, perilaku kebiasaan merokok, masa/lama bekerja, status gizi dan riwayat kesehatan yang akan memberikan pengaruh terhadap kesehatan karyawan yang bekerja didalam ruangan yang akan mempengaruhi produktivitas kerja mereka. Biasanya karyawan yang bekerja didalam ruangan yang menggunakan AC jarang mengeluhkan kondisi fisik lingkungan tempat mereka bekerja yang dikarenakan fasilitas dan sarana didalam ruangan bekerja sudah memberikan kenyamanan buat mereka seperti tidak menimbulkan perasaan kepanasan selama bekerja, namun mereka rata-rata sering mengeluhkan mengalami gangguan kesehatan jika terlalu lama bekerja didalam ruangan terlebih jika bekerja di ruangan yang menggunakan AC (Idham, 2003). a. Jenis Kelamin Wanita memiliki kemungkinan lebih tinggi dan sensitif terhadap kejadian SBS. Jenis kelamin wanita terbukti lebih beresiko terkena SBS dibandingkan dengan laki-laki (Winarni, 2003). Swedish Office Illnes Project (Sundell, 1994) menyatakan bahwa wanita memiliki resiko mengalami gejala SBS lebih besar yaitu 35% dibandingkan dengan laki-laki yang hanya 21%. Biasanya wanita lebih mudah lelah dan lebih beresiko dibanding pria. Hal tersebut dikarenakan ukuran tubuh dan kekuatan otot tenaga kerja wanita relatif kurang dibanding pria, secara biologis wanita mengalami siklus haid, kehamilan dan menopause, dan secara sosial, kultural,
Universitas Sumatera Utara
yaitu akibat kedudukan sebagai ibu dalam rumah tangga dan tradisi sebagai pencerminan kebudayaan (Suma’mur, 1996). b. Usia Pada dasarnya, usia berpengaruh pada daya tahan tubuh, semakin tua usia maka semakin menurun pula stamina tubuh. Akan tetapi menurut Hedge dan Mendell, usia yang lebih muda ikut berperan dalam menimbulkan gejala dan keluhan SBS. Hal ini dapat mungkin disebabkan dimana ketika usia mencapai 2130 tahun, merupakan usia produktif yang dimana dalam usia ini biasanya karyawan dituntut untuk menunjukkan performa kerjanya yang optimal, sehingga stamina yang ada pun dapat menurun (Anies, 2004).
c. Kebiasaan Merokok dalam Ruangan Asap rokok merupakan campuran yang kompleks senyawa kimia dan partikel diudara, seperti CO, nitrogenoksida, CO2, hidrogen sianida, dan formaldehyde. Produk samping dari penetralan asap rokok tetap mengandung zatzat yang beracun dan bersifat karsinogenik yang dapat membahayakan pengguna gedung (Nardi, 2003 ; Pudjiastuti, 1998). Sebagai pencemar dalam ruang, asap rokok merupakan bahan pencemar yang biasanya mempunyai kuantitas paling banyak dibandingkan dengan bahan pencemar lain. Hal ini disebabkan oleh besarnya aktivitas merokok di dalam ruangan yang sering dilakukan oleh mereka yang mempunyai kebiasaan merokok. Asap rokok yang dikeluarkan oleh seorang perokok pada umumnya terdiri dari bahan pencemar berupa karbon monoksida dan partikulat. Bagi perokok pasif
Universitas Sumatera Utara
(mereka yang tidak merokok tetapi merasakan akibat asap rokok) hal ini juga merupakan bahaya yang selalu mengancam. Dalam jumlah tertentu asap rokok ini sangat menganggu bagi kesehatan, seperti: mata pedih, timbul gejala batuk, pernafasan terganggu, dan sebagainya (Pudjiastuti, 1998). d. Lama bekerja Lama kerja seseorang dalam gedung diasumsikan dapat memicu timbulnya gangguan kesehatan kronis, semakin lama masa kerjanya, semakin banyak dan beragam informasi masalah kesehatan yang dialami. Masa kerja yang cukup lama dalam gedung ini mempengaruhi tingkat keterpajanan responden terhadap polutan dalam ruang (Winarti, 2003).
2.8.Kerangka Konsep Bagan kerangka konsep yang ada seperti terlihat pada Gambar 1.1 Variabel Independen Kualitas Fisik Udara dalam ruangan :
1. 2. 3. 4.
Suhu Kelembaban udara Pencahayaan Jumlah angka kuman udara dalam ruangan 5. Kondisi lingkungan ruangan
Variabel Dependen Keluhan Building Syndrome
Sick
Karakteristik Responden : 1. 2. 3. 4.
Umur Jenis Kelamin Kebiasaan Merokok Lama bekerja dalam ruangan
Universitas Sumatera Utara