BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
Polivinil Klorida
Polivinil klorida (PVC) adalah polimer termoplastik urutan ketiga dalam jumlah pemakaian di dunia, setelah polietilena dan polipropilena. Di seluruh dunia, lebih dari 50% PVC yang diproduksi dipakai dalam konstruksi. Sebagai bahan bangunan, PVC relatif murah, tahan lama, dan mudah dirangkai. PVC bisa dibuat lebih elastis dan fleksibel dengan menambahkan plasticizer, umumnya ftalat. PVC yang fleksibel umumnya dipakai sebagai bahan pakaian, perpipaan, atap, dan insulasi kabel listrik. PVC diproduksi dengan cara polimerisasi monomer vinil klorida (CH2=CHCl). Karena 57% massanya adalah klor, PVC adalah polimer yang menggunakan bahan baku minyak bumi terendah di antara polimer lainnya (Cowd, 1991). PVC adalah termasuk bahan polimer yang paling banyak digunakan selain polietilen, polipropilen dan polistiren, dimana menguasai 75% pasaran bahan polimer dunia baik disebabkan karena beragamnya senyawa turunan PVC maupun karena luasnya bidang penggunaannya (Anasagasti, 1999). PVC mempunyai sifat keras dan kaku. Kekuatan benturannya baik, mudah terdegradasi akibat panas dan cahaya, mudah disintesis, bentuknya serbuk putih sehingga mudah diolah, mudah larut dalam suhu kamar serta tidak mudah terbakar (Billmeyer, 1984). Berikut ini adalah bentuk serbuk dari polivinil klorida (PVC).
Gambar 2.1. Bentuk ser buk putih PVC Menurut Umam (2013) PVC adalah polimer bertipe termoplastik yang
mempunyai rumus molekulnya adalah (-CH2 – CHCl -)n. Bentuk ini mempunyai titik leleh (melting point) sekitar 2040C dan temperatur transisi glass antara 70 -1000C. Kegunaan dalam kehidupan adalah sebagai pipa plastik (paralon), peralatan kelistrikan, dashboard mobil, atap bangunan dan lain-lain. Ada tiga klasifikasi utama dari industri polimer, yaitu plastik, serat dan karet atau elastomer. Salah satu bahan polimer yang populer dimasyarakat adalah plastik. Berdasarkan sifat termalnya polimer terbagi atas dua bagian yaitu termoplastik dan termoset (Steven, 2001). PVC adalah suatu bahan polimer yang bersifat termoplastik yaitu jika diberi beban akan berubah bentuk dan jika beban dilepaskan tidak akan kembali ke bentuk semula (Wirjosentono, 1998).
2.1.1. Pembuatan PVC
PVC dibuat dengan cara reaksi polimerisasi suspensi atau emulsi monomer vinil 0
klorida (CH2=CHCl) pada suhu 20 dan 50 C (Cowd, 1991). Setiap molekul PVC kira – kira mengandung 100 sampai 150 monomer berulang vinil klorida. Untuk menghasilkan PVC yang lebih banyak (lebih dari 80%) digunakan polimerisasi suspensi. Dengan polimerisasi ruah dan emulsi hanya diperoleh PVC dengan kadar rendah (Billmeyer, 1984).
2.1.2. Struktur dan Sifat PVC
Berdasarkan strukturnya dikenal tiga macam taksisitas PVC, yaitu: isotaktik, sindiotaktik dan ataktik. Pada PVC isotaktik, atom-atom Cl terletak pada posisi sama atau sepihak. PVC dengan konfigurasi sindiotaktik mempunyai atom Cl yang terletak pada posisi bergantian sepanjang rantai utamanya, sedangkan PVC dengan konfigurasi ataktik, atom-atom Cl terletak terdistribusi acak antara bentuk isotaktik dan bentuk sindioataktik (Guarrotxena, et.al, 1999). Berikut ini adalah gambar struktur dari PVC menurut Taksisitas nya:
1. PVC Isotaktik
H
Cl
H
Cl
H
Cl
C
C
C
C
C
C
H
H
H
2. PVC Sindiotaktik
H
H
H
n
Gambar 2.2. Bentuk Str uktur PVC ber dasar kan Taksisitas
PVC merupakan tepung putih dengan massa jenis 1,4 g/cm sehingga ketahanannya terhadap air sangat baik. Selain itu juga ketahanan terhadap asam (asam lemak dan kuat), serta terhadap alkali juga baik. Tidak bersifat racun, tidak mudah terbakar, isolasi listriknya baik dan tahan terhadap banyak larutan (Surdia, 1985). Sifat fisika PVC, jika tidak diberi pemlastis, bentuknya keras dan kaku, kekuatan benturannya baik, sedangkan yang telah diberi pemlastis bentuknya lembut, fleksibel, elastis dan dimensi stabilitasnya baik. PVC mudah terdegradasi akibat panas dan cahaya, dimana warnanya akan berubah, sehingga tidak pernah dijumpai dalam keadaan murni. PVC selalu ditambahkan zat-zat aditif seperti pewarna, pelembut, pengisi, penguat serta pemantap (Fried, 1995). Sifat-sifat umum kemasan PVC adalah sebagai berikut: -
Tembus pandang, ada juga yang keruh.
-
Permeabilitas terhdap uap air dan gas rendah.
-
Tahan lemak, minyak, alkohol dan pelarut petroleum.
-
Kekuatan tarik dan regangan tinggi serta tidak mudah sobek.
-
Dipengaruhi oleh hidrokarbon aromatik, keton, aldehid, ester, eter aromatik, anhidrat dan molekul-molekul yang mengandung belerang, nitrogen serta posfor.
-
Densitas 1,35 – 1,4 g/cm.
Berikut ini adalah gambar reaksi pembentukan dari polivinil klorida (PVC)
Gambar 2.3. Reaksi Pembentukan PVC
2.1.3. Kegunaan PVC
Penggunaan PVC sangat luas, mulai sebagai barang-barang lunak sampai pada bahanbahan konstruksi bangunan yang keras dan kaku. Dengan proses ekstruksi, PVC dapat dipakai untuk pembungkus, busa dan sebagainya. Untuk bahan kaku dan keras biasanya dibuat dengan mencampurkan PVC murni dengan bahan aditif lain. Derajat polimerisasi (DP) PVC dapat menunjukkan sifat mekanik bahan. Jika DP tinggi, akan memberikan sifat mekanik yang baik. Jika
DP rendah, maka sifat mekaniknya
menjadi buruk. Berdasarkan DP dari PVC, penggunaan PVC dikelompokkan menjadi 6 kelompok, yakni: -
PVC dengan DP 2500-3000 dapat digunakan untuk pembuatan selang dan pembungkus.
-
PVC dengan DP 1300-1700 digunakan sebagai pembungkus kabel listrik.
-
PVC dengan DP 1000-1300 digunakan untuk membuat film, kulit tiruan, lembaran tipis dan pipa-pipa lunak.
-
PVC dengan DP 700-800 untuk lembaran kaku dan botol.
-
PVC dengan DP 400-500 digunakan untuk plat (piringan) gramofon dan
-
PVC dengan DP lebih kecil dari 400 dipakai untuk pembuatan cat dan perekat. (Surdia, 1985).
2.1.4. Modifikasi PVC
Untuk mendapatkan bahan PVC seperti yang diharapkan (sebab bahan ini
penggunaanya berbeda-beda sesuai dengan derajat polimerisasinya, serta sifat yang mudah terdegaradasi akibat panas dan cahaya), maka perlu diberikan bahan aditif, supaya sifat-sifat fisika maupun kimia bahan mengalami perubahan (modifikasi). Adapun zat-zat aditif yang ditambahkan pada polivinil klorida, diantaranya: 1. Warna dan pigment 2. Pemlastis (plastisizer ) 3. Pengisi (Filler ) 4. Penguat (reinforcement) 5. Pemantap (Stabilizer ). Penambahan aditif ini tentunya disesuaiakan dengan tujuan yang ingin dicapai (Nirwana, 2001).
2.1.5. Degradasi PVC
Masalah yang perlu diatasi pada pemakaian bahan PVC adalah kecenderungannya mengalami degradasi pada proses pengolahan oleh pengaruh panas dan pada pemakaiannnya oleh pengaruh cuaca dan sinar matahari serta media penggunaan. Disamping itu, kondisi lingkungan seperti adanya oksigen dan bahan-bahan kimia oksidator turut pula mempengaruhi kecepatan degradasi. Pada proses degradasi akan membebaskan atom Cl dari molekul PVC disamping dehidroklorinasi yang mengakibatkan perubahan warna dan perubahan sifat fisiknya (Wirjosentono, et.al, 1995). Mekanisme umum degradasi PVC oleh pengaruh panas telah dirumuskan oleh Stromberg yang terdiri dari tahap inisiasi, propagasi dan terminasi (Grassie, 1985).
Tahap Inisiasi
Tahap ini dimulai dengan proses dehidroklorinasi oleh pengaruh panas membentuk rantai poliena terkonjugasi. Ini kemudian dapat membentuk makroradikal kloroalkil (sebagai hasil pemutusan rantai pada pengolahan) atau reaksi dengan oksigen.
CHCl
CH2
CHCl
Cl -
CH2
CHCl
CH2
CH
CH2
+ Cl
Tahap Pr opagasi
Makroradikal yang terbentuk akibat pelepasan atom H atau Cl pada tahap inisisasi akan segera bereaksi dengan oksigen membentuk radikal peroksida. Selanjutnya, ini akan bereaksi dengan molekul PVC membentuk hidroperoksida (ROOH) dan radikal baru, yang selanjutnya dapat bereaksi dengan oksigen kembali secara berulang CHCl
CH2
CH
CH2
+ Cl
HCHCl
CH
CH
CH2
+ HCl
Tahap Ter minasi
Proses terminasi dapat terjadi dengan cara penggabungan bimolekuler radikal peroksida yang selanjutnya akan membentuk senyawa keton dan alkohol sekunder yang stabil. CHCl
CH2
CHCl
CH2
CHCl
CH
CH
CH2
+ HCl
Dari mekanisme diatas dapat terlihat bahwa degradasi PVC melibatkan pelepasan HCl, pembentukan gugus karbonil (aldehid, keton, atau asam), serta pemutusan rantai dan crosslink. Gejala ini dapat digunakan untuk mengamati jalannya degradasi PVC, melalui teknik gravimetri, spektroskopi infra-merah dan perubahan mekanik (Wirjosentono, et.al, 1995). Secara umum, proses degradasi atau kerusakan/penurunan mutu polimer dapat pula diartikan sebagai reaksi kimia yang melibatkan mekanisme rantai oksidasi. Degradasi polimer juga merupakan reaksi rantai radikal yang menghasilkan suatu hidroperoksida sebagai hasil utama. Sedangkan pada tahap awal, proses degradasi ini diinisiasi oleh pembentukan radikal makro didalam polimer, karena pengaruh gesekan mekanik, panas atau radiasi elektromagnetik (Wirjosentono, et.al, 1995).
2.2.
Bahan Pendisper si
Penambahan bahan pendispersi berfungsi sebagai pelunak dan pembasah pada matriks polimer. Pelunak atau pemlastis merupakan bahan yang ditambahkan kedalam bahan
polimer sehingga molekul pemlastis akan berada diantara rantai polimer yang mempengaruhi mobilitas rantai dan menaikkan plastisitas bahan (Wirjosentono, 1993). Pemlastis dalam konsep sederhana adalah merupakan pelarut organik dengan titik didih tinggi atau padatan dengan titik leleh rendah yang ditambahkan kedalam resin yang keras atau kaku, sehingga akumulasi gaya antar molekul pada rantai panjang akan menurun, akibatnya kelenturan, pelunakan dan pemanjangan resin akan bertambah (Fras, 1998). Dengan berkurangnya gaya antar molekul, menyebabkan gerakan rantai lebih mudah bergerak, akibatnya bahan yang tadi keras atau kaku akan menjadi lembut pada suhu kamar (Cowd, 1991). Pemlastis yang banyak digunakan untuk PVC, biasanya mengandung ester-ester dari asam organik seperti DOP (Dioctyl Phtalate), DOA (Dioctyl Adipate), DIOP (Di Iso Octyl Phtalate), TOP (Tri Octyl Phthalate) dan lainlain (Gibbon, et.al, 1998). Sementara untuk keperluan-keperluan medis seperti pembuat kantung darah, tabung transfusi, kantung urin, pembungkus obat dan lain-lain, biasanya digunakan pemlastis DEHP (Di Ethylhexyl Phtalate). DEHP ternyata mempunyai efek terhadap kesehatan seperti terjadinya abnormalitas hati dan juga menyebabkan penyakit kanker (Lakhsmi, 1998) Proses pemlastis, prinsipnya adalah terjadinya dispersi molekul pemlastis kedalam fase polimer. Bilamana pemlastis mempunyai gaya interaksi dengan polimer, proses dispersi akan berlangsung dalam skala molekul dan terbentuk larutan polimerpemlastis, sehingga keadaan seperti ini disebut kompatibel. Interaksi antara pemlastis – polimer ini sangat dipengaruhi oleh sifat afinitas kedua komponen. Kalau afinitas polimer – pemlastis kecil, akan terjadi plastisasi antar molekul. Sedangkan jika afinitas polimer – pemlastis tinggi, maka molekul pemlastis akan terdifusi kedalam bundel, disini molekul pemlastis akan berada diantara rantai polimer dan mempengaruhi mobilitas rantai (Wirjosentono, et.al, 1995). Sifat fisik dan mekanik yang terplastisasi merupakan fungsi distribusi dari sifat dan komposisi masing-masing komponen dalam sistem, karenanya ramalan karakteristik polimer yang terplastisasi mudah dilakukan dengan variasi komposisi pemlastis (Wirjosentono, et.al, 1995). Secara umum, variasi jumlah pemlastis akan efektif (mempunyai efek plastisasi) sampai bahan kompatibel. Hasil analisis mekanik
yang dilakukan Gibbon menunjukkan bahwa membran-membran yang lebih kuat dan lebih liat (kenyal) dihasilkan ketika sedikit pemlastis yang digunakan dalam membran. Hasil uji mekanik ini menunjukkan bahwa pemlastis yang mempunyai berat molekul yang lebih rendah akan memperbaiki kekuatan dan keliatan membran (Gibbon, 1997). Ketika sejumlah kecil ditambahkan pada suatu polimer, pemlastis ini akan menyebabkan molekul polimer bergerak kedalam konfigurasi energi yang lebih rendah. Dalam konfigurasi ini molekul-molekul menjadi kurang bergerak, dengan demikian akan meningkatkan kekuatan dan keliatan yang baik dari polimer. Sebaliknya jika pemlastis yang ditambahkan terlalu banyak, molekul-molekul polimer banyak bergerak, akibatnya terjadi penurunan kekuatan dan keliatan polimer (Gibbon, 1997). Pemlastis yang ideal untuk PVC, memenuhi sifat-sifat berikut (Frankel, 1975): 1. Harus kompatibel 2. Suhu pembekuan dibawah -400C 3. Regangan tensile diatas 2800 psi 4. Modulus dibawah 1200 psi 5. Kehilangan perpindahan dibawah 3% 6. Kehilangan penguapan 1%
PVC yang mengandung gugus-gugus polar, memerlukan pemlastis polar untuk mencapai kompatibilitas yang baik (Frankel, 1975). Dalam pengolahan membentuk bahan jadi atau setengah jadi kedalam bahan polimer murni biasanya ditambahkan suatu zat cair atau padat untuk meningkatkan sifat plastisitasnya. Proses ini dikenal dengan plastisasi, sedangkan zat yang ditambahkan disebut pemlastis. Plastisasi akan mempengaruhi sifat fisik dan sifat mekanis bahan polimer seperti kekuatan tarik, kelenturan, kemuluran, sifat listrik, suhu alir dan suhu transisi gelas (Tg) (Efendi, 2000). Beberapa teori yang menjelaskan peristiwa plastisasi dan akan diuraikan berikut ini.
2.2.1 Teor i pelumasan
Dalam teori ini pemlastis dipandang sebagai sebuah pelumas yang tidak menunjukkan
gaya-gaya ikatan dengan polimer. Molekul pemlastis hanya terdispersi diantara fase polimer sehingga menentukan gaya-gaya intermolekuler pada rantai polimer dan oleh karenanya hanya menyebabkan plastisasi partial. Jika pemlastis memiliki gaya interaksi dengan polimer, proses dispersi akan berlangsung dalam skala molekul dan terbentuk larutan polimer-pemlastis. Dalam hal ini, polimer dan pemlastis disebut bersifat kompatibel. Senyawa-senyawa
pemlastis
yang
bertindak
sebagai
pelumas
bukan
merupakan pemlastis yang efektif karena hanya menurunkan viskositas lelehan sehingga hanya mempermudah proses pengolahan bahan polimer namun tidak berpengaruh terhadap sifat-sifat mekanis bahan polimer. Pemlastis seperti ini hanya digunakan dalam jumlah yang sedikit dan disebut sebagai bahan pembantu pengolahan atau processing aids (Meier; 1990).
2.2.2 Teori Solvasi
Teori ini didasarkan pada konsep kimia koloid. Sistem polimer-pemlastis dipandang sebagai sebuah koloid liofilik. dimana pemlastis membentuk lingkaran solvasi di sekeliling partikel polimer (fase dispersi). Secara fisik, tidak ada perbedaan mendasar antara bahan-bahan yang berfungsi sebagai pelarut dan yang berfungsi sebagai pemlastis. Dalam kedua hal tersebut; tidak ada interaksi kimia (hanya interaksi fisik) antara pemlastis atau pelarut dan polimer. Dua senyawa dapat bercampur jika energi bebas Gibbs campuran negatif. Energi campuran dapat ditentukan secara DSC atau dari pengukuran tekanan uap PVC-terplastis. Pemlastis adalah pelarut lemah yang memiliki kekuatan solvasi rendah sampai menengah bagi polimer sehingga menghasilkan polimer fleksibel dipolar yang kuat pada suhu kamar melalui pembentukan gel dengan kesetimbangan antara solvasi dan desolvasi Kekuatan solvasi atau swelling dari pemlastis tergantung pada berat molekui dan pada gugus fungsinya. Pemlastis effektif sebagai pelarut ditentukan oleh tiga gaya intermolekuler; yaitu gaya pemlastis-pemlastis, pemlastis-polimer dan polimer polimer. Pemlastis harus memiliki molekul-molekul yang kecil dan memiliki gaya atraktif yang sesuai bagi polimer dimana harus lebih rendah dari pada gaya atraktif antara sesama rantai polimer. Keefektifan pemlastis meningkat bila gaya
pemlastis-pemlastis lebih rendah dibanding gaya polimer-polimer (Meier, 1990).
2.2.3 Teori Termodinamika
Teori ini berusaha untuk menafsirkan gaya-gaya intermolekuler dalam sistem, pemlastis/polimer melalui model berdasarkan ketahanan deformasi dari 3 dimensi gel. Gel terbentuk melalui gaya-gaya ikatan yang efektif disepanjang rantai polimer. Pemlastis hanya terserap ke dalam daerah amorf polimer sehingga tidak terikat kuat. Efek pemlastis adalah menurunkan gaya-gaya intermolekuler (gaya dipol, gaya dispersi dan ikatan hidrogen) sebanyak mungkin dan mengurangi ikatan antara molekul-molekul polimer satu sama lain, yaitu dengan cara menyelubungi titik pusat gaya yang menahan rantai polimer bergabung. Hal ini mengurangi titik kontak antara molekul polimer dan merubah polimer menjadi lentur/fleksibel (Meier, 1990).
2.2.4 Teori Polaritas
Sesuai teori ini gaya intermolekuler antara molekul-molekul pemlastis, molekulmolekul polimer dan molekul-molekul pemlastis-polimer harus seimbang untuk menghasilkan gel yang stabil. Oleh karena itu, polaritas pemlastis yang mengandung satu atau lebih gugus polar dan non polar harus sesuai dengan polaritas dari partikel polimer. Polaritas molekul pemlastis tergantung pada adanya gugus-gugus yang mengandung oksigen, posfat dan sulfur. Pemlastis-pemlastis yang mengandung gugusgugus ester polar; fenil terpolarisasi dan alkil non polar dapat juga bertindak sebagai gugus yang menyelubungi polimer. Namun orientasi dan arah gugus-gugus polar pemlastis menentukan interaksinya dengan dipol-dipol polimer (Meier, 1990).
2.3.
Asam Laur at
Asam laurat atau asam dodekanoat adalah asam lemak jenuh berantai sedang yang tersusun dari 12 atom C. Sumber utama asam lemak ini adalah minyak kelapa, yang
dapat mengandung 50% asam laurat, serta minyak biji sawit (palm kernel oil). Sumber lain adalah susu sapi. Asam laurat memiliki titik lebur 44 °C dan titik didih 225 °C sehingga pada suhu ruang berwujud padatan berwarna putih, dan mudah mencair jika dipanaskan. Rumus kimia: CH3(CH2)10COOH, berat molekul 200,3 g.mol-1. Asam ini larut dalam pelarut polar, misalnya air, juga larut dalam lemak karena gugus hidrokarbon (metil) di satu ujung dan gugus karboksil di ujung lain. Kita dapat menemukan kandungan asam laurat dalam beberapa makanan yang mengandung lemak nabati seperti pada minyak kelapa dan minyak inti kelapa sawit. Bahkan sebagian besar lemak yang dikandungnya adalah lemak asam laurat. Beberapa makanan lain yang memiliki kandungan asam laurat adalah karamel, susu bubuk, dan mentega. Selain itu ini dimanfaatkan oleh industri pencuci, misalnya pada sampo. Sodium lauril sulfat (SLS) adalah turunan yang paling sering dipakai dalam industri sabun dan sampo. Pada Industri Kosmetik, Asam Laurat ini berfungsi sebagai pengental, pelembab dan pelembut (Lide, 2005).
2.4.
Pisang Raja
Pisang raja termasuk jenis pisang buah. Menurut ahli sejarah dan botani secara umum pisang raja berasal dari kawasan Asia Tenggara dan pulau-pulau pasifik barat. Selanjutnya menyebar ke berbagai negara baik negara tropis maupun negara subtropis. Akhirnya buah pisang dikenal di seluruh dunia. Jadi pisang raja termasuk tanaman asli Indonesia dan kultivar-kultivarnya banyak ditemukan di pulau Jawa (Zuhairini, 1997). Adapun klasifikasi tanaman pisang raja menurut Tjitrosoepomo (2001) adalah sebagai berikut: Kerajaan
: Plantae
Divisi
: Spermatophyta
Kelas
: Monocotyledoneae
Ordo
: Zingiberales
Famili
: Musaceae
Genus
: Musa
Spesies
: Musa paradisiaca L.
Kulit pisang merupakan bahan buangan (limbah buah pisang) yang cukup banyak jumlahnya. Pada umumnya kulit pisang belum dimanfaatkan secara nyata, hanya dibuang sebagai limbah organik saja atau digunakan sebagai makanan ternak seperti kambing, sapi, dan kerbau. Jumlah kulit pisang yang cukup banyak akan memiliki nilai jual yang menguntungkan apabila bisa dimanfaatkan sebagai bahan baku makanan (Susanti, 2006). Kandungan unsur gizi kulit pisang cukup lengkap, seperti karbohidrat, lemak, protein, kalsium, fosfor, zat besi, vitamin B, vitamin C dan air. Unsur-unsur gizi inilah yang dapat digunakan sebagai sumber energi dan antibodi bagi tubuh manusia (Munadjim, 1988).
2.4.1. Kandungan kimia dalam kulit pisang
Buah pisang banyak mengandung karbohidrat baik isinya maupun kulitnya. Pisang mempunyai kandungan khrom yang berfungsi dalam metabolisme karbohidrat dan lipid. Khrom bersama dengan insulin memudahkan masuknya glukosa ke dalam selsel. Kekurangan khrom dalam tubuh dapat menyebabkan gangguan toleransi glukosa. Umumnya masyarakat hanya memakan buahnya saja dan membuang kulit pisang begitu saja. Di dalam kulit pisang ternyata memiliki kandungan vitamin C, B, kalsium, protein, dan juga lemak yang cukup. Hasil analisis kimia menunjukkan bahwa komposisi kulit pisang banyak mengandung air yaitu 68,90 % dan karbohidrat sebesar 18,50 %. Komposisi zat gizi kulit pisang dapat dilihat pada tabel 2.1 di bawah ini:
Tabel 2.1. Komposisi Zat Gizi Kulit Pisang per 100 gram bahan Zat Gizi
Kadar
Air (g)
68,90
Karbohidrat (g)
18,50
Lemak (g)
2,11
Protein (g)
0,32
Kalsium (mg)
715
Posfor (mg)
117
Zat besi (mg)
1,60
Vitamin B (mg)
0,12
Vitamin C (mg)
17,50
Sumber: Balai penelitian dan penegembangan Industri, Jatim, Surabaya (1982)
Karbohidrat atau Hidrat Arang yang dikandung oleh kulit pisang adalah amilum. Amilum atau pati ialah jenis polisakarida karbohidrat (karbohidrat kompleks). Amilum (pati) tidak larut dalam air, berwujud bubuk putih, tawar dan tidak berbau. Pati merupakan bahan utama yang dihasilkan oleh tumbuhan untuk menyimpan kelebihan glukosa (sebagai produk fotosintesis) dalam jangka panjang. Hewan dan manusia juga menjadikan pati sebagai sumber energi yang penting. Amilum merupakan sumber energi utama bagi orang dewasa di seluruh penduduk dunia, terutama di negara berkembang oleh karena di konsumsi sebagai bahan makanan pokok. Disamping bahan pangan kaya akan amilum juga mengandung protein, vitamin, serat dan beberapa zat gizi penting lainnya (Johari, 2006).
2.5.
Bahan Pengisi
Bahan pengisi digunakan secara luas sebagai bahan tambahan pada komposisi polimer. Bahan pengisi inert ditambahkan pada komposisi polimer untuk memperbaiki sifat dan untuk mengurangi biaya atau harga. Ada tiga jenis pengisi yaitu : 1.
Pengisi yang memperkuat Akan memperkuat polimer dengan adanya tarikan yang tinggi dari serat yang dikenal dengan serat plastik yang memperkuat (fibre reinforced plastic / FRP). FRP memiliki modulus elastisitas yang tinggi, kekuatan yang tinggi, tahan terhadap korosi dan mudah untuk dibentuk. Serat penguat yang utamanya adalah kaca, grafit, alummina, carbon, boron.
2.
Pengisi aktif
Serat yang mempunyai kekuatan mekanik disebut serat aktif dan yang tidak mempunyai kekuatan mekanik disebut serat tidak aktif. Serat aktif (carbon black, silika gel) lebih kuat 10 hingga 20 kali dibandingkan karet sintetik.
3.
Pengisi tidak aktif Serat ini digunakan untuk menekan harga lebih rendah sebaik mungkin seperti hasil pencampurannya yang baik. Serat ini terdiri dari kayu dan material yang hampir sama dengan bentuk dan ukuran yang berbeda. Serat ini juga mengisi volume lebih besar lagi. Oleh karena itu perbandingan serat dengan matriksnya sangatlah penting agar tidak terjadinya kesalahan metode (Bhatnaghar, 2004).
Umumnya proses pengolahan polimer dilakukan dengan menambahkan bahan pengisi untuk memodifikasinya dengan partikel-partikel ataupun padatan berpori. Resin, amino, tepung kayu, selulosa, kalsium karbonat. Material-material ini dapat meningkatkan kekuatan stabilitas bentuk (struktur polimer), tahan terhadap abrasi dan material yang stabil terhadap panas. Secara prinsip pengisi yang dipakai dalam polimer dapat dibedakan menjdi dua jenis yaitu partikulat dan fibrus (Ningsih, 1999).
2.6.
Kompatibilitas
Kompatibilitas pemlastis dengan bahan polimer merupakan hal yang penting, dimana kompatibilitas yang baik menunjukkan campuran pemlastis dan polimer yang stabil dan homogen. Kompatibilitas campuran dipengaruhi oleh interaksi molekul polimer– pemlastis, bahan aditif, tekanan, suhu, kelembaban dan cahaya. Kemudian kompatibilitas tersebut ditentukan melalui panas reaksi campuran, suhu transisi gelas, morfologi, sifat mekanikal dinamis dan secara viskometrik (Chattopadhyay, 2000). Pemlastis bisa saja kompatibel pada suhu proses namun dapat keluar kembali dari polimer (blooming) pada suhu kamar. Polimer-pemlastis selalu berada dalam kesetimbangan dinamis pada suhu tertentu; begitu suhu berubah efektifitas gaya-gaya juga berubah. Pada kondisi normal; difusi selalu terjadi yaitu sejumlah tertentu pemlastis berada dipermukaan polimer karena kesetimbangan adsorpsi/desorpsi antara
polimer dan pemlastis terganggu (Zhong, et.al, 1998).
2.7.
Kar akter isasi PVC
Karakterisasi dilakukan untuk mengetahui dan menganalisa sifat-sifat PVC baik sebelum maupun sesudah perlakuan. Karakterisasi yang dilakukan dalam penelitian ini diantarnya uji sifat mekanis polimer, Fourier Transform Infra Red Spectroscopy (FTIR) dan Thermogravimetry Analysis (TGA) serta Differential scanning calorimetry (DSC).
2.7.1 Pengujian Sifat Mekanik PVC
Pengujian sifat mekanik bahan polimer penting karena penggunaan bahan polimer sebagai bahan industri sangat bergantung pada sifat mekanisnya, yaitu gabungan anatara kekuatan yang tinggi dan elastisitas yang baik. Sifat mekanik ini disebabkan oleh adanya dua jenis ikatan dalam bahan polimer, yakni ikatan kimia yang kuat anatar atom dan interaksi antara rantai polimer yang lebih lemah. Sifat mekanis biasanya dipelajari dengan mengamati sifat kekuatan tarik ( 𝜎), yaitu beban maksimum (F max )
yang dibutuhkan untuk memutuskan spesimen bahan, dibagi dengan luas penampang bahan. 𝜎=
Ket:
F max A
...............................(2.1)
𝜎
: kekutan tarik bahan (Mpa)
A
: Luas penampang bahan (mm2)
F max : Tegangan maksimum (N)
Sedangkan kemuluran (ε) adalah nisbah pertambahan panjang terhadap spesimen semula.
ε
=
Ket:
L − L0 x100% L0
...............................(2.2)
ε
: Kemularan (%)
L0
: Panjang spesimen mula-mula (mm)
L
: Panjang spesimen setelah diberi beban hingga putus.
Hasil pengamatan sifat kekuatan tarik dinyatakan dalam bentuk kurva tegangan, yakni nisbah beban dengan luas penampang terhadap perpanjangan bahan (regangan), yang disebut kurva tegangan – regangan. Adapun bentuk kurva tegangan-regangan bahan polimer ditunjukkan pada gambar 2.4 dibawah ini.
Gambar 2.4. Kur va tegangan – r egangan bahan polimer
Jika bahan polimer dikenakan gaya tarikan dengan kecepatan tetap, mula-mula kenaikan tegangan yang diterima bahan berbanding lurus dengan perpanjangan spesimen, sampai dengan titik elastisitas. Bila tegangan dilepas spesimen akan kembali kebentuk semula, tetapi jika tegangan dinaikan sedikit saja maka akan terjadi perpanjangan yang besar. kemiringan kurva pada keadaan ini disebut modulus (ε ) atau kekauan.
2.7.2
F ourier Transform Infra-Red Spectroscopy (FT-IR)
Spektroskopi Infra merah merupakan salah satu teknik identifikasi struktur baik untuk senyawa organik maupun senyawa anorganik. Analisa ini merupakan satu metode semi empirik, dimana kombinasi pita serapan yang khas dapat diperoleh
untuk
menentukan struktur senyawa yang terdapat dalam suatu bahan. Energi dari kebanyakan vibrasi molekul dapat dideteksi dan diukur pada spektrum infra merah, bila vibarasinya menghasilkan perubahan momendipol.
Radiasi infra merah yang terpenting dalam penentuan struktur atau analisis gugus fungsi terletak pada daerah dengan bilangan gelombang antara 200 – 4000 cm-1 (Wirjosentono, et.al, 1995). Pada temeperatur kamar, molekul senyawa organik berada dalam keadaan vibrasi tetap. Setiap ikatan mempunyai frekwensi ulur dan tekuk yang khas dan dapat menyerap sinar frekwensi tersebut. Untuk mengukur intensitas serapan dalam spektra infra merah cukup mengetahui bahwa intensitas serapan adalah kuat, sedang, lemah atau tak menentu. Absorbansi suatu cuplikan pada frekwensi tertentu didefenisikan sebagai: A = Log Ket:
L0 L
...............................(2.3)
A : Absorbansi Cuplikan
L0: Intensitas cahaya sebelum mengadakan interaksi dengan cuplikan L : intensitas cahaya sesudah mengadakan interaksi dengan cuplikan
Hubungan antara absorbansi dengan transmitan dinyatakan dengan A = Log
1 T
...............................(2.4)
Biasanya untuk menganalisa, sampel dapat berupa padat, cair dan gas. Sedangkan metode penyiapan analisa untuk bahan polimer dapat dilakukan dengan berbagai cara, diantaranya melarutkan bahan polimer kedalam suatu pelarut seperti karbon disulfida, karbon tetraklorida, kloroform dan tetrahidrofuran atau dengan pembuatan film transparan dengan metode pelet KBr.
2.7.3 Diferential Scanning Calorimetry (DSC)
Analisa termal didefenisikan sebagai pengukuran sifat-sifat fisika dan kimia bahan sebagai fungsi temperatur. Yang termasuk kedalam metode analisis termal adalah Differential Thermal Analysis (DTA), Differential Scanning Calorimetry (DSC) dan Thermogravimetry Analysisis (TGA). Dalam DSC panas yang diserap atau dibebaskan dari suatu sistem atau sampel diamati dengan cara cara mengukur perbedaan temperatur antara sampel dengan senyawa pembanding sebagai fungsi temperatur. Perubahan panas yang dicatat dalam metode ini adalah akibat kehilangan atau penyerapan panas karena adanya reaksi dalam sampel baik eksotermis maupun
endotermis. Analisa DSC sendiri adalah sebuah teknik dimana perubahan suhu (ΔT) antara sampel dengan pembanding yang inert diukur sebagai fungsi suhu. Pada instrumen, mengukur perbedaan suhu antara sampel dan pembanding digunakan termkopel. Karena menggunakan pembanding, maka dilakukan pengkorvesian dengan menggunakan suatu tabel kalibrasi termokopel elektromative force. Kurva DSC biasanya menjadi satu dengan kurva DTA. kedua kurva diplot sebagai fungsi temperatur dengan kecepatan konstan. Perbedaan kedua alat ini hanya terletak pada ordinatnya. Pada DTA menunjukkan perbedaan temperatur sampel dengan pembanding (ΔT), sedangkan pada DSC ordinat menunjukkan perbedaan energi anatar sampel dengan pembanding (dΔQ/dt). Adapun bentuk kurva DTA dan DSC ditujukkan pada gambar 2.5 berikut ini:
Gambar 2.5 Pola umum kurva DTA dan DSC