BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Penginderaan Jauh (Remote Sensing) Penginderaan jauh (remote sensing) merupakan ilmu dan seni pengukuran untuk mendapatkan informasi dan pada suatu obyek atau fenomena, dengan mnggunakan suatu alat perekaman dari suatu kejauhan, dimana pengukuran dilakukan tanpa melakukan kontak langsung secara fisik dengan obyek atau fenomena yang diukur atau diamati (Jaya 2010). Kegiatan penginderaan jauh tidak cukup hanya melakukan dengan pengumpulan data secara mentah namun diperlukan pula pengolahan data secara otomatis (komputerisasi) dan manual (interpretasi), analisis citra dan penyajian data yang diperoleh. Kegiatan penginderaan dibatasi pada penggunaan energi elektromagnetik (Jaya 2010). Menurut Lillesand dan Kiefer (1972) penginderaan jauh merupakan ilmu dan seni untuk memperoleh informasi tentang suatu objek, daerah atau fenomena melalui analisis data yang diperoleh dengan suatu alat tanpa kontak langsung dengan obyek, daerah, atau fenomena yang dikaji.
Gambar 1 Pengindraan jauh elektromagnetik untuk sumber daya bumi. Sumber :Lillesand dan Kiefer (1979) Gambar 1 menunjukan skematis proses dan elemen yang terkait di dalam sistem penginderaan jauh dengan menggunakan energi elektromagnetik untuk sumber daya alam. Elemen yang diperlukan dalam proses pengumpulan data meliputi : (a) sumber energi, (b) perjalanan energi, (c) interaksi antara energi
6
dengan kenampkana muka bumi, (d) sensor wahana pesawat terbang dan/atau satelit, dan (e) hasil pembentukan data dalam bentuk pictorial dan/ atau bentuk numeric. Sedangkan untuk dalam proses pengalisan data meliputi (f) pengujian data dengan menggunakan alat interpretasi dan alat pengamatan untuk mengalisis data pictorial, dan/atau computer untuk mengalisis data sensor numerk, (g) data yang disajikan lokasi, bentang alam, kondisi sumber daya yang dinformasikan oleh sensor pada umumnya dalam bentuk peta, tabel, dan suatu bahasan tertulis laporan (h) pemanfaatan oleh pengguna untuk proses pengambilan keputusan (informasi yang dikhususkan untuk penggunaan lahan dan data statistik tentang suatu luas tanaman).
2.2 Sistem informasi Geografis (SIG) Menurut Bettinger dan Wing (2004) sistem informasi geografis terdiri dari alat dan layanan yang diperlukan untuk memungkinkan pengguna untuk mengumpulkan, mengorganisir, memanipulasi, menafsirkan, dan menampilkan informasi geografis. Suatu sistem informasi geografis dapat didefinisikan bagaimana penggunaan lahan sistem informasi, manajemen sistem informasi sumber daya alam dengan apa yang berisi(spasial fitur yang berbeda, kegiatan, atau peristiwa yang didefinisikan sebagai titik, garis, poligon, atau raster grid), dengan kemampuannya (Satu set alat yang kuat untuk mengumpulkan, menyimpan, mengambil, ternsforming, dan menampilkan data), atau dengan perannya. Sistem informasi georagfis merupakan sistem berbasis komputer yang terdiri atas perangkat keras komputer (hardware), perangkat lunak (software), data geografis dan sumberdaya manusia (brainware) yang mampu merekam, menyimpan, memperbaharui, menampilkan dan menganalisis, dan menampilkan informasi yang bereferensi geografis (Jaya 2002). Komponen–komponen yang membentuk dalam sistem informasi geografis akan menentukan kesuksesan pengembangan terhadap SIG tersebut. Disebutkan juga bahwa SIG untuk di bidang kehutana dapat membantu dalam pengambilan keputusan untuk memecahkan permasalahan keruangan, mulai dari tahapan perencanaan, pengelolaan, hingga pengawasan. Selain itu pula SIG dapat memecahkan
7
permasalahan dalam menyangkut suatu luasan areal (polygon), batas (line atau arc), dan lokasi (point). Aplikasi–aplikasi yang dapat dibentuk dalam sistem informasi geogarfis dapat berupa data spasial (peta). Menurut Jaya (2002),data spasial yang digunakan dalam bidang kehutanan antara lain: (1) peta rencana tata ruang, (2) peta tataguna hutan, (3) peta rupa bumi (kontur), (4) peta jalan, (5) peta sungai, (6) peta tata batas, (7) peta batas unit pengelolaan hutan, (8) peta batas administrasi kehutanan, (9) peta tanah, (10) peta iklim, (11) peta vegetasi, (12) peta potensi sumberdaya hutan 2.3 Citra Sistem RADAR (Radio Detecting and Ranging) Pengembangan sistem RADAR ditujukan sebagai suatu cara yang menggunakan gelombang radio untuk mendeteksi adanya obyek dan menentukan jarak posisinya (Lillesand dan Kiefer 1979). Proses sistem RADAR meliputi transmisi ledakan pendek atau pulsa tenaga gelombang mikro ke arah yang dikehendaki dan merekam kekuatannya dari asal gema “echo” atau “pantulan” yang diterima dari obyek dalam sistem medan perang. Penginderaan jauh sistem RADAR merupakan penginderaan jauh sistem aktif, tenaga elektromagnetik yang digunakan di dalam penginderaan jauh dibangkitkan pada sensor. Tenaga ini berupa pulsa bertenaga tinggi yang dipancarkan dalam waktu yang sangat pendek yaitu sekitar 10-6 detik (Lillesand dan Kiefer 1979). Sistem RADAR mempunyai sensor sendiri (sensor aktif) sehingga permukaan bumi yang direkam tidak menggunakan energi matahari. Hal ini yang membuat perbedaan antara sistem optik dengan sistem radar karena pada sistem optik bergantung padascattering dan penyerapan yang disebawan oleh klorofil, struktur daun maupun biomassa, sedangkan sensor dari sistem RADAR tergantung dari struktur kasar tajuk, kadar air vegetasi, sebaran ukuran bagianbagian tanaman dan untuk panjang gelombang tinggi tergantung pada kondisi permukaan tanah.Selain itu, energi gelombang RADAR menyebar ke seluruh bagian permukaan bumi, dengan sebagian energi yang dikenal sebagai backscatter atau hamburan balik.Hamburan balik ini dipantulkan kembali pada RADAR
8
sebagai pantulan gelombang RADAR yang lemah dan diterima oleh antena pada bentuk polarisasi tertentu (horizontal atau vertikal, tidak selalu sama dengan yang ditransmisikan). Pantulan gelombang tersebut dikonversikan menjadi data dijital dan dikirim ke perekaman data kemudian ditampilkan menjadi image (citra satelit). Sistem RADAR seperti ini dinamakan dengan SLR (side looking radar) atau SLAR (side looking airborne radar). Sistem SLAR menghasilikan jalur citra yang berkesinambungan yang menggambarkan daerah medan luas
serta
berdekatan dengan jalur terbang. Faktor utama yang mempengaruhi sifat khas transmisi sinyal dari suatu sistem RADAR adalah panjang gelombang dan polarisasi pulsa yang digunakan. Tabel 1 menunjukkansaluran panjang gelombang yang lazim digunakan dalam transmisi pulsa. Kode huruf untuk berbagai saluran (K, X, L dsb) digunakan dan menandakan berbagai saluran yang berbeda panjang gelombangnya. Pada umumnya untuk saluran K dan X merupakan saluran yang paling umumn digunakan dalam terapan sumber daya bumi. Tabel 1 Penandaan saluran RADAR Kode saluran
Panjang gelombang
Frekuensi (f) = Cλ-1
(λ) (mm)
Megaherts (106 putaran – detik -1
Ka
7.5 – 11
40.000 – 26.500
K
11 – 16.7
26.500 – 18.000
K4
16.7 – 24
18.000 – 12.500
X
24 – 37.5
12.500 – 8.000
C
37.5 – 75
8.000 – 4.000
S
75 – 150
4.000 – 2.000
L
150 -300
2.000 – 1.000
P
300 – 1000
1.000 – 300
Sumber :Lillesand dan Kiefer (1979) Sinyal RADAR dapat ditransmisikan atau diterima dalam bentuk polarisasi yang berbeda artinya sinyal dapat disaring sedemiian sehingga getaran gelombang elektrik dibatasi hanya pada suatu bidang datar yang tegak lurus arah perjalanan gelombang. Satu sinyal SLAR dapat ditransmisikan pada bidang datar (H) ataupun tegak (V). Sinyal tersebut dapat pula diterima pada bidang mendatar atau tegak. Demikian pula dapat diterima pada bidang mendatar maupun tegak
9
sehingga ada empat kombinasi sinyal transmisi dan penerimaan yang berbeda, yaitu dikirim H diterima H (HH), dikirim H diterima V (HV), dikirim V diterima H (VH), dan dikirim V diterima V (VV). Karena berbagai objek mengubah polarisasi tenaga yang dipantulkan dalam berbagai tingkatan maka bentuk polarisasi sinyal mempengaruhi kenampakan objek pada citra yang dihasilkan. Sifat yang mempengaruhi dalam pantulan yang paling utama adalah ukuran geometris dan sifat khas elektrik obyek. Sifat dari ukuran (geometris) adalah suatu corak “pandangan samping” di dalam mencitrakan berbagai relatif medan. Pada gambar 2 ditunjukan bahwa variasi sensor geometris medan relatif untuk berbagai orientasi medan. Variasi lokal lereng medan mengakibatkan sudut datang sinyal yang berbeda–beda. Sebaliknya, variasi ini mengakibatkan hasil balik yang relatif tinggi bagi kelerengan yang menghadap sensor, dan hasil balik yang rendah atau tidak ada sama sekali bagi kelerengan membelakangi sensor. Kekuatan hasil balik lawan grafik waktu yang ditempatkan pada medan sehingga dimana sinyal dapat dikorelasikan pada kenampakan yang menghasilkan (Gambar 2) dan secara skematik perubahan pada nilai kecerahan. Namun berbeda denganp permukaan dengan kekasaran yang pada dasarnya sama atau lebih besar daripada panjang gelombang yang ditransmisikan sehingga pemantulann dari permukaan kasar menjadi membaur dan sebagian kecil akan kembali ke antena seperti yang digambarkan (Gambar 3). Pada umumnya semakin halus suatu permukaan semakin jauh panjang gelombang untuk sensor menerima dan mengakibatkan sinyal balik menjadi rendah (Lillesand dan Kiefer 1979).
Gambar 2 Efek geometri sensor/medan pada citra SLAR. Sumber :Lillesand dan Kiefer (1979)
10
(a) Pemantulan baur
(b) pemantulan sempurna (c) pemantulan sudut
Gambar 3 Pantulan RADAR dari berbagai permukaan. Sumber :Lillesand dan Kiefer (1979) Sifat khas elektrik merupakan kenampakan medan bekerja sangat erat dengan sifat geometris dalam menentukan intesitas hasil balik RADAR. Satu ukuran bagi sifat khas elektrik obyek adalah tetapan dielektrik komplek. Parameter ini merupakan suatu indikasi bagi daya pantul dan konduktivitas berbagai material (Lillesand dan Kiefer 1979).
2.4 Karakteristik ALOS PALSAR Satelit ALOS (Advanced Land Observing Satellite), yang salah satu sensor disebut PALSAR (Phased-Array type L-band Synthetic Aperture Radar) merupakan salah satu satelit dengan sensor gelombang mikro aktif yang dapat melakukan observasi siang dan malam tanpa terpengaruh oleh kondisi cuaca. Satelit ALOS PALSAR merupakan pengembangan lebih lanjut dari sensor SAR yang dibawa oleh satelit pendahulunya JERS-1. Satelit ALOS adalah satelit milik Jepang yang merupakan generasi lanjutan dari JERS-1 dan ADEOS yang dilengkapi dengan teknologi yang lebih maju. Satelit ALOS diluncurkan pada tanggal 24 Januari 2006. Melalui observasinya, yaitu ScanSAR sensor ini memungkinkan untuk melakukan pengamatan permukaan bumi dengan cakupan area yang cukup luas yaitu 250 hingga 350 km. ScanSAR mempunyai kemudi berkas cahaya (yang dapat diatur) pada elevasi (ketinggian) dan didesain untuk memperoleh cakupan yang lebih lebar daripada SAR konvensional.
11
Tabel 2 Bentuk dari karakteristik PALSAR Mode
Fine
ScanSAR
Frekuensi
1.270 MHz (L-Band)
1.270 MHz (L-Band)
Lebar Kanal
28/114 MHz
28/114 MHz
Polarisasi
HH/VV/HH+HV atau VV+VH
HH atau VV
Resolusi Spasial
10 m (2 look)/20 m (4 look)
100 m (multi look)
Lebar cakupan
70 km
250-350 km
Panjang Bit
3 bit atau 5 bit
5 bit
Ukuran
AZ:8.9 m x EL :2.9 m
AZ:8.9 m x EL :2.9 m
Sumber : Jaxa (2006) 2.5 Pendugaan Biomassa Menurut Brown (1997) biomassa merupakan jumlah total organik yang hidup di atas permukaan tanah pada tanaman khususnya pohon (daun, ranting, cabang, batang utama), yang dinyatakan dalam satuan berat kering ton per unit area dan umumnya biomassa dinyatakan dengan satuan berat kering (dry weight) atau
kadang-kadang
dalam
berat
kering
bebas
abu
(ash
free
dry
weight).Tumbuhan memilikikomponen biomassa di atas dan di bawah permukaan tanah,tetapi komponen biomassa terbesar terdapat pada atas permukaan tanah. Karbon atau zat arang merupakan suatu unsur berbentuk padat maupun cair yang biasanya banyak terdapat di dalam perut bumi, di dalam tumbuhan maupun di udara (atmosfer) dalam bentuk gas. Penyimpanan karbon tumbuhan pada bagian atas pemukaan tanah lebih besar dibandingkan bagian bawah permukaan tanah, tetapi jumlah karbon di atas pemukaan tanah tetap ditentukan oleh besarnya jumlah karbon di bawah permukaan tanah. Hal ini terkait dengan kondisi kesuburan tanah (Hairiah dan Rahayu 2007). Karbon memiliki peran penting dalam proses fotosintesis. Proses ini menyerap CO2 dan menghasilkan C6H12O6 berikut O2 yang sangat bermanfaat sebagai kebutuhan dasar makhluk hidup (CIFOR 2008). Hutan merupakan salah satu ekosistem terpenting dalam menstabilkan konsentrasi CO2 yang terkait dengan perubahan iklim. Selain dapat memberikan pembangunan yang berkelajutan, hutan pun dapat memberikan banyak keuntungan seperti keragaman hayati, perlindungan DAS, berkelanjutan pasokan
12
kayu bulat, peningkatan tanaman dan rumput produktivitas serta mata pencaharian bagi masyarakat yang bergantung pada hutan. Selain itu, sektor kehutanan berperan dalam mitigasi perubahan iklim dengan cara : (1) mempertahankan atau meningkatkan kawasan hutan, (2) mempertahankan atau meningkatkan kepadatan karbon di tingkat lokasi,(3) mempertahankan atau meningkatkan kepadatan karbon pada tingkat lanskap, (4) meningkatkan cadangan karbon off-site dalam produk kayu dan produk meningkatkan, dan (5) bahan bakar substitusi(IPCC 2007). Menurut Chapman (1976), secara garis besar metode pendugaan biomassa di atas permukaan tanah dapat dikelompokkan menjadi dua kelompok, yaitu : 1. Metode Pemanenan a. Metode pemanenan individu tanaman Metode ini digunakan pada tingkat kerapatan dan jenis individu cukup rendah. Nilai total biomassa dengan metode ini diperoleh dengan menjumlahkan biomassa seluruh individu dalam suatu unit area contoh. b. Metode pemanenan kuadrat Metode ini mengharuskan pemanenan semua individu dalam suatu unit area contoh dan menimbangnya. Nilai total biomasa diperoleh dengan mengkonversikan berat bahan organik tumbuhan yang dipanen ke dalam suatu unit area tertentu. c. Metode pemanenan individu yang mempunyai luas bidang dasar rata-rata Metode ini cukup baik untuk tegakan dengan ukuran individu yang seragam. Dalam metode ini, pohon yang ditebang ditentukan berdasarkan rata-rata diameter tegakan. Berat pohon yang ditebang ditimbang. Nilai total biomassa diperoleh dengan menggandakan nilai berat rata-rata dari pohon dalam suatu unit area tertentu atau jumlah berat dari pohon contoh yang digandakan dengan rasio antara luas bidang dasar dari semua pohon dalam suatu area dengan jumlah luas bidang dasar dari semua pohon contoh.
13
2. Metode Pendugaan Tidak Langsung a. Metode hubungan alometrik Metode ini beberapa pohon contoh dengan diameter mewakili kisaran kelas-kelas diameter pohon dalam suatu tegakan yang ditebang dan ditimbang beratnya. Berdasarkan berat berbagai organ dari pohon contoh, maka dibuat persamaan alometrik antara berat pohon dengan dimensi pohon (diameter, tajuk, dan tinggi). Persamaan alometrik tersebut digunakan untuk menduga berat semua individu pohon dalam suatu unit area. b. Metode Cropmeter Pendugaan biomassa dengan metode ini menggunakan seperangkat peralatan elektroda listrik. Secara praktis dua buah elektroda listrik diletakkan di permukaan tanah pada suatu jarak tertentu, biomassa tumbuhan yang terletak antara kedua elektroda dapat dipantau dengan electrical capacitance yang dihasilkan alat tersebut. Riska (2011) telah melakukan pendugaan biomassa hutan di wilayah KPH Banyumas Barat menggunakan ALOS PALSAR. Dalam studi tersebut dilakukan analisis regresi terhadap hubungan biomassa dengan koefisien backscatter dari data PALSAR . Dari studi tersebut diperoleh bahwa polarisasi HV menunjukan hubungan yang lebih baik dengan biomassa dibandingkan dengan pada polarisasi HH. Penelitian lain dilakukan oleh Awaya (2009) di daerah Palangkaraya. Dalam studi tersebut dilakukan analisis hubungan biomassa dengan koefisien backscatter menggunakan analisis regresi. Hasilstudi tersebut menunjukkan bahwa polarisasi HV lebih baik dibandingkan dengan pada polarisasi HH dalam menduga biomassa hutan.