BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi Spinal cord injury atau cedera medula spinalis adalah trauma atau kerusakan dari medula spinalis yang mengakibatkan gangguan fungsional baik sementara atau permanen pada fungsi motorik, sensorik atau otonom.1 Trauma medulla spinalis dapat terjadi bersamaan dengan trauma pada tulang belakang yaitu terjadinya fraktur pada tulang belakang, ligamentum longitudainalis posterior dan duramater bisa robek, bahkan dapat menusuk kekanalis vertebralis serta arteri dan vena-vena yang mengalirkan darah
ke
medula spinalis dapat ikut terputus.1 Medulla Spinalis merupakan bagian dari Susunan Saraf Pusat. saraf yang tipis yang merupakan perpanjangan dari sistem saraf pusat dari otak dan dilindungi oleh tulang belakang Terbentang dari foramen magnum sampai dengan L1, di L1 melonjong dan agak melebar yang disebut conus terminalis atau conus medullaris.2 Fungsi utama medulla spinalis adalah transmisi pemasukan rangsangan antara perifer dan otak. Terdapat 31 pasang saraf spinal; 8 pasang saraf servikal, 12 pasang saraf thorakal, 5 pasang saraf lumbal, 5 pasang saraf sacral dan 1 pasang saraf coxigeal. Akar saraf lumbal dan sacral terkumpul yang disebut dengan Cauda Equina. Setiap pasangan saraf keluar melalui intervertebral foramina. Saraf spinal dilindungi oleh tulang vertebra dan ligamen dan juga oleh meningen spinal dan CSF.2
1
Gambar 1. Gambaran secara posterior Kolumna vertebralis
Gambar dikutip dari : Snell RS. Chapter 4. The spinal cord and the ascending and descending tracts. In Snell RS . Clinical Neuroanatomy. 7 th Edition. Lippincott William & Willkis, Philadelphia.2010. B. Etiologi Sejak tahun 2005 etiologi utama CMS adalah Kecelakaan lalu lintas (39,2%), terjatuh (28,3%), kekerasan atau luka tembak (14,6%), olahraga (terutama diving 8,2%) akibat lainnya ( 9,7%).3 Cedera sumsum tulang belakang terjadi akibat patah tulang belakang dan terbanyak mengenai daerah servikal dan lumbal. Cedera terjadi akibat hiperfleksi, hiperekstensi, kompressi, atau rotasi tulang belakang. Didaerah torakal tidak banyak terjadi karena terlindung dengan struktur toraks. Fraktur dapat berupa patah tulang sederhana, kompresi, kominutif, dan dislokasi, sedangkan kerusakan pada sumsum tulang belakang dapat berupa memar, contusio, kerusakan melintang, laserasi dengan atau tanpa gangguan peredaran darah, atau perdarahan.3,4 Kelainan sekunder pada sumsum belakang dapat disebabkan hipoksemia dan iskemia. Iskemia disebabkan hipotensi, oedema, atau kompressi. Perlu
2
diketahui bahwa kerusakan pada sumsum tulang belakang merupakan kerusakan yang permanen karena tidak akan terjadi regenerasi dari jaringan saraf. Pada fase awal setelah trauma tidak dapat dipastikan apakah gangguan fungsi disebabkan oleh kerusakan yang sebenarnya dari jaringan saraf atau disebabkan oleh tekanan, memar, atau oedema.4 C. Patofisiologi Tulang belakang yang mengalami gangguan trauma dapat menyebabkan kerusakan pada medulla spinalis, tetapi lesi traumatik pada medulla spinalis tidak selalu terjadi karena fraktur dan dislokasi.3 Efek trauma yang tidak langsung bersangkutan tetapi dapat menimbulkan lesipada medulla spinalis disebut whiplash/trauma indirek, ini adalah gerakan dorsopleksi dan anterofleksi berlebihan dari tulang belakang secara cepat dan mendadak. Trauma whiplas terjadi pada tulang belakang bagian servikalis bawah maupun torakalis bawah misal, pada waktu duduk dikendaraan yang sedang berjalan cepat kemudian berhenti secara mendadak. Atau pada waktu terjun dari jarak tinggi menyelam dan masuk air yang dapat mengakibatkan paraplegia. Trauma tidak langsung dari tulang belakang berupa hiperekstensi, hiperfleksi,tekanan vertical (terutama pada T.12 ampai L.2), rotasi. Kerusakan yang dialami medulla spinalis dapat bersifat sementara atau menetap. Akibat trauma terhadap tulang belakang, medula spinalis dapat tidak berfungsi untuk sementara (komosio medulla spinalis), tetapi dapat sembuh kembali dalam beberapa hari. Gejala yang ditimbulkan adalah berupa oedema, perdarahan peri vaskuler dan infark disekitar pembuluh darah.4 Pada kerusakan medulla spinalis yang menetap, secara makroskopis kelainannya
dapat
terlihat
dan
terjadi
lesi, contusio, laserasio dan
pembengkakan daerah tertentu di medulla spinalis. Laserasi medulla spinalis merupakan lesi berat akibat trauma tulang belakang secara langsung karena tertutup atau tulang
peluru
belakang
yang
(fraktur
dapat
mematahkan
/menggeserkan
ruas
dan dislokasi). lesi transversa medulla spinalis
3
tergantung pada segmen yang terkena (segmen transversa, hemitransversa, kuadrantransversa).4 Hematomielia
adalah
perdarahan
dalam medulla spinalis yang
berbentuk lonjong dan bertempat di substansia grisea. Trauma ini bersifat whiplash yaitu jatuh dari jarak tinggi dengan sifat badan berdiri, jatuh terduduk, terdampar eksplosi atau fraktur dislokasio. Kompresi medulla spinalis terjadi karena dislokasi medulla spinalis dapat terjepit oleh penyempitan kanalis vertebralis.4 Suatu segmen medulla spinalis dapat tertekan oleh hematoma ekstra meduler traumatic dan dapat juga tertekan oleh kepingan tulang yang patah yang terselip diantara duramater dan kolumna vertebralis.4 Gejala yang didapat sama dengan sindroma kompresi medulla spinalis akibat tumor, kista dan abses didalam kanalis vertebralis. Akibat hiperekstensi dislokasio, fraktur dan whislap radiks saraf spinalis dapat tertarik dan mengalami jejas/reksis. Pada trauma whislap, radiks colmna 5-7 dapat
mengalami hal
gejala
radikuler
yang
terjadi
adalah
nyeri
demikian,
dan
spontan yang bersifat
hiperpatia, gambaran tersbut disebut hematorasis atau neuralgia
radikularis
traumatik yang reversible. Jika radiks terputus akibat trauma tulang belakang, maka gejala defisit sensorik dan motorik yang terlihat adalah radikuler dengan terputusnya arteri radikuler terutama menimbulkan
defisit
sensorik
radiks
T.8
atau
T.9
yang
akan
motorik pada dermatoma dan miotoma
yang bersangkutan dan sindroma sistema anastomosis anterial anterior spinal.5
4
Gambar 2.tingkat SCI
Gambar dikutip dari : Snell RS. Chapter 4. The spinal cord and related disease. In Snell RS . Clinical Neurology and neurosurgery. 7 th Edition. Lippincott William & Willkis, Philadelphia.2010. Tiap lesi di medula spinalis yang merusak daerah jaras kortikospinal lateral dapat menimbulkan kelumpuhan upper motor neuron (UMN) pada otototot bagian tubuh yang terletak dibawah tingkat lesi. Bila lesi bilateral atau transversal medula spinalis di bawah tingkat servical maka dapat muncul suatu paraplegi spastik, bila lesinya di tingkat servical maka akan muncul suatu tetraplegi spastik. Paraplegi dan tetraplegi spastik dapat terjadi secara tiba-tiba atau akut yang disebabkan oleh dislokasi atau fraktur tulang belakang akibat trauma atau lesi vaskuler seperti: trombosis arteri spinalis, hematomielia, aneurisma aorta disektans. Paraplegia atau tetraplegi spastik pada anak-anak pada umumnya merupakan gejala cerebral palsy atau manifestasi penyakit herediter yang menyertai keterbelakangan mental. Paraplegia atau tetraplegi spastik yang berkembang secara sedikit demi sedikit dalam jangka waktu yang bertahun-tahun biasanya disebabkan oleh Amyotrophic Lateral Sclerosis (ALS), biasanya disertai defisit sensorik pada permukaan tubuh yang terletak dibawah lesi, bahkan sebagian besar dapat terjadi gangguan miksi dan defekasi
5
Gambar 3. Mekanisme cedera flexi dan dislokasi dari C5-C6 dengan robekan pada interspinosus dan posterior longitudinl ligaments, kapsul fecet, dan diskus intervertebralis posterior.
Gambar dikutip dari : Frieberg Magge SN, Chapter 60. Trauma to the Spine and Spinal Cord. In : Jones HR. Srinivasan J. Neurology.
6
Gambar 4. Mekanisme cedera anterofleksi
Gambar dikutip dari : Sheerin F. Spinal Cord Injury : Causation and Pathophysiology. Emerg Nurse. 2005. Gambar 5. Mekanisme trauma Hiperekstensi
Gambar dikutip dari : Sheerin F. Spinal Cord Injury : Causation and Pathophysiology. Emerg Nurse. 2005. 7
Gambar 6. Patofisiologi syock neurogenic
Gambar dikutip dari : Sheerin F. Spinal Cord Injury : Causation and Pathophysiology. Emerg Nurse. 2005. D. Gambaran Klinis Gambaran klinik tergantung pada lokasi dan besarnya kerusakan yang terjadi. Kerusakan meningitis lintang memberikan gambaran berupa hilangnya fungsi motorik maupun sensorik kaudal dari tempat kerusakan disertai shock spinal. shock spinal terjadi pada kerusakan mendadak sumsum tulang belakang karena hilangnya rangsang yang berasal dari pusat. Peristiwa ini umumnya berlangsung selama 1-6 minggu, kadang lebih lama. Tandanya adalah kelumpuhan flasid, anastesia, refleksi, hilangnya fersfirasi, gangguan fungsi rectum dan kandung kemih, triafismus, bradikardia dan hipotensi. Setelah shock spinal pulih kembali, akan terdapat hiperrefleksi terlihat pula
8
pada tanda gangguan fungsiotonom, berupa kulit kering karena tidak berkeringat dan hipotensi ortostatik serta gangguan fungsi kandung kemih dan
gangguan
defekasi
Sindrom
sumsum
belakang
bagian
depan
menunjukkan kelumpuhan otot lurik dibawah tempat kerusakan disertai hilangnya rasa nyeri dan suhu pada kedua sisinya,sedangkan rasa raba dan posisi tidak terganggu.4 Cedera sumsum belakang sentral jarang ditemukan. Keadaan ini pada umumnnya terjadi akibat cedera didaerah servikal dan disebabkan oleh hiperekstensi mendadak sehingga sumsum tulang belakang terdesak dari dorsal oleh ligamentum flavum yang terlipat.5 Cedera tersebut dapat terjadi pada orang yang memikul barang berat diatas kepala, kemudian terjadi gangguan keseimbangan yang mendadak sehingga
beban
jatuh
dan
tulang
belakang
sekonyong-konyong
dihiperekstensi. Gambaran klinik berupa tetraparese parsial. Gangguan pada ekstremitas atas lebih ringan daripada ekstremitas atas sedangkan daerah perianal tidak terganggu.
Kerusakan tulang belakang setinggi vertebra
lumbal 1 & 2 mengakibatkan anaestesia perianal, gangguan fungsi defekasi, miksi, impotensi serta hilangnya refleks anal dan refleks bulbo kafernosa.6 E. Diagnosa Evaluasi klinis pada pasien dengan CMS membutuhkan penilaian status neurologis lengkap, namun serupa dengan pasien trauma lainnya evaluasi klinis awal dilakukan Observasi primer. Pada observasi primer , ABC (airway, Breathing, Circulation) dinilai terlebih dahulu. Setelah ketiga aspek tersebut dinilai stabil, maka penilaiian status neurologis dilaksanakan.7 Dugaan adanya CMS didapatkan melalui anamnesis yang menyeluruh baik mengenai mekanisme trauma dan gejala yang berhubungan dengan trauma pada daerah spinal (umumnya nyeri) dan adanya defisit motorik ata sensorik. CMS akut diduga apabila adanya ditemukan gejala otonom (retensio urin, konstipasi, ileus, hipotermia, hipotensi, bradikardia) defisit motorik
9
(hemiplegia,
tetraplegia,
paraplegia)
dan
sensorik
(hemiestesia,
hemihipestesia).7 Gambar 6. Metode ASIA dalam mengklasifikasikan CMS
Gambar dikutip dari : Krishblum et all. International standars for neurological classification of spinal cord injury .2011
10
F. Pemeriksaan Penunjang 1. Laboratorium 2. Radiologi Foto vertebra sesuai letak kesi (posisi lateral dan anteroposterior yang
merupakan
pemeriksaan
yang
fundamental
untuk
mendiagnosa cedera spinal) CT Scan/MRI (jauh lebih superior dibandingkan x-ray karena dapat melihat potongan sagittal, koronal) Dilakukan jika dengan hasil foto radiologi meragukan atau bila akan dilakukan tindakan operatif.8 3. EKG Bila terdapat aritmia jantung G. Penatalaksanaan Penatalaksanaan trauma medulla spinalis Manajemen pre hospital 1. Stabilisasi manual 2. Membatasi fleksi dan gerakan lain 3. Penanganan mobilitas Manajemen di unit gawat darurat (UGD) 1. A (airway) : menjaga jalan nafas agar tetap lapang 2. B (breathing) mengatasi gangguan pernafasan, lakukan intubasi bila adanya cedera medulla spinalis cervikal atas. 3. C (circulation) memperhatikan tanda-tanda hipotensi, harus dibedakan antara syock hipovolemik (hipotensi, takikardi, akral dingin). Syock neurogenik (hipotensi, bradikardi, ekstremitas hangat/ kering. 4. Selanjutnya 5. A. Pasang kateter untuk monitor hasil urin 6. B. pasang pipa nasogastrictube
Pemeriksaan umum 1. Jika ada fraktur kolumna vertebralis cervikalis segera fiksasi leher dengan memasang collar neck.
11
2. Jika ada fraktur kolumna vertebralis torakalis, angkat pasien dalam keadaaan terlungkup lakukan fiksasi torakal dengan torakolumbal brace. 3. Fraktur dalam lumbal, fiksasi lumbal dengan korset lumbal. Pemeriksaan penunjang yang dilakukan 1. Laboratorium darah lengkap, urine lengkap, gula darah sewaktu, ureum, kreatinin, AGDA. 2. Radiologi : foto vertebra posisi AP/Lateral sesuai letak lesi. 3. CT Scan / MRI bila foto konvensional meragukan. Penggunaan kortikosteroid Pemberian Methilprednisolone dosis tinggi (bolus 30 mg/kgBB dalam 15 menit kemudian dilanjutkan 5,4 mg/kg BB dalam 23 jam) yang dimulai seteah 8 jam setelah CMS tertutup dapat meningkatkan prognosis neurologis pasien. Suatu penelitian Studi NASCIS menambahkan bahwa terapi methilprednisolon yang dimulai dalam 3 jam setelah trauma harus dilanjutkan selama 24 jam, sedangkan yang dimulai antara 3-8 jam pasca trauma harus dilanjutkan selama 48 jam. Consortium for Spinal Cord Medicine tidak merekomendasikan penggunaan neuroprotektan jenis apapun (steroid, ganglioside GM-1, Gacyclidine, tirilazad dan naloxone) karena bukti klinis belum didapatkan secara definit.6,7,9 Manajemen diruang rawat 1. Perawatan umum a. Lanjutkan A,B,C sesuai keperluan b. Usahakan suhu badan tetap normal c. Jika ada gangguan miksi pasang kateter dan jika ada gangguan defekasi berikan laksan/klisma. 2. medikamentosa a. lanjutkan pemberian Methylprednisolon b. c. d. e.
(mencegah proses
sekunder) antispspastitas otot sesuai keadaan klinis analgetik mencegah dekubitus mencegah trombosis vena dalam, dengan stocking khusus, dan pemberian antikoagulan. 12
f. Mencegah proses sekunder dengan pemberian antioksidan g. Terapi obat sesuai indikasi
Penanganan spesifik untuk komplikasi SCI A. Sistem Respiratorius Apabila lesi cukup dimana
terdapat
tinggi setingkat C5 keatas (daerah
pula kelumpuhan pernapasan
servikal
pentaplegia),
maka
resusitasi dan kontrol resprasion diperlukan. Sebaiknya pada lesi diatas C5 dilakukan intubasi.9 B. Sistem kardiovakular Kemungkinan pada CMS terjadi syok neurogenik akibat syok spinal, biasanya syok neurogenik terjadi bila lesi pada T6 akibat hilangnya tonus simpatis. Hilangnya tonus tersebut mengakibatkan vasolidasi dan bradikardi yang mengakibatkan syok. Syok pada CMS harus dibedakan pada syok hipovolemik dan neurogenik karena apabila syok neurogenik diberikan terlalu bayak cairan dapat me yebabkan edema paru. Penatalaksanaan syok neurogenik antara lain pemberian cairan IV, vasopresor dengan karakteristik alpha dan beta adrenergik (epinfrin, norepinefrin, dan dopamine).9 C. Kulit Perawatan posisi berganti dapat mencegah timbulnya decubitus yaitu dengan cara miring kanan kiri telentang dan telungkup.9 D. Anggota gerak Karena kelainan saraf maka timbul pula posisi inbalance Kekuatan otot. Pencegahan
ditujukan
sendi
terhadap
akibat
timbulnya
kontraktur sendi dengan melakukan fisioterapi, latihan dan pergerakan sendi serta meletakkan anggota dalam posisi netral.9 E. Trakstrus urinarius Untuk ini perlu apakah ganggua saraf menimbulkan gejala UMN dan LMN terhadap vesika urinaria, karenanya maka kateterisasi perlu dikerjakan dengan baik , agar tidak menimbulkan infeksi.9 F. Trakstrus digestivus Menjamin kelancaran defekasi dapat dikerjakan secara manual. Lesi diatas T12 dapat mengakibatkan hiperrefleksia dan spastik sfingter ani.
13
Sedangkan lesi dibawahnya dapat mengakibatkan arrefleksia dan flaccid dari sfingter ani.10 1. Terapi reduksi non-operatif dan operatif Setelah parameter sistemik sudah stabil, maka perhatikan stabilisasi dari tulang belakang dan medulla spinalis. Setiap CMS yang tidak stabil harus distabilkan untuk mencegah kerusakan lebih lanjutakibat pergerakan dan juga yang melepaskan kompresi medulla spinalis. Pasien dengan trauma cervikal dapat ditangani dengan menggunakan skeletal traction untuk mereduksi dislokasi.10
Gambar 7. Halo traction
Gambar dikutip dari : Frieberg Magge SN, Chapter 60. Trauma to the Spine and Spinal Cord. In : Jones HR. Srinivasan J. Neurology Gambar 8. Gardner- well tongs
14
Gambar dikutip dari : Frieberg Magge SN, Chapter 60. Trauma to the Spine and Spinal Cord. In : Jones HR. Srinivasan J. Neurology
Cedera medula spinalis pada daerah torakolumbal terjadi karena gaya fleksi rotasi, maka penanganan dapat dilakukan konservatif pada daera tersebut dengan postural reduction diranjang.
15
Gambar dikutip dari : Frieberg Magge SN, Chapter 60. Trauma to the Spine and Spinal Cord. In : Jones HR. Srinivasan J. Neurology
DAFTAR PUSTAKA 1. Blumenfeld H. 2002. Neuroanatomy through clinical cases. Sanauer: Assiciates. Inc. pp.23-36, 277-83. 2. Consortium Member Organizations
and
Steering
Committee
Representatives. 2006. 3. Early acute management in adults with spinal cord injury: A clinical practice guideline for health-care professionals. 4. The Journal Of Spinal Cord Medicine. 31(4); 403-79. DeGroot J, Chusid JG. 2007. 5. Corelative neuroanatomy. Jakarta: EGC. hlm.30-42. 6. Evans R. 1996. Neurology and trauma.. Philadelphia: W.B. Saunders Company. pp.276-77.
16
7. Felten DL, Jozefowicz RF. 2003. Netter’s atlas of human neuroscience. USA: MediMedia. Inc. pp.138-49. 8. Hurlbert RJ. 2006. Strategies of medical intervention in the management of acute spinal cord injury. 9. The Journal Of Spinal Cord Medicine. 3(1); 16-21. Perhimpunan Dokter Spesialis saraf Indonesia (PERDOSSI). 2006. 10. Konsensus nasional penanganan trauma kapitis dan trauma spinal. Jakarta: PERDOSSI. hlm.19-22. Mardjono M, Sidharta P. 2003.
17