BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Manajemen Strategis Menurut Barney (1997), definisi kerja strategis adalah pola alokasi sumber daya yang
menciptakan kemampuan organisasi untuk memelihara kinerjanya. Olsen dan Eadie (1982) mendefinisikan manajemen strategis sebagai “upaya yang didisiplinkan untuk membuat keputusan dan tindakan penting yang membentuk dan memandu bagaimana menjadi organisasi (atau entintas lainnya), apa yang dikerjakan organisasi (atau entitas lainnya), dan mengapa organisasi (atau entitas lainnya) mengerjakan hal seperti itu”. Sedangkan Bryson dan Einsweiler dalam Bryson (1995) berpendapat bahwa “manajemen strategis adalah sekumpulan konsep, prosedur, dan alat, serta sebagian karena sifat khas praktik perencanaan sektor publik ditingkat lokal”. Dengan melihat beberapa pendapat di atas dapat kita simpulkan bahwa manajemen strategi dapat didefinisikan sebagai suatu seni menggunakan kecakapan dan sumber daya suatu organisasi untuk mencapai suatu sasaran melalui hubungannya yang efektif dengan lingkungan dalam kondisi yang paling menguntungkan. Pandangan akan pentingnya manajemen strstegis, pada awal mulanya memang hanya berkembang di sektor privat. Hampir semua kegiatan manajemen strategis di abad ini difokuskan pada organisasi privat (Bryson, 1995). Pemanfaatan manajemen strategis ke dalam organisasi sektor publik sendiri baru dimulai pada awal tahun 1980-an (Quinn, 1980; Brucker, 1980 dalam Bryson, 1995). Sementara itu, Keban (1995) mengemukakan bahwa penerapan manajemen strategis sebagai strategic planning belum menjadi suatu tradisi bagi birokrasi. Sedangkan dalam rangka memberikan pelayanan kepada publik yang lebih baik dimasa mendatang, tradisi strategic planning bagai birokrasi akan sangat bermanfaat terutama dalam memacu pola berfikir strategis mengenai apa misi utama birokrasi yang hendak dicapai, tujuan jangka panjang dan pendeknya, rencana-rencana strategis, dan rencana-rencana operasional, khususnya program-program dan proyeknya. Relevansi manajemen strategis bagi birokrasi kiranya telah menemukan momentumnya saat ini mengingat sifat interconnectedness di lingkungan birokrasi juga semakin mengemuka dari waktu ke waktu. Menurut Bryson (1995:) terdapat tiga pendekatan dasar untuk mengenali isu strategis, yaitu:
1.
Pendekatan langsung (direct approach), meliputi jalan lurus dari ulasan terhadap mandat, misi dan SWOTs hingga identifikasi isu-isu strategis. Pendekatan langsung dapat bekerja di dunia yang pluralisti, partisan, terpolitisasi, dan relatif terfragmentasi di sebagian besar organisasi publik, sepanjang ada koalisi dominan yang cukup kuat dan cukup menarik untuk membuatnya bekerja.
2.
Pendekatan tidak langsung (indirect approach), hampir sama dengan pendekatan langsung dan biasanya dilakukan bersama dengan pendekatan langsung, hanya tidak dibentuk tim khusus. Kedua pendekatan ini yang paling banyak digunakan untuk organisasi pemerintah dan organisasi nirlaba.
3.
Pendekatan sasaran (goals approach), lebih sejalan dengan teori pendekatan konvensioanal, yang menetapkan bahwa organisasi harus menciptakan sasaran dan tujuan bagi dirinya sendiri dan kemudian mengembangkan strategi untuk mencapainya. Pendekatan ini dapat bekerja jika ada kesepakatan yang agak luas dan mendalam tentang sasaran dan tujuan organisasi, serta jika sasaran dan tujuan itu cukup terperinci dan spesifik untuk memandu pengembangan strategi.
4.
Pendekatan visi keberhasilan (vision of success), di mana organisasi mengembangkan suatu gambar yang terbaik atu ideal mengenai dirinya sendiri di masa depan sebagai organisasi yang sangat berhasil memenuhi misinya. Pendekatan ini lebih mungkin bekerja dalam organisasi nirlaba ketimbang organisasi sektor publik.
Berdasarkan uraian tersebut, pendekatan yang paling tepat digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan langsung. Namun yang perlu diingat bahwa proses manajemen strategis apapun akan bermanfaat hanya jika proses manajemen strategis membantu berpikir dan bertindak secara strategis kepada orang-orang penting pembuat keputusan. Proses manajemen strategis menurut Bryson and Roring (1987) meliputi delapan langkah, yaitu: 1.
Memprakarsai dan menyepakati suatu proses perencanaan strategis. Tujuan langkah pertama adalah menegosiasikan kesepakatan dengan orang-orang penting pembuat keputusan (decision makers) atau pembentuk opini (opinion
leaders) internal (dan mungkin eksternal) tentang seluruh upaya perencanaan strategis dan langkah perencanaan yang terpenting. 2.
Mengidentifikasi mandat organisasi. Mandat formal dan informal yang ditempatkan pada organisasi adalah “keharusan” yang dihadapi organisasi.
3.
Memperjelas misi dan nilai-nilai organisasi. Misi organisasi yang berkaitan erat dengan mandatnya, menyediakan raison de^etrenya, pembenaran sosial bagi keberadaannya.
4.
Menilai lingkungan eksternal : peluang dan ancaman. Mengeksplorasi lingkungan di luar organisasi untuk mengidentifikasi peluang dan ancaman yang dihadapi oleh organisasi.
5.
Menilai lingkungan internal: Kekuatan dan kelemahan. Untuk mengenali kekuasaan dan kelemahan internal, organisasi dapat memantau sumber daya (inputs), strategi sekarang (process), dan kinerja (outputs).
6.
Mengidentifikasi isu strategis yang dihadapi organisasi. Isu strategis, meliputi konflik satu jenis atau lainnya. Konflik dapat menyangkut tujuan (apa); cara (bagaimana); filsafat (mengapa); tempat (dimana); waktu (kapan); dan kelompok yang mungkin diuntungkan atau tidak diuntungkan oleh cara-cara yang berbeda dalam pemecahan isu (siapa).
7.
Merumuskan strategi untuk mengelola isu-isu. Strategi didefinisikan sebagai pola tujuan, kebijakan, program, tindakan, keputusan, atau alokasi sumber daya yang menegaskan bagaimana organisasi, apa yang dikerjakan organisasi, mengapa organisasi harus melakukan hal tersebut.
8.
Menciptakan visi organisasi yang efektif bagi masa depan. Langkah terakhir dari proses manajemen strategis adalah mengembangkan deskripsi mengenai
bagaimana
seharusnya
organisasi
itu
sehingga
mengimplementasikan strateginya dan mencapai seluruh potensinya.
2.2 . Pengertian Pembinaan
berhasil
Pengertian pembinaan disini adalah lebih bersifat kepada pemberian bimbingan, supervisi dan konsultasi pelaksanaan urusan pemerintahan, dilaksanakan urusan pemerintahan, dilaksanakan secara berkala dan/atau sewaktu-waktu baik secara menyeluruh kepada seluruh daerah maupun kepada daerah sesuai dengan kebutuhan. Pengawasan atas penyelenggaraan pemerintahan daerah dilaksanakan oleh pemerintah yang meliputi pangawasan atas penyelenggaraan atas pelaksanaan urusan pemerintahan di daerah dan pengawasan terhadap peraturan daerah, peraturan Kepala Daerah. Pemerintah memberikan penghargaan dalam penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, diberikan kepada Kepala Daerah atau Wakil Kepala Daerah, Anggota DPRD, Perangkat Daerah, Pegawai Negeri Sipil Daerah, Kepala Desa, Anggota Badan Pemusyawaratan Desa dan Masyarakat.
2.3
. Kinerja Organisasi
Bagi setiap organisasi, penilaian terhadap kinerja merupakan suatu hal yang sangat penting karena penilaian tersebut dapat digunakan sebagai ukuran keberhasilan suatu organisasi dalam kurun waktu tertentu. Penilaian tersebut dapat dijadikan input bagi perbaikan atau peningkatan kinerja organisasi yang bersangkutan. Menurut Setiawan (1988:9) “Kinerja berhubungan dengan penilaian atas kualitas pengelolaan dan kualitas pelaksanaan tugas atau operasi perusahaan. Aspek lain adalah hubungan organisasi dengan lingkungan sosial dan lingkungan politiknya”. Dalam menilai kinerja organisasi harus dikembalikan kepada apa alasan dan tujuan dari dibentuknya organisasi tersebut. Bagi organisasi privat yang tujuan pembentukannya adalah produksi barang dan jasa untuk mendapatkan profit misalnya, maka ukuran kinerjanya adalah seberapa besar ia mampu berproduksi
(productivity) atau seberapa besar keuntungan yang
berhasil diraih (economy). Sedangkan dalam organisasi publik sendiri masih sulit menemukan indikator yang sesuai untuk mengukur kinerja (Fynn, 1986; Jackson and Palmer, 1992 dalam Bryson, 1995). Bila dikaji dari tujuan dan misi utama kehadiran organisasi publik adalah untuk memenuhi kebutuhan dan kepentingan publik (Dwiyanto, 1995) maka kinerja organisasi publik itu baru dapat dikatakan berhasil apabila mampu dalam mewujudkan tujuan dan misinya.
Levine dkk dalam Dwiyanto (1995) mengemukakan 3 konsep yang dapat dijadikan sebagai acuan guna mengukur kinerja organisasi publik, yaitu : a.
Responsivitas (responsiveness), mengacu kepda keselarasan antara program dan kegiatan pelayanan yang diberikan oleh organisasi publik dengan kebutuhan dan keinginan masyarakat. Semakin banyak kebutuhan dan keinginan masyarakat yang diprogramkan dan dijalankan oleh organisasi publik maka kinerja organisasi tersebut semakin baik.
b.
Responsibilitas (responsibility), menjelaskan sejauh mana pelaksanaan kegiatan organisasi publik itu dilakukan sesuai dengan prinsip-prinsip administrasi yang benar atau sesuai dengan kebijaksanaan organisasi baik yang implisit maupun yang eksplisit. Semakin kegiatan organisasi publik itu dilaksanakan sesuai dengan prinsip-prinsip administrasi, peraturan dan kebijaksanaan organisasi maka kinerjanya dinilai semakin baik.
c.
Akuntabilitas (accountability), mengacu kepada seberapa besar kebijaksanaan dan kegiatan organisasi publik tunduk kepada para pejabat politik yang dipilih oleh rakyat. Dalam konteks ini kinerja organisasi publik dinilai baik apabila seluruhnya atau setidaknya sebagain besar kegiatannya didasarkan pada upaya-upaya untuk memenuhi harapan dan keinginan para wakil rakyat.
Kinerja berhubungan dengan : Pertama, aspek-aspek input atau sumber-sumber dayanya (resources), antara lain seperti (1) pegawai (SDM); (2) anggaran; (3) sarana dan prasarana; (4) informasi; dan (5) budaya organisasi. Kedua berkaitan dengan proses manajemen (1) perencanaan; (2) pengorganisasian; (3) pelaksanaan; (4) penganggaran; (5) pengawasan; (6) evaluasi. Di samping faktor internal tersebut, perlu juga diperhatikan aspek-aspek lingkungan eksternal yang secara langsung maupun tidak ikut mempengaruhi kinerja, seperti kondisi politik, ekonomi, sosial-budaya, dan teknologi, juga pihak-pihak yang terkait dengan penyediaan input, misalnya wajib pajak, para pembuat kebijakan, dan sebagainya. Setiap aspek di atas memiliki potensi yang sama untuk muncul sebagai faktor dominan yang mempengaruhi kinerja organisasi, baik yang berpengaruh secara positif maupun negatif. Selanjutnya untuk mengidentifikasi isu-isu strategis yang dihadapi oleh organisasi berdasarkan mandat dan misi organisasi serta faktor-faktor internal dan faktor-faktor eksternal yang dihadapi
oleh organisasi, kita memerlukan suatu manajemen strategis, untuk merumuskan strategi dalam rangka mengelola isu-isu strategis tersebut.
2.4
. Penguatan Organisasi dan Capacity Building
Nilai-nilai “good governance” yang diungkapkan diatas bukan nilai-nilai yang muncul dengan sendirinya atau secara kebetulan, tetapi yang muncul secara sengaja melalui strategi yang terpilih dan dilakukan lembaga pemerintahan. Karena itu, penilaian terhadap kelayakan strategi yang dipilih dan digunakan lembaga pemerintahan menjadi bagian yang tak terpisahkan dari penilaian kinerja pemerintahan itu sendiri. Dan penilaian strategi tersebut tidak diambil dari semua bidang yang ditangani lembaga pemerintahan, tetapi difokuskan pada bidang-bidang strategis, yaitu bidang-bidang yang paling menentukan nasib bangsa dan negara. Karena kondisi pemerintahan pada saat ini sangat lemah sebagai akibat dari “salah urus” yang terjadi pada masa lampau, maka muncul inisiatif untuk meningkatkan kemampuan pemerintahan melalui “capacity building”. Inisiatif ini nampaknya sangat menentukan kinerja pemerintahan di masa mendatang dan kini mulai disadari sebagai langkah awal yang sangat vital dalam pembenahan kemampuan pemerintahan. “Capacity building” merupakan serangkaian strategi yang ditujukan untuk meningkatkan efisiensi, efektivitas, dan responsivitas dari kinerja pemerintahan, dengan memusatkan perhatian kepada dimensi: (1) pengembangan sumberdaya manusia; (2) penguatan organisasi; dan (3) reformasi kelembagaan (lihat Grindle, 1997: 1 - 28). Dalam konteks pengembangan sumberdaya manusia, perhatian diberikan kepada pengadaan atau penyediaan personel yang profesional dan teknis. Kegiatan yang dilakukan antara lain training, pemberian gaji/upah, pengaturan kondisi dan lingkungan kerja dan sistim rekruitmen yang tepat. Dalam kaitannya dengan penguatan organisasi, pusat perhatian ditujukan kepada sistim manajemen untuk memperbaiki kinerja dari fungsi-fungsi dan tugas-tugas yang ada dan pengaruran struktur mikro. Aktivitas yang harus dilakukan adalah menata sistim insentif, pemanfaatan personel yang ada, kepemimpinan, komunikasi, dan struktur manajerial. Dan berkenaan dengan reformasi kelembagaan, perlu diberi perhatian terhadap perubahan sistem dan institusi-institusi yang ada, serta pengaruh struktur makro. Dalam hal ini aktivitas yang perlu dilakukan adalah melakukan perubahan “aturan main” dari sistim ekonomi dan politik yang ada, perubahan kebijakan dan aturan hukum, serta reformasi sistim kelembagaan yang dapat mendorong pasar dan
berkembangnya masyarakat madani (Grindle, 1997). Dimensi peningkatan kemampuan ini juga diungkapkan oleh beberapa pengarang lain. Menurut A. Fiszbein (1997), peningkatan kemampuan difokuskan pada: (1) kemampuan tenaga kerja (labor); (2) kemampuan teknologi yang diwujudkan dalam bentuk organisasi atau kelembagaan; dan (3) kemampuan “capital” yang diwujudkan dalam bentuk dukungan sumberdaya, sarana, dan prasarana. Sementara itu, D.Eade (1998) merumuskan peningkatan kemampuan dalam tiga dimensi, yaitu: (1) individu; (2) organisasi; dan (3) network. Nampaknya pengembangan dimensi individu dan organisasi merupakan kunci utama atau titik strategis bagi perbaikan kinerja (Mentz, 1997), tetapi masuknya dimensi network ini sangat penting karena melalui dimensi ini individu dan organisasi dapat belajar mengembangkan diri dan berinteraksi dengan lingkungannya. J.S.Edralin (1997) juga mengumpulkan berbagai pendapat yang menggambarkan pemahaman mereka tentang “capacity building”. Misalnya, World Bank memfokuskan peningkatan kemampuan kepada: (1) pengembangan sumberdaya manusia, khususnya training, rekruitmen, pemanfaatan dan pemberhentian tenaga kerja profesional, manajerial dan teknis; (2) organisasi, yaitu pengaturan struktur, proses, sumberdaya, dan gaya manajemen; (3) jaringan kerja interaksi organisasi, yaitu koordinasi kegiatan-kegiatan organisasi, fungsi jaringan kerja, dan interaksi formal dan informal; (4) lingkungan organisasi, yaitu aturan dan perundang-undangan yang mengatur pelayanan publik, tanggung jawab dan kekuasaan antara lembaga, kebijakan yang menghambat tugas-tugas pembangunan, dan dukungan keuangan dan anggaran; dan (5) lingkungan kegiatan yang luas, yaitu mencakup faktor politik, ekonomi, dan kondisi-kondisi yang berpengaruh terhadap kinerja. Sementara itu, UNDP memfokuskan pada tiga dimensi yaitu: (1) tenaga kerja (dimensi sumberdaya manusia), yaitu kualitas SDM dan cara SDM dimanfaatkan; (2) modal (dimensi phisik) yaitu menyangkut peralatan, bahan-bahan yang diperlukan, dan gedung; dan (3) teknologi yaitu organisasi dan gaya manajemen, fungsi perencanaan, pembuatan keputusan, pengendalian dan evaluasi, serta sistim informasi manajemen. Dan United Nations memusatkan perhatiannya kepada: (1) mandat atau struktur legal; (2) struktur kelembagaan; (3) pendekatan manajerial; (4) kemampuan organisasional dan teknis; (5) kemampuan fiskal lokal; dan (6) kegiatan-kegiatan program (lihat Edralin, 1997: 148 – 149). Semua dimensi peningkatan kemampuan diatas dikembangkan sebagai strategi untuk mewujudkan nilai-nilai “good governance”. Pengembangan sumberdaya manusia misalnya, dapat dilihat sebagai suatu strategi untuk meningkatkan efisiensi
dan efektivitas dan memelihara nilai-nilai moral dan etos kerja. Pengembangan kelembagaan merupakan strategi penting agar suatu lembaga pemerintahan mampu: (1) menyusun rencana strategis ditujukan agar organisasi memiliki visi yang jelas; (2) memformulasikan kebijakan dengan memperhatikan nilai efisiensi, efektivitas, transparansi, responsivitas, keadilan, partisipasi, dan keberlanjutan; (3) mendesain organisasi untuk menjamin efisiensi dan efektivitas, tingkat desentralisasi dan otonomi yang lebih tepat, dan (4) melaksanakan tugas-tugas manajerial agar lebih efisien, efektif, fleksibel, adaptif, dan lebih berkembang. Pengembangan jaringan kerja, misalnya merupakan strategi untuk meningkatkan kemampuan bekerja sama atau kolaborasi dengan pihak-pihak luar dengan prinsip saling menguntungkan. Bila dicermati berbagai pendapat diatas maka “capacity building” sebenarnya berkenaan dengan strategi menata input dan proses dalam mencapai output dan outcome, dan menata feedback untuk melakukan perbaikan-perbaikan pada tahap berikutnya. Strategi menata input berkenaan dengan kemampuan lembaga menyediakan berbagai jenis dan jumlah serta kualitas sumberdaya manusia dan non manusia agar siap untuk digunakan bila diperlukan. Strategi menata
proses
berkaitan
dengan
kemampuan
lembaga
merancang,
memproses
dan
mengembangkan kebijakan, organisasi dan manajemen. Strategi menata feedback berkenaan dengan kemampuan melakukan perbaikan secara berkesinambungan dengan mempelajari hasil yang dicapai, kelemahan-kelemahan input dan proses, dan mencoba melakukan tindakan perbaikan secara nyata setelah melakukan berbagai penyesuaian dengan lingkungan. Strategistrategi tersebut harus dinilai secara cermat tingkat kelayakannya pada bidang-bidang strategis yang menjadi prioritas utama kegiatan pemerintahan pada saat sekarang.
2.5.
Pengawasan
Siagian (1999) memberikan definisi tentang pengawasan sebagai proses pengamatan pelaksanaan seluruh kegiatan organisasi untuk menjamin agar supaya semua pekerjaan yang sedang dilaksanakan berjalan sesual dengan rencana yang telah ditentukan sebelumnya. Definisi lain tentang pengawasan kegiatan manajer yang mengusahakan agar pekerjaan-pekerjaan yang terlaksana sesuai dengan rencana yang ditetapkan dan atau hash yang dikehendaki. Batasan lain mengenal pengawasan adalah suatu proses yang menentukan tentang apa yang dikerjakan, agar apa yang diselenggarakan sejalan dengan rencana. Terry (1963) berpendapat bahwa pengawasan
adalah untuk menenukan apa yang telah dicapai, mengadakan evaluasi atasnya dan mengambil tindakan-tindakan korektif, bila diperlukan, untuk menjamin agar hasilnya sesuai dengan rencana. Pengawasan intern pemerintah, baik pada tingkat pusat maupun Pemerintah Daerah, adalah salah satu alat pengawasan yang mutlak diperlukan serta tidak dapat saling menggantikan. Di samping itu juga Peraturan Perundang-undangan telah menentukan beberapa alat-alat penting lainnya yang muUak diperlukan sebagai kriteria pengawasan yang efektif, antara lain perencanaan dan penganggaran yang berbasis kinerja dan prestasi kerja (Pengembangan Rencana Strategis dan Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah beserta Indikator Prestasi Kerja), standar pelayanan minimal, standar analisa belanja, standar akuntansi pemerintahan, standar audit pemerintahan, standar alokasi dana perimbangan keuangan pusat ke daerah. Tata cara penyaluran dana dekonsentrasi dan dana pembantuan dan pemerintah pusat ke daerah, dan lain sebagainya. Pada prinsipnya semua upaya tersebut adalah dalam rangka menegakkan 3 pilar Good Governance, yaitu akuntabilitas, transparansi, dan partisipasi masyarakat luas yang telah menjadi komitmen pemerintah sejak dimulainya era reformasi hingga saat ini. Sumarlin menyatakan bahwa dengan semakin besarnya tuntutan masyarakat terhadap penyelenggaraan pemerintahan negara yang berdasarkan pada prinsip-prinsip Good Governance, maka kebutuhan terhadap peran pengawasan akan semakin meningkat. Pengawasan itu perlu dilaksanakan secara optimal, yaitu dilaksanakan secara efektif dan efisien serta bermanfaat bagi auditiee (Organisasi, Pemerintah dan Negara) dalam merealisasikan tujuan/program secara efektif, efisien dan ekonomis. Pengalaman menunjukkan bahwa banyaknya aparat pengawasan justru menimbulkan nefisiensi, karena timbulnya pemeriksaan yang bertubi-tubi dan tumpang tindih di antara berbagai aparat pengawasan intern pemerintah, serta antara pengawasan intern pemerintah dengan aparat pengawasan eksternal (BPK). Di samping itu disinyalir juga bahwa pengawasan baru mencapai fungsinya yang bersifat korektif dan belum mencapai fungsinya yang bersifat preventif. Keberhasilan fungsi pengawasan harus diperankan dan dilaksanakan oleh suatu sistem pengendalian intern yang memadai.
2.6.
Governance Menurut Ganie-Rochman (Widodo, 2001, 18) konsep “governance“ melibatkan tidak
sekedar pemerintah dan negara, tapi juga peran berbagai actor di luar pemerintah dan negara,
sehingga pihak-pihak yang terlibat juga sangat luas. Governance adalah mekanisme pengelolaan sumber daya ekonomi dan sosial yang melibatkan pengaruh sektor negara dan sektor non pemerintah dalam suatu kegiatan kolektif. Pinto dalam Nisjar. (1997:119) mengatakan bahwa governance adalah praktek penyelenggaraan kekuasaan dan kewenangan oleh pemerintah dalam pengelolaan urusan pemerintahan secara umum dan pembangunan ekonomi pada khususnya. Sementara itu, Hughes dan Ferlie, dkk dalam Osborne dan Gaebler, (1992) berpendapat bahwa Good Governance, memiliki kriteria yang berkemampuan untuk memacu kompetisi, akuntabilitas, responsip terhadap perubahan, transparan, berpegang pada aturan hukum, mendorong adanya partisipasi pengguna jasa, mementingkan kualitas, efektif dan efisien, mempertimbangkan rasa keadilan bagi seluruh pengguna jasa, dan terbangunnya suatu orientasi pada nilai-nilai. Sedangkan Lembaga Administrasi Negara (2000, 1) mengartikan governance sebagai proses penyelenggaraan kekuasaan negara dalam melaksanakan penyediaan public goods dan services. Lebih lanjut ditegaskan bahwa apabila dilihat dari segi aspek fungsional, governance dapat ditinjau dari apakah pemerintah telah berfungsi secara efektif dan efisien dalam upaya mencapai tujuan yang telah digariskan atau sebaliknya. Berkaitan
dengan
system
penyelenggaraan
pemerintahan,
UNDP
(1997,
10)
mengemukakan bahwa : “Systemic governance encompasses the processes and structures of society that guide political and socio-economic relationships to protect cultural and religius beliefs and values and to creat maintenance an environment of health, freedom, security and with the opportunity to exercise capabilities that lead to a better life for all people”.
Unsur
utama
(domains)
yang
dilibatkan
dalam
penyelenggaraan
pemerintahan
(governance) menurut UNDP terdiri dari 3 (tiga) komponen yakni : •
Negara (The State) pada masa yang akan datang mempunyai tugas penting yakni menciptakan lingkungan politik (political environment) guna mewujudkan pembangunan manusia yang berkelanjutan (sustainable humam development) sekaligus meredefinisi peran pemerintah dalam integrasi sosial ekonomi, melindungi lingkungan, kemiskinan, menyediakan infrastruktur, desentralisasi dan demokratisasi pemerintah, memperkuat financial dan kapasitas
administrasi Pemerintah Daerah. Disamping itu, Pemerintah juga perlu memberdayakan rakyat (empowering the people) yang menghendaki pemberian layanan, penyediaan kesempatan yang sama secara ekonomi dan politik. Pemberdayaan tersebut akan terwujud apabila diciptakan suatu lingkungan yang kondusif dengan system dan fungsi yang berjalan sesuai dengan peraturan yang jelas. •
Sektor swasta (The Private Sector) akan memiliki peranan penting karena lebih berorientasi kepada pendekatan pasar (market approach) dalam pembangunan ekonomi serta berkaitan dengan penciptaan kondisi dimana produksi barang dan jasa (good and services) dalam lingkungan yang kondusif untuk melakukan aktivitasnya dengan lingkup kerja “incentives and rewards” secara ekonomi bagi individu dan organisasi yang memiliki kinerja baik.
•
Organisasi
kemasyarakatan
(Civil
Society
Organizations)
merupakan
wadah
yang
memfasilitasi interaksi sosial dan politik yang dapat memobilisasi berbagai kelompok didalam masyarakat untuk terlibat dalam aktivitas social, ekonomi dan politik sekaligus melakukan check and balances terhadap kekuasaan pemerintah dan memberikan kontribusi yang memperkuat unsur (komponen) lainnya. Civil society juga merupakan penyalur partisipasi masyarakat dalam aktivitas social dan ekonomi kemudian mengorganisir mereka kedalam suatu kelompok yang lebih potensial yang memonitor lingkungan, kelangkaan akan sumberdaya (resources depletion), polusi dan kekejaman sosial lalu memberikan kontribusi terhadap pembangunan melalui distribusi manfaat yang merata dalam masyarakat dan menciptakan kesempatan baru bagi setiap individu guna memperbaiki `standar hidup mereka. Hal terpenting lainnya adalah harapan yang akan mempengaruhi penerapan kebijakan publik, serta sebagai sarana yang melindungi (protecting) dan memperkuat (strengthening) kultur, keyakinan agama dan nilai-nilai yang berlaku di masyarakat.
Wujud good governance adalah penyelenggaraan pemerintahan negara yang solid dan bertanggung jawab, serta efisien dan efektif dengan menjaga “kesinergian” interaksi yang konstruktif diantara ketiga domain (State, Private Sector and Society) yang minimal memiliki 6 (enam) kriteria berikut : 1.
Competence, maksudnya setiap pejabat yang dipilih menduduki jabatan tertentu benar-benar orang yang memiliki kompetensi dari setiap aspek penilaian, baik; dari segi
pendidikan/keahlian, pengalaman, moralitas, dedikasi, maupun aspek lainnya misalnya the right man on the right place. 2.
Transparancy, prinsip keterbukaan harus benar-benar diterapkan pada setiap aspek dan fungsi pemerintahan di daerah, apalagi bila dilengkapi dengan prinsip merit system dan reward and punishment, akan menjadi fungsi pendorong bagi optimalisasi dan keberhasilan penyelenggaraan pemerintahan,
3.
Accountability, sejalan dengan prinsip transparansi, prinsip akuntabilitas akan mendorong setiap pejabat untuk melaksanakan tugasnya dengan cara yang terbaik, karena setiap tindakan yang diambilnya akan dipertanggungjawabkan kehadapan publik dan hukum,
4.
Participation, mengingat tanggung jawab dan intensitasnya di daerah terutama dihadapkan pada kemampuan untuk mengoptimalisasikan sumber daya yang dimiliki daerahnya maka diperlukan prakarsa, kreativitas dan peran serta masyarakat guna memajukan daerah,
5.
Rule of Law, merupakan kepastian akan penegakan hukum yang jelas dalam penyelenggaraan pemerintahan di daerah,
6.
Social Justice, bahwa prinsip kesetaraan dan keadilan bagi setiap anggota masyarakat mesti diterapkan dalam penyelenggaraan pemerintahan di daerah.
Dalam konteks penelitian ini, yang dimaksud good governance adalah penerapan 6 (enam) kriteria, berupa : Competence, Transparancy, Accountability, Participation, Rule of Law, dan Social Justice melalui penerapan Peraturan Daerah Kabupaten Siak Nomor 24 Tahun 2001. Menurut UNDP dalam buku good governance dalam perspektif budaya melayu (2004), istilah Governance menunjukkan suatu proses yang memposisikan rakyat mengatur ekonominya, institusi dan sumber-sumber sosial dan politiknya tidak hanya sekedar dipergunakan untuk pembangunan tetapi juga untuk menciptakan kohesi, integrasi. serta kesejahteraan rakyatnya Sementara definisi Good Governance menurut World Bank ialah suatu penyelenggaraan manajemen pembangunan yang solid dan bertanggung jawab yang sejalan dengan prinsip demokrasi dan pasar yang efisien, pengindaran terhadap kemungkinan salah alokasi dan investasi, dan pencegahan korupsi baik secara politik maupun administratif, menjalankan disiplin anggaran serta
menciptakan
(Mardiasmo,2002:23),
legal
dan
political
framework
bagi
tumbuhnya
aktivitas
usaha
UKIODA (1993) menyatakan bahwa istilah Good Government dan good governance tidak ada bedanya karena keduanya merujuk pada aspek-aspek normatif pemerintahan yang digunakan menyusun berbagai kriteria dan yang bersifat politik hingga ekonomi. Menurut Taschereau dan Campos yang dikutip dan Toha (2003:63) tata pemerintahan yang baik (tenjemahan dan good governance) merupakan suatu kondisi yang menjamin adanya proses kesejajaran, kesamaan, kohesi, serta keseimbangan peran serta, adanya saling mengontrol yang dilakukan oleh pemerintahan (government), rakyat (citizen), atau civil society dan usahawan (business) yang berada di sektor swasta. Ketiga komponen itu mempunyat tata hubungan yang sama dan sederajat. Jika kesamaan derajat itu tidak sebanding, atau tidak terbukti maka akan terjadi pembiasaan dan tata pemerintahan yang baik. Dan pengertian tersebut setidaknya ada tiga institusi utama dan governance yaitu: State (pemerintah), private sector (swasta/dunia usaha) dan civil society (masyarakat) yang saling berinteraksi dan menjalankan fungsinya masing-masing. Institusi pemerintah berfungsi menciptakan Iingkungan politik dan hukum yang kondusif, sektor swasta menciptakan lapangan pekerjaan dan pendapatan dan society berperan positf dalam interaksi sosial ekonomi dan politik termasuk pemberdayaan kelompok-kelompok dalam masyarakat untuk berpartisipasi dalam aktivitas sosial, ekonomi dan politik. Selanjutnya Piere (2000:75) mengatakan bahwa konsep governance telah berkembang sedemikian rupa setidaknya ada tiga pergerakan yaitu “moving up”,”moving down” dan “moving out”. Moving up yaltu pergerakan terhadap aturan main organisasi internasional seperti dalam kebijaksanaan GATT (GeneralAgreement on Tarrifs and Trades). Moving down berkaitan dengan kebijaksanaan desentralisasi dan region, lokal, komunitas. Moving out berkaitan dengan kebijaksanaan demokrasi yang semakin kuat dimana pelayanan publik diserahkan kepada lembaga-lembaga swadaya masyarakat.