BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Batasan Konsep 1. Mahasiswa Menurut Kamus Lengkap Bahasa Indonesia (Kamisa, 1997), bahwa mahasiswa merupakan individu yang belajar di Perguruan Tinggi. Montgomery dalam Papalia dkk (2007) menjelaskan bahwa Perguruan Tinggi atau universitas dapat menjadi sarana atau tempat untuk seorang individu dalam mengembangkan kemampuan intelektual, kepribadian, khususnya dalam melatih keterampilan verbal dan kuantitatif, berpikir kritis dan moral reasoning. Mahasiswa merupakan
satu
golongan
dari masyarakat yang
mempunyai dua sifat, yaitu manusia muda dan calon intelektual, dan sebagai calon intelektual, mahasiswa harus mampu untuk berpikir kritis terhadap kenyataan sosial, sedangkan sebagai manusia muda, mahasiswa seringkali tidak mengukur resiko yang akan menimpa dirinya (Djojodibroto, 2004). Mahasiswa dalam perkembangannya berada pada kategori remaja akhir yang berada dalam rentang usia 18-21 tahun (Monks dkk, 2001). Menurut Papalia, dkk (2007), usia ini berada dalam tahap perkembangan dari remaja atau adolescence menuju dewasa muda atau young adulthood. Pada usia ini, perkembangan individu ditandai dengan pencarian identitas diri, adanya pengaruh dari lingkungan, serta sudah mulai membuat keputusan terhadap pemilihan pekerjaan atau karirnya. Lebih jauh, menurut Ganda (2004), mahasiswa adalah individu yang belajar dan menekuni disiplin ilmu yang ditempuhnya secara mantap, dimana di dalam
menjalani serangkaian kuliah itu sangat dipengaruhi oleh
kemampuan mahasiswa itu sendiri, karena pada kenyataannya diantara
13
14
mahasiswa ada yang sudah bekerja atau disibukkan oleh kegiatan organisasi kemahasiswaan. Mahasiswa merupakan anggota masyarakat yang mempunyai ciri-ciri tertentu, antara lain (Kartono,1985): a. Mempunyai kemampuan dan kesempatan untuk belajar di Perguruan Tinggi, sehingga dapat digolongkan sebagai kaum intelegensia. b. Yang karena kesempatan diatas diharapkan nantinya dapat bertindak sebagai pemimpin yang mampu dan terampil, baik sebagai pemimpin masyarakat ataupun dalam dunia kerja. c. Diharapkan dapat menjadi daya penggerak yang dinamis bagi proses modernisasi. d. Diharapkan dapat memasuki dunia kerja sebagai tenaga yang berkualitas dan profesional. Prestasi adalah hasil yang telah dicapai seseorang dalam melakukan kegiatan. Menurut Bloom dalam Arikunto (2010:110) bahwa hasil belajar dibedakan menjadi tiga aspek yaitu kognitif, afektif dan psikomotorik. Prestasi merupakan kecakapan atau hasil kongkrit yang dapat dicapai pada saat atau periode tertentu. Prestasi adalah hasil dari suatu kegiatan yang telah dikerjakan, diciptakan, baik secara individual maupun kelompok. Prestasi tidak akan pernah dihasilkan tanpa suatu usaha baik berupa pengetahuan maupun berupa keterampilan (Qohar, 2000). Prestasi menyatakan hasil yang telah dicapai, dilakukan, dikerjakan dan sebagainya, dengan hasil yang menyenangkan hati dan diperoleh dengan jalan keuletan kerja (Nasrun, 2000). Kata akademik berasal dari bahasa Yunani yakni academos yang berarti sebuah taman umum (plasa) di sebelah barat laut kota Athena. Sesudah itu, kata acadomos berubah menjadi akademik, yaitu semacam tempat
15
perguruan. Para pengikut perguruan tersebut disebut academist, sedangkan perguruan semacam itu disebut academia. Berdasarkan hal ini, inti dari pengertian akademik adalah keadaan orang-orang bisa menyampaikan dan menerima gagasan, pemikiran, ilmu pengetahuan, dan sekaligus dapat mengujinya secara jujur, terbuka, dan leluasa (Fadjar, 2002). Dapat dikatakan, secara umum pengertian akademik berarti proses belajar mengajar yang dilakukan di kelas atau dunia persekolahan. Kegiatan akademik meliputi tugas-tugas yang dinyatakan dalam program pembelajaran, diskusi, obesrvasi, dan pengerjaan tugas. Dalam satu kegiatan akademik diperhitungkan tidak hanya kegiatan tatap muka yang terjadwal saja tetapi juga kegiatan yang direncanakan (terstruktur) dan yang dilakukan secara mandiri. Berdasarkan teori yang telah diuraikan diatas, prestasi akademik dalam penelitian ini adalah hasil yang telah dicapai mahasiswa dalam proses pembelajaran. Prestasi belajar merupakan salah satu bagian dari prestasi akademik
karena
pengertian
akademik
sendiri
merupakan
proses
pembelajaran di dalam nya yang meliputi kegiatan belajar, pemberian tugas dan evaluasi. Prestasi akademik merupakan perubahan dalam hal kecakapan tingkah laku, ataupun kemampuan yang dapat bertambah selama beberapa waktu dan tidak disebabkan proses pertumbuhan, tetapi adanya situasi belajar. Perwujudan bentuk hasil proses belajar tersebut dapat berupa pemecahan lisan maupun tulisan, dan keterampilan serta pemecahan masalah langsung dapat diukur atau dinilai dengan menggunakan tes yang terstandar (Sobur, 2006). Prestasi akademik adalah istilah untuk menunjukkan suatu pencapaian tingkat keberhasilan tentang suatu tujuan, karena suatu usaha belajar telah dilakukan oleh seseorang secara optimal (Setiawan, 2006). Sejalan dengan pandangan di atas Qohar (2000) berpendapat bahwa
16
pengertian prestasi adalah hasil dari suatu yang telah dikerjakan, diciptakan, baik secara individual maupun kelompok. Prestasi tidak pernah dihasilkan tanpa suatu usaha baik berupa pengetahuan maupun berupa keterampilan. Prestasi akademik adalah perubahan dalam hal kecakapan tingkah laku, ataupun kemampuan yang dapat bertambah selama beberapa waktu dan tidak disebabkan proses pertumbuhan, tetapi adanya situasi belajar. Perwujudan bentuk hasil proses tersebut dapat berupa pemecahan lisan maupun tulisan, dan keterampilan serta pemecahan masalah langsung dapat dinilai atau diukur dengan menggunakan test yang terstandar (Sobur, 2006). Selain itu, prestasi akademik adalah istilah untuk menunjukkan suatu pencapaian tingkat keberhasilan tentang suatu tujuan, karena suatu usaha belajar telah dilakukan seseorang secara optimal (Setiawan, 2000). Secara umumnya, pencapaian akademik adalah penentu kepada taraf pencapaian individu dalam sesuatu pemeriksaan yang standar. Pencapaian adalah sebagai penyelesaian dan efisiensi yang diperoleh dalam sesuatu kemahiran, pengetahuan atau kemajuan yang diperoleh secara alami yang tidak terlalu bergantung kepada kecerdasan akal pikiran. Selain itu, prestasi akademik adalah mengungkap keberhasilan seseorang dalam belajar (Azwar, 2004). Selanjutnya dikemukakan, karena prestasi akademik tak lain dari hasil dari proses belajar, maka prestasi akademik juga dimaknai sebagai prestasi belajar. Menurut Azwar (2004) secara umum, ada dua faktor yang mempengaruhi prestasi akademik seseorang, yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal meliputi antara lain faktor fisik dan faktor psikologis. Faktor fisik berhubungan dengan kondisi fisik umum seperti penglihatan dan pendengaran. Faktor psikologis menyangkut faktor-faktor non fisik, seperti minat, motivasi, bakat, intelegensi, sikap dan kesehatan mental. Faktor eksternal meliputi faktor fisik dan faktor sosial. Faktor fisik
17
menyangkut kondisi tempat belajar, sarana dan perlengkapan belajar, materi pelajaran dan kondisi lingkungan belajar. Faktor sosial menyangkut dukungan sosial dan pengaruh budaya. 2. Organisasi Organisasi sebagai kesatuan sosial terdiri dari orang atau kelompok orang yang berinteraksi satu sama lain. Pandangan terhadap organisasi sangat tergantung pada konteks dan perspektif tertentu dari seseorang yang merumuskannya. Beberapa pandangan mengenai organisasi tersebut dapat diuraikan seperti yang dikemukakan Thompson dalam Thoha (1992), bahwa organisasi adalah: “an organization is a highly rationalized and impersonal integration of a large member of specialists cooperating to achieve some announched specific objectif”. Sedangkan pandangan lain, seperti yang dikemukakan oleh Robbins (2006), merumuskan bahwa:“an organization is a consciously coordinated sosial entity, with a relatively indentiviable boundary, that functions on a relatively continuous basis to achieve a common goal or set of goals”. Kedua pandangan tersebut di atas, jelas memperlihatkan perspektif yang berbeda. Thompson dalam Thoha (1992), merumuskan organisasi dengan penekanan pada tingkat rasionalitas dalam kerjasama yang terkoordinasi, dengan menekankan pentingnya pembagian tugas sesuai keahlian masing-masing anggota organisasi. Sedangkan menurut Robbins (2006), memandang organisasi sebagai kesatuan sosial, yaitu terdiri dari orang atau kelompok orang yang berinteraksi satu sama lain. Pola interaksi yang diikuti oleh anggota organisasi tidak begitu saja timbul, melainkan telah dipikirkan terlebih dahulu. Organisasi merupakan tata hubungan sosial. Dalam hal ini seorang individu melakukan proses interaksi dengan sesamanya di dalam organisasi, baik antara pimpinan dan anggota maupun antar anggota sendiri. Organisasi mempunyai pembatasan-pembatasan tertentu. Setiap anggota organisasi yang
18
melakukan hubungan interaksi dengan yang lainnya tidaklah didasarkan atas kemauan sendiri, akan tetapi mereka dibatasi oleh peraturan tertentu. Organisasi merupakan suatu kumpulan tata aturan. Dengan adanya tata aturan setiap organisasi maka dapat lebih mudah dibedakan suatu organisasi dengan kumpulan kemasyarakatan. Organisasi merupakan suatu kerangka hubungan yang berstruktur, yang di dalamnya berisi wewenang, tanggung jawab, dan pembagian kerja untuk menjalankan suatu fungsi tertentu. Adanya hirarkhi atau tingkatan mulai dari pimpinan sampai pada bawahan atau staf. Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa orang-orang terlibat dalam organisasi harus tunduk pada suatu aturan untuk mengadakan kerjasama dan interaksi guna mencapai suatu tujuan bersama. Peneliti mengkaitkan paradigma organisasi dengan konsep klasik, lebih banyak mempertimbangkan hal-hal yang berhubungan dengan struktur seperti hirarkhi, wewenang, tanggungjawab, kesatuan komando, dan jenjang pengawasan. Organisasi juga dapat diartikan dalam dua macam yakni: (1) dalam arti statis, organisasi sebagai wadah kerja sama sekelompok orang yang bekerja sama, untuk mencapai tujuan tertentu, (2) dalam arti dinamis, organisasi sebagai suatu sistem atau kegiatan sekelompok orang untuk mencapai tujuan tertentu.
3. Struktur Organisasi Suatu struktur organisasi menetapkan cara tugas pekerjaan dibagi, dikelompokkan, dan dikoordinasi secara formal. Menurut Robbins ada enam unsur dalam merancang struktur organisasi, yaitu: a. Spesialisasi kerja, yaitu suatu tingkat dimana tugas dalam organisasi dibagai-bagi menjadi pekerjaan-pekerjaan yang terpisah. b. Departementalisasi, yaitu dasar yang dipakai untuk mengelompokkan
19
bersama, sejumlah pekerjaan. c. Rantai komando, yaitu garis tidak putus dari wewenang yang terentang dari puncak organisasi ke eselon terbawah dan memperjelas siapa melapor kepada siapa. d. Rantai kendali, yaitu jumlah bawahan yang dapat diarahkan secara efisien dan efektif oleh seorang manajer. e. Sentralisasi dan Desentralisasi, Sentralisasi yaitu sampai tingkat mana pengambilan keputusan dipusatkan pada suatu titik tunggal dalam organisasi. Desentralisasi yaitu keleluasaan keputusan dialihkan ke bawah ke karyawan tingkat lebih rendah. f. Formalisasi, yaitu suatu tingkat yang terhadapnya pekerjaan-pekerjaan dalam organisasi itu dilakukan (Robbins, 2006). Dalam suatu organisasi diperlukan stuktur organisasi yang berfungsi menetapkan cara tugas pekerjaan dibagi, dikelompokkan, dan dikoordinasikan secara formal, agar tercapai suatu tujuan organisasi yang telah ditentukan sebelumnya. Menurut Robbins, secara umum ada tiga desain organisai, yaitu: a. Struktur sederhana, yaitu suatu struktur yang bercirikan tingkat departementalisasi sederhana, rentang kendali yang luas, wewenang yang dipusatkan, dalam tangan satu orang, dan formalisasi kecil. b. Birokrasi, yaitu suatu struktur dengan tugas-tugas operasi yang sangat rutin yang dicapai lewat spesialisasi aturan dan pengaturan yang sangat formal, tugas-tugas yang dikelompokkan ke dalam departemendepartemen fungsional, wewenang terpusat, rentang kendali yang sempit dan pengambilan keputusan yang mengikuti rantai komando. c. Struktur matrik, yaitu suatu struktur yang menciptakan lini pangkat dari wewenag, menggabungkan departementalisasi fungsional dan produk. (Robbins, 2006).
20
Struktur organisasi merupakan suatu bentuk dari organisasi tersebut, yang berisikan susunan orang-orang yang menduduki suatu jabatan tertentu, berdasarkan wewenangnya masing-masing dan terdapat rentang kendali dalam pelaksanaan organisasi tersebut. Secara umum ada tiga bentuk strutur organisasi, yaitu struktur sederhana, struktur birokrasi, dan struktur matrik. Robbins juga mengemukakan pilihan desain baru dalam organisasi, yaitu: a. Struktur tim, yaitu penggunaan tim sebagai piranti pusat untuk mengkoordinasi kegiatan kerja. b. Organisasi virtual, yaitu suatu organisasi inti yang kecil, yang menggunakan sumber luar untuk fungsi-fungsi bisnis utama. c. Organisasi tanpa tapal batas, yaitu suatu organisasi yang mengusahakan penghapusan rantai komando, mempunyai rentang kendali yang tak terbatas, dan menggantikan departemen dengan tim yang diberdayakan. (Robbins, 2006). Dalam
sebuah
struktur
organisai,
ada
kelebihan
dan
ada
kekurangannya, untuk mengatasinya ada jenis struktur organisasi pilihan lain, sebagai strutur organisasi pilihan, selain struktur organisasi secara umum yang telah ada sebelumnya ada juga struktur organisasi lain, yaitu sebagai struktur organisasi pilihan, apabila struktur organisasi secara umum tersebut tidak cocok untuk digunakan. Struktur organisasi tersebut diantaranya strutur organisasi tim, struktur organisasi virtual, dan struktur organisasi tanpa tapal batas.
4. Representasi Budaya Organisasi a. Budaya Organisasi Davis (Moeljono, 2005) mendefinisikan budaya organisasi sebagai pola yang terdiri atas kepercayaan dan nilai-nilai yang memberi arti bagi anggota suatu organisasi serta aturan-aturan bagi anggota untuk
21
berperilaku di organisasinya. Schein (Yuwono, dkk, 2005) juga menyatakan budaya organisasi adalah pola-pola asumsi dasar yang diyakini bersama yang suatu kelompok pelajari sebagai hal yang dapat menyelesaikan persoalan-persoalan adaptasi eksternal dan integrasi, yang telah bekerja dengan baik sehingga dinyatakan sebagai sahih dan oleh karena itu diajarkan kepada anggota-anggota baru sebagai cara yang benar untuk memandang, berfikir, dan merasa terkait dengan persoalanpersoalan yang dihadapi. Dilihat dari sisi kejelasan dan ketahanannya terhadap perubahan, Kotter dan Heskett (1998) memilah budaya organisasi menjadi ke dalam dua tingkatan yang berbeda. Dikemukakannya, bahwa pada tingkatan yang lebih dalam dan kurang terlihat, nilai-nilai yang dianut bersama oleh orang dalam kelompok dan cenderung bertahan sepanjang waktu bahkan meskipun anggota kelompok sudah berubah. Pengertian ini mencakup tentang apa yang penting dalam kehidupan, dan dapat sangat bervariasi dalam perusahaan yang berbeda: dalam beberapa hal orang sangat mempedulikan uang, dalam hal lain orang sangat mempedulikan inovasi atau kesejahteraan karyawan. Pada tingkatan ini budaya sangat sukar berubah, sebagian karena anggota kelompok sering tidak sadar akan banyaknya nilai yang mengikat mereka bersama. Pada tingkat yang terlihat, budaya menggambarkan pola atau gaya perilaku suatu organisasi, sehingga karyawan-karyawan baru secara otomatis terdorong untuk mengikuti perilaku sejawatnya. Sebagai contoh, katakanlah bahwa orang dalam satu kelompok telah bertahun-tahun menjadi pekerja keras, yang lainnya sangat ramah terhadap orang asing dan lainnya lagi selalu mengenakan pakaian yang sangat konservatif. Budaya dalam pengertian ini, masih kaku untuk berubah, tetapi tidak sesulit pada tingkatan nilai-nilai dasar. Untuk lebih jelasnya lagi
22
mengenai tingkatan budaya ini dapat dilihat dalam bagan 1.
Gambar 2.1. Budaya dalam Organisasi (Sumber: John. P. Kotter & James L. Heskett, 1998) Selain itu, Wibowo (Joelanda, 2011) mengatakan budaya organisasi dalam suatu organisasi yang satu dapat berbeda dengan organisasi yang lain. Namun budaya organisasi menunjukkan ciri-ciri, sifat , karakteristik tertentu yang menunjukkan kesamaannya.Terminologi yang dipergunakan para ahli untuk menunjukkan karakteristik budaya organisasi sangat bervariasi. Hal tersebut menunjukkan beragamnya ciri, sifat dan elemen yang terdapat dalam budaya organisasi. Budaya yang strategis, cocok, secara eksplisit menyatakan bahwa arah budaya harus menyelaraskan dan memotivasi anggota, jika ingin meningkatkan kinerja organisasi. Konsep utama yang digunakan di sini adalah “kecocokan”. Jadi, sebuah budaya dianggap baik apabila cocok dengan konteksnya. Adapun yang dimaksud dengan konteks bisa berupa kondisi obyektif dari organisasinya atau strategi usahanya (Kotter dan Hesket, 1998).
23
b. Proses pembentukan budaya organisasi Budaya suatu organisasi tidak muncul begitu saja dari suatu kehampaan. Menurut Atmosoeprapto (Moeljono, 2005) Beberapa unsur budaya organisasi yang terbentuk banyak ditentukan oleh beberapa hal yaitu sebagai berikut : (1) Lingkungan usaha; lingkungan di mana perusahaan itu beroperasi akan menentukan apa yang harus dikerjakan oleh perusahaan tersebut untuk mencapai keberhasilan. (2) Nilai-nilai (values); merupakan konsep dasar dan keyakinan dari suatu organisasi. (3) Panutan/keteladanan; orang-orang yang menjadi panutan atau teladan karyawan lainnya karena keberhasilannya. (4) Upacara-upacara (rites and ritual); acara-acara rutin yang diselenggarakan oleh perusahaan dalam rangka memberikan penghargaan pada karyawannya. (5) Network; jaringan komunikasi informal di dalam perusahaan yang dapat menjadi sarana penyebaran nilai-nilai dari budaya perusahaan. Terdapat beberapa faktor yang memberikan sumbangan terhadap terbentuknya budaya organisasi. Greenberg & Baron (Yuwono, dkk, 2005) menyatakan bahwa faktor-faktor tersebut adalah 1) Pendiri organisasi. Budaya organisasi dapat ditelusuri, paling tidak sebagian, para pendiri organisasi. Pendiri-pendiri ini seringkali memiliki kepribadian yang dinamis, nilai yang kuat, dan visi yang jelas tentang bagaimana organisasi seharusnya bekerja, karena mereka merupakan orang-orang pertama, maka mereka memainkan peran penting dalam penerimaan karyawan. Mereka akan cenderung memilih orang-orang yang memiliki sikap dan keyakinan yang sama dan tentu saja lebih dari itu, mereka akan mengajarkan dan menyebarluaskan sikap dan nilai-nilai kepada karyawan baru tersebut. 2) Pengalaman Organisasi. Budaya organisasi akan berkembang seiiring dengan pengalaman organisasi dalam menghadapi lingkungan
24
eksternalnya. Mereka harus bersaing dengan organisasi lain untuk mendapatkan pasarnya dan mendapatkan nilai-nilai serta cara-cara terbaik untuk memenangkan persaingan. 3) Interaksi internal. Budaya organisasi juga berkembang dari interaksi antar kelompok-kelompok dalam organisasi. Budaya selalu melibatkan bagaimana anggota organisasi menginterpretasikan kejadian-kejadian dalam organisasi. Ketika anggota-anggota organisasi memberi makna yang sama terhadap suatu kejadian maka budaya organisasi telah terbentuk. c. Indikator Budaya Budaya merupakan inti dari apa yang penting dalam organisasi, seperti aktivitas perintah dan larangan serta menggambarkan sesuatu yang dilakukan dan tidak dilakukan yang mengatur perilaku anggotanya. Edgar (Antonius, 2010)
menyebutkan suatu budaya dapat dilihat dari tiga
dimensi yaitu: 1) Dimensi Adaptasi Eksternal (External Adaptation Task). Dimensi ini meliputi indikator-indikator misi, tujuan, sarana dasar, pengukuran keberhasilan strategi cadangan. Dimensi ini dalam organisasi publik misi
yang
diemban
merupakan
hasil
dari
logika
yang
menyeimbangkan kebutuhan berbagai pihak terkait dengan keberadaan organisasi tersebut. 2) Dimensi Integrasi Internal (Internal Integration Task). Dimensi integrasi internal yaitu meliputi indikator kesamaan bahasa, batasan dalam kelompok, penempatan status dan kekuasaan, hubungan dalam kelompok, penghargaan dan bagaimana mengatur anggota dalam kelompok. 3) Dimensi Asumsi-asumsi Dasar (Basic Underlying Assumtions). Indikator-indikator yang akan diteliti untuk mengetahui variabel
25
dimensi asumsi-asumsi dasar, yaitu hubungan dengan lingkungan, hakekat kegiatan manusia, hakekat kenyataan dan kebenaran, hakekat waktu, hakekat kebersamaan manusia, hakekat hubungan antar manusia, homogenitas versus heterogenitas. d. Representasi Budaya Representasi dalam konteks antropologi menurut Stuart Hall (2003) sebagai suatu produksi makna dari konsep-konsep yang ada dalam pikiran seseorang. Secara sederhana representasi dapat diartikan sebagai pikiran orang-orang terhadap objek, peristiwa, dan simbol-simbol tertentu. Representasi tidak hanya untuk menyajikan (to present), untuk membayangkan (to image), atau untuk melukiskan (to depict), tapi lebih dari itu representasi mengacu pada cara memaknai objek atau peristiwa yang tergambarkan. Chris Barker (Stuart Hall, 2003) menyatakan bahwa representasi merupakan kajian utama dari Cultural Studies, artinya representasi berhubungan dengan budaya dan media massa. Dalam hal ini, Barker mengungkap bahwa representasi adalah kajian tentang bagaimana dunia dikonstruksikan secara sosial kemudian disajikan dan dimaknai. Representasi merujuk kepada konstruksi segala bentuk media terutama media massa terhadap segala aspek realitas atau kenyataan seperti di masyarakat, objek, peristiwa, hingga identitas budaya. Representasi ini bisa berbentuk kata-kata atau tulisan bahkan juga dapat dilihat dalam bentuk gambar bergerak atau visual. Budaya telah didefinisikan dengan berbagai cara dan masih sedikit kesepakatan
mengenai
defenisi
yang
tepat.
Budaya
merupakan
sekumpulan nilai-nilai, kepercayaan dan norma yang dirasakan bersama. Manifestasi budaya dibagi kedalam empat kategori, yaitu : simbol, heroes, ritual, dan nilai. Simbol adalah kata-kata, isyarat, gambar atau benda yang
26
membawa arti khsusus dalam budaya. Heroes adalah orang-orang baik yang hidup atau telah meninggal nyata atau imajiner mempunyai karasteristik yang bernilai tinggi dalam budaya sekaligus diperlakukan sebagai panutun dalam berperilaku. Rituals adalah kegiatan bersama yang secara teknis berlebih-lebihan namun sosial penting dalam budaya. Keempat, kategori tersebut digolongkan dan istilah practices, karena ketiganya kelihatan oleh pengamat atau pihak luar meskipun arti budayanya terletak bagaimana anggota mempersepsikannya. Inti dari budaya dibentuk oleh nilai-nilai. Nilai-nilai adalah perasaan yang memiliki sisi positif dan negatif, yang terdiri baik dan jahat, cantik dan buruk, normal dan abnormal, paradoks dan logis, rasional dan irasional, perasan-perasaan di bawah sadar dan jarang didiskusikan, mereka tidak dapat diamati namun diwujudkan dalam sikap perilaku. Nilai didefenisikan sebagai suatu tendensi yang luas untuk menunjukkan state of affairs tertentu atas lainnya, yang pengukurannya menggunakan kepercayaan, sikap, dan kepribadian. Sedangkan budaya dideffenisikan oleh Hofsfede sebagai program mental yang berpola pikiran, perasaan, dan tindakan atau disebut dengan “sofware of the mind”. Pemprograman ini dimulai dari lingkungan keluarga, kemudian dilanjutkan dengan lingkungan tetangga, sekolah, kelompok remaja, lingkungan kerja, dan lingkungan masyarakat. Dengan demikian, kebudayaan adalah suatu sistem nilai yang dianut oleh suatu lingkungan, baik lingkungan keluarga, lingkungan sekolah, lingkungan kerja, sampai pada lingkungan masyarakat luas. Pemprograman mental atau budaya nilai ini dikembangkan melalui suatu sistem nilai yang berkembang dalam masyarakat, kemudian sistem nilai ini akan menjadi norma-norma sosial yang mempengaruhi perilaku sosial.
27
5. Motivasi Belajar Motivasi didefinsikan sebagai proses yang ikut menentukan intensitas, arah, dan ketekunan individu dalam usaha mencapai sasaran (Robins, 2006). Sementra itu Gibson, Ivancevich dan Donnelly (Robbins, 2006) mengatakan bahwa motivasi ialah suatu konsep yang kita gunakan jika kita menguraikan kekuatan-kekuatan yang bekerja terhadap atau dalam diri individu untuk memulai dan menjelaskan perilaku. Pengertian motivasi pada intinya motivasi adalah dorongan yang menggerakan seseorang untuk melakukan suatu kegiatan. Sardiman (2009) mengartikan motivasi sebagai serangkaian usaha untuk menyediakan kondisi-kondisi tertentu, sehingga seseorang mau dan ingin melakukan sesuatu, dan bila ia tidak suka maka akan berusaha untuk meniadakan atau mengelakkan perasaan tidak suka itu. Dalam hal ini sesorang akan berusaha untuk menciptakan suatu keadaan yang mendorong dirinya untuk melakukan suatu tindakan yang disukai sehingga tidak ada penolakan dari dalam dirinya untuk tidak menyukai aktivitas yang dilaksanakannya. Menurut Handoko dalam Samino (2010) mengemukakan motivasi merupakan kekuatan pendorong yang akan mewujudkan suatu perilaku guna mencapai tujuan kepuasan diri. Jadi dalam hal ini seseorang akan melakukan suatu cara yang dianggap dapat mewujudkan keinginannya melalui dukungandukungan dari dalam diri maupun dari orang lain. Dari uraian pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa motivasi adalah sesuatu usaha atau kekuatan yang timbul dari dalam dan mendorong seseorang untuk melakukan kegiatan yang disukai atau disenangi dalam mencapai tujuan tertentu. Tindakan memotivasi akan berhasil apabila tujuan jelas dan didasari oleh kebutuhan, tetapi perlu diketahui bahwa tujuan dan kebutuhan setiap individu tidaklah sama, oleh karenanya timbullah motivasi yang berbeda.
28
Terdapat bermacam-macam teori motivasi yang dikemukakan oleh para ahli. Diantara teori-teori tersebut terdapat beberapa teori yang sering diaplikasikan dalam perilaku individu, masyarakat maupun organisasi. a. Teori Kebutuhan Teori kebutuhan disampaikan oleh Maslow (Robins, 2006) atau dikenal dengan teori Hierarki Kebutuhan mengklasifikasikan kebutuhankebutuhan dasar manusia kedalam suatu hierarki yang terdiri dari: 1) Psikologis, antara lain rasa lapar, rasa haus, perlindungan (pakaian dan perumahan), seks, dan kebutuhan jasmani lainnya; 2) Keamanan, antara lain keselamatan dan perlindungan terhadap kerugian fisik dan emosional; 3) Sosial, mencakup kasih sayang, rasa memiliki, diterima-baik, dan persahabatan; 4) Penghargaan, mencakup faktor penghormatan dari luar seperti misalnya status, pengakuan, dan perhatian; dan 5) Aktualisasi diri, yaitu dorongan untuk menjadi seseorang atau sesuatu ambisinya yang mencakup pertumbuhan, pencapaian potensi, dan pemenuhan kebutuhan diri. Untuk memenuhi kebutuhan kebutuhan yang lebih tinggi, kebutuhan yang ada di bawahnya harus terpenuhi terlebih dahulu. Maslow (Robbins, 2006) lebih lanjut menjelaskan bahwa begitu masing-masing kebutuhan terpenuhi secara substansial, maka kebutuhan berikutnya akan menjadi dominan. Berikut ini adalah Hierarki Kebutuhan Maslow yang digambarkan sebagai sebuah piramida.
29
Aktualisasi Diri Penghargaan Sosial Keamanan Psikologis Gambar. 2.2 Hierarki Kebutuhan Maslow (Robbins, 2006) Berdasarkan piramida kebutuhan tersebut Maslow (Robbins, 2006) mengungkapkan bahwa di dalam diri semua manusia bersemanyam lima jenjang kebutuhan, yaitu: 1) Psikologis, antara lain rasa lapar, haus, perlindungan (pakaian dan perumahan), seks, dan kebutuhan jasmani lainnya, 2) Keamanan, antara lain keselamatan dan perlindungna terhadap kerugian fisik dan emosional, 3) Sosial, mencakup kasih sayang, rasa memiliki, diterima baik, dan persahabatan, 4) Penghargaan, mencakup faktor penghormatan diri seperti harga diri, otonomi, dan prestasi, serta faktor penghormatan dari luar seperti status, pengakuan, dan perhatian, serta 5) Aktualisasi diri, yaitu dorongan untuk menjadi seseorang atau sesuatu sesuai ambisinya, yang mencakup pertumbuhan, pencapaian potensi, dan pemenuhan kebutuhan diri. b. Teori insting Sardiman (2009) mengemukakan bahwa tindakan setiap diri manusia diasumsikan seperti tingkah jenis binatang. Tindakan manusia itu dikatakan
30
selalu berkaitan dengan insting atau pembawaan. Dalam memberikan respons terhadap adanya kebutuhan seolah-olah tanpa dipelajari. c. Teori fisiologis Menurut teori ini semua tindakan manusia berakar pada usaha memenuhi kepuasan dan kebutuhan organik atau kebutuhan untuk kepentingan fisik (Sardiman, 2009) d. Teori psikoanalitik Teori ini menjelaskan bahwa tssetiap tindakan manusiakarena adanya unsur pribadi manusia yaitu id dan ego (Sardiman, 2009) Pengertian dasar motivasi adalah keadaan internal organisme baik manusia ataupun hewan yang mendorongnya untuk berbuat sesuatu. Dalam pengertian ini motivasi berarti pemasok daya (energizer) untuk bertingkah laku
secara
terarah
(Gleitman
dalam
Muhibbin,
2003).
Dalam
perkembangan selanjutnya, motivasi dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu: 1) Motivasi intrinsik, adalah hal dan keadaan yang berasal dari dalam diri siswa sendiri yang dapat mendorongnya melakukan tindakan belajar. Yang termasuk dalam motivasi intrinsik antara lain perasaan menyenangi materi dan kebutuhannya terhadap materi tersebut, misalnya untuk kehidupan masa depan siswa yang bersangkutan. 2) Motivasi ekstrinsik, adalah hal dan keadaan yang datang dari luar individu siswa yang juga mendorongnya untuk melakukan kegiatan belajar. Contoh-contoh motivasi ekstrinsik antara lain pujian dan hadiah, peraturan sekolah, suri tauladan dan dorongan orang tua. Tingkah laku atau kegiatan individu bukanlah kegiatan begitu saja terjadi, tetapi ada faktor yang mendorong yang disebut motivasi. Sehubungan dengan hal tersebut diatas maka ada tiga fungsi motivasi :
31
1) Mendorong manusia untuk berbuat, jadi sebagai penggerak atau motor yang melepaskan energi. Motivasi dalam hal ini merupakan motor penggeak dari setiap kegiatan yang akan dikerjakan. 2) Menentukan arah perbuatan, yakni ke arah tujuan yang hendak dicapai. Dengan demikian motivasi dapat memberikan arah dan kegiatan yang harus dikerjakan sesuai dengan rumusan tujuan. 3) Menyeleksi perbuatan yakni menentukan perbuatan-perbuatan apa yang harus dikerjakan yang serasi guna mencapai tujuan, dengan menyisihkanperbuatan-perbuatan yang tidak bermanfaat bagi tujuan tersebut (Sardiman, 2009). Dari uraian fungsi motivasi di atas dapatlah disimpulkan bahwa pada pokoknya fungsi motivasi adalah mendorong manusia agar melakukan perbuatan untuk mencapai tujuan tertentu. Dalam kegiatan belajar mengajar, motivasi adalah untuk menggiatkan semangat belajar siswa sehingga siswa akan lebih bergairah dalam belajar.
B. Penelitian Yang Relevan Peneliti sejauh ini belum menemukan penelitian yang relevan dengan penelitian yang dilakukan oleh penulis saat ini. Namun peneliti menemukan beberapa penelitian yang dapat dijadikan acuan atau landasan untuk pelaksanaan penelitian ini. 1. Lukman Solihin (2013) dari Pusat Penelitian dan Pengembangan Kebudayaan, menulis artikel dengan judul “Those Who prefer to stay study about adaptation strategies of Bugis-Makasar Students in Melbourne, Australia”. Hasil penelitian ini mengungkapkan keputusan untuk tinggal permanen di Australia mula-mula didorong oleh faktor eksternal yang kemudian didukung oleh kondisi internal kebudayaan orang Bugis-Makassar di Kota Melbourne. Faktor eksternal berupa lingkungan hidup yang nyaman, layak, dan
32
memberikan rasa aman telah memantik keinginan mereka untuk menetap. Selain itu, dorongan budaya berupa spirit merantau (sompe’), serta alasanalasan yang sifatnya personal, seperti keberadaan anak dan cucu mereka yang telah menjadi warga negara Australia, makin meneguhkan pilihan mereka untuk tidak pulang ke Indonesia. 2. Paningkat Siburian (2010) meneliti tentang hubungan budaya organisasi dan motivasi berprestasi pada mahasiswa dalam bimbingan perencanaan pembelajaran. Penelitian ini menyimpulkan bahwa budaya organisasi dalam organisasi bimbingan perencanaan mahasiswa dalam pengerjaan tugas akhir terbukti memiliki hubungan yang signifikan dengan prestasi belajar mahasiswa. 3. Tito (2013) meneliti tentang penyesuaian kebudayaan di Kampus Universitas Negeri Semarang. Penelitian ini menyimpulkan bahwa salah satu faktor yang berhubungan dengan kemampuan penyesuaian diri terhadap kebudayaan mahasiswa dari luar Semarang adalah adanya pertemananan dengan teman sekampung atau organisasi kesatuan mahasiswa asal. 4. Lutfhian (2011) tentang interaksi sosial antara anggota organisasi ekstra kampus di UIN Syarief Hidayatullah Jakarta menunjukkan bahwa interaksi mahasiswa dengan organisasi intra sekolah memberikan corak perilaku yang berbeda-beda. Penelitian ini mengungkapkan bahwa terdapat perbedaan pola pendekatan dan perilaku mahasiswa anggota Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) dengan Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) terhadap perebutan kedudukan dalam organisasi intra kampus seperti di Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM). 5. Khusnul (2012) meneliti tentang Pengamalan Nilai Sipakatau, Sipakalebbi, Sipakainge di Lingkungan Forum Mahasiswa Bone-Yogyakarta (FKMB-Y). penelitian ini mengungkapkan bahwa nilai Sipakatau, Sipakalebbi, Sipakainge tidak hanya sebatas nilai kultur yang diakui oleh masyarakatnya akan tetapi
33
juga teraplikasi pada tindakannya. Pengalaman nilai Sipakatau, Sipakalebbi, Sipakainge telah diwujudkan dalam interaksi sosial pelajar atau mahasiswa di Forum Mahasiswa Bone-Yogyakarta (FKMB-Y). 6. Andi (2014)
meneliti adaptasi sosial mahasiswa rantau dalam mencapai
prestasi akademik. Penelitian ini meneliti tentang cara-cara mahasiswa rantau untuk mencapai prestasi akademik kaitannya dengan keberadaan perkumpulan mahasiswa asal. Penelitian ini menyimpulkan bahwa perkumpulan mahasiswa asal berfungsi memperkenalkan mahasiswa baru kepada langkah-langkah beradaptasi dalam pembelajaran dan cara-cara untuk mencapai prestasi akademik yang baik. 7. Rodhil (2013) meneliti pengaruh budaya organisasi dan motivasi organisasi terhadap kinerja pengurus koperasi mahasiswa Universitas Muhammadiyah Surakarta. Penelitian ini menyimpulkan bahwa terdapat pengaruh budaya organisasi dan motivasi organisasi dengan kinerja pengurus. Budaya organisasi yang dimiliki oleh pengurus membantu pengurus untuk memahami pola kerja dalam organisasi, sehingga mempercepat proses adaptasi dan ketercapaian tujuan organisasi. 8. Ron Rencher (1992) meneliti tentang Student Motivation, School Culture, and Academic Achievement. Penelitian ini menyimpulkan bahwa motivasi belajar pelajar dan budaya sekolah berhubungan dengan pencapaian belajar siswa. Siswa yang memiliki motivasi tinggi cenderung memiliki prestasi atau pencapaian belajar yang baik dan budaya sekolah yang baik mendukung pencapaian belajar yang baik pula. 9. Seda Sumer (2009) melakukan penelitian dengan judul International student’s psychological and sociocultural adaptation in the Unites States. Penelitian ini menyimpulkan bahwa mahasiswa asing yang belajar di USA mengalami perbedaan budaya dan agama sehingga mereka mengalami kesulitan dalam melakukan adaptasi khususnya dalam budaya belajar di USA. Badan
34
konseling psikologi dan budaya terbukti memiliki peran dalam membantu mahasiswa asing untuk melakukan adaptasi budaya di USA. 10. Ly Thi Ran (2008) meneliti tentang Mutual Adaptation of International Students and Academics for the Sustainable Development of International Education. Penelitian ini menyimpulkan bahwa adaptasi yang menguntungkan antara pelajar asing dengan proses akademik dapat meningkatkan kenyaman pembelajaran oleh pelajar asing. Peran adaptasi pelajar asing dilakukan oleh institusi lembaga pembelajaran serta organisasi pada pelajar asing tersebut. 11. Ly Thi Ran (2013) juga meneliti tentang International Student Adaptation to Academic Writing in Higher Education. Penelitian ini menyimpulkan bahwa faktor-faktor yang berhubungan dengan kemampuan adaptasi mahasiswa internasional dalam menulis tugas belajar dan tugas akhir adalah adanya rekan dari satu wilayah, adalah instittusi pembinaan, dan organisasi mahasiswa dari Negara atau asal yang sama. Perbedaan dengan penelitian yang dilakukan peneliti, bahwa penelitian yang dilakukan peneliti organisasi mahasiswa satu daerah tidak hanya memfokuskan kepada pemberian bantuan dalam adaptasi mahasiswa baru, namun juga berupaya untuk menjaga kultur budaya wilayah asal serta memperkenalkan kultur budaya wilayah asal kepada tempat beradanya organisasi tersebut.
C. Landasan Teori Interaksionisme simbolik merupakan salah satu bentuk dari interaksi sosial. Pendekatan ini bersumber pada pemikiran George Herbert Mead. Dari kata interaksionisme sudah nampak bahwa sasaran pendekatan ini ialah interaksi sosial; kata simbolik mengacu pada penggunaan simbol-simbol dalam interaksi1. Dalam hemat penulis, teori tersebut juga mengajak kita untuk lebih memperdalam sebuah kajian mengenai pemaknaan interaksi yang digunakan dalam mayarakat mulitietnik. Dalam menggunakan pendekatan teori interaksionisme simbolik
35
sudah nampak jelas bahwa pendekatan ini merupakan suatu teropong ilmiah untuk melihat sebuah interaksi dalam masyarakat multietnik yang banyak menggunakan simbol-simbol dalam proses interaksi dalam masyarakat tersebut (Kamanto, 2004). Pokok pikiran interaksionisme simbolik ada tiga; yang pertama ialah bahwa manusia bertindak (act) terhadap sesuatu (thing) atas dasar makna yang dipunyai sesuatu baginya. Dengan demikian tindakan (act) seorang penganut agama Hindu di India terhadap seekor sapi (thing) akan berbeda dengan tindakan seorang penganut agama islam di Pakistan, karena bagi masing-masing orang tersebut sapi tersebut mempunyai makna (meaning) berbeda (Kamanto, 2004). Lebih dalam lagi sebuah kajian mengenai pokok pemikiran teori interaksionisme simbolik, membuat kita memahami bahwa dalam sebuah tindakan mempunyai makna yang berbeda dengan orang yang lain yang juga memaknai sebuah makna dalam tindakan interaksi tersebut, seperti yang dijelaskan pada proses pemaknaan penganut Agama Hindu di India dan penganut Agama Islam di Pakistan terhadap seekor sapi. Ini menandakan bahwa ada banyak makna yang terkandung dalam sebuah tindakan (act). Interaksionis simbolik telah diperhalus untuk dijadikan salah satu pendekatan sosiologis oleh Herbert Blumer dan George Herbert Mead, yang berpandangan bahwa manusia adalah individu yang berpikir, berperasaan, memberikan pengertian pada setiap keadaan, yang melahirkan reaksi dan interpretasi kepada setiap rangsangan yang dihadapi. Kejadian tersebut dilakukan melalui interpretasi simbol-simbol atau komunikasi bermakna yang dilakukan melalui gerak, bahasa, rasa simpati, empati, dan melahirkan tingkah laku lainnya yang menunjukan reaksi atau respon terhadap rangsangan-rangsangan yang datang kepada dirinya (Salim, 2008). Pendekatan interaksionisme simbolik merupakan salah suatu pendekatan yang mengarah kepada interaksi yang menggunakan simbol-simbol dalam berkomunikasi, baik itu melalui gerak, bahasa dan simpati, sehingga akan muncul
36
suatu respon terhadap rangsangan yang datang dan membuat manusia melakukan reaksi atau tindakan terhadap rangsangan tersebut. Dalam pendekatan interaksionisme simbolik akan lebih diperjelas melalui ulasan-ulasan yang lebih spesifik mengenai makna simbol yang akan dibahas di bawah ini. Dalam melakukan suatu interaksi, maka gerak, bahasa, dan rasa simpati sangat menentukan, apalagi berinteraksi dalam masyarakat yang berbeda suku dan kebudayaan. Modal utama dalam melakukan interaksi dalam masyarakat multi etnik adalah saling memahami kebiasaan ataupun kebudayaan dari orang lain, sehingga kesalah-pahaman yang nantinya akan menimbulkan konflik dapat tertekan. Disamping manusia disebut sebagai mahluk sosial, manusia juga sering disebut sebagai mahluk individu yang mempunyai keinginan untuk memperbaiki dirinya sendiri sendiri, sedangkan dalam kategori mahluk sosial, manusia selalu berkeinginan untuk melakukan interaksi dan hubungan dengan orang lain karena akan timbul dalam diri manusia itu sendiri rasa untuk mencari orang lain untuk berinteraksi. Interaksi merupakan suatu proses yang sifatnya timbal balik dan mempunyai pengaruh terhadap perilaku dan pihak-pihak yang bersangkutan melalui kontak langsung, melalui berita yang didengar, ataupun melalui surat kabar. Interaksi sosial sebagai berikut: “interaksi sosial merupakan hubunganhubungan sosial yang dinamis, yang menyangkut hubungan orang perorang antara kelompok manusia. Interaksi sosial adalah kontak atau hubungan timbal balik atau intersimulasi dan respon antar individu antar kelompok atau antar individu dan kelompok. Suatu interaksi merupakan hubungan timbal balik antara seseorang dengan kelompoknya dalam suatu masyarakat. Suatu interaksi merupakan hal yang sangat penting dalam kehidupan bermasyarakat karena tidak dapat dipungkiri bahwa dalam kehidupan kita sehari-hari sangat membutuhkan bantuan dan petunjuk dari orang lain, sehingga sangat penting untuk melakukan
37
suatu interkasi dengan kelompok yang ada dalam masyarakat tersebut. Dalam suatu masyarakat diperlukan suatu interaksi karena tanpa interaksi tersebut kita akan dijauhi oleh orang lain karena dianggap tidak dapat beradaptasi dan berkomunikasi dalam menyampaikan sesuatu (Kamanto, 2004). Penjelasan tentang simbol ini juga dipertegas oleh White, makna atau simbol hanya dapat ditangkap melalui cara nonsensoris; melaui cara simbolik. Sebagai contoh: makna suatu warna tergantung kepada mereka yang menggunakannya. Warna merah, misalnya, dapat berarti berani (“merah berarti berani, dan putih suci”), dapat berarti komunis (“kaum merah”). Warna putih dapat berarti suci, dapat berarti berkabung (pada orang Tionghoa), dapat pula berarti menyerah. Makna-makana tersebut tidak dapat ditangkap dengan panca indera sebagaimana telah dikemukakan White, makna-makna tersebut tidak ada kaitannya dengan sifat-sifat yang secara intrinsik terdapat pada warna. Simbol merupakan sesuatu yang sangat penting dalam kehidupan bermasyarakat utamanya dalam masyarakat multi etnik, terutama dalam melakukan interaksi antara masyarakat satu dengan masyarakat yang lainnya (Salim, 2008). Suatu simbol menjadi penting karena dapat membuat manusia dalam melakukan sesuatu akan sungguh-sungguh dan berfikir secara manusiawi. Dalam melakukan suatu tindakan sosial seseorang akan selalu mempertimbangkan apa yang akan dilakukan terhadap orang lain. Dengan kata lain, dalam melakukan suatu tindakan sosial manusia akan memikirkan dampak negatif ataupun positif dari tindakan yang iya lakukan terhadap orang yang terlibat dalam tindakan tersebut. Di samping kegunaan yang bersifat umum, simbol-simbol pada umumnya dan bahasa pada khususnya mempunyai sejumlah fungsi, antara lain (Salim, 2008): 1. Simbol-simbol memungkinkan manusia untuk berhubungan dengan dunia material dan sosial dengan membolehkan mereka memberi nama, membuat
38
kategori, dan mengingat obyek-obyek yang mereka temukan di mana saja. Dalam hal ini bahasa mempunyai peran yang sangat penting. 2. Simbol-simbol menyempurnakan kemampuan manusia untuk memahami lingkungannya. 3. Simbol-simbol menyempurnakan kemampuan manusia untuk berfikir. Dalam arti ini, berfikir dapat dianggap sebagai simbolik dengan diri sendiri. 4. Simbol-simbol meningkatkan kemampuan manusia untuk memecahkan persoalan. Binatang coba memecahkan masalah dengan trial and error, sedangkan manusia biasa berfikir dengan menggunakan simbol-simbol sebelum melakukan pilihan-pilihan dalam melakukan sesuatu. 5. Penggunaan simbol-simbol memungkinkan manusia bertransendensi dari segi waktu, tempat, dan bahkan diri mereka sendiri. Dengan menggunakan simbolsimbol manusia bisa membayangkan bagaimana hidup di masa lampau atau akan datang. Mereka juga bisa membayangkan tentang diri mereka sendiri berdasarkan pandangan orang lain. 6. Simbol-simbol memungkinkan manusia bisa membayangkan kenyataankenyataan metafisis seperti surga atau neraka. 7. Simbol-simbol memungkinkan manusia tidak diperbudak oleh lingkungannya. Mereka bisa lebih aktif ketimbang pasif dalam mengarahkan dirinya kepada sesuatu yang mereka perbuat.
D. Kerangka Berfikir Budaya organisasi merupakan budaya sistem yang dipercayai dan nilai yang dikembangkan oleh organisasi dimana hal itu menuntun perilaku dari anggota organisasi itu sendiri (Wood, Wallace, Zeffane, Schermerhorn, Hunt, Osborn, 2001). Sedangkan Mangkunegara, (2005) menyatakan bahwa budaya organisasi adalah seperangkat asumsi atau sistem keyakinan, nilai-nilai dan norma yang dikembangkan dalam organisasi yang dijadikan pedoman tingkah laku bagi
39
anggota-anggotanya untuk mengatasi masalah adaptasi eksternal dan integrasi internal. Budaya organisasi diidentifikasi dalam bentuk yang tampak (visible) seperti cara berpakaian, simbol, fisik, perayaan atau seremonial, dan tata ruang. Selanjutnya bentuk yang tidak tampak (invisible) berupa disiplin dan makna prestasi, dan keyakinan yang paling dalam atau asumsi-asumsi yang tersembunyi meliputi adanya keyakinan bahwa pimpinan tidak pernah salah dan anggota selalu salah (Robins, 2006). Lebih lanjut Robins (2006) mengemukakan bahwa fungsi utama budaya organisasi adalah sebagai proses integrasi internal yaitu budaya organisasi berfungsi sebagai pemersatu setiap komponen internal organisasi dan sebagai proses adaptasi eksternal yaitu budaya organisasi berfungsi sebagai sarana menyesuaikan diri dengan lingkungan luar organisasi. Mahasiswa Thailand yang belajar dan tinggal di Kota Yogyakarta akan mengalami proses adaptasi dengan pola kehidupan Kota Yogyakarta. Keberadaan PMIPTI sebagai persatuan mahasiswa muslim dari Thailand Selatan menjadi salah satu alternatif bagi mereka untuk memperoleh tempat yang dapat mengarahkan mereka dalam melakukan adaptasi di Kota Yogyakarta. Dalam teori struktural fungsional disebutkan bahwa organisasi sebagai suatu sistem sosial di masyarakat memiliki fungsi utama sebagai (1) Adaptation (adaptasi), yaitu sebuah sistem harus menanggulangi situasi eksternal yang gawat. Sistem harus menyesuaikan diri dengan lingkungan dan menyesuaikan lingkungan itu dengan kebutuhannya. (2) Goal attainment (pencapaian tujuan). Sebuah sistem harus mendifiniisikan diri untuk mencapai tujuan utamanya. (3) Integration (integrasi). Sebuah sistem harus mengatur antar hubungan bagianbagian yang menjadi komponennya. Sistem juga harus mengelola antar hubungan ketiga fungsi penting lainnya (A, G, L). (4) Latency (pemeliharaan pola). Sebuah sistem harus memperlengkapi, memelihara, dan memperbaiki, baik motivasi individu maupun pola-pola kultural yang menciptakan dan menopang motivasi.
40
Persatuan Mahasiswa Islam Patani (Thailand Selatan) Indonesia (PMIPTI) di Yogyakarta merupakan organisasi mahasiswa Islam yang berasal dari Thailand. Sebagai suatu organisasi dan sistem sosial, maka budaya organisasi yang ada dalam PMIPTI akan mengubah atau mewarnai pola perilaku individu-individu anggotanya baik pengurus maupun anggotanya. Salah satu dampak dari budaya organisasi yang ada di PMPTI baik yang tampak maupun tidak tampak akan berpengaruh terhadap perilaku anggotanya, salah satunya adalah cara pandang mereka terhadap prestasi belajar yang selanjutnya berwujud dalam motivasi belajar mahasiswa. Berdasarkan landasan teori dan landasan berpikir diatas, maka untuk memudahkan pemahaman disusunlah kerangka pemikiran penelitian sebagai berikut.
41
1. 2. 3. 4. 5.
Dimensi Pendukung 1. Program PMIPTI 2. Kesamaan sebagai masyarakat Melayu Patani
Organisasi Persatuan Mahasiswa Islam Patani (PMIPTI) di Daerah Istimewa Yogyakarta Sejarah organisasi Pengurus dan anggota Visi, Misi dan tujuan organisasi AD/ART organisasi Petunjuk Pelaksanaan dan Petunjuk Teknik Organisasi
Representasi Budaya Organisasi pada Persatuan Mahasiswa Islam Patani (PMIPTI) di Daerah Istimewa Yogyakarta Bentuk-bentuk budaya organisasi pada PMIPTI serta latar belakang terbentuknya budaya organisasi tersebut
1. Terpeliharanya budaya keIslaman pada mahasiswa Patani di Indonesia. 2. Tercapainya tujuan PMIPTI (Visi dan Misi) di Indonesia. 3. Tercapainya tujuan belajar anggota PMIPTI baik secara kuantitas maupun kualitas. Gambar 2.3. Kerangka Berpikir
Dimensi Penghambat 1. Bahasa 2. Hambatan internal anggota
42