3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Deskripsi Spesies Azadirachta indica memiliki nama lokal mimba atau nimbi. Tanaman mimba dapat beradaptasi di daerah tropis. Di Indonesia, tanaman mimba dapat tumbuh dengan baik di daerah dataran rendah dengan ketinggian sekitar 800 m dpl. Di Indonesia, tanaman mimba banyak terdapat di Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, Bali, dan Nusa Tenggara Barat (NTB). Pada umumnya, tanaman mimba ditanam sebagai tanaman peneduh jalan (Rukmana dan Oesman 2002). Melia azedarach memiliki nama lokal mindi atau mindi berbuah kecil. Tumbuh pada daerah dataran rendah hingga dataran tinggi, pada ketinggian sampai dengan 1200 m dpl, dapat tumbuh pada suhu minimum Himalaya pada ketinggian 1800−2200 m dpl, dapat tumbuh pada suhu minimum -5oC, suhu maksimum 39oC, dengan curah hujan rata-rata per tahun 600−2000 mm (Ahmed dan Idris 1997 dalam Dephut 2001). Pohon mindi memiliki persebaran alami di India dan Burma, kemudian banyak ditanam di daerah tropis dan subtropis, termasuk Indonesia (Mabberley 1984 dalam Dephut 2001). Untuk Indonesia sudah banyak ditanam di daerah Sumatera, Jawa, Nusa Tenggara dan Irian Jaya (Whitmore dan Tantra 1986). Swietenia mahagoni memiliki nama lokal mahoni daun kecil. Spesies ini secara alami dijumpai pada iklim dengan curah hujan tahunan 580−800 mm. Hasil pertanamannya lebih rendah dibandingkan dengan S. macrophylla tetapi pada tapak yang kering tumbuh sangat baik dan kualitas kayunyapun lebih baik. Secara komersial spesies ini tidak berarti apabila tersedia dalam skala kecil. Akan berpotensi bila ditanam dalam skala besar, khususnya di daerah kering, terutama untuk memperoleh kayu berkualitas tinggi. Spesies ini juga digunakan pada agroforestry untuk meningkatkan kualitas tanah dan tanaman hias (Dephut 2001). Swietenia macrophylla memiliki nama lokal mahoni daun lebar. Tanaman ini tumbuh pada ketinggian 0-1.500 m dpl, suhu tahunan 11−36oC dan curah hujan tahunan 1.524−5.085 mm (BPT 1986). Tanaman ini mempunyai peranan yang cukup penting secara ekonomi, karena kayunya dapat digunakan untuk kayu bangunan dan perkakas. Saat ini tanaman mahoni merupakan salah satu tanaman
4
prioritas untuk pembangunan Hutan Tanaman Industri dan reboisasi hutan produksi. Khaya anthotheca memiliki nama lokal khaya. Penyebaran alami di daerah Afrika tropis, di daerah tersebut spesies ini merupakan spesies kayu perdagangan utama, dengan nama perdagangan internasional mahoni Afrika dan di Indonesia mempunyai nama perdagangan mahoni Uganda (Burhaman 2004). Kayu spesies ini mudah dikerjakan, mudah dikupas tanpa direbus terlebih dahulu serta perekatannya baik dan secara umum memenuhi persyaratan. Kayunya dapat dipergunakan untuk keperluan bahan baku kayu lapis, bahan baku pembalutan mebel dan perkakas rumah tangga lainnya (Burhaman 2004). 2.2 Keragaman Genetik Tanaman Hutan Keragaman genetik adalah suatu tingkatan biodiversitas yang merujuk pada jumlah total karakteristik genetik dalam genetika keseluruhan spesies. Keragaman genetik suatu spesies tanaman dapat dievaluasi pada dua tingkatan, yaitu keragaman dalam spesies (intra-species) dan keragaman antar spesies (interspecies) (Finkeldey 2005). Secara umum ada dua sebab utama yang menyebabkan keragaman, yaitu perbedaan lingkungan (enviromental variation) dan perbedaan susunan genetik yang diturunkan dari tetua kepada keturunannya (genetic variation). Adanya keragaman dalam suatu spesies perlu diketahui terlebih dahulu sebelum memulai pemuliaan pohon, karena adanya keragaman genetik merupakan prasyarat mutlak dalam
pemuliaan,
yaitu
memungkinkan
seleksi
dan
untuk
mencegah
dihasilkannya tanaman yang tidak bermutu (Soerianegara dan Djamhuri 1979). 2.3 PCR (polymerase chain reactions) Tahapan dalam proses PCR meliputi denaturasi pada suhu tinggi, penempelan DNA pada cetakan (tahap annealing), serta pemanjangan primer dengan melakukan reaksi polimerisasi nukleotida untuk membentuk rantai DNA baru (tahap extention) (Saiki et al. 1998 dalam Mahfira 2010). Tahapan dari PCR adalah sebagai berikut: (1) Tahap peleburan atau denaturasi Denaturasi rantai DNA berlansung pada suhu 94oC atau pada suhu 95oC (Saiki et al. 1998) dengan selang waktu antara 15 detik sampai 2 menit. Dalam proses
5
denaturasi, dua rantai DNA akan terpisah dan masing-masing rantai DNA akan digunakan sebagai cetakan pada proses PCR. DNA yang memiliki struktur kompleks dapat didenaturasi pada suhu 100oC selama beberapa menit namun kemampuan aktivitas enzim Taq DNA polymerase menjadi turun. (2) Tahap penempelan atau annealing Penempelan primer pada DNA cetakan disebut annealing. Besarnya suhu annealing tergantung pada panjang dan jumlah basa G dan C dalam primer serta konsentrasi garam dalam buffer. (3) Tahap pemanjangan atau extention Reaksi polimerisasi nukleotida oleh enzim Taq DNA polymerase (extention) dimulai dari ujung 5’α-fosfat dan berakhir pada ujung 3’ gugus hidoksil (H). Suhu extention yang digunakan berkisar antara 70-74oC karena pada selang suhu tersebut enzim Taq DNA polymerase bekerja optimum. Lamanya tahap extention 1−2 menit. Waktu extention yang terlalu lama akan menghasilkan produk amplifikasi yang tidak spesifik (Saiki et al. 1998). Secara terperinci tahapan PCR disajikan pada Gambar 1.
Gambar 1
Ilustrasi siklus PCR, (1) denaturasi, (2) annealing, (3) extention, (4) siklus ke-1 selesai (Rice 2009)
2.4 Sequencing DNA Sequencing DNA adalah proses penentuan urutan dari basa A, T, G, dan C dalam sepotong DNA. Pada intinya, DNA digunakan sebagai cetakan untuk
6
menghasilkan serangkaian fragmen yang panjangnya berbeda satu sama lain oleh satu basa. Fragmen kemudian dipisahkan berdasarkan ukuran dan basis di akhir diidentifikasi menciptakan urutan asli DNA (Twyman 2003 dalam Elviana 2010). Aplikasi utama dari sequencing DNA dalam studi sistematik adalah: i) evolusi gen, termasuk studi dari proses yang menghasilkan level variasi sequence (urutan basa), studi asal-muasal alel baru atu lokus baru, serta investigasi pemusatan (convergence) dan seleksi, ii) studi intraspesifik populasi, termasuk pelacakan organisme dan genealogi alel dalam spesies dan variasi geografik, aliran gen (gen flow), hibridasi, serta konservasi genetika, dan iii) studi interspesifik populasi, seperti rekonstruksi filogenetik untuk mengevaluasi pola dan proses evolusi makro (Hillis et al. 1996b dalam Elviana 2010). 2.5 Second Internal Transcribed Spacer (ITS2) Daerah pada ITS2 dipilih untuk kandidat DNA barcode karena sekuen dari ITS2 berpotensi untuk penanda filogenetik dan secara luas digunakan untuk rekonstruksi filogenetik pada kedua genus dan pada tingkat spesies (Chen 2010). Secara terperinci dapat dilihat pada Gambar 2 bahwa posisi ITS2 termasuk dari kandidat untuk barcoding namun masih dalam proses penelitian.
Gambar 2 Gen dari tiga genom pada tanaman sebagai kandidat untuk barcoding (Chen 2010)
ITS merupakan penanda pada DNA yang bersifat universal, penanda tersebut mampu teramplifikasi pada semua organisme tidak termasuk pada vertebrata. Keuntungan dari ITS adalah dalam membandingkan penanda plastid
7
pada keturunan biparental memiliki tingkat penggandaan yang tinggi daripada keturunan dari induk betina (Muir et al. 2001 dalam Koch et al. 2008). ITS terus menjadi daerah yang lazim digunakan untuk rekonstruksi filogenetik, angka publikasi sekuen ITS meningkat tiga kali lipat semenjak tahun 2003 (Koch et al. 2008) daerah ITS terdiri dari ITS1 dan ITS2 yang terletak di antara ekson 5.8S dan ujung ITS1 dibatasi oleh ekson 18S, sedangkan ujung ITS2 dibatasi oleh ekson 26S, daerah tersebut merupakan daerah yang memiliki tingkat conserved yang tinggi (Koch et al. 2008) Tingkat penggandaan yang tinggi merupakan sebuah alasan bagi aplikasi ITS yang luas dalam sistem molekular (Rogers dan Bendich 1987 dalam Koch et al. 2008). Seleksi dari daerah kandidat barcoding pada daerah conserved dapat diselesaikan melalui wilayah ITS. Jika dibandingkan dengan gen 5.8S, ITS1 dan ITS2 lebih tersedia pada sekuen utama. Selain itu ITS2 lebih conserved daripada ITS1 dan dapat memenuhi untuk perunutan pada tingkat genus (Hershkovitz dan Lewis 1996 dalam Koch et al. 2008). Daerah ITS secara terperinci disajikan pada Gambar 3.
Gambar 3 Diagram daerah internal transcribed spacer (Koch 2008)
2.6 Maturase-K (mat-K) Mat-K dapat mengamplifikasi gen pada DNA kloroplas (cpDNA). Gen kloroplas mat-K merupakan sebagian besar variable gen coding dari angiospermae dan telah diusulkan untuk menjadi barcode pada tanaman (Yu et al. 2011). Secara terperinci daerah mat-K disajikan pada Gambar 4.
8
Gambar 4 Wilayah MaturaseK (mat-K) (Wicke 2009)
Wilayah coding mat-K menunjukkan hasil yang sangat bagus dilihat dari pembagian yang hampir sama pada substitusi nukleotida di posisi kodon satu, kedua dan ketiga. Dengan demikian, gen mat-K menyusun lebih cepat secara kontras di gen plastid lainnya, walaupun turunan dasar dan fungsi yang terbatas (Hilu dan Liang 1997 dalam Wicke dan Quandt 2009). Gen Mat-K telah menunjukkan salah satu dari penggantian nukleotida yang tertinggi diantara 20 gen plastid yang terbaik dalam panjang 1 kilobase (kb), dan saat ini digunakan untuk menduga hubungan filogenetik dalam tingkat famili (Koch et al. 2001 dalam Muellner 2003).