BAB I I TINJAUAN P U S T A K A
2.1.
Abu Boiler Pabrik Kelapa Sawit Kelapa sawit sebagai tanaman penghasil minyak sawit {Crude Palm Oil/
CPO) menjadi salah satu primadona tanaman perkebvman yang menjadi sumber penghasil devisa non-migas bagi Indonesia. Cerahnya prospek komoditi minyak kelapa sawit dalam perdagangan
minyak nabati dunia telah mendorong
pemerintah Indonesia untuk meningkatkan perluasan areal perkebunan kelapa sawit. Pengembangan perkebunan kelapa sawit di Indonesia berjalan sangat pesat. Pada tahun 1968, luas areal 120.000 ha menjadi 5,16 juta ha pada tahim 2005 dan pada tahun 2006 diproyeksikan mencapai 6,046 juta ha (anonimous, 2007a). Setiap satuan massa tandan buah segar mempunyai kandungan minyak sawit sekitar 21%-massa, tandan kosong sawit (TKS) 21%-massa, cangkang 6%massa, sabut sawit 11%-massa dan Palm kernel cake 3%-massa. Indonesia dalam menghadapi tahun 2008 memproyeksikan produksi minyak sawit mentah (CPO) sebesar 15 juta ton. Setiap ton minyak sawit yang dihasilkan akan mengeluarkan limbah padat sebesar 0,81 ton, berarti untuk mencapai produksi minyak sawit sebesar 15 juta ton akan didapat 12,5 juta ton limbah padatnya (cangkang dan sabut). Data ini menunjukkan betapa besar limbah padat industri minyak sawit yang dibuang kelingkungan dan ini akan meningkat setiap tahuimya sesuai dengan perkembangan industri minyak sawit (Santoso, 2006). Pada proses pengolahan kelapa sawit menjadi CPO, dari 1 ton TBS yang diolah dapat diperoleh CPO sebanyak 140-220 kg. Proses ini membutuhkan energi sebanyak 20-25 kWh/t dan 0.73 ton steam (uap panas). Proses pengolahan ini akan menghasiUcan limbah padat, limbah cair dan gas. Limbah cair yang dihasilkan sebanyak 600-700 kg POME (Pahn Oil M i l l Effluent). Limbah padat yang dihasilkan adalah serat dan cangkang sebanyak 190 kg dan 230 kg TKKS segar (kadar air 65%). Selain itu juga dihasilkan limbah emisi gas dari boiler dan incenerator (Goenadi et al., 2008). Cangkang dan serat (fibre) dimanfaatkan sebagian besar sebagai bahan bakar boiler PKS. Dari pembakaran dihasilkan ± 5% abu. Abu boiler PKS
4
merupakan hasil pembakaran cangkang dan serat sawit dalam ketel dengan temperatur 800-900*^C. Karena abu serat cangkang tidak mengandung nutrisi yang cukup untuk digunakan sebagai pupuk, maka dibuang di alam terbuka didekat pabrik. Dengan ukuran kecil dan ringan, abu ini dengan mudah dibawa oleh angin hingga menyebabkan kabut, yang dapat mengurangi kemampuan pandang dan menyebabkan kecelakaan lalu lintas, abu ini juga menyebabkan
gangguan
kesehatan (Yoescha, 2007). Abu dari cangkang dan sabut banyak mengandung silika. Selain itu, abu sawit tersebut juga mengandung kation anorganik seperti kalium dan natriimi (Graille dkk, 1985). Spesifikasi dari abu sawit adalah berbentuk halus, seperti serbuk (powder). Ukuran abu sawit PKS <3mm. Abu sawit berwama abu-abu hingga hitam (anonimous, 2007b).
Gambar 1 . Abu Boiler PKS Tabel berikut menyajikan komposisi kimia abu boiler PKS : Tabel 1. Komposisi Kimia Abu Boiler Pabrik Kelapa Sawit (%) Komposisi:
Persentase
Chemical analysis
%
Si02
58,02
AI2O3
8,70
FezOa
2,60
CaO
12,65
MgO
4,23
NaiO
0,41
K2O
0,72
H2O
1,97
Sumber: Yoescha, 2007
5
Berdasarkan data yang ditampilkan pada Tabel 1, abu boiler PKS mengandung 3 komponen utama S i 0 2 sebanyak 58,02 %, CaO sebanyak 12,65 % dan AI2O3 sebanyak 8,70 %. Abu boiler PKS merupakan bahan material yang bersifat pozzoIan,karena abu boiler PKS yang dihasilkan disisa pembakaran ini mempunyai kandungan silika yang cukup tinggi. Proses pembakaran serat cangkang menjadi abu juga membantu menghilangkan kandungan kimia organik. Perlakuan panas terhadap silika dalam serat cangkang berakibat pada perubahan struktur yang berpengaruh terhadap aktivitas pozzolan abu dan kehalusan butiran Abu boiler PKS mempunyai berat jenis 2,270 (Edison, 2003).
Berdasarkan
pengamatan
secara visual, abu boiler PKS memiliki
karakteristik sebagai berikut: a. Bentuk partikel Bentuk partikel abu boiler PKS tidak beraturan, ada yang memiliki bentuk butiran bulat panjang, bulat dan persegi. b. Kehalusan Ukuran butiran abu boiler PKS berkisar antara 0-0,23 mm. c. Wama Abu boiler PKS memiliki wama abu-abu kehitaman.
Dalam aplikasinya abu boiler PKS dimanfaatkan dalam berbagai bidang antara lain (Pratomo, 2001): 1. Sebagai bahan tambahan pengganti semen dalam desain beton mutu tinggi. 2. Sebagai bahan pengisi/fiUer dalam lapisan perkerasan jalan raya. 3. Sebagai bahan stabilisator pada campuran tanah lempung dan tanah dasar pada lapisan jalan raya. 4. Sebagai bahan tambahan pengganti semen dalam campuran mortar. 5. Meningkatkan pH tanah.
2.2.
Adsorpsi Adsorpsi adalah proses penyerapan atau penggumpalan suatu zat pada
bidang batas (interface) diantara dua fasa. Fasa-fasa ini dapat berupa kombinasi
6
antara cairan-cairan, cairan-padatan, gas-cairan dan gas-padatan. Proses adsorpsi yang umum dilakukan adalah fasa gas-padat dan fasa cair-padat. Komponenkomponen yang terdapat dalam proses adsorpsi adalah adsorbat dan adsorben (Noll, 1992). Proses adsorpsi dapat teqadi pada batas permukaan dua fasa, sebagai contoh (Sukardjo, 1989): 1.
Fasa cair dan fasa padat, misalnya adsorpsi zat wama dalam fasa cair dengan karbon aktif sebagai adsorben.
2.
Fasa cair dan fasa gas, misalnya adsorpsi pada campuran gas klor dalam air.
3.
Fasa cair dan fasa cair, misalnya adsorpsi deterjen pada permukaan emulsi.
4.
Fasa gas dan fasa padat, misalnya adsorpsi gas C O 2 oleh zeolit alam atau sintetis. Fasa yang mengadsorpsi dinamakan adsorben, dan material yang
terakiunulasi pada permukaan adsorben dinamakan adsorbat. Adsorben dapat berasal dari alam (natural) maupim sintesis (buatan). Adsorben yang banyak digunakan adalah adsorben padat karena lebih mudah untuk pemiszdiaannya. Adsorben padat mempunyai struktur kristal yang berbeda-beda antara lain: amorf, microcrystallin (Heltina, 2007). Proses absorpsi berbeda dengan adsorpsi. Pada absorpsi terjadi transfer material dari satu fasa dengan melakukan penetrasi ke fasa sekunder untuk membentuk larutan. Gabxmgan kedua proses tersebut dinamakan sorpsi. Menumt kuat lemahnya interaksi antar adsorben dan adsorbat, maka adsorpsi dibagi atas fisisorpsi dan kemisorpsi (Slejko, 1985). Perbedaan fisisorpsi dan kemisorpsi dapat dilihat pada tabel berikut: Tabel 2. Perbedaan Adsorpsi Fisik dan Adsorpsi Kimia Adsorpsi fisika
Adsorpsi kimia
Ikatan
Van der waals
Kimia
Panas adsorpsi
5-10 kcal/mol
10-100 kcal/mol
Waktu adsorpsi
Cepat
Agak lama
Regenerasi
Mudah
Sukar
Kesetimbangan
Cepat tercapai
Lebih lama
Temperatur
Rendah
Lebih
7
Adsorpsi senyawa larutan pertama kali diteliti oleh scientist Rusia T. Lowitz tahun 1781. Ditinjau dari material adsorben maka bentuk interaksi adsorbat dan adsorben dipengaruhi oleh ukuran pori. Untuk itu bila porositasnya memiliki diameter kecil, maka adsorpsi dipengaruhi gaya kapilaritas (kondensasi kapiler) (Amri, 2007). Peristiwa adsorpsi pada prinsipnya adalah netralisasi gaya tank yang keluar dari suatu permukaan. Gaya tarik antar molekul pada permukaan dan dengan yang berada pada bagian dalam suatu material adalah tidak sama. Molekul pada permukaan cendrung menarik molekul disekitamya, maka molekul pada permukaan akan terikat lebih kuat satu sama lain, dan dapat menekan molekul dibawah permukaan, sehingga munculah pengertian tegangan permukaan. Gayagaya yang terlibat pada proses adsorpsi antara lain gaya tarik Van der Walls yang non polar, pembentukan ion negatif, gaya penukar ion dan pembentukan ikatan kovalen. Untuk proses adsorpsi dalam lamtan jumlah zat yang teradsorpsi tergantung pada beberapa faktor yaitu: 1. Jenis adsorben Syarat-syarat
yang harus dipenuhi dalam pemilihan adsorben
adalah
permukaan halus, mempunyai pori-pori, aktif dan mumi serta tidak bereaksi dengan adsorbat. 2. Jenis adsorbat Syarat-syaratnya antara lain: a. Ukuran partikel Molekul yang terserap haruslah mempunyai ukuran partikel yang kecil dari diameter rongga adsorben. b. Jenis kepolaran adsorbat Umimmya adsorben bersifat ionik dengan polaritas yang tinggi. Jika diametemya sebanding maka molekul-molekul polar lebih kuat terjerap dari pada molekul non-polar.
8
c. Jenis ikatan Senyawa tidak jenuh lebih mudah terjerap dari pada senyawa jenuh. d. Berat molekul Senyawa dengan berat molekul yang lebih besar lebih mudah dijerap dari pada senyawa yang memiliki berat molekul rendah. 3. Temperatur Pada adsorpsi fisika kenaikan temperatur menyebabkan adsorpsi menurun. Hal ini disebabkan mobilitas atom-atom suatu zat yang diadsorpsi bertambah dengan naiknya temperatur. Oleh karena itu zat yang diserap cendrung meninggalkan zat penyerap. Sedangkan pada adsorpsi kimia, adsorpsi akan semakin bertambah dengan naiknya temperatur. Kenaikan temperatur juga dapat menyebabkan pori-pori adsorben akan lebih terbuka karena unsur-unsur pengotor pada permukaan akan teroksidasi. 4. pH Adsorpsi antara fasa padat- cair sangat dipengaruhi oleh pH larutan. Adsorpsi yang dilakukan pada pH sangat tinggi cendrung memberikan hasil yang kurang sempuma karena pada kondisi basa terbentuknya senyawa oksida dari unsur-unsur pengotor lebih besar, sehingga akan menutup permukaan adsorben dan menghalangi proses penyerapan partikel-partikel terlarut oleh adsorben. Sedangkan pada pH rendah, seringkali terbentuk garam-garam anorganik yang menyebabkan penyerapan kurang sempuma (Mentel, 1975).
2.2.1. Adsorpsi isoterm Kurva hubungan jumlah zat yang diadsorpsi dengan tekanan atau konsentrasi kesetimbangan pada suatu temperatur yang tetap disebut dengan isoterm adsorpsi. Beberapa persamaan yang digunakan untuk menguraikan isotherm adsorpsi adalah: 1. Persamaan Freundlich 2. Persamaan Langmuir 3. Persamaan BET (Brunaver, Emmet, dan Teller) (Sukardjo, 1989).
9
2.2.2. Adsorpsi zat terlarut oleh iM padat Bila ditinjau dari jenis antara fasa yang terlibat pada adsorpsi dapat berlangsung antara fasa cair - gas, cair - cair, cair - padat dan gas - padat. Sebagian besar adsorpsi yang terjadi antara fasa cair - padat karena keselektifan dan adsorpsi jenis ini cukup besar. Adsorpsi yang terjadi pada zat padat disebabkan adanya gaya tarik menarik atom molekul pada permukaan zat padat. Adsorpsi zat terlarut dari larutan air, dari 2at padat dapat digambarkan dengan persamaan empiris dari Freundlich. Bentuk persamaannya yaitu: X / M = k.Cf*'"
(1)
log ( C o - C f ) - log M = log k + 1/n log C f
(2)
dimana: X
=Co—Cf
Co
= konsentrasi awal
Cr
= konsentrasi setalah adsorpsi
M
== berat adsorben
K dan n
= konstanta Freudlich
Persamaan ini merupakan persamaan linear, dengan memplotkan log X / M dan log Cf, dimana k adalah intersept, dan 1/n merupakan slope. Harga k merupakan indikasi untuk menyatakan kapasitas adsorpsi, sedangkan
1/n
menunjukkan pengaruh kapasitas adsorpsi. Ada dua bentuk adsorpsi yaitu : 1. Adsorpsi positif, yaitu penyerapan substrat yang tidak diinginkan sehingga bahan negatif tidak mengandung substrat tertentu. 2. Adsorpsi negatif, yaitu proses penyerapan pelarut dari substrat yang tidak diinginkan. Dalam hal ini pelarutnya dipisahkan dari substrat yang tidak diinginkan cara ini jarang dilakukan karena dianggap tidak efektif.
2.3.
Logam Berat Logam berasal dari kerak bumi yang berupa bahan-bahan mumi, organik,
dan anorganik. Logam mula-mula diambil dari pertambangan dibawah tanah (kerak bxmii), yang kemudian dicairkan dan dimumikan dalam pabrik menjadi logam-logam mumi. Dalam proses pemumian logam, sebagian darinya terbuang
10
kedalam lingkungan. Secara alami siklus perputaran logam adalah, dari kerak bumi kemudian kelapisan tanah, kemudian ke makhluk hidup (tanaman, hewan dan manusia), kedalam air, mengendap dan akhimya kembali ke kerak bumi. Logam dalam kerak bumi dibagi menjadi logam makro dan logam mikro, dimana logam makro ditemukan lebih dari 1000 mg/kg dan logam mikro jumlahnya kurang dari 500 mg/kg (Darmono, 2001). Logam berat masih termasuk golongan logam dengan kriteria-kriteria yang sama dengan logam-logam lain. Perbedaarmya terletak dari pengaruh yang dihasilkan bila logam berat ini berikatan dan masuk kedalam tubuh orgamsme hidup. Istilah logam berat ini sebenamya telah dipergunakan secara luas, terutama dalam perpustakaan ilmiah, sebagai suatu istilah yang menggambarkan bentuk dari logam tertentu (Palar, 2004). Logam berat merupakan unsur kimia yang sangat berpotensi menimbulkan masalah pencemaran lingkimgan terutama yang berkaitan erat terhadap dampak kesehatan manusia. Dari 109 unsur kimia yang telah teridentifikasi di muka bumi terdapat 80 jenis termasuk ke dalam jenis logam berat. Dengan demikian sifat kimiawi logam berat dapat dikatakan mewakili sebagian besar golongan kimia anorganik. Logam berat biasanya didefinisikan berdasarkan sifat-sifat fisiknya dalam keadaan padat dengan menggunakan metoda teknologi yang telah maju. Sifat-sifat fisika logam berat antara (Darmono, 2001): 1) Memiliki kemampuan pantul cahaya yang tinggi. 2) Memiliki kemampuan hantar listrik yang tinggi. 3) Memiliki kemampuan hantar panas yang baik. 4) Memiliki kekuatan dan ketahanan. Logam berat dalam keadaan padat juga dapat dibedakan berdasarkan: struktur kristalnya, sifat pengikat kimianya, serta sifat-sifat magnitnya. Kelarutan logam berat dalam air dan lemak merupakan suatu proses toksikologi yang amat penting, karena proses ini adalah salah satu faktor utama yang mempengaruhi adanya proses biologi dan penyerapan logam berat itu sendiri.
11
Berdasarkan sudut pandang toksikologi, logam berat terbagi ke dalam dua jenis yaitu: 1. logam berat esensial dimana keberadaanya dalam jimilah tertentu sangat dibutuhkan oleh setiap organisme hidup, seperti antara lain, seng (Zn), tembaga (Cu), besi (Fe), kobalt (Co), mangaan (Mn) dan Iain-lain. 2. logam berat tidak esensial atau beracun, dimana keberadaan dalam tubuh organisme hidup hingga saat ini masih belum diketahui manfaatnya
bahkan justru dapat bersifat racun, seperti misalnya;
merkuri (Hg), kadmium (Cd), timbal (Pb), kromium (Cr) dan Iain-lain. Logam berat esensial biasanya tebentuk sebagai enzim ko-faktor. Walupim logam berat esensial dibutuhkan oleh setiap organisme hidup, namun dalam jumlah yang berlebihan dapat menimbulkan efek racun (Anonimous, 2005a). Karakteristik dari kelompok logam berat adalah sebagai berikut (Palar, 2004): 1.
Memiliki berat jenis (specific gravity) yang besar dari 5 (lima) gr/cm^.
2.
mempunyai nomor atom 22-34 dan 40-50 serta unsur lantanida dan aktinida.
3.
Mempunyai respon biokimia yang khas (spesifik) pada organisme hidup.
4.
Berbeda dengan logam biasa, logam berat menimbulkan efek-efek khusus pada makhluk hidup.
Tabel 3. Toksisitas Beberapa Logam Berat. Logam berat
Kandungan maksimum dalam air ( ppb )
Arsen /As
10-1000
Timah hitam/Pb
140
Seng/Zn
2010
Tembaga/Cu
280
Kadmium/Cd
120
Nikel/Ni
30
Cobalt/Co
48
Sumber: Casarett and Doull's, 1980
12
Unsur-unsur logam berat dapat masuk kedalam tubuh manusia melalui makanan, minuman, pemapasan dan kulit. Logam berat masuk kedalam tubuh makhluk hidup tidak dapat mengalami biodegradasi dan bertahan lama di dalam tubuh. Bila makanan tercemar logam berat maka tubuh akan mengeluarkannya sebagian. Sisanya akan terakvmiulasi pada bagian tubuh tertentu separti ginjal, hati, kuku, jaringan lemak dan rambut, tetapi yang utama adalah timbulnya kemsakan sistem jaringan tubuh seperti sistem ekskresi (hati dan ginjal). Ginjal adalah organ sasaran utama bagi keracunan
logam berat. Kemungkinan
mekanisme keracunan logam berat dalam gmjal disebabkan oleh ukuran partikel logam berat yang relatif besar. Pada beberapa kasus keracunan akut, logam-logam berat seperti As, B i , Cd, Pb, dan Hg menyebabkan kegagalan fungsi ginjal. Beberapa logam memiliki sifat karsinogenik (pembentuk kanker), maupun teratogenik (salah bentuk organ). Beberapa logam berat dapat menyerang syaraf sehingga dapat menyebabkan kelainan tingkah laku (Darmono,2001).
2.3.1. Logam timbal (Pb) Timbal (Pb) mempakan imsur logam berat dengan nomor atom 82. Lambangnya
diambil
dari bahasa Latin Plumbum
(Vogel,1985) dengan
konfigurasi elektron [Xe] A^* 5d'° 6s^ 6p^. Logam ini berwama abu-abu kebiruan. Sifat-sifat fisik dari timbal adalah logam ini berbentuk padat, Massa jenis (sekitar suhu kamar) 11,34 g/cm', Massa jenis cair pada titik lebur 10,66 g/cm', Titik lebiir 600,61 K, Titik didih 2022 K, Kalor peleburan 4,77 kJ/mol, Kalor penguapan 179,5 kJ/mol, Kapasitas kalor (25 °C) 26,650 J/(mol-K) (Anonimous, 2005). Timbal banyak digunakan untuk berbagai keperluan temtama batrai kendaraan dan berbagai bahan aditif pada bensin. Hal tersebut dikarenakan, timbal mempunyai sifat-sifat antara lain (Connel, 1995) : a. Mempakan logam yang limak sehingga mudah diubah menjadi berbagai bentuk. b. Mempunyai titik cair yang rendah sehingga bila digunakan dalam bentuk cair dibutuhkan teknik yang cukup sederhana. c. Membentuk alloy dengan logam lainnya sehingga dapat menghasilkan sifat logam yang berbeda.
13
d. Mempunyai densitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan logam lainnya, kecuali merkuri dan emas. e. Mempunyai sifat kimia yang menyebabkan timbal dapat berfimgsi sebagai lapisan pelindimg, jika kontak dengan udara lembab. f.
Senyawa etil timbal dipakai sebagai senyawa aditif pada bensin sebagai zat anti ketuk. Timbal merupakan logam yang amat beracim yang pada dasamya tidak
dapat dimusnahkan serta tidak terurai menjadi zat lain dan bila terakumulasi dalam tanah relatif lama. Oleh karena itu, apabila timbal lepas ke lingkimgan maka akan menjadi ancaman bagi makhluk hidup. Biasanya tingkat Pb dalam tanah berkisar antara 5 sampai 25 mg/kg, dalam air tanah dari 1 sampai 60 ng/L dan agak lebih rendah dalam air permukaan di alam. Kadar di udara dibawah l^ig/m^, tetapi dapat jauh lebih tinggi di tempat kerja tertentu dan didaerah yang lalu lintasnya padat. Timbal dalam keseharian biasa dikenal dengan nama Timah Hitam. Dalam timbal terdiri dari 4 (empat) macam : 1. Timbal 204 diperkirakan beijxmilah sebesar 1,48 % dari seluruh isotop timbal 2. Timbjil 206 ditemukan dalam jumlah 23,06 % 3. Timbal 207 sebanyak 22,60 % dari semua isotop timbal yang terdapat di alam 4. Timbal 208 adalah hasil akhir dari peluruhan radioaktif thorium (Th) Keracunan yang ditimbulkan oleh logam Pb dapat terjadi karena masuknya persenyawaan logam tersebut kedalam tubuh yang dapat melalui makanan, mimmian, udara dan perembesan atau penetrasi pada selaput atau lapisan kulit. Sebagian Pb yang terhirup akan masuk ke dalam pembuluh darah paru-paru. Tingkat penyerapan itu sangat dipengaruhi oleh ukuran partikel senyawa Pb yang ada dan volume udara yang mampu dihirup pada saat bemapas. Makin kecil ukuran partikel debu dan semakin besamya volume udara yang dihirup akan semakin besar pula konsentrasi Pb yang diserap tubuh. Logam Pb yang masuk ke paru-paru melalui proses pemapasan akan terserap dan berikatan dengan darah di
14
paru-paru kemudian diedarkan ke seluruh jaringan dan organ tubuh. Lebih dari 90 % logam Pb yang terserap oleh darah berikatan dengan sel-sel darah merah. Keracunan
yang disebabkan
oleh logam Pb
dalam tubvih dapat
mempengaruhi organ-organ tubuh antara lain sistem saraf, ginjal,
sistem
reproduksi, sistem endokrin dan jantung. Logam Pb dapat menyebabkan gangguan pada otak, sehingga anak mengalami gangguan kecerdasan dan mental (Anonimous, 2005b) Gejala keraciman akut Pb pada anak dimulai dengan hilangnya nafsu makan (anoreksia), kemudian diikuti dengan rasa sakit perut dan muntah, tidak berkeinginan
untuk
bermain,
beijalan
sempoyongan,
sulit
berkata-kata,
ensefalopati dan akhimya koma. Pada waktu 1-6 minggu setelah 6 minggu timbul gejala seperti tersebut diatas (Darmono, 2001). Daya racun Pb didalam tubuh diantaranya disebabkan oleh penghambatan enzim oleh ion-ion Pb. Enzim yang diduga dihambat adalah enzim yang diperlukan untuk pembentukkan hemoglobin. Penghambatan tersebut disebabkan terbentuknya ikatan yang kuat (ikatan kovalen) antara Pb dengan gmp sulfur yang terdapat didalam asam-asam amino dari enzim tersebut. Pb yang tertinggal di dalam tubuh, baik dari udara maupun melalui makanan/minuman, akan mengumpul temtama didalam skeleton (kerangka) sebanyak 90-95 %. Tulang berfungsi sebagai tempat penggumpalan Pb karena sifat-sifat ion Pb yang hampir sama dengan Ca. Pb yang mengvmipul didalam skeleton kemingkinan dapat diremobilisasi kebagian-bagian tubuh lainnya lama setelah absorbsi awal. Hal ini dapat terjadi selama pengobatan dengan kortison pada saat demam, atau karena umur yang sudah tua. Umur Pb secara biologi didalam tulang manusia diperkirakan sekitar 2-3 tahun. Karena analisis Pb didalam tulang cukup sulit, maka kandimgan Pb didalam tubuh ditetapkan dengan menganalisis konsentrasi Pb didalam darah atau urine. Jumlah minimal Pb didalam darah yang dapat mengakibatkan timbulnya gejala keracunan biasanya berkisar antara 60 sampai 100 mikrogram per 100 ml darah untuk orang dewasa. Tabel 4 menunjukkan bahwa konsentrasi Pb didalam darah dapat dibedakan atas empat kategori, yaitu kategori normal, dapat diterima, berlebihan dan berbahaya.
15
Tabel 4. Kategori Pencemaran Pb Didalam Darah Orang Dewasa Kategori
Konsentrasi Pb didalam
Keterangan
darah (^g/100ml) A (normal)
<40
Populasi pencemaran
normal
tanpa
Pb
pada
konsentrasi abnormal B (dapat diterima)
40-80
Absorpsi
meningkat
karena
meningkat karena populasi Pb pada tingkat abnormal, tetapi masih belum berbahaya C (berlebihan)
80-120
Absorpsi
meningkat
karena
polusi Pb yang berlebihan, sering disertai gejala ringan, kadang-kadang gejala berat. D (berbahaya)
> 120
Absorpsi
pada
berbahaya
dengan
tingkat gejala
ringan dan berat, serta efek samping yang lama.
2.4.
X-Ray Fiuoresence XRF (X-ray Fiuoresence) merupakan suatu metoda yang secara luas
digxmakan untuk mengukur komposisi suatu material. XRF juga merupakan emisi pancaran sinar-X dari suatu material yang tereksitasi karena ditembakkan energi yang tinggi dari sinar-X atau sinar gamma. Metoda ini kerjanya sangat cepat dan tidak merusak sampel yang akan dianalisa. Dengan XRF dapat dianalisa unsurunsur apa saja yang membangun suatu material, walaupim imtuk imsur ringan yang tidak dapat diamati. Kelemahan dari metoda XRF adalah tidak dapat mengetahui senyawa apa yang dibentuk oleh vmsur-imsur yang terkandung dalam material yang akan diteliti. Dan tidak dapat menentukan struktur dari atom yang membentuk material itu.
16
Metoda XRF digunakan secara luas untuk analisa bahan dan analisa kimia, terutama sekali pada penentuan logam, glass,
keramik, abu dan material
pembangun, dan untuk penelitian pada bidang geokimia, ilmu forensik dan arkeologi. Dalam produksi industri, XRF digimakan sebagai pengontrol bahan. Sampel yang dapat dianalisa dengan XRF dalam bentuk powder, larutan, batangan, lembaran dan partikulat (Christian and O'Reilly, 1978).
2.4.1. Prinsip kerja X R F Pada XRF apabila siaatu material ditembak oleh sinar-X atau sinar y pada panjang gelombang yang pendek maka terjadi ionisasi sehingga atom akan berpindah. Ionisasi akan menyebabkan pelepasan 1 atau lebih elektron dari suatu atom, dan atom akan berpindah apabila terjadi radiasi oleh energi yang lebih besar dibandingkan potensial ionisasi. Sinar-X dan sinar y memiliki energi yang cukup untuk mengusir elektron dari kulit terdalam suatu atom, elektron yang keluar ini disebut
auger elektron. Perpindahan
elektron ini menyebabkan
struktur
elektroniknya tidak stabil dan elektron pada orbital yang paling tinggi mengisi kekosongan orbital yang rendah, energi dibebaskan dalam bentuk photon. Energi ini sama dengan selisih energi dari 2 orbital yang terlibat. Jadi, material yang beradiasi memiliki energi dengan adanya atom. Flouresensi merupakan suatu fenomena absorpsi energi radiasi yang tinggi menghasilkan emisi energi radiasi yang rendah. Karakteristik sinar-X dilambangkan dengan K, L , M , N yang ditunjukkan berdasarkan kulit asal. Nama lainnya a, P dan y untuk menandai transisi elektron dari kulit terluar. Ka merupakan transisi elektron dari kulit L ke kulit K, dan Kp merupakan transisi elektron dari kulit M ke kulit K, dan sebagainya. Didalam kulit terdapat banyak orbital yaitu elektron berenergi rendah dan elektron berenergi tinggi yang dilambangkan dengan a l , a2 atau p i , P2 dan sebagainya, untuk menunjukkan transisi elektron pada orbital pada kulit yang lebih rendah.
17
Proses analisa X-ray Fiuoresence dapat dilihat pada gambar dibawah ini (anonimous, 2007c): 1. Elektron pada kulit K akan keluar dari atom karena tereksitasi oleh sinar-X yang ditembakkan.
p t ^ ^ ^ r
Incoming radialion from x-ray tubs or radioisotope.
2. Elektron pada kulit L atau M
The K Lines
dkan masuk kedalam untuk mengisi kekosongan.
Proses
ini
akan
memancarkan
sinar
dan
menghasilkan
kekosongan
pada
kulit L atau M .
3. Penembakkan oleh sinar-X akan
The L Lines H--
menyebabkan
terjadinya
kekosongan pada kulit L karena terjadinya
eksitasi
elektron.
Elektron pada kulit M atau N akan masuk kedalam unutk mengisi kekosongan.
Proses
ini
memancarkan sinar pada elemen.
18
2.5.
Spektroskopi Serapan Atom Spektoskopi serapan atom adalah suatu teknik atau analisa kimia bagi
penentuan kadar imsur-imsur logam atau semi logam yang terdapat didalam suatu larutan baik yang terdapat sebagai penyusun utama maupun pada tingkat kelumit (Trace Level). Cara analisa dengan metoda ini memberikan kadar unsur logam dan cuplikan. Analisa dengan menggunakan AAS sangat penting untuk analisa renik logam karena dapat terdeteksi dengan kepekaan hingga kurang dari 1 ppm, serta dapat dilakukan dalam campuran dengan unsur-unsur lain tanpa dilakukan pemisahan (Ismono, 1978).
2.5.1. Prinsip dasar Metoda AAS berprinsip pada absorpsi cahaya oleh atom pada panjang gelombang tertentu, tergantung pada sifat vinsumya. Sinar pada panjang gelombang ini mempimyai cukup energi vmtuk mengubah tingkat energi suatu atom. Transisi energi suatu unsur bersifat spesifik. Dengan mengabsorbsi energi, berarti memperoleh lebih banyak energi sehingga atom pada keadaan dasar (ground state) naik ke tingkat eksitasi (excited state), proses ini dikenal dengan proses serapan atom (Khopkar, 2002). Elektron yang tereksitasi ini berada dalam keadaan tidak stabil dan akan kembali kebentuk asalnya dengan melepaskan energi eksitasinya dalam bentuk radiasi, yang dikenal juga dengan proses emisi. Perubahan energi elektron tersebut harus ada persesuaian dengan radiasi yang diserap yaitu sesuai dengan rumus : E = h.v = h.cfk Keterangan: E = Energi (joule atau erg) h = Tetapan Plank (6,6256 • lO"^'* J detik atau 6,6256 • lO'^'' erg detik) V = Frekuensi ( Hz ) c = Kecepatan cahaya ( 3
10^ m/s)
Kepekaan analisis AAS cukup tinggi sehingga dapat digunakan untuk larutan dengan konsentrasi yang sangat kecil. Pelaksanaan analisisnya sederhana dan analisis suatu logam tertentu dapat dilakukan dalam campuran dengan unsurunsur logam lain tanpa perlu pemisahaan.
19
Atom-atom menyerap cahaya pada panjang gelombang tertentu sesuai dengan energi yang dibutuhkan untuk eksitasi elektron ke tingkat yang lebih tinggi. Penyerapan cahaya ini mengurangi intensitas cahaya yang sebanding dengan jumlah atom yang berada pada tingkat energi dasar. Berdasarkan hukum Lambert-Beer maka konsentrasi dari cuplikan dapat ditentukan dimana nyala api dianggap sebagai medium absorpsi sebagaimana hahiya pada analisi spektrofotometer yang menggunakan kuvet. Bila sel mempunyai ketebalan b, dan mengandung atom dengan konsentrasi c, maka besamya transmitan adalah sebagai berikut: T = -logI/Io = e-'*"= Dengan menggunakan bilangan berpangkat sepuluh maka persamaan menjadi:
Log 1/T = abc -log T = -log lo/I = A = abc Keterangan: A
= absorbans
T
= transmitans
a
= absorptivitas
b
= panjang jalan sinar
c
= konsentrasi atom (g/L)
lo
= intensitas radiasi awal
I
= intensitas radiasi setelah melewati sampel (Day dan Underwood, 1989)
20
2.5.2. Komposisi peralatan spektroskopi serapan atom
i
photomultiplier
Gambar 2. Skema Peralatan Spektrofotometer Serapan Atom 1. Sumber Cahaya. Sumber cahaya harus dapat memberikan spektum pancaran yang terdiri dari puncak-puncak yang sempit dan spektrum resonansi yang tajam dari unsur yang akan dianalisis. Dalam hal ini digunakan lampu katoda berongga ( hollow cathode lamp ). Untuk analisis masing-masing unsur, diperlukan lampu tertentu sehingga adanya campuran atom dalam cuplikan tidak menjadi masalah dan tidak perlu dipisahkan, karena masing-masing atom akan menyerap pada panjang gelombang tertentu. Lampu ini memiliki dua elektroda dan terbuat dari unsur yang sama dengan unsur yang akan dianalisis (Khopkar,2002). 2. Sistem serapan dan atomisasi Proses atomisasi dapat terjadi dengan menggunakan berbagai sumber nyala atau tanpa nyala. Atomisasi tanpa nyala biasanya menggunakan tungku grafit, suatu perangkat pemanas listrik. Untuk proses atomisasi dengan nyala biasanya disertai dengan pemasukan suatu larutan cuplikan berbentuk aerosol dalam nyala bersamaan dengan bahan bakar dan gas pengoksidasi kedalam kamar pencampur atau nebulizer kemudian dilewatkan menuju burner atau pembakaran dimana nyala dihasilkan. Untuk memperoleh suhu nyala ini diperoleh kombinasi gas-gas pengoksidasi, yaitu hidrogen, udara, N2O, dan asetilen.
21
Dari berbagai kemungkinan kombinasi gas pengoksidasi yang umimi digunakan untuk kepentingan proses atomisasi adalah sebagai berikut: >
Kombinasi udara-asetilen, menghasilkan suhu sekitar 2100-2400 ^C, paling banyak digunakan dan dapat menganalisis hampir 30 unsur.
>
Kombinasi udara-hidrogen, menghasilkan suhu sekitar 2000-2100 ^C, nyala ini mengalami gangguan "noise" walaupun sangat rendah.
>
Kombinasi N20-asetilen, menghasilkan suhu sekitar 2600-2800 °C, nyala ini paling efektif untuk menentukan unsur-unsur yang sulit diuraikan atau diatomkan.
3. Monokromator Untuk menghilangkan gangguan sinar kontinyu digunakan monokromator yang ditempatkan diantara nyala dan detektor. Monokromator dalam AAS terdiri dari kisi difiraksi atau prisma, yang berfimgsi imtuk memisahkan garis resonansi dan garis spektra yang berdekatan yang berasal dari sumber sinar. Ukuran kemampuan monokromator memisahkan garis-garis spektra hingga 0,5 A
dianggap cukup baik. Fungsi lain dari monokromator adalah
mengisolasi garis resonansi yang diukur terhadap garis emisi molekul dan garis latar belakang lain yang berasal dari nyala. Ada dua jenis sistem monokromator, yaitu prisma dan grating. Sistem grating lebih menguntungkan karena jangkauan panjang gelombangnya lebih besar, intensitas cahaya lebih besar dan dispersi cahaya lurus sesuai dengan panjang gelombang yang diinginkan. 4. Detektor. Dalam
AAS,
detektor
yang
paling
banyak
digimakan
adalah
photomultiplier tube (tabung penggandaan), karena mempimyai kepekaan yang tinggi terhadap sinyal yang lemah. Selain itu garis spektrum dari unsur yang dianalisis umumnya terletak didaerah U V . Detektor mengubah energi cahaya menjadi energi listrik. Sinyal listrik yang keluar dari detektor sangat kecil, sehingga diperlukan amplifier yang dapat memperbesar isyarat yang keluar dari detektor (Day & Underwood, 1989).
22
Amplifier dan Sistem Pembacaan Amplifier akan memperkuat isyarat beberapa kali agar dapat dibaca oleh perekam. Melalui beberapa kali proses rangkaian elektronik tertentu akan menghzisilkan suatu isyarat output yang beberapa kali lebih besar dari isyarat input. Peralatan AAS dirancang sedemikian rupa sehingga dapat dilakukan pembacaan digital dan dihasilkan dalam bentuk rekorder atau chart.
23