BAB II TINJAUAN PUSTAKA
II. 1. Peri-Procedural Myocardial Injury II. 1. 1. Definisi Menurut guidelines ESC/ACC tahun 2000, setiap peningkatan petanda enzim jantung di atas nilai ambang batas normal pada pengambilan darah setelah tindakan intervensi koroner perkutan (PCI) dapat didiagnosis sebagai Periprocedural myocardial injury (PMI) (Alpert dkk.2000). Pendapat lain menyebutkan, PMI adalah peningkatan CK-MB atau troponin I atau T baru yang lebih dari 5 kali nilai atas ambang batas normal (Smith dkk.2006). Konsensus yang lebih baru menyebutkan, PMI apabila terdapat peningkatan petanda enzim jantung lebih dari 3 kali nilai atas ambang batas normal. Petanda enzim jantung yang dianjurkan adalah troponin (Thygesen dkk.2007). Namun ada penelitian terakhir yang menyatakan bahwa CK-MB lebih relevan digunakan dengan peningkatan lebih dari 3 kali nilai atas ambang batas normal dibandingkan dengan troponin (Lim dkk.2011). Peningkatan serum troponin I atau T mencapai kadar puncak dalam 24-48 jam setelah PCI sedangkan CK-MB mencapai kadar puncak dalam 24 jam setelah PCI (Alpert dkk.2000).
II. 1. 2. Angka kejadian PMI Dalam 20 tahun terakhir, terdapat lebih dari 60 penelitian yang menilai angka kejadian PMI. Angka kejadian PMI berkisar antara 5 sampai 30% tergantung dari kriteria diagnostik yang digunakan (petanda yang digunakan serta waktu pengambilannya) (Prasad dkk.2011).
Universitas Sumatera Utara
II. 1. 3. Faktor risiko PMI Faktor risiko PMI secara garis besar dikelompokkan menjadi faktor risiko yang berhubungan dengan pasien, lesi, dan tindakan yang dilakukan (Herrmann.2005). Faktor risiko utama adalah lesi yang kompleks (contoh, adanya thrombus, stenosis pada graft vena saphena, atau lesi tipe C), tindakan yang kompleks (contoh, tindakan pada lesi yang kompleks atau penggunaan aterektomi rotasional), dan yang berhubungan dengan komplikasi yang menyertai (contoh, oklusi pada pembuluh darah side branch, embolisasi distal, atau tidak ada aliran). Selain itu, faktor risiko yang berhubungan dengan pasien, seperti usia tua, diabetes melitus, gagal ginjal, banyaknya arteri koroner yang terlibat, disfungsi ventrikel kiri, adalah faktor yang penting terhadap keluaran klinis pasien setelah PCI (Prasad dkk.2011). II. 1. 3. 1. Faktor risiko yang berhubungan dengan pasien Banyak penelitian yang mendapatkan bahwa PJK yang lebih kompleks berhubungan dengan risiko PMI yang lebih tinggi. PJK multivessel
meningkatkan
risiko
terjadinya
PMI
1,3–1,8
kali
(Herrman.2005). Kini dkk (1999) mendapatkan bahwa aterosklerosis sistemik merupakan petanda klinis yang lebih kuat dibandingkan dengan PJK multivessel [odds ratios (ORs) 1,89 vs 1,31]. Usia lanjut (usia >60 tahun) merupakan faktor risiko klasik kardiovaskular yang sering berhubungan dengan PMI (Kugelmass dkk.1994 dan Saucedo dkk.2000). Angina pektoris tidak stabil (APTS) juga merupakan petanda klinis penting lainnya untuk terjadinya PMI dengan OR 1,5. (Abdelmeguid dkk.1996 dan Tardiff dkk.1999). Pasien dengan APTS dan peningkatan enzim jantung pada saat masuk diketahui memiliki prognosis yang lebih buruk, sehingga banyak dikeluarkan dalam penelitian karena sukar dibedakan apakah peningkatan enzim jantung akibat perjalanan IMA atau disebabkan cedera miokard akibat PCI (Herrmann.2005). Pada studi IMPACT-II diikutkan 11% pasien dengan peningkatan enzim jantung sebelum PCI, dan didapatkan bahwa pada
Universitas Sumatera Utara
kelompok ini memiliki risiko yang lebih tinggi terjadinya peningkatan enzim jantung setelah PCI (Tardiff dkk.1999). Peningkatan CK-MB juga lebih tinggi pada pasien gagal ginjal (33,3% vs 18,7%) (Kini dkk.1999). Karena gagal ginjal merupakan faktor perancu pada penilaian enzim jantung, maka pasien gagal ginjal banyak yang dikeluarkan dari penelitian. Data tambahan lainnya oleh Gruberg dkk (2002) menunjukkan bahwa angka kejadian PMI tanpa gelombang Q (CKMB > 5x nilai atas nomal) lebih tinggi pada pasien gagal ginjal kronik dan gagal ginjal akhir dibandingkan pada pasien dengan fungsi ginjal normal (19,0 dan 17,6 vs 13,8%, P < 0,0001). Anemia (wanita < 12 g/dL dan pria < 13 g/dL) juga merupakan faktor penyerta lain yang meningkatkan risiko PMI dengan OR 1,35 (McKechnie dkk.2004). Peningkatan C-reactive protein (CRP) sebelum PCI telah dianggap sebagai petanda klinis terjadinya PMI. Saadeddin dkk (2002) mendapatkan adanya kenaikan high-sensitive C-reactive protein (hs-CRP) sebesar 41% dari 85 pasien angina stabil yang menjalani PCI dengan risiko yang meningkat 2,27 kali untuk terjadinya PMI. Ellis dkk (2002) mendapatkan peningkatan kadar hs-CRP hampir 4x dibandingkan sebelum tindakan. Hubungan yang linier antara konsentrasi serum CRP sebelum tindakan dan kadar puncak CK-MB setelah tindakan dijumpai pada penelitian GENERATION (Zairis dkk.2005). Perubahan yang signifikan dari keadaan inflamasi juga dijumpai pada penelitian EPIC, EPILOG, dan EPISTENT, dimana angka kejadian peningkatan CK-MB setelah tindakan adalah 35% lebih tinggi (absolut 7%) pada pasien dengan kadar lekosit sebelum tindakan > 9,5 x 106/L (Gurm dkk.2003).
II. 1. 3. 2. Faktor risiko yang berhubungan dengan lesi Intervensi pada lesi de novo dihubungkan dengan risiko yang lebih tinggi untuk terjadinya PMI jika dibandingkan dengan lesi restenosis (OR 1,6 – 1,8) (Ricchiuti dkk.2000 dan Stankovic dkk.2004).
Universitas Sumatera Utara
Pada pemeriksaan histologis terdapat perbedaan dari komposisi lesi. Jika dibedakan dari sel dan akumulasi lemak pada aterosklerosis primer, didapatkan gambaran plak ateroma yang mudah pecah, akumulasi matriks ekstraselular, yang mengarah pada pembentukan neointima yang tetap, khususnya pada lesi in-stent restenosis. Karakteristik lesi de novo yang mengarah terjadinya PMI adalah dijumpai gambaran eksentrik, kandungan plak dan trombus yang lebih banyak, ruptur plak, dan pembuluh darah side branch yang besar (Chung dkk.2002).
II. 1. 3. 3. Faktor risiko yang berhubungan dengan tindakan yang dilakukan Oklusi pembuluh darah side branch paling banyak dihubungkan dengan terjadinya PMI dengan OR berkisar antara 1,7 sampai 7,9 (Shyu dkk 1998). Diseksi adalah komplikasi paling banyak berikutnya dengan OR 1,2 – 1,8 (Ravkilde dkk.1994 dan Abbas dkk.1996). No-reflow/aliran yang lambat adalah salah satu petanda klinis yang kuat terjadinya PMI dengan OR dari 4,5–5,8 (Kong dkk.1997 dan Ricciardi dkk.2003). Emboli distal juga merupakan salah satu petanda klinis yang paling kuat untuk terjadinya PMI dengan OR 4,4 – 6,0 (Klein dkk.1991 dan Hong dkk.1999). Lesi yang lebih kompleks memerlukan intervensi yang lebih kompleks. Jenis intervensi yang dilakukan lebih berpengaruh jika dibandingkan dengan parameter intervensi lain seperti jumlah, tekanan, dan lama inflasi dari balloon. Penelitian CAVEAT-I adalah penelitian pertama yang menunjukkan angka kejadian PMI yang lebih tinggi pada directional coronary atherectomy (DCA) yang juga dibuktikan oleh penelitian BOAT (Harrington dkk.1995 dan Baim dkk.1998). Risiko PMI lebih tinggi 2x dengan prosedur aterektomi dan 1,2x lebih tinggi dengan penggunaan stent jika dibandingkan dengan PTCA. Peningkatan angka kejadian PMI yang signifikan pada intervensi multivessel belum banyak diketahui (Kini dkk.1999).
Universitas Sumatera Utara
Tabel 1. Faktor risiko terjadinya PMI (Herrmann 2005) Faktor risiko pasien
Faktor risiko lesi
Faktor risiko tindakan
PJK multivessel
Lesi baru
PCI pada multivessel
Riwayat Infark miokard
Lesi graft vena saphena
Atherektomi
Riwayat CABG
Komposisi plak
Pemasangan stent
Atherosklerosis sistemik
Komposisi trombus
Jumlah stent
LVEF yang rendah
Lesi tipe C menurut ACC/AHA
Jumlah inflasi
APTS
Lesi multipel
Waktu inflasi
Peningkatan CRP
Gambaran eksenterik
Tekanan maksimum balon
Usia > 60 tahun
Kontur yang ireguler
Ukuran stent/balon
Wanita
Ruptur plak
Volume kontras/floroskopi
Riwayat keluarga
Oklusi pembuluh side branch
Diabetes melitus
Diseksi
Hiperlipidemia
Trombus
Hipertensi
Penutupan tiba-tiba
Merokok
Aliran lambat/tidak ada aliran
Berat badan
Embolisasi
Gagal ginjal
Vasospasme Perforasi
II. 1. 4. Patofisiologi PMI Pemeriksaan
cardiac
magnetic
resonance
imaging
(MRI)
telah
menunjukkan dua lokasi yang berbeda untuk terjadinya PMI: pada daerah yang dilakukan intervensi, di mana cedera biasanya disebabkan oleh oklusi pembuluh darah side branch di epikardial, dan pada daerah di bawah lokasi intervensi, yang biasanya disebabkan embolisasi ke arah distal (Prasad dkk.2011).
Universitas Sumatera Utara
Cedera miokard akut pada dua lokasi yang berbeda tadi dapat dideteksi dengan MRI pada 25 pasien setelah PCI, dengan rata-rata luas infark 5% massa ventrikel kiri (Prasad dkk.2011). Meskipun jumlah emboli mikro berhubungan secara positif dengan disfungsi mikrovaskular dari miokardial, namun diduga adanya faktor lain disamping besar emboli mikro yang mempengaruhi terjadinya PMI, seperti pelepasan vasoaktif, aktivasi platelet, dan adanya kerentanan mikardium sebelumnya (Herrmann 2005 dan Prasad dkk.2011).
II. 1. 4. 1. Embolisasi debris ateromatous dan trombotik Pemeriksaan volumetric intravascular ultrasound telah menambah pemahaman akan terjadinya pembesaran lumen dengan berbagai teknik intervensi. Pada PTCA hanya menyebabkan redistribusi plak tanpa adanya penurunan volume plak. Pada pemasangan stent dan teknik rotablasi terdapat penurunan volume plak akibat dari embolisasi plak dan fragmentasi, yang bisa menjelaskan mengapa angka kejadian PMI lebih tinggi pada kedua teknik tersebut (Dussaillant dkk.1996, Mintz dkk.1996, dan Ahmed dkk.2000).
II. 1. 4. 2. Aktivasi platelet dan trombosis Pada
studi
eksperimental
oleh
Bonderman
dkk
(2002)
menunjukkan pecahnya plak secara in vivo baik oleh PTCA atau pemasangan stent menyebabkan pelepasan debris dan pelepasan biofaktor yang sangat kuat seperti tissue factor (TF) ke sirkulasi koroner, yang menyebabkan trombosis mikrovaskular. Dibandingkan dengan PTCA, DCA berhubungan dengan aktivasi platelet yang lebih banyak, akibat dari penurunan perfusi jaringan miokard yang signifikan (Dehmer dkk.1997 dan Koch dkk.1999). Gibson dkk (2002) menunjukkan bahwa pasien dengan TIMI myocardial perfusion grade (TMPG) yang terganggu memiliki risiko 10x
Universitas Sumatera Utara
lebih tinggi untuk terjadinya peningkatan kadar CK-MB setelah tindakan (41,2 vs 4,2%, P < 0,01). Secara keseluruhan, penurunan TMPG nampaknya berhubungan dengan PMI yang lebih luas dan setidaknya merupakan bagian dari kejadian trombotik dan aktivasi platelet (Choi dkk.2004 dan Gibson dkk.2004).
II. 1. 4. 3. Inflamasi Inflamasi merupakan respon utama pada cedera jaringan, dan peningkatan aktivasi netrofil pada sinus koroner lebih nyata pada penggunaan alat intervensi yang baru dan intervensi pada lesi C menurut AHA/ACC (Serrano dkk.1997, Inoue dkk.2000 dan Gottsauner-Wolf dkk.2000). Proses inflamasi ini ditandai dengan peningkatan konsentrasi serum CRP diikuti oleh peningkatan serum IL-6 dalam 12-36 jam, dan puncaknya dalam 24 jam setelah tindakan (Sanchez-Margalet dkk.2002 dan Bonz dkk.2003). Namun belum jelas apakah asal dari cedera jaringan dan reaksi inflamasi yang terjadi berada pada tempat intervensi atau pada miokardium.
Universitas Sumatera Utara
Gambar 1. Patofisiologi terjadinya PMI (Prasad dkk.2011)
II. 1. 5. Presentasi klinis dari PMI II. 1. 5. 1. Presentasi akut dari PMI Sebagian besar pasien PMI adalah tanpa gejala. Gejala klinis berikutnya yang terbanyak adalah nyeri dada yang timbul setelah PCI (Versaci dkk.2002). Penelitian sebelumnya mendapatkan angka kejadian PMI sekitar 2,5-4x lebih tinggi pada pasien dengan nyeri dada setelah PCI (Kini dkk.2003). Pada subanalisis dari penelitian EPISTENT, menunjukkan kematian 30 hari akibat infark miokard sekitar 7x lebih tinggi pada pasien
Universitas Sumatera Utara
dengan nyeri dada setelah PCI (1,4% vs. 10%) dan khususnya lebih tinggi jika nyeri dada timbul dalam 4 jam pertama (angka kejadian 12x lebih tinggi) atau berhubungan dengan perubahan gelombang ST-T (angka kejadian 22x lebih tinggi) (Robbins dkk.1999). Pada dua pertiga pasien dengan nyeri dada setelah PCI, komplikasi selama tindakan dijumpai. Sepertiga sisanya berhubungan dengan mikroembolisasi dan cedera serta peregangan dinding pembuluh darah (Kini dkk.2003).
II. 1. 5. 2. Implikasi jangka panjang dari PMI Implikasi
prognostik
pada umumnya
berhubungan
dengan
mortalitas kardiak, khususnya berhubungan dengan angka kejadian yang lebih tinggi pada kematian mendadak, terutama pada penggunaan CK-MB dibandingkan Troponin T atau I sebagai petanda (Herrmann dkk.2005). Sebuah studi analisis menunjukkan bahwa terdapat peningkatan relatif kematian 6 bulan pada setiap peningkatan kadar CK-MB setelah PCI serupa dengan infark mikard yang terjadi secara spontan (Akkerhuis dkk.2002). Pada meta-analisis dari 7 penelitian dengan 23.230 pasien, didapatkan 1,5, 1,8, dan 3,1 kali risiko kematian jangka panjang (6-34 bulan) yang lebih tinggi pada pasien dengan peningkatan kadar CK-MB setelah PCI 1-3x, 3-5x, dan >5x dari nilai ambang batas normal (Ioannidis dkk.2003). Akhirnya data yang diperoleh dari studi prospektif CK-MB dan PCI menunjukkan adanya hubungan yang linier antara peningkatan CKMB dan kematian dalam 2 tahun, namun gagal menunjukkan nilai prognostik dari peningkatan kadar troponin I setelah PCI (Cavallini dkk.2005).
II. 1. 6. Tatalaksana PMI akut Meskipun pasien tidak memiliki risiko untuk terjadinya PMI dapat pulang 4 jam setelah tindakan, guidelines saat ini menganjurkan untuk memonitor semua
Universitas Sumatera Utara
pasien dengan pemeriksaan enzim jantung serial pada 6-12 dan 24 jam dan EKG segera setelah PCI dan pada nyeri dada yang timbul setelah tindakan (Smith dkk.2001 dan Mahmud dkk.2003). Perubahan segmen ST-T saat nyeri dada setelah PCI memiliki sensitivitas 100% namun spesifitasnya hanya 66% (Mansour dkk.1992). Pada kasus lesi primer dan diseksi dengan atau tanpa penutupan tibatiba, oklusi pembuluh side branch, dan embolisasi distal pada umumnya tidak memerlukan intervensi ulang dan akan mengalami pemulihan (Iijima dkk.2005). Pada keadaan no-reflow, stabilisasi hemodinamik, oksigenasi, dan tatalaksana iskemik adalah penting dengan pemberian vasodilator intrakoroner (Klein dkk.2003). Secara keseluruhan, sebagian besar pasien dengan PMI akut tidak memerlukan angiografi ulang dan hanya diberikan terapi konservatif standar (Levine dkk.2003).
II. 2. Skor SYNTAX Skor SYNTAX (SYNergy between percutaneous coronary intervention with TAXus and cardiac surgery) adalah sistem skor yang diformulasikan secara komprehensif untuk menggambarkan kompleksitas dari hasil angiografi dan memprediksi hasil akhir tindakan PCI atau CABG (Serruys dkk.2008). Skor SYNTAX dikembangkan secara khusus untuk mendeskripsikan pembuluh darah koroner dengan memperhatikan jumlah lesi dan akibatnya secara fungsional, lokasi, dan kompleksitas. Skor SYNTAX yang lebih tinggi, menunjukkan keadaan penyakit yang lebih kompleks dan prognosis yang lebih buruk (Sianos dkk.2005). Serruys dkk (2009) membagi skor SYNTAX ke dalam tiga kelompok, skor rendah (mild) < 22, skor menengah (moderate) 23-32, dan skor tinggi (high) > 33. Pada penelitiannya didapatkan bahwa makin tinggi skor SYNTAX maka keluaran klinis CABG lebih baik dibandingkan dengan PCI.
Universitas Sumatera Utara
II. 2. 1. Cara menghitung skor SYNTAX Dicari pembuluh darah yang berdiameter > 1,5 mm dengan stenosis > 50%. Setiap lesi dapat melibatkan lebih dari 1 segmen. Stenosis serial kurang dari 3 kali diameter pembuluh darah dihitung menjadi 1 lesi, bila lebih dari 3 kali diameter pembuluh darah dihitung menjadi 2 lesi. Persentase stenosis tidak diperhitungkan dalam skor SYNTAX. Lesi hanya terbagi atas jenis oklusif (stenosis 100%) dan non oklusif (stenosis 50%-99%) (Sianos dkk.2005). Segmen arteri koroner yang terlibat ditentukan apakah dominan kiri atau dominan kanan (gambar 2). Tiap segmen mempunyai nilai berdasarkan jenis arteri koroner yang dominan (tabel 2). Setiap tipe karakteristik lesi yang dihitung pada skor SYNTAX mempunyai nilai yang ditambahkan sesuai dengan jenis lesi dan jumlah segmen yang terlibat (tabel 3). Kemudian semua lesi yang dihitung dijumlahkan ke dalam skor SYNTAX. Algoritme cara menilai skor SYNTAX dapat dilihat pada tabel 4 (Sianos dkk.2005).
Universitas Sumatera Utara
Gambar 2. Penjelasan segmen arteri koroner (Sianos dkk.2005)
Universitas Sumatera Utara
Tabel 2. Faktor penilaian segmen arteri koroner (Sianos dkk.2005)
Universitas Sumatera Utara
Tabel 3. Skor dalam menghitung karakteristik lesi (Sianos dkk.2005)
Universitas Sumatera Utara
Tabel 4. Algoritme skor SYNTAX (Sianos dkk.2005)
Perhitungan skor SYNTAX dilakukan dengan menggunakan program kalkulator
dari
internet
yang
dapat
disimpan
dalam
komputer
(www.syntaxscore.com). Untuk mendapatkan hasil yang akurat, idealnya perhitungan dilakukan dengan tim yang beranggotakan 3 orang (Leadley 2009).
Universitas Sumatera Utara
II. 3. Kerangka Teori
PCI
Peptida vasoaktif
Trombus
Partikel mikro
Aktivasi palatelet
Vasokonstriksi
Oklusi side branch
Debris plak
Aktivasi netrofil
Disfungsi mikrovaskular
Penurunan aliran darah
Pelepasan petanda enzim jantung
Cedera miokard
(Prasad dkk.2011. N Engl J Med 2011;364:453-64)
Universitas Sumatera Utara
II. 4. Kerangka Konsep PJK dengan multivessel disease Hipertensi Diabetes melitus Dislipidemia Skor SYNTAX
PCI
Merokok Usia > 60 tahun
Peri-procedural myocardial injury
Universitas Sumatera Utara