BAB II TINJAUAN PUSTAKA
Permasalahan yang akan dijawab dalam penelitian ini adalah bagaimana gambaran religiusitas dan resiliensi, serta hubungan kedua variabel tersebut pada ibu yang memiliki anak retardasi mental. Oleh karena itu, pada bagian ini, penulis akan menjelaskan mengenai resiliensi, definisi resiliensi dan elemen-elemen apa saja yang ada dalam resiliensi. Setelah itu, penulis akan menjelaskan teori-teori yang terkait dengan definisi religiusitas dan elemen-elemen apa saja yang ada dalam religiusitas. Penulis juga akan menjelaskan pengertian dari anak retardasi mental serta menjelaskan kondisi ibu yang memiliki anak tersebut. Pada bagian akhir peneliti akan menjelaskan bagaimana dinamika antara resiliensi dan religiusitas.. A.
Resiliensi
1.
Definisi Resiliensi Resiliensi dipandang oleh para ahli sebagai kemampuan untuk bangkit kembali dari situasi atau peristiwa yang traumatis. Siebert (2005) memaparkan bahwa yang dimaksud dengan resiliensi adalah kemampuan untuk mengatasi dengan baik perubahan hidup pada level yang tinggi, menjaga kesehatan di bawah kondisi penuh tekanan, bangkit dari keterpurukan, mengatasi kemalangan, merubah cara hidup ketika cara yang lama dirasa tidak sesuai lagi dengan kondisi yang ada, dan menghadapi permasalahan tanpa melakukan kekerasan. Penjelasan
mengenai
resiliensi
semakin
mengalami
perkembangan, Luthar, Chicceti, dan Becker (2003) menjelaskan bahwa resiliensi adalah kemampuan untuk bertahan dan pulih dari tantangan hidup yang mengganggu.
11
12 Lietz
(2006)
juga
menjelaskan
konsep
resiliensi.
Ia
menyatakan resiliensi sebagai suatu konstruk, yaitu resiliensi mengacu pada situasi dimana orang dapat menghindari konsekuensi negative biasanya terkait dengan resiko tinggi. Reivich dan Shatte (2002) juga menjelaskan resiliensi adalah kemampuan untuk mengatasi dan beradaptasi terhadap kejadian yang berat atau masalah yang terjadi dalam kehidupan. Bertahan dalam keadaan tertekan, dan
bahkan berhadapan dengan kesengsaraan
(adversity) atau trauma yang dialami dalam kehidupannya. Menurut Grotberg (1999) resiliensi adalah kemampuan manusia untuk menghadapi, mengatasi, dan menjadi kuat atas kesulitan yang dialaminya. Grotberg mengatakan bahwa resiliensi bukanlah hal
mistis
dan tidak hanya ditemui pada orang-orang
tertentu saja dan bukan pemberian dari sumber yang tidak diketahui. Lebih jauh Walsh (2006) menjelaskan bahwa setiap individu pernah mengalami masalah dalam kehidupan. Setiap individu memiliki keunikan masing-masing dalam merespon masalah tersebut. Daya tahan individu dalam merespon masalah tersebut pun berbedabeda. Ada yang dapat bertahan lama, ada pula yang hanya sementara. Beberapa individu dapat melalui masalahnya, tapi beberapa dari mereka tidak dapat bertahan menghadapi masalahnya. Kemampuan inilah yang disebut dengan resiliensi oleh Walsh. Dari beberapa definisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa resiliensi
merupakan
kemampuan
individu
untuk
mencegah
konsekuensi negatif dari peristiwa seperti situasi yang penuh tekanan, dan menghadapi masa-masa sulit, dan menjadi bangkit kembali setelah melalui peristiwa tersebut.
13 Definisi resiliensi ini akan dikaitkan dengan resiliensi pada ibu yang memiliki anak retardasi mental. 2.
Aspek Resiliensi Reivich dan Shatte (2002), memaparkan tujuh aspek resiliensi, yaitu sebagai berikut: a.
Emotion Regulation Regulasi emosi adalah kemampuan untuk tetap tenang di bawah
kondisi
yang
menekan.
Individu
yang
memiliki
kemampuan regulasi emosi yang baik dapat mengendalikan dirinya apabila sedang kesal dan dapat mengatasi rasa cemas, sedih, atau marah sehingga mempercepat dalam pemecahan suatu masalah. Pengekspresian emosi, baik negatif ataupun positif, merupakan hal yang sehat dan konstruktif apabila dilakukan dengan tepat. Pengekpresian emosi yang tepat merupakan salah satu kemampuan individu yang resilien. Reivich dan Shatte (2002) mengemukakan dua hal penting yang terkait dengan regulasi emosi, yaitu ketenangan (calmness) dan fokus (focus). Individu yang mampu mengelola kedua keterampilan ini akan memiliki kemampuan untuk meredakan emosi yang ada, memfokuskan pikiran-pikiran yang mengganggu dan mengurangi stress yang sedang dialaminya pada saat itu. b.
Impulse Control Pengendalian impuls sebagai kemampuan mengendalikan keinginan, dorongan, kesukaan, serta tekanan yang muncul dari dalam diri seseorang. Individu dengan pengendalian impuls rendah sering mengalami perubahan emosi dengan cepat yang cenderung mengendalikan perilaku dan pikiran mereka. Individu
14 seperti itu seringkali mudah kehilangan kesabaran, mudah marah, impulsif, dan berlaku agresif pada situasi-situasi kecil yang tidak terlalu penting, sehingga lingkungan sosial di sekitarnya merasa kurang nyaman yang berakibat pada munculnya permasalahan dalam hubungan sosial. c.
Optimism Individu yang resilien adalah individu yang optimis. Optimisme adalah ketika kita melihat bahwa masa depan kita cemerlang bahwa individu tersebut percaya bahwa dirinya memiliki kemampuan untuk mengatasi kemalangan yang mungkin terjadi di masa depan.
d.
Causal Analysis Causal analysis merujuk pada kemampuan individu untuk mengidentifikasikan secara akurat penyebab dari permasalahan yang
mereka
hadapi.
Individu
yang
tidak
mampu
mengidentifikasikan penyebab dari permasalahan yang mereka hadapi secara tepat, akan terus menerus berbuat kesalahan yang sama. Seligman mengidentifikasikan gaya berpikir explanatory yang erat kaitannya dengan kemampuan causal analysis yang dimiliki individu. Gaya berpikir explanatory dapat dibagi dalam tiga dimensi: personal (saya-bukan saya), permanen (selalu-tidak selalu), dan pervasive (semua-tidak semua). Individu dengan gaya berpikir “Saya-Selalu-Semua” merefleksikan keyakinan bahwa penyebab permasalahan berasal dari individu tersebut (Saya), hal ini selalu terjadi dan permasalahan yang ada tidak dapat diubah (Selalu), serta permasalahan yang ada akan mempengaruhi
15 seluruh aspek hidupnya (Semua). Sementara individu yang memiliki gaya berpikir “Bukan Saya-Tidak Selalu-Tidak semua” meyakini bahwa permasalahan yang terjadi disebabkan oleh orang lain (Bukan Saya), dimana kondisi tersebut masih memungkinkan untuk diubah (Tidak Selalu) dan permasalahan yang ada tidak akan mempengaruhi sebagian besar hidupnya (Tidak semua). Gaya berpikir explanatory memegang peranan penting dalam konsep resiliensi. Individu yang terfokus pada “Selalu-Semua” tidak mampu melihat jalan keluar dari permasalahan yang mereka hadapi. Sebaliknya individu yang cenderung menggunakan gaya berpikir “Tidak selalu - Tidak semua” dapat merumuskan solusi dan tindakan yang akan mereka lakukan untuk menyelesaikan permasalahan yang ada. Individu yang resilien adalah individu yang
memiliki
mengidentifikasikan
fleksibelitas semua
kognitif.
penyebab
Mereka yang
mampu
menyebabkan
kemalangan yang menimpa mereka, tanpa terjebak pada salah satu gaya berpikir explanatory. Individu yang resilien tidak akan menyalahkan orang lain atas kesalahan yang mereka perbuat demi menjaga self-esteem mereka atau membebaskan mereka dari rasa bersalah. e.
Empathy Empati sangat erat kaitannya dengan kemampuan individu untuk membaca tanda-tanda kondisi emosional dan psikologis orang lain. Beberapa individu memiliki kemampuan yang cukup mahir dalam menginterpretasikan bahasa-bahasa nonverbal yang ditunjukkan oleh orang lain, seperti ekspresi wajah, intonasi
16 suara, bahasa tubuh dan mampu menangkap apa yang dipikirkan dan dirasakan orang lain. Oleh karena itu, seseorang yang memiliki kemampuan berempati cenderung memiliki hubungan sosial yang positif. Ketidakmampuan
berempati
berpotensi
menimbulkan
kesulitan dalam hubungan sosial. Individu-individu yang tidak membangun kemampuan untuk peka terhadap tanda-tanda nonverbal tersebut tidak mampu untuk menempatkan dirinya pada posisi orang lain, merasakan apa yang dirasakan orang lain dan memperkirakan maksud dari orang lain. Ketidakmampuan individu untuk membaca tanda-tanda nonverbal orang lain dapat sangat merugikan, baik dalam konteks hubungan kerja maupun hubungan personal, hal ini dikarenakan kebutuhan dasar manusia untuk dipahami dan dihargai. Individu dengan empati yang rendah cenderung mengulang pola yang dilakukan oleh individu yang tidak resilien, yaitu menyamaratakan semua keinginan dan emosi orang lain. f.
Self-efficacy Self-efficacy adalah hasil dari pemecahan masalah yang berhasil. Self-efficacy merepresentasikan sebuah keyakinan bahwa kita mampu memecahkan masalah yang kita alami dan mencapai kesuksesan. Self-efficacy merupakan hal yang sangat penting untuk mencapai resiliensi.
g. Reaching out Sebagaimana telah dipaparkan sebelumnya, bahwa resiliensi lebih dari sekedar bagaimana seorang individu memiliki kemampuan untuk mengatasi kemalangan dan bangkit dari
17 keterpurukan, namun lebih dari itu faktor yang terakhir dari resiliensi adalah reaching out. Reaching out adalah kemampuan individu meraih aspek positif atau mengambil hikmah dari kehidupan setelah kemalangan yang menimpa. Banyak individu yang tidak mampu melakukan reaching out, hal ini dikarenakan mereka telah diajarkan sejak kecil untuk sedapat mungkin menghindari kegagalan dan situasi yang memalukan. Mereka adalah individu- individu yang lebih memilih memiliki kehidupan standar dibandingkan harus meraih kesuksesan namun harus berhadapan dengan resiko kegagalan hidup
dan
hinaan
masyarakat.
Hal
ini
menunjukkan
kecenderungan individu untuk berlebih-lebihan (overestimate) dalam memandang kemungkinan hal-hal buruk yang dapat terjadi di masa mendatang. Individu-individu ini memiliki rasa ketakutan untuk mengoptimalkan kemampuan mereka hingga batas akhir. 3.
Karakteristik individu yang memiliki resiliensi
(Wolin & Wolin 1999) menjelaskan mengenai karakteristik dari Individu yang memiliki resiliensi a. Insight Insight adalah kemampuan untuk memahami dan memberi arti pada situasi, orang-orang yang ada di sekitar, dan nuansa verbal maupun nonverbal dalam komunikasi, individu
yang
memiliki
insight
mampu
menanyakan
pertanyaan yang menantang dan menjawabnya dengan jujur. Hal ini membantu mereka untuk dapat memahami diri sendiri dan orang lain serta dapat menyesuaikan diri dalam berbagai situasi.
18 b. Kemandirian Kemandirian ialah kemampuan untuk mengambil jarak secara emosional maupun fisik dari sumber masalah dalam hidup seseorang. Kemandirian melibatkan kemampuan untuk menjaga keseimbangan antara jujur pada diri sendiri dengan peduli pada orang lain. Orang yang mandiri tidak bersikap ambigu dan dapat mengatakan “tidak” dengan tegas saat diperlukan. Ia juga memiliki orientasi yang positif dan optimistik pada masa depan. c. Hubungan Seseorang yang resilien dapat mengembangkan hubungan yang jujur, saling mendukung dan berkualitas bagi kehidupan, ataupun memiliki role model yang sehat. Karakteristik ini berkembang pada masa kanak-kanak dalam perilaku kontak (contacting), yaitu mengembangkan ikatan-ikatan kecil dengan orang lain yang mau terlibat secara emosional. Remaja mengembangkan hubungan dengan melibatkan diri (recruiting) dengan beberapa orang dewasa dan teman sebaya yang suportif dan penolong. Pada masa dewasa, hubungan menjadi matang dalam bentuk kelekatan (attaching), yaitu ikatan personal yang menguntungkan secara timbal balik dimana ada karakteristik saling memberi dan menerima. d. Inisiatif Inisiatif adalah keinginan kuat untuk bertanggung jawab akan hidup. Individu yang resilien bersikap proaktif, bukan reaktif, bertanggung jawab dalam pemecahan masalah, selalu berusaha memperbaiki diri ataupun situasi yang dapat diubah, serta meningkatkan kemampuan mereka untuk menghadapi
19 hal-hal yang tak dapat diubah. Mereka melihat hidup sebagai rangkaian
tantangan
dimana
mereka
yang
mampu
mengatasinya. Anak-anak yang resilien memiliki tujuan yang mengarahkan hidup mereka secara konsisten dan mereka menunjukkan usaha yang sungguh-sungguh untuk berhasil di sekolah. e. Kreatifitas Kreatifitas melibatkan kemampuan memikirkan berbagai pilihan, konsekuensi, dan alternatif dalam menghadapi tantangan hidup. Individu yang resilien tidak terlibat dalam perilaku negatif sebab ia mampu mempertimbangkan konsekuensi dari tiap perilakunya dan membuat keputusan yang benar. Kreativitas juga melibatkan daya imajinasi yang digunakan untuk mengekspresikan diri dalam seni, serta membuat seseorang mampu menghibur dirinya sendiri saat menghadapi kesulitan. individu yang resilien mampu secara kreatif menggunakan apa yang tersedia untuk pemecahan masalah dalam situasi sumber daya yang terbatas. Selain itu, bentuk-bentuk
kreativitas
juga
terlihat
dalam
minat
kegemaran, kegiatan kreatif dari imajinatif. f. Humor Humor adalah kemampuan untuk melihat sisi terang dari kehidupan, menertawakan diri sendiri, dan menemukan kebahagiaan dalam situasi apapun. Seseorang yang resilien menggunakan rasa humornya untuk memandang tantangan hidup dengan cara yang baru dan lebih ringan. Rasa humor membuat saat-saat sulit terasa lebih ringan.
20 g. Moralitas Moralitas atau orientasi pada nilai-nilai ditandai dengan keinginan untuk hidup secara baik dan produktif. Individu yang resilien dapat mengevaluasi berbagai hal dan membuat keputusan yang tepat tanpa takut akan pendapat orang lain. Mereka juga dapat mengatasi kepentingan diri sendiri dalam membantu orang yang membutuhkan. Moralitas adalah kemampuan berperilaku atas dasar hati nurani. 4.
Faktor yang membentuk Resiliensi Grotberg (1995) mengatakan bahwa ada tiga faktor yang membentuk resiliensi, yaitu : a. I Have I Have merupakan dukungan eksternal dan sumber dalam meningkatkan daya lentur. Sebelum anak menyadari akan siapa individu membutuhkan dukungan eksternal dan sumberdaya untuk mengembangkan perasaan keselamatan dan keamanan yang meletakkan fondasi, yaitu inti untuk mengembangkan resilience. b. I Am I Am merupakan kekuatan yang berasal dari dalam diri sendiri. Faktor ini meliputi perasaan, sikap, dan keyakinan di dalam diri individu. c. I Can I Can adalah kemampuan yang dimiliki individu untuk mengungkapkan perasaan dan pikiran dalam berkomunikasi dengan orang lain, memecahkan masalah dalam berbagai seting kehidupan (akademis, pekerjaan, pribadi dan sosial)
21 dan mengatur tingkah laku, serta mendapatkan bantuan saat membutuhkannya. 5.
Faktor yang Memengaruhi Resiliensi Everall (2006) memaparkan tiga faktor yang mempengaruhi resiliensi, yaitu: a.
Faktor individual Faktor individual meliputi kemampuan kognitif individu, konsep diri, harga diri, dan kompetensi sosial yang dimiliki individu. Menurut Holaday (1997, h.350) keterampilan kognitif berpengaruh penting pada resiliensi individu. Inteligensi minimal rata-rata dibutuhkan bagi pertumbuhan resiliensi pada diri individu karena resiliensi sangat terkait erat dengan kemampuan untuk memahami dan menyampaikan sesuatu lewat bahasa yang tepat, kemampuan membaca, dan komunikasi non verbal. Resiliensi juga dihubungkan dengan kemampuan untuk melepaskan pikiran dari trauma dengan menggunakan fantasi dan harapan-harapan yang ditumbuhkan pada diri individu yang bersangkutan.
b.
Faktor keluarga Faktor keluarga meliputi dukungan yang bersumber dari orang tua, yaitu bagaimana cara orang tua untuk memperlakukan dan melayani anak. Selain dukungan dari orang tua struktur keluarga juga berperan penting bagi individu.
c.
Faktor Komunitas Faktor
komunitas
meliputi
kemiskinan
dan
keterbatasan kesempatan kerja. Delgado (1995) dalam
22 LaFramboise et al., (2006, h. 195-196) menambahkan dua hal terkait dengan faktor individual, yaitu : 1. Gender Gender memberikan kontribusi bagi resiliensi individu. Resiko kerentanan terhadap tekanan emosional, perlindungan terhadap situasi yang mengandung resiko, dan respon terhadap kesulitan yang dihadapi dipengaruhi oleh gender. 2. Keterikatan dengan kebudayaan Keterikatan
dengan
budaya
meliputi
keterlibatan seseorang dalam aktivitas-aktivitas terkait dengan budaya setempat berikut ketaatan terhadap
nilai-nilai
yang
diyakini
dalam
kebudayaan tersebut. Beuf (1990) dalam Holaday (1997, h.349) mengungkapkan bahwa resiliensi dipengaruhi secara kuat oleh kebudayaan, baik sikap sikap yang diyakini dalam suatu budaya, nilai-nilai, dan standard kebaikan dalam suatu masyarakat. Dari uraian di atas, dapat disimpulkan resiliensi dipengaruhi oleh faktor - faktor dari dalam individu (internal) dan faktor-faktor dari luar individu (eksternal). Faktor internal meliputi, kemampuan kognitif, konsep diri, harga diri, kompetensi sosial yang dimiliki individu, gender, serta keterikatan individu dengan budaya. Faktor eksternal mencakup faktor dari keluarga dan komunitas.
23 B.
Religiusitas
1.
Definisi Religiusitas Menurut Hardjana (1993), religiusitas adalah kata kerja yang berasal dari kata benda religion. Religi itu sendiri berasal dari kata re dan ligare artinya meghubungkan kembali yang telah putus, yaitu menghubungkan kembali hubungan antara Tuhan dan manusia yang telah terputus oleh dosa-dosanya. Mangunwijaya
(Indrastuti,
2005)
mengatakan
bahwa
religiusitas diartikan sebagai keyakinan seseorang terhadap agama yang dianutnya dan juga pengalaman dan penghayatan di dalam membangun hubungan dengan Tuhan yang melibatkan perasaan pasrah, sukarela, ikhlas, dan juga hormat serta takjub yang pada akhirnya diteruskan dalam sikap hidup dan perilakunya. Djarir (2004) mengatakan religiusitas merupakan suatu kesatuan unsur-unsur yang komprehensif yang menjadikan seseorang disebut sebagai orang beragama (being religious) dan bukan sekedar mengaku mempunyai agama (having religion). Religiusitas itu sendiri meliputi pengetahuan agama, keyakinan agama, pengalaman ritual agama. Perilaku (moralitas) agama, dan sikap social keagamaan. Glock and Stark (1965) mendeskripsikan religiusitas sebagai suatu simbol, sistem keyakinan, sistem nilai, dan sistem perilaku terlembaga, yang kesemuanya terpusat pada persoalan-persoalan yang dihayati sebagai yang paling maknawi. Dalam penelitian ini, penulis menggunakan pengertian religiusitas menurut Glock dan Stark (1965) yaitu religiusitas sebagai simbol, sistem keyakinan, sistem nilai, dan sistem perilaku yang terlembaga, yang semuanya terpusat pada persoalan-persoalan yang
24 dihayati sebagai hal paling maknawi. Dan pengertian ini akan dikaitkan dengan religiusitas pada ibu yang memiliki anak retardasi mental. 2.
Aspek Religiusitas Dari pengertian tersebut, penulis menurunkannya menjadi 5 aspek religiusitas menurut Glock dan Stark (1965) yaitu : a.
Ritual Involment Sering juga disebut aspek praktek agama. Penganut agama tertentu melaksanakan aktivitas-aktivitas yang diwajibkan dan dianjurkan oleh agamanya, seperti berdoa, puasa, kebaktian, korban, sedekah, sholat, haji, misa kudus, dan sebagainya. Aspek ini dibagi menjadi, yaitu : 1. Ritual Practice Mengacu pada kumpulan tata cara, aktivitas suci, dan tinjauan religius dan mengambil perjamuan suci, wudu selama sholat. 2. Devotion Practice Lebih bersifat informal, spontan, dan cenderung lebih tertutup dan dilakukan secara pribadi oleh individu.
b.
Ideological Involvement. Adanya pengharapan-pengharapan dimana orang-orang religius berpegang teguh pada suatu teologis atau ajaran tertentu yang mengakui
kebenaran-kebenaran
doktrin-doktrin
tersebut,
misalnya apakah seseorang mempercayai adanya setan, malaikat, surga, neraka, karma, mukjizat dan sebagainya. c.
Intellectual Involvement Merupakan harapan-harapan di mana orang-orang beragama paling tidak memiliki sejumlah pengetahuan mengenai dasar-
25 dasar keyakinan serta pokok-pokok ajaran yang harus diimani dan dilaksanakan. d.
Experiental Involvement Pengalaman-pengalaman keagamaan yang pernah dialami dan dirasakan oleh seseorang yang beragama sebagai suatu keajaiban yang datang dari Tuhan. Hal-hal ini dapat diwujudkan dengan perasaan syukur kepada Tuhan, perasaan mendapatkan teguran dari Tuhan, perasaan bahwa doa-doanya sering terkabul, serta perasaan bahwa dirinya dekat dengan Tuhan saat berdoa. Aspek ini dibagi menjadi 2, yaitu: 1.
Confirming Experience Merupakan bentuk kontak terlihat antara manusia dengan Tuhan, kesadaran khusus mengenai kehadiran sesuatu yang bersifat ke-Tuhanan sehingga seseorang dapat merasakan kehadiran Tuhan didekatnya.
2.
Savational Experience Gambaran dari sesuatu peristiwa selama sesorang merasakan kehadiran Tuhan yang hendak menyampaikan perintah dan kebijaksanaan-Nya sehingga orang tersebut merasakan bahwa Tuhan telah memberinya berkat khusus dan menganugerahkan kedudukan istimewa.
e.
Consequential Involvement Seberapa tingkatan seseorang dalam berperilaku dan dimotivasi oleh ajaran-ajaran agamanya. Perilaku ini lebih dalam hal perilaku didunia yaitu bagaimana seorang individu berelasi dengan dunianya terutama dengan sesamanya. Misalnya apakah ia mengunjungi tetangganya sakit, menolong orang yang kesulitan, mendermakan hartanya, dan sebagainya.
26 Sementara itu Jalaludin (2010) mengungkapkan beberapa aspek religiusitas, diantaranya: a.
Bersifat edukatif yaitu membimbing untuk menjadi lebih baik dan terbiasa dengan yang baik menurut ajaran agamanya masingmasing.
b.
Berfungsi penyelamat, keselamatan yang diberikan oleh agama kepada penganutnya dalam keselamatan dunia dan akhirat serta keselamatan ini dicapai melalui keimanan kepada Tuhan.
c.
Berfungsi sebagai perdamaian, melalui agama seseorang yang bersalah, berdosa, dapat mencapai kedamaian batin melalui tuntutan agama.
d.
Berfungsi sebagai control sosial,dianggap sebagai norma sebagai agama dapat berfungsi sebgai pengawas social baik secara individu maupun kelompok.
e.
Berfungsi transformasi, mengubah kehidupan pribadi seseorang atau kelompok menjadi kehidupan baru sesuai dengan ajaran agama yang dianutnya. Untuk mengukur tingkat religiusitas, dalam penelitian ini penulis
menggunakan lima aspek dari Glock dan Stark (1965), yaitu Ritual Involvement (Praktek Agama), Ideological Involvement (Keyakinan), Intelectual Involvement
Involvement
(Pengetahuan
(Pengalaman
Beragama),
Beragama),
dan
Experential
Consequential
Involvement (Pengamalan). Penelitian ini menggunakan kelima aspek diatas karena memiliki definisi lebih yang jelas dan lengkap mencakup berbagai segi kehidupan beragama.
27 3.
Faktor yang Memengaruhi Religiusitas Thouless (dalam Marsal, 2008) membedakan faktor-faktor yang mempengaruhi religiusitas menjadi empat macam, yaitu: a. Pengaruh pendidikan atau pengajaran dan berbagai tekanan sosial. Faktor ini mencakup semua pengaruh sosial dalam perkembangan keagamaan itu, termasuk pendidikan dari orangtua, tradisi-tradisi sosial, tekanan dari lingkungan sosial untuk menyesuaikan diri dengan berbagai pendapat dan sikap yang disepakati oleh lingkungan itu. b. Faktor pengalaman Berkaitan dengan berbagai jenis pengalaman yang membentuk sikap keagamaan. Terutama pengalaman mengenai keindahan, konflik moral dan pengalaman emosional keagamaan. c. Faktor kehidupan Kebutuhan-kebutuhan ini secara garis besar dapat menjadi empat, yaitu: a. Kebutuhan akan keamanan dan keselamatan b. Kebutuhan akan cinta kasih c. Kebutuhan untuk memperoleh harga diri d. Kebutuhan yang timbul karena adanya ancaman kematian d. Faktor intelektual Berkaitan dengan proses penalaran verbal dan rasionalisasi.
28 4.
Fungsi Religiusitas bagi Manusia Menurut Hendropuspito (1990) fungsi religiusitas bagi manuia meliputi : a.
Fungsi Edukatif Manusia mempercayakan fungsi edukatif pada agama yang mencangkup tugas mengajar dan membimbing. Keberhasilan pendidikan terletak pada pendayagunaan nilai-nilai rohani yang merupakan pokok-pokok kepercayaan agama. Nilai yang diresapkan antara lain makna dan tujuan hidup, hati nurani, rasa tanggung jawab dan Tuhan.
b.
Fungsi Penyelamatan Agama dan segala ajarannya memberikan jaminan kepada manusia keselamatan didunia akhirat.
c.
Fungsi Pengawasan Sosial Agama ikut bertanggung jawab menyeleksi kaidah-kaidah social yang ada, mengukuhkan yang baikdan meolak kaidah yang buruk agar selanjutnya ditinggalkan dan dianggap sebagai larangan. Agama juga memberi sanksi-sanksi yang harus dijatuhkan kepada orang yang melanggar larangan dan mengadakan pengawasan yang ketat atas pelaksanaannya.
d.
Fungsi Memupuk Persaudaraan Persamaan keyakinan merupakan salah satu persamaan yang bisa memupuk persaudaraan yang kuat. Manusia dalam persaudaraan bukan hanya melibatkan sebagian dari dirinya saja, melainkan seluruh pribadinya juga dilibatkan dalam suatu keintiman yang terdalam dengan sesuatu yang tertinggi yang dipercaya bersama.
29
e.
Fungsi Transformative Agama mampu melakukan perubahan terhadap bentuk kehidupan baru. Hal ini dapat berarti pula menggantikan nilai-nilai baru. Transformasi ini dilakukan pada nilai-nilai adat yang kurang manusiawi. Sebagai contoh dalam ajaran agama Islam pada masa kaum Qurais pada jaman nabi Muhammad yang memiliki kebiasaan jahiliyah, karena kedatangan Islam sebagai agama yang menanamkan nilai-nilai baru sehingga nilai-nilai lama yang tidak manusiawi dihilangkan.
C.
Retardasi Mental
1.
Definisi Retardasi Mental Istilah
retardasi
mental
digunakan
dalam
masyarakat
Indonesia untuk mendefinisikan suatu keadaan perkembangan jiwa yang terhenti atau tidak lengkap, yang terutama ditandai oleh terjadinya hendaya ketrampilan selama masa perkembangan, sehingga
berpengaruh
pada
tingkat
perkembangan
secara
menyeluruh, misal kemampuan kognitif, bahasa, motorik dan sosial (Maslim, 2002). Retardasi mental menurut Diagnostic and Statical Manual of Mental Disorder (DSM-IV-TR, 2000) sebagai (1) fungsi intelektual yang sangat dibawah rata-rata bersama dengan, (2) kurangnya perilaku adaptif; dan (3) terjadi sebelum usia 18 tahun. Definisi yang diberikan oleh AAMR (American Association on Mental Retardation) mengenai retardasi mental adalah sebagai berikut: “Keterbelakangan mental (retardasi mental) menunjukkan adanya keterbatasan dalam fungsi intelektual yang dibawah rata-rata, dimana berkaitan dengan keterbatasan pada dua atau lebih dari
30 keterampilan adaptif
seperti komunikasi, merawat diri sendiri,
keterampilan sosial, kesehatan dan keamanan, fungsi akademis, waktu luang dan lain-lain. Keadaan ini tampak sebelum usia 18 tahun.” (Hallahan dan Kauffman, dalam Mangunsong, 1998). Kemudian, pada tahun 2002, AAMR mengeluarkan revisi ke-10 mengenai retardasi mental bahwa retardasi mental merupakan bagian dari disability yang ditandai dengan keterbatasan yang signifikan baik pada fungsi intelektual dan perilaku adaptif dan terekspresi baik dalam kemampuan adaptif secara konseptual, sosial dan praktikal. Terlihat dari ketiga pengertian di atas sama-sama menjelaskan bahwa retardasi mental merupakan keterbatasan fungsi intelektual dan perilaku adaptif selama masa perkembangan atau sebelum usia 18 tahun. 2.
Kriteria Retardasi Mental Kriteria Retardasi Mental dalam DSM-IV-TR (2000) a. Fungsi intelektual yang secara signifikan berada dibawah ratarata, IQ kurang dari 70. b. Kurangnya fungsi sosial adaptif dalam minimal dua bidang berikut: komunikasi, mengurus diri sendiri, kehidupan keluarga, ketrampilan interpersonal, penggunaan sumber daya komunitas, kemampuan untuk mengambil keputusan sendiri, ketrampilan akademik
fungsional,
rekreasi,
keamanan. c. Onset sebelum usia 18 tahun.
pekerjaan,
kesehatan
dan
31 3.
Klasifikasi Berikut ini adalah klasifikasi retardasi mental yang ditunjukkan dengan bagan (Wiguna & Ika, 2005): a. Retardasi Mental Ringan (IQ 50-55 hingga 70). Sekitar 85 persen dari mereka yang memiliki IQ kurang dari 70 diklasifikasikan dalam kelompok retardasi mental ringan. Mereka tidak selalu dapat
dibedakan
dari
anak-anak
normal
sebelum
mulai
bersekolah. Di usia remaja akhir biasanya mereka dapat mempelajari ketrampilan akademik yang kurang lebih sama dengan level kelas 6. Ketika dewasa mereka mampu melakukan pekerjaan yang tidak memerlukan ketrampilan atau di balai karya di
rumah
penampungan,
meskipun
mereka
mungkin
membutuhkan bantuan dalam masalah sosial dan keuangan. Mereka bisa menikah dan mempunyai anak. b. Retardasi Mental Sedang (IQ 35-40 hingga 50-55). Sekitar 10 persen dari mereka yang memiliki IQ kurang dari 70 diklasifikasikan dalam kelompok retardasi mental sedang, memiliki kelemahan fisik dan disfungsi neurologis yang menghambat
ketrampilan
motorik
yang
normal,
seperti
memegang dan mewarnai didalam garis, dan ketrampilan motorik kasar, seperti berlari dan memanjat. Mereka mampu, dengan banyak bimbingan dan latihan, berpergian sendiri di daerah lokal yang tidak asing bagi mereka. Banyak yang tinggal diisntitusi penampungan, namun sebagian besar hidup bergantung bersama keluarga dalam rumah-rumah bersama disupervisi. c. Retardasi Mental Berat (IQ 20-25 hingga 35-40). Di antara mereka yang memiliki IQ kurang dari 70, sekitar 3 hingga 4 persen masuk dalam kelompok retardasi mntal parah. Orang-
32 orang tersebut umumnya memiliki abnormalitas fisik sejak lahir dan keterbatasan dalam pengendalian sensori motor. Sebagian besar dimasukan dalam institusi penampungan dan membutuhkan bantuan dan supervise terus-menerus. Orang dewasa yang mengalami retardasi mental parah dapat berperilaku ramah, namun biasanya hanya dapat berkomunikasi secara singkat dilevel yang sangat konkret. Mereka hanya dapat melakukan sedikit aktivitas secara mandiri dan sering kali terlihat lesu karena kerusakan otak mereka yang parah menjadikan mereka relatif pasif dan kondisi kehidupan mereka hanya memberikan sedikit stimulasi. Mereka mampu melakukan pekerjaan yang sangat sederhana dengan supervisi terus-menerus. d. Retardasi Mental Sangat Berat (IQ dibawah 20-25). Hanya 1 hingga 2 persen dari mereka yang mengalami retardasi mental yang masuk dalam kelompok retardasi mental sangat berat yang membutuhkan supervisi total dan seringkali harus diasuh sepanjang hidup mereka. Sebagian besar memiliki abnormalitas fisik berat serta kerusakan neurologis dan tidak dapat berjalan sendiri kemanapun. Tingkat kematian dimasa kanak-kanak pada orang-orang yang mengalami retardasi mental sangat berat sangat tinggi. 4.
Penyebab Retardasi Mental a. Faktor Prenatal Penggunaan berat alkohol pada perempuan hamil dapat menimbulkan gangguan pada anak yang mereka lahirkan yang disebut dengan fetal alcohol syndrome. Faktor-faktor prenatal lain yang memproduksi retardasi mental adalah ibu hamil yang
33 menggunakan bahan-bahan kimia, dan nutrisi yang buruk. (Durand, 2007). Penyakit ibu yang juga menyebabkan retardasi mental adalah sifilis, cytomegalovirus, dan herpes genital. Komplikasi kelahiran, seperti kekurangan oksigen dan cidera kepala, menempatkan anak pada resiko lebih besar terhadap gangguan retardasi mental. Kelahiran prematur juga menimbulkan resiko retardasi mental dan gangguan perkembangan lainnya. Infeksi otak, seperti encephalitis dan meningitis juga dapat menyebabkan retardasi mental. Anak-anak yang terkena racun, seperti cat yang mengandung timah, juga dapat terkena retardasi mental (Nevid, 2003). b. Faktor Psikososial Seperti lingkungan rumah atau sosial yang miskin, yaitu yang tidak memberikan stimulasi intelektual, penelantaran, atau kekerasan dari orang tua dapat menjadi penyebab atau memberi kontribusi dalam perkembangan retardasi mental (Nevid, 2002). Anak-anak dalam keluarga yang miskin mungkin kekurangan mainan, buku, atau kesempatan untuk berinteraksi dengan orang dewasa melalui c ara-cara yang menstimulasi secara intelektual akibatnya mereka gagal mengembangkan keterampilan bahasa yang tepat atau menjadi tidak termotivasi untuk belajar keterampilan-keterampilan yang penting dalam masyarakat kontemporer. Beban-beban ekonomi seperti keharusan memiliki lebih dari satu pekerjaan dapat menghambat orang tua untuk meluangkan waktu membacakan buku anak-anak, mengobrol panjang lebar, dan memperkenalkan mereka pada permainan
34 kreatif. Lingkaran kemiskinan dan buruknya perkembangan intelektual dapat berulang dari generasi ke generasi (Nevid, 2002). Kasus yang berhubungan dengan aspek psikososial disebut sebagai retardasi budaya-keluarga (cultural-familial retardation). Pengaruh kebudayaan yang mungkin memberikan kontribusi terhadap gangguan ini termasuk penganiayaan, penelantaran, dan deprivasi sosial (Durand, 2007). c. Faktor Biologis 1. Pengaruh genetik Kebanyakan peneliti percaya bahwa di samping pengaruh-pengaruh lingkungan, penderita retardasi mental mungkin dipengaruhi oleh gangguan gen majemuk. Salah satu gangguan gen dominan yang disebut tuberous sclerosis, yang relatif jarang, muncul pada 1 diantara 30.000 kelahiran. Sekitar 60% penderita gangguan ini memiliki retardasi mental.
Phenyltokeltonuria
(PKU)
merupakan gangguan genetis yang terjadi pada 1 diantara 10.000 kelahiran. Gangguan ini disebabkan metabolisme asam amino Phenylalanine yang terdapat pada banyak makanan. Asam Phenylpyruvic, menumpuk dalam tubuh menyebabkan kerusakan pada sistem saraf pusat yang mengakibatkan retardasi mental dan gangguan emosional. 2. Pengaruh kromosomal Jumlah kromosom dalam sel-sel manusia yang berjumlah 46 baru diketahui 50 tahun yang lalu. Tiga tahun berikutnya, para peneliti menemukan bahwa penderita Down
35 Syndrome memiliki sebuah kromosom kecil tambahan. Semenjak itu sejumlah penyimpangan kromosom lain menimbulkan retardasi mental telah teridentifikasi yaitu Down syndrome dan Fragile X syndrome. 5.
Prevalansi Retardasi Mental Retardasi mental yang diakibatkan oleh abnormalitas genetis, menyebabkan retardasi mental pada 1000-1500 pria dan hambatan mental pada setiap 2000-2500 perempuan. Perempuan biasanya memiliki dua kromosom X sementara laki-laki hanya satu. Pada perempuan, memiliki dua kromosom X tampaknya memberikan perlindungan dari gangguan ini, bila kerusakan terjadi pada salah satunya. Hal ini dapat menjelaskan mengapa gangguan ini umumnya akan berdampak akan lebih parah pada laki-laki dari pada perempuan (Angier, 1991). Kira-kira 90% penyandang retardasi mental termasuk kategori retardasi mental ringan (IQ 50-70), dan mempresentasikan 1% sampai 3% dari populasi secara umum. Prevalensi retardasi mental sekitar 1 % dalam satu populasi. Di Indonesia 1-3 % penduduknya menderita kelainan ini. Insidennya sulit diketahui karena retardasi mental kadang-kadang tidak dikenali sampai anak-anak usia pertengahan dimana retardasinya masih dalam taraf ringan. Insiden tertinggi pada masa anak sekolah dengan puncak umur 10 sampai 14 tahun. Retardasi mental mengenai 1,5 kali lebih banyak pada laki-laki dibandingkan dengan perempuan.
D.
Ibu dengan Anak Retardasi Mental Kehadiran anak yang menderita retardasi mental biasanya menimbulkan efek atau reaksi tertentu di lingkungan keluarga.
36 Menurut Kenney (Hutt, 1976) seorang ibu yang mempunyai anak yang retardasi mental cenderung kurang dewasa dan perkembangan egonya berada pada tingkat bawah, hal ini disebabkan karena mereka tidak mampu menerima kondisi anak mereka yang mengalami retardasi mental. Kondisi yang seperti ini yang dapat menyebabkan stres. Floyd & Zmich (1991) dalam penelitiannya mengatakan ibuibu yang memiliki anak retardasi mental biasanya bersikap negatif pada diri dan pasangannya. Perasaan yang dirasakan ibu lebih pada menyalahkan diri sendiri dan pasangan sebagai penyebab kecacatan anaknya. Selain itu problem yang dihadapi ibu yang memiliki anak cacat mental adalah stres yang berkaitan dengan pengasuhan anak, keterbatasan kecerdasan anak dan masa depan anak itu sendiri. Menurut Smith (1997) ada enam perasaan yang biasanya dialami ibu-ibu yang memiliki anak dengan gangguan khusus yang salah satunya adalah anak retardasi mental yaitu : 1.
Penyangkalan Biasanya ibu tidak mampu menghadapi apa yang terjadi pada anaknya. Seorang ibu selalu berfikir apa yang terbaik buat anaknya, tetapi kenyataan yang harus dihadapi tidak dapat dikuasai dengan baik.
2.
Takut Ibu merasa sangat takut dengan kondisi anaknya yang tidak berkembang seperti anak seusianya. Bagaimana masa depan anak, penerimaan keluarganya atau kemandirian anak setelah beberapa tahun yang akan datang. Ketakutan ini terus berkembang, dan kadang disebabkan sulitnya penanganan anak dengan kebutuhan khusus.
37 3.
Rasa bersalah Biasanya ibu diselimuti oleh perasaan bersalah dengan kehadiran anak tidak sesuai dengan harapan. Sebagian ibu ada yang merasa bahwa gangguan itu disebabkan oleh kesalahan dirinya, kekurang hati-hatiannya pada saat kehamilan.
4.
Kebingungan Sebagai orangtua khususnya ibu merasa bahwa tugas yang dihadapi akan semakin berat dengan lahirnya anak yang tidak berkembang dengan normal. Pikiran negative yang muncul menyangkut pengasuhan dan pendidikan anak menjadikan seorang ibu bingung apa yang harus dikerjakan.
5.
Putus asa Pada saat orangtua mengerti bahwa anak yang lahir tidak sesuai dengan yang diharapkan, mereka merasa putus asa, putus harapan atau bahkan tidak dapat berbuat apa-apa.
6.
Kekecewaan Bagi sebagian orangtua kekecewaan yang mendalam dapat berubah kadang sampai pada taraf keinginan untuk membunuh anak
atau
menyingkirkan
dari
keluarganya.
Jadi
dapat
disimpulkan bahwa kondisi yang dialami ibu-ibu pada umumnya ketika mempunyai anak yang mengalami retardasi mental adalah sedih, kecewa, menyangkal atau menolak mempunyai anak yang mengalami cacat mental bahkan berputus asa. Kondisi yang dialami ibu-ibu tersebut merupakan salah satu pemicu timbulnya stres.
38 B. Hubungan antara Religiusitas dengan Resiliensi Ibu yang Mempunyai Anak Retardasi Mental Beberapa literatur yang membahas mengenai adaptasi ibu yang memiliki anak dengan kondisi retardasi mental menjelaskan mengenai pentingnya peranan institusi yang melayani bidang ini, mengetahui bagaimana tingkat religiusitas dan ketahanannya, baik secara umum maupun melalui respek bahwa setiap ibu memiliki entitas yang unik. Peneliti mencatat pentingnya memahami pandangan seorang ibu akan kepercayaan religiusitas, memenuhi kebutuhan utama dari hari ke hari, adanya proses saling berbagi antara anggota keluarga lainya, merupakan cara untuk mengkonstruksi atau merepresentasikan sebuah realitas (Walsh, 2003). Kepercayaan ini dapat membuat ibu beradaptasi terhadap situasi kehidupan, menjalani hidup dengan bermakna, dan mengkoordinasikan pola interaksi dan rutinitas pada setiap anggota keluarga. Religiusitas merefleksikan pandangan ibu mengenai situasi yang dihadapi atau pandangan mereka mengenai dunia, hal ini merupakan
dasar
atau
prinsip
untuk
mengroganisasikan
kehidupannya, dan menunjukan aktivitas peran yang penting bagi figurnya sebagai seorang ibu. Begitupun dengan resiliensi yang dimiliki seorang ibu dalam sebuah kondisi krisis, selalu menyediakan adanya harapan dan optimisme dalam menghadapi masa-masa sulit dalam kehidupan, kebutuhan dalam memaknai hidup, dan sebagai motivasi dalam hidup. Kemampuan ibu dalam memberikan makna yang positif terhadap suatu peristiwa dapat menjadi faktor yang dapat
39 meningkatkan resiliensi dalam keluarga (Patterson dan Blum, dalam King, dkk, 2009). Ada fakta yang mengatakan bahwa religiusitas dalam keluarga menjadi kunci dari proses yang terkait dengan resiliensi. Resiliensi merupakan kemampuan untuk dapat menentukan prioritas. Prioritas tersebut terkait dengan kemampuan untuk mengorganisasikan rutinitas yang harus sesuai dengan kebutuhan. Penelitian menyatakan bahwa pengalaman ibu yang memiliki anak
dengan
kondisi
retardasi
mental,
biasanya
memiliki
pengetahuan yang sedikit mengenai bagaimana dia beradaptasi dengan kondisi tersebut. Selain itu, pengalaman ibu dalam membesarkan
anak
dengan
kondisi
retardasi
mental
dapat
memberikan insight, yaitu kemampuan untuk memahami dan memberi arti pada situasi, orang-orang yang ada di sekitar, dan nuansa verbal maupun nonverbal dalam komunikasi (Virtiara, 2011). Ibu dapat menyadari setiap religiusitas yang dimiliki dalam dirinya dan membantu mereka untuk memahami hal-hal yang terjadi pada anak mereka. Mereka menjadi lebih dapat menerima kehadiran anak dan memahami kondisi anak, yang kemudian penerimaan diri ini akan berpengaruh pada tingkat ketahanan (resiliensi) yang dimiliki ibu dalam mengasuh anaknya dengan kondisi anak yang tidak normal. Oleh karena itu, terlihat jelas bahwa resiliensi sangat terkait dengan pemahaman religiusitas yang diadopsi. Religiusitas tersebut membantu untuk menentukan ketahanan seorang ibu dalam menghadapi masa-masa sulit. Hal ini dikarenakan religiusitas merupakan sebagai landasan utama bagi individu khususnya ibu pada anak retardasi mental untuk menemukan ketenangan diri dan batin
40 dalam situasi yang sulit, yang kemudian dimana ketenangan diri dan batin ini dapat memunculkan suatu bentuk ketahanan diri (resiliensi) dalam diri ibu ditengah keadaannya yang krisis. C.
Hipotesis Berdasarkan teori yang dikemukan diatas, maka penelitian ini diajukan hipotesis: Ada hubungan positif antara religiusitas dengan resiliensi pada ibu yang memiliki anak retardasi mental. Semakin tinggi religiusitas maka semakin tinggi resiliensi ibu yang memiliki anak retardasi mental. Semakin rendah religiusitas maka semakin rendah resiliensi pada ibu yang memiliki anak retardasi mental.