D3 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 UMUM
2.1.1
Menurut UUD No. 38 (2004) tentang jalan, jalan merupakan :
Pengertian Jalan Tol
prasarana transportasi darat yang meliputi segala bagian jalan, termasuk
bangunan pelengkap dan perlengkapannya yang diperuntukkan bagi lalu lintas, yang berada pada permukaan tanah, di atas permukaan tanah, di bawah permukaan tanah dan/atau air, serta di atas permukaan air, kecuali jalan kereta api, jalan lori, dan jalan kabel.
Berdasarkan peruntukannya terdapat beberapa jenis jalan, salah satunya adalah jalan tol. Jalan tol adalah jalan umum yang merupakan bagian sistem jaringan jalan, dan sebagai jalan nasional untuk lalu lintas menerus dengan pengendalian jalan masuk secara penuh dan tanpa adanya persimpangan sebidang serta dilengkapi dengan pagar ruang milik jalan yang penggunanya diwajibkan membayar tol. Berdasarkan PP No.15 (2005) dalam mendesain jalan tol terdapat beberapa syarat perencanaan, diantaranya : 1. Jalan tol mempunyai tingkat pelayanan keamanan dan kenyamanan yang lebih tinggi dibandingkan dengan jalan umum. 2. Jalan tol yang digunakan untuk lalu lintas antar kota didesain berdasarkan kecepatan rencana minimum 80 km/jam dan untuk jalan tol dalam kota 60 km/jam. 3. Jalan tol didesain untuk mampu menahan muatan sumbu terberat (MST) paling rendah 8 ton. Selain syarat dalam perencanaan jalan tol, jalan tol juga harus mempunyai spesifikasi teknis. Spesifikasi teknis dalam perencanaan jalan tol diantaranya : 1. Tidak ada persimpangan sebidang dengan ruas jalan lain atau dengan prasarana transportasi lainnya. 2. Jarak antar simpang susun, paling rendah 5 km untuk jalan tol luar perkotaan dan paling rendah 2 km untuk jalan tol dalam perkotaan. 3. Jumlah lajur sekurang-kurangnya 2 lajur per arah. Dian Aulia, Sindy Dwi Yuliani, Perancangan Peningkatan Struktur …. II-1
D3 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
4. harus dapat dipergunakan sebagai jalan lalu lintas sementara dalam keadaan darurat. Menggunakan pemisah tengah atau median dan lebar bahu jalan
sebelah luar
2.1.2
Pelayanan Jalan Tol Pemeliharaan jalan tol merupakan upaya yang dilakukan BPJT (Badan
Pengelola Jalan Tol) guna mempertahankan, memulihkan atau meningkatkan
kondisi jalan agar tetap dalam batas-batas standar pelayanan minimal jalan tol. Berdasarkan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 392 (2005) Standar
Pelayanan Minimal (SMP) jalan tol adalah ukuran yang harus dicapai dalam pelaksanaan penyelenggaraan jalan tol yang meliputi substansi pelayanan: 1. Kondisi jalan tol; 2. Kecepatan tempuh rata-rata, untuk jalan tol dalam kota kecepatan tempuh rata-rata yaitu ≥ 1,6 kali kecepatan tempuh rata-rata jalan non tol, dan untuk jalan tol luar kota kecepatan tempuh rata-rata ≥ 1,8 kali kecepatan tempuh rata-rata jalan non tol. 3. Aksessibilitas; 4. Mobilitas; 5. Keselamatan; 6. Unit pertolongan/penyelamatan dan bantuan pelayanan. Dalam penambahan sebuah lajur pada jalan tol, dapat mempertimbangkan standar pelayanan minimal dengan substansi kecepatan tempuh rata-rata. Apabila dari kecepatan tempuh rata-rata sebuah ruas tidak memenuhi standar minimal maka perlu dilakukan pengkajian ulang terhadap kinerja ruas jalan tersebut agar dapat memenuhi standar pelayanan minimal jalan tol. 2.2 LALU LINTAS Arus lalu lintas sangat diperlukan baik dalam menghitung kinerja sebuah jalan atau menghitung perkerasan sebuah jalan. Analisis arus lalu lintas diperlukan agar memperoleh data-data penunjang dalam menghitung kinerja sebuah jalan dan tebal perkerasan jalan. Data-data penunjang yang dimaksud adalah sebagai berikut: Dian Aulia, Sindy Dwi Yuliani, Perancangan Peningkatan Struktur …. II-2
D3 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
Jumlah kendaraan yang memakai jalan Jumlah tiap jenis kendaraan
Konfigurasi sumbu dari tiap kendaraan Beban tiap sumbu kendaraan
Faktor pertumbuhan lalu lintas Jenis kendaraan yang melintasi sebuah jalan sangat beraneka ragam dan
bervariasi baik dari ukuran kendaraan, berat total kendaraan, konfigurasi dan
beban sumbu kendaraan. Dalam menganalisis arus lalu lintas yang melintas di
jalan tol, data arus yang diperoleh dari PT Jasa Marga berupa data arus yang
digolongkan berdasarkan tarif tol. Berikut merupakan golongan kendaraan menurut PT Jasa Marga : GOLONGAN
Sumber : www.jasamarga.com
Gambar 2.1 Golongan Jenis Kendaraan Berdasarkan PT.Jasa Marga
Keterangan: Golongan I
: Sedan, Jip, Pick up, Bus
Golongan II
: 1,2 Heavy Truck dan 1,2 Large Truck
Golongan II
: 1,22 Truck
Golongan IV : 1.2+2.2 Truck gandeng dan 1,2-22 Trailer Golongan V
: 1,22+222 Trailer
Berdasarkan standar Bina Marga, terdapat 3 jenis konfigurasi dan nilai ekuivalen sumbu roda kendaraan berdasarkan Muatan Sumbu Terberat (MST) diantaranya MST 8, MST 10 dan MST 12 (Lampiran 1) . Tabel dibawah ini akan menjelaskan mengenai pergolongan jenis kendaraan dan beban sumbu tiap golongan kendaraan.
Dian Aulia, Sindy Dwi Yuliani, Perancangan Peningkatan Struktur …. II-3
D3 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
2.1 Pergolongan Jenis Kendaraan Dan Beban Sumbu Tiap Golongan Tabel
Sumber : Jasa Marga, Bina Marga dan MKJI 1997
Dian Aulia, Sindy Dwi Yuliani, Perancangan Peningkatan Struktur …. II-4
D3 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
Akibat dari semakin berkembangnya sebuah daerah, maka tingkat pertumbuhan kendaraan di daerah tersebut semakin lama semakin meningkat.
Sehingga angka pertumbuhan kendaraan perlu dihitung untuk mengetahui pertumbuhan volume lalu lintas yang melewati jalan tersebut dimasa yang akan
datang. Angka pertumbuhan dapat dihitung dengan menggunakan persamaan dibawah ini : –
.....................Persamaan 2.1
Dimana :
= angka pertumbuhan (%) LHR1 = LHR tahun sesudah LHR2 = LHR tahun sebelum 2.3 KINERJA JALAN Tingkat kinerja jalan berdasarkan Manual Kapasitas Jalan Indonesia/MKJI (1997) adalah ”ukuran kuantitatif yang menerangkan kondisi operasional”. Nilai kuantitatif dinyatakan dalam kapasitas, derajat kejenuhan dan lain-lain. Ukuran kualitatif yang menerangkan kondisi operasional dalam arus lalu lintas dan persepsi pengemudi tentang kualitas berkendaraan dinyatakan dengan tingkat pelayanan jalan. 2.3.1
Arus Lalu Lintas Manual Kapasitas Jalan Indonesia (1997) menjelaskan “nilai arus lalu
lintas (Q) mencerminkan komposisi lalu lintas”. Perhitungan arus total kendaraan didasarkan rumus dibawah ini : Q = Qkend x emp .....................Persamaan 2.2 dimana: Qkend = Arus (kendaraan/jam) emp
= Faktor untuk mengubah arus dari kendaraan/jam menjadi smp/jam Data arus kendaraan yang digunakan dalam perhitungan arus lalu lintas
(Q) dapat berupa nilai Lalu Lintas Harian Rata-rata (LHR) atau data arus lalu Dian Aulia, Sindy Dwi Yuliani, Perancangan Peningkatan Struktur …. II-5
D3 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
lintas berdasarkan hasil traffic counting di lapangan. Apabila data masukan yang didapat yaitu berupa LHR, maka untuk mengkonversi dari LHR menjadi
kendaraan perjam, dapat menggunakan rumus dibawah ini : .....................Persamaan 2.3
dimana : LHR
= jumlah lalu lintas kendaraan perhari
k
= rasio antara arus jam rencana dan LHR;
“nilai k berkisar antara 6-15%“ (Iskandar,TT) Dalam jurnal Surandono (2011) menjelaskan “ekuivalen mobil penumpang
(emp) adalah suatu angka yang digunakan untuk mengkonversi kendaraan berat dan sepeda motor ke suatu kendaraan penumpang standar (kendaraan ringan)”. Nilai konversi atau emp untuk kendaraan Menengah Berat (MHV), Bus Besar (LB), Truk Besar (LT) pada jalan bebas hambatan ke dalam kendaraan penumpang standar, dapat menggunakan tabel dibawah ini : Tabel 2.2 Emp untuk Jalan Bebas Hambatan Terbagi Dua-Arah-Empat-Lajur (MW 4/2 UD)
Tipe Alinyemen Datar
Bukit
Gunung
Total Arus (kend/jam) 0 1.250 2.250 ≥ 2800 0 900 1.700 ≥ 2.250 0 700 1.450 ≥ 2.000
MHV 1,2 1,4 1,6 1,3 1,5 2,0 2,2 1,8 3,2 2,0 2,0 2,0
Sumber : MKJI Jalan Bebas Hambatan 1997 hal.7-33
emp LB 1,2 1,4 1,7 1,5 1,6 2,0 2,0 1,9 2,2 2,6 2,9 2,4
LT 1,6 2,0 2,5 2,0 4,8 4,6 4,3 3,5 5,5 5,1 4,8 3,8
Dian Aulia, Sindy Dwi Yuliani, Perancangan Peningkatan Struktur …. II-6
D3 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG Tabel 2.3 Emp untuk Jalan Bebas Hambatan Terbagi Dua-Arah-Enam-Lajur (MW 6/2 UD)
Tipe Alinyemen
Datar
Bukit
Gunung
Total Arus (kend/jam) 0 1.900 3.400 ≥ 4.150 0 1.450 2.600 ≥ 3.300 0 1.150 2.150 ≥ 3.000
MHV 1,2 1,4 1,6 1,3 1,8 2,0 2,2 1,8 3,2 2,9 2,6 2,0
Sumber : MKJI Jalan Bebas Hambatan 1997 hal 7-36
2.3.2
emp LB 1,2 1,4 1,7 1,5 1,6 2,0 2,3 1,9 2,2 2,6 2,9 2,4
LT 1,6 2,0 2,5 2,0 4,8 4,6 4,3 3,5 5,5 5,1 4,8 3,8
Kapasitas Jalan Menurut Leihitu (2012) kapasitas merupakan “arus lalu lintas maksimum
yang melewati suatu titik jalan yang dapat dipertahankan pada suatu bagian jalan dalam kondisi tertentu”. Sedangkan MKJI (1997) mendefinisikan “kapasitas jalan bebas hambatan sebagai arus maksimum yang melewati suatu titik pada jalan bebas hambatan yang dapat dipertahankan persatuan jam dalam kondisi yang berlaku”. Jadi kapasitas merupakan keadaan dimana arus lalu lintas pada kondisi maksimum yang melalui suatu titik jalan. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi kapasitas jalan antara lain: 1. Faktor jalan, seperti lebar lajur, kebebasan lateral, bahu jalan, ada median atau tidak, kondisi permukaan jalan, alinyemen, kelandaian jalan, trotoar dan lainlain. 2. Faktor lalu lintas, seperti komposisi lalu lintas, volume, distribusi lajur, dan gangguan lalu lintas, adanya kendaraan tidak bermotor, gangguan samping, dan lain - lain. 3. Faktor lingkungan, seperti misalnya pejalan kaki, pengendara sepeda, binatang yang menyeberang, dan lain-lain. Dian Aulia, Sindy Dwi Yuliani, Perancangan Peningkatan Struktur …. II-7
D3 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
Persamaan umum untuk menghitung Kapasitas berdasarkan MKJI (1997) untuk jalan bebas hambatan adalah sebagai berikut :
C = Co x FCW x FCSP .....................Persamaan 2.4 dimana :
C
= kapasitas ruas jalan (smp/jam)
Co
= kapasitas dasar (smp/jam), berdasarkan tipe jalan.
FCw
= faktor penyesuaian lebar jalan bebas hambatan, berdasarkan pada lebar efektif jalur lalu lintas.
= faktor penyesuaian pemisahan arah. FCSP
Parameter-parameter dalam menghitung kapasitas jalan didasarkan berdasarkan Manual Kapasitas Jalan Indonesia Jalan Bebas Hambatan tahun 1997. Kapasitas dasar (Co) dapat ditentukan berdasarkan tipe alinyemen jalan bebas hambatan yang ada pada Tabel 2.4. Tabel 2.4 Kapasitas Jalan Bebas Hambatan Terbagi
Tipe jalan bebas hambatan/ Tipe Alinyemen Empat dan enam-lajur terbagi - Datar - Bukit - Gunung
Kapasitas Dasar (smp/jam/lajur)
Sumber : MKJI Jalan Bebas Hambatan 1997 hal 7-47
2300 2250 2150
Faktor koreksi dalam menghitung kapasitas sebuah jalan bebas hambatan terdiri dari Faktor Penyesuaian Kapasitas Akibat Lebar Jalur Lalu Lintas (FC W) dan Faktor Penyesuaian Kapasitasas Akibat Pemisah Arah (FCSP). Dalam menentukan faktor koreksi FCW lebar efektif jalur lalu lintas yaitu lebar badan jalan atau lebar jalan tanpa bahu. Maka setelah diketahui hal-hal tersebut faktorfaktor koreksi tersebut dapat ditentukan berdasarka Tabel 2.5 dan Tabel 2.6.
Dian Aulia, Sindy Dwi Yuliani, Perancangan Peningkatan Struktur …. II-8
D3 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG Tabel 2.5 Faktor Penyesuaian Kapasitas Akibat Lebar Jalur Lalu Lintas Jalan Tol (FCW)
Tipe jalan bebas hambatan
Empat lajur terbai Enam lajur terbagi
Dua lajur tak terbagi
Lebar efektif jalur lalu lintas Wc (m) Perlajur 3,25 3,50 3,75
0,96 1,00 1,03
Total kedua arah
FCw
Sumber : MKJI Jalan Bebas Hambatan 1997 hal 7-48
6,5 7,0 7,5
0,96 1,00 1,04
Tabel 2.6 Faktor Penyesuaian Kapasitas Akibat Pemisah Arah (FCSP) untuk Jalan Bebas Hambatan Tak Terbagi
Pemisah arah SP %-% FCSP
50-50 1
55-45 0,97
60-40 0,94
65-35 0,91
70-30 0,88
Sumber : MKJI Jalan Bebas Hambatan 1997 hal 7-49
Khusus untuk faktor koreksi FCSP untuk jalan terbagi atau jalan yang terdapat median maka faktor pemisah arah adalah 1 (satu). (MKJI, 1997) 2.3.3
Derajat Kejenuhan Derajat kejenuhan atau Degree of Saturation (DS) didefinisikan sebagai
rasio arus terhadap kapasitas, yang digunakan sebagai faktor utama dalam penentuan tingkat kinerja ruas jalan (MKJI, 1997). Persamaan yang digunakan untuk menghitung nilai derajat kejenuhan adalah : DS = Q/C .....................Persamaan 2.5 dimana : DS
= Derajat kejenuhan
Q
= Arus lalu lintas (smp/jam)
C
= Kapasitas (smp/jam) “Nilai derajat kejenuhan dapat menunjukkan apakah segmen jalan tersebut
mempunyai masalah kapasitas atau tidak” (Leihitu, 2012). Nilai batas atas derajat kejenuhan adalah 0,75 sampai 0,8 (MKJI, 1997). Sedangkan berdasarkan Dian Aulia, Sindy Dwi Yuliani, Perancangan Peningkatan Struktur …. II-9
D3 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
Highway Capacity Manual (2000) nilai tingkat pelayanan sebuah jalan dapat di nilai berdasarkan derajat kejenuhannya, nilai pelayanan tersebut dapat dilihat pada
Tabel 2.7 dibawah ini : Tabel 2.7 Nilai Tingkat Pelayanan
D = V/C
Kecepatan Ideal (km/jam)
A
< 0,04
> 60
B
0,04 - 0,24
50 - 60
3
C
0,25 - 0,54
40 - 50
4
D
0,55 - 0,80
35 - 40
5
E
0,81 - 1,00
30 - 35
6
F
> 1,00
< 30
No 1 2
Tingkat Pelayanan
Sumber : Highway Capacity Manual (2000)
Kondisi/Keadaan Lalu Lintas Lalu Lintas lengang, kecepatan bebas Lalu Lintas agak ramai, kecepatan menurun Lalu lintas ramai, kecepatan terbatas Lalu lintas jenuh, kecepatan mulai rendah Lalu lintas mulai macet, kecepatan rendah Lalu Lintas macet, kecepatan rendah sekali
2.4 PERKERASAN JALAN “Perkerasan jalan adalah kontruksi yang dibangun di atas lapisan tanah dasar (subgrade), yang berfungsi untuk menopang beban lalu lintas” (Hendarsin, 2000). Umumnya terdapat dua jenis perkerasan jalan yaitu perkerasan lentur (flexible pavement) dan perkerasan kaku (rigid pavement). 2.4.1
Perkerasan Lentur Hendarsin (2000) menjelaskan terdapat beberapa karakteristik yang
dimiliki perkerasan lentur, diantaranya : Bersifat elastis jika menerima beban, sehingga memberi kenyamanan bagi pengguna jalan. Menggunakan bahan pengikat aspal Seluruh lapisan ikut menanggung beban. Penyebaran tegangan ke tanah dasar sedemikian, sehingga tidak merusak lapisan tanah subgrade.
Dian Aulia, Sindy Dwi Yuliani, Perancangan Peningkatan Struktur …. II-10
D3 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
Berikut lapisan-lapisan yang menyusun perkerasan lentur :
Gambar 2.2 Susunan lapisan perkerasan lentur
2.4.2 Perkerasan Kaku
Terdapat dua jenis perkarasan kaku diantaranya perkerasan beton semen
dan perkerasan kaku dengan permukaan aspal (Hendarsin, 2000). 1.
Perkerasan Beton Semen Perkerasan beton semen didefinisikan sebagai perkerasan yang memiliki
lapisan dasar beton dari portland cement. Komposisi perkerasan beton semen adalah sebagai berikut :
Gambar 2.3 Susunan lapisan perkerasan kaku
2.
Perkerasan Kaku Dengan Permukaan Aspal (Komposit) Perkerasan kaku dengan permukaan aspal adalah salah satu dari
perkerasan komposit. Perkerasan kaku memiliki kelebihan dari segi kekuatannya sedangkan perkerasan lentur memiliki kelebihan dari segi kenyamanan pengguna jalan. Sehingga saat ini penggunaan perkerasan komposit lebih banyak digunakan khususnya pada jalan tol. Hal ini dikarenakan, dengan perkerasan komposit maka struktur perkerasan dapat lebih kuat dan tingkat kenyamanan pengguna jalan tol pun dapat tercapai.
Dian Aulia, Sindy Dwi Yuliani, Perancangan Peningkatan Struktur …. II-11
D3 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
Susunan lapisan perkerasan komposit dapat dilihat pada gambar berikut ini:
Gambar 2.4 Susunan lapisan perkerasan komposit
2.5 PERENCANAAN PERKERASAN Dalam merencanakan sebuah kontruksi atau tebal lapis perkerasan jalan,
banyak metode yang dapat digunakan salah satunya yaitu metode AASHTO Guide for Design of Pavement Structures 1993. Hendarsin (2000) menjelaskan : pertimbangan yang harus diperhitungkan dalam perencanaan sebuah tebal perkerasan antara lain meliputi hal-hal sebagai berikut : 1. Pertimbangan kontruksi dan pemeliharaannya. 2. Pertimbangan lingkungan. 3. Evaluasi terhadap tanah dasar. 4. Material perkerasan. 5. Lalu lintas rencana. 2.5.1
Perencanaan Perkerasan Beton Semen Dalam menghitung tebal perkerasan beton semen berdasarkan AASHTO
Guide for Design of Pavement Structures (1993) dapat menggunakan formula sebagai berikut :
.....................Persamaan 2.6 dimana : W18
: Perkiraan nilai kumulatif ekuivalen beban kendaraan dari aplikasi ESAL (Equivalent Single Axle Load )
ZR
: Deviasi normal yang mewakili reliabilitas (R)
SO
: Gabungan kesalahan baku dari perkiraan beban lalu lintas dan Dian Aulia, Sindy Dwi Yuliani, Perancangan Peningkatan Struktur …. II-12
D3 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
kinerja perkerasan ΔPSI : Selisih indeks permukaan awal dan akhir S’c
Cd
: Faktor drainase
Ec
: Modulus elastisitas beton (psi)
J
: Load transfer coefficient
k DF
: Modulus Reaksi Tanah (psi)
: Modulus of Ruture (psi)
: Tebal perkerasan beton semen (inchi) Parameter-parameter yang dibutuhkan dalam perencanaan tebal perkerasan
beton semen (DF ) adalah sebagai berikut : 2.5.1.1 Beban Lalu Lintas Rosyidi (2007) menjelaskan “prosedur perencanaan untuk parameter lalu lintas
didasarkan
pada
kumulatif
Perhitungan untuk komulatif
beban
beban
sumbu
gandar
standar
standar
ekuivalen”.
selama
umur
rencana ini didasarkan pada konversi lalu lintas yang lewat terhadap beban gandar standar 8,16 kN dan mempertimbangkan umur rencana, volume lalu lintas, faktor distribusi lajur, serta faktor bangkitan lalu lintas (growth factor). .....................Persamaan 2.7 dimana : w18
= Komulatif beban sumbu standar selama umur rencana
m
= Jumlah masing-masing jenis kendaraan.
365
= Jumlah hari dalam satu tahun.
LEF
= Faktor ESAL (Angka Ekuivalen )
GF
= Faktor pertumbuhan
C
= Koefisien Distribusi Kendaraan.
Dian Aulia, Sindy Dwi Yuliani, Perancangan Peningkatan Struktur …. II-13
D3 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
1.
Faktor ESAL (LEF) Banyak metode dalam menghitung faktor ESAL atau angka ekuivalen
sumbu kendaraan baik dengan menggunakan metode AASHTO ataupun dengan metode NASRAA.
Dalam menghitung angka ekuivalen, AASHTO menjadikan perbandingan
umur perkerasan akibat beban lalu lintas standar sebasar 18 kips terhadap umur perkerasan akibat beban lalu lintas non standar. Besarnya angka ekuivalen
tergantung dari jenis sumbu, pelayanan akhir (pt), serta besarnya angka Structural Number (SN) untuk perkerasan lentur dan tebal perkerasan (D) untuk perkerasan
beton semen. Untuk menghitung faktor ESAL berdasarkan AASHTO (1993) maka dapat menggunakan rumus dibawah ini : .....................Persamaan 2.8 Sebelum menghitung faktor ESAL pada perkerasan beton semen nilai Wtx/Wt dihitung terlebih dahulu dengan menggunakan Persamaan 2.9 [
]
[
]
[
]
.....................Persamaan 2.9
dimana : Wt
= ekuivalen beban sumbu standar (selalu 18 kips)
Wtx
= ekuivalen beban sumbu yang di konversi hingga akhir waktu pelayanan.
Gt
= faktor perbandingan kehilangan tingkat pelayanan
L1
= beban sumbu standar (18 kips)
L2
= notasi konfigurasi sumbu standar (biasanya 1)
L1x
= beban sumbu yang akan dievaluasi
L2x
= notasi konfigurasi sumbu 1 : sumbu tunggal, 2 : sumbu ganda, 3 : sumbu tripel
β
= faktor desain dan variasi beban sumbu Nilai Gt merupakan fungsi logaritma dari perbandingan antara kehilangan
tingkat pelayanan dari po sampai pt. Nilai Gt untuk perkerasan beton semen dapat dihitung dengan persamaan sebagai berikut : .....................Persamaan 2.10 Dian Aulia, Sindy Dwi Yuliani, Perancangan Peningkatan Struktur …. II-14
D3 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
dimana : G pt
= faktor perbandingan kehilangan pelayanan
= indeks pelayanan (serviceability index) akhir (pt)
“Fungsi dari desain dan variasi beban sumbu kendaraan yang menyatakan
jumlah perkiraan banyaknya sumbu kendaran yang diperlukan sehingga perkerasan mencapai tingkat pelayanan dinyatakan dengan β” (Sutrisno,2011) . Faktor desain dan variasi beban sumbu dihitung berdasarkan jenis perkerasannya
untuk perkerasan beton semen dapat digunakan persamaan dibawah ini :
.....................Persamaan 2.11 Metode lain untuk menghitung angka ekuivalen beban sumbu kendaraan
salah satunya yaitu dengan metode NASRAA persamaan untuk mencari angka ekuivalen kendaraan dapat menggunakan persamaan-persamaan berikut ini : a. Angka ekuivalen sumbu tunggal roda tunggal. .....................Persamaan 2.12 b. Angka ekuivalen sumbu tunggal roda ganda. .....................Persamaan 2.13 c. Angka ekuivalen sumbu ganda roda ganda. .....................Persamaan 2.14 d. Angka ekuivalen sumbu triple roda ganda. .....................Persamaan 2.15
2.
Koefisien Distribusi Kendaraan “Besarnya koefisien distribusi kendaraan (C) didasarkan pada jenis
kendaraan, jumlah arah dan jumlah lajur” (Sutrisno, 2011). Besarnya koefisien distribusi kendaraan (DA) berdasarkan arah dapat dilihat berdasarkan Tabel 2.8 dibawah ini.
Dian Aulia, Sindy Dwi Yuliani, Perancangan Peningkatan Struktur …. II-15
D3 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG Tabel 2.8 Koefisien Distribusi Arah (DA)
Kendaraan Ringan *) 1 Arah 2 Arah 1 1 0,6 1,5 0,4 0,4 0,3 0,2 0,1
Jumlah Lajur 1 2 3 4 5 6
Sumber : SNI 1732-1989-F, 1987
Kendaraan Berat **) 1 Arah 2 Arah 1 1 0,7 0,5 0,5 0,475 0,45 0,425 0,4
*) Berat Total < 5 ton **) Berat Total ≥ 5 ton
Sedangkan untuk nilai distribusi kendaraan berdasarkan jumlah lajur dapat
menggunakan tabel berikut ini : Tabel 2.9 Koefisien Distribusi Lajur (DL)
Jumlah Lajur Tiap Arah 1 2 3 4 atau lebih
Sumber : AASHTO, 1993
3.
% 18-kips ESAL Desain 100 80-100 60-80 50-75
Faktor Pertumbuhan Untuk mengetahui pertumbuhan kendaraan yang akan datang, maka
diperlukan perhitungan dalam menentukan faktor pertumbuhan yang diuraikan pada persamaan 2.16. .....................Persamaan 2.16 dimana : g
= angka pertumbuhan (%)
n
= umur rencana (tahun)
2.5.1.2 Reliability dan Standard Normal Deviate Faktor penentu nilai Standart Normal Deviate (Zr) merupakan reliabilitas. Reliabilitas merupakan upaya untuk menyertakan derajat kepastian (degree of certainty) ke dalam proses perencanaan untuk menjamin bermacam-macam Dian Aulia, Sindy Dwi Yuliani, Perancangan Peningkatan Struktur …. II-16
D3 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
alternatif perencanaan akan bertahan selama selang waktu yang direncanakan (umur rencana). Dalam kata lain reliabilitas menggambarkan “Faktor Keamanan“,
dengan reliability yang tinggi menunjukkan bahwa struktur pavement akan memberikan kemungkinan perubahan atau kegagalan sedikit, namun reliabilitas
yang tinggi akan menghasilkan tebal perkerasan beton akan lebih tebal. Nilai reliabilitas didasarkan berdasarkan fungsi jalan seperti terlihat pada tabel dibawah ini :
Tabel 2.10 Tingkat Reliabilitas Berdasarkan Fungsi Jalan
Fungsi Jalan Jalan Tol Arteri Kolektor Lokal
Sumber : AASHTO, 1993 hal II-9
Tingkat Keandalan (R) Dalam Persen Urban Rural 85-99,9 80-99,9 80-99 75-95 80-95 75-75 50-80 50-80
Dalam persamaan desain perkerasan, level of reliabity (R) diakomodasi dengan parameter penyimpangan Standard Normal Deviate (Zr). Berdasarkan AASHTO Guide for Design of Pavement Structures 1993 nilai korelasi angka reliabilitas dengan Standard Normal Deviate dapat dilihat pada Tabel pada Lampiran 2. 2.5.1.3 Combine Standar Error (So) So adalah gabungan kesalahan baku dari perkiraan beban lalu lintas dn kinerja perkerasan jalan. Nilai Overall Standard Deviation (So) untuk perkerasan beton semen yang disarankan pada buku AASHTO guide for Design of Pavement Structures 1993, hal I-62 adalah berkisar antara 0,3 – 0,4. (AASHTO, 1993) 2.5.1.4 Innitial dan Terminal Serviceability Index (Po, Pt) Serviceability jalan didefinisikan sebagai kemampuan jalan untuk melayani lalu lintas yang memakai fasilitas tersebut. AASHTO (1993) dengan Road Testnya menyarankan “awal serviceability (Po) untuk perkerasan beton semen adalah sebesar 4,5”. Sedangkan untuk akhir serviceability (Pt) ditentukan berdasarkan : Dian Aulia, Sindy Dwi Yuliani, Perancangan Peningkatan Struktur …. II-17
D3 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
Pt = 2,5 jalan utama Pt = 2,0 jalan dengan lalu lintas rendah
Sehingga selisih indeks permukaan awal dan akhir dapat menggunakan rumus : = po - pt .....................Persamaan 2.17 ∆ PSI
2.5.1.5 Load Transfer Coefficient Load Transfer Coefficient (J) merupakan faktor yang digunakan dalam
desain
perkerasan
kaku
untuk
menghitung
kemampuan
pelat
beton
mendistribusikan beban yang melintas secara tidak menerus, seperti pada joint
atau crack. Nilai J dapat ditentukan berdasarkan tabel dibawah ini : Tabel 2.11 Koefisien Penyaluran Beban (J)
Bahu Penyaluran Beban 1. Beban bersambung tak bertulang dan bertulang 2. CRCP
Sumber : AASHTO, 1993 hal II – 26
Aspal
Tied P.C.C Ya Tidak
Ya
Tidak
3,2
3,8 - 4,4
2,5 - 3,1
3,6 - 4,2
2,9 - 3,2
N/A
2,3 - 2,9
N/A
Apabila dalam suatu perencanaan perkerasan jalan akan diadakan lapis tambah bila sudah mencapai ESAL sesuai umur rencana, maka AASHTO 1993 menyarankan nilai J yang digunakan berkisar antara 2,2 - 2,6. (AASHTO, 1993 : III-132) 2.5.1.6 Drainage Coefficient Koefisien drainase merupakan karakteristik dari kualitas sistem drainase dari lapisan subbase di bawah perkerasan beton. Semakin besar kofisien drainase menunjukkan bahwa sistem drainase makin baik. Sebelum menentukan nilai koefisien drainase menggunakan tabel yang tersedia pada
AASHTO
Guide for Design of Pavement Structures 1993,
diperlukan perhitungan persentase hari efektif hujan dalam setahun yang akan berpengaruh terkenanya perkerasan, dengan bersamaan dibawah ini : .....................Persamaan 2.18 dimana : Tjam = rata-rata hujan perhari (jam) Dian Aulia, Sindy Dwi Yuliani, Perancangan Peningkatan Struktur …. II-18
D3 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
Thari = rata-rata jumlah hari hujan pertahun (hari) WI
= faktor air hujan yang akan masuk ke pondasi jalan (%)
Apabila persentase hari efektif hujan dalam setahun telah diketahui, maka
nilai koefisien drainase dapat ditentukan berdasarkan Tabel 2.12 dan Tabel 2.13. Tabel 2.12 Kualitas Drainase
Kualitas Drainase
Baik Sekali Baik Cukup Buruk Buruk Sekali
Sumber : AASHTO, 1993 hal II – 22
Waktu yang dibutuhkan waktu mengeringkan 2 jam 1 hari 1 minggu 1 bulan air tidak terbebaskan
Tabel 2.13 Nilai Koefisien Drainase (Cd) untuk Desain Perkerasan Kaku
Kualitas Drainase Baik Sekali Baik Cukup Buruk Buruk Sekali
Persentase waktu perkerasan dalam kedaan lembab hingga jenuh < 1% 1-5% 5-25% 25% 1,25 - 1,20 1,2 - 1,15 1,15 -1,10 1,2 1,20 - 1,15 1,15 - 1,10 1,10 - 1,00 1 1,15 - 1,10 1,10 - 1,00 1,00 - 0,90 0,9 1,10 - 1,00 1,00 - 0,90 0,90 - 0,80 0,8 1,00-0,90 0,90 -,80 0,80 - 0,70 0,7
Sumber : AASHTO, 1993 hal II – 26
2.5.1.7 Concrete Elastic Modulus Persamaan desain AASHTO (1993) memerlukan harga dari modulus elastisitas beton, harga ini tergantung kepada jenis kekasarannya agregat. Harga Ec dapat dihitung dengan rumus : Ec = 57000 x (f’c )0.5 .....................Persamaan 2.19 dimana : Ec
= Modulus elastisitas beton (psi)
f’c
= kuat tekan beton (psi)
Dian Aulia, Sindy Dwi Yuliani, Perancangan Peningkatan Struktur …. II-19
D3 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
2.5.1.8 Concrete Modulus of Rupture, Sc’ Sc’ beton merupakan ukuran terhadap flexural strength dari beton yang
ditentukan berdasarkan tegangan tarik pada saat beton mulai retak. Nilai S’c dapat ditentukan berdasarkan persamaan berikut :
.....................Persamaan 2.20
2.5.1.9 Modulus Reaksi Tanah (k) untuk Perkerasan Kaku
Modulus ini merupakan ukuran kekakuan tanah dasar yang dinyatakan
dengan beban dalam pounds per cubic inch (pci). Dalam menghitung modulus
reaksi tanah dapat menggunakan rumus : k = (1500 x CBR) / 19,4 .....................Persamaan 2.21 dimana : k
= Modulus reaksi tanah
CBR
= California Bearing Ratio Harga k yang diperoleh harus dikoreksi terlebih dahulu terhadap
kehilangan daya dukung (Lose of Support, LS) akibat wet lean concrete (LC) yang berada diatas tanah dasar yang nantinya berfungsi sebagai lantai kerja dan struktur perkerasan.
Dian Aulia, Sindy Dwi Yuliani, Perancangan Peningkatan Struktur …. II-20
D3 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG Tabel 2.14 Nilai Loss of Support Berdasarkan Tipe Material
Tipe Material
Cement Treated Granular Base (E = 1,000,000 - 2,000,000 psi) Cement Aggregate Mixture (E = 500,000 - 1,000,000 psi) Asphalt Tretaed Base (E = 350,000 - 1,000,000 psi) Bituminous Stabilized Mixture (E = 40,000 - 300,000 psi) Lime Stabilized (E = 20,000 - 70,000 psi) Unbound Granular Materials (E = 15,000 - 45,000 psi) Fine Grained or Natural Subgrade Material (E = 3,000 - 40,000 psi)
Loss of Support (LS) 0,0 - 1,0 0,0 - 1,0 0,0 - 1,0 0,0 - 1,0 1,0 - 3,0 1,0 - 3,0 2,0 -3,0
Sumber : AASHTO, 1993 hal II-27
Pengoreksian harga k dilakukan dengan memplotkan nilai LS dan k yang diperoleh dari Persamaan 2.21 pada Gambar 2.5.
Sumber : AASHTO, 1993 hal II-42
Gambar 2.5 Grafik Hubungan Modulus of Subgrade dengan LS
Dian Aulia, Sindy Dwi Yuliani, Perancangan Peningkatan Struktur …. II-21
D3 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
2.5.2 Perencanaan Perkerasan Lentur Dalam menghitung tebal lapisan perkerasan lentur dapat digunakan
persamaan AASHTO Guide for Design of Pavement Structures (1993) sebagai berikut :
.....................Persamaan 2.22
dimana : SN
: Structural Number, nilai korelasi total suatu tebal perkerasan yang dibutuhkan.
MR
: Resilient modulus (psi) Untuk mengetahui tebal tiap lapisan dari perkerasan lentur, maka nilai
Structural Number (SN) yang diperoleh berdasarkan persamaan 2.22 kemudian dimasukan kedalam persamaan bertingkat berikut ini : SN
= a1.D1 + a2.D2.m2 + a3.D3.m3 .....................Persamaan 2.23
dimana : i
= 1,2,3 = lapisan permukaan, lapisan pondasi, lapisan pondasi bawah.
ai
= koefisien kekuatan relatif dari bahan lapisan perkerasan
Di
= tebal lapisan perkerasan
mi
= koefisien drainase Nilai koefisien kekuatan relatif (a) untuk masing-masing lapisan dapat
menggunakan tabel pada Lampiran 3. Parameter perencanaan pada perkerasan lentur sebagian besar sama dengan parameter perencanaan pada perkerasan kaku, berikut ini merupakan parameter-parameter yang berbeda dalam merencanakan perkerasan lentur adalah sebagai berikut : 2.5.2.1 Faktor ESAL (Angka Ekuivalen) Dalam menghitung Faktor ESAL pada perencanaan perkerasan lentur dapat menggunakan rumus pada Persamaan 2.8, dengan nilai Wtx/Wt dihitung berdasarkan persamaan dbawah ini. Dian Aulia, Sindy Dwi Yuliani, Perancangan Peningkatan Struktur …. II-22
D3 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
[
]
[
]
[
]
.....................Persamaan 2.23
Dan untuk nilai Gt dan β dapat dihitung dengan persamaan sebagai berikut :
....................Persamaan 2.24
....................Persamaan 2.25
2.5.2.2 Combine Standar Error (So)
Nilai Overall Standard Deviation So disarankan pada buku AASHTO
Guide for Design of Pavement Structures (1993) untuk perkerasan lentur adalah 0,4 – 0,5. (AASHTO, 1993 : I-62) 2.5.2.3 Innitial dan Terminal Serviceability Index (Po) AASHTO dengan Road Testnya menyarankan awal serviceability (Po) untuk perkerasan lentur sebesar 4,2. Dan akhir serviceability (Pt) ditentukan berdasarkan (ASSHTO,1993) : Pt = 2,5 jalan utama Pt = 2,0 jalan dengan lalu lintas rendah 2.5.2.4 Drainage Coefficient Untuk perkerasan lentur koefisien drainase dinyatakan dengan nilai m, dapat dilihat pada tabel dibawah ini : Tabel 2.15 Koefisien Drainase (M) untuk Memodifikasi Koefisien Kekuatan Relatif Material Untreated Base dan Subbase Pada Perkerasan Lentur.
Kualitas Drainase Baik Sekali Baik Cukup Buruk Buruk Sekali
Persentase waktu struktur perkerasan dipengaruhioleh kadar air yang mendekati jenuh < 1% 1-5% 5-25% >25% 1,40 - 1,30 1,35 -1,30 1,30 - 1,20 1,20 1,35 - 1,25 1,25 - 1,15 1,15 - 1,00 1,00 1,25 - 1,15 1,15 - 1,05 1,00 -0,80 0,80 1,15 - 1,05 1,05 - 0,80 0,80 - 0,60 0,60 1,05 - 0,95 0,80 - 0,75 0,60 - 0,40 0,40
Sumber : AASHTO, 1993 hal II – 25
Dian Aulia, Sindy Dwi Yuliani, Perancangan Peningkatan Struktur …. II-23
D3 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
2.5.2.5 Modulus Resilient ( MR ) Resilien Modulus adalah nilai hubungan dinamis antara tegangan dan
regangan. Dengan menggunakan persamaan dari Heukelom and Klomp (1962) korelasi antara nilai CBR Corps of Engineer dan nilai resilient modulus (MR)
dihitung seperti berikut : MR = 1500 x CBR .....................Persamaan 2.26 dimana : MR
CBR
= Modulus Resilient = California Bearing Ratio
2.5.3 Perencanaan Perkerasan Komposit Dalam merencanakan perkerasan komposit digunakan pendekatan desain lapis tambah perkerasan lentur diatas perkerasan beton semen (AASTHO,1993). Sehingga langkah awal yang dilakukan yaitu menghitung tebal perkerasan beton semen (DF) dengan menggunakan Persamaan 2.6. Kemudian setelah tebal perkerasan beton semen (DF) diperoleh, maka dapat dilakukan perhitungan tebal lapis tambah hotmix diatas perkerasan beton semen dengan menggunakan persamaan berikut ini: DOL
= A (DF – DEFF)
.....................Persamaan 2.27
A
= 2,2233 + 0,0099 (DF - DEFF)2 – 0,1534 (DF – DEFF) .........Persamaan 2.28
dimana : DOL
= Tebal lapis tambah (perkerasan lentur) (inchi)
DF
= Tebal perkerasan beton semen rencana (inchi)
DEFF
= Tebal perkerasan beton semen efektif (inchi)
A
= Faktor konversi perkerasan beton semen ke perkerasan lentur Berdasarkan AASHTO (1993) tebal pelat beton semen efektif dapat dicari
berdasarkan persamaan. DEFF
= Fjc x Fjur x Ffat x DF .....................Persamaan 2.29
dimana : DF
= Tebal lapis pelat beton rencana.
Fjc
= faktor retakan pada sambungan Dian Aulia, Sindy Dwi Yuliani, Perancangan Peningkatan Struktur …. II-24
D3 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
Fdur
= faktor durabilitas
Ffat
= faktor akibat fatik
Desain perkerasan komposit baru mempunyai DEFF sama dengan DF,
dengan asumsi bahwa perkerasan belum mengalami kerusakan sehingga nilai
faktor-faktor diatas adalah 1.
2.5.4 Perencanaan Lapis Tambah Perkerasan Beton Semen
Untuk menghitung tebal lapis tambah berupa perkerasan aspal beton di
atas perkerasan beton semen, maka tebal perkerasan beton semen tersebut harus
dievaluasi terlebih dahulu untuk menentukan tebal perkerasan beton semen efektif. Tebal efektif tersebut akan sangat tergantung pada kondisi perkerasannya, Tebal efektif beton dapat dihitung menggunakan Persamaan 2.29, dimana : DF
= Tebal lapis pelat beton eksisiting
Fjc
= faktor retakan pada sambungan
Fdur
= faktor durabilitas
Ffat
= faktor akibat fatik Untuk menentukan nilai Fjc dapat menggunakan Gambar 2.5. (jika
memperbaiki semua daerah yang memburuk sebelum lapis tambah nilai Fjc = 1)
Gambar 2.6 Faktor Retakan Pada Sambungan
Dian Aulia, Sindy Dwi Yuliani, Perancangan Peningkatan Struktur …. II-25
D3 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
Sedangkan untuk faktor durabilitas (Fdur) dan faktor akibat fatik (Ffat ) dapat ditentukan berdasarkan Tabel 2.16 dan Tabel 2.17.
Tabel 2.16 Faktor Durabilitas
Kondisi perkerasan
Fdur
Jika tidak ada masalah durabiitas retak
1
Sedikit retak tetapi tidak palling exists
0,96-0,99
Sedikit retak cracking dan beberapa serpihan terjadi
0,88-0,95
Retak Banyak dan cracking dan banyak serpihan yang terjadi
0,80-0,88
Sumber : AASHTO 1993, hal III-126
Tabel 2.17 Faktor Akibat Fatik
Kondisi perkerasan Jika sangat sedikit terjadi retak melintang Jika agak banyak terjadi retak melintang Jika sangat banyak terjadi retak melintang
Sumber : AASHTO 1993, hal III-126
Ffat 0,97-1,00 0,94-0,96 0,90-0,93
Tebal efektif perkerasan beton semen yang didapat kemudian dikonversi kedalam tebal perkerasan aspal beton. Nilai konversi dari perkerasan beton semen kedalam perkerasan aspal beton dapat dihitung berdasarkan pada Persamaan 2.28. Tebal perkerasan aspal beton tersebut akan digunakan untuk menentukan nilai kekuatan struktur dari perkerasan tersebut yang dinyatakan oleh nilai Structural Number. Penentuan nilai Structural Number dapat menggunakan persamaan dasar SN (Persamaan 2.23), sedangkan untuk menentukan besarnya koefisien kekuatan relatif dapat ditentukan berdasarkan tingkat kerusakan pada perkerasan aspal beton yang terpasang dengan menggunakan Tabel pada Lampiran 4. Nilai SN eksisiting jalan digunakan untuk mengetahui selisih antara SN eksisiting dengan nilai SN yang dibutuhkan saat umur rencana. Selisih tersebut digunakan untuk mengetahui nilai tebal lapis tambah yang diperlukan. 2.5.5 Nilai Structural Number Perkerasan Komposit Nilai Structural Number untuk perkerasan komposit (SNk) merupakan penjumlahan dari ketebalan lapisan dikalikan dengan koefisien kekuatan yang sesuai. Berdasarkan hasil studi Bureau of Design and Environtment persamaan Dian Aulia, Sindy Dwi Yuliani, Perancangan Peningkatan Struktur …. II-26
D3 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
berikut dapat digunakan untuk mengetahui Structural Number pada perkerasan komposit baru (Illinois, 2011).
SNk = 0.40 DS + 0,33 Df .....................Persamaan 2.30 dimana:
SNk
= Structural Number perkerasan komposit
Ds
= ketebalan HMA (inchi)
Df
= ketebalan lapis pondasi PCC baru (inchi)
2.6 ANALISIS SENSITIFITAS
Analisis sensitivitas merupakan “suatu analisis untuk dapat melihat pengaruh-pengaruh yang akan terjadi akibat keadaan yang berubah-ubah” (Departemen Agribisnis, 2011). Analisis ini membantu dalam menemukan unsur yang sangat menentukan hasil (critical elements), sehingga membantu perhatian orang pada variabel-variabel yang penting untuk memperbaiki perkiraan-perkiraan dan memperkecil ketidakpastian. Tujuan analisis sensitivitas diantaranya : a. menilai apa yang akan terjadi dengan hasil analisis kelayakan suatu kegiatan investasi atau bisnis apabila terjadi perubahan di dalam perhitungan. b. Analisis kelayakan suatu perhitungan umumnya didasarkan pada proyeksiproyeksi yang mengandung ketidakpastian tentang apa yg akan terjadi di waktu yang akan dating. c. Analisis yang digunakan untuk melihat apa yang akan terjadi dengan kondisi hasil analisa jika terjadi perubahan atau ketidaktepatan dalam perhitungan. Dalam analisis sensitivitas, “jika suatu perubahan kecil dalam parameter menyebabkan perubahan drastis dalam solusi, dikatakan bahwa solusi sangat sensitif terhadap nilai parameter tersebut. Sebaliknya, jika perubahan parameter tidak mempunyai pengaruh besar terhadap solusi dikatakan solusi relatif insensitif terhadap nilai parameter itu” (Hamid, 2012). Kadariah dkk, (1976) menyatakan : bahwa analisis sensitivitas dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu: a. Mengubah besarnya variabel-variabel penting, masing-masing terpisah, atau beberapa dalam kombinasi, dengan suatu persentase, dan Dian Aulia, Sindy Dwi Yuliani, Perancangan Peningkatan Struktur …. II-27
D3 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
menentukan berapa pekanya hasil perhitungan terhadap perubahanperubahan tersebut. b. Menentukan dengan berapa suatu variabel harus berubah untuk sampai ke hasil perhitungan yang membuktikan analisis tidak dapat diterima.
2.7 DRAINASE Perencanaan sistem drainase jalan didasarkan kepada keberadaan air permukaan dan bawah permukaan, sehingga perencanaan drainase jalan dibagi
menjadi dua yaitu drainase permukaan (surface drainage) dan drainase bawah permukaan (sub surface drainage).
Menurut Pd. T-02-2006-B (2006) “sistem drainase permukaan berfungsi untuk mengendalikan limpahan air hujan di permukaan jalan dan daerah sekitarnya agar tidak merusak konstruksi jalan”. Suatu sistem drainase permukaan jalan terdiri atas kemiringan melintang perkerasan dan bahu jalan, saluran samping jalan, draninase lereng dan gorong-gorong, sedangkan Hendarsin (2000:266) mengemukakan bahwa sarana drainase permukaan terdiri dari tiga jenis, yaitu: Saluran: o Saluran penangkap (catch ditch) o Saluran samping (side ditch) Gorong-gorong (culvert) Saluran alam (sungai) yang memotong jalan Menurut Pd. T-02-2006-B (2006) bahwa “drainase bawah permukaan (subdrain) merupakan sarana untuk mengalirkan air yang berada di bawah permukaan dari suatu tempat ke tempat lain, dengan tujuan melindungi bangunan yang berada diatasnya, seperti subgrade dan base agar tetap memiliki kandungan air yang diinginkan”. Bangunan drainase bawah permukaan terdiri atas saluran drainase samping jalan, saluran drainase bawah permukaan melintang, dan lapisan lulus air di bawah base.
Dian Aulia, Sindy Dwi Yuliani, Perancangan Peningkatan Struktur …. II-28
D3 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
2.7.1
Saluran Samping (Side Ditch) Saluran samping pada konstruksi perkerasan jalan berfungsi untuk
mengalirkan air limpasan yang berasal dari daerah tangkapan hujan, menuju sistem drainase permukaan lainnya seperti gorong-gorong. bagian
Dimensi saluran samping ditentukan berdasarkan kapasitas yang
diperlukan (debit saluran, Qs), yaitu harus dapat menampung besarnya debit aliran rencana (Qr) yang timbul akibat hujan pada daerah aliran, dengan melalui proses
perhitungan sehingga diperoleh nilai Qs ∞ Qr.
2.7.2
Parameter Perencanaan Dalam merencanakan saluran samping diperlukan parameter perencanaan
yang berhubungan langsung dengan kondisi di lapangan, adapun parameter yang dimaksud seperti dibahas berikut ini. 2.7.2.1 Gambaran Topografi Gambaran topografi atau kondisi sepanjang trase jalan pada daerah layanan diperlukan untuk menentukan bentuk dan kemiringan yang akan mempengaruhi pola aliran seperti kemiringan melintang perkerasan jalan dan bahu jalan (Tabel 18), serta kemiringan saluran memanjang berdasarkan jenis material (Tabel 19). Tabel 2.18 Kemiringan Melintang Perkerasan dan Bahu Jalan (Ix)
No. Jenis Lapisan Perkerasan Jalan 1 2 3 4
Aspal, beton Jalan yang dipadatkan Kerikil Tanah
Kemiringan melintang ix (%) 2-3 2-4 3-6 4-6
Sumber: Pd. T-02-2006-B Perencanaan Sistem Drainase Jalan
Tabel 2.19 Kemiringan Saluran Memanjang (is)
No. Jenis Material 1 2 3
Tanah asli Kerikil Pasangan
Kemiringan saluran is (%) 0-5 5-7,5 7,5
Sumber: Pd. T-02-2006-B Perencanaan Sistem Drainase Jalan
Dian Aulia, Sindy Dwi Yuliani, Perancangan Peningkatan Struktur …. II-29
D3 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
2.7.2.2 Data Eksisting Data eksisting sistem drainase yang telah ada meliputi lokasi, dimensi,
arah aliran pembuangan dan kondisi. Data ini perlu diketahui agar dapat menyesuaikan perencanaan dengan sistem drainase yang telah ada. Untuk
mengetahui kemiringan rute jalan atau lahan eksisting dapat dihitung dengan cara dibawah ini. .....................Persamaan 2.31
dimana :
ix = Kemiringan lahan eksisting (%) t1 = Tinggi tanah dibagian tertinggi (m). t2 = Tinggi tanah dibagian terendah (m). L = Panjang saluran (m) ix % t1(m) t2 (m) A
L (m)
Gambar 2.7 Kemiringan Lahan Eksisting
2.7.2.3 Panjang Segmen Saluran (L) Panjang segmen saluran (L) yang didasarkan pada kemiringan rute jalan dan tempat buangan air. 2.7.2.4 Luas Daerah Layanan (A) Luas daerah layanan atau daerah tangkapan (A) didasarkan pada panjang segmen jalan yang ditinjau. Luas daerah layanan terdiri atas luas setengah badan jalan (A1), luas bahu jalan (A2) dan luas daerah disekitar (A3). 2.7.2.5 Koefisien Pengaliran (C) Koefisien pengaliran (C) dipengaruhi kondisi permukaan tanah pada daerah layanan dan kemungkinan perubahan tata guna lahan. Angka ini seperti
Dian Aulia, Sindy Dwi Yuliani, Perancangan Peningkatan Struktur …. II-30
D3 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
terlihat pada Tabel 2.20 dibawah, akan mempengaruhi debit yang mengalir, sehingga dapat diperkirakan daya tampung saluran.
Tabel 2.20 Harga Koefisien Pengaliran C dan Harga Faktor Limpasan fk
No.
Kondisi Permukaan Tanah
1 2
3
1 2 3 4 5 6 7 8 9
Bahan Jalan beton & jalan aspal Jalan kerikil & jalan tanah Bahu jalan - Tanah berbutir halus - Tanah berbutir kasar - Batuan masif keras - Bantuan masif lunak Tata Guna Lahan Daerah perkotaan Daerah pinggir kota Daerah industry Permukiman padat Permukiman tidak padat Taman dan kebun Persawahan Perbukitan Pegunungan
Koefosien Pengaliran (C)
Faktor Limpasan (fk)
0,70-0,95 0,40-0,70
-
0,40 - 0,65 0,10 - 0,20 0,70 - 0,85 0,60 - 0,75
-
0,70 - 0,95 0,60 - 0,70 0,60 - 0,90 0,40 - 0,60 0,40 - 0,60 0,20 - 0,40 0,45 - 0,60 0,70 - 0,80 0,75 - 0,90
2,0 1,5 1,2 2,0 1,5 0,2 0,5 0,4 0,3
Sumber: Pd. T-02-2006-B Perencanaan Sistem Drainase Jalan
Keterangan: - Harga koefisien pengalian (C) untuk daerah datar diambil nilai C yang terkecil dan untuk daerah lereng diambil nilai C yang besar. - Harga Faktor limpasan (fk) hanya digunakan untuk tata guna lahan sekitar saluran selain bagian jalan. 2.7.2.6 Faktor Limpasan Faktor limpasan (fk) seperti pada Tabel 2.22 diatas merupakan faktor yang dikalikan dengan koefisien run off biasa dengan tujuan agar kinerja saluran tidak melebihi kapasitasnya akibat daerah pengaliran yang terlalu luas. Bila daerah pengaliran terdiri dari beberapa tipe kondisi permukaan yang mempunyai nilai C berbeda-beda maka diambil nilai rata-rata seperti pada persamaan di bawah ini: .....................Persamaan 2.32 Dian Aulia, Sindy Dwi Yuliani, Perancangan Peningkatan Struktur …. II-31
D3 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
dimana: C1, C2, C3,C4 = koefisien pengaliran yang sesuai dengan tipe kondisi permukaan
A1, A2, A3,A4 = luas daerah permukaan yang diperhitungkan sesuai dengan kondisi permukaan
fk = faktor limpasan sesuai tata guna lahan (Tabel 2.20) 2.7.2.7 Waktu Konsentrasi (Tc)
Waktu konsentrasi (Tc) adalah waktu terpanjang yang diperlukan oleh
seluruh daerah layanan untuk menyalurkan aliran air secara simultan. Intensitas
curah hujan maksimum (I) dapat diperkirakan dari besarnya waktu konsentrasi yang terjadi. Untuk menetukan waktu konsentrasi dapat digunakan beberapa persamaan di bawah ini. Tc
= t1 +t2
.....................Persamaan 2.33 √
.......................Persamaan 2.34 .......................Persamaan 2.35
dimana : Tc
= waktu konsentrasi (menit)
t1
= waktu untuk mencapai awal saluran dari titik terjauh (menit)
t2
= waktu aliran dalam saluran sepanjang L dari ujung saluran (menit)
lo
= jarak terjauh ke fasilitas drainase (m)
nd
= koefisien hambatan
is
= kemiringan saluran memanjang
V
= kecepatan air rata-rata pada saluran drainase (m/detik)
Untuk nilai koefisien hambatan (nd) dapat dilihat pada tabel dibawah ini:
Dian Aulia, Sindy Dwi Yuliani, Perancangan Peningkatan Struktur …. II-32
D3 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
No 1 2 3 4 5 6 7
Tabel 2.21 Harga Koefisien Hambatan
Kondisi lapis permukaan Lapisan semen dan aspal beton Permukaan licin dan kedap air Permukaan licin dan kokoh Tanah dgn rumput dan gundul dengan permukaan sedikit kasar Padang rumput dan rerumputan Hutan gundul Hutan rimbun dan hutan gundul rapat dengan hamparan rumput jarang sampai rapat
nd 0,013 0,020 0,100 0,200 0,400 0,600 0,800
Sumber: Pd. T-02-2006-B Perencanaan Sistem Drainase Jalan
2.7.2.8 Analisis Hidrologi Dalam mendesain drainase diperlukan analisis hidrologi dan hidrolika sehingga diperoleh dimensi yang sesuai. Kapasitas penyaluran dihitung berdasarkan debit banjir dan periode ulang yang telah ditentukan. Faktor-faktor penentu dalam mendesain drainase adalah analisis hidrologi dan hidrolis saluran. Dalam analisis hidrologi langkah-langkah yang menentukan antara lain: Data Curah Hujan Perhitungan Hujan Rencana Periode Ulang Hujan (PUH) Intensitas Curah Hujan Pemilihan Rumus Intensitas Hujan Limpasan Air Hujan. 2.7.2.9 Data Curah Hujan Data curah hujan merupakan curah hujan harian maksimum dalam setahun dinyatakan dalam mm/hari. Data curah hujan ini diperoleh dari Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika, yaitu stasiun curah hujan yang terletak pada daerah layanan saluran samping jalan. Dalam perencanaan saluran drainase data curah hujan yang diperlukan adalah data curah hujan wilayah/daerah yang dinyatakan dalam mm. Jika daerah layanan tidak memiliki data curah hujan, maka dapat digunakan data dari stasiun
Dian Aulia, Sindy Dwi Yuliani, Perancangan Peningkatan Struktur …. II-33
D3 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
di luar daerah layanan yang dianggap masih dapat mewakili. Jumlah data curah hujan yang diperlukan minimal 10 tahun terakhir. 2.7.2.10 Analisis Frekuensi Curah Hujan
Perhitungan curah hujan rencana digunakan untuk meramal besarnya
hujan dengan periode ulang tertentu. Berdasarkan curah hujan rencana tersebut kemudian dicari intensitas hujan yang digunakan untuk mencari debit banjir
rencana. Untuk meramal curah hujan rencana dilakukan dengan analisis frekuensi data hujan. Ada beberapa metode analisis frekuensi yang dapat digunakan, salah
satunya ialah metode Gumbel. Rumus-rumus yang digunakan untuk menentukan curah hujan rencana menurut Metode Gumbel (Soemarto, 1999) adalah sebagai berikut: .....................Persamaan 2.36 ∑
.....................Persamaan 2.37
√
dimana: R24 = Curah hujan maksimum 24 jam Ra = Curah hujan rata–rata K = Faktor frekuensi sesuai lama pengamatan (Tabel 2.22) Sx = Standar deviasi Ri = Curah hujan tahun ke-i n = lama pengamatan Tabel 2.22 Nilai K Sesuai Lama Pengamatan 10 Tahun
PUH (tahun) 2 5 10 20 25 50 100
Sumber: Hendarsin, 270
K -0,1355 1,0580 1,8482 2,6064 2,8468 3,5875 4,3228
Dian Aulia, Sindy Dwi Yuliani, Perancangan Peningkatan Struktur …. II-34
D3 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
2.7.2.11 Periode Ulang Hujan (PUH) Karakteristik hujan menunjukan bahwa hujan yang besar tertentu
mempunyai periode ulang tertentu. Periode ulang untuk pembangunan saluran drainase disesuaikan dengan peruntukannya yang dapat dilihat pada Lampiran 5.
2.7.2.12 Intensitas Curah Hujan Menurut Pd.T-02-2006-B (2006) intensitas hujan adalah ketinggian curah
hujan yang terjadi pada suatu kurun waktu dimana air tersebut berkonsentrasi. Intensitas curah hujan mempunyai satuan mm/jam, berarti tinggi air persatuan
waktu,misalnya mm dalam kurun waktu menit, jam, atau hari. Untuk mengolah data curah hujan menjadi intensitas curah hujan digunakan cara statistik dari data pengamatan durasi hujan yang terjadi. Apabila data untuk setiap data curah hujan tidak ada, maka diperlukan pendekatan secara empiris dengan berpedoman pada durasi 60 menit (1 jam) dan pada curah hujan harian maksimum yang terjadi setiap tahun. Perhitungan intensitas curah hujan dapat menggunakan metode Van Breen. Metode ini menggunakan pendekatan besarnya atau lama durasi hujan harian adalah terpusat selama 4 (empat) jam dengan hujan efektif sebesar 90% (sembilan puluh persen) dari hujan selama 4 (empat) jam. Untuk menentukan intensitas curah hujan digunakan rumus :
90% xR 24 I 4
.....................Persamaan 2.38
dimana : I = Intensitas hujan (mm/jam) R24 = Curah hujan harian maksimum (mm/24jam) Untuk mendapatkan durasi Intensitas digunakan tabel lengkung Jakarta (Tabel 2.23). Tabel ini digunakan sebagai asumsi yang umumnya digunakan di Indonesia.
Dian Aulia, Sindy Dwi Yuliani, Perancangan Peningkatan Struktur …. II-35
D3 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG Tabel 2.23 Intensity Duration Frequensi (IDF) Hujan Jakarta
Durasi (menit)
Intensitas Hujan (mm/jam) untuk PUH (tahun) 2 5 10 25 50 5 126 148 155 180 191 10 114 126 138 156 168 20 102 114 123 135 144 40 76 87 96 105 144 60 61 73 81 91 100 120 36 45 51 58 63 240 21 27 30 35 40 Sumber : BUDP. Drainage Design for Bandung.
2.7.2.13 Pemilihan Rumus Intensitas Hujan Persamaan Intersitas terhadap variabel t (waktu) untuk perhitungan debit air hujan menggunakan bentuk persamaan yang sederhana, yang umumnya memakai bentuk persamaan Talbot, Sherman dan Ishiguro. Dari hasil analisis curah hujan menurut rumus Van Breen disubstitusikan ke dalam rumus Talbot, Sherman dan Ishoguro dengan metode kuadrat terkecil (Least Square). Persamaan yang mempunyai beda terkecil yang akan dipakai. Perhitungan rumus Talbot, Sherman dan Ishoguro dapat dilihat pada rumus berikut (Sosrodarsono dan Takada, 1987: 32): 1. Rumus Talbot I=
a t b
.....................Persamaan 2.39
a tn
.....................Persamaan 2.40
2. Rumus Sherman: I=
3. Rumus Ishiguro: I=
a t b
.....................Persamaan 2.41
dimana : I = Intensitas curah hujan (mm/jam) ;
a,b & n = Konstanta
t = Waktu konsentrasi (menit) Dian Aulia, Sindy Dwi Yuliani, Perancangan Peningkatan Struktur …. II-36
D3 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
2.7.2.14 Debit Banjir Rencana Debit banjir rencana adalah debit limpasan rencana akibat curah hujan
pada daerah tangkapan pada waktu tertentu. Untuk mendapatkan nilai Qr, maka diketahui besarnya intensitas hujan dalam waktu konsentrasi (I), waktu harus
konsentrasi (Tc), luas daerah tangkapan (A) dan koefisien limpasan atau pengaliran. Banyak metoda yang digunakan untuk menghitung Qr akibat hujan, salah
satunya yaitu metoda Rasional yang merupakan rumus empiris dari hubungan curah hujan dengan besarnya debit limpasan, seperti dibawah ini (Pd. T-02antara
2006-B, 2006) : .....................Persamaan 2.42 dimana : Qr = Debit limpasan atau debit rencana (m3/detik) C = Koefisien limpasan atau pengaliran I = Intensitas hujan selama waktu konsentrasi (mm/jam) A= Luas daerah tangkapan hujan (km2) Penggunaan rumus ini menurut AASHTO (1993), disarankan untuk A ≤ 0,8 km3, dengan asumsi intensitas hujan dianggap seragam untuk daerah seluas ∞ 0,8 km3. 2.7.3
Analisis Hidrolis Saluran Dimensi saluran samping ditentukan berdasarkan kapasitas yang
diperlukan (debit saluran, Qs). Debit saluran merupakan fungsi dari luas penampang saluran dan kecepatan aliran yang melewati saluran. Besarnya debit saluran harus mendekati atau lebih besar daripada debit banjir rencana. Dalam analisis hidrolis saluran yang diperlukan dapat dihitung dengan menggunakan rumus Manning sebagai berikut : 2
1
1 Q .R 3 .S 2 . A n
.....................Persamaan 2.43
Q V .A
.....................Persamaan 2.44 Dian Aulia, Sindy Dwi Yuliani, Perancangan Peningkatan Struktur …. II-37
D3 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG 2
1
1 V .R 3 .S 2 n
dimana
.....................Persamaan 2.45 :
Q = Debit aliran dalam saluran (m3/ detik)
n = Koefisien kekasaran Manning R = Jari- jari hidrolis = A/P (m) A = Luas penampang basah saluran (m2)
P = Keliling basah saluran (m) S = Kemiringan dasar saluran.
V = Kecepatan rata-rata aliran (m/detik) Nilai kekasaran Manning dapat menjadi nilai kekasaran Manning gabungan apabila dalam satu saluran ada lebih dari satu jenis bahan yang menyusun saluran tersebut, misalnya bahan yang terbuat dari pasangan batu kali pada dinding sisi miringnya (Ven Te Chow, 1997: 189). Untuk menentukan nilai kekasaran Manning (n) dapat dilihat pada tabel yang tersedia pada Lampiran 6. 2.7.3.1 Kemiringan Saluran (is) Kemiringan saluran dalam perencanaan adalah kemiringan dari dasar saluran. Kemiringan dasar saluran direncanakan sedemikian rupa, sehingga dapat terjadi pengaliran secara sendiri atau gravitasi dengan batas kecepatan minimum tidak mengakibatkan terjadinya batas kecepatan, minimum tidak mengakibatkan terjadinya endapan. Selain itu kecepatan aliran maksimum tidak boleh merusak dasar dan dinding saluran dengan arti bahwa daya aliran mampu membersihkan endapan sendiri. Kemiringan saluran rata-rata dalam perencanaan ini dipakai untuk memperhitungkan waktu konsentrasi. Dengan kemiringan rata-rata dari panjang jalur saluran yang mempunyai bagian-bagian panjang dengan kemiringan berbeda maka dapat diperoleh kecepatan rata-rata sehingga dengan kecepatan rata-rata dan panjang total dapat ditentukan waktu pencapaian aliran puncak suatu profil saluran tertentu. Untuk menghitung kemiringan (is) saluran dapat menggunakan persamaan dibawah ini : Dian Aulia, Sindy Dwi Yuliani, Perancangan Peningkatan Struktur …. II-38
D3 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
is =
.....................Persamaan 2.46
dimana :
V = kecepatan aliran (m/detik)
n = koefisien kekasaran Manning
R = jari-jari hidrolis = F/P .....................Persamaan 2.47 dimana:
F = luas penampang basah (m2)
P = keliling basah (m)
2.7.3.2 Kecepatan Pengaliran Penentuan kecepatan aliran air di dalam saluran yang direncanakan didasarkan pada kecepatan maksimum yang diizinkan. Sesuai bentuk dan jenis konstruksi saluran yang direncanakan (Tabel 2.24). Tabel 2.24 Kecepatan Aliran Air yang Diijinkan Berdasarkan Jenis Material
No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
Kecepatan aliran air yang diijinkan (m/detik) Pasir halus 0,45 Lempung kepasiran 0,5 Lanau Aluvial 0,6 Kerikil halus 0,75 Lempung kokoh 0,75 Lempung padat 1,10 Kerikil kasar 1,20 Batu-batu besar 1,50 Pasangan batu 1,50 Beton 1,50 Beton bertulang 1,50 Jenis Bahan
Sumber: Pd. T-02-2006-B Perencanaan Sistem Drainase Jalan
2.7.3.3 Bentuk dan Jenis saluran Secara hidrolika jenis aliran yang terjadi pada saluran samping ialah aliran terbuka (open chanel), yaitu pengaliran dengan permukaan bebas. Bahan bangunan saluran ditentukan oleh besarnya kecepatan rencana aliran air yang mengalir di saluran samping jalan tersebut. Saluran samping dengan bahan pasangan batu biasanya berbentuk trapesium dengan dimensi hidrolis sebagai berikut : Dian Aulia, Sindy Dwi Yuliani, Perancangan Peningkatan Struktur …. II-39
D3 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG Tabel 2.25 Dimensi Hidrolis Trapesium
No.
Dimensi Trapesium
1
Lebar atas
b
Persamaan 2.48 bbawah = batas + 2 x z
2
Tinggi muka air
h
Asumsi
3
Faktor kemiringan
z
4
Luas penampang basah
F
5
Keliling penampang basah
P
6
Jari-jari hidrolis
R
7
Kecepatan
V
8
Debit
Qs
9
Tinggi Jagaan
W
Persamaan 2.49 z = 1/2 x h Persamaan 2.50 F = (b+z) x h Persamaan 2.51 P = b + 2 x h (1+z2)1/2 Persamaan 2.52 R = (b+z) x h/[b+2h(1+z2)1/2] Persamaan 2.53 V = 1/n x R2/3 x is1/2 Persamaan 2.54 Qs = F x V Persamaan 2.56 W = (0,5 x h)1/2
Sumber: Pd. T-02-2006-B Perencanaan Sistem Drainase Jalan
Dian Aulia, Sindy Dwi Yuliani, Perancangan Peningkatan Struktur …. II-40