BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Bank Syariah 2.1.1 Pengertian Bank Syariah Bank syariah adalah bank yang beroperasi dengan prinsip syariah dengan
tidak mengandalkan pada bunga. Maka bank syariah dalam usaha pokoknya
seperti memberikan pembiayaan dan jasa-jasa perbankan lainnya disesuaikan dengan prinsip syariat Islam. Menurut M. Syafi‟i Antonio (2001:30), prinsip syariah yang dimaksud disini adalah: 1) setiap akad yang dilakukan pada bank syariah, harus memenuhi ketentuan akad seperti rukun akad dan 2) setiap akad harus memenuhi persyaratan tertentu yang sesuai dengan Al-Qur‟an dan Hadist, seperti kehalalan barang dan jasa, kejelasan objek akad dan harganya, serta kejelasan transaksi. Menurut UU No. 21 Tahun 2008 tentang perubahan UU No. 10 Tahun 1998 tentang perbankan syariah bahwa bank syariah adalah bank umum yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah yang dalam menjalankan kegiatannya memeberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran. Dalam menjalankan berbagai aktivitasnya, bank syariah juga menganut prinsip-prinsip sebagai berikut: 1) prinsip keadilan yang tercermin dari penerapan imbalan atas dasar bagi hasil dan pengambilan margin keuntungan yang disepakati bersama antara bank dengan nasabah, 2) prinsip kemitraan yang tercermin dalam hak, kewajiban, risiko dan keuntungan yang berimbang antara nasabah penyimpan dana, nasabah pengguna dana maupun bank, 3) prinsip ketentraman yang terlihat dari pelarangan riba dan penerapan zakat harta pada produk-produknya, 4) prinsip transparasi yaitu keterbukaan melalui laporan keuangan sehingga nasabah dapat mengetahui tingkat keamanan dana dan kualitas manajemen bank, 5) prinsip universalitas yaitu bank dalam mendukung operasionalnya tidak membedabedakan suku, agama, ras, dan golongan agama dalam masyarakat dengan prinsip
18
19
islam sebagai rahmatan lil „aalamiin, 6) Tidak ada riba (non-usurius), 7) dan laba yang wajar (legitimate profit).
Hadirnya prinsip-prinsip tersebut menjadikan bank syariah berbeda dengan
konvensional yang menerapkan unsur bunga dalam operasionalnya. Hal bank
tersebut tercermin dalam falsafah operasional bank syariah sebagai berikut.
No
1
Tabel 2.1 Perbedaan Bank Syariah dan Bank Konvensional Perbedaan Falsafah
Bank Syariah Tidak berdasarkan bunga,
Bank Konvensional Berdasarkan bunga
spekulasi, dan ketidakjelasan 2
Operasionalisasi
a. Dana Masayarakat
a. Dana masyarakat
berupa titipan dan
berupa simpanan
investasi yang baru
yang harus dibayar
akan mendapatkan
bunganya pada saat
hasil jika ada usaha
jatu tempo.
terlebih dahulu.
b. Penyaluran dana
b. Penyaluran dana
pada sektor yang
pada usaha yang
menguntungkan dan
halal dan
aspek halal tidak
menguntungkan.
menjadi pertimbangan utama
3
Aspek Sosial
Dinyatakan secara eksplisit
Tidak diketahui secara
dan tegas yang tertuang
tegas
dalam visi dan misi 4
Organisasi
Harus memilki Dewan
Tidak memilki Dewan
Pengawas Syariah
Pengawas Syariah
Sumber : Bank dan Lembaga Keuangan Syariah, Heri Sudarsono (2004: 42)
20
2.1.2 Fungsi Bank Syariah Secara umum fungsi bank syariah adalah sebagai lembaga intermediasi yaitu
lembaga yang menghimpun dana masyarakat lalu menyalurkannya kembali melalui aktivitas produktif seperti pembiayaan. Bank syariah juga mempunyai dua
peran utama yaitu sebagai badan usaha (tamwil) dan badan sosial (maal). Fungsi bank syariah secara khusus menurut Pedoman Akuntansi Perbankan Syariah Indonesia adalah:
1. Manajer Investasi; Bank syariah menggunakan akad wadi’ah yad dhamanah (titipan) ketika menghimpun dana dan menggunakan akad mudharabah (bagi hasil) ketika mengelola dana atau bank syariah dapat berperan sebagai agen investasi; 2. Investor; Bank syariah dapat menginvestaikan dananya maupun dana pihak ketiga yang sebagian besar diamanahkan kepada bank dengan menggunakannya sesuai prinsip syariah. Keuntungan yang didapatkan dibagi sesuai nisbah yang disepakati antara bank dan pemilik dana; 3. Penyedia jasa keuangan dan lalu lintas pembayaran; Bank syariah menyediakan jasa keuangan, jasa non keuangan, dan jasa keagenan yang sesuai dengan aturan syariah. Pelayanan jasa dilakukan dengan beberapa prinsip seperti prinsip wakalah, kafalah, hiwalah, rahn, qard dan sharf. Selain itu pelayanan jasa non keuangan dapat melalui akad wadi’ah yad amanah (safe deposit box), serta pelayanan jasa keagenan dengan prinsip mudharabah muqayyadah; 4. Pengemban fungsi sosial; Bank syariah dapat memberikan pelayanan sosial dalam bentuk pengelolaan dana seperti zakat, infaq, shdaqah serta pinjaman kebajikan (qadrhul hasan).
21
2.1.3 Peraturan Perbankan Syariah Perbankan syariah didirikan dengan tujuan agar umat memahami aspek
ekonomi yang berlandaskan Al-Qur‟an dan Hadist. Di Indonesia, pendirian perbankan syariah digagas oleh beberapa cendikiawan yang tergabung dalam
Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia (ICMI) yang kemudian dibahas secara mendalam dalam Musyawarah Nasional (Munas) IV Majelis Ulama Indoesia (MUI) pada tahun 1990. Dari Munas tersebut maka lahirlah Bank Muamalat
Indonesia sebagai pioneer perbankan syariah di Indonesia, kemudian di ikuti dengan lahirnya Undang-undang No.7 tahun 1992 tentang Perbankan, dimana
perbankan dengan prinsip bagi hasil diakomodasi (Heri Sudarsono, 2004:31). Pada tahun 1998, lahirlah Undang-undang No.10 tahun 1998 tentang perubahan Undang-Undang No. 7 tahun 1992. Dalam UU ini terdapat beberapa perubahan
yang memberikan
banyak
peluang
yang lebih
besar
bagi
pengembangan perbankan syariah. Dengan adanya UU ini juga merupakan awal dari munculnya dual banking system dimana bank konvensional dapat membuka Unit Usaha Syariah yang berjalan sesuai dengan prinsip syariah. Terbitnya Undang-undang terbaru tentang perbankan syariah menggagas Bank Indonesia mendirikan Direktorat Perbankan Syariah pada tahun 2004 yang tadinya beruapa Biro Perbankan Syariah sesuai Undang-undang No.23 tahun 1992 tentang penegasan bahwa Bank Indonesia sebagai bank sentral bertanggungjawab atas regulasi dan supervisi sistem perbankan di Indonesia termasuk perbankan syariah (M. Edman dan Muhammad Muflih, 2011:15). Pada tahun 2008 yang sering disebut awal perkembangan perbankan syariah di Indonesia, lahirlah Undang-undang No. 21 Tahun 2008 tentang perbankan syariah sebagai penyempurna dari Undang-undang No.10 tahun 1998. Dalam UU ini dijelaskan tentang upaya mencapai tujuan pembangunan nasional Indonesia guna menciptakan masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan demokrasi ekonomi, mengembangkan sistem ekonomi yang berlandaskan keadilan, kebersamaan, pemerataan, dan kemanfaatan yang sesuai dengan prinsip syariah. Setelah lahirnya beberapa UU dan disempurnakan dengan UU selanjutnya, bank syariah lebih memiliki landasan yang kuat dalam aspek hukum. Maka dari
22
itu, diharapkan bank syariah akan melakukan pengembangan yang lebih baik dan mampu berjalan sesuai kaidah syariat serta akan lebih berperan dalam
memakmurkan kehidupan rakyat.
2.2 Inflasi
2.2.1 Pengertian Inflasi Secara umum inflasi dapat didefiniskan sebagai kenaikan harga barang atau
jasa secara umum dan terus menerus dalam waktu tertentu berkaitan dengan
mekanisme pasar yang dapat disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain : 1) konsumsi masyarakat yang meningkat, 2) likuiditas di pasar yang berlebih sehingga
memicu konsumsi
bahkan spekulasi, 3)
dan akibat
adanya
ketidaklancaran dalam distribusi barang (Wikipedia Indonesia, Enksiklopedia bebas berbahasa Indonesia). Menurut Samuelson & Nordhaus (2004), inflasi bukan tinggi-rendahnya tingkat harga pada posisi yang sama namun inflasi merupakan proses dari peristiwa tersebut, maka tingkat harga yang tingi belum tentu menunjukan inflasi. Inflasi merupakan indikator untuk melihat tingkat perubahan, dan dianggap terjadi jika proses kenaikan harga berlangsung secara terus-menerus dan saling mempengaruhi, sehingga kenaikan yang terjadi hanya sekali saja (meskipun dengan persentase yang cukup besar) bukanlah merupakan inflasi. 2.2.2 Penyebab Inflasi Dalam hal ini akan dijelaskan penyebab inflasi dalam persepektif ekonomi modern dan ekonomi islam. Menurut ilmu ekonomi modern, inflasi dapat disebabkan oleh tiga hal yaitu (Sadono Sukirno, 2000:333) : 1) Inflasi tarikan permintaan (demand-pull inflation) Hal ini disebabkan tarikan permintaan yang disebabkan kelebihan likuiditas, uang ataupun alat tukar. Selain itu, demand-pull inflation disebabkan kenaikan harga-harga yang terjadi akibat permintaan agregat (AD) yang lebih besar dari penawaran agregat (AS). Inflasi terjadi apabila pendapatan nasional lebih besar
23
dari pendapatan potensial. Inflasi karena tarikan permintaan dapat di gambarkan dalam bentuk grafis sebagai berikut.
Grafik 2.1. Demand-Pull Inflation
P
AS
P2
P1
AD2
AD1 0
Q1
Q2
Sumber : Sadono Sukirno, 2000:333
Kenaikan permintaan barang dan jasa menyebabkan kurva permintaan AD1 bergeser menjadi kurva permintaan AD2. Naiknya permintaan tersebut, pada umumnya, disebabkan oleh: 1) defisit anggaran belanja pemerintah yang berusaha ditutup dengan pencetakan uang, dan 2) peningkatan pembelian oleh sektor swasta karena adanya kredit rumah. Demand Pull Inflation menyebabkan peningkatan output atau total jumlah barang dan jasa. Dalam hal ini, harga output naik lebih dulu dan kemudian didikuti oleh kenaikan harga input. 2) Inflasi desakan biaya (cost-push inflation) Hal ini disebabkan adanya tekanan produksi atau ketidaklancaran distribusi. Selain itu, inflasi karena desakan biaya disebabkan oleh adanya peningkatan harga akibat naiknya biaya-biaya. Apabila permintaan terhadap bahan baku melebihi penawarannya, maka harga akan naik. Para pekerja pabrikan membayar bahan baku dan menetapkan harga akhir yang tinggi sehingga menyebabkan para pedagang terkena imbasnya.
24
Grafik 2.2. Cost-Push Inflation
P
AS2
AS1
P2
P1 AD
0
Q1
Q2
Sumber : Sadono Sukirno, 2000:333
Penurunan penawaran barang dan jasa menyebabkan kurva penawaran AS1 bergeser ke kiri menjadi kurva penawaran AS2. Penyebab penurunan penawaran tersebut, di antaranya: 1) kenaikan harga input di dalam negeri, dan 2) kenaikan harga barang impor. Cost Push Inflation menyebabkan penurunan output atau total jumlah barang dan jasa. Dalam hal ini, harga input naik lebih dulu dan baru diikuti harga output. (3) Inflasi diimpor (imported inflation) Inflasi diimpor yaitu inflasi yang disebabkan oleh terjadinya inflasi di luar negeri. Inflasi ini terjadi apabila barang-barang impor yang mengalami kenaikan harga memiliki peranan yang penting dalam kegiatan pengeluaran di perusahaanperusahaan. Contohnya kenaikan harga bahan baku bagi industri di dalam negeri yang diimpor dari luar negeri, sehingga apabila harga bahan baku tersebut naik maka kenaikan harganya dapat menyebabkan kenaikan harga pula di dalam negeri. Sedangkan menurut teori ekonomi islam, Taqiuddin Ahmad ibn al-Maqrizi (1364M – 1441M), yang merupakan salah satu murid dari Ibn Khaldun, menggolongkan inflasi dalam dua golongan yaitu Natural Inflation dan Human Error Inflation.
25
1. Natural inflation Natural inflation disebabkan oleh adanya gangguan terhadap jumlah barang
dan jasa yang diproduksi dalam suatu perekonomian (T). Misalnya T
sedangkan M dan V tetap, maka konsekuensinya P . Selain itu hal ini juga
disebabkan oleh naiknya daya beli masyarakat secara riil. Misalnya, nilai ekspor
lebih besar daripada nilai impor, sehingga secara netto terjadi impor uang yang mengakibatkan M sehingga jika V dan T tetap maka P .
2. Human Error Inflation
Di luar penyebab yang tergolong natural inflation, inflasi yang terjadi tergolong human error inflation atau false inflation. Dalam hal ini yang diakibatkan kesalahan manusia. Human error inflation disebabkan tiga hal yaitu, (1) korupsi dan administrasi yang buruk (corruption and bad administration), (2) pajak yang berlebihan (excessive tax), dan (3) pencetakan uang dengan maksud menarik keuntungan secara berlebih (excessive seignorage). 2.2.3 Klasifikasi Inflasi Menurut Abimanyu (2004:14), inflasi berdasarkan asalnya dapat dibedakan menjadi dua yaitu inflasi yang berasal dari dalam negeri yaitu di Indonesia dan inflasi yang berasal dari luar negeri. Pada umumnya, inflasi yang berasal dari dalam negeri disebabkan oleh defisit anggaran belanja yang dibiayai dengan mencetak uang baru dan gagalnya pasar sehingga berakibat harga bahan makanan menjadi mahal. Sementara itu, inflasi yang berasal dari luar negeri disebabkan kenaikan harga-harga barang yang diimpor. Hal tersebut dapat terjadi karena biaya produksi barang di luar negeri tinggi atau karena adanya tarif impor barang. Selain dapat dibedakan dari sumber asal terjadinya, inflasi juga dapat dibedakan berdasarkan besarnya cakupan pengaruh terhadap harga. Jika kenaikan harga yang terjadi hanya berkaitan dengan satu atau dua barang tertentu, inflasi itu disebut inflasi tertutup (Closed Inflation). Namun, apabila kenaikan harga terjadi pada semua barang secara umum, maka inflasi itu disebut sebagai inflasi terbuka (Open Inflation). Sedangkan apabila serangan inflasi demikian hebatnya
26
sehingga setiap saat harga-harga terus berubah dan meningkat sehingga orang tidak dapat menahan uang lebih lama disebabkan nilai uang terus merosot
disebut inflasi yang tidak terkendali. Kondisi inflasi menurut Samuelson & Nordhaus (2004), berdasarkan sifatnya
inflasi dibagi menjadi tiga bagian yaitu: 1. Inflasi merayap (Creeping Inflation)
Laju inflasi yang rendah (kurang dari 10% pertahun), kenaikan harga berjalan lambat dengan persentase yang kecil serta dalam jangka waktu yang relatif lama. 2. Inflasi menengah (Galloping Inflation) Inflasi ini ditandai dengan kenaikan harga yang cukup besar dan kadangkadang berjalan dalam waktu yang relatif pendek. Selain itu, inflasi ini mempunyai sifat akselerasi yang artinya, harga-harga minggu/bulan ini akan lebih tinggi dari minggu/bulan lalu dan seterusnya. 3. Inflasi Tinggi (Hyper Inflation) Inflasi jenis ini adalah inflasi yang paling parah dengan ditandai dengan kenaikan harga sampai lima hingga enam kali dan nilai mata uang merosot secara tajam. Biasanya hal ini terjadi ketika pemerintah mengalami deficit anggaran belanja.
2.2.4 Indikator Inflasi Ada beberapa indikator makroekonomi yang digunakan untuk mengetahui laju inflasi selama suatu periode tertentu (Nur Rianto, 2010:94) yaitu Indeks Harga Konsumen, Indeks Harga Perdagangan Besar, dan Indeks Harga Implisit. 1. Indeks Harga Konsumen (Consumer Price Index) Indeks Harga Konsumen (IHK) adalah angka indeks yang menunjukkan tingkat harga barang dan jasa yang harus dibeli konsumen dalam satu periode tertentu. Penghitungan IHK dilakukan dengan mempertimbangkan sekitar beberapa ratus komoditas produk. Untuk lebih mencerminkan keadaan yang
27
sebenarnya, penghitungan IHK dilaukan dengan melihat perkembangan regional, yaitu dengan mempertimbangkan tingkat inflasi kota-kota besar
terutama ibukota provinsi-provinsi di Indonesia. Adapun rums perhitungan IHK adalah sebagai berikut :
𝜋=
𝐼𝐻𝐾𝑡 − 𝐼𝐻𝐾𝑡−1 𝑥 100 𝐼𝐻𝐾𝑡−1
2. Indeks Harga Perdagangan Besar (Wholesale Price Index)
Jika IHK melihat inflasi dari sisi konsumen, maka indeks harga perdagangan besar (IHPB) melihat inflasi dari sisi produse. Oleh karena itu IHPB sering juga disebut sebagai indeks harga produsen (producer price index) IHPB menunjukan tingkat harga yang diterima produsen pada berbagai tingkat produksi. Prinsip menghitung inflasi berdasarkan data IHPB adalah sama dengan cara berdasarkan IHK, yaitu : 𝜋=
𝐼𝐻𝑃𝐵𝑡 − 𝐼𝐻𝑃𝐵𝑡−1 𝑥 100 𝐼𝐻𝑃𝐵𝑡−1
3. Indeks Harga Implisit (GDP Deflator) Untuk mendapatkan gambaran inflasi yang mewakili keadaan sebenarnya, ekonom menggunakan indeks harga implicit (GDP deflator) disingkat IHI. Perhitungan inflasi berdasarkan IHI dilakukan dengan menghitung perubahan angka indeks sebagai berikut :
𝜋=
𝐼𝐻𝐼𝑡 − 𝐼𝐻𝐼𝑡−1 𝑥 100 𝐼𝐻𝐼𝑡−1
2.2.5 Dampak Inflasi Inflasi dapat memiliki dampak yang baik atau buruk tergantung seberapa parah kondisi inflasi tersebut. Jika inflasi itu ringan, maka cenderung berdampak baik karena akan mendorong perekonomian lebih baik yaitu dengan meningkatkan pendapatan nasional yang tinggi dan meningkatkan semangat untuk
28
menabung, bekerja ataupun melakukan investasi. Namun dapat terjadi sebaliknya jika inflasi itu tinggi (hyper inflation). Saat inflasi tinggi, perekonomian akan
menjadi kacau dan dirasakan lesu. Pada kondisi seperti itu masyarakat menjadi semangat menabubg, bekerja, melakukan investasi ataupun melakukan tidak
produksi karena harga meningkat dengan cepat. Menurut Prathama Rahardja dan Manurung (2004:169), dampak inflasi dapat terjadi pada individu dan masyarakat, para penabung, penabung/peminjam dan
produsen, ataupun pada kegiatan perekonomian secara keseluruhan seperti, (a) menurunnya tingkat kesejahteraan masyarakat, (b) memperburuk distribusi
pendapatan, (c) melemahkan semangat untuk menabung, (d) memperburuk keadaan pengusaha kecil. Hal-hal tersebut dapat terjadi jika inflasi tidak cepat ditangani dan semakin sulit dikendalikan. Jika inflasi sampai ke tingkat yang parah (hyper inflation) maka dapat dikatakan bahwa secara umum inflasi dapat mengakibatkan berkuranganya investasi, mendorong penanaman modal pada wilayah yang bersifat spekulatif, menumbuhkan penimbunan kekayaan dan investasi yang tidak produktif, melemahkan semangat menabung, serta mendorong keinginan untuk menjadi lebih konsumtif. 2.3 Manajemen Dana Bank Syariah Manajemen dana atau biasa dikenal dengan istilah Assets and Liability Management atau Manajemen Aktiva dan Pasiva adalah suatu proses pengelolaan dana suatu bank. Artinya adalah bagaimana bank menetapkan kebijakan yang berkaitan dengan pemupukan sumber dana, baik pemupukan dari masyarakat atau dari modal sendiri, di samping kebijakan yang berkaitan dengan pengalokasian atau penempatan dana sedemikian rupa sehingga dapat mencapai tingkat pendapatan yang optimal serta sesuai dengan peraturan yang ditetapkan Bank Sentral (Veithzal Rivai, Andria Permata, Ferry Idroes, 2007: 406). Dalam bukunya juga Veithzal Rivai, Andria Permata dan Ferry Idroes (2007) menjelaskan bahwa manajemen dana sangat penting bagi bank karena bank adalah financial intermediary institution yang mentransfer dana-dana dari unit surplus
29
kepada unit defisit sehingga membutuhkan manajemen yang baik dalam pengelolaan dananya. Selain itu, bank seringkali dihadapkan pada conflict of
interest antara likuiditas dan rentabilitas. Dalam hal tersebut bank juga dituntut selalu menerapkan prinsip kehati-hatian (prudent banking). Oleh karena itu untuk
bank harus menetapkan struktur pendanaan yang sehat, artinya bagaimana bank tersebut mendapatkan pinjaman dari deposan dan investor yang lain setiap diperlukan, serta memadukan penggunaan sumber dana pinjaman tadi sedemikian
rupa sehingga terjamin keamanan likuiditas keuangan dan profitabilitas bank. Ada dua pendekatan dalam pengalokasian dalam kegiatan operasional bank
syariah. Kedua pendekatan tersebut adalah pendekatan Pool of Fund Approach dan Asset Allocation Approach. 2.3.1 Pendekatan Pool of Fund Pool of fund approach adalah penempatan dana bank dengan tidak memperhatikan hal-hal yang berkaitan dengan sumber dana, seperti sifat, jangka waktu dan tingkat harga perolehannya. Pendekatan tersebut menunjukan bahwa sumber dana yang diperoleh bank syariah dicampur menjadi satu dalam bentuk pooling dana. Selain itu bank syariah juga mempunyai sumber dana yang berasal dari modal sendiri. Dalam penghimpunan dana inilah bank syariah sangat perberan sebagai manajer investasi dari pemilik dana yang dihimpun untuk memperoleh pendapatan atau untuk mendapatkan bagian atas hasil usaha. Kelebihan dari pendekatan ini adalah perhitungan biaya relatif sederhana dan pengelolaanya tidak kompleks. Namun terdapat beberapa kekurangannya seperti: 1) tidak diberikan dasar untuk memperkirakan standar likuiditas, 2) tidak terdapat pertimbanngan terhadap perubahan giro, tabungan,deposito dan sumber lainnya, 3) mengabaikan likuiditas yang berasal dari portofolio kredit/ pembiayaan melalui pembayaran cicilan terus menerus, 4) memperkecil peranan cadangan sekunder sebagai sumber likuiditas, 5) mengabaikan kenyataan mengenai kemampuan bank untuk memperoleh laba dari operasinya, 6) dan mengabaikan peran interaksi aktiva dan pasiva dalam penyediaan likuiditas secara musiman.
30
Secara
skematis
sumber
dan
penggunaan
dana
berdasarkan
pusat
pengumpulan dana (pool of found approach) digambarkan pada skema dibawah
ini :
Gambar 2.1 Sumber dan Penggunaan Dana
(Pool of Fund Approach)
Penggunaan
Sumber
Primary Reserve Secondary Reserve Qardh
Wadiah
Mudharabah Mutlaqah
Musyarakah
Dana Pool
Mudharabah Murabahah
Musyarakah
Salam Istishna Ijarah Aktiva Tetap
Mudharabah Muqayyadh
Special Project
Sumber : Zainul Arifin. Dasar-dasar Manajemen Bank Syariah, Jakarta: Alvabeta dan Tazkia Institute, 2002, h. 62.
2.3.2 Pendekatan Asset Allocation Asset Allocation Approach adalah penempatan dana ke berbagai aktiva dengan mencocokkan masing-masing sumber dana terhadap jenis alokasi dana yang sesuai dengan sifat, jangka waktu dan tingkat harga perolehan sumber dana tersebut. Secara khusus sumber-sumber penerimaan dana dapat dialokasikan pada sisi-sisi pembiayaan. Kelebihan dari pendekatan ini adalah : 1) mengalihkan penekanan likuiditas kepada profitabilitas, 2) dan jumlah rata-rata cadangan likuiditas mengalami penurunan sehingga alokasi dana dapat dialihkan lebih
31
banyak pada penyaluran pembiayaan dan penanaman modal pada surat-surat berharga yang memiliki keuntungan lebih tinggi. Namun terdapat beberapa
kekuarangan seperti : 1) keputusan mengenai jumlah likuiditas dilakukan berdasarkan perkiraan atau perputaran simpanan, 2) bisa terjadi kelebihan
likuiditas yang menyebabkan keuntungan berkurang, 3) portofolio kredit dianggap sama sekali tidak likuid sehingga kredit tidak dianggap sebagai sumber likuiditas yang potensial, 4) dan keputusan mengenai manajemen aktiva pasiva dibuat
secara independen. Secara skematis diagaram sumber dan penggunaan dana berdasarkan
pendekatan alokasi aktiva (asset allocation approach) digambarkan sebagai berikut: Gambar 2.2 Sumber dan Penggunaan Dana (Asset Allocation Approach) Sumber
Penggunaan Primary Reserve
Wadiah
Secondary Reserve Qardh Murabahah
Mudharabah Mutlaqah
Salam Istishna’
Mudharabah Muqayyadh
Ijarah (wa iktina) Mudharabah
Musyarakah
Musyarakah Aktiva Tetap
Sumber : Zainul Arifin. Dasar-dasar Manajemen Bank Syariah, Jakarta: Alvabeta dan Tazkia Institute, 2002, h. 63.
32
2.4 Sumber Dana Bank Pertumbuhan setiap bank dipengaruhi oleh perkembangan kemampuannya
dalam menghimpun dana, baik dalam skala kecil maupun skala besar, dengan pengendapan yang memadai. Dana bagi bank sebagai lembaga intermediasi masa
merupakan masalah yang paling utama. Tanpa dana yang cukup, bank tidak dapat menjalankan fungsi utamanya sebagai lembaga intermediasi yaitu lembaga yang memiliki fungsi untuk menghimpun dana dan menyalurkannya ke dalam bentuk
aktiva produktif. Dana adalah uang tunai yang dikuasai dan dimiliki bank dalam bentuk tunai,
atau dalam bentuk aktiva yang dapat segera diubah menjadi uang tunai. Dana tersebut tidak hanya berasal dari para pemilik bank itu sendiri, tetapi juga berasal dari titipan atau penyertaan dana orang lain atau pihak lain yang dapat ditarik kembali sewaktu-waktu, baik secara sekaligus ataupun secara berangsur-angsur. Dalam pandangan islam, uang bukanlah merupakan suatu komoditi melainkan hanya sebagai alat untuk mencapai pertambahan nilai ekonomis (economic added value). Hal ini berbeda dengan perbankan yang menerapkan bunga dimana uang bisa “dikembang-biakkan”, baik untuk dipergunakan bagi kegiatan produktif atau tidak produktif sekalipun. Untuk menghasilkan keuntungan, uang harus dikaitkan dengan kegiatan ekonomi dasar (primary economic activities), baik melalui transaksi perdagangan, industry manufaktur, sewa-menyewa dan lain-lain. Selain itu dapat melalui penyertaan modal guna melakukan salah satu atau seluruh kegiatan usaha tersebut. Menurut Zainul Arifin (2002: 53), berdasarkan prinsip syariah tersebut bank syariah dapat menarik dana pihak ketiga atau dana dari masyarakat dalam bentuk sebagai berikut. 1. Titipan (wadiah) merupakan simpanan yang dijamin keamanan dan pengembaliannya (guaranteed deposit) tetapi tanpa memperoleh imbalan atau keuntungan. 2. Partisipasi modal berbagi hasil dan berbagi risiko (non guaranteed account) untuk investasi
umum (general
investment
account
33
mudharabah mutlaqah) diamana bank akan membayar bagian
keuntungan secara proporsional dengan portofolio yang di danai
dengan modal tersebut. 3. Investasi
(special
investment
account
mudharabah
muqayaadah) dimana bank bertindak sebagai manajer investasi untuk
memperoleh fee. Jadi bank tidak ikut berinvestasi sedangkan investor
sepenuhnya mengambil risiko atas investasi tersebut.
khusus
Maka dapat disimpulkan, sumber dana bank syariah terdiri dari: 1) modal inti
(core capital), 2) kuasi ekuitas (mudharabah account), 3) dan titipan (wadi’ah) atau simpanan tanpa imbalan (non remunerated deposit).
2.5 Rasio Kecukupan Modal (Capital Adequacy Ratio) Tingkat kecukupan modal bank dinyatakan dengan suatu rasio tertentu yang disebut dengan rasio kecukupan modal atau Capital Adequacy Ratio (CAR). CAR atau sering disebut rasio permodalan ini merupakan modal dasar yang harus dipenuhi oleh bank. Menurut Siamat (2003), faktor utama yang cukup mempengaruhi jumlah modal bank adalah jumlah modal minimum yang ditentukan oleh penguasa moneter yang biasanya merupakan wewenang bank sentral. Lembaga ini memiliki tanggung jawab dan menyamakan sistem perbankan secara keseluruhan dengan menerapkan ketentuan-ketentuan antara lain ketentuan permodalan, likuiditas wajib dan ketentuan lain yang bersifat prudensial. Jumlah modal yang memadai memegang peranan penting dalam memberikan rasa aman kepada calon atau para penitip uang. Menurut peraturan Bank Indonesia Nomor 10/15/PBI/2008 pasal 2 ayat 1 tercantum bank wajib menyediakan modal minimum sebesar 8% dari asset tertimbang menurut risiko (ATMR) dan batas maksimum adalah sebesar 12%. Implikasi dari penerapan standar tersebut adalah perlunya perbankan syariah di Indonesia
untuk
mengantisipasi
berbagai
perubahan
ketentuan
melalui
penyempurnaan standar model dalam pengelolaan manajemen risiko dan perhitungan CAR.
34
CAR adalah kecukupan modal yang menunjukkan kemampuan bank dalam mempertahankan modal yang mencukupi dan kemampuan manajeman bank
dalam mengidentifikasi, mengukur, mengawasi, dan mengontrol risiko-risiko timbul yang dapat berpengaruh terhadap besarnya modal (Almilia, 2005). yang
Perhitungan CAR didasarkan pada prinsip bahwa setiap penanaman yang mengandung risiko harus disediakan jumlah modal sebesar persentase tertentu terhadap jumlah penanamannya (Kuncoro dan Suhardjono, 2002).
Perhitungan CAR merupakan hasil perbandingan jumlah modal bank dengan
sejumlah aktiva yang dimiliki (ATMR). Modal sendiri terdiri dari modal inti
ditambah dengan pelengkap. Pada bank syariah perhitungan ATMR sedikit berbeda dari bank konvensional. Aktiva pada bank syariah dibagi atas aktiva yang dibiayai dengan modal sendiri serta aktiva yang didanai oleh rekening bagi hasi (Muhammad, 2005). Aktiva yang didanai oleh modal sendiri dan hutang risikonya ditanggung modal sendiri, sedangkan yang didanai oleh rekening bagi hasil risikonya ditanggung oleh rekening bagi hasil itu sendiri. Pemilik rekening bagi hasil berhak menolak untuk menanggung risiko atas aktiva yang dibiayainya, apabila kesalahan terletak pada pihak mudharib (bank). Dalam menelaah ATMR bank syariah perlu diperhatikan pada jenis aktivanya. Aktiva bank syariah terdiri dari (Muhammad, 2004:103) : -
Aktiva yang didanai oleh modal sendiri dan/ atau kewajiban atau hutang (wadi’ah, qard dan sejenisnya)
-
Aktiva yang didanai oleh rekening bagi hasil (profit and loss sharing investment account) yaitu mudharabah mutlaqah yang tercatat pada neraca (on balance sheet) maupun mudharabah muqayaadah yang tercatat pada rekening administrative (off balance sheet).
2.6 Dana Pihak Ketiga Selain modal inti, bank syariah juga memperoleh dana dari kuasi ekuitas (mudharabah account) berupa deposito mudharabah dan dana titipan (wadi’ah)
35
berupa giro ataupun tabungan. Dana ini berasal dari masyarakat yang sering disebut sebagai dana pihak ketiga.
Bank menghimpun dana untuk bagi hasil atas dasar prinsip mudharabah,
akad kerjasama anatara pemilik dana (shahibul maal) dengan pengusaha yaitu
(mudharib) untuk melakukan suatu usaha bersama, dan pemilik dana tidak boleh mencampuri pengelolaan bisnis sehari-hari. Keuntungan akan dibagikan berdasarkan nisbah yang telah disepakati sebelumnya oleh kedua belah pihak,
sedangkan kerugian menjadi beban pemilik dana sedangkan pengelola tidak memperoleh imbalan atas usaha yang dilakukan.
Berdasarkan prinsip ini, dalam kedudukannya sebagai mudharib, bank menyediakan jasa bagi para investor berupa (Zainul Arifin, 2002): 1. Rekening investasi umum, di mana bank menerima simpanan dari nasabah yang mencari kesempatan investasi atas dana mereka dalam bentuk
investasi
berdasarka
prinsip
mudharabah
mutlaqah
(unrestricted investment account). Simpanan ini diperjanjikan untuk jangka waktu tertentu. Bank dapat menerima simpanan tersebut untuk jangka waktu 1, 3, 6, 12 ,24 bulan dan seterusnya. Dalam hal ini bank bertindak sebagai mudharib dan bank sebagai shahib al maal, sedang keduanya menyepakati pembagian laba (bila ada) yang dihasilkan dari penanaman dana tersebut dengan nisbah tertentu. Apabila terjadi kerugian, nasabah menanggung kerugian tersebut dan bank kehilangan keuntungan. 2. Rekening investasi khusus, di mana bank bertindak sebagai manajer investasi bagi nasabah institusi (pemerintah atau lembaga keuangan lain) atau nasabah korporasi untuk menginvestasikan dana mereka pada unit-unit usaha atau proyek-proyek tertentu berdasarkan prinsip mudharabah muqayyadah (restricted investment account). Bentuk investasi dan nisbah pembagian keuntungan biasanya dinegosiasikan secara kasus per kasus
36
3. Rekening tabungan mudharabah, di mana prinsip mudharabah
digunakan untuk jasa pengelolaan rekening tabungan. Salah satu syarat
dalam rekening tabungan adalah bahwa dana harus dalam bentuk uang
(monetary form), dalam jumlah tertentu dan diserahkan kepada mudharib. Oleh karena itu, tabungan mudharabah tidak dapat ditarik
sewaktu-waktu sebagaimana tabungan wadi’ah. Dengan demikian
tabungan mudharabah biasanya tidak diberikan fasilitas ATM, karena
penabung tidak dapat menarik dananya dengan leluasa. Dalam
aplikasinya, bank syariah melayani tabungan mudharabah dalam bentuk targeted saving, seperti tabungan kurban, tabungan haji, atau tabungan lain yang dimaksudkan untuk suatu pencapaian target kebutuhan dalam jumlah dan atau jangka waktu tertentu. Tidak seperti bank konvensional, bank syariah tidak menjamin pembayaran
kembali nilai nominal dari investasi mudharabah. Bank syariah juga tidak menjamin keuntungan atas investasi mudharabah. Mekanisme pengaturan realisasi pembagian keuntungan final atas investasi mudharabah tergantung pada kinerja bank, hal tersebut sangat berlainan dengan bank konvensional yang menjamin keuntungan atas deposito berdasarkan tingkat bunga tertentu dengan mengabaikan performance-nya. Selain bank menerima dana investasi, bank juga menerima dana titipan (wadi’ah). Menurut Heri Sudarsono (2005:57), al-wadiah dalam segi bahasa dapat diartikan sebagai meninggalkan atau meletakkan, atau meletakkan sesuatu pada orang lain untuk dipelihara dan dijaga. Dari aspek teknis, wadiah dapat diartikan sebagai titipan murni dari satu pihak ke pihak lain, baik individu maupun badan hukum, yang harus dijaga dan dikembalikan kapan saja si penitip kehendaki. Salah satu motivasi utama orang yang menitipkan dana pada bank adalah untuk keamanan dana mereka dan memperoleh keleluasaan untuk menarik kembali dananya sewaktu-waktu. Dana titipan di bank syariah pada umumnya berupa giro atau tabungan seperti penjelasan berikut ini.
37
a. Rekening Giro Wadi’ah
Bank syariah dapat memberikan jasa simpanan giro dalam bentuk
rekening wadi’ah. Dalam hal ini bank syariah menggunakan prinsip
wadi’ah yad dhamanah yang artinya bank sebagai custodian harus menjamin pembayaran kembali nominal simpanan wadi’ah. Dana tersebut
dapat digunakan oleh bank untuk kegiatan komersial dan bank berhak atas
pendapatan yang diperoleh dari pemanfaatan harta titipan tersebut dalam kegiatan
komersial.
Pemilik
simpanan
dapat
menarik
kembali
simpanannya sewaktu-waktu, baik sebagian ataupun seluruhnya. Bank tidak boleh menjanjikan keuntungan atau imbalan apapun kepada para pemegang rekening wadi’ah, dan sebaliknya pemegang rekening juga tidak boleh mengharapkan imbalan atau keuntunan atas rekening wadi’ah. Setiap keuntungan atau imbalan yang dijanjikan dapat dianggap riba. Namun demikian, bank atas kehendaknya sendiri dapat memberikan imbalan berupa bonus (hibah) kepada pemilik dana (pemegang rekening wadi’ah). b. Rekening Tabungan Wadi’ah Prinsip wadi’ah yad dhamanah ini juga dipergunakan oleh bank dalam mengelola jasa tabungan, yaitu simpanan dari nasabah yang memerlukan jasa penitipan dana dengan tingkat keleluasaan tertentu untuk menariknya kembali. Bank memperoleh izin dari nasabah untuk menggunakan dana tersebut selama mengendap di bank. Nasabah dapat menarik sebagian atau seluruh saldo simpanannya sewaktu-waktu atau sesuai dengan perjanjian yang disepakati. Bank menjamin pembayaran kembali simpanan mereka. Semua keuntungan atas pemanfaatan dana tersebut adalah milik bank, tetapi atas kehendaknya sendiri bank dapat memberikan imbalan keuntungan yang berasal dari sebagian keuntungan bank. Bank menyediakan buku tabungan dan jasa-jasa yang berkaitan dengan rekening tersebut.
38
2.7 Pembiayaan 2.7.1 Pengertian Pembiayaan
Pembiayaan atau financing adalah pendanaan yang diberikan oleh suatu pihak
kepada pihak lain untuk mendukung investasi yang telah direncanakan, baik
dilakukan sendiri ataupun oleh lembaga. Oleh karena itu, pembiayaan dapat dikatakan pendanaan yang dikeluarkan untuk mendukung investasi yang telah direncanakan (Muhammad, 2005:17).
Menurut M. Syafi‟i Antonio, pembiayaan merupakan salah satu tugas pokok
yaitu pemberian fasilitas dana untuk memenuhi kebutuhan pihak-pihak yang bank
merupakan deficit unit. Sedangkan UU No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah menyatakan: “Pembiayaan adalah penyediaan dana atau tagihan yang dipersamakan dengan itu berupa transaksi bagi hasil dalam bentuk mudharabah dan musyarakah, transaksi sewa-menyewa dalam bentuk ijarah atau sewa beli dalam bentuk ijarah muntahiya bittamlik, transaksi jual beli dalam bentuk piutang
murabahah, salam, dan
istishna‟, transaksi pinjam meminjam dalam bentuk piutang qard, dan transaksi sewa-menyewa jasa dalam bentuk ijarah untuk transaksi multijasa berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara Bank Syariah dan/atau UUS dan pihak lain yang mewajibkan pihak yang dibiayai dan/atau diberi fasilitas dana untuk mengembalikan dana tersebut setelah jangka waktu tertentu dengan imbalan ujrah, tanpa imbalan, atau bagi hasil.” Dalam kaitannya dengan pembiayaan di perbankan syariah atau istilah teknisnya disebut sebagai aktiva produktif, Bank Indonesia mengeluarkan Peraturan Bank Indonesia No. 5/7/PBI/2003 tentang ketentuan aktiva produktif. Menurut PBI ini, aktiva produktif adalah penanaman dana bank syariah baik dalam rupiah maupun valuta asing dalam bentuk pembiayaan, piutang, qardh, surat berharga syariah, penempatan, penyertaan modal, penyertaan modal sementara, komitmen dan kontijensi pada rekening administratif serta Sertifikat Wadi‟ah Bank Indonesia yang kini disebut dengan Sertifikat Bank Indonesia Syariah.
39
2.7.2 Fungsi Pembiayaan Keberadaan bank syariah yang menjalankan pembiayaan berdasarkan prinsip
syariah bukan hanya untuk mencari keuntungan dan meramaikan bisnis perbankan di Indonesia, tetapi juga untuk menciptakan lingkungan bisnis yang aman (Yunus
dan Aziz, 2009:68) diantaranya: 1) memberikan pembiayaan dengan prinsip syariah yang menerapkan sistem bagi hasil yang tidak memberatkan debitur, 2) membantu kaum dhuafa yang tidak tersentuh oleh bank konvensional karena tidak
mampu memenuhi persyaratan yang ditetapkan oleh bank konvensional, dan 3) membantu
masyarakat
ekonomi
lemah
yang
selalu
dipermainkan
oleh rentenir dengan membantu melalui pendanaan untuk usaha yang dilakukan. Selain itu menurut Sinungan (1983) dalam Muhammad (2005:19), pembiayaan secara umum memiliki fungsi untuk: 1) meningkatkan daya guna uang, 2) meningkatkan daya guna barang, 3) meningkatkan peredaran uang, 4) menimbulkan kegairahan berusaha, 5) menciptakan stabilitas ekonomi, 6) dan sebagai jembatan untuk meningkatkan pendapatan nasional. 2.8 Pembiayaan Bagi Hasil 2.8.1 Pembiayaan Mudharabah 2.8.1.1 Pengertian Satu bentuk investasi modal sendiri yang penting dan sah secara Islam adalah kontrak bagi hasil mudharabah.
Bentuk kontrak bagi hasil ini telah
dikembangkan untuk menggantikan mekanisme bunga dalam transaksi keuangan dan merupakan core product bagi bank syariah, sebab bank syariah secara eksplisit melarang penerapan tingkat bunga pada semua transaksi keuangannya (Murinde, Naser dan Wallace, 1995). Mudharabah berasal dari kata dharb, artinya memukul atau berjalan (Muhammad Syafi‟i Antonio, 2001: 95). Pengertian memukul atau berjalan ini lebih tepatnya adalah proses seseorang memukulkan kakinya dalam menjalankan usaha. Dalam fiqh muamalah karangan Nasrun Haroen (2000: 127-176), para Ulama Fiqh mendefinisikan Mudharabah atau Qiradh secara terminologi dengan :
40
“Pemilik modal (investor) menyerahkan modalnya kepada pekerja (pedagang) untuk diperdagangkan, sedangkan keuntungan dagang itu menjadi milik bersama
dan dibagi menurut kesepakatan”.
Secara teknis, mudharabah didefinisikan sebagai akad kerjasama usaha antara
dua pihak di mana pihak pertama (shahibul maal) menyediakan seluruh (100%)
modal, sedangkan pihak lainnya menjadi pengelola (mudharib). Keuntungan usaha dalam akad mudharabah dibagi berdasarkan nisbah yang telah disepakati di awal kontrak, sedangkan apabila rugi ditanggung oleh pemilik modal selama
kerugian tersebut bukan kelalaian mudharib. Seandainya kelalaian tersebut disebabkan oleh mudharib, maka mudharib tersebut harus bertanggungjawab atas kerugian tersebut (Muhammad, 2005). 2.8.1.2 Dasar Hukum Dasar-dasar hukum mudharabah ini telah dibahas dalam nash. Dasar hukum yang biasa digunakan oleh para Fuqaha tentang kebolehan bentuk kerjasama ini adalah firman Allah dalam Surah Al-Muzzammil ayat 20 : ...ﺽ ِﻝ ﺍﻝَّ ﻩ ْ َﺏﺕَﻍُﻭﻥَ ِﻡﻥْﻑ ْ َﺽﻱ ْ ََﻭﺁَ َﺥﺭُﻭﻥَﻱ ِ ﺽ ِﺭﺏُﻭﻥَﻑِﻱ ْﺍْلَ ْﺭ “....dan sebagian mereka berjalan di bumi mencari karunia
Allah....”.(Al-
Muzammil [73]: 20) Ayat tersebut mengandung kebolehan akad mudharabah, yang secara bekerjasama mencari rezeki yang ditebarkan Allah SWT di muka bumi. Kemudian dalam Sabda Rasulullah SAW dijumpai sebuah riwayat dalam kasus mudharabah yang dilakukan oleh „Abbas Ibn al-Muthalib yang artinya : “Tuan kami „Abbas Ibn Abd al-Muthalib jika menyerahkan hartanya (kepada seorang yang pakar dalam perdagangan) melalui akad mudharabah, dia mengemukakan syarat bahwa harta itu jangan diperdagangkan melalui lautan, juga jangan menempuh lembah-lembah, dan tidak boleh dibelikan hewan ternak yang sakit tidak dapat bergerak atau berjalan. Jika (ketiga) hal itu dilakukan, maka pengelola modal dikenai ganti rugi. Kemudian syarat yang dikemukakan ‟Abbas
41
Ibn Abd al-Muthalib ini sampai kepada Rasulullah SAW, dan Rasul membolehkannya”. (HR. Ath-Tabrani)
Dikatakan bahwa Nabi dan beberapa Sahabat pun terlibat dalam kongsi-
kongsi mudharabah. Menurut Ibn Taimiyyah, para fuqaha menyatakan kehahalan
mudharabah berdasarkan riwayat-riwayat tertentu yang dinisbatkan kepada
beberapa Sahabat tetapi tidak ada Hadits sahih mengenai mudharabah yang dinisbatkan kepada Nabi. 2.8.1.3 Rukun
Dalam hal rukun akad mudharabah terdapat beberapa perbedaan pendapat antara Ulama Hanafiyah dengan Jumhur Ulama (Muhammad, 2005). Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa yang menjadi rukun akad mudharabah adalah Ijab dan Qabul. Sedangkan
Jumhur Ulama menyatakan bahwa rukun akad
mudharabah adalah terdiri atas orang yang berakad, modal, keuntungan, kerja dan kad; tidak hanya terbatas pada rukun sebagaimana yang dikemukakan Ulama Hanafiyah, akan tetapi, Ulama Hanafiyah memasukkan rukun-rukun yang disebutkan Jumhur Ulama itu, selain Ijab dan Qabul sebagai syarat akad mudharabah. Adapun syarat-syarat
mudharabah, sesuai dengan rukun yang
dikemukakan Jumhur Ulama di atas adalah : 1. Orang yang berakal harus cakap bertindak hukum dan cakap diangkat sebagai wakil. 2. Mengenai modal disyaratkan: a) berbentuk uang, b) jelas jumlahnya, c) tunai, dan d) diserahkan sepenuhya kepada mudharib (pengelola). Oleh karenanya jika modal itu berbentuk barang, menurut Ulama Fiqh tidak dibolehkan, karena sulit untuk menentukan keuntungannya. 3. Yang
terkait
dengan
keuntungan
disyaratkan
bahwa
pembagian
keuntungan harus jelas dan bagian masing-masing diambil dari keuntungan dagang itu.
42
2.8.1.4 Jenis-jenis Mudharabah Mudharabah dalam kajian fiqh muamalah terdiri dari dua macam, yaitu
mudharabah muthlaqah dan mudharabah muqayyadah. Mudharabah muthlaqah luas sekali cakupannya baik dalam bentuk usaha, waktu usaha dan tempat sangat
usaha. Pihak shahibul maal memberikan kebebasan kepada mudharib untuk mengelola modal berdasarkan pandangan dan pilihan mudharib. Biasanya dalam mudharabah mutlaqah shahibul maal mengatakan kepada mudharib, “lakukan
sesukamu” atau “terserah padamu”. Berbeda dengan mudharabah muqayyadah atau biasa disebut special project dimana shahibul maal mensyaratkan ketentuan
yang harus ditaati mudharib baik dalam bentuk usaha, waktu usaha atau tempat usaha. Ketiga hal tersebut terlibat dalam suatu syarat. Hal ini mencerminkan kecenderungan shahibul maal ikut terlibat dalam usaha tersebut (Zainul Arifin, 2002). Adapun aplikasi mudharabah dalam praktik investasi di bank syariah dapat diilustrasikan melalui gambar berikut: Gambar 2.3 Skema Pembiayaan Mudharabah
Perjanjian Bagi Hasil Nasabah
Bank Syariah Proyek/Bisnis Pengembalian Modal Pokok
Keuntungan
Nisbah X%
Bagi Hasil Sesuai Dengan Nisbah
Nisbah Y%
Modal
Sumber: Muhammad dan Dwi Suwiknyo. Akuntansi Perbankan Syariah, Yogyakarta: TrustMedia, 2009, h. 23
43
Gambar tersebut mengilustrasikan kerjasama antara bank syariah yang berlaku sebagai shahibul maal (investor) dan nasabah sebagai mudharib (pengusaha).
Mereka membuat kesepakatan usaha beserta perjanjian bagi hasilnya. Usaha tersebut selanjutnya akan dkelola oleh mudharib. Keuntungan dari usaha ini
kemudian dibagihasilkan menurut nisbah yang telah disepakati. Pada perjalanan usaha, mudharib mengembalikan modal pokok yang dipinjamnya dari bank syariah.
Pembiayaan Musyarakah 2.8.2
2.8.2.1 Pengertian Secara etimologi, musyarakah atau syirkah memiliki arti al-ikhtilath, yaitu campur atau percampuran. Yang dimaksud percampuran disini adalah percampuran harta yang dimiliki dua orang atau lebih sehingga tidak dapat dibedakan lagi. Sedangkan dalam pengertiannya, musyarakah didefinisikan sebagai akad kerjasama dalam suatu usaha oleh dua pihak dengan ketentuan umum diantaranya adalah (Muhammad dan Dwi Suwiknyo, 2009:21) : a.
Semua modal disatukan untuk dijadikan modal proyek musyarakah dan dikelola bersama-sama.
b.
Setiap pemilik modal berhak turut serta dalam menentukan kebijakan usaha yang dijalankan oleh pelaksana proyek.
c.
Pemilik modal yang dipercaya untuk menjalankan proyek musyarakah tidak boleh melakukan tindakan, seperti : Menggabungkan harta proyek dengan harta pribadi Menjalankan proyek musyarakah dengan pihak lain tanpa ijin pemilik modal lainnya Memberi pinjaman kepada pihak lain Setiap pemilik modal dapat mengalihkan penyertaan atau digantikan oleh pihak lain Setiap pemilik modal dianggap mengakhiri kerjasama apabila menarik diri dari perserikatan; meninggal dunia; dan menjadi tidak cukup hukum
44
Biaya yang timbul dalam pelaksanaan proyek dan jangka waktu
proyek harus diketahui bersama
Proyek yang akan dijalankan harus disebutkan dalam akad
2.8.2.2 Dasar Hukum Landasan hukum syariah mengenai al-musyarakah adalah :
a. Al-Qur‟an Surat An-Nisa [4]: 12 …maka mereka bersepakat pada sepertiga….. b. Al-Qur‟an Surat Shad [38]: 24 Dan sesungguhnya kebanyakan dari orang-orang yang berserikat itu sebagian mereka berbuat zhalim kepada sebagian yang lain, kecuali orang yang beriman dan mengerjakan amal shaleh, tetapi mereka amat sedikit. c. Hadits Riwayat Abu Daud, Dari Abu Huraira Ra. Rasulullah SAW bersabda: Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla berfirman, Aku pihak ketiga dari dua orang yang berserikat selama salah satunya tidak mengkhianati yang lainnya. Dalil-dalil diatas menunjukan bahwa kegiatan berserikat merupakan bentuk
kegiatan yang dimuliakan dan dicintai Allah. Para ulama melegitimasi musyarakah sebagai bentuk bisnis yang dibolehkan dalam syariah, walaupun diantara mereka terdapat perbedaan dalam hal ini. 2.8.2.3 Rukun Rukun yang harus dipenuhi dalam menjakankan musyarakah adalah: a. Para Pihak yang Bersyirkah Pihak-pihak yang terlibat dalam kerjasama musyarakah harus harus cakap bertindak hukum dan cakap diangkat sebagai wakil. b. Porsi Kerjasama Porsi modal atau keahlian didasarkan pada kesepakatan para pihak yang bersyirkah.
45
c. Proyek Usaha (Masyru‟)
Proyek usaha yang dijalankan harus terbebas dari unsur haram, maysir
dan gharar. Selain itu tidak boleh ada parktik riba didalamnya.
d. Ijab Qabul (Sighat)
Ijab Qabul dilakukan sebagai tanda kesepakatan antara kedua belah pihak
yang bersepakat.
2.8.2.4 Jenis-jenis Musyarakah Dalam kajian fiqh muamalah kita melihat jenis musyarakah dan syirkah
bermacam-macam, yaitu syirkah ‘inan, muwafadhah, syirkah ‘abdan dan syirkah wujuh. Keempat macam syirkah tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut : a. Syirkah ‘Inan Syirkah ‘Inan adalah kontrak antara dua orang atau lebih. Setiap orang dalam kontrak ini mengeluarkan harta atau dananya pada posisi yang disepakati, entah itu lebih besar dari yang lain atau lebih kecil dari yang lain. Kedua pihak yang bekerjasama ini berbagi hasil atas keuntungan dan menanggung risiko bersama dalam kerugian. b. Syirkah Muwafadhah Pada umumnya syirkah muwafadhah sama dengan syirkah ‘inan. Perbedaannya terletak pada porsi dana atau harta yang diserikatkan, dimana dalam hal ini masing-masing pihak memberikan dengan porsi yang seimbang (50:50). Bersamaan dengan itu, syirkah ini mensyaratkan pula kerja dan tanggung jawab yang seimbang antara kedua belah pihak. c. Syirkah ‘Abdan Syirkah ini dikenal pula dengan syirkah ‘amal. Syirkah ini merupakan bentuk kerjasama dari dua orang yang seprofesi atau satu keahlian untuk menerima pekerjaan secara bersama dan berbagi keuntungan dari pekerjaan itu. Bentuk kerjasama ini umumnya termasuk dalam jenis usaha jasa. Contohnya, dua orang desainer menggarap sebuah proyek pesanan desain pakaian sebuah pabrik pakaian.
46
d. Syirkah Wujuh
Syirkah wujuh biasa disebut syirkah piutang. Syirkah ini merupakan
bentuk kerjasama dua orang atau lebih yang memiliki keahlian tentang
penjualan dan bisnis. Jenis syirkah ini umumnya tidak memerlukan modal. Praktiknya, mereka membeli barang secara kredit dan kemudian
menjualnya secara tunai. Mereka akan berbagi hasil atas keuntungan dan
menanggung risikokerugian secara bersama berdasarkan jaminan yang ditentukan oleh mitra penyuplai.
Adapun aplikasi mudharabah dalam praktik investasi di bank syariah dapat diilustrasikan melalui gambar berikut: Gambar 2.3 Skema Pembiayaan Musyarakah
Perjanjian Bagi Hasil Nasabah
Bank Syariah Proyek/Bisnis Keuntungan
Nisbah X%
Bagi Hasil Sesuai Dengan Nisbah
Nisbah Y%
Sumber: Muhammad dan Dwi Suwiknyo. Akuntansi Perbankan Syariah, Yogyakarta: TrustMedia, 2009, h. 22
Gambar tersebut mengilustrasikan kerjasama antara bank syariah dan nasabah sebagai mudharib yang sepakat mengeluarkan harta dan tenaga berdasarkan porsi kontribusi yangdisepakati untuk menjalankan sebuah proyek usaha. Berdasarkan nisbah yang disepakati, keuntungan tersebut dibagihasilkan secara adil.
47
2.9 Penelitian Terdahulu Saat ini, kontrak pembiayaan bagi hasil selalu dihadapkan pada beberapa
permasalahan yang sekaligus menjadi tantangan bagi bank syariah untuk dapat meningkatkan komposisi pembiayaan ini baik dari segi kuantitas maupun
kualitasnya, sebab bank syariah dikenal dengan pembiayaan bagi hasil sebagai ciri khas yang membedakannya dengan bank konvensional. Selain itu, pembiayaan bagi hasil ini dapat dikatakan memiliki prospek yang baik bagi pertumbuhan
ekonomi khususnya bagi peningkatan taraf hidup masyarakat yang memang merupakan tujuan utama dari pendirian kelembagaan bank syariah itu sendiri.
Maka dari itu muncul beberapa penelitian yang membahas permasalahan tersebut. Penelitian ini mengacu pada beberapa penelitian terdahulu yang mengurai beberapa hal tentang pembiayaan bagi hasil. Hasil penelitian tersebut digunakan sebagai acuan dan pembanding dalam menganalisis variabel yang mempengaruhi pembiayaan bagi hasil pada Bank Syariah Mandiri dan Bank Muamalat Indonesia. Penelitian Firdaus Rosyidi (2009) yang berjudul Analisis Struktur Pasar dan Kinerja Industri Perbankan Syariah di Indonesia, menyatakan bahwa struktur pasar industri perbankan syariah berdasarkan pangsa pasar atas aset, dana pihak ketiga, dan pembiayaan yang diberikan cenderung mengarah pada tipe yang sama yaitu oligopoli murni, selain itu diketahui sejumlah dua buah bank syariah yang menguasai pangsa pasar secara rata – rata dalam kurun waktu selama tujuh tahun, kedua bank syariah tersebut adalah Bank Syariah Mandiri dan Bank Muamalat. Dari penelitian tersebut, dapat disimpulkan bahwa cenderung tidak ada perbedaan yang signifikan antara pembiayaan bagi hasil antara Bank Syariah Mandiri dan Bank Muamalat Indonesia. Namun pada penelitian Evi Tifani (2010) yang berjudul Analisis Perbandingan Kinerja Keuangan Perbankan Syariah Pada Bank Muamalat dan Bank Syariah Mandiri membuktikan bahwa, setiap bank syariah mempunyai
karakteristik
berbeda
termasuk
dalam
segi
penyaluran
pembiayaannya, karena setiap bank memiliki pola yang tidak sama dalam mempertahankan tumbuh kembang perusahaannya. Hasil penelitian menunjukan terdapat perbedaan yang signifikan antara kinerja keuangan Bank Syariah Mandiri dan Bank Muamalat Indonesia dari segi penyaluran pembiayaannya. Hasil
48
penelitian Andi Dahlia (2012) dalam Analisis Perbandingan Kinerja Keuangan PT Bank Muamalat Indonesia dan PT Bank Syariah Mandiri menunjukan bahwa
terdapat perbedaan signifikan antara kinerja Keuangan PT Bank Muamalat Indonesia dan PT Bank Syariah Mandiri jika dilihat dari rasio LDR atau rasio
penyaluran pembiayaannya. Penelitian yang dilakukan Sayed dan Makiyan (2001) terhadap pinjaman pada bank-bank di Iran yang semuanya bank syariah dengan menggunakan
metode Error Correction Model (ECM) menunjukan bahwa jumlah dana pihak ketiga dan inflasi sebagai variabel independen mempengaruhi variabel
pembiayaan bagi hasil sebagai variabel dependen, sedangkan variabel dependen tingkat bagi hasil tidak mempengaruhi variabel pembiayaan bagi hasil. Dari penelitian tersebut terlihat bahwa intervensi pemerintah memegang peranan penting bagi perekonomian. Dari penelitian tersebut, penulis tertarik untuk memanfaatkan variabel inflasi sebagai salah satu variabel yang mempengaruhi pembiayaan bagi hasil dalam penelitian ini. Dalam penelitian lain yang dilakukan Maharani Ika Lestari dan Toto Sugiharto (2007) tentang faktor-faktor yang mempengaruhi LDR pada bank devisa dan bank non-devisa di Indonesia dengan menggunakan metode regresi linear berganda dijelaskan bahwa variable inflasi sebagai salah satu variable independen dalam penelitian ini tidak berpengaruh secara signifikan terhadap rasio LDR pada bank devisa dan bank non-devisa di Indonesia. Penelitian lain mengenai pembiayaan bagi hasil juga dilakukan oleh Muhammad Ikram Jeihan (2010). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi pembiayaan bagi hasil (mudharabah dan musyarakah) pada Bank Syariah di Indonesia periode Mei 2007 sampai Juni 2010 dengan menggunakan metode regresi berganda. Hasil penelitiannya menunjukan bahwa kesemua variabel yaitu dana pihak ketiga, non performing financing, rate sertifikat wadiah Bank Indonesia, dan tingkat inflasi secara bersama-sama mempengaruhi pembiayaan bagi hasil. Keempat variabel tersebut dapat menjelaskan variabel dependennya sebesar 96,5% dan sisanya 3,5% dapat dijelaskan oleh variabel lain yang tidak termasuk dalam model. Uji t statistik
49
menunjukan hanya variabel dana pihak ketiga yang signifikan mempengaruhi pembiayaan bagi hasil, hubungan antara variabel dana pihak ketiga dan
pembiayaan bagi hasil adalah positif, sedangkan variabel lainnya yang diteliti NPF, SWBI dan tingkat inflasi tidak berpengaruh signifikan terhadap yaitu
pembiayaan bagi hasil pada bank syariah. Penelitian yang dilakukan Muhammad Ikram Jeihan (2010) cukup komprehensif dalam menjelaskan beberapa faktor yang mempengaruhi pembiayaan bagi hasil. Pemilihan variabel dana pihak ketiga
mengacu pada variabel yang digunakan oleh Jeihan tersebut. Selain penelitian tersebut, Dodi Karneli (2008) melakukan penelitian tentang
pengaruh rasio kecukupan modal atau biasa disebut Capital Adequacy Ratio (CAR) terhadap pembiayaan yang diberikan oleh PT. Bank Muamalat Indonesia dengan menggunakan metode korelasi sederhana. Hasil penelitiannya menunjukan Capital Adequacy Ratio (CAR) mempunya korelasi (hubungan) yang kuat serta berkebalikan arah dengan pembiayaan yang diberikan. Idealnya menurut teori hubungan kedua variabel tersebut adalah positif atau searah tetapi ketika diuji maka terlihat korelasinya adalah negatif. Dari hasil penelitian tersebut, penulis tertarik dengan adanya perbedaan antara hasil penelitian dan teori yang telah ada. Maka, penulis memilih variabel CAR sebagai salah satu variabel yang mempengaruhi pembiayaan mudharabah. Adapun ringkasan uraian penelitian terdahulu diatas dapat dilihat pada tabel sebagai berikut ini.
50
Tabel 2.2 Penelitian Terdahulu
Nama dan Tahun
Var. Dependen
Var. Independen
Metodologi
Hasil Penelitian
Firdaus Rosyidi (2009)
Evi Tifani (2010)
pasar atas aset, pangsa
struktur pasar industri
paired sampel t-test
struktur pasar industri perbankan syariah
dana pihak ketiga, dan
dan wilcoxon signed
mengarah pada tipe yang sama yaitu
pembiayaan
rank
oligopoli murni
analisis rasio
terdapat perbedaan yang signifikan
CAMEL dan
antara kinerja keuangan Bank Syariah
independent sample
Mandiri dan Bank Muamalat Indonesia
t-test
dari segi penyaluran pembiayaannya.
analisis rasio
terdapat perbedaan signifikan antara
CAMEL dan
kinerja Keuangan PT Bank Muamalat
independent sample
Indonesia dan PT Bank Syariah Mandiri
t-test
jika dilihat dari rasio LDR
CAR, NPL, ROA,
kinerja keuangan
ROE, BOPO dan LDR
Andi Dahlia (2012)
CAR, NPM, ROA,
kinerja keuangan
BOPO dan LDR
Seyed dan Makiyan,
penawaran pinjaman
tingkat bagi hasil,
Error Correction
jumlah dana pihak ketiga dan inflasi
Iran (2001)
bagi hasil di bank
inflasi dan total DPK
Model (ECM)
mempengaruhi pembiayaan bagi hasil,
islam Iran
sedangkan tingkat bagi hasil tidak mempengaruhi pembiayaan bagi hasil
51
Maharani Ika Lestari
inflasi , nilai tukar ,
LDR (Loan to Deposit
regresi linear
inflasi, nilai tukar dan tingkat suku
dan Toto Sugiharto
SBI dan suku bunga
Ratio)
berganda
bunga SBI tidak berpengaruh signifikan
(2007)
terhadap LDR
Muhammad Ikram Jeihan (2010)
pembiayaan bagi hasil
dana pihak ketiga, non
regresi linear
dana pihak ketiga berpengaruh positif
performing financing,
berganda
dan signifikan, sedangkan non
rate sertifikat wadiah
performing financing, rate sertifikat
Bank Indonesia, dan
wadiah Bank Indonesia, dan tingkat
tingkat inflasi
inflasi tidak berpengaruh signifikan terhadap pembiayaan bagi hasil
Dodi Karneli (2008)
pembiayaan yang
Capital Adequacy Ratio regresi linear
Capital Adequacy Ratio (CAR)
diberikan (pyd)
(CAR)
mempunya korelasi (hubungan) yang
sederhana
kuat serta berkebalikan arah dengan pembiayaan yang diberikan Sumber : Data Olahan Penulis
52
2.10 Kerangka Pemikiran Pemikiran awal yang melandasi penulis untuk melakukan penelitian ini adalah
berangkat dari isu utama tentang rendahnya pembiayaan bagi hasil yang justru dianggap sebagai produk utama bank syariah yang membedakannya dengan bank
konvensional. Rendahnya pembiayaan bagi hasil ini tidak lepas dari peran bank syariah dalam memanajemen kegiatan operasionalnya secara internal, maupun kondisi perekonomian diluar kebijakan bank syariah itu sendiri. Kedua hal tersebut merupakan tahap awal penulis dalam melakukan pengkajian terhadap variabel-
variabel yang akan di uji nantinya terhadap tingkat pembiayaan bagi hasil. Tahapan
pemikiran dapat digambarkan dalam skema berikut ini :
Gambar 2.5 Kerangka Pemikiran Perbankan Syariah
Bank Syariah Mandiri Sumber Modal DPK (X31)
Penyaluran CAR (X21) Pembiayaan Bagi Hasil (Y1)
Kondisi Eksternal: Kebijakan BI
Bank Muamalat Indonesia Sumber Modal DPK (X33)
Penyaluran
Inflasi (X11,2)
CAR (X22) Pembiayaan Bagi Hasil (Y2)
Sumber : Data Olahan Penulis
Dari rumusan kerangka pemikiran tersebut di atas, maka peneliti tertarik untuk mendapatkan gambaran mengenai kondisi internal bank syariah baik Bank Syariah Mandiri maupun Bank Muamalat Indonesia sebagai objek dari penelitian ini yang ditinjau dari aspek pengelolaan dana dan pemeliharaan likuiditasnya guna mendukung aktivitas pembiayaan sebagai aktivitas utama bank syariah dalam
53
kegiatan operasionalnya. Selain itu, penulis juga membahas kondisi eksternal bank syariah yang tercermin dalam tingkat inflasi. Dalam hal ini, penulis terlebih
dahulu melakukan pengkajian literatur-literatur terdahulu yang sudah menguji beberapa faktor yang mempengaruhi pembiayaan bagi hasil.
Dalam penelitian ini, penulis terlebih dahulu akan menguji perbedaan antara
tingkat pembiayaan bagi hasil pada Bank Syariah Mandiri (Y1) dan tingkat pembiayaan bagi hasil pada Bank Muamalat Indonesia (Y 2). Hal ini dilakukan
untuk mengungkap karakteristik masing-masing tingkat pembiayaan bagi hasil tersebut agar menguatkan fakta yang terdapat dalam gambaran data yang telah
disampaikan. Selanjutnya, seperti yang telah tertuang dalam penelitian terdahulu yang dilakukan oleh beberapa penulis lain, dalam hal ini penulis mengambil variabel Dana Pihak Ketiga (DPK) sebagai sumber dana utama bagi bank dalam melakukan pembiayaan seperti yang telah dijelaskan dalam teori. Hal tersebut juga sejalan dengan penelitian Muhammad Ikram Jeihan (2010) dalam Faktorfaktor yang Mempengaruhi Pembiayaan Bagi Hasil pada Bank Syariah di Indonesia, salah satu varibel independennya adalah jumlah Dana Pihak Ketiga. Penulis menguji varibel ini untuk menguji seberapa besar pengaruhnya DPK terhadap tingkat pembiayaan bagi hasil di Bank Syariah Mandiri dan Bank Muamalat Indonesia. Untuk mengetahui pemeliharaan likuiditas bank sebagai penunjang dalam kegiataan operasional berupa pembiayaan khususnya pembiayaan bagi hasil, penulis memilih variabel Capital Adequacy Ratio (CAR) sebagai rasio solvabilitas sekaligus berkaitan dengan risiko likuditas. Secara teoritis, semakin tinggi CAR maka semakin baik kondisi bank dalam segi kesehatannya maupun dalam segi kemampuannya untuk berkontribusi dalam pelaksanaan pembiayaan. Penelitian yang telah dilakukan Dodi Karneli (2008) tentang Pengaruh CAR terhadap Pembiayaan yang Diberikan Bank Muamalat menyimpulkan bahwa CAR berbanding terbalik dengan pembiayaan. Hal tersebut disebabkan oleh manajemen belum dapat menambah faktor permodalan karena sulitnya mendapatkan investor baru di tengah ketidakpastian peraturan pemerintah, akan tetapi komitmen dan
54
minat masyarakat untuk bermitra dalam pembiayaan sangat tinggi. Oleh karena itu penulis teratrik mengambil variabel CAR untuk melihat seberapa besar
pengaruh permodalan Bank Syariah Mandiri dan Bank Muamalat Indonesia terhadap tingkat pembiayaan bagi hasil.
Setelah mengkaji kondisi internal bank syariah dari segi aspek pengelolaan
dana dan pemeliharaan likuiditasnya, penulis juga melihat adanya faktor eksternal atau faktor di luar kendali bank syariah dalam menyalurkan pembiayaan bagi
hasil. Beberapa penelitian seperti penelitian Diana Yumanita (2005) menyebutkan bahwa iklim usaha yang tercermin dalam kenaikan harga atau biaya di pasar
adalah salah satu penyebab rendahnya pembiayaan bagi hasil. Kenaikan tersebut dapat menyebabkan ketidakmampuan produsen untuk bertahan dalam usahanya, sehingga bagi produsen yang merupakan mudharib bank syariah, kerugian tersebut juga mempengaruhi tingkat pembiayaan macet. Tingkat pembiayaan macet akibat kondisi usaha yang kurang kondusif di indikasikan mempengaruhi kebijakan bank syariah dalam menyalurkan pembiayaan bagi hasil karena bank syariah tersebut juga memperhatikan aspek kehati-hatian. Iklim usaha dalam konteks tersebut akan dilihat melalui variabel inflas (IHK). Variabel IHK dapat mewakili besarnya kenaikan biaya hidup bagi konsumen, karena IHK memasukakan komoditas-komoditas yang relevan (pokok) yang biasanya dikonsumsi masyarakat. Penelitian tentang inflasi yang berpengaruh terhadap pembiayaan juga telah dilakukan oleh Sayed dan Makiyan (2001) terhadap pinjaman pada bank-bank di Iran yang semuanya bank syariah. Maharani dan Toto Sugiharto (2007) melakukan penelitian yang sama namun hasilnya berbeda dengan penelitian Sayed dan Makiyan. Dalam hal ini penulis akan menguji seberapa besar pengaruh tingkat inflasi dalam mempengaruhi tingkat pembiayaan bagi hasil di Bank Syariah Mandiri dan Bank Muamalat Indonesia. Dari uraian tersebut, maka penulis merumuskan tiga variabel yang dianggap mempengaruhi pembiayaan bagi hasil. Variabel-variabel tersebut adalah Inflasi, Capital Adequacy Ratio (CAR) dan Jumlah Dana Pihak Ketiga (DPK). Variabelvariabel tersebut dapat mewakili beberapa variabel yang mempengaruhi tingkat pembiayaan bagi hasil.
55
2.11 Hipotesis Penelitian Menurut Sugiyono (2010:84), hipotesis merupakan jawaban sementara
terhadap rumusan masalah penelitian. Adapun hipotesis yang penulis ajukan berdasarkan pengertian hipotesis penelitian tersebut dalam penelitian ini adalah:
a. Tingkat inflasi berpengaruh negatif secara signifikan terhadap pembiayaan bagi hasil PT. Bank Syariah Mandiri, Tbk dan PT. Bank Muamalat
Indonesia,Tbk.
b. Capital Adequacy Ratio (CAR) berpengaruh positif secara signifikan
terhadap pembiayaan bagi hasil pada PT. Bank Syariah Mandiri, Tbk dan PT. Bank Muamalat Indonesia, Tbk.
c. Jumlah Dana Pihak Ketiga berpengaruh positif secara signifikan terhadap pembiayaan bagi hasil pada PT. Bank Syariah Mandiri, Tbk dan PT. Bank Muamalat Indonesia, Tbk. d. Inflasi, Capital Adequacy Ratio (CAR), Jumlah Dana Pihak Ketiga (DPK) secara bersama-sama berpengaruh positif secara signifikan terhadap bagi hasil pada PT. Bank Syariah Mandiri, Tbk dan PT. Bank Muamalat Indonesia, Tbk. e. Tingkat pembiayaan bagi hasil pada PT. Bank Syariah Mandiri, Tbk dan tingkat pembiayaan bagi hasil pada PT. Bank Muamalat Indonesia,Tbk mempunyai perbedaan yang signifikan.