BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Kehamilan Kehamilan adalah suatu kondisi dari seorang wanita yang memiliki janin sedang
tumbuh di dalam rahimnya (Maulina, 2010). Proses kehamilan diawali dengan proses pembuahan satu sel telur yang bersatu dengan sel spermatozoa yang akan menghasilkan zigot. Selanjutnya, zigot mulai membelah, dan pada hari ke empat zigot tersebut menjadi segumpal sel yang sudah siap untuk menempel (nidasi) pada lapisan dalam rongga rahim. Secara umum proses kelahiran berlangsung sekitar 40 minggu (280 hari) serta tidak melebihi 43 minggu (300 hari). Berdasarkan usia, kehamilan dibedakan menjadi kehamilan trimester pertama (0 – 14 minggu), kehamilan trimester kedua (14 – 28 minggu) dan kehamilan trimester ketiga (28 – 42 minggu) (Depkes RI, 2006). Terdapat beberap tanda presumptif kehamilan yaitu meliputi Amenorea, mual dan muntah, ngidam, singkope, sering miksi, konstipasi (Cunningham dalam Ningrum, 2011). Sementara, tanda kemungkinan hamil terdiri dari pembesaran perut, tanda hegar (pelunakan isthmus uteri), tanda goodel (pelunakan serviks), tanda chadwicks (perubahan warna keunguan pada vulva dan mukosa vagina), tanda piscaseck (pembesaran uterus tidak simetris), kontraksi braxton hicks (peregangan sel-sel otot uterus), teraba ballotement (gerakan janin), dan positif pemeriksaan tes kehamilan. Serta, tanda pasti dari kehamilan adalah sebagai berikut (Hani dalam Ningrum, 2011): 1. Gerakan Janin dalam Rahim
7
8
Gerakan janin bias teraba dengan jelas oleh pemeriksa, biasanya teraba pada usia kehamilan sekitar 20 minggu. 2. Denyut Jantung Janin Dapat didengar pada usia 12 minggu dengan menggunakan alat fetal electrocardiograf. 3. Bagian-bagian Janin Pada usia kehamilan akhir, bagian-bagian dari janin seperti bagian besar janin (kepala dan bokong) serta bagian kecil janin (lengan dan kaki) dapat diraba dengan jelas dan dapat dilihat dengan sempurna menggunakan USG. 4. Kerangka Janin Kerangka janin dapat dilihat dengan foto rontgen maupun USG.
2.2
Toksoplasmosis
2.2.1 Definisi Toksoplasmosis
merupakan
zoonosis
yang
disebabkan
oleh
parasit
Toxoplasma gondii. Parasit ini memiliki kemampuan untuk menginfeksi binatang berdarah panas, dengan gejala klinis yang tidak tampak pada sebagian besar binatang yang terinfeksi (Buxton, et. al., 2008). Pada manusia, meskipun Toxoplasma gondii biasanya hanya menyebabkan penyakit ringan atau infeksi asimtomatik khususnya untuk orang dewasa, namun pada anak-anak yang terinfeksi sejak lahir dapat menyebabkan penyakit yang merusak. Toxsoplasma gondii memiliki jangkauan hospes perantara yang sangat luas. Banyak spesies hewan domestik dan liar, termasuk burung dapat terinfeksi (Hill & Dubey, 2014). Toxoplasma gondii adalah parasit obligat intraseluler yang memiliki siklus seksual pada kucing dan binatang sejenisnya (felidae). Sementara siklus aseksualnya
9
terjadi pada host intermedietnya termasuk manusia (Buxton, et. al., 2008). Baru pada tahun 1970, ditemukan serentak di beberapa Negara bahwa di dalam tubuh kucing Toxoplasma gondii ternyata memproduksi ookista yang tidak dapat dibedakan dengan suatu ookista yang kemudian disebut isospora bigemina. Dengan kata lain, ookista ini berisi dua sporokista yang masing-masing berisi empat sporozoit (Levine dalam Chahaya, 2003). 2.2.2 Epidemiologi Toksoplasmosis adalah penyakit zoonosis yang disebabkan oleh protozoa atau parasit Toxoplasma gondii. Persebaran infeksi dari penyakit ini sangat luas. Luasnya penyebaran toksoplasmosis pada manusia dan hewan baik hewan peliharaan maupun liar, sehingga toksoplasmosis dimasukkan ke dalam program zoonosis dari Food and Agricultural Organization (FAO) dan World Health Organization (WHO) (Soejoedono dalam Oktariana, 2014). Penelitian toksoplasmosis di Indonesia pertama kali dilakukan di Kalimantan Selatan pada tahun 1971 oleh Durfee. Sementara penelitian yang dilakukan oleh Sasmita et. al. pada kucing di rumah sakit memperoleh hasil 46,7% kucing rumah sakit positif toksoplasmosis. Penelitian dari Hartanto, di Surabaya pada kambing dan domba menunjukan 30% kambing/ domba yang diperiksan positif toksoplasmosis (Sasmita, 2006). Secaram umum di Indonesia berdasarkan pemeriksan serologis pada manusia, prevalensi toksoplasmosis adalah antara 2%-63% (Sutanto, et. al., 2008), sedangkan pada hewan berkisar 6-70% tergantung jenis hewan dan wilayahnya (Subekti, 2006). Sementara, di Bali berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Sukaryawati tahun 2011, ditemukan sebanyak 41,8% wanita hamil terinfeksi toksoplasma di Kecamatan Mengwi, Badung. Kejadian toksoplasmosis dapat dilihat dari segitiga epidemiologi,
10
segitiga epidemiologi atau trias penyebab penyakit adalah suatu proses terjadinya penyakit yang disebabkan oleh agent, host, dan environment yang mendukung. Bila ketiga faktro tersebut saling berinteraksi maka penyakit akan muncul. Faktor agent dari toksoplasmosis adalah parasit Toxoplasma gondii. Ookista dari Toxoplasma gondii yang dikeluarkan oleh seekor kucing sekitar 10 juta ookista sehari selama 2 minggu. Pada kondisi tanah yang lembab dan teduh ookista dapat hidup lama (lebih dari satu tahun). Ookista tidak tahan terhadap tempat yang terkena sinar matahari dan kering (Chahaya, 2003). Prevalensi infeksi Toksoplasma gondii bervariasi secara luas, penelitian dari Amerika Latin, Europa, Asia, dan Afrika melaporkan perkiraan prevalensi sekitar 30%-75% (Muluye, et. al., 2013). Faktor host terdiri dari host definitif (kucing dan binatang sejenisnya) dan host intermediet (termasuk manusia). Infeksi dari Toxoplasma gondii cukup tinggi prevalensinya, terutama pada masyarakat yang memiliki kebiasaan yang dapat meningkatkan risiko infeksi Toxoplasma gondii. Seperti, kebiasaan konsumsi daging mentah atau setengah matang dan beberapa kebiasaan lainnya (Chahaya, 2003). Hasil penelitian dari Sukaryawati pada tahun 2011 tentang faktor risiko toksoplasmosis pada ibu hamil di wilayah Kecamatan Mengwi, menunjukan hasil bahwa konsumsi daging yang belum matang sempurna dapat meningkatkan risiko infeksi dengan nilai OR 4,89 (Sukaryawati, 2011). Hasil penelitian tersebut sejalan dengan penelitian yang dilakukan di Jepang tentang faktor risiko toksoplasmosis pada wanita hamil. Berdasarkan analisis multivariat, didapat bahwa riwayat konsumsi daging mentah diidentifikasi sebagai faktor risiko independen terhada kejadian toksoplasmosis (Sakikawa, et. al., 2011). Faktor resiko yang dapat meningkatkan terjadinya penularan pada manusia, selain kebiasaan makan makanan yang mentah atau setengah matang adalah kebiasaan
11
makan tanpa cuci tangan juga dapat meningkatkan risiko terinfeksi Toxoplasma gondii. Setelah tangan kontak dengan daging yang tercemar dan makan tanpa mencuci tangan dapat menyebabkan trofozoit masuk ke dalam tubuh (Subekti dalam Iskandar, 2008). Serta disarankan untuk menggunakan sarung tangan saat berkebun (Wiknjosastro, 2002). Berdasarkan kebiasaan berkebun, penelitian yang dilakukan oleh Rohmawati dan Wibowo pada tahun 2013, diperoleh hasil seluruh responden (100%) yang positif toksoplasmosis dan 80% responden yang negatif memiliki kebiasaan berkebun. Sehingga, dapat dilihat bahwa ada hubungan antara kebiasaan berkebun dengan kadar anti toksoplasma IgG dalam serum (Rohmawati, 2013). Faktor lingkungan (environment) terdiri dari keberadaan kucing dan kotoran kucing pada lingkungan. Terdapat beberapa penelitian tentang pengaruh keberadaan atau kontak dengan kucing terhadap kejadian toksoplasmosis. Salah satunya, penelitian yang dilakukan oleh Muqbil dan Alqubatil tentang seroprevalensi toksoplasmosis pada wanita di kota Aden, Yeman. Hasil penelitian tersebut menunjukan, diantara kepemilikan hewan, seropositif tertinggi terjadi pada wanita yang mempunyai kucing di rumahnya (76,6%), kepemilikan domba dan kambing (73,7), unta dan sapi (61,3%), dan burung atau unggas (69,2%). Penelitian tersebut menunjukan bahwa kontak dengan kucing dapat meningkatkan risiko terinfeksi Toxoplasma gondii atau dapat mengalami toksoplasmosis (Muqbil, 2014). 2.2.1 Gejala Toksoplasmosis Pada umumnya gejala yang muncul karena infeksi dari Toxoplasma gondii sama seperti gejala infeksi lainya, yaitu dengan adanya demam, malaise, nyeri sendi, pembengkakan kelenjar getah bening (toxoplasmosis limfonodosa acuta) (Hiswani,
12
2003). Gejala dari toksoplasmosis pada manusia dibedakan menjadi dua yakni infeksi asimtomatis dan infeksi simtomatis: 1. Toksoplasmosis Asimtomatis Berdasarkan cara penularan toksoplasmosis dapat dibedakan menjadi toksoplasmosis akuisita (dapatan) dan toksoplasmosis kongenital. Sebagian besar gejala yang ditimbulakan dari dua cara penularan tersebut adalah asimtomatis atau tanpa gejala. Keduanya dapat bersifat akut dan kemudian menjadi kronis. Gejala toksoplasmosis, terutama toksoplasmosis dapatan biasanya tidak diketahui karena tidak menimbulkan gejala, akan menyebabkan kemungkinan 50% melahirkan anak dengan toksoplasmosis kongenital pada ibu yang mendapat infeksi primer (Yaudza, 2011). Bila seseorang terinfeksi Toxoplasma gondii maka akan terus terinfeksi semasa hidupnya (Dubey & Jones, 2008). 2. Toksoplasmosis Simtomatis Gambaran klinis toksoplasmosis, terutama toksoplasmosis kongenital dapat bervariasi (Uysal et. al., 2013). Pada waktu lahir bisa tanpak normal atau tanpa gejala, namun gejala klinisnya baru timbul setelah beberapa minggu sampai beberapa tahun. Gejala yang ditimbulakan dapat berupa eritroblastosis, hidropsfetalis dan triad klasik yang terdiri dari hidrosefalus, korioretinitis dan perkapuran intrakranial atau tetrad sabin yang disertai kelainan psikomotorik (Gandahusada, 2003). Gejala lainnya dapat berupa microphthalmia, atrofi saraf optik, dan kelainan iris, katarak, dan strabismus (juling) (Melamed, 2010). Korioretinitis karena toksoplasmosis pada remaja dan dewasa biasanya akibat infeksi kongenital. Akibat infeksi Toxoplasma gondii pada ibu di masa kehamilan trimester pertama dapat menyebabkan kelainan pada bayi dan anak-anak. Infeksi
13
tersebut juga dapat menyebabkan kerusakan yang sangat berat sehingga terjadi abortus atau lahir mati (Chahaya, 2003). Hal tersebut serupa dengan yang diungkapkan oleh Budijanto dalam Rasmalish tahun 2003, terdapat sekitar 60% bayi yang terinfeksi inutero asimtomatik, dan 40% mengalami abortus, lahir mati, dan lahir prematur. Berdasarkan penelitian Gohel et. al. tahun 2014 tentang seroprevalensi dan hubungan klinis dari infeksi toxoplasma gondii pada wanita hamil di rumah sakit tersier, menunjukan dari 90 sampel terdapat 18 orang yang IgM positif. Diantara IgM positif ditemukan 8 (44,4%) kasus abortus, lahir prematur 4 (22,22%), hidrosefalus 1 (5,55%), dan lahir mati 2 (11,11%). Hasil penelitian dari Chintapalli dan Padmaja juga menunjukan hal yang serupa. Penelitian tersebut menunjukan bahwa abortus merupakan kasus klinis utama dari kehamilan yang terbuang (pregnancy wastage) jika dibandungkan dengan lahir mati dan malformasi kongenital (seperti hidrosefalus dan anensefalus). 2.2.2 Diagnosis Toksoplasmosis Diagnosis toksoplasmosis penting dilakukan, terutama pada ibu hamil, dikarenakan bila ibu terinfeksi dapat ditularkan pada anak yang dikandungnya. Gejala toksoplasmosis,
terutama
yang
asmintomatis
untuk
melihat
infeksi
akut
toksoplasmosis dan toksoplasmosis kengenital tersebut perlu dilakukan cek di laboratorium
sehingga
dapat
segera
diobati
(Pessanha,
2011).
Diagnosis
toksoplasmosis pada hewan atau manusia dengan melihat gejala klinisnya sulit dilakukan sehingga diperlukan pemeriksaan laboratorium (Sasmita, 2006). Salah satu cara yang cukup mudah dilakukan untuk melihat infeksi Toxoplasma gondii pada manusia adalah dengan melihat anti Toxoplasma gondii IgM dan IgG pada serum darah (Haswani, 2003). IgM yang positif menunjukan bahwa
14
infeksi baru saja terjadi (Gohel, et. al., 2014). Sementara, anti toksoplasma IgG dapat terdeteksi setelah 3-4 bulan infeksi dan kadarnya menetap sampai bertahun-tahun (Haswani, 2003). 2.2.3 Morfologi dan Siklus Hidup Toxoplasma Gondii Toxoplasma gondii dalam siklus hidupnya memiliki tiga bentuk yakni takizoit (tachizoite/ bentuk proliferatif juga disebut trofozoit), yang kedua kista (kista dalam jaringan tubuh yang berisi baradyzoite), dan ookista (penghasil sporozoit) (Sasmita, 2006). 1) Takizoit (Tachizoite) Takizoit berbentuk lengkung atau oval (bulat telur) satu ujungnya meruncing dan ujung lainnya tumpul. Panjang takizoit berkisar antara 4-8 µm dan lebar antara 24 µm. Takizoit hidup di habitat intraseluler. Takizoit tidak bias hidup di tempattempat yang kering, pembekuan dan pada cairan pencernaan dalam lambung manusia. 2) Kista Kista memiliku ukuran yang bermacam-macam. Kista kecil berisi hanya beberapa organisme, sedangkan kista ukuran 200 µm bias berisi sekitar 3000 organisme. Kista dapat terbentuk diseluruh jaringan tubuh, namun keberadaan kista paling banyak ditemukan pada otak dan otot. 3) Ookista Pembentukan ookista dihasilkan dari siklus enteroepitelial di dalam usus family kucing. Sepanjang usus halus kucing berlangsung schizogoni dan gametogoni. Ookista keluar bersama tinja, pada hari ke-5 dan ke-8 merupakan puncak produksi ookista. Ookista dihasilkan selama 12 hari dalam tinja.
15
Berikut ini adalah gambaran dua siklus hidup Toxoplasma gandii yakni siklus seksual pada kucing dan binatang sejenisnya sebagai host definitifnya dan siklus aseksual yang terjadi pada host intermedietnya termasuk manusia:
Gambar 2.1 Siklus Hidup Toxoplasma Gondii Sumber: CDC (Akses: 21 Januari 2016) Ookista yang tak berspora pada feces kucing dapat dikeluarkan selama 1-2 minggu. Ookista bersporulasi pada lingkungan dan menjadi infektif membutuhkan waktu 2-5 hari. Host intermediate (burung, tikus) terinfeksi setelah mengkonsumsi tanah, air, tanaman yang terkontaminasi ookista. Ookista yang tertelan segera akan berubah menjadi takizoit. Takizoit akan terlokalisir pada saraf dan otot, dan berkembang menjadi jaringan kista baradizoit. Sementara, kucing akan terinfeksi saat mengkonsumsi host intermediet serta mengkonsumsi langsung ookista bersporulasi. Manusia dapat terinfeksi melalui makan makanan yang tidak matang, air yang terkontaminasi kotoran kucing, kontak dengan tanah yang yang terkontaminasi kotoran kucing, tranfusi darah, transplantasi organ, serta penularan dari ibu dengan bayi yang dikandung (CDC, 2015).
16
2.2.4 Pencegahan Pencegahan terhadap infeksi Toxoplasma gondii dilakukan dengan memutus rantai penularan. Masuknya parasit Toxoplasma gondii ke tubuh manusia adalah melalui mulut, sehingga makanan dan minuman yang dikonsumsi harus diperhatikan (Kemenper, 2014). Mencegah makanan terkontaminasi oleh trofozoit dan sista bisa dilakukan dengan memasak makanan seperti daging pada suhu yang cukup untuk membunuh parasit tersebut. Suhu yang baik digunakan untuk memasak daging sapi, domaba atau daging panggang adalah 63˚C, untuk daging babi dan daging giling dimasak pada suhu 71˚C, dan daging unggas dimasak pada suhu 180˚C. Teknik pembekuan, pengasinan, pengawetan, serta pengasapan tidak cukup untuk membunuh parasit Toxoplasma gondii. Sementara, untuk buah dan sayur harus di kupas serta dicuci agar ookista yang mengkontaminasi hilang (CFSPH, 2005). Selain makanan, kebersihan diri juga harus dijaga untuk mencegah infeksi Toxoplasma gondii, seperti mencuci tangan sebelum makan menggunakan air mengalir dan sabun. Aktifitas kontak dengan tanah atau berkebun sebaiknya menggunakan sarung tangan. Begitu juga setelah kontak dengan kucing atau kotoran kucing harus mencuci tangan dengan sabun (Kemenper, 2014). Serta, diperlukan pemeriksaan kemungkinan infeksi toksoplasma gondii secara berkala pada wanita hamil trimester I, sehingga bisa dilakukan tindakan pengobatan supaya tidak terjadi abortus (Hiswani, 2003).