BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Biodiversitas Biodiversitas atau keanekaragaman hayati adalah berbagai macam bentuk kehidupan, peranan ekologi yang dimilikinya dan keanekaragaman plasma nutfah yang terkandung di dalamnya (Mackinnon et al., 2000). Keanekaragaman hayati baik langsung atau tidak, berperan dalam kehidupan manusia baik dalam bentuk sandang, pangan, papan, obat-obatan, wahana wisata dan pengembangan ilmu pengetahuan. Peran tak kalah penting lagi adalah dalam mengatur proses ekologi sistem
penyangga
kehidupan
termasuk
penghasil
oksigen,
pencegahan
pencemaran udara dan air, mencegah banjir dan longsor, penunjang keseimbangan hubungan mangsa dan pemangsa dalam bentuk pengendalian hama alami (Utomo, 2006a).
Keanekaragaman hayati merupakan sumberdaya alam yang dapat dimanfaatkan untuk berbagai keperluan hidup manusia. Keanekaragaman hayati juga menjadi penentu kestabilan ekosistem. Organisme, populasi, komunitas dan ekosistem merupakan sebagian dari tingkatan organisasi makhluk hidup, sehingga jenis dan sifat organisme, populasi dan komunitas akan mempengaruhi tipe dan karakteristik suatu ekosistem hutan (Indriyanto, 2005).
2.2 Hutan Hutan adalah suatu kumpulan atau asosiasi pohon-pohon yang cukup rapat dan menutupi areal yang cukup luas sehingga akan dapat membentuk iklim mikro yang kondisi ekologis yang khas serta berbeda dengan areal luarnya. Undangundang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1999 tentang kehutanan, mendefinisikan hutan sebagai suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumberdaya alam hayati yang mendominasi jenis pepohonan dalam per
sekutuan dengan lingkungan ekosistem yang tidak dapat dipisahkan antara yang satu dengan yang lain (Irwanto, 2007).
Hutan berfungsi secara alami sebagai dasar kehidupan di atas permukaan bumi ini. Hutan di samping menghasilkan kayu, juga hasil hutan non kayu dan jasa lingkungan. Hasil hutan non kayu berupa damar, rotan, bahan obat-obatan, dalan lainnya, sedangkan jasa lingkungan seperti menampung air, menahan banjir, mengurangi erosi dan sedimentasi, sumber keaneka ragaman hayati dan menyerap karbon sehingga mengurangi pencemaran udara, serta sebagai tempat dan sumber kehidupan satwa dan makhluk hidup lainnya (Uluk et al., 2001).
2.3 Hutan Pegunungan Menurut Damanik et al., (1987) hutan pegunungan adalah hutan yang tumbuh di daerah ketinggian di atas 1.000 meter di atas permukaan air. Ketinggian rata-rata tempat dari berbagai tipe hutan pegunungan di Sumatera kira-kira adalah sebagai berikut: a. Daerah ketinggian 0-1.200 diatas permukaan laut, disebut dataran rendah b. Daerah ketinggian 1.200-2.100 meter diatas permukaan laut, disebut hutan pegunungan bagian bawah c. Daerah ketinggian 2.100-3.000 meter diatas permukaan laut, disebut hutan pegunungan bagian atas d. Daerah ketinggian diatas 3.000 meter diatas permukaan laut, disebut hutan subalpin.
Hutan pegunungan memiliki zona-zona vegetasi dengan jenis, struktur dan penampilan yang berbeda. Semakin tinggi suatu tempat, iklim menjadi sejuk dan lebih lembab. Untuk setiap kenaikan ketinggian sebesar 1000 meter, suhu akan turun kira-kira 50 C, faktor lain yang mempengaruhi penyebaran dan bentuk tumbuhan di gunung adalah kelembaban, curah hujan dan pengaruh angin. Curah hujan biasanya lebih tinggi di sisi gunung yang berhadapan dengan arah tiupan
angin di lereng-lereng gunung sampai ketinggian 1500 mdpl dari pada di dataran rendah disekitarnya (Mackinnon et al., 2000).
Hutan Gunung Sinabung merupakan hutan tropis yang memiliki ketinggian 2450 mdpl. Gunung Sinabung memiliki keanekaragaman vegetasi yang tinggi. Jenis vegetasi juga berbeda pada setiap ketinggian, semakin naiknya ketinggian maka jenis vegetasi semakin berkurang. Zona bawah Gunung Sinabung memiliki vegetasi yang sangat rapat dengan banyaknya jenis pohon seperti Lithocarpus bancana, Neocinnamomum sp dan Aglaia sp. Pada zona pegunungan atas, jenis vegetasi pohon mulai jarang ditemukan. Vegetasi yang paling mendominasi pada zona pegunungan atas adalah seedling dari jenis Vaccinium sp dan Rhododendron sp serta jenis paku-pakuan.
2.4 Pengaruh Debu Vulkanik Terhadap Kesuburan Tanah Menurut Sudaryo & Sutjipto (2009) Allophan adalah aluminosilikat amorf yang terbentuk dari bahan organik yang dapat membentuk ikatan kompleks. Tanah yang berkembang dari abu vulkanik yang umumnya dicirikan oleh kandungan mineral liat allophan yang tinggi. Di daerah yang kering, tanah dari abu vulkanik tersebut memiliki warna tanah yang tidak sehitam dari daerah lain. Debu vulkanik yang terbentuk dari lapukan materi dari letusan gunung berapi yang subur mengandung unsur hara N, P, S, unsur mikro yang tinggi. Sifat-sifat tanah allophan adalah: a. Profil tanahnya dalam. b. Lapisan atas maupun permukaannya gembur serta berwarna hitam. c. Lapisan subsoil berwarna kecoklatan dan terasa licin bila digosok diantara tangan d. Bulk densitynya sangat rendah (< 0,85). e. Daya tahan terhadap air tinggi. f. Perkembangan struktur tanah baik. g. Daya lekat maupun plastisitasnya tidak ada bila lembab.
h. Sukar dibasahi kembali bila sudah kering serta dapat mengapung di atas permukaan air.
Sifat tanah pegunungan berubah dengan pertambahan ketinggian tempat, umumnya menjadi lebih masam dan miskin zat hara, terutama ditempat-tempat dimana terdapat gambut asam. Tanah di puncak gunung, dibagian atas pungungpunggung gunung, dan di bukit-bukit kecil, yang hanya menerima air dari atmosfer, kering dan lebih miskin zat hara daripada tanah-tanah di dalam cekungan atau di lereng-lereng yang lebih rendah, yang menerima masukan air tanah yang tertapis dari atas. Perbedaan dalam komposisi batuan dasar dan iklim merupakan faktor-faktor utama yang mempengaruhi pembentukan tanah pada ketinggian yang berbeda di atas gunung. Selain itu kemiringan lereng dan keterbukaan vegetasi penutup juga merupakan faktor-faktor yang penting. Suhu rendah memperlambat proses pembentukan tanah karena evapotranspirasi menurun, reaksi kimia lebih lambat dan kerapatan organisme tanah lebih rendah (Mackinnon et al., 2000).
2.5 Bank Biji (Seed Bank) Bank biji didefinisikan sebagai jumlah biji viabel yang tersimpan di permukaan tanah dan di dalam tanah, kerapatan biji yang tersimpan di tanah menurun dengan bertambahnya altitude, latitude dan semakin bertambahnya usia proses suksesi serta menurunnya intensitas gangguan (Rochadi, 2004). Secara umum terbentuknya vegetasi dapat melalui dua cara yaitu melalui biji (secara generatif) atau pembiakan secara vegetatif. Beberapa jenis tumbuhan dapat berkembang melalui tunas-tunas yang tumbuh dari bulbus, dan tunas rizome dan umbi seperti kebanyakan dari famili Liliaceae, Amaryllidaceae dan Oxalidaceae. Berbeda dengan seed bank, bud bank biasanya telah ada
secara vegetatif. Namun
tumbuhan yang terbentuk dari biji, propagul-propagul vegetatifnya dapat tersebar melalui ruang dan waktu dan memerlukan faktor-faktor lingkungan tertentu untuk memecahkan dormansinya seperti kelembaban atau temperatur (Utomo, 2006b).
Bank Biji adalah kumpulan dari biji yang belum tumbuh dan memiliki kemampuan potensial untuk menggantikan tanaman-tanaman dewasa baik itu tanaman semusim ataupun tahunan yang dapat mati oleh penyakit, atau gangguan lainnya. Bank biji dapat ditemukan pada berbagai habitat, seperti rumput musiman, padang rumput, tanah pertanian, lahan terlantar, di dalam hutan bahkan dapat pula ditemukan di rawa (Alessio et al., 1989).
2.6 Benih Hutan dan Produksi Biji Hutan hujan tropis dicirikan oleh curah hujan tahunan yang tinggi, variasi iklim yang kecil, lantai hutan lembab dengan variasi iklim mikro yang kecil. Pembukaan kanopi merubah secara drastis iklim mikro demikian pula dengan pola regenerasinya. Regenerasi dan tipe benihnya dapat dikelompokan kedalam jenis hutan klimaks dan jenis pionir. Jenis hutan klimaks memiliki benih yang beradaptasi untuk perkecambahan di lantai hutan lembab. Umumnya jenis ini sangat rekalsitran (sensitif terhadap pengeringan dan memiliki viabilitas yang sangat pendek) dan berkecambah sangat cepat pada kondisi pencahayaan yang rendah (Utomo, 2006b). Selain itu Faktor lingkungan utama yang dapat mempengaruhi produksi benih dimulai dengan riwayat lahan, iklim (cahaya, suhu, curah hujan dan angin), tanah (kesuburan dan kelembaban), serta faktor biologis seperti hama, penyakit dan gulma (Sukarman, 2007).
2.7 Viabilitas Viabilitas benih adalah daya hidup benih yang ditunjukan oleh fenomena pertumbuhan benih, gejala metabolisme dan kinerja kromosom (Utomo, 2006b). Benih didalam hutan sangat dipengaruhi oleh keadaan lingkungan seperti suhu, kelembaban, intensitas cahaya yang dipengaruhi oleh tutupan tajuk dan ketinggian. Menurut Robiāin (2007) kadar air juga merupakan faktor yang paling mempengaruhi
kemunduran
benih.
Selain
itu
rendah
dan
lambatnya
perkecambahan dapat disebabkan oleh ketidakcocokan suhu perkecambahan, kadar air biji yang tidak memadai, umur fisiologis biji belum cukup, kemunduran viabilitas biji atau biji dalam keadaan dorman. Biji yang rendah viabilitasnya
apabila ditanam akan rendah juga hasilnya dan pendek periode simpannya. Sebagai upaya meningkatkan hasil perkecambahan dan mempertahankan daya simpan
yang
memadai
perlu
diteliti
kepekaan
bijinya
terhadap
suhu
perkecambahan dan pengeringan biji
2.8 Dormansi dan Pencahayaan Dormansi Dormansi didefinisikan sebagai benih yang mengalamai istirahat total dalam keadaan tumbuh optimal dan tidak menunjukan gejala tumbuh. Benih dikatakan dorman apabila benih tersebut sebenarnya hidup tetapi tidak berkecambah walaupun diletakkan pada keadaan yang secara umum dianggap telah memenuhi persyaratan bagi suatu perkecambahan. Dormansi biji dalam tanah dapat rusak oleh berbagai faktor yang biasanya dipengaruhi oleh kedalaman tanah, hal ini mencakup kesesuaian suhu, ketersediaan oksigen, kebebasan dari penghambat kimia (etilen dan karbon dioksida), cahaya seperti fotoperiode, kualitas spectrum serta intensitasnya. Suplai air harus cukup dan pH serta salinitas harus pula berada pada batas-batas tertentu. Rusaknya dormansi akan mendorong proses pematangan embrio, pengaktifan enzim-enzim dalam embrio dan peningkatan permebilitas kulit biji yang menyangkut masuknya air dan gas-gas yang diperlukan bagi perkecambahan (Utomo, 2006b).
Menurut Sahupala (2007) ada beberapa tipe dormansi, yaitu: A.Dormansi Fisik Pada tipe dormansi ini yang menyebabkan pembatas struktural terhadap perkecambahan adalah kulit biji yang keras dan kedap sehingga menjadi penghalang mekanis terhadap masuknya air atau gas pada berbagai jenis tanaman. Yang termasuk dormansi fisik adalah: -
Impermeabilitas kulit biji terhadap air Benih-benih yang menunjukkan tipe dormansi ini disebut benih keras contohnya seperti pada famili Leguminoceae, disini pengambilan air terhalang kulit biji yang mempunyai struktur terdiri dari lapisan sel-sel berupa palisade yang berdinding tebal, terutama dipermukaan paling luar
dan bagian dalamnya mempunyai lapisan lilin. Di alam selain pergantian suhu tinggi dan rendah dapat menyebabkan benih retak akibat pengembangan dan pengkerutan, juga kegiatan dari bakteri dan cendawan dapat membantu memperpendek masa dormansi benih. -
Resistensi mekanis kulit biji terhadap pertumbuhan embrio Pada tipe dormansi ini, beberapa jenis benih tetap berada dalam keadaan dorman disebabkan kulit biji yang cukup kuat untuk menghalangi pertumbuhan embrio. Jika kulit ini dihilangkan maka embrio akan tumbuh dengan segera. Tipe dormansi ini juga umumnya dijumpai pada beberapa genera tropis seperti Pterocarpus, Terminalia, Eucalyptus, dll. Pada tipe dormansi ini juga didapati tipe kulit biji yang biasa dilalui oleh air dan oksigen, tetapi perkembangan embrio terhalang oleh kekuatan mekanis dari kulit biji tersebut. Hambatan mekanis terhadap pertumbuhan embrio dapat diatasi dengan dua cara mengekstrasi benih dari pericarp atau kulit biji.
-
Adanya zat penghambat Sejumlah jenis mengandung zat-zat penghambat dalam buah atau benih yang mencegah perkecambahan. Zat penghambat yang paling sering dijumpai ditemukan dalam daging buah. Untuk itu benih tersebut harus diekstrasi dan dicuci untuk menghilangkan zat-zat penghambat.
B. Dormasi fisiologis (embrio) Penyebabnya adalah embrio yang belum sempurna pertumbuhannya atau belum matang. Benih-benih demikian memerlukan jangka waktu tertentu agar dapat berkecambah (penyimpanan). Jangka waktu penyimpanan ini berbedabeda dari kurun waktu beberapa hari sampai beberapa tahun tergantung jenis benih. Benih-benih ini biasanya ditempatkan pada kondisi temperatur dan kelembaban tertentu agar viabilitasnya tetap terjaga sampai embrio terbentuk sempurna dan dapat berkecambah
Menurut Sutarno (1997) menyatakan bahwa keadaan benih terbagi menjadi 2 yaitu: a. Ortodoks Ortodoks adalah benih yang pada masak panen/ fisiologi memiliki kandungan kadar air yang relatif rendah. Biji kelompok ortodoks dicirikan oleh sifatnya yang bisa dikeringkan tanpa menglami kerusakan. Viabilitas biji ortodoks tidak mengalami penurunan yang berarti dengan penurunan kadar air hingga di bawah 20%, sehingga biji tipe ini bisa disimpan dalam kadar air yang rendah. Benih ortodok tidak mati walaupun dikeringkan sampai kadar air yang relatif sangat rendah dengan cara pengeringan cepat dan juga tidak mati kalau benih itu disimpan dalam keadaan suhu yang relatif rendah. b. Rekalsitran Rekalsitran adalah benih yang sangat peka terhadap pengeringan dan akan mengalami kemunduran pada kadar air dan suhu yang rendah. Pada saat masa panen/ fisiologi memiliki kandungan air yang relatif tinggi. Biji tipe ini memiliki ciri-ciri antara lain hanya mampu hidup dalam kadar air tinggi (36-90 %). Penurunan kadar air bada biji tipe ini akan berakibat penurunan viabilitas biji hingga kematian, sehingga biji tipe ini tidak bisa disimpan dalam kadar air rendah. Benih yang bersifat rekalsitran, akan mati kalau kadar airnya diturunkan sebelum mencapai kering dan tidak tahan di tempat yang bersuhu rendah.
2.9 Kondisi Komunitas Tumbuhan Komunitas tumbuhan hutan memiliki dinamika atau perubahan, baik yang disebabkan oleh adanya aktifitas alam maupun manusia. Aktifitas manusia yang berkaitan dengan upaya memanfaatkan hutan sebagai salah satu faktor penyebab terjadinya perubahan kondisi komunitas tumbuhan yang ada di dalamnya. Aktifitas manusia di dalam hutan dapat bersifat merusak, juga berifat memperbaiki kondisi komunitas tumbuhan hutan, yang bersifat merusak komunitas tumbuhan misalnya penebangan pohon, pencurian hasil hutan,
peladangan liar, pengembalaan liar, pembakaran hutan dan perambahan dalam kawasan hutan. (Indriyanto, 2009).
Kemampuan regenerasi alam yang ada (dalam bentuk coppice, tunas-tunas akar dan biji-biji/ benih yang berada di tanah) sangat mempengaruhi jalannya suksesi. Bila potensi regenerasi yang ada habis atau rusak, maka permudaan alam menjadi sangat penting. Dalam hal ini jarak, struktur dan keanekaragaman jenis dari hutan-hutan primer dan sekunder yang lebih tua yang letaknya berdekatan meminkan peranan yang sangat penting. Selain itu, fauna yang masih ada (sebagai media terpenting dalam penyebaran benih-benih dari jenis-jenis pohon klimaks) juga memiliki peranan yang sangat penting. Jika biji/ benih tidak dapat disebarkan melalui binatang-binatang, maka permudaan dari jenis-jenis klimaks yang memiliki biji-biji yang berat hanya dapat berlangsung disekitar pohon-pohon induk (Irwanto, 2006)
Anakan spesies pohon yang tumbuh di hutan, dapat diduga berasal dari biji-bijian atau buah-buahan. Keberadaan anakan spesies pohon dalam hutan akan mencerminkan kemampuan hutan untuk beregenerasi, sedangkan banyaknya spesies pohon akan mencerminakan potensi keanekaragaman hayati sekaligus potensi plasma nutfah dalam kawasan hutan (Indriyanto, 2005). Selanjutnya untuk mengetahui kondisi komunitas hutan harus dilakukan pemantauan vegetasi dengan menggunakan salah satu dari beberapa metode pengambilan contoh untuk analisis komunitas tumbuhan. Kemudian, kondisi komunitas tumbuhan hutan dapat dideskripsikan berdasarkan parameter yang diperlukan dan dianalisis untuk menginterpretasikan perubahan yang terjadi (Indriyanto, 2009).