Bab II. Tinjauan Pustaka
11
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tinjauan Umum Perbankan Indonesia Perbankan secara umum merupakan lembaga keuangan yang melakukan kegiatan berupa pengumpulan dana masyarakat dan menyalurkan kembali pada masyarakat dalam berbagai bentuk. Di Indonesia sendiri bank merupakan prime source (sumber utama) pembangunan. Pengertian perbankan menurut UU No. 10 tahun 1998 tentang perubahan atas UU No. 7 tahun 1992 tentang Perbankan Bab I pasal 1 adalah sebagai berikut: “Perbankan adalah segala sesuatu yang menyangkut tentang bank, mencakup kelembagaan, kegiatan usaha, serta cara dan proses dalam melaksanakan kegiatan usahanya”. 2.1.1 Pengertian Bank Berbagai definisi mengenai bank telah dikemukakan oleh berbagai kalangan dan ahli. Berikut ini akan dikemukakan beberapa pengertian bank: Definisi bank menurut UU Perbankan No.10 tahun 1998 : “Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup orang banyak”. Sedangkan dalam IAI No.31 mengenai Akuntansi Perbankan disebutkan sebagai berikut: “Bank adalah lembaga yang berperan sebagai perantara keuangan (financial intermediary) antara pihak-pihak yang mempunyai kelebihan dana (surflus unit) dengan pihak-pihak yang memerlukan dana (deficit unit) serta lembaga yang berfungsi memperlancar lalu lintas pembayaran”. Menurut A. Abdurrachman dalam artikelnya (2000;1) memberikan pengertian bank.: “Bank adalah suatu jenis lembaga keuangan yang melaksanakan berbagai macam jasa, seperti memberikan pinjaman, mengedarkan mata uang, bertindak sebagai penyimpanan benda-benda berharga, membiayai usaha perusahaan-perusahaan dan lain-lain”.
Bab II. Tinjauan Pustaka
12
Dari beberapa pengertian di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa pada dasarnya bank merupakan suatu lembaga keuangan yang mempunyai fungsi sebagai mediator atau perantara bagi peredaran lalu lintas uang, yaitu dalam bentuk simpanan dan kemudian mengelola dana tersebut dengan jalan meminjamkannya kepada masyarakat yang memerlukan dana.
2.1.2 Jenis Bank Jenis bank dilihat dari berbagai sudut pandang dimana jenis bank itu sendiri menjadi berbeda-beda dan banyak ragamnya. Pada bagian ini akan dibahas mengenai jenis bank menurut Susilo (2000) berdasarkan fungsi, kepemilikan, kemampuan melakukan transaksi valuta asing, penciptaan uang giral, dan berdasarkan prinsip operasional. Jenis bank dibedakan dalam beberapa dasar, yaitu : “I. Berdasarkan Fungsinya 1. Bank Sentral Bank Sentral di Indonesia, yaitu Bank Indonesia yang fungsi utamanya mengatur, menjaga, dan memelihara kestabilan nilai rupiah dan mengawasi seluruh bank yang beroperasi di Indonesia. 2. Bank Umum/Bank Komersil Bank umum adalah bank yang dalam pengumpulan dananya terutama menerima simpanan dalam bentuk giro dan deposit. Tugas utama bank ini adalah memberikan kredit jangka pendek. 3. Bank Tabungan Yaitu bank yang dalam mengumpulkan dananya terutama menerima simpanan dalam bentuk tabungan. Tugas utama bank tersebut adalah menanam kembali dana yang dihimpun tersebut dalam kertas berharga (securities). 4. Bank Pembangunan Bank Pembangunan merupakan bank yang dalam pengumpulan dananya terutama menerima simpanan dalam bentuk deposito atau kertas berharga jangka menengah dan panjang. Tugas utama bank tersebut adalah memberi pinjaman jangka menengah dan jangka panjang di bidang pembangunan. 5. Bank Umum yang mengkhususkan diri untuk melaksanakan kegiatan tertentu. Pendirian bank ini dimungkinkan oleh ketentuan pasal 5 ayat 2 Undang-undang tahun 1992. Kegiatan tertentu yang dimaksud adalah antara lain pembiayaan jangka panjang, pembiayaan
Bab II. Tinjauan Pustaka
13
pengembangan koperasi, pengusaha kecil, pengembangan ekspor non migas, dan pengembangan pembangunan perumahan. II. Jenis Bank Berdasarkan Kepemilikannya 1. Bank Pemerintah 2. Bank Swasta Nasional 3. Bank Asing III. Jenis Bank Berdasarkan Penciptaan Uang Giral 1. Bank Primer, yaitu bank yang dapat menciptakan uang giral 2. Bank Sekunder, yaitu bank yang bertugas sebagai perantara penyalur kredit. IV. Jenis Bank Berdasarkan Kemampuan Melakukan Transaksi Valuta Asing 1. Bank Devisa Yaitu Bank Umum Milik Negara dan bank lainnya yang memperoleh surat penunjukan dari Bank Indonesia untuk melakukan usaha perbankan dalam valuta asing. 2. Bank Non Devisa Merupakan kebalikan dari bank devisa, yaitu bank umum milik Negara dan bank lainnya yang belum memperoleh surat penunjukkan dari Bank Indonesia untuk melakukan usaha perbankan dalam valuta asing.” 2.1.3 Usaha Bank Umum Menurut pasal 6 UU No. 7 tahun 1992 tentang perbankan yang diperbaharui dengan UU No. 10 tahun 1998, usaha bank meliputi: “ a. Menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan berupa giro, deposito berjangka, tabungan, dan bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu. b. Memberikan kredit c. Menerbitkan surat pengakuan hutang d. Membeli, dan menjual, atau menjamin atas risiko sendiri maupun untuk kepentingan dan atas perintah nasabahnya: 1. Surat-surat wesel termasuk wesel yang diakseptasi oleh bank yang masa berlakunya tidak lebih lama daripada kebiasaan dalam perdagangan surat-surat yang dimaksud, 2. Surat pengakuan hutang dan kertas dagang lainnya yang masa berlakunya tidak lebih dari kebiasaan dalam perdagangan surat-surat dimaksud, 3. Kertas perbendaharaan Negara dan surat jaminan pemerintah, 4. Sertifikat Bank Indonesia, 5. Obligasi, 6. Surat dagang berjangka waktu sampai dengan satu tahun, 7. Instrumen surat berharga lain yang berjangka waktu sampai dengan satu tahun,
Bab II. Tinjauan Pustaka
14
e. Memindahkan uang baik untuk kepentingan sendiri maupun untuk kepentingan nasabah, f. Menempatkan dana pada, meminjam dana dari, atau meminjamkan dana kepada bank lain, bank dengan menggunakan surat, sarana telekomunikasi , maupun dengan wesel tunjuk, cek, atau sarana lainnya. g. Menerima pembayaran dari tagihan atas surat berharga dan melakukan perhitungan dengan atau antar pihak ketiga. h. Menyediakan tempat untuk menyimpan barang dan surat berharga. i. Melakukan kegiatan penitipan untuk kepentingan bank lainnya berdasarkan usaha kontrak. j. Melakukan penempatan dana dari nasabah kepada nasabah lainnya dalam bentuk surat berharga. k. Melakukan kegiatan anjak piutang usaha kartu kredit l. Melakukan kegiatan lain yang lazim dilakukan oleh bank sepanjang tidak bertentangan dengan undang-undang yang berlaku. “ Kemudian dalam pasal 7 UU Perbankan no.10 tahun 1998 dijelaskan bahwa selain usaha yang dilakukan di atas, bank dapat melakukan kegiatan lain. Kegiatan tersebut adalah sebagai berikut: “a. Melakukan kegiatan dalam valuta asing dengan memenuhi ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. b. Melakukan kegiatan penyertaan modal pada bank/perusahaan lain di bidang keuangan seperti sewa guna usaha, modal ventura, perusahaan efek, lembaga kliring yang memenuhi ketentuan dari Bank Indonesia. c. Melakukan kegiatan penyertaan sementara untuk mengatasi kegagalan kredit dengan syarat harus menarik kembali penyertaannya, dengan memenuhi ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. d. Bertindak sebagai pendiri dana pensiun dan pengurus sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dana pensiun yang berlaku.” 2.1.4 Karakteristik Usaha Perbankan Perbankan merupakan suatu industri yang berbeda dengan industri lainnya, yang dalam hal ini memiliki karakteristik tersendiri. Dalam IAI No.31 mengenai Akuntansi perbankan sebagai berikut: “1.
Bank adalah suatu lembaga yang berperan sebagai perantara keuangan (financial intermediary) antara pihak-pihak yang
Bab II. Tinjauan Pustaka
2.
3.
4.
15
memiliki kelebihan dana (surflus unit) dengan pihak-pihak yang memerlukan dana (deficit unit), serta sebagai lembaga yang berfungsi memperlancar lalu lintas pembayaran. Falsafah yang mendasari kegiatan usaha perbankan adalah kepercayaan masyarakat. Hal ini tampak dari kegiatan pokok bank yang menerima simpanan dari masyarakat yang kelebihan dana dalam bentuk giro, tabungan, serta deposito berjangka dan memberikan kredit kepada pihak yang memerlukan dana. Dalam penerimaan simpanan masyarakat, bank hanya memberikan tertulis yang menjelaskan bahwa bank telah menerima simpanan dalam jumlah dan untuk jangka waktu tertentu. Bank juga tidak selalu meminta agunan berupa barang sebagai jaminan atas kredit yang diberikan kepada debiturnya yang telah memiliki reputasi yang baik. Disamping itu, sebagai lembaga kepercayaan bank dalam operasinya lebih banyak menggunakan dana masyarakat dibandingkan dengan modal dari pemilik atau pemegang saham. Bank merupakan industri yang dalam kegiatan usahanya mengandalkan kepercayaan masyarakat sehingga tingkat kesehatan bank harus dipelihara. Pemeliharaan kesehatan bank antara lain dilakukan dengan tetap menjaga likuiditasnya sehingga bank dapat memenuhi kewajiban kepada semua pihak yang menarik atau mencairkan simpanannya sewaktu-waktu. Kesiapan memenuhi kewajiban setiap saat itu, menjadi semakin penting artinya mengingat peranan bank sebagai lembaga yang berfungsi memperlancar lalu lintas pembayaran. Di samping faktor likuiditas, keberhasilan usaha bank juga ditentukan oleh kesanggupan para pengelola dalam menjaga rahasia keuangan nasabah yang dipercayakan kepadanya serta keamanan atas uang atau asset lainnya yang dititipkan kepada bank. Pengelola bank dalam melaksanakan usahanya dituntut untuk senantiasa menjaga keseimbangan antara pemeliharaan likuiditas yang cukup dengan pencapaian rentabilitas yang wajar serta pemenuhan kebutuhan modal yang memadai sesuai dengan jenis penanamannya. Hak tersebut diperlukan karena dalam operasinya bank selain melakukan penanaman dalam aktiva produktif seperti kredit dan surat-surat berharga, juga memberikan komitmen dan jasa-jasa lain yang digolongkan sebagai “fee based operation” atau “off balanced sheet activities”. Disamping itu, pengelola bank dalam pelaksanaan tugasnya senantiasa dihadapkan pada berbagai kemungkinan yang harus diperhitungkan, perlu diperhitungkan pula masalah perpencaran (spreading) dari simpanan masyarakat, komitmen kredit yang masih berjalan serta kondisi eksternal yang mempengaruhinya. Bank sebagai lembaga kepercayaan masyarakat dan bagian dari sistem moneter mempunyai kedudukan yang strategis sebagai penunjang pembangunan ekonomi. Oleh karena itu, pemerintah
Bab II. Tinjauan Pustaka
16
telah menetapkan persyaratan ketentuan operasional yang berdasarkan prinsip kehati-hatian dalam melakukan kegiatan usaha bank. Kesemuanya itu dimaksudkan agar bank dapat memelihara kepercayaan masyarakat serta menunjang pemeliharaan stabilitas moneter.” 2.1.5 Pembinaan dan Pengawasan Perbankan Bank dalam menjalankan usahanya adalah atas dasar kepercayaan, karena setiap bank harus berupaya menjaga kesehatannya dan terus memelihara kepercayaan masyarakat yang diberikan kepadanya. Agar bank-bank dapat bekerja dengan baik perlu dilakukan pembinaan dan pengawasan terhadap bank. Sejalan dengan hal tersebut, tertuang dalam pasal 29 ayat 1 Undang Undang Perbankan No.10 tahun 1998 yang berbunyi : “Pembinaan dan pengawasan dilakukan oleh Bank Indonesia”.
Dalam menjalankan tugasnya ini Bank Indonesia menggunakan upaya yang bersifat prefentif dalam bentuk ketentuan-ketentuan, petunjuk, penasehat, bimbingan, dan pengarahan. Sedangkan tindakan represif adalah dalam bentuk pemeriksaan dengan tindakan perbaikan. Dalam hal mengatur dan mengawasi bank, Bank Indonesia berwenang: a. Menetapkan ketentuan-ketentuan perbankan yang memuat prinsip-prinsip kehati-hatian. b. Memberikan dan mencabut izin usaha bank. c. Memberikan izin pembukuan, penutupan dan pemindahan kantor bank. d. Memberikan persetujuan atas kepemilikan dan kepengurusan bank. e. Memberikan izin kepada bank untuk menjalankan kegiatan usaha tertentu. f. Mewajibkan untuk menyampaikan laporan, keterangan dan penjelasan sesuai dengan tata cara yang ditetapkan Bank Indonesia. g. Melakukan pemeriksaan terhadap bank, baik secara berkala maupun setiap waktu apabila diperlukan. h. Memerintahkan bank untuk menghentikan sementara sebagian atau seluruh kegiatan transaksi tertentu apabila menurut penilaian Bank Indonesia terhadap suatu transaksi patut diduga merupakan tindakan pidana di bidang perbankan.
Bab II. Tinjauan Pustaka
17
i. Mengatur dan mengembangkan informasi tentang bank. j. Mengambil tindakan terhadap suatu bank sebagaimana dalam undang-undang tentang perbankan yang berlaku apabila menurut penilaian Bank Indonesia dapat membahayakan perekonomian nasional. k. Tugas mengawasi bank akan dilakukan oleh lembaga pengawasan sektor jasa keuangan yang independent dan dibentuk dengan Undang-Undang.
2.2
Resiko Kredit Konsep dasar pengelolaan kredit yang sehat adalah adanya keseimbangan
antara hasil dan resiko kredit yang diambil dan memberikan nilai tambah bagi bank. Menurut Krisna Wijaya (2002;1) dijelaskan mengenai resiko kredit : “Resiko kredit adalah resiko yang sangat dominan dan mendominasi eksposur resiko pada setiap bank. Resiko finansial yang utama dan pertama ini sekaligus menjadi penghambat utama dalam pengembangan bisnis bank jika tidak andal dalam pengelolaan resiko kreditnya.” Bisnis inti dari bank yaitu melakukan intermediasi yaitu dengan menghimpun dana masyarakat yang menjadi sumber dana dan disalurkan dalam bentuk kredit. Ada beberapa biaya yang harus diperhitungkan dalam pemberian kredit. Krisna Wijaya (2002;1) menjelaskan : “ Biaya yang harus dipertimbangkan dalam pemberian kredit yaitu : 1. Biaya bunga yang harus dibayarkan kepada pihak ketiga. 2. Biaya karena adanya ketentuan Giro Wajib Minimum (GWM). 3. Biaya premi asuransi simpanan untuk menutup peluang terhadap terjadinya resiko kredit bermasalah. 4. Biaya overhead yang terkait dengan upaya menghimpun dana dan mengelola perkreditan. 5. Tingkat keuntungan yang pada akhirnya merupakan imbal hasil yang secara wajar diharapkan oleh pemegang saham.” Selain menjadi tolak ukur kinerja bank setiap waktu, resiko kredit juga menjadi pemicu utama terpuruknya bank melalui proses penggerusan modal akibat menumpuknya kredit macet.
Bab II. Tinjauan Pustaka
2.2.1
18
Kredit Bermasalah Menurut Mahmoedin (2004;2-3) ada berbagai definisi mengenai kredit
bermasalah : “
- Kredit bermasalah adalah kredit yang tidak lancar. - Kredit bermasalah adalah kredit dimana debiturnya tidak memenuhi persyaratkan yang diperjanjikan sebelumnya. - Kredit bermasalah adalah kredit yang tidak menepati jadwal angsuran, sehingga terjadi tunggakan. - Kredit bermasalah adalah kredit yang tidak menepati janji pembayaran, sehingga memerlukan tindakan hokum untuk menagihnya. - Kredit bermasalah adalah kredit yang mengadung potensi untuk merugikan bank. - Kredit bermasalah adalah kredit yang berpotensi menunggak dalam satu waktu tertentu. “
Terdapat dua metode akuntansi untuk menghitung kredit yang diperkirakan tidak akan tertagih / bermasalah (bad debt). Menurut Niswonger, Warren, Reeve, Fess (1999;327) : “Metode Penyisihan (allowance method) membuat akun beban piutang tak tertagih dimuka sebelum piutang tersebut dihapus. Prosedur lain yang dinamakan dengan metode penghapusan langsung (direct write-off methode), mengakui beban hanya pada saat piutang benar-benar tidak dapat ditagih lagi.” Bank menggunakan allowance methode dalam metode penghitungan bad debt nya, hal ini dapat dilihat karena adanya Penyisihan Penghapusan Aktiva Produktif (PPAP) sebagai pencadangan piutang tak tertagih.
Non Performing Loan Dalam IAI No. 31 (Revisi 2000) disebutkan mengenai kredit Non Performing: “kredit Non Performing pada umumnya merupakan kredit yang pembayaran angsuran pokok dan atau bunganya telah lewat sembilan puluh hari atau lebih setelah jatuh tempo, atau kredit yang pembayarannya secara tepat waktu sangat diragukan. Kredit Non Performing terdiri atas kredit yang digolongkan sebagai kredit yang kurang lancar, diragukan dan macet.”
Bab II. Tinjauan Pustaka
19
Menurut Krisna Wijaya dalam artikelnya yang berjudul Jejaring Pengaman Perbankan (2002;2) dipaparkan mengenai pengertian Non Performing Loan, adalah sebagai berikut : “Non Performing Loan adalah perbandingan antara kredit bermasalah dengan total kredit pada suatu bank. Semakin tinggi Non Performing Loan suatu bank menunjukan jumlah kredit yang bermasalah pada bank tersebut ada pada jumlah yang relatif besar terhadap kredit yang disalurkan.” Dari pengertian diatas maka dapat diambil kesimpulan bahwa rumus mencari nilai NPL adalah : Non Performing Loan (NPL) =
Kredit Bermasalah x 100% Total Kredit
Suatu kredit dikategorikan sebagai kredit yang bermasalah bila tidak dapat kembali sesuai jangka waktu yang diperjanjikan atau kesepakatan. Menurut Krisna Wijaya pada artikelnya (2002;2) menyebutkan : “Banyak penyebab dari krisis perbankan. Bagi industri perbankan yang umumnya mengandalkan hampir sebagian besar bisnisnya dari perkreditan, maka sangat pasti baik dan buruknya kualitas kredit menjadi penetu sehat tidaknya sebuah bank. Pada mumnya penyebab krisis adalah tingginya kredit bermasalah (Non Performing Loan/ NPL) seingga menimbulkan krisis secara sistemik.” Kredit bermasalah dan kerugian karena pemberian kredit pada dasarnya mencerminkan kegagalan yang melekat atau adanya resiko dalam kemampuan dan kemauan debitur membayar kewajibannya. Berdasarkan kapasitas / kemampuan debitur, kelengkapan dokumen dan kecukupan cash flow atau dukungan sumber pembayarannya, kredit diklasifikasikan dalam kategori yang mencerminkan kemungkinan rugi. Untuk kategori
kredit bermasalah (problem loan) adalah
“substandard, doubtful and loss”. Sementara itu menurut Rose (1999 : 523), kualitas kredit dibedakan menjadi 3 (tiga) kategori yaitu sebagai berikut : “1. Substandart loans, where the bank’s margin of protection is inadequate due to weakness in collateral or in the borrower’s repayment abilities
Bab II. Tinjauan Pustaka
20
2. Doubtful loans, which carry a storng probability of loss to the bank 3. Loss loans, which are regarded as uncollectible.”
Penyebab Non Performing Loan (NPL) Terjadinya kegagalan pemberian kredit menurut Mulyono (2001 ; 472-476) dapat disebabkan berbagai masalah meliputi masalah intern bank sendiri, perekonomian secara makro dan masalah-masalah yang menyangkut nasabah. Secara rinci dikemukakan bahwa sumber-sumber kegagalan pengembalian kredit adalah : “Self dealing (berusaha untuk diri sendiri), Anxiethy for income (haus akan laba), Compromise of credit principles (kompromi terhadap prinsip-prinsip kredit), Non existence of sound lending policies (kegiatan kebijaksanaan kredit yang kurang sehat), Incomplete credit information (ketidaklengkapan informasi kredit), Failure to obtain or enforce liquidation agreements (ketidakmampuan untuk memperoleh atau mengambil tindakan likuidasi sesuai perjanjian), Complacency (menggampangkan), Lack of supervising (kurangnya pengawasan), Technical Incompletence (ketidakmampuan teknis), Poor selection of risk (ketidakmampuan melakukan seleksi resiko), Overlending (Pemberian kredit yang melampaui batas), Competition (persaingan).” Menurut Eko B Supriyanto (2006;1), ada 5 hal yang menyebabkan tingginya Non Performing Loan, yaitu : “Penyebab tingginya tingkat Non Performing Loan disebabkan karena penurunan kondisi debitor, masalah pembayaran lain, keterlambatan pembayaran, PBI 7 / 2 / 2005 dan buruknya prospek usaha debitor.” Menurut Mahmoedin (2004 ; 51-110) banyak faktor yang menjadi penyebab terjadinya kredit bermasalah yaitu : “a. Faktor Internal Perbankan Kelemahan dalam analisis kredit, Kelemahan dalam dokumen kredit, Kelemahan dalam supervisi kredit, Kecerobohan petugas bank, Kelemahan kebijaksanaan kredit, Kelemahan bidang agunan, Kelemahan sumber daya manusia, Kelemahan teknologi, Kecurangan petugas bank b. Faktor Internal Nasabah Kelemahan karakter nasabah, Kelemahan kemampuan nasabah, Musibah yang dialami nasabah, Kecerobohan nasabah, Kelemahan manajemen nasabah c. Faktor Eksternal
Bab II. Tinjauan Pustaka
21
Situasi ekonomi yang negatif, Situasi politik dalam negeri yang merugikan, Politik negara lain yang merugikan, Situasi alam yang merugikan, Peraturan pemerintah yang merugikan d. Faktor Kegagalan Bisnis Aspek hubungan, Aspek yuridis, Aspek manajemen, Aspek pemasaran, Aspek teknis produksi, Aspek keuangan, Aspek sosial ekonomi. e. Ketidakmampuan Management Pencatatan tidak memadai, informasi biaya tidak memadai, modal jangka panjang tidak cukup, gagal mengendalikan biaya, overhead cost yang berlebihan, kurangnya pengawasan, gagal melakukan penjualan, investasi berlebihan, kurang menguasai teknis, perselisihan antara pengurus.” Cara Menurunkan Besaran Non Performing Loan Ada beberapa cara / kombinasi untuk menurunkan besaran Non Performing Loan menurut Krisna Wijaya (2002;2), yaitu : “1.
Menurunkan jumlah outstanding kredit bermasalah, yaitu memperbaiki kolektibilitas kelompok kredit yang tadinya bermasalah menjadi kredit golongan lancar. a. Merestrukturisasi / penjadwalan ulang (rescheduling) hanya dapat dilakukan apabila proyek yang dibiayai debitur masih memiliki prospek yang baik. b. Write off terhadap kredit bermasalah. Berimbas pada penurunan modal bank. 2. Memperbesar penyebutnya dengan cara melakukan ekspansi kredit atau surat berharga 3. Mengalihkan atau menjual kredit kepada pihak lain dengan diskon besar. Bank harus membentuk cadangan untuk menutup kerugian bank dari penjualan kredit dengan diskon besar tersebut.”
Sementara itu menurut M Faisal Abdullah (2003 : 98) menjelaskan bahwa untuk mencegah timbulnya kredit macet adalah dengan cara berhati-hati dalam pemberian kredit (konservatif dalam menyalurkan kredit). Adapun langkah-langkah kongkrit yang sebaiknya dilakukan pejabat kredit (account officer) antara lain : “1.Mengadakan restrukturisasi pinjaman, terutama untuk pinjaman modal kerja (revolving) ke jenis pinjaman non revolving (misalnnya ke jenis term loan) sehingga seiring dengan pelunasan yang dilakukan nasabah (debitur) resiko kredit bank juga berkurang. 2.Mengadakan penjadwalan kembali (re-scheduling) pinjaman sehingga debitur dapat mengangsur dalam jangka waktu kredit yang lebih panjang yang berarti jumlah angsuran lebih kecil.
Bab II. Tinjauan Pustaka
22
3.Mempertimbangkan pemberian kredit baru untuk mendukung pemulihan usaha debitur. Dalam pemberian kredit baru ini account officer harus memperoleh jaminan baru dengan safety margin yang tinggi. 2.3
Profitabilitas Pegertian profitabilitas beserta pengukurannya dibahas oleh Mahmoedin
(2004 ; 114), yaitu : “Profitabilitas adalah kemampuan bank untuk memperoleh keuntungan. Hal ini terlihat pada penghitungan produktivitasnya yang dituangkan dalam rumus ROE (Return on Equity) dan ROA (Return on Assets). Pegertian ROA (Return On Asset) menurut Susan Irawati (2006;59) adalah : “Kemampuan suatu perusahaan (aktiva perusahaan) dengan seluruh modal yang bekerja didalamnya untuk menghasilkan laba operasi perusahaan (EBIT) atau perbandingan laba usaha dengan modal sendiri dan modal asing yang digunakan untuk menghasilkan laba dan digunaan dalam persentase.” Return on Asset =
EBIT
x 100%
Total Asset Pengertian ROE Return on Equity menurut Susan Irawati (2006;61) adalah: “Rasio yang digunakan untuk mengukur kemampuan suatu perusahaan dalam menghasilkan laba bersih dari modal sendiri yang digunakan perusahaan tersebut .” Return on Equity =
EAT Total Equity
x 100%
Dari pengertian ROA dan ROE diatas ternyata yang mengukur segi aktiva adalah ROA, sehingga pengukuran profitabilitas yang paling sesuai dalam hubungannya dengan NPL adalah ROA, mengingat dalam perhitugan NPL juga memperhitungkan Total Loan yang merupakan bagian dari aktiva.
2.4
Laporan Keuangan Akuntansi seringkali disebut sebagai Universal Language of Bussines.
Sebutan ini tidaklah berlebihan mengingat akuntansi menjadi sumber informasi
Bab II. Tinjauan Pustaka
23
utama yang digunakan dalam pengambilan keputusan oleh para pemakai informasi tersebut. Akuntansi memiliki arti sebagai komunikasi sosial dan mencakup arus informasi.agar menjadi efektif, penerima informasi tersebut harus dapat mengerti pesan yang dibawa oleh informasi tersebut. Setiap perusahaan yang melakukan proses akuntansi akan mengakhiri proses akuntansinya pada laporan keuangan. Laporan keuangan ini disusun oleh perusahaan sebagai alat untuk memenuhi kebutuhan internal dan eksternal perusahaan.
2.4.1
Pengertian Laporan Keuangan Pengertian laporan keuangan menurut IAI tahun (2002;2) yaitu : “Laporan keuangan merupakan bagian dari proses pelaporan keuangan. Laporan keuangan yang lengkap biasanya meliputi neraca, laporan laba rugi, laporan perubahan posisi keuangan (yang dapat disajikan dengan berbagai cara seperti, sebagai laporan arus kas, atau laporan arus dana), catatan dan laporan lain serta materi penjelasan yang merupakan integral dari laporan keuangan. Disamping itu juga termasuk skedul dan informasi tambahan yang berkaitan dengan laporan tersebut, misalnya, informasi keuangan segmen industri dan geografis serta pengungkapan perubahan pengaruh harga.” Sedangkan laporan internal disiapkan berdasarkan permintaan manajemen
hanya untuk digunakan oleh para manajer dalam perusahaan. Biasanya laporan ini adalah laporan mengenai akuntansi manajemen yang berhubungan dengan manajemen produksi perusahaan. Konsekuensinya adalah bahwa laporan ini tidak dapat digunakan untuk pemakai laporan eksternal. Sedangkan laporan eksternal didesain dan disiapkan secara spesifik untuk penggunaan oleh para pengguna eksternal seperti kreditur, pemegang saham dan pemerintah. Dari seluruh definisi di atas dapat disimpulkan bahwa laporan keuangan merupakan hasil akhir atau produk dari proses akuntansi, terdiri dari pencatatan, pengelompokan, dan penginterprestasian yang isinya merupakan data masa lalu dan sekarang dari perusahaan dalam satuan uang (monetary unit) yang ditujukan kepada kalangan internal dan eksternal perusahaan dalam pengambilan keputusan.
Bab II. Tinjauan Pustaka
2.4.2
24
Tujuan dan Manfaat Laporan Keuangan Dalam kerangka dasar penyusunan dan penyajian laporan keuangan IAI,
menyatakan bahwa : “Tujuan laporan keuangan adalah menyediakan informasi yang menyangkut posisi keuangan, kinerja serta perubahan posisi keuangan suatu perusahaan yang bermanfaat bagi sejumlah besar pemakai dalam pengambilan keputusan.” Namun demikian, laporan keuangan tidak menyediakan semua informasi yang mungkin dibutuhkan pemakai dalam pengambilan keputusan ekonomi karena secara umum menggambarkan pengaruh keuangan dari kejadian di masa lalu, dan tidak diwajibkan untuk menyediakan informasi non keuangan. Pada PSAK No.1 laporan keuangan untuk tujuan umum dirumuskan agar memberikan informasi tentang posisi keuangan, kinerja dan arus kas perusahaan yang bermanfaat bagi sebagian besar kalangan pengguna laporan dalam rangka membuat keputusan-keputusan ekonomis serta menunjukkan pertanggungjawaban manajemen atas penggunaan sumber daya yang dipercayakan kepada mereka.
2.4.3
Laporan Keuangan Bank Ketentuan mengenai laporan keuangan bank diatur oleh IAI dalam IAI 31
tentang Akuntansi Perbankan, selain juga tercantum dalam SE BI No.75/5/UPPB tanggal 25 Februari 1995 atau Pedoman Akuntansi Perbankan Indonesia yang tidak lain merupakan tindak lanjut dari Standar Akuntansi Perbankan yang termuat dalam SAK 1999 Dalam IAI No.31 revisi 2000 mengenai Akuntansi Perbankan disebutkan terdapat lima jenis laporan keuangan bank, yaitu: “Terdapat lima jenis laporan keuangan bank : 1. Laporan Neraca, 2. Laporan Laba Rugi, 3. Laporan Komitmen dan Kontijensi, 4. Laporan Arus Kas, dan 5. Catatan atas Laporan Keuangan.”
Bab II. Tinjauan Pustaka
25
Bank komersial baik bank umum maupun Bank Perkreditan Rakyat memiliki jenis laporan keuangan yang harus dilaporkan pada setiap periode tertentu. Taswan (2005 ; 39) menerangkan mengenai jenis laporan keuangan bank : “Bank komersial baik bank umum maupun Bank Perkreditan Rakyat diwajibkan memberikan laporan keuangan setiap periode tertentu. Jenis laporan keuangan dimaksud adalah : 1) Laporan keuangan bulanan, 2) Laporan keuangan triwulanan, 3) Laporan keuangan tahunan.” 2.4.3.1 Sistem Akuntansi Perbankan Sistem akuntansi perbankan dengan karakteristik khususnya yang telah dijelaskan diatas memiliki tujuan dan sasaran tertentu dalam pemenuhan kebutuhan berbagai pihak. Dalam buku Akuntansi Perbankan, Taswan (2005;21) memberikan gambaran mengenai sasaran yang ingin dicapai oleh adanya sistem akuntansi perbankan sebagai berikut: “ a. Sebagai Sistem Informasi Manajemen. b. Sebagai sistem penentuan biaya. Produk yang dihasilkan bank adalah dalam bentuk abstrak, harga terbentuk di pasar (suku bunga) sehingga menyulitkan untuk menghitung biaya per unit. Sistem akuntansi perbankan akan memberikan manfaat dalam penentuan biaya terutama dalam pengalokasian biaya antar departemen, dapat digunakan untuk mengukur pendapatan yang diperoleh dan untuk menghitung laba rugi suatu bank. c. Sebagai sistem pengawasan. Sistem akuntansi yang baik akan menciptakan pengawasan yang baik. Pengawasan dalam arti sempit dapat berupa pemeliharaan ketelitian dan kebenaran administrasi keuangan misalnya apakah pembukuan telah menggunakan dokumen yang benar, apakah transaksi yang dilakukan dibukukan saat itu juga dan sebagainya. Dalam arti luas maka sebuah sistem akuntansi perbankan dapat digunakan untuk kepentingan evaluasi terhadap kinerja bank secara keseluruhan, misalnya evaluasi likuiditas, profitabilitas, solvabilitas, tingkat risiko dan sebagainya. d. Sebagai sistem laporan kepada penguasa moneter. Bank adalah lembaga strategis dalam percaturan ekonomi suatu Negara. Oleh karena itu aktivitas bank harus selalu dalam kendali penguasa moneter. Untuk dapat mengendalikan bank tersebut, penguasa moneter harus diberikan laporan atas kegiatan bank yang bersangkutan. Penguasaan terhadap bank komersial perlu dilakukan karena penguasa moneter berkepentingan untuk
Bab II. Tinjauan Pustaka
26
melindungi deposan/masyarakat, mengetahui sejauh mana bank tersebut menjalankan fungsinya serta untuk mengetahui posisi kesehatan bank tersebut.” 2.4.3.2 Format Laporan Keuangan Bank Format laporan keuangan bank yang berlaku saat ini sesuai dengan SE BI No. 27/5/UPPB tanggal 25 Februari 1995 atau Pedoman Akuntansi Perbankan Indonesia yang tidak lain merupakan tindak lanjut dari Standar Khusus Akuntansi Perbankan Indonesia yang termuat dalam SAK 1999. Format neraca, adalah bahwa pos-pos yang dianggap sensitif seperti kredit yang diberikan, deposito, pinjaman yang diterima, pinjaman subordinasi,dan modal pinjaman disajikan secara terpisah antara pihak yang terkait dengan bank. Pemisahan tersebut menunjukkan bahwa bank harus lebih transparan, dalam arti deteksi dini adanya bank yang memberi kredit unutk anak perusahaannya sendiri atau untuk perusahaan lain yang satu kelompok dengan bank atau pihak lain yang berafiliasi. Pada format Laporan Perhitungan Laba Rugi juga tampak bahwa laporan tersebut menggunakan multiple step atau berjenjang. Untuk mendapatkan laba bersih harus menghitung laba kotornya dahulu, baru kemudian memperhitungkan laba bersih dengan menghitung pendapatan dan biaya di luar bunga. Cara ini akan lebih mudah dianalisis, terutama dapat langsung diketahui spread dengan memperhatikan selisih pendapatan bunga dengan biaya bunga net interest margin). Sedangkan fee based income dapat dilihat pada pendapatan non bunga. Format Laporan Komitmen dan Kontijensi atau dikenal dengan nama Rekening Administratif tampak disajikan secara terpisah antara komitmen dan kontijensi. Rekening tersebut dirinci menurut tagihan dan kewajiban secara urut dengan memperhatikan kemungkinan pengaruhnya terhadap neraca atau laba rugi bank. Hal ini akan mempermudah deteksi transaksi off balanced dan posisinya. Dalam laporan keuangan bank juga harus disajikan para pengurus dan pemilik bank tersebut. Masyarakat pengguna laporan ini akan mengetahui para pengurus bank, kemungkinan sejauh mana integritas para pengurus dan pemilik bank tersebut. Dari informasi tentang kepengurusan dan kepemilikan, pengguna laporan keuangan juga dapat mengetahui apakah bank tersebut telah go public atau belum.
Bab II. Tinjauan Pustaka
27
2.4.3.3 Pengukuran dalam Nilai Uang Pengukuran dalam nilai uang laporan keuangan bank menurut IAI no. 31 tahun 2004 adalah sebagai berikut : 2. Laporan keuangan bank harus disajikan dalam mata uang Rupiah. Dalam hal bank memiliki aktiva, kewajiban dan komitmen serta kontinjensi dalam valuta asing, harus dijabarkan kedalam mata uang Rupiah dengan menggunakan kurs tengah yang berlaku pada tanggal laporan. Untuk modal yang disetor dalam valuta asing dijabarkan dengan menggunakan kurs konversi Bank Indonesia pada saat modal tersebut disetor (historical rate). 3. Kurs tengah yaitu kurs jual ditambah kurs beli Bank Indonesia dibagi dua. Dalam hal kurs mata uang asing tidak tersedia di Bank Indonesia, digunakan kurs jual ditambah kurs beli bank yang bersangkutan dibagi dua. 4. Bank wajib mengungkapkan posisi neto aktiva dan kewajiban dalam valuta asing yang masih terbuka (posisi devisa neto) .
2.5 Pengaruh Non Performing Loan Terhadap ROA Non Performing Loan dijadikan sebuah indikator kualitas aktiva suatu bank dapat diartikan sebagai perbandingan antara kredit bermasalah dengan total kredit pada suatu bank. Semakin tinggi Non Performing Loan suatu bank menunjukan jumlah kredit yang bermasalah pada bank tersebut ada pada jumlah yang relatif besar terhadap kredit yang disalurkan. Dari indikator kualitas aktiva tersebut tentunya akan menunjukan tingkat kesehatan suatu bank. Kesehatan bank adalah tingkat kesehatan suatu bank untuk melaksanakan seluruh kegiatan usaha perbankan. Kegiatan tersebut meliputi: a.
Kemampuan menghimpun dana dari masyarakat, dari lembaga lain, dan dari modal sendiri.
b.
Kemampuan mengelola dana
c.
Kemampuan menyalurkan dana ke masyarakat
Bab II. Tinjauan Pustaka
d.
Kemampuan memenuhi kewajiban kepada para stakeholders
e.
Pemenuhan peraturan perbankan yang berlaku
28
Profit atau laba merupakan indikasi kesuksesan suatu badan usaha. Profitabilitas adalah kemampuan suatu perusahaan untuk memperoleh laba. Informasi kinerja perusahaan terutama dalam hal kemampuan perusahaan untuk memperoleh laba (profitabilitas) diperlukan untuk menilai perubahan potensial sumber daya ekonomi yang mungkin dikendalikan di masa yang akan datang. Porfitabilitas pada bank dapat dinyatakan dengan Rentabilitas. Rentabilitas adalah kemampuan bank untuk memperoleh penghasilan berupa bunga kredit. Pengaruh Non Performing Loan terhadap profitabilitas juga dibahas oleh Mahmoedin (2004 ; 114), yaitu : “Profitabilitas adalah kemampuan bank untuk memperoleh keuntungan. Hal ini terlihat pada penghitungan produktivitasnya yang dituangkan dalam rumus ROE (Return on Equity) dan ROA (Return on Assets). Jika kredit tidak lancar (kredit Non Performing) maka rentabilitasnya menjadi kecil.” Bisnis inti dari bank yaitu melakukan intermediasi, yaitu dengan menghimpun dana masyarakat yang menjadi sumber dana dan disalurkan dalam bentuk kredit. Dalam penyaluran kredit, yang menjadi resiko adalah kerugian akibat kredit bermasalah. Ketika tingkat kredit bermasalah meningkat maka kredit menjadi tidak lancar dan macet, pada saat yang bersamaan tingkat Non Performing Loan pun akan meningkat, akibatnya penghasilan bank yang bersumber dari bunga kredit menjadi tidak lancar. Sebaliknya, jika kredit lancar dan tidak bermasalah, maka bank akan memperoleh penghasilan yang bersumber bunga dengan lancar pula.