1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Motivasi 2.1.1
Pengertian Motivasi Motivasi sering disebut penggerak perilaku (the energizer of
behavior), ada juga yang menyatakan bahwa motivasi adalah penentu perilaku (Irwanto dkk, 2004). Menurut Purwanto (2004), motivasi merupakan suatu usaha yang disadari seseorang agar ia tergerak hatinya untuk bertindak melakukan sesuatu sehingga mencapai hasil atau tujuan tertentu. Menurut Ahmadi (2002), motivasi adalah dorongan yang sudah terikat pada suatu tujuan. Menurut MC. Donalld dalam Sardiman (2005) motivasi adalah perubahan energi dalam diri seseorang yang ditandai munculnya “feeling” yang didahului dengan adanya tanggapan terhadap adanya tujuan. Menurut Djamarah (2002), motivasi adalah gejala psikologis dalam bentuk dorongan yang timbul pada diri seseorang sadar atau tidak sadar untuk melakukan suatu tindakan dengan tujuan tertentu. Motivasi bisa juga dalam bentuk usaha-usaha yang dapat menyebabkan seseorang tergerak melakukan sesuatu karena ingin mencapai tujuan yang dikehendakinya atau mendapat kepuasan dengan perbuatannya.
2
Motivasi berhubungn erat dengan motif. Motif adalah alasan atau dorongan yang menyebabkan seseorang berbuat sesuatu atau melakukan tindakan bersikap tertentu. Motif mempunyai dua unsur pokok, yaitu 8
dorongan/kebutuhan dan unsur tujuan, dimana proses interaksi timbal balik antara kedua unsur tersebut terjadi dalam diri manusia (Handoko, 1992). Motivasi adalah suatu faktor yang terdapat di dalam diri manusia yang menimbulkan, menyerahkan dan mengorganisasikan tingkah lakunya. Motivasi dipengaruhi pula oleh faktor-faktor seperti pengalaman masa lalu, taraf intelegensi, kemampuan fisik, situasi lingkungan dan cita-cita ke depannya (Handoko, 1992). Motivasi merupakan daya upaya yang mendorong seseorang untuk melakukan sesuatu. Daya penggerak tersebut berasal dari dalam dan dari luar subyek untuk melakukan aktivitas-aktivitas tertentu demi mencapai suatu tujuan (Sardiman, 2005). Motivasi belajar merupakan keseluruhan daya penggerak psikis di dalam diri peserta didik yang menimbulkan kegiatan belajar, menjamin kelangsungan belajar dan memberikan arah pada kegiatan belajar itu demi mencapai suatu tujuan (Winkel, 1999). Motivasi dalam belajar dapat dilihat dari karakteristik dan tingkah laku peserta didik yang menyangkut persepsi, ketajaman perhatian, konsentrasi dan ketekunan (Purwanto, 2004). Semakin tinggi motif tingkah laku itu disadari, semakin orang dapat dituntut pertanggungjawabannya. Dapat disimpulkan bahwa motivasi berhubungan erat dengan motif, yaitu alasan atau dorongan seseorang agar timbul keinginan
3
dan kemauan untuk melakukan sesuatu sehingga dapat memperoleh hasil atau mencapai tujuan tertentu.
2.1.2
Tujuan Motivasi Motivasi berkaitan erat dengan tujuan. Secara umum dapat
dikatakan bahwa tujuan motivasi adalah untuk menggerakkan atau menggugah seseorang agar timbul keinginan dan kemauan untuk melakukan sesuatu sehingga dapat memperoleh hasil atau mencapai tujuan tertentu (Purwanto, 2004). Sudah jelas bahwa setiap tindakan motivasi mempunyai tujuan. Semakin jelas tujuan yang diharapkan atau yang akan dicapai, makin jelas pula bagaimana tindakan motivasi dilakukan.
2.1.3
Fungsi Motivasi Sardiman (2003) menyebutkan ada tiga fungsi motivasi yaitu:
1. Mendorong manusia untuk berbuat, jadi sebagai penggerak atau motor yang melepaskan energi. Motivasi dalam hal ini merupakan motor penggerak dari setiap kegiatan yang akan dikerjakan. 2. Menentukan arah perbuatan yakni kearah suatu yang hendak dicapai. Dengan demikian motivasi dapat memberikan arah dan kegiatan yang harus dikerjakan sesuai dengan rumusan tujuannya. 3. Menyeleksi perbuatan, yakni menentukan perbuatan-perbuatan apa yang harus dikerjakan yang serasi guna mencapai tujuan, dengan
4
menyisihkan perbuatan-perbuatan yang tidak bermanfaat bagi tujuan tersebut.
2.1.4
Teori-teori Motivasi Motivasi sebenarnya memiliki beberapa teori dari beberapa
pendapat tokoh seperti: A. Maslow; Herzberg’s two factor theory oleh Frederick Herzberg; teori Motivasi Claude S. Geogre. Pada tulisan ini, peneliti mengacu pada teori A. Maslow. a. Teori Motivasi menurut A. Maslow Setiap manusia mempunyai needs (kebutuhan, dorongan, intrinsic dan extrinsic factor), yang pemunculannya sangat tergantung dari kepentingan individu. Dengan kenyataan ini, kemudian A. Maslow (Siagian, 1996: 149) membuat needs hierarchy theory untuk menjawab tentang tingkatan kebutuhan manusia tersebut. Kebutuhan manusia diklasifikasi menjadi lima hierarki kebutuhan yaitu : 1) Kebutuhan Fisiologis (Physiological Needs) Perwujudan dari kebutuhan fisiologis adalah kebutuhan pokok manusia yaitu sandang, pangan, papan, dan kesejahteraan individu. Kebutuhan ini dipandang sebagai kebutuhan yang paling mendasar, karena tanpa pemenuhan kebutuhan tersebut, seseorang tidak dapat dikatakan hidup normal. Meningkatnya kemampuan seseorang cenderung mereka berusaha meningkatkan pemuas kebutuhan dengan pergeseran
5
dari kuntitatif ke kualitatif. Kebutuhan ini merupakan kebutuhan yang amat primer, karena kebutuhan ini telah ada dan terasa sejak manusia dilahirkan. Misalnya dalam hal sandang. Apabila tingkat kemampuan seseorang masih rendah, kebutuhan akan sandang akan dipuaskan sekedarnya saja. Jumlahnya terbatas dan mutunya pun belum mendapat perhatian utama karena kemampuan untuk itu memang masih terbatas. Akan tetapi bila kemampuan seseorang meningkat, pemuas akan kebutuhan sandang pun akan ditingkatkan, baik sisi jumlah maupun mutunya. Demikian pula dengan pangan, seseorang dalam hal ini guru yang ekonominya masih rendah, kebutuhan pangan biasanya masih sangat sederhana. Akan tetapi jika kemampuan ekonominya meningkat, maka pemuas kebutuhan akan pangan pun akan meningkat. Hal serupa dengan kebutuhan akan papan/perumahan. Kemampuan ekonomi seseorang akan mendorongnya untuk memikirkan pemuas kebutuhan perumahan dengan pendekatan kuantitiatif dan kualitatif sekaligus. 2) Kebutuhan Rasa Aman (Safety Needs) Kebutuhan keamanan harus dilihat dalam arti luas, tidak hanya diartikan dalam arti keamanan fisik semata, tetapi juga keamanan psikologis dan perlakuan yang adil dalam pekerjaan.Karena pemuas kebutuhan ini terutama dikaitkan dengan kekaryaan seseorang, artinya keamanan dalam arti fisik termasuk keamanan seseorang didaerah tempat tinggal, dalam perjalanan menuju ke tempat bekerja, dan keamanan di tempat kerja.
6
3) Kebutuhan Sosial (Social Needs) Manusia pada hakekatnya adalah makhluk sosial, tidak dapat memenuhi kebutuhan sendiri dan pasti memerlukan bantuan orang lain, sehingga mereka harus berinteraksi dalam memenuhi kebutuhan tersebut. Kebutuhan sosial tercermin dalam empat bentuk perasaan yaitu: a) Kebutuhan akan perasaaan diterima orang lain dengan siapa ia bergaul dan berinteraksi dalam organisasi dan demikian ia memiliki sense of belonging yang tinggi. b) Harus diterima sebagai
kenyataan bahwa
setiap orang
mempunyai jati diri yang khas dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Dengan jati dirinya itu, setiap manusia merasa dirinya penting, artinya ia memiliki sense of importance. c) Kebutuhan akan perasaan maju dan tidak akan gagal sering disebut sense of accomplishment. Tidak ada orang yang merasa senang apabila ia menemui kegagalan, sebaliknya, ia senang apabila ia menemui keberhasilan. d) Kebutuhan
akan
Participation).
perasaan
Kebutuhan
ini
diikutsertakan sangat
terasa
(Sense
of
dalam
hal
pengambilan keputusan yang menyangkut diri dan tugas sendiri. Sudah barang tentu bentuk dari partisipasi itu dapat beraneka ragam seperti dikonsultasikan, diminta memberikan informasi, didorong memberikan saran. 4) Kebutuhan akan Harga Diri (Esteem Need )
7
Semua orang memerlukan pengakuan atas keberadaan statusnya oleh orang lain. Situasi yang ideal adalah apabila prestise itu timbul akan menjadikan prestasi seseorang. Akan tetapi tidak selalu demikian, karena dalam hal ini semakin tinggi kedudukan seseorang, maka akan semakin banyak hal yang digunakan sebagai symbol statusnya itu. Dalam kehidupan organisasi banyak fasilitas yang diperoleh seseorang dari organisasi untuk menunjukkan kedudukan statusnya dalam organisasi. Pengalaman menunjukkan bahwa baik dimasyarakat yang masih tradisional maupun di lingkungan masyarakat yang sudah maju, simbol – simbol status tersebut tetap mempunyai makna penting dalam kehidupan berorganisasi. 5) Aktualisasi Diri (Self Actualization) Hal ini dapat diartikan bahwa dalam diri seseorang terdapat kemampuan yang perlu dikembangkan, sehingga dapat memberikan sumbangsih yang besar terhadap kepentingan organisasi. Melalui kemampuan kerja yang semakin meningkat akan semakin mampu memuaskan berbagai kebutuhannya dan pada tingkatan ini orang cenderung untuk selalu mengembangkan diri serta berbuat yang lebih baik. Motivasi dapat digolongkan menjadi dua yaitu motivasi intrinsik dan motivasi ekstrinsik. Menurut Djamarah (2002), motivasi intrinsik adalah motif-motif yang menjadi aktif atau berfungsinya tidak perlu dirangsang dari luar, karena dalam diri setiap individu sudah ada
8
doronagn untuk melakukan sesuatu. Menurut Winkel (1999), yang termasuk dalam motivasi intinsik antara lain karena menyenangkan, etos belajar/kerja, managemen waktu, tantangan, harapan masa datang, peningkatan status. Sedangkan faktor ekstrinsik, motivasi adalah motifmotif yang aktif dan berfungsi karena adanya perangsang dari luar. Jadi motivasi ini muncul bukan berasal dari kesadaran diri sendiri. Yang termasuk
dalam
motivasi
eksternal
antara
lain
reward/gaji,
pengakuan/penghargaan, rekan kerja, keinginan orang lain, peningkatan jenjang/golongan, kebanggaan terhadap profesi/lembaga. Menurut Petri (1981), motivasi merupakan suatu konsep yang dipakai untuk mendeskripsikan daya-daya dalam diri seseorang yang menyebabkan timbulnya serta mengarahkan tingkah laku. Motivasi seseorang ditandai oleh tiga aspek, yakni: 1) Energi, yakni apa yang memberikan kekuatan pada tingkah laku, sehingga intensitas perilaku dapat dipertahankan. Disini perilaku yang dimaksud adalah perilaku belajar, 2) Arah, yakni apa yang memberikan arah pada tingkah laku dan 3) Keajegan, yakni bagaimana tingkah laku itu dipertahankan. Aspek energi atau intensitas dari motivasi menunjukkan kesungguhan atau keseriusan
orang
bertingkah
laku.
Aspek
arah
dari
motivasi
menggambarkan mengapa orang mengarahkan usahanya pada satu hal tertentu dan bukan pada hal lain. Aspek keajegan menunjukkan keajegan suatu tingkah laku atau kesinambungan dari kegiatan yang dilakukannya.
9
Menurut Syah (2005), belajar dapat dipahami sebagai tahapan perubahan seluruh tingkah laku individu yang relatif menetap sebagai hasil pengalaman dan interaksi dengan lingkungan yang melibatkan proses kognitif. Sedangkan menurut Winkel (2004), belajar adalah suatu aktivitas mental/psikis, yang berlangsung dsalam interaksi aktif dengan lingkungan yang menghasilkan sejumlah perubahan dalam pengetahuanpemahaman, ketrampilan dan nilai sikap. Dari pengertian belajar, maka motivasi belajar ialah keseluruhan daya penggerak psikis di dalam diri siswa yang menimbulkan kegiatan belajar, menjamin kelangsungan kegiatan belajar dan memberi arah pada kegiatan belajar itu demi mencapai suatu tujuan. Motivasi belejar memegang peranan pentin, perhating dalam mmemberikan gairah atau semangat dalam belajar, sehingga siswa yang bermotivasi kuat memiliki energi banyak untuk melakukan kegiatan belajar. Peserta didik yang termotivasi akan hal-hal seperti ketekunan tinggi, perhatian terhadap berbagai tugas, aktivitas dan partisipasi dalam kegiatan belajar tinggi dan dapat membangkitkan semangat dan kreativitas (Winkel, 2004). Mengukur motivasi umumnya terdapat dua cara, yaitu : (1) mengukur faktor-faktor dalam tertentu, yang diduga menimbulkan dorongan dalam diri seseorang dan (2) mengukur aspek tingkah laku tertentu yang mungkin menjadi ungkapan dan motif tertentu (Sabit 1997, diacu dalam Ngadimin 1998).
10
Kriteria yang digunakan untuk hasil pengukuran adalah factor motivasi itu sendiri yaitu factor intrinsik atau factor ekstrinsik. Faktor intrinsik mempunyai indikator: a. Indikator sikap;
dapat
dilihat dari
bagaimana mahasiswa
keperawatan dapat bersikap baik pada saat menjalankan praktek klinik keperawatan. Baik dalam hal ini dapat dilihat dari ketepatan waktu datang ke tempat praktek klinik, mahasiswa juga menaati aturan dan kebijakan di tempat mereka praktek. b. Indikator kebutuhan; mahasiswa yang merasa membutuhkan ilmu pengetahuan di lahan tempat mereka praktek tentunya akan bersungguh-sungguh dalam melaksanakan setiap tindakan dan memperhatikan bimbingan dari pihak rumah sakit dan juga dari dosen pembimbing mereka selama menjalani praktek klinik keperawatan. c. Indikator emosi; mahasiswa yang sedang menjalani praktek klinik biasanya rentan terlibat dalam emosi baik karena masalah dari rekan sesama di tempat praktek maupun masalah dari luar tempat praktek. Dalam hal ini mahasiswa dilihat keprofesionalannya dalam menjalankan profesinya untuk tidak membawa masalah atau emosi pada saat sedang berada di depan pasien. d. Indikator kemampuan; termasuk didalamnya kepuasan pribadi saat berhasil menyelesaikan suatu kompetensi. Yaitu saat mahasiswa melihat kemampuannya dalam melaksanakan suatu kompetensi,
11
melihat hasil kerjanya serta bagaimana mahasiswa melihat kemampuan mahasiswa lainnya dalam melaksanakan suatu kompetensi sehingga baik atau buruk dapat memotivasi mahasiswa dalam pengembangan kemampuannya.
2.2 Perawat Perawat adalah seseorang yang telah lulus pendidikan perawat baik di dalam maupun di luar negeri sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Berdasarkan Musyawarah Nasional PPNI (1999), mengatakan bahwa perawat adalah seorang yang telah lulus pendidikan formal dalam bidang keperawatan yang program pendidikannya telah disahkan oleh pemerintah. Dewan pimpinan pusat PPNI (1999), mempertegas yang dikatakan perawat profesional yaitu perawat yang mengikuti pendidikan keperawatan pada jenjang pendidikan tinggi sekurang-kurangnya DIII Keperawatan. Keperawatan
sebagai
pelayanan/asuhan
profesional
bersifat
humanistik, menggunakan pendekatan holistik, dilakukan berdasarkan ilmu dan kiat keperawatan, berorientasi kepada kebutuhan objek klien, mengacu pada standar professional keperawatan dan menggunakan etika keperawatan sebagai tuntutan utama. Demikianlah secara umum tentang keperawatan profesional yang merupakan tanggung jawab seorang perawat profesional yang selalu mengabdi kepada manusia dan kemanusiaan. Perawat dituntut untuk selalu melaksanakan asuhan keperawatan dengan benar atau rasional
12
dan baik atau etikal (Nursalam, 2002). Effendy (1995), menjelaskan keperawatan adalah pelayanan esensial yang diberikan oleh perawat terhadap individu, keluarga dan masyarakat yang mempunyai masalah kesehatan. Pelayanan yang diberikan adalah upaya mencapai derajat kesehatan semaksimal mungkin sesuai dengan potensi yang dimiliki dalam menjalankan kegiatan di bidang promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif dengan menggunakan proses keperawatan. Perawat profesional adalah seorang yang mengenal kebutuhan kesehatan dasar manusia yang sakit maupun yang sehat serta mengetahui bagaimana kebutuhan ini dapat terpenuhi, perawat harus menguasai suatu ilmu pengetahuan keperawatan berdasarkan pada perkembangan ilmu pengetahuan pada umumnya dan dia mempunyai kemampuan untuk memelihara seseorang atau masyarakat. Karakteristik perawat profesional adalah sebagai berikut (Nursalam, 2002). a. Dalam melakukan tindakannya berdasarkan pada proses intelektual, mempunyai kualitas dalam membuat keputusan. b. Menerapkan ilmu yang dipelajari dalam melaksanakan prakteknya sebagai
perawat
dalam
penerapannya
selalu
memperhatikan
kepentingan masyarakat. c. Selalu mengikuti perkembangan keperawatan maupun kesehatan. d. Mempunyai ilmu-ilmu yang berhubungan dengan bidangnya dan informasi yang dipunyai kepada teman sejawatnya.
13
e. Memperhatikan faktor kemanusiaan dalam keperawatan. f. Menjadi anggota dan turut berpartisipasi dalam organisasi profesi. g. Meyakini atau mempercayai keperawatan sebagai profesi yang hidup atau dan memikirkan idealisme keperawatan dari pada uang yang diperoleh. Dalam upaya mencapai profesionalisme dalam bidang keperawatan diperlukan pendidikan dan latihan yang terus menerus, yang dilakukan melalui pendidikan formal khusus untuk keperawatan atau melalui inservice training. Perawat sebagai profesi dan bagian integral dari pelayanan kesehatan tidak saja membutuhkan kesabaran. Kemampuan untuk itu mengatasi masalahmasalah
kesehatan
tentu
harus
bisa
diandalkan.Untuk
mewujudkan
keperawatan sebagai profesi yang utuh, ada beberapa syarat yang harus dipenuhi. Setiap perawat harus mempunyai ”body of knowledge” yang spesifik, memberikan pelayanan kepada masyarakat melalui praktik keprofesian yang didasari motivasi altruistik, mempunyai standar kompetensi, dan kode etik profesi (Kamarulla, 2005). Harlley dalam ANA (2000), menjelaskan pengertian dasar seorang perawat yaitu seseorang yang berperan dalam merawat atau memelihara, membantu, dan melindungi seseorang karena sakit, injuri dan proses penuaan, dan perawat profesional adalah perawat yang bertanggung jawab dan berwewenang memberikan pelayanan keperawatan secara mandiri dan atau berkolaborasi
dengan
tenaga
kewenanganya(DepKes RI, 2002).
kesehatan
lain
sesuai
dengan
14
Keperawatan adalah suatu bentuk pelayanan kesehatan profesional yang merupakan bagian integral dari pelayanan kesehatan, berdasarkan pada ilmu dan kiat keperawatan, berbentuk pelayanan bio-psiko-sosio-kulturspiritual yang komprehensif, ditujukan kepada individu, keluarga dan masyarakat baik sakit maupun sehat yang mencakup seluruh proses kehidupan manusia (DPP PPNI, 2001). Kerangka kerja Internal Council Of Nurse (ICN) menjelaskan kerangka kerja kompetensi bagi perawat yang mencakup tiga bidang, yaitu bidang profesional dan legal practice, bidang care profesional management dan bidang professional development. Kerangka kerja ini, sekarang menjadi acuan dalam menyusun standar kompetensi perawat Indonesia.
2.3 System pendidikan keperawatan di Indonesia Pendidikan keperawatan di indonesia mengacu kepada UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Jenis pendidikan keperawatan di Indonesia mencakup: a. Pendidikan Vokasional, yaitu jenis pendidikan diploma sesuai dengan jenjangnya untuk memiliki keahlian ilmu terapan keperawatan yang diakui oleh pemerintah Republik Indonesia. b. Pendidikan Akademik, yaitu pendidikan tinggi program sarjana dan pasca sarjana yang diarahkan terutama pada penguasaan disiplin ilmu pengetahuan tertentu
15
c. Pendidikan Profesi, yaitu pendidikan tinggi setelah program sarjana yang mempersiapkan peserta didik untuk memiliki pekerjaan dengan persyaratan keahlian khusus. Sedangkan jenjang pendidikan keperawatan mencakup program pendidikan diploma, sarjana, magister, spesialis dan doktor. Sesuai dengan amanah UU Sisdiknas No. 20 Tahun 2003 tersebut Organisasi Profesi yaitu PPNI dan AIPNI, bersama dukungan dari Kementerian Pendidikan Nasional (Kemendiknas), telah menyusun dan memperbaharui kelengkapan sebagai suatu profesi. Perkembangan pendidikan keperawatan sungguh sangat panjang dengan berbagai dinamika perkembangan pendidikan di Indonesia, tetapi sejak tahun 1983 saat deklarasi dan kongres Nasional pendidikan keperawatan indonesia yang dikawal oleh PPNI dan diikuti oleh seluruh komponen keperawatan Indonesia, serta dukungan penuh dari Kemendiknas dan Kemkes saat itu serta difasilitasi oleh Konsorsium Pendidikan Ilmu kesehatan saat itu, sepakat bahwa pendidikan keperawatan Indonesia adalah pendidikan profesi dan oleh karena itu harus berada pada pendidikan jenjang tinggi dan sejak itu pulalah mulai dikaji dan dirangcang suatu bentuk pendidikan keperawatan Indonesia yang pertama yaitu di Universitas Indonesia yang program pertamannya dibuka tahun 1985. Sejak 2008 PPNI, AIPNI dan dukungan serta bekerjasama dengan Kemendiknas melalui project Health Profession Educational Quality (HPEQ), menperbaharui dan menyusun kembali Standar Kompetensi Perawat
16
Indonesia, Naskah Akademik Pendidikan Keperawatan Indonesia, Standar Pendidikan Ners, standar borang akreditasi pendidikan ners Indonesia. dan semua standar tersebut mengacu pada Peraturan Presiden No. 8 tahun 2012 tentang KKNI dan sat ini sudah diselesaikan menjadi dokumen negara yang berkaitan dengan arah dan kebijakan tentang pendidikan keperawatan Indonesia. Standar-standar yang dimaksud diatas juga mengacu pada perkembangan keilmuan keperawatan, perkembangan dunia kerja yang selalu berubah.
2.3.1 Perkembangan kurikulum Pendidikan Keperawatan Perkembangan keperawatan sebagai pelayanan profesional didukung oleh ilmu pengetahuan dan teknologi yang diperoleh dari pendidikan dan pelatihan yang terarah dan terencana. Di Indonesia, keperawatan telah mencapai kemajuan yang sangat bermakna bahkan merupakan suatu lompatan yang jauh kedepan. Hal ini bermula dari dicapainya kesepakatan bersama pada Lokakarya Nasional Keperawatan pada bulan Januari 1983 yang menerima keperawatan sebagai pelayanan profesional (profesional service) dan pendidikan keperawatan sebagai pendidikan profesi (professional education). Tenaga keperawatan yang merupakan jumlah tenaga kesehatan terbesar seyogyanya dapat memberikan kontribusi essensial dalam keberhasilan pembangunan kesehatan. Untuk itu tenaga keperawatan dituntut untuk dapat meningkatkan kemampuan profesionalnya agar
17
mampu berperan aktif dalam pembangunan kesehatan khususnya dalam pelayanan keperawatan profesional. Pengembangan pelayanan keperawatan profesional tidak dapat dipisahkan dengan pendidikan profesional keperawatan. Pendidikan keperawatan bukan lagi merupakan pendidikan vokasional/kejuruan akan tetapi bertujuan untuk menghasilkan tenaga keperawatan yang menguasai ilmu keperawatan yang siap dan mempu melaksanakan pelayanan/asuhan keperawatan profesional kepada masyarakan. Jenjang pendidikan keperawatan bahkan telah mencapai tingkat Doktoral. Keyakinan
inilah
yang
merupakan
faktor
penggerak
perkembangan pendidikan keperawatan di Indonesia pada jenjang pendidikan tinggi, yang sebenarnya telah dimulai sejak tahun 1962 yaitu dengan dibukanya Akademi Keperawatan yang pertama di Jakarta. Proses ini
berkembang
terus
sejalan
dengan
hakikat
profesionalisme
keperawatan. Dalam Lokakarya Keperawatan tahun 1983, telah dirumuskan dan disusun dasar-dasar pengembangan Pendidikan Tinggi Keperawatan. Sebagai realisasinya disusun kurikulum program pendidikan D-III Keperawatan, dan dilanjutkan dengan penyusunan kurikulum pendidikan Sarjana (S1) Keperawatan. Pendidikan tinggi keperawatan diharapkan menghasilkan tenaga keperawatan profesional yang mampu mengadakan pembaruan dan
18
perbaikan
mutu
pelayanan/asuhan
keperawatan,
serta
penataan
perkembangan kehidupan profesi keperawatan. Pendidikan tinggi keperawatan diharapkan menghasilkan tenaga keperawatan professional yang mampu mengadakan pembaharuan dan perbaikan
mutu
pelayanan/asuhan
keperawatan,
serta
penataan
perkembangan kehidupan profesi keperawatan. Keperawatan sebagai suatu profesi, dalam melaksanakan tugas dan tanggungjawab pengembanggannya harus mampu mandiri. Untuk itu memerlukan suatu wadah yang mempunyai fungsi utama untuk menetapkan, mengatur serta mengendalikan berbagai hal yang berkaitan dengan profesi seperti pengaturan hak dan batas kewenangan, standar praktek, standar pendidikan, legislasi, kode etik profesi dan peraturan lain yang berkaitan dengan profesi keperawatan. Diperkirakan bahwa
dimasa datang tuntutan kebutuhann
pelayanan kesehatan termasuk pelayanan keperawatan akan terus meningkat baik dalam aspek mutu maupun keterjangkauan serta cakupan pelayanan. Hal ini disebabkan meningkatkan kesadaran masyarakat akan kesehatan yang diakibatkan meningkatnya kesadaran masyarakat secara umum, dan peningkatan daya emban ekonomi masyarakat serta meningkatnya komplesitas masalah kesehatan yang dihadapi masyarakat. Masyarakat semakin sadar akan hukum sehingga mendorong adanya tuntutan
tersedianya
pelayanan
kesehatan
termasuk
pelayanan
keperawatan dengan mutu yang dapat dijangkau seluruh lapisan
19
masyarakat. Dengan demikian keperawatan perlu terus mengalami perubahan dan perkembangan sejalan dengan perubahan yang terjadi diberbagai bidang lainnya. Perkembangan keperawatan bukan saja karena adanya pergeseran masalah kesehatan di masyarakat, akan tetapi juga adanya tekanan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi keperawatan serta perkembangan profesi keperawatan dalam menghadapi era globalisasi. Dalam memnghadapi tuntutan kebutuhan dimasa datang maka langkah konkrit yang harus dilakukan antara lain adalah penataan standar praktek dan standar pelayanan/asuhan keperawatan sebagai landasan pengendalian mutu pelayanan keperawatan secara professional, penataan sistem
pemberdayagunaan
tenaga
keperawatan
sesuai
dengan
kepakarannya, pengelolaan sistem pendidikan keperawatan yang mampu menghasilkan keperawatan professional serta penataan sistem legilasi keperawatan untuk mengatur hak dan batas kewenangan, kewajiban, tanggung
jawab
tenaga
keperawatan
dalam
melakukan
praktek
keperawatan.
2.4 Praktek Klinik Keperawatan 2.4.1
Pengertian Praktek Klinik Keperawatan Pembelajaran klinik adalah serangkaian pembelajaran yang
dilaksanakan dalam tatanan pelayanan kesehatan/keperawatan nyata dimana peserta didik dihadapkan langsung dengan klien maupun situasi
20
nyata (Relly dan Obermann, 1999). Pembelajaran klinik juga dapat diartikan sebagai bentuk pengalaman belajar (learning experience) dimana peserta
didik
berkesempatan
melatih
diri
melaksanakan
praktek
keparawatan profesional (professional nursing practice) di tatanan nyata pelayanan kesehatan (real setting) dimana terdapat praktek leperawatan klinik. (White dan Ewan, 1991). Dari
pengertian
tersebut
terkandung
pemahaman
bahwa
pembelajaran klinik dimaksudkan agar peserta didik memperoleh kemampuan dalam membuat pertimbangan dan pengambilan keputusan klinik secara mandiri didasari oleh teori, hukum dan etika profesi, menggunakan berbagai ketrampilan profesional meliputi ketrampilan teknikal dan interpersonal, memahami klien sebagai manusia yang mempunyai otonomi dan hak asasi. (FIK UI, 2000) Kemampuan yang akan diperoleh peserta didik dalam pembelajaran klinik diantaranya adalah pendalaman pemahaman ilmu dan masalah keperawatan, penumbuhan sikap
profesional,
cara
pandang,
berfikir
dan
bertindak
dalam
melaksanakan tugas dan tanggung jawab di bidang profesinya yaitu peningkatan
ketrampilan
profesional
dalam
melakukan
asuhan
keperawatan, peningkatan kemampuan dalam pemecahan masalah ilmiah keperawatan. (Reilly dan Obermann, 1999). Menurut Akemat, (2003) bahwa proses pembelajaran klinik disetting melalui proses pentahapan yaitu tahap persiapan rancangan pembelajaran yang meliputi perencanaan pembelajaran dalam memenuhi kebutuhan belajar peserta didik dan
21
ketersediaan kemudahan memperoleh sumber belajar, tahap pelaksanaan dengan menerapkan berbagai metode pembelajaran klinik yang ada serta tahap evaluasi yaitu penilaian terhadap pencapaian tujuan pembelajaran.
2.4.2 Metode Praktek Klinik Keperawatan Metode pembelajaran klinik yang dapat diterapkan dalam pembelajaran klinik diklasifikasikan sesuai dengan kegunaan utama setiap strategi. Metode pembelajaran klinik tersebut meliputi eksperiential, pemecahan masalah, konferensi, obeservasi, self directed, perceptorship dan model yang dipusatkan pada praktek.(White & Ewan, 1991). Metode eksperiential memberikan pengalaman langsung dari kejadian baik praktek klinik yang melibatkan interaksi dengan klien yang nyata dan orang lain di lapangan atau melalui pengalaman yang seperti kenyataan misalnya simulasi atau bermain peran. Metode ini meliputi penugasan klinik, tugas tertulis serta simulasi dan permainan. Metode pemecahan masalah membantu peserta didik dalam menganalisa situasi klinis yang membantu peserta didik menganalisa situasi klinis yang bertujuan menjelaskan masalah yang akan diselesaikan, memutuskan tindakan yang diambil, menerapkan pengetahuan pada suatu masalah klinik dan memperjelas keyakinan dan nilai sesorang. Metode pembelajaran klinik yang sesuai dengan praktek klinik antara lain situasi pemecahan masalah, situasi pembuatan keputusan dan insiden kritis.
22
Metode konferensi merupakan bentuk diskusi kelompok mengenai beberapa aspek parktek klinis. Dengan metode ini peserta didik dapat berbicara saat proses pemecahan masalah dan menerima umpan balik langsung dari rekan sejawat dan pembimbing. Metode ini juga memberi kesempatan kepada peserta didik untuk melakukan penilaian rekan sejawat, diskusi mengenai keprihatinan dan analisis terhadap isu – isu yang berkaitan dengan praktek klinis. Metode pembelajaran observasi yaitu melakukan pengamatan terhadap pengalaman aktual di lapangan atau terhadap peragaan yang diperlukan untuk belajar melalui modeling. Metode pembelajaran observasi meliputi obeservasi di lingkungan klinik, kunjungan lapangan, ronde keperawatan dan peragaan. Metode pembelajaran self directed didasarkan pada konsep pembelajaran fenomenologik yang menyadari pembelajaran sebagai proses individu yang memerlukan keterlibatan aktif peserta didik. Melalui metode ini tanggung jawab pembelajaran berada di pihak peserta didik. Perceptorship dan model praktek terkonsentrasi didasarkan pada konsep modeling. Pendidik klinis merupakan staf perawat dan praktisi keperawatan dalam lingkungan klinis yang berfungsi sebagai model peran dan pengajar untuk peserta didik melalui hubungan interpersonal. Pada metode ini diharapkan peserta didik memperoleh dan atau memodifikasi perilaku dengan cara mengobeservasi sendiri model yang memiliki perilaku yang dibutuhkan peserta didik dan mereka juga memiliki
23
kesempatan untuk mempraktekkan perilaku tersebut. Dalam proses bimbingan klinik keperawatan kita tidak dapat hanya memilih salah satu metode
saja.
Metode
konseptual
bimbingan
klinik
keperawatan
menggunakan kombinasi dari berbagai metode yang ada.
2.4.3 Strategi praktek klinik keperawatan Penugasan Klinik: Pembimbing memberikan data kasus sebelum praktek, peserta didik memberikan asuhan keperawatan pada klien, peserta didik mendokumentasikan asuhan keperawatan dalam bentuk laporan kasus, pembimbing mengobservasi kegiatan peserta didik pada setiap tahapan proses keperawatan klien, status medis dan keperawatan (rekam medis). Pra dan Pasca Konferen: Pembimbing berperan sebagai fasilitator dan nara sumber, Peserta didik mendiskusikan asuhan keperawatan yang dikelola Laporan pendahuluan dan laporan asuhan keperawatan Ronde Keperawatan: Pembimbing berperan sebagai fasilitator dan narasumber, Peserta didik memarkan kasus kelolaan, Peserta didik mendiskusikan kasus kelolaan secara bergantian Klien, status medis dan keperawatan Bed Side Teaching: Pembimbing memberikan ketrampilan klinik secara langsung pada klien, Peserta didik memperhatikan ketrampilan klinik yang dilakukan pembimbing Klien, alat yang disesuaikan dengan ketrampilan klinik yang dilakukan
24
Demontrasi: Pembimbing melakukan demontrasi prosedur tindakan keperawatan dihadapan peserta didik, Peserta didik memperhatikan dan diberi keempatan untuk mencoba secara mandiri Klien, alat yang disesuaikan dengan ketrampilan klinik yang dilakukan. Belajar mandiri: Peserta didik melakukan kegiatan belajar di klinik saat pembimbing tidak di tempat Klien, status medis dan keperawatan. 2.4.4
Kompetensi praktek klinik keperawatan Kompetensi merupakan pengetahuan dan kemampuan yang dikuasai
oleh seseorang yang telah menjadi bagian dari dirinya sehingga ia dapat melakukan perilaku – perilaku kognitif, afektif dan psikomotor dengan sebaik – baiknya. (Mulyasa,2006). Sedangkan menurut Elliot dan Dweck (2005), kompetensi didefinisikan sebagai suatu kondisi atau kualitas dari keefektifan, kemampuan , kecukupan (sufficiency) atau keberhasilan. Menurut Gordon seperti dikutip oleh Mulyasa (2006), menjelaskan beberapa aspek yang terkandung dalam konsep kompetensi yaitu : 1. Pengetahuan (knowledge) 2. Pemahaman (understanding) 3. Kemampuan (skill) 4. Nilai (value) 5. Sikap (attitude) 6. Minat (interest) Pengetahuan
dapat
dibagi
menjadi
pengetahuan
umum
dan
pengetahuan displiner yang spesifik. Sementara itu nilai merupakan suatu
25
prinsip abstrak mengenai perilaku di mana anggota kelompok merupakan sebuah komitmen poitif yang kuat dan memberikan standar dalam menilai tindakan atau tujuan tertentu. Nilai menciptakan konteks bagi penggunaan kemampuan dan aplikasi pengatahuan. Dari beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa kompetensi merupakan perpaduan dari pengetahuan, ketrampilan, nilai dan sikap yang direfleksikan dalam kebiasaan berfikir dan beritindak. Perubahan perilaku akibat kegiatan belajar mengakibatkan mahsiswa memiliki penguasaan terhadap materi pembelajaran yang dalam ini dalam praktek klinik keperawatan untuk mencapai tujuan. Pemberian tekanan penguasaan meteri akibat perubahan dalam diri siswa setelah proses belajar diberikan yang didefinisikan sebagai hasil belajar merupakan tingkat penguasaan yang dicapai oleh siswa dalam mengikuti proses belajar mengajar sesuai dengan tujuan pendidikan yang ditetapkan. Dari pengertian di atas dapat diambil kesimpulan bahwa hasil belajar adalah kompetensi siswa terhadap proses belajar sebagai akibat dari perubahan perilaku setelah mengikuti pembelajaran berdasarkan tujuan pembelajaran yang ingin dicapai. Hasil belajar ini akan diukur dengan sebuah tes. Berarti belajar itu menghasilkan berbagai macam tingkah laku yang berbeda seperti pengetahuan, sikap, ketrampilan, informasi dan nilai. Berbagai macam tingkah laku inilah yang disebut sebagai kapabilitas belajar. Menurut Sudjana (2002), ada 5 kategori kapabilitas hasil belajar yang meliputi : 1. ketrampilan intelektual 2. strategi kognitif
26
3. informasi verbal 4. ketrampilan motorik 5. sikap