BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Gambaran Umum Kawasan Hutan di Sumatera Utara Hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan, sedangkan yang dimaksud dengan kawasan hutan adalah wilayah tertentu yang ditunjuk dan atau ditetapkan oleh Pemerintah untuk dipertahankan keberadaanya sebagai hutan tetap (Undang Undang No 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan). Di Sumatera Utara luas kawasan tetap seluas 3.742.120 ha atau 52,20% dari seluruh luas Provinsi Sumatera Utara yang memiliki luas 7.168.000 ha, (Departemen Kehutanan, 2005).
Kawasan hutan dengan fungsi sosial, ekonomi dan ekologi yang dimilikinya tidak terbatas pada batas-batas administratif semata, namun kawasan hutan dengan fungsi ekologinya hanya dapat dibatas oleh batas-batas ekologis. Sehingga kawasan satu ekosistem hutan terkadang terpapar luas melintasi batas-batas kabupaten, bahkan provinsi. Di Sumatera Utara terdapat kawasan ekosistem hutan dengan komposisi: Hutan Lindung (HL), Hutan Produksi Terbatas (HPT), Hutan Produksi Tetap (HP) dan Hutan Suaka Alam (HSA). Hutan - hutan tersebut adalah segugusan ekosistem hutan yang terletak dalam wilayah administrasi Kabupaten Tapanuli Selatan, Kabupaten Tapanuli Tengah dan Kabupaten Tapanuli Utara dengan posisi geografis antara 980 50’ - 990 18’ Bujur Timur dan 10 26’ - 10 56’ Lintang Utara. Kawasan gugusan ekosistem hutan ini mencapai luasan sekitar 148.570 ha. Kawasan hutan di
Universitas Sumatera Utara
Provinsi Sumatera Utara tersebar di wilayah kabupaten dengan luasan berdasarkan fungsinya, dapat dilihat pada Tabel 2.1.1 berikut ini;
Tabel 2.1.1 Luas Kawasan Hutan per kabupaten di Sumatera Utara berdasarkan SK Menhut No. 44 Tahun 2005 Kabupaten
Langkat
Kawasan Lindung HK
Kawasan Budidaya
HL
HPT
HP
HPK
Jumlah
225.567,20
3.386,65
58.442,22
43.262,44
Deli Serdang
22.184,87
7.465
7.654,28
41.843,27
Karo
22.880,04
76.498,47
14.919,66
14.522,34
128.820,51
Dairi
0,00
60.463,89
61.701,31
12.802,83
137.968,03
Pakpak Bharat
5.657,00
45.163,61
71.303,81
10.740,66
132.865,08
Simalungun
2.031,41
27.668,09
10.841,74
98.200,48
138.741,72
Asahan
330.658,51 936.08
80.083,68
0,00
61.969,25
29.248,90
34.677,60
20.611,93
146.507,68
Labuhan Batu
2.076,31
86.353,17
43.276,17
135.827,70
1.993,00
270.156,35
Toba Samosir
23.800,00
122.084,08
17.708,10
16.781,40
180.373,58
1.834,76
47.771,52
95.436,36
88.853,00
233.895,64 174.524,39
Tapanuli Utara Humbang Hasundutan
500,00
72.749,02
27.226,37
74.049,00
Tapanuli Tengah
0,00
54.975,11
51.896,19
7.666,41
Tapanuli Selatan
53.558,41
277.015,10
164.760,68
321.365,70
Mandailing Natal
108.000,00
120.675,05
164.572,51
18.204,22
0,00
80.836,68
26.063,01
4.759,97
7.739,06
11.398,72
8.350,00
71.469,76
22.753,14
75.205,44
19.968,03
197.746,37
0,00
79.556,54
Nias Nias Selatan Samosir Serdang Bedagai Jumlah
114.537,71 1.511,90
411.451,78
16.690,44
0,00
1.228,83
8.465,55
20.237,10
476.440,00
1.297.330,00
879.270,00
1.035.690,00
818.211,79
96.246,98 29.931,48 52.760,00
3.742.120,00
Sumber: SK Menhut No. 44 Tahun 2005
Apabila dilihat dalam konteks spasial maka kondisi tutupan lahan kawasan hutan di Sumatera Utara dengan luasan yang sedemikian mengalami perubahan, terdapat perbandingan kondisi tutupan hutan pada tahun 2002 dan Tahun 2009 yang tampak pada Gambar 2.1.1 dan 2.1.2
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
2.2. Degradasi dan Deforestasi di Indonesia 2.2.1. Pengertian Degradasi dan Deforestasi Menurut Lamb (1994), degradasi difahami dengan beragam pengertian dalam pemikiran masyarakat Indonesia. Jika hutan telah mengalami kerusakan sampai pada titik dimana penebangan kayu maupun non kayu menyebabkan terhambatnya fungsi ekologis, ekonomis dan sosial hutan. Ahli kehutanan lainnya, Oldeman (1992) menyebutkan bahwa degradasi adalah proses terjadinya penurunan kapasitas hutan dalam memberikan manfaat serta fungsinya dalam jangka waktu tertentu. Degradasi Hutan dalam perundangan di Indonesia diartikan dalam dua segmen. Menurut Peraturan Menteri Kehutanan No. 30 Tahun 2009 disebutkan bahwa degradasi adalah penurunan kuantitas dan stok karbon selama periode tertentu yang diakibatkan oleh kegiatan manusia. Sementara itu, dalam Keputusan Menteri Kehutanan No. 8250/Kpts-II Tahun 2002 disebutkan bahwa degradasi adalah penurunan fungsi dan potensi hutan tersebut.
Secara bahasa kata Deforestasi adalah istilah yang dipergunakan untuk menyebutkan suatu kondisi saat luas areal hutan menunjukkan penurunan secara kualitas maupun kuantitas. Sementara itu, FAO (1990) dan World Bank (1990) menyatakan bahwa makna deforestasi adalah hilangnya tutupan hutan secara permanen ataupun sementara. Sedangkan pengertian deforestasi dalam konteks perundangan di Indonesia disebutkan bahwa deforestasi adalah perubahan secara permanen dari areal berhutan menjadi tidak berhutan yang diakibatkan oleh kegiatan manusia (Permenhut No. 30 Tahun 2009).
Sementara itu, Saharjo (1994)
menyebutkan bahwa deforestasi bukan hanya kondisi dimana hilangnya tutupan hutan saja, namun deforestasi juga menyebabkan hilangnya ciri-ciri kelengkapan hutan (Forest attributes) seperti hal yang menyangkut kelebatan hutan, struktur hutan dan juga komposisi spesies.
Universitas Sumatera Utara
2.2.2. Degradasi pada Periode Tahun 1950-1975 Pengelolaan hutan di Indonesia telah berlangsung dalam kurun waktu yang panjang, sejak masa penjajahan Belanda, masa pemerintahan pasca kemerdekaan, masa pemerintahan orde lama, masa pemerintahan orde baru hingga kini di masa pemerintahan era reformasi.
Menurut Nawir et al (2008), dalam periode waktu tahun 1950-1975 semasa penjajahan Belanda dan Inggris, proses penebangan kayu sebagai hasil hutan terjadi di bawah kebijakan perdagangan
Belanda yang dikenal sebagai kebijakan
perdagangan Vereenigde Oost Indische Compagnie (VOC). Di masa ini, kebijakan dibuat dengan memberikan izin penebangan hutan untuk kebutuhan konstruksi dan pembuatan kapal. Kekuatan ini juga diperkuat oleh kebijakan pemberian izin untuk pembukaan lahan untuk kepentingan pertanian sehingga dapat diperoleh pendapatan dari pajak bumi melalui sistem tanam paksa atau dikenal dengan istilah cultuurstelsel. Dalam kebijakan ini sistem yang dibuat adalah dengan menjalankan sistem tanam paksa dengan memaksa perubahan fungsi hutan menjadi kawasan perkebunan kopi, tebu, nila dan karet. Kegiatan sedemikian, berlangsung hingga masa penjajahan Jepang pada tahun 1942-1945. Terjadinya deforestasi pada masa itu disebabkan oleh penebangan hutan jati dan hutan alam yang berjumlah dua kali lipat jatah tebang tahunan. Kegiatan ini dimanfaatkan untuk pembiayaan perang. Setelah melakukan penebangan lahan kemudian disewakan kepada penduduk untuk ditanami tanaman pangan.
Di Pulau Jawa, pada masa Jepang berkuasa telah terjadi deforestasi seluas 4.428 ha. Kondisi ini terus berlangsung hingga masa kemerdekaan, penebangan hutan telah berhasil menghilangkan vegetasi hutan yang menyebabkan deforestasi sekitar 500.000 ha di masa itu atau sekitar 17% dari total luas kawasan hutan. Hingga di tahun 70’an kebijakan pemerintah untuk peningkatan laju ekonomi nasional telah memicu kebijakan pemerintah untuk memberikan izin untuk pengusaha di untuk
Universitas Sumatera Utara
melakukan pemanfaatan hasil hutan kayu di kawasan hutan di Indonesia (Nawir et al., 2008).
2.2.3. Degradasi pada Periode 1975-1990 Dalam kurun waktu dua dasawarsa, seiring dengan kenaikan harga minyak dunia, pemerintah menerima pemasukan keuangan dari sektor kehutanan terutama dalam bisnis pemberian izin pemanfaatan hasil hutan kayu, kala itu disebut dengan Hak Pengusahaan Hutan atau disingkat dengan HPH. Data Kementerian Kehutanan menunjukkan bahwa wilayah hutan yang dikelola oleh perusahaan pemegang izin HPH hingga tahun 2000 mencapai hingga 41 juta ha. Sementara itu, studi lain yang dilakukan oleh ahli kehutanan di Indonesia menunjukkan angka yang berbeda yaitu bahwa pemerintah telah memberikan izin pengusahaan hutan seluas lebih dari 60 juta ha kepada perusahaan HPH dalam kurun waktu 30 tahun.
Hingga tahun 1998
deforestasi hutan akibat HPH mencapai 16,57 juta ha (Nawir et al., 2008)
Selanjutnya dijelaskan oleh Nawir et al (2008) selain HPH, kegiatan yang ditimbulkan oleh proses relokasi penduduk dengan tujuan pemerataan penduduk terutama dari Jawa dan Bali pada masa ini juga telah mendukung para pemegang HPH dengan penyediaan tenaga kerja dan pemukiman dalam proses produksi hasil hutan yang diserap dari kawasan hutan. Hal ini berlangsung sejak tahun 1980-an. Akibat proses relokasi penduduk ini telah memberikan dampak terhadap perubahan lingkungan seperti alih fungsi kawasan hutan menjadi wilayah pertanian, pembukaan jalan yang membuka akses langsung menuju hutan. Tingkat deforestasi di masa ini juga semakin meningkat dengan adanya kebakaran hutan yang disebabkan oleh El Nino yang menyebabkan kebakaran hutan terbesar dalam tahun 1982-1983 yang menyebabkan deforestasi dalam waktu itu mencapai 3,2 juta ha, padahal 2,7 juta ha bagiannya adalah hutan hujan tropis di Kalimantan dan Sumatera.
Universitas Sumatera Utara
2.2.4. Degradasi pada Periode 1990-1997 Dalam masa ini, sewindu telah berlangsung. Dalam periode ini pemerintah melakukan perubahan jenis pemberian izin. Di masa sebelumnya pemberian izin berupa pengusahaan hasil hutan, maka pada periode ini pemberian izin diberikan kepada perubahan fungsi hutan untuk diubah menjadi perkebunan karet dan perkebunan kelapa sawit.
Hingga di tahun 1997 pemerintah telah memberikan
perizinan perubahan fungsi hutan menjadi perkebunan kelapa sawit seluas sekitar 6,7 juta ha, (Kertodihadjo & Supriono, 2000)
Sumber: Center for International Forestry Research Gambar 2.2.1 Grafik peningkatan luasan perkebunan sawit dan karet 1967-1997.
2.2.5. Degradasi pada Periode 1997 Hingga Usai Reformasi Dalam periode ini deforestasi disebabkan oleh beragam faktor mulai dari faktor politik daerah terutama dengan berlakunya pelaksanaan otonomi daerah dimana pemerintah daerah memiliki kewenangan terhadap pengelolaan sumberdaya yang ada dalam wilayah pemerintahannya, hingga faktor penebangan liar, serta peningkatan
Universitas Sumatera Utara
kasus perambahan hutan yang kemudian berakibat pada penyusutan hutan menjadi hanya sekitar 120,35 juta ha saja (Nawir et al., 2008)
2.3. Degradasi dan Deforestasi Hutan di Sumatera Utara Dalam rentang waktu sejak tahun 1985 hingga tahun 1998 laju degradasi hutan di Sumatera Utara mencapai 76.000 ha/ tahun. Hingga di tahun 2004 kerusakan tersebut bertambah hingga mencapai 694.295 ha atau telah rusak sekitar 18,5% dari keseluruhan luas hutan di Sumatera Utara (Pemerintah Kabupaten Tapanuli Selatan, 2006).
Kawasan hutan di Sumatera Utara secara nyata mengalami penurunan kondisi, baik secara kualitas maupun kuantitas. Pada tahun 2007, sekitar 891 ha hutan di Sumatera Utara terbakar. Kawasan hutan yang terbakar tersebut mencakup 123 ha merupakan kawasan hutan lindung dan 764 ha adalah kawasan hutan yang telah beralih fungsi menjadi ladang dan kebun masyarakat. Di tahun yang sama menunjukkah angka perambahan hasil hutan kayu mencapai angka 694.295 ha. Perambahan hutan ini terjadi di dalam luasan 207.575 ha hutan lindung dan dalam luasan 32.500 ha hutan konservasi. Termasuk juga perambahan di kawasan tipe hutan bakau mencapai 54.220 ha dan hutan produksi sekitar 400.000 ha. Kondisi kerusakan hutan ini secara sporadis terjadi di berbagai wilayah di Sumatera Utara. Perambahan hutan juga terjadi di wilayah hutan lindung dan suaka margasatwa Barumun dan wilayah hutan Register 6,7 dan 8 di Kabupaten Tapanuli Selatan (Pemerintah Kabupaten Tapanuli Selatan, 2006).
Kerusakan hutan di Kabupaten Tapanuli Selatan semakin meningkat sehingga secara logis juga meningkatkan frekuensi terjadinya bencana banjir dan longsor di wilayah Kecamatan Siais, Kecamatan Sayurmatinggi dan di Kecamatan Batang Angkola. Luas kawasan Tapanuli Selatan 373.437 ha atau sekitar 30,4% dari luas
Universitas Sumatera Utara
kabupaten yaitu 1.227.580 ha. Seiring terjadinya kerusakan hutan di wilayah itu diduga luasan tutupan lahan di kawasan ini telah berkurang di bawah 30,4%. Kawasan hutan tersebut terdiri dari hutan lindung seluas 128.570 ha, hutan produksi terbatas seluas 180.570 ha, hutan produksi seluas 13.300 ha, hutan suaka alam seluas 10.770 ha dan hutan suaka margasatwa seluas 40.300 ha (Pemerintah Kabupaten Tapanuli Selatan, 2006).
Kondisi ini mempengaruhi tutupan lahan kawasan hutan di Sumatera Utara. Pada tahun 2004 jumlah tutupan lahan pada kawasan hutan konservasi di Sumatera Utara berkurang hingga tertinggal hanya 88% atau setara dengan 237.600 ha dari luasan seluruhnya yaitu 269.900 ribu ha. Kondisi tutupan kawasan hutan pada kawasan hutan lindung di Sumatera Utara pada tahun 2004 luasnya sekitar 725,1 ha atau sekitar 46,8% dari luas total kawasan hutan lindung yaitu 1.550.004 ribu ha. Kondisi tutupan lahan hutan dengan presentase yang kecil juga terjadi pada kawasan hutan produksi yang hanya berjumlah sekitar 237.600 ha atau 43,4% dari luas total 546.009 ribu ha. Kondisi ini juga tak jauh berbeda dengan kondisi tutupan lahan pada kawasan hutan produksi terbatas. Provinsi Sumatera Utara hanya memiliki tutupan lahan hanya 36,3% atau 632.100 ribu ha dari luas total seluruh kawasan hutan produksi terbatas seluas 1.742.000 ha. Diikuti dengan luas tutupan lahan kawasan hutan produksi konversi dengan angka lahan yang berhutan sekitar 16,6% atau hanya 59.700 ha dari luas keseluruhan sekitar 360.400 ribu ha. Sementara itu luas tutupan lahan pada kawasan areal penggunaan lain di Sumatera Utara adalah 92.000 ha setara dengan 3,4% dari seluruh total areal penggunaan lain seluas 2.667.900 ha (Badan Planologi Departemen Kehutanan, 2005).
2.4. Kawasan Ekosistem Angkola di Sumatera Utara Salah satu kawasan hutan di Sumatera Utara yang memiliki potensi penting sebagai kawasan ekologis yang memiliki fungsi dan manfaat bagi kehidupan di Sumatera Utara terbentang melintasi dua kabupaten yaitu Kabupaten Tapanuli Selatan dan
Universitas Sumatera Utara
Kabupaten Tapanuli Selatan. Kawasan tersebut dikenal dengan kawasan Siondop Angkola atau lebih sering disebut sebagai kawasan ekosistem Angkola (Pemkab Tapsel, 2006). Secara geografis kawasan ini terletak di antara 980 46’ 47,2” - 990 23’ 18,6” Bujur Timur dan 00 52’ 35,8” - 10 26’ 07,2” Lintang Utara. Berdasarkan analisa citra satelit, ekosistem yang masih relatif utuh tersebut meliputi kawasan hutan seluas ± 195.000 hektar. Kawasan ini merupakan bagian Daerah Aliran Sungai Batang Gadis dan Batang Angkola dan mewakili tipe-tipe ekosistem lahan basah, hutan hujan dataran rendah dan perbukitan (850 meter dpl), batuan gamping (limestone) sampai hutan pegunungan rendah dan juga terdapat dua danau yaitu Danau Siasis dan Danau Laut Bangko. Secara geomorfologis, kawasan ini mempunyai keunikan
geologis
sebelumnya sekitar 75.000 tahun yang lalu, Sungai Batang Gadis dan Batang Angkola diduga mengalir ke utara bertemu dengan Sungai Batangtoru akibat terjadinya gempa tektonik dan letusan Gunung Berapi Toba, sungai-sungai tersebut berubah arahnya dan terbentuk lembah dataran tinggi. Peristiwa itu menyebabkan terbentuknya Sungai Batang Gadis atau Siondop yang membentang diantara dua daerah pegunungan bagian Barat dan Timur. Diketahui lembah tersebut merupakan lembah graben, terbentuk akibat depresi memanjang yang terjadi ketika permukaan bumi tenggelam diantara dua garis patahan geologis. Selain graben terbentuk pula dataran banjir berawa. Dataran tinggi rawa Siondop disebut dataran lacustrine dalam lembah sungai geotektonik yang tertutup. Daerah lahan basah ini adalah rawa air tawar yang selalu mengalami banjir musiman dan dikelilingi pegunungan rendah dan perbukitan yang mengandung petak hutan berisikan jenis tumbuhan yang telah beradaptasi dengan lingkungan basah, dataran rendah dan hutan batuan gamping, seperti Dolok Tarapung Godang (238 meter dpl), Dolok Nagor (260 meter dpl) dan Dolok Tanggasamulu (493 meter dpl) (Nawir et al., 2008).
Universitas Sumatera Utara
Pada tahun 2006, kawasan ini juga pernah diusulkan oleh Pemerintah Daerah Tapanuli Selatan sebagai kawasan taman nasional dengan nama Taman Nasional Siondop Angkola yang disebutkan dalam dokumen usulan tersebut, bahwa kawasan ini merupakan perubahan fungsi kawasan hutan produksi HPH PT. Teluk Nauli Blok Batumundom (Reg.33), eks HPH Aik Gadis Timber (Reg.5, Reg.6) eks HPH PT. Bhara Induk (Reg. 32, Reg. 35, Reg. 34 dan Reg.6), HPH PT. Multi Sibolga Timber (Reg.33), HPH PT. Keang Nam Dev (Reg 37), Hutan Lindung Siondop Selatan (Reg.33), Hutan Lindung Siondop Utara (Reg.34) dan Hutan Lindung Angkola Komp. 1 dan II (Reg.6) (Pemerintah Kabupaten Tapanuli Selatan, 2005).
Usulan untuk menjadikan kawasan ini sebagai kawasan konservasi berupa taman nasional secara faktual belum memenuhi persyaratan yang cukup. Salah satu penyebabnya adalah, bahwa jika kawasan ini dijadikan kawasan taman nasional dengan sistem zonasi maka akan memberikan dampak sosial ekonomi terhadap masyarakat sekitar kawasan.
Masyarakat memanfaatkan kawasan ini sebagai
kawasan pemanfaatan hasil hutan non kayu berupa kayu manis, dan apabila menjadi kawasan taman nasional maka masyarakat tidak dapat lagi memanfaatkan hasil hutan tersebut (Sirait, 2007).
Hasil hutan bukan kayu bukan semata-mata manfaat yang diberikan oleh kawasan ekosistem ini, akan tetapi kawasan ini hingga sekarang masih menjadi sumber jasa lingkungan bagi kehidupan di sekitarnya. Dalam tinjauan habitat dan ekosistem, kawasan ini adalah habitat penting bagi flora dan fauna termasuk di dalamnya spesies yang dilindungi diantaranya Harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae), Kambing Hutan (Naemorhedus sumatrensis), Tapir (Tapirus indicus) dan 99 jenis burung, diantaranya ditemukan 9 jenis burung Rangkong (Buceros spp, Anthracoceros spp, Anorrhinus spp, Aceros spp, Anthoceros spp,) dari 10 jenis yang ditemukan di Pulau Sumatera. Bahkan kawasan ini merupakan habitat bagi populasi jenis burung yang paling dinilai rentan terhadap kepunahan, yaitu Mentok Rimba
Universitas Sumatera Utara
(Cairina scutulata) yang populasinya di Pulau Sumatera berdasarkan data tahun 2006 tersisa hanya 150 individu dan Burung Bangau tong-tong (Leptoptilus javanicus) yang populasinya di Sumatera diperkirakan hanya 2000 individu (Conservation International, 2005).
Ekosistem di kawasan ini memiliki karakteristik khas mulai dari vegetasi hutan bakau, rawa, tanah gambut dan juga memiliki dataran tinggi dan dataran rendah yang secara kolektif bertindak sebagai bagian dari habitat sisa yang terakhir untuk hutan dengan status kritis berbahaya dan endemik di Indonesia (Pemerintah Kabupaten Tapanuli Selatan, 2006). Kawasan ekosistem Angkola juga merupakan habitat penting bagi populasi Orangutan Sumatera (Pongo Abelii) (Perbatakusuma & Rahayuningsih, 2004).
2.5. Nilai Konservasi dan Fungsi Lindung Ekosistem Angkola Kawasan hutan dengan nilai konservasi yang tinggi akan memiliki fungsi lindung yang baik bagi satu kesatuan biotik dan abiotik. Suatu kawasan hutan memiliki nilai konservasi yang tinggi (HCV) apabila memenuhi ciri ciri sebagai berikut (Tropenbos International Indonesia, 2008); a) Memiliki konsentrasi nilai-nilai keanekaragaman hayati penting secara global, regional dan lokal, misalnya adanya spesies endemik, spesies yang hampir punah serta dengan lansekap yang khas. b) Mempunyai tingkat lansekap yang penting secara global, regional dan lokal yang berada di dalam atau memiliki unit pengelolaan dimana sebagian besar populasi spesies atau seluruh spesies yang secara alami ada di kawasan tersebut berada dalam pola distribusi dan kelimpahan alami. c) Berada di dalam atau mempunyai ekosistem yang langka, terancam punah atau hampir punah d) Memiliki fungsi pengatur alam dalam situasi yang kritis, misalnya perlindungan Daerah Aliran Sungai (DAS) dan pengendalian erosi.
Universitas Sumatera Utara
e) Memiliki sumberdaya yang mampu memenuhi kebutuhan dasar masyarakat lokal.
Ciri-ciri kawasan hutan dan lahan dengan nilai konservasi tinggi tersebut saat ini menjadi konsep yang sangat bermanfaat dan telah diterapkan di beberapa wilayah dengan tujuan untuk melindungi area yang tersisa dan berada dalam kondisi kritis secara ekologi dan sosial (Stanley & The Nature Conservancy, 2006). Melakukan konservasi tidak hanya dilakukan pada areal kawasan hutan dan lahan tertentu, akan tetapi juga diwajibkan dilakukan pada kawasan-kawasan areal konsesi.
Pada
kawasan atau areal konsesi disarankan kurang lebih 10% disisihkan bagi tujuantujuan konservasi (Blockhus et al., 1992; Mason & Putz 2001). Kawasan 10% ini harus merupakan tambahan dari setiap kawasan yang telah disisihkan berdasarkan pada peraturan dan perundangan yang berlaku (Bennet & Gumal 2001), atau kawasan yang disisihkan akibat rendahnya potensi kayu atau aksesibilitas rendah seperti kawasan yang termasuk dalam lereng E, dengan kemiringan >40%, dan hutan-hutan penyangga tepian sungai tidak boleh dimasukkan dalam ke 10% kawasan konservasi yang disisihkan. Pada areal konsesi tujuan menyisihkan kawasan untuk kepentingan konservasi adalah menjamin perlindungan habitat yang memungkinkan bagi jenisjenis langka, terancam punah dan jenis endemik dan juga yang mewakili tipe habitat yang ada dalam konsesi serta membantu melindungi nilai konservasi tinggi yang sudah teridentifikasi (Fimbel, Grajal & Robinson, 2001).
Jaringan zona konservasi yang dirancang dengan baik akan dapat membantu memelihara nilai konservasi tinggi keragaman hayati, lansekap, tingkat kelangkaan dan fungsi perlindungan DAS. Disarankan bahwa kawasan konservasi yang disisihkan minimum 10.000 ha di dalam suatu wilayah yang cukup besar untuk memelihara kebanyakan spesies burung hutan (Zakaria & Francis, 2001). Penyisihan kawasan juga akan membantu melestarikan konsentrasi keanekaragaman serangga, amfibia, reptilia dan mamalia (Fimbel, Grajal & Robinson, 2001). Pelarangan
Universitas Sumatera Utara
konstruksi jalan dan pengembangan infrastruktur lainnya di dalam kawasan yang disisihkan untuk konservasi mengurangi fragmentasi hutan-hutan skala lansekap luas (landscape level forest) dan ekosistem-ekosistem langka terlindungi secara lebih baik. Wilayah-wilayah daerah aliran sungai yang penting terlindungi dari gangguan dan perangkat pengontrol aliran air terpelihara. Penempatan yang hati-hati dari kawasan yang disisihkan juga dapat merupakan strategi efektif untuk memelihara atau meningkatkan nilai-nilai sosial budaya (Marcot et al., 2001). Merancang kawasan konservasi hendaknya mempertimbangkan beberapa faktor penting (Marcot et al., 2001) yaitu ; a) Ukuran, semakin luas suatu zona konservasi maka semakin banyak habitat yang dilindungi sehingga jumlah jenis dan populasi yang terlindungi akan lebih banyak. b) Bentuk; bentuk kawasan konservasi pada umumnya dipilih dengan menekan besarnya efek tepi (edge to area). Bentuk kawasan yang membulat akan lebih menguntungkan, karena akan memiliki daerah pusat yang jauh dari tepi sehingga akan memiliki daya lindung lebih besar dibandingkan berbentuk persegi. c) Gradien ekosistem: Jika mungkin gradien ekosistem harus dicakup dalam zona konservasi. Keberadaan beberapa spesies tergantung pada berbagai tipe hutan pada berbagai ketinggian atau tipe tanah. Memelihara kelengkapan gradien dari suatu sungai sampai puncak gunung, sebagai contoh akan membantu keterkaitan/ kesinambungan habitat bagi jenis-jenis nomadik. d) Tata guna lahan yang berbatasan dengan kawasan konservasi: Untuk meningkatkan efektivitas suatu zona konservasi, lebih baik jika zona tersebut berbatasan dengan hutan-hutan yang dilindungi lainnya atau kawasan-kawasan dimana penutupan hutan akan dijaga (misal kawasan-kawasan yang dilindungi – KPA, KSA, atau hutan tangkapan air - HL). Pembukaan atau konversi hutan di sekitar kawasan konservasi akan memiliki dampak di dalam kawasan konservasi.
Universitas Sumatera Utara
e) Koridor: Apabila mungkin, disarankan untuk menghubungkan zona-zona konservasi dengan koridor-koridor hutan-hutan yang tidak terganggu yang lebarnya 200-400 m (Fimbel, Grajal & Robinson, 2001). Hal ini akan memfasilitasi pergerakan dan dispersal (pemencaran) jenis-jenis ke seluruh wilayah konsesi (Davies et al., 2001; Fimbel, Bennett & Kremen, 2001). Dalam banyak kasus, kawasan-kawasan zona penyangga tepi sungai dapat membentuk koridor-koridor yang sesuai, tetapi jika sungai jarang ditemukan atau jika tidak terhubung dengan kawasan yang disisihkan untuk konservasi; maka koridorkoridor tambahan harus ditetapkan. f) Perwakilan ekosistem: Semua formasi hutan yang ada di dalam konsesi harus diwakili dalam zona-zona konservasi termasuk kawasan yang biasanya ditebang.
Kawasan hutan yang memiliki nilai konservasi yang tinggi, tidak hanya dapat diketahui melalui penghitungan biodiversitas, namun juga dapat dilakukan melalui bantuan teknologi yang relevan dan dirancang untuk kepentingan penentuan tersebut. Salah satu pendekatan yang telah dikenal dalam dunia biologi konservasi adalah dengan melakukan analisis land cover pada kawasan tertentu dengan mempergunakan Geografhic Information System atau Sistem Informasi Geografi.
Pendekatan ini
dilakukan untuk memadukan data yang melimpah dari sumber-sumber yang telah ditentukan dari lingkungan alami dengan informasi mengenai kawasan yang dilindungi serta keanekaragaman hayati (Stokes & Morisson, 2003).
Melalui
pendekatan GIS/SIG memungkinkan kawasan-kawasan penting untuk dikenali kemudian dimasukkan dalam sistem perlindungan dan konservasi. Dengan sistem ini, juga dapat diketahui wilayah yang rentan dan semestinya tidak diganggu oleh manusia, sehingga akan lebih mudah diketahui dan diselamatkan.
Universitas Sumatera Utara