8
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1.
Rencana Tata Ruang Mengacu pada Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan
Ruang, ada beberapa istilah/pengertian yang lazim digunakan dalam rencana tata ruang, antara lain: Ruang merupakan wadah yang meliputi ruang darat, ruang laut, dan ruang udara, termasuk ruang di dalam bumi sebagai satu kesatuan wilayah, tempat manusia dan makhluk lain hidup, melakukan kegiatan, dan memelihara kelangsungan hidupnya. Tata Ruang adalah ruang yang diwujudkan dalam bentuk struktur ruang dan pola ruang. Struktur Ruang adalah susunan pusat-pusat permukiman yang satu sama lain dihubungkan dengan sistem jaringan prasarana dan sarana yang berfungsi sebagai pendukung kegiatan sosial ekonomi masyarakat yang hirarkis dan terikat dalam satu hubungan fungsional. Pola Ruang adalah distribusi pemanfaatan ruang dalam suatu wilayah yang secara garis besar dapat dibedakan menurut pemanfaatan untuk fungsi lindung dan untuk fungsi budidaya. Berdasarkan definisi tersebut, maka yang disebut dengan ruang itu adalah tanah, air dan udara yang ada di permukaan bumi tanpa dibatasi oleh batas-batas administrasi dan batas fungsional suatu wilayah. Ruang disini memiliki fungsi
8
9
utama sebagai tempat hidup manusia, serta tempat untuk manusia melakukan kegiatan dan berinteraksi. Ruang memiliki pengertian yang lebih mendalam, sehingga ruang itu tidak diartikan sebagai tempat yang kosong, tetapi ruang tersebut memiliki fungsi – fungsi tertentu dan terdiri dari berbagai macam karakteristik alam yang berbeda. Tata ruang terdiri dari dua lingkup kegiatan, yakni struktur ruang yang menganggap bahwa antara satu wilayah dengan wilayah yang lain itu membentuk suatu sistem dan pola ruang yang menganggap bahwa ruang itu dapat dibagi berdasarkan pemanfaatannya serta fungsi kegiatannya. 2.1.1. Struktur Ruang dalam Perencanaan Kota Struktur ruang di suatu wilayah dapat dikatakan sebagai dasar pembentuk suatu kota karena struktur ruang ini menentukan titik-titik pusat kegiatan, titik – titik pusat kegiatan ditunjukkan dalam hirarki pelayanan. Suatu kawasan ditetapkan sebagai pusat karena memiliki berbagai macam fasilitas penunjang kegiatan yang lengkap, lingkup pelayanan fasilitas yang dimiliki kawasan tersebut mampu untuk melayani kawasan lainnya. Mengacu pada hirarki pelayanan, di bawah tingkatan pusat terdapat tingkatan sub pusat yang berfungsi untuk melayani kebutuhan masyarakat di kawasannya sendiri. Segi ketersediaan fasilitas yang dimilikipun tidak selengkap yang ada di tingkat pusat, hal tersebut dikarenakan kompleksitas kegiatan di sub pusat tidak terlalu besar. Struktur ruang ini juga mengatur tata letak setiap jaringan prasarana yang ada di suatu kawasan, jaringan dimaksud meliputi jaringan listrik, jaringan
10
telepon, jaringan pipa air minum, jaringan drainase, jaringan air limbah, jaringan pipa gas dan jaringan transportasi. Peletakan setiap jaringan prasarana harus direncanakan dengan matang dan saling terhubung antara yang satu dengan yang lainnya, perencanaan jaringan prasarana juga harus terhubung antara jaringan prasarana di satu wilayah dengan jaringan prasarana di wilayah lainnya. Sebagaimana dijelaskan dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, tata ruang dibagi berdasarkan sistem pelayanannya seperti Pusat Kegiatan Nasional (PKN) diperuntukkan untuk melayani kegiatan dalam skala provinsi, sedangkan Pusat Kegiatan Wilayah (PKW) diperuntukkan untuk melayani kegiatan dalam skala kabupaten/kota dan Pusat Kegiatan Lokal (PKL) berada di masing-masing kabupaten/kota diperuntukkan untuk melayani skala kecamatan sebagimana diilustrasikan dalam Gambar 2.1. 2.1.2. Pola Ruang Dalam Perencanaan Kota Pola ruang dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang terdiri dari kawasan lindung dan kawasan budidaya. Kawasan Budidaya merupakan bagian dari Pola Ruang Wilayah Kota yang merupakan Kawasan Terbangun maupun non terbangun di luar Kawasan Lindung. Kawasan budidaya terdiri dari : a. kawasan peruntukan perumahan dan permukiman; b. kawasan peruntukan perdagangan dan jasa; c. kawasan peruntukan perkantoran; d. kawasan peruntukan pariwisata; e. kawasan peruntukan industri dan pergudangan;
11
f. kawasan ruang evakuasi bencana; g. kawasan peruntukan kegiatan sektor informal; h. kawasan ruang terbuka non hijau; dan i. kawasan peruntukan lainnya, meliputi : 1) kawasan peruntukan fasilitas pendidikan; 2) kawasan peruntukan fasilitas kesehatan; 3) kawasan peruntukan fasilitas rekreasi, taman dan olah raga; 4) kawasan peruntukan fasilitas peribadatan; 5) kawasan peruntukan pertanian; 6) kawasan peruntukan perikanan; 7) kawasan peruntukan kegiatan pertanahan dan keamanan; 8) kawasan pesisir dan laut; dan 9) kawasan peruntukan setra dan makam; Keputusan Presiden tentang Pengelolaan Kawasan Lindung menjelaskan kriteria penetapan kawasan lindung, kriteria dilihat berdasarkan karakteristik alam yang dimiliki oleh kawasan tersebut seperti topografi, kemiringan lahan, jenis tanah dan kerawanan bencana. Kawasan yang sudah ditetapkan sebagai kawasan lindung, tidak boleh dikembangkan menjadi lahan terbangun. Kegiatan pembangunan hanya boleh dilakukan pada kawasan budidaya saja, hal ini dilakukan agar kelestarian pada kawasan lindung dapat terjaga. Kawasan budidaya terdiri dari kawasan hutan produksi, kawasan permukiman, kawasan pertanian, kawasan perikanan dan kawasan peruntukan lainnya, untuk lebih jelasnya dapat dilihat dalam Gambar 2.2
12
Gambar 2.1. Peta Rencana Struktur Ruang Kota Denpasar (Sumber : RTRW Kota Denpasar, 2011-2031)
13
Gambar 2.2. Peta Rencana Pola Ruang Wilayah Kota Denpasar (Sumber : RTRW Kota Denpasar, 2011-2031)
14
2.2.
Sampah dan Tempat Penampungan Sementara
2.2.1. Pengertian dan Sumber Timbulan Sampah Terdapat beberapa pengertian sampah dengan berbagai sudut pandang. Sampah dalam Tchobanoglous (1977: 3) diistilahkan sebagai limbah padat (solid waste) adalah segala bentuk limbah yang ditimbulkan dari kegiatan manusia maupun binatang yang biasanya berbentuk padat dan secara umum telah dibuang serta tidak bermanfaat atau tidak dibutuhkan lagi. Selaras dengan hal tersebut Kodoatie (2005: 216) mendefinisikan sampah sebagai limbah atau buangan yang bersifat padat, setengah padat yang merupakan hasil sampingan dari kegiatan perkotaan atau sirkulasi kehidupan manusia, hewan maupun tumbuh-tumbuhan. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah pasal 1 mendefinisikan sampah sebagai sisa kegiatan sehari-hari manusia dan/atau proses alam yang berbentuk padat. Pengertian sampah pada SNI 19-2454-1991 tentang Tata Cara Teknik Operasional Pengelolaan Sampah adalah limbah yang bersifat padat terdiri dari bahan organik dan bahan anorganik yang dianggap tidak berguna lagi dan harus dikelola agar tidak membahayakan lingkungan dan melindungi investasi pembangunan. Sedangkan timbulan sampah adalah banyaknya sampah yang timbul dari masyarakat dalam satuan volume maupun berat perkapita perhari, atau perluas bangunan, atau perpanjang jalan. Sampah yang dikelola di perkotaan adalah semua sampah yang timbul di kota baik sampah domestik maupun non domestik dan tidak termasuk sampah bahan berbahaya dan beracun (B3). Sampah bahan berbahaya dan beracun seperti
15
sampah medis dan sampah industri, harus dilakukan penanganan khusus agar tidak membahayakan kualitas lingkungan. 2.2.2. Sistem Pengelolaan Sampah Menurut Damanhuri, 2004 Sistem pengelolaan sampah meliputi beberapa tahapan, yaitu pewadahan, pengumpulan, pengangkutan, pengolahan dan pembuangan akhir ke Lahan TPA. 1. Pewadahan sampah adalah cara penampungan sampah sementara di sumbernya. 2. Pengumpulan sampah adalah proses penanganan sampah dengan cara pengumpulan dari masing-masing sumber sampah untuk diangkut ke tempat pembuangan sementara atau langsung ke tempat pembuangan akhir tanpa melalui proses pemindahan. 3. Pemindahan sampah adalah tahap memindahkan sampah hasil pengumpulan ke dalam alat pengangkut untuk dibawa ke tempat pembuangan akhir. 4. Pengangkutan
sampah
adalah
membawa
sampah
dari
lokasi
pemindahan atau langsung dari sumber sampah menuju tempat pembuangan akhir. 5. Pengolahan sampah adalah upaya mengurangi volume atau merubah bentuk sampah menjadi lebih bermanfaat, antara lain dengan cara pembakaran
dalam
incinerator,
pengomposan,
penghancuran, pengeringan, dan pendaur ulangan.
pemadatan,
16
Skema Teknik Operasional Pengelolaan Persampahan dapat dilihat pada gambar 2.3. Timbulan sampah
Pewadahan/pemilahan
Pengumpulan
Pemindahan dan pengangkutan
Pengolahan
Pembuangan akhir sampah
Gambar 2.3. Skema Teknis Operasional Pengelolaan Persampahan (SNI 19-2454-2002). Berdasarkan SNI 19-2454-2002 tentang Teknik Operasional Pengelolaan Sampah Perkotaan, faktor-faktor yang mempengaruhi sistem pengelolaan sampah perkotaan adalah : 1. Kepadatan dan penyebaran penduduk 2. Karakteristik fisik lingkungan dan sosial ekonomi 3. Timbulan dan karakteristik sampah 4. Budaya sikap dan perilaku masyarakat 5. Jarak dari sumber sampah ke tempat pembuangan akhir sampah 6. Rencana tata ruang dan pengembangan kota
17
7. Sarana pengumpulan, pengangkutan, pengolahan dan pembuangan. Permasalahan
persampahan
di
setiap
wilayah
berbeda
tingkat
kesulitannya. Oleh karena itu sebaiknya setiap daerah melakukan berbagai pendekatan untuk menyelesaikan semua masalah persampahan yang ada di wilayahnya. Pendekatan tersebut dapat dilakukan dengan pendekatan teknis atau pendekatan non teknis yang meliputi beberapa aspek (Dep. PU, 1994 dan Tchobanoglous et al., 1993) antara lain : 1. Aspek institusi Aspek institusi menyangkut masalah manajemen didalam pengelolaan persampahan yang meliputi kejelasan status institusi pengelola persampahan, struktur organisasi yang sesuai, sumber daya manusia yang kompeten, fungsi, tangggung jawab dan wewenang serta koordinasi vertikal maupun horizontal dari badan pengelola. 2. Aspek legal/hukum Sistem pengelolaan persampahan sangat ditentukan oleh peraturan-peraturan yang mendukung. 3. Aspek pembiayaan Aspek pembiayaan erat kaitannya dengan pendapatan yang diterima dari retribusi sampah untuk membiayai operasional pengelolaan sampah. 4. Aspek teknis operasional Kegiatan dalam aspek teknis operasional adalah penentuan peralatan atau teknologi yang dibutuhkan untuk mengolah sampah tetapi secara umum
18
kegiatan aspek teknis operasional meliputi perhitungan produksi sampah, penentuan daerah pelayanan, penentuan cara pengumpulan dan pengangkutan sampah ke tempat pemrosesan akhir sampah. 5. Aspek peran serta masyarakat Aspek peran serta masyarakat merupakan hal terpenting dalam pengelolaan sampah karena sampah yang dihasilkan bersumber dari kegiatan masyarakat, maka dengan pelibatan masyarakat dalam pengelolaan sampah diharapkan dapat mereduksi jumlah timbulan sampah yang masuk ke tempat pemrosesan akhir sampah. 6. Aspek peran serta swasta Hal ini sangat terkait dengan keterbatasan dana dan sumber daya yang dimiliki oleh pemerintah, peran swasta dapat dijadikan alternatif untuk pengelolaan sampah perkotaan yang memiliki kompleksitas masalah sangat tinggi terutama dalam proses pengangkutan dan pengumpulan sampah. 2.2.3. Tempat Penampungan Sementara Tempat penampungan sementara dalam SNI 19-2454-1991 tentang Tata Cara Teknik Operasional Pengelolaan Sampah disebut sebagai pewadahan komunal, yaitu aktivitas penanganan penampungan sampah sementara dalam suatu wadah bersama baik dari berbagai sumber maupun sumber umum. Dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah pasal 1, tempat penampungan sementara adalah tempat sebelum sampah diangkut ke tempat pendauran ulang, pengolahan, dan/atau tempat pengolahan terpadu.
19
Posisi TPS pada elemen sistem pengelolaan sampah (Gambar 2.3) berada pada elemen pengumpulan, sehingga aspek teknis maupun non teknis mengenai TPS sangat berhubungan erat dengan elemen sebelum dan sesudahnya, yaitu elemen penyimpanan, pemindahan dan pengangkutan serta pengolahan sampah. Untuk elemen penyimpanan sampah, tidak semua jenis pola pengumpulan sampah menggunakan atau memanfaatkan sarana TPS. Dari 4 pola pengumpulan sampah (individual langsung, individual tidak langsung, komunal langsung, dan komunal tidak langsung), pola individual langsung tidak memerlukan sarana TPS karena sampah hasil
pengumpulan langsung dibuang ke lokasi
TPA
(Darmasetiawan, 2004: III-11). Dalam sistem pengelolaan sampah, TPS juga memiliki hubungan dengan elemen pemindahan dan pengangkutan sampah. Jenis atau tipe TPS yang digunakan akan berpengaruh khususnya terhadap jenis alat pengakutan dan sistem operasional pengangkutan. Demikian juga halnya dengan elemen pengolahan dan recovery dalam sistem pengelolaan sampah, tidak semua jenis atau tipe TPS memiliki fungsi dan sarana untuk pengolahan sampah seperti pengomposan sampah organik (Darmasetiawan, 2004: IV-7). Sistem
pemindahan
sampah
merupakan
konsekuensi
logis
dari
digunakannya sistem pengumpulan secara komunal dengan menggunakan gerobak sampah. Sistem pemindahan merupakan pertemuan antara gerobak sampah dengan alat pengangkut sampah. Lokasi pemindahan sampah ini dikenal juga dengan istilah tempat pengumpulan sementara atau TPS. Dalam Revisi SNI 03-
20
3242-1994 tentang Tata Cara Pengelolaan Sampah di Pemukiman, TPS diklasifikasikan dalam beberapa tipe yaitu : 1. TPS tipe I, berfungsi sebagai tempat pemindahan sampah dari alat pengumpul ke alat angkut sampah yang dilengkapi dengan ruang pemilahan, gudang, landasan kontainer, serta luas lahan tempat pemindahan sampah ± 10 m2 s/d 50 m2. 2. TPS tipe II, berfungsi sebagai tempat pemindahan sampah dari alat pengumpul ke alat angkut sampah yang dilengkapi dengan ruang pemilahan (10 m2), pengomposan sampah organik (200 m2), gudang (50 m2), landasan container (60 m2), serta luas lahan tempat pemindahan sampah ± 60 m2 s/d 200 m2. 3. TPS tipe III, berfungsi sebagai tempat pemindahan sampah dari alat pengumpul ke alat angkut sampah yang dilengkapi dengan ruang pemilahan (30 m2), pengomposan sampah organik (800 m2), gudang (100 m2), landasan kontainer (60 m2), serta luas lahan tempat pemindahan sampah ± 200 m2.
2.3.
Aspek Teknis Penentuan Lokasi TPS Terdapat berbagai teori lokasi yang umumnya digunakan dalam
perencanaan wilayah. Landasan yang digunakan dalam teori lokasi adalah ruang, karena tanpa ruang maka tidak mungkin ada lokasi, dan lokasi menggambarkan posisi pada ruang tersebut. Studi tentang lokasi adalah melihat kedekatan satu kegiatan dengan kegiatan lain dan bagaimana dampaknya terhadap kegiatan
21
masing-masing. Faktor yang digunakan dalam teori lokasi bervariasi dengan berbagai pendekatan dan asumsi. Salah satu faktor yang umumnya digunakan dalam teori lokasi adalah jarak dan aksesibilitas. Jarak menggambarkan kedekatan suatu lokasi dengan kegiatan lainnya dan aksesibilitas menggambarkan kemudahan dalam pencapaian suatu lokasi. Aksesibilitas dalam hal ini sangat berkaitan dengan ketersediaan sarana prasarana (Tarigan, 2006: 77). Lokasi kegiatan yang melayani kebutuhan penduduk harus berada pada tempat yang sentral. Tempat yang lokasinya sentral adalah tempat yang memungkinkan partisipasi manusia yang jumlahnya maksimum, baik bagi mereka yang terlibat dalam aktifitas pelayanan maupun yang menjadi konsumen dari barang-barang dan pelayanan yang dihasilkannya. Tempat semacam itu oleh Christaller dan Losch, diasumsikan sebagai titik simpul-simpul dari suatu bentuk geometrik yang heksagonal (Sumaatmadja, 1988). Berdasarkan kondisi dan fungsinya, lokasi pemindahan sampah atau TPS dapat dikelompokkan menjadi dua kelompok, yaitu (Darmasetiawan, 2004: IV-5): 1. Terpusat, adalah sebagai sentralisasi proses pemindahan dan merupakan pos pengendalian operasional. Dalam hal ini, transfer depo dapat berfungsi sebagai pengendali operasional. Disarankan untuk setiap kota minimal memiliki 1 unit transfer depo, dan khusus untuk kota besar atau metropolitan memiliki 1 unit untuk setiap kecamatannya. 2. Tersebar, adalah sebagai tempat penampungan atau pengumpulan sampah yang sifatnya sementara dengan lokasi tersebar sesuai dengan wilayah pelayanannya.
TPS
yang
digunakan
dalam
hal
ini
disarankan
22
menggunakan jenis kontainer untuk mempermudah dalam proses pengangkutan serta mempertahankan TPS dengan sifat sementara baik fungsi penampungannya maupun lokasi penempatannya. Darmasetiawan (2004: IV-6) menyampaikan bahwa kriteria lokasi pemindahan sampah adalah sebagai berikut: 1. Lokasi terpilih harus sedemikian rupa sehingga memudahkan bagi sarana pengumpul dan pengangkut untuk masuk dan keluar lokasi pemindahan (tersedia jalan akses). 2. Letak tidak jauh dari sumber sampah 3. Transfer depo tipe I dan II yang membutuhkan lahan relatif luas harus memperhatikan hal-hal seperti cukup tersedia lahan kosong, terletak di tengah daerah pelayanan dengan radius 500 m, dan topografi relatif datar. 4. Peletakan kontainer harus memperhatikan kapasitas kontainer dan lebar jalan serta dekat dengan daerah pelayanannya. Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2005 tentang Pengembangan Sistem Penyediaan Air Minum pasal 21 ayat 1 mengisyaratkan bahwa penentuan lokasi tempat pengumpulan dan pengolahan sampah serta TPA wajib memperhatikan: 1. Jarak dengan sumber air baku. 2. Hasil kajian analisa mengenai dampak lingkungan. 3. Rencana tata ruang. 4. Daya dukung lingkungan dan kondisi hidrogeologi daerah. 5. Kondisi sosial budaya masyarakat.
23
Menurut Tchobanoglous (1977: 185), dalam penentuan lokasi TPS harus memperhatikan beberapa aspek berikut, yaitu: 1. Kedekatan terhadap pusat timbulan sampah yang akan dilayani. 2. Memiliki aksesibilitas yang baik khususnya terhadap rute pengangkutan menuju TPA. 3. Memiliki dukungan dari masyarakat maupun lingkungan sekitar. 4. Memiliki rencana pembiayaan pembangunan dan operasional yang paling ekonomis. Selanjutnya Tchobanoglous memberi pandangan bahwa yang perlu diperhatikan dalam mendesain TPS adalah (Tchobanoglous, 1993: 353): 1. Pola pengangkutan yang akan diterapkan. 2. Kapasitas atau daya tampung sampah yang akan direncanakan. 3. Peralatan atau fasilitas yang akan digunakan pada lokasi TPS. 4. Sanitasi yang dipersyaratkan. Selanjutnya Tchobanoglous memberikan pandangan lainnya mengenai peletakan fasilitas
sarana
TPS
yang
mempertimbangkan
beberapa
aspek,
yaitu
Tchobanoglous (1977): 1. Tipe atau jenis TPS yang akan digunakan serta luas wilayah pelayanannya. 2. Memperhatikan masalah kesehatan lingkungan dan nilai estetika sarana TPS.
24
3. Metode pengelolaan yang akan digunakan pada sarana TPS tersebut. Menurut Kruse (1967), hal yang perlu diperhatikan dalam penentuan lokasi TPS adalah : 1. Pola penggunaan lahan, baik di sekitar maupun pada rencana lokasi TPS. 2. Kepadatan dan jumlah penduduk. 3. Jumlah timbulan sampah yang ada serta prediksi timbulan sampah. 4. Kondisi geografi. 5. Kondisi lalu lintas rencana lokasi TPS meliputi jenis jalan dan volume lalu lintas. Selain beberapa pandangan tersebut, White (1995) berpendapat bahwa hal yang perlu dipertimbangkan masalah kemampuan pelayanan sarana TPS yang akan diberikan kepada masyarakat. Untuk memberi penilaian terhadap sarana TPS maka perlu ditentukan tolok ukurnya. Menurut Tchobanoglous (1977) yang menjadi tolok ukur dalam optimalisasi sarana TPS adalah: 1. Proporsi yang seimbang antara jumlah penduduk, jumlah aktivitas dan jumlah timbulan sampah yang ada dengan fasilitas yang tersedia. 2. Kemampuan pelayanan tiap unit fasilitas persampahan dalam menampung timbulan sampah. 3. Lokasi fasilitas tersebut dalam suatu wilayah dan jaraknya dengan sumber timbulan sampah. Dari beberapa uraian literatur tersebut, terdapat beberapa pandangan yang berhubungan langsung dengan penentuan lokasi dan dapat digunakan sebagai
25
dasar penentuan variabel penelitian ini, yaitu Darmasetiawan (2004: IV-6), Thobanoglous (1977: 185) dan Kruse (1967). Terdapat beberapa kriteria penentuan lokasi TPS berdasar beberapa pandangan literatur tersebut yang memliki kesamaan. Peneliti dalam hal ini mengelompokkan dan menyimpulkan pandangan tersebut dalam bentuk matrik sehingga menghasilkan kriteria yang dapat digunakan sebagai pertimbangan dalam pemilihan variable penelitian. Terdapat beberapa pandangan dari ketiga sumber literatur tersebut yang sebenarnya lebih tepat digunakan sebagai faktor yang perlu diperhatikan terhadap lokasi TPS yang telah direncanakan atau ditetapkan sebagai lokasi TPS. Faktor tersebut seperti kebutuhan lahan, rencana pembiayaan pembangunan dan operasional yang ekonomis, kepadatan dan jumlah penduduk, serta jumlah dan prediksi timbulan sampah. Berdasar rangkuman kajian literatur tentang penentuan lokasi TPS tersebut menghasilkan beberapa pandangan atau hal yang perlu diperhatikan dalam penentuan lokasi TPS, yaitu: 1. Kondisi jalan akses lokasi TPS. 2. Jarak TPS terhadap sumber sampah/pusat timbulan sampah. 3. Aksesibilitas terhadap rute pengangkutan menuju TPA. 4. Pola penggunaan lahan lokasi TPS. 5. Kondisi geografi.
26
2.3.1. Timbulan Sampah Secara umum timbulan sampah dapat dikelompokkan berdasarkan klasifikasi kota, klasifikasi kota itu sendiri terdiri dari kota besar, kota sedang dan kota kecil sebagaimana dijelaskan lebih rinci dalam Tabel 2.1 Besaran Timbulan Sampah Berdasarkan Klasifikasi Kota. Tabel 2.1. Besaran Timbulan Sampah Berdasarkan Klasifikasi Kota No
Klasifikasi Kota
Volume
Berat
(L/Orang/Hari) (Kg/Orang/Hari)
1
Kota Besar (500.000 - 1.000.000 Jiwa)
2,75 - 3,25
0,70 - 0,80
2
Kota Sedang (100.000 - 500.000 Jiwa)
2,75 - 3,25
0,70 - 0,80
3
Kota Kecil (20.000 - 100.000 Jiwa)
2,50 - 2,75
0,625 - 0,70
Sumber : Standar Spesifikasi Timbulan sampah untuk kota kecil & sedang di Indonesia, Dept. PU, LPMB, Bandung, 1993
Dengan mengetahui timbulan yang dihasilkan oleh penduduk, maka dapat diprediksi kebutuhan TPS yang ada di wilayah tersebut. Berdasarkan data timbulan yang ada, dapat juga menentukan pemilihan jenis tipe TPS yang harus ditempatkan disuatu wilayah. 2.3.2. Kebutuhan Lahan TPS Kebutuhan lahan TPS untuk setiap kawasan akan berbeda tergantung dari sampah yang dihasilkan oleh kawasan tersebut, semakin banyak sampah yang diproduksi maka membutuhkan lahan yang luas. Pada kawasan perkotaan yang memiliki keterbatasan lahan seringkali dilakukan pengaturan waktu pengangkutan sampah di TPS, dengan pengaturan waktu pengangkutan ini diharapkan tidak diperlukan TPS yang luas.
27
Fakta di lapangan menunjukkan bahwa di beberapa titik lokasi TPS yang dekat dengan lokasi pasar atau permukiman padat seringkali sampah tidak dapat tertampung dengan baik pada tempatnya. Dalam hal ini besarnya dimensi TPS tipe terbuka sangat penting agar dapat menampung seluruh sampah yang ada, selain dimensi TPS perlu juga diperhitungkan lahan untuk TPS tersebut agar memudahkan proses pengangkutan dari TPS ke Tempat Pemrosesan Akhir (TPA). Pemilihan jenis dan kapasitas kontainer sampah ditentukan oleh karakteristik dan jenis sampah, sistem dan frekuensi pengumpulan sampah, serta lokasi di mana tempat sampah akan diletakkan (Tchobanoglous et al., 1993). Tujuan utama dari pewadahan adalah:
Untuk menghindari terjadinya sampah yang berserakan sehingga mengganggu lingkungan dari segi kesehatan, kebersihan dan estetika.
Memudahkan proses pengumpulan sampah dan tidak membahayakan petugas pengumpul sampah, baik petugas kota maupun dari lingkungan setempat. Pewadahan sampah merupakan awal dari sistem pengelolaan persampahan
yang dapat dilakukan dengan beberapa pola, di antaranya:
Disediakan oleh masyarakat dengan model bebas.
Disediakan oleh masyarakat dengan model yang ditetapkan oleh pemerintah.
Disediakan oleh pemerintah daerah
Disediakan oleh organisasi swadaya masyarakat
28
Tabel 2.2. Jenis – jenis dan Kapasitas Tempat Sampah Jenis
Kapasitas Range Tipikal
UKURAN KECIL ▪ Kontainer plastik atau logam 76 - 152 ▪ Barrel, plastik, almuniium, fiber 76 - 152 ▪ Kantung kertas - Standar 76 - 208 - Tahan Bocor 76 - 208 - Anti Bocor 76 - 208 ▪ Kantung Plastik UKURAN SEDANG ▪ Kontainer 760 - 7600 UKURAN BESAR ▪ Kontainer - Terbuka, roll off 9120 - 38000 - Dengan kompaktor stasioner 15200 - 30400 - Dengan kompaktor terpasang 15200 - 30400 ▪ Kontainer trailer - Terbuka 15200 - 30400 - Tertutup, kompaktor terpasang 15200 - 30400 Sumber : Tchobanoglous et al., 1993 2.4.
Dimensi (cm)
114 114
50,8D X 66T 50,8D X 66T
114 114 114 114
38L x 31D x 109T 38L x 31D x 109T 38L x 31D x 109T 76L x 102T
3040
183L x 107T x 165P
` -
240L x 180T x 600P 240L x 180T x 600P 240L x 180T x 600P
-
240L x 180T x 600P 240L x 180T x 600P
Kondisi Lingkungan Terkait Lokasi TPS
2.4.1. Lingkungan Sekitar TPS Berdasarkan Tapak Kota Metoda yang dipilih untuk menganalisis tata ruang kawasan di sekitar TPS menggunakan analisis tapak, tapak adalah lahan atau tempat dimana bangunan yang direncanakan akan didirikan (Chiara, 1978). Analisis tapak merupakan analisis fungsional kawasan perkotaan, analisis ini juga mempertimbangkan alam dalam perencanaan ruang kota. Analisis tapak terdiri dari empat komponen yang saling terkait, komponen – komponen tersebut memperhitungkan keseimbangan
29
antara kelestarian alam dan kehidupan manusia. Komponen-komponen tersebut meliputi : a. Kejelasan lokasi Zona tapak harus memiliki kejelasan lokasi, lokasi tersebut tergambarkan dalam sebuah peta. Kejelasan lokasi merupakan kejelasan dari sisi legalitas dan fisik alamiah, ditinjau dari sisi legalitas menyatakan bahwa lahan tapak harus legal diakui oleh pemerintah. Ditinjau dari sisi fisik alamiah, maksudnya adalah zona tapak memiliki kejelasan antar batas-batas wilayah di sekitarnya. Hal ini sangat penting untuk diketahui, karena perencanaan pada zona tapak harus saling terkait dengan fungsi kegiatan di sekitarnya. b. Sirkulasi Sirkulasi merupakan analisis tentang arah pergerakan, arah pergerakan melalui pergerakan kendaraan dan pergerakan pejalan kaki. Zona tapak yang baik adalah mampu menunjukkan sirkulasi yang nyaman bagi pengendara dan pejalan kaki, keberadaan gerbang masuk (entrance) dapat membantu untuk mempermudah sirkulasi. Kemudahan sirkulasi bagi pengendara meliputi arus lalu-lintas, rambu penunjuk jalan dan desain jalan itu sendiri. Kemudahan sirkulasi bagi pejalan kaki meliputi keberadaan trotoar yang nyaman dan untuk memberikan rasa aman ditambahkan asesoris jalan (street furniture) seperti lampu penerangan, bangku taman dan zebra cross.
30
c. Zona kebisingan Setiap lokasi hunian harus memberikan rasa nyaman bagi penghuninya, oleh karena itu suasana hunian hendaknya hening dan terlindung dari polusi yang berasal dari luar. Sumber suara atau kebisingan biasanya berasal dari jalan raya atau kegiatan yang ada di luar rumah, dalam hal ini rumah harus memiliki perlindungan. Perlindungan yang dimaksud adalah melindungi hunian dari bising, cara paling mudah adalah mendirikan bangunan jauh dari jalan raya. Jika lahan yang tersedia sangat terbatas, cara yang paling efisien adalah menggunakan tanaman sebagai peredam bising. d. Iklim Iklim disini maksudnya adalah iklim mikro di dalam rumah, iklim mikro dapat diciptakan dengan cara mamahami karakter alam. Sumber daya alam yang dapat dimanfaatkan adalah angin, desain bangunan yang baik harus memiliki bukaan bangunan agar udara di dalam rumah dapat bersirkulasi dengan baik.
2.4.2. Metode Analisis Resiko Lingkungan Akibat Keberadaan TPS Metoda yang digunakan untuk analisis aspek lingkungan adalah metode analisis kualitatif, metode analisis kualitatif (qualitative analysis method) yaitu metode analisis risiko yang menggunakan tabulasi berdasarkan penilaian deskriptif dengan penilaian tinggi, sedang atau rendah (Zul’aiddin et al,. 2010) Pendekatan kualitatif melakukan analisis terhadap potensi dampak resiko (dapat
31
dilihat pada Tabel 2.3) yang dapat terjadi akibat adanya ancaman terhadap kerusakan lingkungan (dapat dilihat pada Tabel 2.4). Tabel 2.3. Hirarki Peluang Terjadinya Resiko Level
Hirarki
A
Hampir pasti terjadi
B
kemungkinan besar terjadi
C
kemungkinan sedang
D
kemungkinan kecil
E
jarang terjadi
Uraian Kejadian diharapkan berlangsung sebagain terbesar pada lingkungan sekitar kejadian kemungkinan akan berlangsung sebagain terbesar pada lingkungan sekitar Kejadian akan berlangsung kadang kadang Kejadian dapat berlangsung sekali kali Kejadian barangkali berlangsung hanya sekali pada lingkungan sekitar
Sumber : EARA, 2000 Tabel 2.4. Hirarki Besaran Terjadinya Kerusakan Lingkungan Level 1
Hirarki Tidak berarti
Uraian Tidak perlu dikhawtirkan/dicemaskan Konsekuen/akibatnya dapat dengan mudah dan cepat ditangani akan tetapi
2
Kecil
tindakan pengelolaan/manajemen tetap dibutuhkan untuk meminimalisir dampaknya pada lingkungan Kejadian yang berarti dimana masih
3
Sedang
dapat dikelola dengan prosedur yang normal
4
Besar
Kejadian kritis dan genting yang masih dapat ditangani dengan manajemen
32
Level
Hirarki
Uraian yang baik dan cepat
Bencana yang berpotensi menuju 5
Besar Sekali
jurang kegagalan dan kehancuran lingkungan
Sumber : EARA, 2000 Penggunaan kedua tabel hirarki tersebut dapat menghasilkan penilaian resiko (Tabel 2.5). Matriks ini menggabungkan hirarki peluang dan hirarki besaran. Analisis kualitatif akan memberikan alokasi tingkatan masing - masing dampak/resiko berdasarkan tingkatan pada dua tabel tersebut. Tabel 2.5. Hirarki Besaran Resiko Terjadinya Kerusakan Lingkungan Tingkat Resiko (Besaran Pengaruh atau Konsekuensi) Peluang Terjadinya Resiko (kemungkinan)
1
2
3
4
5
A
S
S
T
T
T
B
R
S
S
T
T
C
R
R
R
T
T
D
R
R
R
S
T
E
R
R
R
S
S
Sumber : EARA, 2013 Keterangan : T = Resiko Tinggi, membutuhkan penelitian dan manajemen lanjutan pada tingkat yang lebih tinggi S = Resiko Sedang, membutuhkan perhatian manajemenlanjutan serta tanggungjawab manajemen tertentu R = Resiko Rendah, pengelolaan dengan prosedur yang rutin
33
A. Potensi Pencemaran Terhadap Badan Air Penimbunan sampah yang terlalu lama di TPS berpotensi untuk menghasilkan lindi, oleh karena itu sampah yang masuk ke TPS sebaiknya langsung dilakukan proses pengolahan agar air lindi yang dihasilkan tidak mencemari air yang ada di sekitar TPS. Lindi yang masuk ke badan air akan merusak ekosistem yang ada di dalam air seperti flora dan fauna aquatik, untuk melindungi keberlanjutan ekosistem di dalam air maka TPS sebaiknya memiliki tempat pengolahan sendiri atau kontainer yang digunakan kedap air. B. Potensi Pencemaran Terhadap Tanah Penimbunan sampah yang terlalu lama di TPS selain berpotensi untuk mencemari badan air juga berpotensi mencemari tanah, lindi yang masuk kedalam tanah akan merusak struktur tanah, merusak unsur hara di dalam tanah dan mencemari air dalam tanah. Lindi yang meresap ke dalam tanah lalu akan merusak struktur tanah dan yang terkena dampak adalah flora yang ada di sekitar TPS, flora disekitar TPS tidak dapat tumbuh dengan baik karena terlalu banyak unsur kimia dari lindi yang dihasilkan oleh sampah, terkena dampaknya adalah masyarakat yang memanfaatkan air tanah, masyarakat akan rentan terhadap serangan penyakit akibat kualitas air yang digunakan sudah tercemar. Penyakit yang mungkin ditimbulkan dari pencemaran air tanah antara lain gangguan sistem pencernaan, penyakit kulit dan jika sudah terlanjur parah dapat menyebabkan kematian.
34
C. Potensi Pencemaran Terhadap Udara Penumpukan sampah di TPS tanpa dilakukan penanganan apapun akan berpotensi mencemari udara dengan bau tidak sedap, hal tersebut dapat terjadi karena dalam tumpukan sampah tersebut terjadi proses pengolahan anaerobik. Agar tidak terjadi proses anaerobik pada tumpukan sampah maka sebaiknya sampah yang datang dari sumber sampah harus segera diproses, sampah yang menumpuk terlalu lama selain mengeluarkan bau yang tidak sedap juga dapat merusak estetika kota. Udara yang tercemar oleh sampah dapat merugikan makhluk hidup yang ada di sekitar TPS, kualitas udara yang buruk dapat mengganggu saluran pernapasan pada manusia dan hewan. Penyakit yang dapat ditimbulkan dari pencemaran udara adalah gangguan saluran pernapasan dan menurunnya kemampuan seseorang untuk berpikir, desain TPS yang baik seharusnya memiliki buffer zone agar udara dapat disaring terlebih dahulu.
2.5.
Kelembagaan Pengelola Persampahan Indikator yang dapat dijadikan acuan untuk melakukan pengukuran kinerja
dari lembaga pengelolaan sampah antara lain: jumlah petugas kebersihan, struktur pembiayaan, potensi pembiayaan, subsidi pembiayaan, jumlah timbulan sampah, kapasitas pengumpulan sampah, kapasitas pengangkutan sampah, kapasitas pengolahan dan pembuangan sampah serta daur ulang sampah. Secara umum permasalahan yang ada pada instansi pengelola sampah (DPU, 2008) sebagai berikut:
35
Bentuk organisasi yang ada pada umunya belum sesuai dengan ketentuan yang berlaku, terlalu sederhana, belum sesuai dengan kewenangan pelayanan yang dibutuhkan.
Sebagian besar institusi pengelolaan persampahan adalah bentuk dinas, sub dinas atau seksi dengan kewenangan yang terbatas.
Masih kurangnya kerjasama antara instansi terkait.
Struktur organisasi kebanyakan belum sesuai dengan kapasitas dan beban kerja, belum menggambarkan siklus aktivitas tahapan pengelolaan, lingkup tugas belum jelas dan fungsi pembinaan masyarakat belum optimal.
Tata laksana kerja pada umumnya belum dinyatakan secara jelas, termasuk prosedur penarikan retribusinya. Demikian pula pencatatan administrasi rutin sering tidak ada.
Tenaga ahli terbatas, penempatan personil kurang terencana, pemanfaatan kurang seimbang serta jenjang karir yang tidak jelas.
Motivasi karyawan yang kurang, karena ada tanggapan bahwa pekerjaan yang berkaitan dengan sampah adalah hal yang kurang bermanfaat dan kurang menarik.
2.6.
Aspek Perilaku Manusia dan Lingkungan Teori yang berorientasi pada lingkungan dalam psikologi lebih banyak
dikaji berdasarkan behavioristik, yaitu teori yang memandang perilaku manusia lebih ditentukan oleh faktor lingkungan dimana manusia hidup. Adanya
36
perbedaan lokasi dimana tinggal dan berkembang akan menghasilkan perilaku yang berbeda (Helmi,1995:7). Dari pernyataan tersebut memberikan gambaran tentang keanekaragaman perilaku manusia yang dilatarbelakangi oleh lingkungan yang akan membentuk karakteristik perilaku manusia.
2.6.1. Pengertian Perilaku Perilaku diartikan sebagai suatu aksi-reaksi organisme dalam hal ini manusia terhadap lingkungannya. Perilaku baru terjadi apabila ada sesuatu yang diperlukan untuk menimbulkan reaksi, yakni yang disebut rangsangan yang menghasilkan reaksi atau perilaku tertentu. (Notoatmojdo,1997) Perilaku atau aktfitas individu dalam pengertian yang lebih luas mencakup perilaku yang nampak (over behavior) dan perilaku yang tidak nampak (inert behavior). Perilaku manusia tidak muncul dengan sendirinya tanpa pengaruh stimulus yang di terima, baik stimulus yang bersifat eksternal maupun internal. Namun demikian, sebagian besar perilaku manusia adalah akibat respon terhadap stimulus eksternal yang diterima (Bimo,1999:12). Selanjutnya perilaku adalah sikap yang di ekspresikan (Myers,1983). Perilaku dengan sikap saling berinteraksi, saling mempengaruhi satu dengan yang lain. Sementara (Lewin,1951) merumuskan satu model hubungan perilaku yang mengatakan bahwa perilaku (B) adalah fungsi karakteristik individu (P) dan lingkungan (E) dengan rumus: B = f(P.E). Karakteristik individu meliputi berbagai variabel seperti motif, nilai-nilai, sifat kepribadian dan sikap yang saling berinteraksi satu dengan yang lainnya dan kemudian berinteraksi pula dengan
37
faktor-faktor lingkungan dalam menentukan perilaku. Faktor lingkungan memiliki kekuatan besar dalam menentukan perilaku bahkan kadang-kadang kekuatannya lebih besar daripada karakteristik individu tersebut.
2.6.2. Jenis Perilaku Perilaku manusia dapat dikelompokkan menjadi dua bagian yaitu perilaku alami (innate behavior) dan perilaku operan (operant behavior). Perilaku alami yang berupa reflek dan insting adalah perilaku yang dibawa manusia sejak manusia dilahirkan. Perilaku operan adalah perilaku yang dibentuk melalui proses belajar, yang selanjutnya disebut sebagai perilaku psikologis (Skinner,1976). Pada manusia perilaku operan atau perilaku psikologis lebih dominan berpengaruh akibat dari bentuk kemampuan untuk mempelajari dan dapat dikendalikan atau di ubah melalui proses pembelajaran. Sebaliknya reflek merupakan perilaku yang pada dasarnya tidak dapat untuk di kendalikan.
2.6.3. Faktor – faktor Yang Memepengaruhi Perilaku Perilaku individu dan lingkungan saling berinteraksi yang artinya bahwa perilaku individu dapat mempengaruhi individu itu sendiri, juga berpengaruh terhadap lingkungan. Secara spesifik faktor lingkungan dan individu adalah sebagai berikut : 1. Faktor Lingkungan Faktor lingkungan memiliki kekuatan besar dalam menentukan perilaku, bahkan
sering
kekuatannya
lebih
besar
dari
faktor
individu
38
(Azwar,1998:11). Dalam hubungan antara perilaku dan lingkungan dibagi dalam tiga kelompok, yaitu lingkungan alam/fisik (kepadatan, kebersihan), lingkungan
sosial
(organisme
social),
tingkat
pendidikan,
mata
pencaharian, tingkat pendapatan) dan lingkungan budaya (adat istiadat, peraturan, hukum) (Sumaatmaja,1998). 2. Faktor Individu Faktor individu yang menentukan perilaku manusia antara lain adalah tingkat intelegensia, pengalaman pribadi, sifat kepribadian dan motif (Azwar,1998:14).
2.6.4. Pembentuk Perilaku Pembentukan perilaku sangat diperlukan untuk mengendalikan perilaku manusia agar seperti yang diharapkan (Bimo,1999:18) antara lain dengan: 1. Pembentukan perilaku dengan kondisioning atau kebiasaan, adalah pembentukan perilaku yang ditempuh dengan mengkondisikan atau membiasakan diri untuk berperilaku seperti yang diharapkan. 2. Pembentukan perilaku dengan pengertian (insight), adalah pembentukan perilaku yang dilakukan dengan cara pembelajaran disertai dengan memberikan pengertian. 3. Pembentukan perilaku dengan model atau contoh, adalah pembentukan perilaku dengan mengunakan model atau contoh dan biasanya didasarkan atas bentuk-bentuk perilaku yang telah ada.
39
Dalam rangkaian pembentukan perilaku manusia terdapat dua jenis pembelajaran yaitu pembelajaran secara fisik dan pembelajaran secara psikis dimana seorang mempelajari perannya dan peran orang lain dalam kontak sosial (social learning), dan selanjutnya orang tersebut akan menyesuaikan tingkah lakunya sesuai dengan peran sosial yang telah dipelajarinya. (Sarwono,2002:23).
2.6.5. Beberapa Teori Perilaku Perilaku manusia didorong oleh motif tertentu sehingga manusia berperilaku. Dari hal tersebut terdapat beberapa teori yang dapat dikemukakan antara lain: 1. Teori Insting Teori ini dikemukakan oleh McDougall sebagai pelopor dari psikologi sosial menyatakan, insting sebagai perilaku bawaan atau innate dapat mengalami perubahan akibat terbentuknya sebuah pengalaman. 2. Teori Dorongan (drive theory) Teori yang menyatakan bahwa organisme dalam hal ini manusia mempunyai dorongan atau drive yang berkaitan dengan pemenuhan atas kebutuhannnya, sehingga dorongan tersebut menimbulkan pengaruh pada perilaku manusia atau individu tersebut. 3. Teori Insentif (incentive theory) Teori ini bertitik tolak kepada pendapat bahwa perilaku organisme dalam hal ini manusia, disebabkan oleh adanya insentif. Dengan insentif akan mendorong manusia berprilaku. Insentif atau disebut juga reinforcement
40
ada yang positif dan ada yang negatif. Reinforcement positif akan mendorong manusia untuk berbuat, sedangkan reinforcement yang negatif akan menghambat manusia dalam berprilaku. 4. Teori Artribusi Teori ini dikemukakan oleh Fritz Heider, menjelaskan tentang sebab-sebab perilaku manusia, perilaku bisa disebabkan oleh disposisi internal seperti motif atau sikap dan oleh keadaan eksternal. 5. Teori Kognitif Teori yang menitikberatkan kepada kemampuan individu dalam berfikir untuk mempertimbangkan pilihan perilakunya. Dengan kemampuan berfikir individu akan dapat melihat apa yang telah terjadi sebagai bahan pertimbangan disamping melihat apa yang dihadapi pada waktu sekarang dan juga dapat melihat ke depan apa yang akan terjadi dalam individu berperilaku (Fishben dan Ajzen, 1975).
2.7.
Aspek Pendapat Masyarakat Pendapat dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia diartikan sebagai opini,
pikiran atau pendirian. Menurut Azwar (2002: 19), opini merupakan pernyataan sikap yang sangat spesifik atau sikap dalam arti sempit. Opini didasarkan pada sikap yang bersifat situasional dan temporer. Opini sering dikaitkan dengan sikap karena hubungannya yang erat. Sikap dapat berupa respon yang berbentuk memilih, yaitu positif dan negatif. Bentuk pilihan mengandung rasa suka tidak suka atau preferensi terhadap
41
suatu objek (Azwar, 2002: 143). Berdasarkan hal tersebut maka dapat dikatakan bahwa pendapat masyarakat merupakan pernyataan sikap masyarakat tersebut berupa respon terhadap berbagai pilihan. Bentuk respon masyarakat tersebut dapat berupa sesuai atau tidak sesuai terhadap pilihan. Pengumpulan pendapat merupakan teknik yang digunakan untuk memperoleh respon masyarakat. Lake (1987: 5) menyampaikan bahwa pengumpulan pendapat merupakan cara memperoleh informasi dari suatu populasi secara sistematis, ilmiah dan adil. Pengumpulan pendapat tidak bertujuan untuk mengidentifikasi lebih mendalam terhadap individu, tetapi hanya dalam upaya memperoleh suatu ukuran tertentu sesuai dengan variabel penelitian. Dengan menggunakan teknik pengumpulan pendapat, sebuah penelitian akan menjadi lebih murah dan lebih cepat untuk memperoleh kumpulan data atau informasi. Untuk mengurangi terjadinya berbagai bentuk kesalahan serta sekaligus meningkatkan kepercayaan terhadap informasi hasil pengumpulan pendapat, dapat ditambahkan dengan beberapa teknik pengumpulan data lainnya seperti wawancara mendalam, kuesioner terstruktur serta analisis lebih lanjut. Noyes (1954) dalam Destanto (2004: 46) menyatakan bahwa tingkatan atau status sosial ekonomi yang berbeda berupa pendidikan, pekerjaan dan penghasilan dapat memberikan perbedaan bagi setiap individu dalam menilai suatu objek yang dirasakan dengan penilaian yang berbanding lurus maupun terbalik dengan status yang dimiliki serta dipengaruhi oleh lingkungan. Sementara itu menurut Hintzman (1978) dalam Destanto (2004: 46) menyatakan bahwa penilaian terhadap suatu objek yang diamati juga dapat berbeda karena pengaruh
42
pengalaman maupun pemahaman terhadap objek yang dirasakan akibat lamanya masyarakat tersebut menetap dalam suatu lokasi.
2.6.
Analisis SWOT Analisis SWOT ini dapat digunakan untuk menganalisis aspek
kelembagaan terutama untuk mengevaluasi kinerja dari lembaga yang mengelola persampahan, indikator-indikator kinerja diperoleh dari hasil pengamatan dilapangan dan data yang ada. Penilaian capaian kinerja dimaksudkan untuk mengetahui dan menilai capaian indikator kinerja terhadap pelaksanaan kegiatan atau program yang terukur baik secara kuantitatif maupun kualitatif. Metode analisis yang digunakan adalah analisis SWOT (Strength, Weakness, Opportunity, Threats) dengan metode ini dapat dilihat potensi dan kendala suatu kelembagaan, dengan begitu dapat diperkirakan strategi yang tepat untuk kemajuan lembaga tersebut. Metode ini terdiri dari beberapa segi yaitu kekuatan (Strength), kelemahan (Weakness), Peluang (Opportunity) dan Ancaman (Threats).
SO Strategi, yaitu menggunakan kekuatan internal untuk memanfaatkan peluang eksternal.
WO Strategi, yaitu memperbaiki kelemahan internal dengan mengambil keuntungan dari peluang eksternal.
ST Strategi, yaitu menggunakan kekuatan internal untuk menghindari atau mengurangi dampak dari ancaman eksternal.
43
WT Strategi, yaitu merupakan strategi pertahanan untuk mengurangi kelemahan internal dan menghindari ancaman eksternal.
Beberapa langkah yang harus dilakukan dalam melakukan analisis dengan model SWOT antara lain harus menentukan terlebih dahulu komponen eksternal dan internal setelah itu menentukan nilai persentase untuk masing-masing komponen, untuk lebih jelasnya akan dibahas sebagai berikut: 1. Penentuan Komponen Eksternal dan Internal Dalam langkah identifikasi komponen eksternal dan internal S.W.O.T adalah peluang (Opportunity), yaitu setiap elemen atau kegiatan diluar lembaga yang akan mendorong terhadap tumbuh dan berkembangnya lembaga tersebut. Sedangkan komponen ancaman (Threaths) yaitu setiap elemen atau faktor penghambat yang datang dari luar lembaga. Komponen internal SWOT adalah potensi (kekuatan/Strength) lembaga itu sendiri sehingga jika kekuatan tersebut diolah akan menjadikan lembaga tersebut menjadi semakin maju. Komponen kedua adalah kelemahan (Weakness) komponen ini akan selalu menjadi kendala dalam kemajuan lembaga. Penentuan elemen-elemen dari keempat komponen tersebut baik dari internal maupun eksternal (Strength, Weakness, Opportunity dan Treaths), jumlah
elemennya
harus
sama
dengan
pembobotannya tersebut dinilai seimbang.
maksud
untuk
proses
44
2. Penilaian presentase terhadap empat komponen (Strength, Weakness, Opportunity dan Treaths) Penilaian presentase ini berasal dari quisioner yang dilakukan dengan memberikan pernyataan (tanggapan) terhadap kinerja kelembagaan ditinjau dari keempat aspek tersebut. 3. Pembobotan dan pemberian ranking terhadap komponen potensi, masalah, peluang dan ancaman Pembobotan ini dilakukan secara objektif agar hasilnya nyata sesuai dengan kondisi eksisting, untuk menghindari penilaian yang subjektif pembobotan dilakukan dengan menggunakan skala penilaian kuat, sedang dan lemah. Setelah dilakukan pembobotan tersebut, maka didapat 2 (dua) nilai dari komponen, langkah selanjutnya adalah pemberian rangking pada komponen tersebut. 4. Penentuan
kebijaksanaan
pengambilan
keputusan
pembuatan
matriks dalam bentuk kuadran-kuadran Proses terakhir dalam metode pendekatan SWOT dimana dalam penentuan kebijaksanaan tersebut didasarkan pada matriks yang disusun dengan menampilkan empat kuadran (Gambar 2.4), penjelasan masing-masing kuadran meliputi:
Kuadran 1 (satu) adalah strategi agresif, peningkatan kinerja lembaga dapat menganut strategi dan berbagai varian fungsi dan peran untuk mencapai perkembangan yang optimal.
45
Kuadran 2 (dua) adalah strategi berbenah diri, maksudnya adalah mencari
strategi
peningkatan
kinerja
lembaga
sesuai
dengan
kemampuan yang dimiliki oleh lembaga tersebut.
Kuadran 3 (tiga) adalah strategi diversifikasi, strategi yang dilakukan adalah mengubah fungsi dan peran lembaga dengan fungsi dan peran lembaga lain, dengan kata lain dilakukan reorganisasi sumber daya manusia yang ada di lembaga tersebut.
Kuadran 4 (empat) adalah strategi defensive, strategi ini dimaksudkan agar dilakukan peningkatan sumber daya manusia di dalam organisasi lembaga tersebut.
Gambar 2.4. Model SWOT dalam masing – masing kuadran