BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengantar Bab ini akan membahas mengenai pengertian, tugas dan peran kehadiran pers, landasan hukum yang mendasari hak-hak dan juga kewajiban-kewajiban pers dalam memberitakan suatu berita termasuk di dalamnya berita-berita tentang korupsi, juga dibahas tentang korupsi tercakup didalamnya yaitu pengertian korupsi, indikator atau ukuran tindakan-tindakan korupsi, serta hukum yang berlaku terkait dengan melakukan tindakan-tindakan korupsi. Pada bagian akhir, akan dibahas tentang landasan-landasan hukum tentang hak-hak yang melekat pada setiap orang yang diberitakan oleh pers.
B. Pengertian, Tugas dan Peran Kehadiran Pers Dalam bahasa Belanda “pers” atau Inggris “press” berarti penyiaran secara cetak atau publikasi secara cetak. Pers sendiri secara harafiah adalah lembaga kemasyarakatan yang merupakan sub sistem pemerintahan dimanapun berada. Pers dalam arti luas adalah semua media massa yang memancarkan pikiran dan perasaan seseorang, baik secara tertulis ataupun lisan. Menurut Oemar Seno Adji, dalam perkembangannya, terdapat dua pengertian pers, yaitu1: 1.
Pengertian dalam arti sempit, pers adalah media cetak yang mencakup surat kabar, Koran, majalah, tabloid dan buletin-buletin pada kantor berita.
1
Oemar Seno Adji. Pers, Aspek-Aspek Hukum. Erlangga. Jakarta. 1999
1
2.
Pengertian dalam arti luas, pers mencakup semua media komunikasi, yaitu media cetak, media audio visual, dan media elektronik. Contohnya radio, televisi, film, internet, dsb. Dalam sudut pandang perundang-undangan, yaitu UU Pers pasal 1 butir 1
Undang-Undang Nomor : 40 Tahun 1999 tentang Pers, antara lain ditegskan bahwa “pers merupakan lembaga sosial dan wahana komunikasi yang melaksanakan kegiatan jurnalistik meliputi mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan menyampaikan informasi dalam bentuk tulisan, suara dan gambar, serta data dan grafik maupun dalam bentuk lainnya yang menggunakan media cetak, media elektronik dan segala jenis saluran yang tersedia2. Sementara itu, terkait dengan tugas dan peran pers, dalam Undang-Undang Pers antara lain pula di atur asas, fungsi, hak kewajiban serta peranan pers itu sendiri. Adapun asas yang tercantum dalam pasal 2 Undang-Undang Pers adalah, bahwa “Kemerdekaan pers adalah salah satu wujud kedaulatan rakyat yang berasaskan prinsip-prinsip demokrasi keadilan dan supremasi hukum3. Sedangkan fungsi pers sebagaimana ditegaskan dalam pasal 3 ayat (1) dan ayat (2) yaitu, bahwa (1) pers nasional mempunyai fungsi sebagai media informasi, pendidikan, hiburan, dan kontrol sosial dan (2) disamping fungsi-fungsi tersebut ayat (1), pers nasional dapat berfungsi sebagai lembaga ekonomi4. Sedangkan hak pers nasional terdapat pada pasal 4 ayat (3) yaitu : “ Untuk menjamin kemerdekaan pers, pers nasional mempuyai hak mencari, memperoleh dan menyebarluaskan gagasan dan informasi.
2
Pasal 1 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Pasal 2 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. 4 Pasal 3 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. 3
2
C. Kebebasan Berpendapat Sebagai Landasan Hukum Pers Kebebasan (freedom) merupakan konsep yang luas, memuat beberapa interpretasi dalam kajian filosofis dan aliran pemikiran. Perlindungan kebebasan antara pribadi dapat menjadi objek investigasi ilmu sosial dan ilmu politik, sedangkan inner freedom merupakan permasalahan filosofis dan psikologis. Dalam kajian filosofis, kebebasan seringkali dikaitkan dengan (free will) dan berbuat, tentunya. Ada ungkapan Cato yang terkenal: “apabila seorang tidak bisa bicara atas keinginannya sendiri, orang itu hampir tidak bisa berbuat apa-apa atas keinginannya sendiri5. Jean-Jaques Rousseau atau yang lebih dikenal dengn JJ Rosseau yaitu seorang filsuf Perancis, menyarankan agar kebebasan ini berkenan dengan suatu upaya pemeliharaan jiwa dengan implikasi bahwa seluruh interaksi sosial masyarakat yang dimaksudkan untuk menghindari hilangnya kebebasan, dengan sukarela atau tidak. JJ Rosseau menyatakan “man is born free, but everywhere he is in chains”. Bahwa secara esensial manusia mempunyai kebebasan, hanya saja dalam kebebasannya itu ia diikat oleh norma dan nilai-nilai yang telah terbentuk dalam suatu sistem tertentu di kalangan masyarakat6. Secara etimologi, kebebasan berasal dari kata sifat “bebas” yang berarti merdeka, tak terkendali7. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) kata “bebas” berarti lepas sama sekali, dalam arti tidak terhalang, tidak terganggu, sehingga dapat bergerak, berbicara, berbuat, tiap-tiap anggota dapat mengungkapkan pendapatnya. Kata “bebas” diartikan sebagai suatu kondisi yang tidak terikat oleh aturan-aturan, merdeka tidak 5
Soli J Sorabjee. Pentingnya Penggunaan Hukum Internasional dan Perbandingan Hukum: Pengalaman di India. 1993 hal 2. 6 JJ Rosseau (dalam Anonimous). Filsafat Kebebasan. http://isengmencari.blogspot.com/2011/09/jean-jacquesrousseau_20.html. Diakses pada 4 November 2013. Pk 19.42. 7 Drs Muhammad Ngajenan, Kamus Etimologi Bahasa Indonesia, Dahara Prize. Yogyakarta. 1986 hal 51.
3
dijajah, tidak diperintah atau dipengaruhi negara dan kekuatan asing8. Berdasarkan uraian kata bebas ini, maka makna yang dikandung didalamnya adalah lepas dari kewajiban atau tuntutan. Sehingga dapat disimpulkan bahwa seseorang dikatakan bebas jika ia melakukan sesuatu leluasa, sesuka hatinya untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Kebebasan sendiri berarti ketidakpaksaan. Ada beberapa macam kebebasan dan paksaan, yaitu kebebasan fisik dan kebebasan moral, paksaan fisik dan paksaan moral. Kebebasan fisik berarti tiadanya paksaan fisik, sedangkan kebebasan moral berarti ketiadapaksaan moral atau hukum. Ketika seseorang merasa tertekan pada kondisi psikologisnya, ia belum merasakan kebebasannya. Suatu paksaan psikologis dapat berupa kecenderungan-kecenderungan yang memaksa seseorang melakukan perbuatan-perbuatan tertentu atau sebaliknya membuatnya mungkin melakukan beberapa kegiatan tertentu9. Meskipun demikian, kebebasan tidak sekedar mencakup persoalan yang sifatnya pribadi. Tetapi, hakekat kebebasan mencakup beberapa wilayah kehidupan manusia. Sosial, ekonomi, politik dan budaya merupakan wilayah-wilayah yang penting dalam kehidupan manusia. Meskipun secara pribadi manusia mempunyai kebebasan, namun lingkungan sekitarnya tidak memberikan kebebasan artinya sama dengan tidak ada kebebasan atau kebebasan yang sifatnya semu belaka. John Stuart Mill berpendapat 10: Tidak ada masyarakat yang tidak menghormati kebebasan, apapun bentuk pemerintahannya, dan tidak ada masyarakat yang sungguh bebas. Satu-satunya kebebasan yang disebut kebebasan adalah kebebasan untuk mengejar kebaikan kita sendiri menurut cara kita sendiri.
8
Departemen Kebudayaan dan Pendidikan. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Balai Pustaka, Jakarta. 1993. Hal 103104. 9 Louis Leahy. Manusia Sebuah Misteri. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. 2000. Hal 152 10 John Stuart Mill. On Liberty terj Yayasan Obor Indonesia, Jakarta. 2005 hal 18.
4
Mill mengelompokkan kebebasan dalam beberapa macam. Pertama, kebebasan yang mencakup bidang kekuasaan batiniah, kesadaran yang menuntut kebebasan suara hati dalam arti yang paling luas, yaitu kebebasan dalam berpikir dan merasakan, kebebasan mutlak berpendapat dan sentimen untuk segala hal yang praktis dan spekulatif, yang ilmiah dan moral ataupun teologis. Kedua, kebebasan yang terkait dengna kekuasaan individu dan; Ketiga, kebebasan yang sifatnya berhubungan dengan orang lain11. Menurut Mill, jenis kebebasan yang ketiga inilah, kebebasan perlu disertai dengan tanggungjawab bagi mereka yang memiliki kebebasan itu. Terkait dengan kebebasan berpendapat, pada pers, hal tersebut diatur dalam Pasal 19 Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia menyatakan hak atas kebebasan menyampaikan pendapat, termasuk kebebasan untuk “mencari, menerima dan menyampaikan keterangan-keterangan dan pendapat dengan cara apapun dan dengan tidak memandang batas-batas.” Hak-hak ini kemudian dibatasi oleh Pasal 29, yang menerapkan pembatasan “yang tujuannya semata-mata untuk menjamin penghormatan terhadap hak-hak dan kebebasan-kebebasan orang lain, dan untuk memenuhi syaratsyarat yang adil dalam hal kesusilaan, ketertiban dan kesejahteraan umum dalam suatu masyarakat demokratis. Pada Pasal 19 tentang hak dan kebebasan berpendapat, menyatakan pendapat dan informasi. Ayat 1 menyatakan hak absolut untuk berpendapat “tanpa pembatasan”. Ayat 2 menyatakan sifat positif dari kebebasan menyampaikan pendapat: yaitu, “kebebasan untuk mencari, menerima dan memberikan informasi dan pemikiran apapun, terlepas dari pembatasan-pembatasan secara lisan, tertulis atau dalam bentuk cetakan, karya seni atau melalui media lain sesuai dengan pilihannya. Ayat 2 yang
11
Ibid, hal 19.
5
tidak tidak sama dengan ayat 1, dapat menunduk pada pembatasan yang diatur dalam ayat 312. Namun demikian, dalam komentar umum tentang Pasal 19, Komite HAM menegaskan bahwa ada tiga syarat yang dibebankan oleh ayat 3 yang harus dipenuhi sebelum pembatasan dapat diterapkan: Apabila negara pihak membebankan pembatasan tertentu dalam pelaksanaan kebebasan menyampaikan pendapat, pembatasan itu tidak dapat mengancam hak itu sendiri. Ayat 3 mengatur bahwa syarat-syarat dan pembatasan hanya dapat diterapkan apabila memenuhi syarat-syarat tersebut: pembatasan harus ‘diatur dalam undang-undang’; hanya dapat diterapkan untuk salah satu tujuan yang diatur dalam pasal 3 (a) dan 3 (b); dan harus dijustifikasi sebagai ‘keperluan’ untuk negara pihak demi salah satu tujuan tersebut13.
Deklarasi Universal HAM ini telah diratifikasi dan diaksesi oleh 116 negara di dunia, termasuk Indonesia. Catatan penting yang diberikan oleh Sorabjee yang dapat saja menjadi peluang
bagi negara melalui pengadilan dalam menerapkan Deklarasi
Universal14 - tentu saja peluang itu bisa saja dapat memotong kebebasan berpendapat adalah cara yang digunakan pengadilan untuk mencapai keseimbangan yang sulit, yaitu berbagai macam kenderungan dan tekanan yang tercermin dalam putusannya, serta bermacam-macam kesimpulan yang diambilnya. Alasannya cukup jelas. Setiap negara mempunyai konstitusi dan undang-undang yang berbeda, dan demikian pula tahap-tahap perkembangan sosio-politik dan evolusi yurisprudensi, dan juga hakim-hakim yang
12
Soli J Sorabjee. Op cit hal 5 Laporan dari Komite HAM kepada Majelis Umum, 38 th Sess. Supp. No. 40. 1983 (A.28/40), Annexe VI General Comment 10. Diakses pada 6 November pk 13.00 14 Soli J Sorabjee. Op cit hal 7 13
6
berasal dari berbagai macam latar belakang dan kebudayaan tidak memiliki persepsi yang sama15. Terkait dengan kebebasan berpendapat pada pers, di Indonesia, hal ini diatur pada Pasal 3 ayat 1 dan pada Pasal 4 ayat (1) dan (2) UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers yaitu: (1) “pers nasional mempunyai fungsi sebagai media informasi, pendidikan, hiburan dan kontrol sosial; (2) “kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara; (3) “untuk menjamin kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hak untuk mencari, memperoleh, dan menyerbarluaskan gagasan dan informasi. Sementara itu, terkait dengan kewajibannya, dalam melaksanakan semua kegiatan pemberitaan, pers tunduk pada aturan perundang-undangan Pasal 5 ayat (1) UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, yaitu: “pers nasional berkewajiban memberitakan peristiwa dan opini dengan menghormati norma-norma agama dan rasa kesusilaan masyarakat serta asas praduga tak bersalah. Terkait dengan salah salah satu fungsi pers sebagai kontrol sosial, dalam penjelasan Undang-Undang ini yang dimaksudkan dengan fungsi ini adalah fungsi-fungsi yang perlu dilakukan untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan kekuasaan baik korupsi, kolusi, nepotisme maupun penyelewengan dan penyimpangan lain. Sementara itu pada poin 1, penjelasan Pasal 4 ayat (1) tentang kemerdekaan pers adalah bahwa pers bebas dari tindakan pencegahan, pelarangan dan atau penekanan agar hak masyarakat untuk memperoleh informasi terjamin. Pada poin 2 penjelasan pasal ini disebutkan bahwa kemerdekaan pers adalah kemerdekaan yang disertai kesadaran akan pentingnya
15
Periksa kasus putusan Mahkamah Agung AS menolak mencegah Kasus New York Times agar tidak menerbitkan dokumen resmi yang diklasifikasi sangat rahasia. Putusan 403 US 713 (1971) atau kasus New York Times vs Sullivan. Putusan 376 US 254 (1964). Demikian juga Pengadilan Eropa di Strasbourg dalam kasus Lingens. Putusan Juli 1986, Series A no 103, 8 EHRR 103. Atau kasus Fraser vs Evans. Putusan 578 F. 2d. 1197 (1978). Di Indonesia, kasus Prita dalam menceritakan kejadian malpraktek yang dialami putrinya lewat jejaring sosial yang akhirnya dituntut sebagai pencemaran nama baik. Diakses 6 November 2013 pk 13.35.
7
penegakan supremasi hukum yang dilaksanakan oleh pengadilan, dan tanggungjawab profesi yang dijabarkan dalam Kode Etik Jurnalistik serta sesuai dengan hati nurani insan pers16. D. Asas Praduga Tak Bersalah Sebagai Pembatas Pemberitaan Pers Sesungguhnya, dalam Hukum Acara Pidana ada dua model dalam beracara. Pertama adalah crime control model dan berikutnya adalah due model process. Dalam bukunya The Limited of The Criminal Sanction, Hebert L Packer mengemukakan bahwa crime control model memiliki karakteristik efisiensi, mengutamakan kecepatan dan presumption of guilt (asas praduga bersalah), sehingga demikian pelaku kriminal harus segera ditindak dan si tersangka dibiarkan hingga ia sendiri yang melakukan perlawanan. Sementara due process model memiliki karakteristik menolak efisiensi, mengutamakan kualitas dan presumption of innocent (praduga tak bersalah)17. Namun, kedua asas tersebut di atas hanya dapat diterapkan oleh lembaga yang melakukan tugas penyidikan dalam hal ini jika seseorang diduga korupsi maka itu adalah tugas Polri dan KPK dan lembaga yang memutuskan yaitu pengadilan. Dengan demikian, dalam konteks pemberitaan, seharusnya asas praduga tak bersalah atau dalam istilah asing disebut presumtion of innocence merupakan hak yang dimiliki setiap orang yang menjadi bahan pemberitaan. Apabila seseorang tersandung sebuah kasus, dalam proses hingga mengajukannya ke pengadilan, hingga pengadilan yang memberikan keputusan terakhir tentang benar atau bersalahnya dirinya, orang tersebut memiliki hak untuk dikatakan tidak bersalah. Karena itu dari segi teknis yuridis maupun dari segi teknis penyidikan, diterapkan prinsip acquisitoir, dalam hal ini seseorang yang sedang 16 17
UU Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers. Hebert L Packer (dalam Edi OS Hiariej). Memahami Asas Praduga Tak Bersalah. http://www.unisosdem.org/article_detail.php?aid=677&coid=3&gid=3. Diakses pada 4 November 2013. Pk 19.42.
8
menjalani proses penyidikan harus diperlakukan dalam kedudukan manusia yang mempunyai harkat, martabat dan harga diri18. Sehingga itu, dalam pemberitaannya, pers perlu mencermati setiap perkembangan yang dihasilkan baik oleh penyidik dan/atau oleh pengadilan terkait dengan peristiwa yang sedang diberitakannya. Dalam kerangka menghormati hak setiap orang yang diberitakan dan menerapkan asas praduga tak bersalah dalam pemberitaan inilah, dalam dunia pers, diatur pedoman operasional untuk menjaga moral dan etika dalam memberitakan peristiwa, yang dikenal dengan Kode Etik Jurnalistik. Pada Pasal 3 Kode Etik Jurnalistik, yaitu: “wartawan Indonesia
selalu
menguji
informasi,
memberitakan
secara
berimbang,
tidak
mencampurkan fakta dan opini yang menghakimi, serta menerapkan asas praduga tak bersalah”19. Itu berarti, dalam pemberitaannya, pers tidak boleh melakukan penghakiman terhadap seseorang. Dalam maksud demikian, maka pada Pasal 1 Kode Etik Jurnalistik disebutkan bahwa: wartawan Indonesia bersikap independen, menghasilkan berita yang akurat, berimbang dan tidak beritikad buruk. Independen dapat diartikan bahwa dalam memberitakan peristiwa atau fakta sesuai dengan nurani tanpa campur tangan, paksaan, dan intervensi dari pihak lain termasuk milik perusahaan pers. Akurat berarti dipercaya benar sesuai keadaan obyektif ketika peristiwa terjadi. Berimbang berarti semua pihak diberitakan setara. Sementara tidak beritikad buruk berarti tidak ada niat secara sengaja dan semata-mata untuk menimbulkan kerugian pihak lain. Pada Pasal 4 Kode Etik Jurnalistik disebutkan: “wartawan Indonesia tidak membuat berita bohong, fitnah, sadis dan cabul”. Pada poin penafsiran tentang pasal ini disebutkan bahwa bohong berarti 18
M. Yahya Harahap. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP. Jilid I. Pustaka Kartini. Jakarta. 2002. Hal 35-39. 19 Kode Etik Jurnalistik. Diakses pada tanggal 4 November 2013 pk 20.33 WIB.
9
sesuatu yang sudah diketahui sebelumnya oleh wartawan sebagai hal yang tidak sesuai dengan fakta yang terjadi. Fitnah berarti tuduhan tanpa dasar yang dilakukan secara sengaja dengan niat buruk20. Terakhir, pada Pasal 8 Kode Etik disebutkan: “Wartawan Indonesia tidak menulis atau menyiarkan berita berdasarkan prasangka atau diskriminasi terhadap seseorang atas dasar perbedaan suku, warna kulit, agama, jenis kelamin dan bahasa serta tidak merendahkan orang lemah, miskin, sakit, cacat jiwa atau cacat jasmani.” Yang dimaksudkan dengan prasangka dalam konteks ini adalah anggapan yang kurang baik mengenai sesuatu sebelum mengetahui secara jelas.
E. Korupsi: Pengertian, Indikator, serta Aspek Hukum Tindakan Korupsi Berdasarkan pada asal katanya, korupsi berasal dari bahasa Latin corruptio atau corruptus. Selanjutnya disebutkan bahwa corruptio itu berasal pula dari kata corrumpere, suatu kata latin yang lebih tua dan berasal dari perpaduan dua kata dalam bahasa Latin yaitu com yang berarti bersama-sama dan rumpere yang berati pecah atau jebol. Dari bahasa Latin inilah turun ke banyak bahasa di Eropa seperti Inggris: corruption, corrupt; Perancis: corruption dan Belanda corruptie (korruptie) yang kemudian turun ke bahasa Indonesia: “korupsi21”. Merujuk pada Webster’s Third New Dictionary, David H Bayley memberikan definisi korupsi adalah: “Sebagai perangsang (seorang pejabat pemerintah) berdasarkan itikad buruk (seperti misalnya suapan), agar ia melakukan pelanggaran kewajibannya. Lalu suapan diberikan definisi sebagai hadiah, penghargaan, pemberian atau keistimewaan yang dianugerahkan atau dijanjikan dengan tujuan merusak pertimbangan
20 21
Ibid. Andi Hamzah. Korupsi Dalam Pengelolaan Proyek. Cet III Akademik Pressindo. Jakarta, 2001 hal 7-10.
10
tingkah laku, terutama seorang dari dalam kedudukan terpercaya (sebagai pejabat pemerintah). Korupsi adalah istilah umum mencakup penyalahgunaan kekuasaan serta pengaruh jabatan atau kedudukan istimewa dalam masyarakat untuk maksud-maksud pribadi22. Dalam The Lexicon Webster Dictionary, kata korupsi secara harafiah diartikan sebagai: Kebusukan (purtrefactive decomposition), keburukan (putrid matter), kebejatan (depravity), ketidakjujuran (dishonest proceedings), dapat disuap (bribery), tidak bermoral (moral pervesion), dan penyimpangan dari kesucian (pervesion from a state of purity)23. Dalam Black’s Law Dictionary, Henry Campbel Black menjelaskan mengenai arti korupsi sebagau suatu perbuatan yang bertentangan dengan norma-norma dan melanggar hak-hak orang lain, yaitu: Suatu perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk memberikan keuntungan yang bertentangan dengan tugas resmi dan melanggar hak-hak pihak lain. Perbuatan dari seorang pejabat atau orang yang dipercaya yang secara melanggar hukum menggunakan kedudukannya atau karakternya untuk mendapatkan suatu keuntungan untuk dirinya sendiri, berlawanan dengan tugas dan kewajibannya serta hak-hak pihak lain24.
Transperency International melalui Jeremy Pope menjelaskan korupsi sebagai berikut: Korupsi merupakan perilaku dari pejabat-pejabat di sektor publik, baik politikus maupun pegawai negeri, yang secara tidak benar dan melanggar hukum memperkaya diri sendiri atau pihak lain yang dekat dengan mereka, dengan cara menyalahgunakan kewenangan publik yang dipercayakan kepadanya25.
22
David H Bayley. Webster’s Dictionary Third New Dictionary. Cet VI 2005 hal 86-90. The Lexicon Webster Dictionary. 2001. 24 Henry Campbell Black. Black’s Law Dictionary. Cet 4 2000. 25 Jeremy Pope. Transperency International. 2001. 23
11
Dengan demikian, korupsi merupakan tindakan penyalahgunaan kekuasaan dengan cara menyuap dalam bentuk pemberian hadiah, penghargaan, pemberian atau keistimewaan, dimana tindakan ini mengarah pada upaya memperkaya diri sendiri maupun orang-orang dekat yang dilakukan oleh pejabat publik baik itu politisi maupun pegawai negeri yang akibatnya adalah merugikan pihak-pihak lain atau menghilangkan hak-hak orang lain. Mengacu pada Pasal 1 UU Nomor 31 Tahun 1999 jo UU Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana korupsi, maka pihak-pihak yang melakukan korupsi adalah sebagai berikut: (1) Korporasi yaitu kumpulan orang atau kekayaan yang terorganisasi baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum; (2) Pegawai Negeri yaitu: (a) orang-orang sebagaimana dimaksudkan dalam Undang-Undang tentang Kepegawaian, (b) pegawai negeri sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana, (c) orang yang menerima gaji atau upah dari keuangan negara atau daerah dan (d) orang yang menerima gaji atau upah dari suatu korporasi yang menerima bantuan dari keuangan negara atau (e) orang yang menerima gaji atau upah dari korporasi lain yang mempergunakan modal atau fasilitas dari negara atau masyarakat; (3) setiap orang yaitu perseorangan termasuk korporasi26. Selain itu, orang-orang yang dapat dituduhkan melakukan tindakan korupsi apabila dalam penyidikan tidak memberikan keterangan atau memberikan keterangan palsu tentang harta benda istri/suami atau harta benda anaknya atau harta benda setiap orang atau korporasi yang diketahui patut diduga mempunyai hubungan dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan tersangka.27
26 27
UU Nomor 31 Tahun 1999 jo UU Nomor 20 Tahun Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Ibid.
12
Sementara itu, tindakan-tindakan yang dapat dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi disebutkan pada Pasal 2 ayat (1) UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagai berikut: “setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekomian negara...”. Selanjutnya, pada Pasal 3 UU Nomor 31 Tahun 1999 disebutkan: “setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara...28”. Mengacu pada UU Nomor 31 Tahun 1999 jo UU Nomor 20 Tahun 2001, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), melakukan kategorisasi tindakan yang dapat disebut sebagai tindakan melakukan korupsi, antara lain: (1) tindakan yang menyebabkan terjadinya kerugian pada keuangan negara; (2) suap-menyuap; (3) penggelapan dalam jabatan; (4) pemerasan; (5) perbuatan curang; (6) benturan kepentingan dalam pengadaan; dan (7) gratifikasi29. Tindakan-tindakan lain yang dapat disebut sebagai tindakan korupsi dimuat pada Pasal 21 UU Nomor 31 Tahun 1999 jo UU No 20 Tahun 2001 Tentang Tindak Pidana Korupsi,
apabila:
“setiap
orang
dengan
sengaja
mencegah,
merintangi
atau
menggagalkan, secara langsung atau tidak langsung penyelidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tersangka atau terdakwa atau para saksi dalam perkara korupsi...”30.
28
Ibid. Komisi Pemberantasan Korupsi. Memahami Untuk Membasmi: Buku Saku untuk Memahami Tindak Pidana Korupsi. Jakarta, 2006. 30 Ibid hal 83. 29
13