11
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Teori Pertumbuhan Ekonomi Pertumbuhan ekonomi merupakan proses kenaikan output per kapita dalam jangka panjang. Todaro dan Smith (2006), mendefinisikan pertumbuhan ekonomi sebagai suatu proses peningkatan kapasitas produktif dalam suatu perekonomian secara terus-menerus atau berkesinambungan sepanjang waktu sehingga menghasilkan tingkat pendapatan dan output nasional yang semakin lama semakin besar. Beberapa teori tentang pertumbuhan ekonomi diantaranya: 1. Teori Harrod-Domar Menurut Harrod-Domar, setiap perekonomian dapat menyisihkan suatu proporsi tertentu dari pendapatan nasional untuk mengganti barang-barang modal yang rusak. Namun untuk menumbuhkan perekonomian, dibutukan investasi baru untuk menambah stok modal. Jadi setiap tambahan bersih terhadap stok modal (investasi baru) akan mengakibatkan kenaikan output total sesuai rasio modal-output (COR). Beberapa asumsi yang mendasari teori ini adalah a. Perekonomian dalam keadaan full employment dan barang-barang modal dalam masyarakat digunakan secara penuh. b. Perekonomian hanya terdiri dari dua sektor yaitu sektor rumah tangga dan perusahaan. c. Besarnya tabungan masyarakat adalah proporsional dengan besarnya pendapatan nasional. d. Marginal propensity to save (MPS) besarnya tetap, demikian pula rasio antara modal output (Capital Output Ratio = COR) dan rasio pertambahan modal-output (Incremental Capital Output Ratio = ICOR) Beberapa model atau persamaan yang dibangun dari teori Harrod-Domar ini antara lain: S= sY…………………………………………………………………..(2.1) I= ∆ K……………………………………………………………...…..(2.2) 𝐾 𝑌
= 𝑘 𝑎𝑡𝑎𝑢
∆𝐾 ∆𝑌
= 𝑘 𝑎𝑡𝑎𝑢 ∆𝐾 = 𝑘. ∆𝑌 ……………………………….(2.3)
12
Karena tabungan total (S) harus sama dengan investasi (I), maka: S= I…………………………………………………………………….(2.4) S= sY ,k ∆Y = ∆K = I, atau s.Y=k ∆……….…………..……………. (2.5) ∆𝑌 𝑌
=
𝑠 𝑘
………………………………….…………………………….(2.6)
Persamaan (2.6) menunjukkan bahwa tingkat pertumbuhan output berhubungan secara positif dengan rasio tabungan. Sedangkan hubungan antara COR dengan pertumbuhan adalah negatif. Semakin besar COR maka akan semakin rendah tingkat pertumbuhan output. Kelemahan-kelemahan teori Harrod-Domar meliputi MPS dan ICOR yang pada kenyataannya tidak konstan, proporsi penggunaan tenaga kerja dan modal tidak tetap, harga tidak akan konstan serta suku bunga pasti berubah. Kelemahankelemahan ini yang diakomodir dalam teori pertumbuhan Solow.
2. Teori Solow Salah satu teori yang menunjukan pertumbuhan persediaan modal, pertumbuhan angkatan kerja dan kemajuan teknologi berinteraksi dalam perekonomian serta pengaruhnya terhadap output barang dan jasa (PDRB) suatu wilayah secara keseluruhan adalah Teori Pertumbuhan Solow (Mankiw, 2003). Model Solow yang berasumsi bahwa fungsi produksi mempunyai skala hasil konstan, maka fungsi produksinya dapat dirumuskan sebagai berikut: Y =A Ka Lb………………………………………………………………(2.7) dimana: Y= output A= tingkat teknologi K= persediaan modal L= tenaga kerja a= pertambahan output akibat pertambahan satu unit modal b= pertambahan output akibat pertambahan satu unit tenaga kerja a+b =1 (asumsi constant return to scale) Persediaan modal dipengaruhi pula oleh investasi dan depresiasi.Investasi mengacu pada pengeluaran untuk perluasan usaha dan peralatan baru yang dapat
13
menambah persediaan barang modal.Sedangkan depresiasi sebaliknya, mengacu pada penggunaan modal, yang menyebabkan persediaan modal berkurang. Perubahan persediaan modal= investasi-depresiasi ∆k = I – δk………………………………………………………….(2.8) Pengukuran pertumbuhan ekonomi secara konvensional adalah dengan menghitung peningkatan persentase dari Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) untuk tingkat regional/daerah dan Produk Domestik Bruto (PDB) untuk tingkat nasional. PDRB merupakan jumlah nilai tambah yang dihasilkan oleh seluruh unit usaha dalam suatu wilayah tertentu atau merupakan jumlah nilai barang dan jasa akhir yang dihasilkan oleh seluruh unit ekonomi selama periode tertentu. Laju pertumbuhan ekonomi tersebut dapat dihitung dengan menggunakan formula sebagai berikut : LPit
PDRBit PDRBi (t 1) PDRBi (t 1)
100%
……………......(2.9)
Dimana: LP = laju pertumbuhan ekonomi i
= sektor 1,2,…9
t
= tahun t
2.2. Investasi Investasi sering disebut juga sebagai penanaman modal atau pembentukan modal.Investasi menghubungkan pasar uang dengan pasar barang, masa kini dan masa datang. Selain itu fluktuasi investasi berpengaruh besar pada proses bisnis. Poin yang menonjol adalah investasi dalam jangka panjang, menentukan jumlah stok modal dan berperan dalam pertumbuhan ekonomi jangka panjang (Blanchard,2006). Sukirno (2000) mendefinisikan investasi sebagai pengeluaran-pengeluaran untuk membeli barang-barang produksi dengan tujuan untuk mengganti dan menambah barang-barang modal dalam perekonomian yang akan digunakan untuk memproduksi barang dan jasa di masa depan. Tujuan investasi ini adalah untuk meningkatkan kapasitas memproduksi suatu perekonomian.
14
Ada 3 jenis investasi menurut Dornbusch and Fischer (1997), Mankiw (2003), Sukirno (2000) yaitu: (1) Investasi tetap bisnis (Business Fixed Investment) yaitu pengeluaran perusahaan untuk pembelian pabrik dan peralatan baru, (2) Investasi residensi (residential investment, yaitu pembelian perumahan baru oleh rumah tangga dan tuan tanah, (3) Investasi dalam persediaan (inventory investment) yaitu bahan baku, barang setengah jadi, dan barang jadi yang disimpan oleh perusahaan untuk kemudian dijual. Menurut Dornbusch and Fischer (1992) ada dua sudut pandang investasi yaitu: 1. Investasi dalam arti sempit yaitu penambahan persediaan fisik modal, atau disebut juga investasi riil, 2. Investasi dalam arti luas, yang mencakup investasi finansial dan sumber daya manusia. Dengan batasan bahwa investasi yang ditekankan dalam penelitian ini adalah persediaan atau stok modal fisik,maka dapat didefinisikan bahwa investasi adalah
suatu
pengeluaran
yang
ditujukan
untuk
meningkatkan
atau
mempertahankan stok barang modal. Dengan berinvestasi, berarti perusahaan menunda atau mengurangi besarnya konsumsi untuk memperoleh rate of return yang tinggi di masa depan. Jadi besarnya investasi sangat bergantung pada ekspektasi keuntungan yang akan diperoleh di periode mendatang (Nicholson,1998). Ada beberapa faktor yang mempengaruhi minat investor yaitu: (1) tingkat suku bunga, (2) ramalan tingkat pengembalian dan penawaran barang di masa mendatang, (3) permintaan akan modal (demand for capital) dan (4) kemajuan teknologi.
2.3.Teori Investasi Teori ekonomi klasik menyatakan bahwa keinginan individu atau masyarakat untuk menabung adalah sama dengan keinginan perusahaan untuk melakukaninvestasi.Pandangan ini dapat dituliskan ulang sebagai persamaan: I=S…………………………………………………………….. (2.10)
15
Dalam teori investasi klasik diasumsikan bahwa: 1. Tabungan adalah fungsi dari tingkat bunga Dengan semakin tingginya tingkat bunga, semakin tinggi pula keinginan masyarakat untuk menabung. Artinya bahwa pada tingkat bunga yang lebih tinggi, masyarakat akan terdorong untuk mengurangi pengeluaran untuk konsumsi dengan maksud untuk menambah tabungan. 2. Investasi juga merupakan fungsi dari tingkat bunga Dengan semakin tingginya tingkat bunga, keinginan untuk melakukan investasi akan semakin rendah. Investasi akan dilakukan oleh investor apabila pendapatan dari investasi (return on investment) lebih besar dari tingkat bunga yang berlaku atau tingkat riil sebab tingkat bunga merupakan biaya atau ongkos penggunaan dana(cost of capital). Teori klasik menjelaskan hubungan antara tabungan dan investasi dengan tingkat bunga dideskripsikan pada Gambar 3. Kurva tabungan (S) menunjukkan tingkat tabungan pada kesempatan kerja penuh (full employment) pada berbagai tingkat bunga, sedangkan keinginan perusahaan untuk berinvestasi ditunjukkan oleh kurva I0. Keseimbangan awal antara tabungan dan investasi terletak di titik E0, di mana keseimbangan tingkat bunga ada pada titik R0. Pada titik E0 ini jumlah seluruh tabungan yang akan dilakukan oleh rumah tangga sama dengan jumlah seluruh investasi yang akan dilakukan oleh pengusaha-pengusaha. Tingkat Bunga S
Kelebihan tabungan R0 I0
R1 I1 I1=S1
I0=s0
Investasi dan Tabungan
Sumber: Sukirno (2000)
Gambar 3 Hubungan Investasi dan Tabungan Dengan Tingkat Bunga Menurut Klasik
16
Apabila tingkat investasi berubah dari I0 menjadi I1 maka pada tingkat bunga awal R0, ada S0 tabungan yang ditawarkan dalam pasar. Ketika investasi mengalami penurunan menjadi I1, kelebihan tabungan di S0 akan menurunkan tingkat bunga menjadi R1 sehingga terjadi keseimbangan baru di titik E1. Terjadi keseimbangan baru di titik E1 (I1=S1). Hal ini terjadi karena kelebihan tabungan (excess saving) akan mendorong para penabung untuk saling bersaing dalam meminjamkan dananya kepada pihak ketiga sehingga akan menekan tingkat bunga.Demikian terjadi sebaliknya apabila tingkat investasi meningkat. Dari teori investasi klasik ini dapat disimpulkan bahwa terdapat fleksibilitas tingkat bunga yang akan menjamin terwujudnya ekuilibrium yaitu keadaan tingkat bunga selalu sama dengan investasi (I=S). Dengan kata lain, tingkat bunga merupakan interaksi antara tabungan dan investasi. Suatu negara dengan tingkat tabungan yang tinggi akan mencapai kondisi ekonomi yang mantap per tenaga kerja (steady state output per worker) yang tinggi (Blanchard, 2006) Hubungan antara stok modal yang diinginkan dan investasi yang terealisasi dapat dijelaskan sebagai berikut.Kenaikan dalam permintaan modal akan menaikkan harga dari P0 ke P1 (Gambar 4) dan akan menaikkan kapital dari K0 ke K1. Kenaikan modal ini berhubungan erat dengan kenaikan investasi, sehingga investasi akan bergerak dari I0 ke I1. Akan tetapi kenaikan investasi ini tidak secara instan menutup celah antara stok kapital yang diinginkan dengan yang telah tersedia, karena adanya adjustment cost.
B
A
Pric P e of 0 Cap ital
P1
DD1 DD0 K0
Sumber: Dornbusch, 2008
K1 Stock of K
Gambar 4 Mekanisme penyesuaian dari stok kapital yang diinginkan ke Investasi
17
Ada beberapa hipotesis tentang kecepatan perusahaan menyesuaikan stok kapital seiring waktu.Salah satu hipotesisnya adalah flexible accelerator model. Model ini menyatakan, semakin kesenjangan antara stok modal aktual dengan yang diinginkan (K*),maka semakin besar tingkat investasi perusahaan. I= K0-K-1= λ (K* - K-1)………………………………………………..(2.11)
2.4. Desentralisasi Desentralisasi fiskal pada dasarnya merupakan implementasi paradigma hubungan pemerintah pusat dan daerah. Tiebout hypothesisdiacu dalam Stiglitz (2000) berargumen bahwa dengan diberikannya kewenangan kepada pemerintah daerah untuk mengatur dan merumuskan sendiri kebijakan daerahnya, selama tidak bertentangan dengan pemerintah pusat, akan memicu kompetisi yang sehat antar Pemda untuk dapat menyediakan public goods yang memenuhi preferensi masyarakat. Dalam merumuskan kebijakan yang menyangkut penciptaan investasi yang sehat, Pemda
iklim
dapat menawarkan opsi tarif pajak dan biaya
transaksi yang rendah. Diharapkan biaya yang rendah ini dapat menarik investor untuk menanamkan modalnya di daerah tersebut. Antara Pemda satu dengan lainnya pun berlomba untuk menetapkan tarif pajak dan biaya transaksi seoptimal mungkin yang dapat menggiatkan dunia bisnis dan investasi daerahnya yang pada akhirnya diharapkan akan berkontribusi pada pertumbuhan ekonomi regionalnya. Otonomi daerah menurut UU No. 22 Tahun 1999 adalah penyerahan wewenang oleh pemerintah kepala daerah otonom kepada kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Berdasarkan penjelasan UU No. 25 Tahun 1999 disebutkan bahwa dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan, NKRI dibagi atas daaerah-daerah provinsi,kabupaten dan kota. Tiap-tiap daerah tersebut mempunyai hak dan kewajiban mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahannya untuk meningkatkan efisiensi dan efektifitas penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan kepada masyarakat.
18
Pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia dapat dipandang sebagai suatu strategi yang memiliki tujuan ganda, yaitu (1) sebagai suatu strategi untuk merespon tuntutan masyarakat daerah terhadap sharing of income distribution dan kemandirian sistem manajemen di daerah dan (2) memperkuat perekonomian daerah untuk memperkokoh perekonomian nasional dalam rangka menghadapi era perdagangan bebas. Selain itu, otonomi daerah yang diberlakukan sejak Januari 2001 juga memberikan kesempatan yang luas bagi daerah untuk meningkatkan kinerja daerah guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat di daerah. Prinsip otonomi bukanlah
berdiri
sendiri,
melainkan
merupakan
subsistem
dari
sistem
pemerintahan nasional. Ada 4 tipe dari desentralisasi menurut Rodindelli & Mellis (1986), Blair (1998): 1. Deconcentration Tahap dekonsentrasi merupakan peralihan desentralisasi, yaitu peubahan institusi dengan pemusatan dan penyebaran pegawai negeri sipil ke daerah-daerah. 2. Devolution Pada tahap ini tanggung jawab dan sumber daya ditransfer kepada daerah secara lebih luas untuk mengatur penggunaan sumber daya. 3. Delegation Daerah punya autonomous source of revenue, termasuk kewenangan untuk meminjam dari capital market serta transfer sumber daya. 4. Privatisation and partnerships Ada transfer tanggung jawab kepada perusahaan swasta dan civil society organizations untuk mobilitas capital dan inisiatif. Peran pemerintah pusat hanya melakukan ex-post control terhadap penggunaan sumber daya, dan tidak mencampuri urusan anggaran ataupun perencanaan. Adapun asas desentralisasi yang diterapkan di Indonesia ditunjang oleh dua asas lainnya yaitu dekonsentrasi dan perbantuan.Kebijakan nasional di seluruh wilayah NKRI adalah bersifat mengikat dan harus dipatuhi daerahdaerah.Ini berarti kebijakan pembangunan nasional dilakukan Pemerintah Pusat
19
dan Pemerintah Daerah berhak menetapkan kebijakan daerah sebagai penjabaran dari kebijakan nasional. Dasar hukum dari pelaksanaan otonomi daerah adalah UU no. 22 Tahun 1999 jo UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah serta UU No. 25 Tahun 1999 jo UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah. Pada intinya, UU No. 32 Tahun 2004 mendesentralisasikan kewenangan kepada pemerintah daerah untk mengambil keputusan mengenai perencanaan, pelaksanaan pembangunan kepada pemerintah daerah, sedangkan UU No. 33 Tahun 2004 merubah secara mendasar keseimbangan keuangan pusat dan daerah melalui bagi hasil (revenue sharing) baik dari pendapatan pajak maupun bukan pajak. Kebijakan lain yang dikeluarkan pemerintah adalah pemerintah daerah diberi kewenangan yang lebih luas,nyata dan bertanggung jawab dalam mengelola administrasi pemerintahan dan keuangan, yang dituangkan dalam UU No. 18 Tahun 1997 jo UU No. 34 Tahun 2000. Inti dari UU ini adalah mengakomodir kabupaten dan kota dalam menggali potensi sumber-sumber keuangannya dengan menetapkan jenis pajak dan retribusi daerah. Keleluasaan yang diberikan kepada daerah untuk mengoptimalkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) tersebut dapat memberikan pengaruh baik negatif maupun positif.Pengaruh positifnya tentu saja kontribusi PAD untuk menunjang pembangunan daerah semakin meningkat.Terwujudnya peningkatan kualitas pelayanan
dan
kemudahan
dalam
hal
perizinan
perlu
terus
dipertahankan.Perizinan penanaman modal seperti PMA yang tadinya harus dilakukan di pusat, kini dapat diselesaikan di daerah. Pelimpahan wewenang ini diharapkan dapat mempermudah proses perizinan dengan biaya murah sehingga menciptakan iklim investasi yang kondusif serta menarik untuk calon investor. Tetapi di sisi lain, peningkatan pajak dan retribusi akan menimbulkan high cost of economy
dan malah makin memperlemah investasi, jika tidak
memperhitungkan daya dukung perekonomian lokal dan nasional. Contohnya (1) pengenaan pungutan atas lalu lintas barang dan penumpang antar provinsi atau antar kabupaten/kota, dan (2) munculnya peraturan-peraturan daerah (Perda) yang
20
tumpang
tindih,menyebabkan
pemungutan
pajak
ganda
dan
disinyalir
menghambat masuknya investasi swasta. Dampak positif dan negatif desentralisasi pun dikemukakan oleh Bahl (1998). Dampak positifnya antara lain (1) kesejahteraan akan lebih tinggi karena penyediaan jasa dan barang publik lebih memenuhi preferensi masyarakat, (2) pemerintah daerah lebih bertanggung jawab untuk kualitas barang dan jasa yang disediakan, (3) penduduk memiliki keinginan untuk membayar lebih tinggi atas barang dan jasa publik karena preferensi mereka lebih dihargai, dan (4) meningkatkan pendapatan pemerintah karena pemerintah daerah lebih mengenal dan menggali objek pajaknya. Sedangkan dampak negatif dari desentralisasi adalah (1) kontrol terhadap inflasi lebih sulit karena pengeluaran pemerintah daerah sulit dikendalikan, (2) usaha-usaha pengoptimalan sumber dana dalam pembangunan pertanian, industri, dan infrastruktur publik akan lebih sulit sehingga (3) ketimpangan daerah menjadi lebih tinggi.
2.5. Tata Kelola Pemerintahan Daerah Kata tata kelola berasal dari bahasa Inggris yaitu governance (Oxford English Dictionary, 1973), yang artinya adalah tindakan atau melaksanakan tata cara pengendalian.Lebih jauh lagi,government atau pemerintah sebagai pelaksana tata kelola identik dengan pengelola atau pengurus, dengan makna spesifik pengelola atau pengurus negara. Pemahaman sebagaimana disebutkan di atas kita jadikan sebagai awal untuk memahami good governance sebagai pijakan awal dari akuntabilitas kinerja pemerintah.Jadi good governance sebenarnya mempunyai makna sebagai kepengelolaan atau kepengarahan yang baik dan bukan kepemerintahan yang baik(Dwijowijoto, 2003).Governance yang dimaksudkan dalam penelitian ini lebih bersifat public governance daripada corporate governance (Gambar 5), dengan pendekatan secara khusus kepada tata kelola pemerintahan daerah.
21
Governance
Public Governance
Organisasi publik
Corporate Governance
Organisasi usaha
Non-forprofit governance
Organisasi nirlaba
Negara, nirlaba
Negara &masyarakat, laba
Masyarakat, nirlaba
Sumber: Dwijowijoto( 2003)
Gambar 5.Penggolongan Governance UNDP (1994) mensinonimkan good governance sebagai hubungan sinergis dan konstruktif antara negara, sektor swasta dan masyarakat . Atas dasar ini, dirumuskan 9 karakteristik dasar good governance yaitu: participation,rule of law, transparency, responsiveness,consensus orientation, equity, effectiveness and efficiency, accountability dan strategic vision. Akan tetapi, unsur-unsur tata kelola daerah yang baik menurut persepsi pelaku usaha dirumuskan secara berbeda oleh KPPOD. Pemilihan 9 unsur ini didasarkan pada elemen-elemen yang merefleksikan tata kelola ekonomi daerah, bukan merupakan faktor anugrah (endowment) , merupakan kewenangan dan kontrol kabupaten/kota, tetapi bukan indikator outcome/impact (KPPOD, 2010). Adapun ke-9 unsur ini adalah:
1. Akses lahan Akses lahan akan sangat mempengaruhi dunia usaha karena perusahaan tidak akan melakukan investasi baru bila tidak ada akses terhadap lahan. Kegiatan usaha yang sedang berlangsung pun juga akan terpengaruh bila tidak ada kepastian akan status lahan yang akan mereka gunakan (KPPOD,2011). Semakin baiknya akses terhadap lahan di suatu daerah akan mendorong investor untuk menanamkan modal di daerah tersebut.
22
Indikator Akses lahan
Variabel Penyusun a.Waktu yang dibutuhkan untuk pengurusan status tanah b.Persepsi tentang kemudahan perolehan lahan c.Persepsi tentang penggusuran lahan oleh Pemda d.Frekuensi konflik e.Persepsi tentang keseluruhan permasalahan lahan usaha
2. Infrastruktur Penyediaan infrastruktur yang memadai berupa jalan kabupaten/kota, penyediaan listrik, lampu penerangan jalan, air bersih dan telekomunikasi merupakan prasyarat agar kegiatan usaha dapat berjalan secara efisien dan efektif (KPPOD,2011). Sebaliknya, kualitas pengelolaan infrastruktur yang buruk akan mengakibatkan biaya yang besar bagi pelaku usaha untuk berinvestasi dan melakukan ekspansi usaha. Kualitas infrastruktur yang baik menunjukkan semakin baiknya tata kelola pemerintahan di daerah tersebut (De,2008). Indikator Infrastruktur Daerah
Variabel Penyusun a.Kualitas infrastruktur (jalan,lampu jalan,air, listrik, telepon) b.Lama perbaikan infrastruktur (jalan,lampu jalan,air, listrik, telepon) c.Persentase pemakaian genset d.Lama pemadaman listrik e.Tingkat hambatan infrastruktur terhadap kinerja perusahaan
3. Perizinan Usaha Prosedur perizinan usaha yang sederhana dan berbiaya murah dapat mendorong pelaku usaha baru untuk memasuki pasar. Sebaliknya prosedur pengurusan izin usaha yang sulit, lama dan berbiaya mahal akan menyebabkan keengganan pelaku usaha dan menghambat pertumbuhan kegiatan usaha baru.
23
Indikator Izin Usaha
Variabel Penyusun a.Persentase perusahaan yang memiliki TDP b.Persepsi kemudahan perolehan TDP dan rata-rata+B9 waktu perolehan TDP c.Persepsi tingkat biaya yang memberatkan usaha d.Persepsi bahwa pelayanan izin usaha adalah bebas KKN, efisien, dan bebas pungli e.Persentase keberadaan mekanisme pengaduan f.Persepsi tingkat hambatan izin usaha terhadap usahanya
4. Biaya Transaksi Biaya transaksi yang tinggi ( pajak daerah, retribusi dan biaya transaksi lainnya) baik legal maupun ilegal dapat menjadi penghambat bagi kegiatan usaha di daerah, jika hanya diberlakukan untuk meningkatkan pendapatan daerah tanpa mempertimbangkan dampaknya terhadap perkembangan dunia usaha (KPPOD, 2011). Akan tetapi jika pungutan diberlakukan dengan alasan yang jelas, serta digunakan sepenuhnya untuk memperbaiki pelayanan publik, pungutan tersebut boleh dipastikan tidak akan menghambat pelaku usaha dalam berinvestasi dan melakukan ekspansi usaha. Indikator Biaya Transaksi
Variabel Penyusun a.Tingkat hambatan pajak dan retribusi daerah terhadap kinerja perusahaan b.Tingkat pembayaran donasi terhadap Pemda c.Tingkat hambatan donasi terhadap Pemda d.Tingkat pembayaran biaya informal pelaku usaha terhadap polisi e.Tingkat hambatan biaya transaksi terhadap kinerja perusahaan
5. Kapasitas/integritas bupati/walikota Unsur ini sangat penting untuk memastikan bahwa pelaksanaan kebijakan pemerintah daerah berlangsung efektif. Kepala daerah yang jujur dan berkapasitas akan meningkatkan kepercayaan diri investor dan besar kemungkinan akan menjalankan kebijakan yang ramah terhadap investasi
24
Indikator Kapasitas dan Integritas Bupati/Walikota
Variabel Penyusun a.Pemahaman kepala daerah terhadap masalah dunia usaha b.Profesionalisme birokrat daerah c.Tindakan kepala daerah yang menguntungkan diri sendiri d.Ketegasan kepala daerah terhadap korupsi birokratnya e.Karakter kepemimpinan kepala daerah f.Hambatan kapasitas dan integritas kepala daerah terhadap dunia usaha.
6. Interaksi Pemda dengan pelaku usaha Adanya interaksi pemda dengan pelaku usaha sangat penting untuk memastikan bahwa kebijakan dan investasi publik yang dilakukan Pemda sejalan dengan kebutuhan pelaku usaha. Sebaliknya, interaksi yang tidak efektif antara Pemda dengan pelaku usaha dapat mengakibatkan penerapan kebijakan yang menghambat pertumbuhan kegiatan usaha. Indikator Interaksi Pemda dengan Pelaku Usaha
Variabel Penyusun a.Keberadaan forum komunikasi pemda dengan pelaku usaha b.Tingkat pemecahan permasalahan dunia usaha oleh pemda c.Tingkat dukungan pemda terhadap pelaku usaha daerah d.Tingkat kebijakan pemda yang berorientasi untuk mendorong iklim investasi e.Tingkat kebijakan non-diskriminatif pemda f.Pengaruh kebijakan pemda terhadap pengeluaran dunia usaha g.Tingkat kepastian hukum pemda terkait dunia usaha h.Tingkat hambatan interaksi pemda dengan pelaku usaha
7. Program Pengembangan Usaha Swasta (PPUS) Program yang dilakukan Pemda dapat menjadi cara yang efektif dalam meningkatkan kemampuan manajemen dan keterampilan tenaga kerja, serta dapat menghubungkan pelaku usaha dengan pasar di luar daerah. Inisiatif Pemda dalam memfasilitasi pelaku usaha melalui program pengembangan usaha swasta akan mendorong peningkatan realisasi investasi di daerah tersebut.
25
Indikator Program Pengembangan Usaha Swasta
Variabel Penyusun a.Tingkat pengetahuan akan keberadaan PPUS b.Tingkat partisipasi dalam PPUS c.Tingkat manfaat PPUS terhadap pelaku usaha d. Dampak PPUS terhadap kinerja perusahaan
8. Keamanan dan penyelesaian konflik Akan sangat sulit bagi pelaku usaha untuk bertahan jika sering terjadi gangguan keamanan. Akan tetapi, bila pemerintah daerah dapat menciptakan mekanisme penyelesaian konflik atau perselisihan bisnis yang baik dengan meningkatkan koordinasi dengan polisi dan aparat lainnya, hal ini akan dapat meningkatkan kepercayaan para pelaku usaha dan menstimulasi realisasi investasi di daerah tersebut.
Indikator Keamanan Penyelesaian Sengketa
Variabel Penyusun a.Tingkat kejadian pencurian di tempat usaha b.Kualitas penanganan masalah kriminal oleh polisi c.Kualitas penanganan masalah demonstrasi buruh oleh polisi d.Tingkat hambatan keamanan dan penyelesaian masalah terhadap kinerja perusahaan
9. Kualitas Perda Peraturan daerah merupakan refleksi kerangka kebijakan pemerintah daerah dalam mengembangkan perekonomian daerahnya. Peraturan yang rumit dan membingungkan dapat menjadi kendala bagi pelaku usaha di daerah, karena dapat mengakibatkan ketidakpastian dan mempersempit perdagangan serta akses pasar (KPPOD,2011) . Penelitian Luebke (2009) menunjukkan pengaruh signifikan peran kepala daerah terhadap kualitas Perda dan tidak adanya pengaruh pelaku/asosiasi usaha terhadap kualitas perda.
26
Indikator Kualitas Perda
Variabel Penyusun Aspek yuridis
Sub Variabel
(bobot 15%) Aspek substansi (bobot 35%)
Aspek prinsip (bobot 50%)
(i) relevansi acuan yuridis (ii) penggunaan acuan yuridis yang terbaru (up-to date) (iii) kelengkapan yuridis (i) diskoneksi tujuan dan isi (ii) kejelasan obyek (iii) kejelasan subyek; (iv) kejelasan hak dan kewajiban wajib pungut atau Pemda (v) kejelasan standar waktu, biaya dan prosedur, atau struktur dan standar tarif (vi) kesesuaian filosofi dan prinsip pungutan (i) keutuhan wilayah ekonomi nasional dan prinsip perdagangan domestik yang bebas (free internal trade) (ii) persaingan sehat (iii) dampak ekonomi negatif (iv) akses masyarakat dan kepentingan umum.
Sembilan indikator tata kelola ekonomi daerah ini memiliki
tiga
karakteristik. Yang pertama, merupakan indikator yang terkait dengan kebijakan daerah dan kelembagaan untuk implementasinya. Jadi faktor anugerah (endowment) tidak termasuk dalam kriteria ini. Karakteristik kedua, indikatorindikator
ini
merupakan
kewenangan
Pemda
kabupaten/kota.Sedangkan
karakteristik ketiga adalah indikator yang sifatnya operasional/praktis yang langsung berkaitan dengan aktivitas suatu usaha. Tujuan survei Tata kelola Ekonomi Daerah ini adalah reformasi dan perbaikan kinerja atas berbagai aspek tata kelola ekonomi daerah, dan menciptakan iklim investasi antar kabupaten/kota yang sehat.Manfaat yang dapat dipetik untuk Pemerintah Daerah adalah sebagai alat pemantauan kinerja kabupaten/kota, dan juga berguna dalam menentukan prioritas fasilitas dan dukungan bagi kabupaten/kota dalam memperbaiki kinerjanya.
27
2.6.Penelitian Empiris 2.6.1. Keterkaitan Tata Kelola Pemerintahan dengan Pertumbuhan Ekonomi Relatif belum banyak studi yang mengkaji peranan tata kelola pemerintahan daerah terhadap kinerja investasi atau terhadap pembangunan ekonomi daerah (misalnya pertumbuhan ekonomi).Meskipun demikian, secara kualitatif banyak pihak setuju bahwa tata kelola pemerintahan daerah yang baik akan berkontribusi positif terhadap aktivitas investasi secara tidak langsung mempengaruhi output daerah tersebut. Pertambahan output dalam jangka panjang inilah yang disebut pertumbuhan ekonomi. Istiandari (2009) mengkaji hubungan tata kelola ekonomi daerah, yang merupakan hasil survei KPPOD, terhadap kesejahteraan masyarakat di Indonesia.Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa selain tata kelola ekonomi daerah, indeks pembangunan manusia dan pendapatan asli daerah (PAD) sangat signifikan dalam mendorong laju PDRB. McCulloch dan Malesky (2010) melakukan penelitian yang mengkaji hubungan antara tata kelola pemerintahan daerah (hasil survei KPPOD) ini dengan pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Hasilnya cukup mengejutkan karena secara agregat ditemukan bukti yang relatif kecil mengenai hubungan kualitas tata kelola pemerintah daerah dengan pertumbuhan ekonomi. Dengan kata lain kinerja perekonomian tetap berjalan baik walaupun tata kelola pemerintahannya buruk atau sebaliknya. Tata kelola pemerintahan daerah bisa saja dapat meningkatkan investasi di daerah tersebut, namun untuk dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi, harus ditunjang oleh unsur PDRB lainnya yaitu konsumsi dan pengeluaran pemerintah. Satu hal lagi yang juga penting, sebaik apapun tata kelola ekonomi yang akan meningkatkan investasi swasta di daerah, bila tanpa dukungan adanya sumber daya ekonomi yang cukup, hanya akan berdampak kecil pada pertumbuhan ekonomi daerah.
28
2.6.2.Keterkaitan Tata Kelola Pemerintahan dengan Investasi Beberapa penelitian yang mengkaji keterkaitan tata kelola pemerintah pusat/daerah dengan investasi, diantaranya adalah: No 1.
2.
Nama Peneliti Aysan, Varoudakis (2007)
Judul Penelitian
How Do Political and Govenance Institutions Affects Private Investment Decisions? An Application To the Middle East and Northern Africa Alam et al. The Impact of Poor (2005) Governance To Foreign Direct Investment : The Bangladesh Experience
Metode Penelitian
Hasil Penelitian
Panel data dari 32 negara berkembang antara 1980-1990 menggunakan 3SLS (Three Stage Least Square)
Institusi pemerintah dan politik berpengaruh signifikan terhadap investasi swasta.
Metode kualitatif, diawali dengan survei dan wawancara terhadap foreign investor, local business dan peneliti.
Bangladesh tidak terlalu berhasil menciptakan iklim investasi yang kondusif karena korupsi, unjuk rasa, birokrasi yang berbelit.
3.
MacKinnon, Phelps (2001)
Regional Governance Deskriptif kualitatif and Foreign Direct Investment: the Dynamics of Institutional Change in Wales and North East England
4.
Morissey, Udomkerdmo ngkol (2010)
Governance, Private Investment and Foreign Direct Investment in Developing Countries
Kapasitas pemerintah daerah untuk memfasilitasi penananaman modal terbatas karena tidak adanya peraturan atau kebijakan yang mengatur aliran FDI secara lokal maupun nasional
Panel data dinamis Aspek penting tata 46 negara tahun kelola untuk 1996-2009. (FD menumbuhkan FDI GMM) dan investasi swasta domestik adalah stabilitas politik, di mana kenaikan FDI punya efek yang paling besar dalam mengurangi investasi swasta domestik
29
dalam rezim politik yang stabil 5.
Januar (2009)
Keterkaitan antara Cross section Tahun Iklim Investasi 2007, metode OLS Berdasarkan Persepsi Pelaku Usaha dan Realisasi Investasi: Kasus Provinsi Jawa Barat
6.
Mukherjee et Governance and al. (2011). Foreign Direct Investment: Is There a Two Way Relationship?
Indeks tata kelola ekonomi daerah yang cukup kondusif (di atas 50) belum mampu mendorong realisasi investasi di Provinsi Jawa Barat
Eksploratif, model Investasi yang tinggi game theory dengan dalam tata kelola pendekatan pemerintahan akan international menarik masuknya oligopoly. Penanaman Modal Asing
2.6.3. Keterkaitan PMA dengan PMDN Keberadaan PMA di suatu negara dapat memberikan pengaruh yang berbeda terhadap eksistensi PMDN. Menurut penelitian Misun dan Tomsik (2002) di Polandia, keberadaan PMA justru mengurangi porsi PMDN pada era 90-an. Di beberapa negara seperti Hongaria di era 90-an ( Misun dan Tomsik , 2002) dan Korea Selatan (Kim dan Seo, 2003) di tahun 1985-1999 justru ditemukan buktibukti bahwa PMA mampu mendorong dan menstimulasi berkembangnya PMDN. Akan tetapi ternyata penelitian Agosin dan Machado (2005) tidak menemukan efek yang signifikan dari PMA terhadap PMDN di Afrika, Asia dan Amerika Latin di tahun 1971-2000.Dari beberapa penelitian ini terlihat bahwa efek PMA terhadap PMDN sangat bervariasi di negara yang berbeda. Hubungan PMA dan PMDN sebenarnya bisa menjadi hubungan komplementer, saat investasi itu dilakukan pada sektor ekonomi yang belum berkembang, karena belum adanya faktor teknologi dari pasar luar negeri. Di lain pihak, PMA dapat mengurangi porsi PMDN ketika PMA itu masuk ke industri yang sudah dikuasai terlebih dahulu oleh PMDN (Agosin dan Machado, 2005). PMA yang sudah lebih maju dalam hal teknologi cenderung
menggantikan
30
PMDN, menyebabkan kebangkrutan PMDN dan menimbulkan keenggganan perusahaan domestik untuk berinvestasi.
2.6.4. Keterkaitan Investasi Pemerintah dengan PMDN Hubungan antara investasi pemerintah dan investasi swasta berupa PMDN pun berlaku seperti halnya hubungan PMA dengan PMDN.Keberadaan investasi pemerintah dapat menjadi komplementer saat investasi pemerintah sangat mendukung pengembangan investasi swasta (Atukeren, 2005). Sebagai contoh, berbagai proyek pemerintah berupa infrastruktur yang memang sunk costnya tinggi dan butuh waktu lama untuk menghasilkan profit,akan menjadi komplementer bagi investasi swasta. Infrastruktur yang berkualitas, dalam jangka pendek dan jangka panjang, akan meningkatkan produktivitas sektor swasta, karena akan mengurangi transaction cost menurut penelitian Aschauer (1989) diacudalam Monadjemi dan Huh (1998) . Begitu pula fasilitas pendidikan dan pendidikan yang baik, akan meningkatkan kualitas human capital.Dengan kata lain, investasi pemerintah berfungsi sebagai counter cyclicaleconomic policy yang diukur untuk memperlancar siklus bisnis dan merevitalisasi aktivitas sektor swasta, dalam jangka pendek. Namun jika investasi pemerintah itu berupa investasi dalam pangan dan kesehatan, akan dapat mensubstitusi investasi swasta. Sifat subsitusi(crowding out) pun berlaku dalam hubungan antara investasi pemerintah dengan investasi swasta.Penelitian Coutinho dan Gallo (1996) membuktikan bahwa jika investasi pemerintah menggunakan sumber daya yang terbatas dan langka, akan menyebabkan outputnya berkompetisi dengan barang privat,hal ini akan menurunkan investasi swasta. Penurunan investasi swasta seiring kenaikan investasi pemerintah pun dapat terjadi bila investasi pemerintah dibiayai dari pinjaman yang akan berdampak pada krisis hutang negara bila berlangsung terus menerus.Investasi pemerintah yang dibiayai dari pinjamanakan menaikkan interest rate dan akan menyebabkan crowding out sektor swasta dari pasar uang. Karras (1994) berusaha lebih jauh melihat efek dari investasi pemerintah terhadap investasi swasta, yang sebenarnya lebih tergantung pada seberapa besar
31
ukuran pemerintahnya.Semakin besar ukuran pemerintahnya, diduga hubungan investasi pemerintah dan investasi swasta lebih kearah substitutif daripada komplementer.
Penyediaan barang publik yang lebih banyak , di luar
infrastruktur sebagai unsur utama, menunjukkan perekonomian yang maju dan dewasa, sehingga investasi pemerintah cenderung mensubstitusi investasi swasta. Hubungan investasi pemerintah dan swasta pun pada dasarnya dapat berupa
causal
relationship.
Penelitian
Coutinho
dan
Gallo
(1996)
mengkategorikan Indonesia di tahun 1970-1988 sebagai negara yang investasi swastanya berpengaruh pada investasi pemerintah, dan berlangsung satu arah.
2.6.5. Keterkaitan Investasi Pemerintah dengan PMA Belanja modal di bidang infrastruktur
berpengaruh positif terhadap
penanaman modal asing di Pakistan (Rehman et al, 2011) baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang, dengan pendekatan kointegrasi ARDL (Auto Regression Distributed Lag).Begitu pula yang terjadi di India, berdasarkan penelitian Pradhan et al (1990) investasi pemerintah bersifat sebagai komplemen terhadap investasi swasta PMA.
2.6.6. Keterkaitan Pertumbuhan Ekonomi dengan PMDN Easterly dan Levine (2001) berargumen bahwa hubungan positif antara investasi dan pertumbuhan ekonomi dapat terjadi dari hubungan timbal balik yang terbalik.
Hasil
penelitian
tersebut
membuktikan
bahwa
kecenderungan
pertumbuhan ekonomilah yang menyebabkan akumulasi kapital.
2.6.7. Keterkaitan Pertumbuhan Ekonomi dengan PMA Penelitian Moudatsou &Kyrkilis (2008) yang dilakukan di Negara-negara Eropa dan ASEAN menunjukkan causal relationship antara pertumbuhan ekonomi dan PMA terutama di Indonesia dan Thailand.Kajian lebih dalam di Pakistan dilakukan oleh Ghazali (2010), dimana terdapat korelasi positif yang kuat antara pertumbuhan ekonomi dengan PMA. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi akan memstimulasi PMA, dan sebaliknya.
32
2.7. Kerangka Pemikiran Berdasarkan uraian di atas, secara sederhana penelitian ini bertujuan untuk melihat dampak tata kelola pemerintahan daerah terhadap realisasi investasi di provinsi Jawa Timur, yang pada akhirnya diharapkan dapat berpengaruh signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi Jawa Timur.Deskripsi kerangka pemikiran dapat dilihat pada Gambar 6. Investasi pada dasarnya merupakan unsur atau kunci utama pertumbuhan ekonomi suatu negara pada umumnya dan daerah pada khususnya.Untuk menstimulasi investasi di daerah diperlukan suatu iklim investasi yang kondusif bagi para pelaku usaha dan penanam modal. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi investasi swasta di suatu daerah, yaitu tata kelola pemerintahan daerah dan faktor-faktor lainnya seperti investasi pemerintah, penanaman modal asing dan pertumbuhan ekonomi. Salah satu faktor lainnya yang juga memegang peranan penting adalah tata kelola pemerintah pusat, yang dalam kajian ini tidak diteliti. Keterkaitan antara semua faktor tata kelola ekonomi daerah terhadap realisasi investasi PMDN merupakan fokus kajian ini. Namun untuk
dapat
mengetahui keterkaitan antara realisasi investasi dan faktor-faktor penentu investasi lainnya selain tata kelola, dilakukan pula analisis dalam sebuah model determinan investasi swasta di Jawa Timur. Dari hasil analisis yang akan dilakukan, akan dapat teridentifikasi unsurunsur tata kelola ekonomi daerah mana saja yang berpengaruh positif dan negatif terhadap investasi baik PMA maupun PMDN. Secara umum, dapat ditarik kesimpulan mengenai apakah tata kelola pemerintah daerah sudah mendorong pelaku usaha untuk berinvestasi di Jawa Timur atau belum.Dengan demikian dapat dirumuskan rekomendasi implikasi kebijakan untuk meningkatkan atau mengatasi masalah keterkaitan tata kelola pemerintahan daerah dengan investasi.
33
Investasi : kunci utama pertumbuhan ekonomi negara/daerah
Stimulasi investasi : iklim investasi
Faktor-Faktor yang mempengaruhi Investasi swasta di suatu daerah
Tata kelola Pemerintah Daerah Sub Indikator Tata Kelola Ekonomi Daerah oleh KPPOD 1. Akses lahan 2. Infrastruktur 3. Perizinan Usaha 4. Kualitas Peraturan di daerah 5. Biaya Transaksi 6. Kapasitas dan integritas bupati/walikota 7. Interaksi Pemda dengan Pelaku Usaha 8. Program Pengembangan Usaha Swasta (PPUS) 9. Keamanan dan Penyelesaian Konflik
Faktor lainnya: -investasi pemerintah - Realisasi PMA / PMDN -pertumbuhan ekonomi
Tata Kelola Pemerintahan Pusat
INVESTASI PMDN /PMA 10.
Tata kelola pemerintah daerah sudah mendorong pelaku usaha untuk berinvestasi?
Belum
Gambar 6 Kerangka Pemikiran Penelitian
: variabel yang diteliti :variabel yang tidak diteliti
Sudah
Implikasi kebijakan pemerintah daerah
34
2.8.Hipotesis Adapun hipotesis dari penelitian ini adalah: 1. Terdapat perbedaan yang nyata antara sub indikator dan variabel penyusun sub indeks antara hasil survei TKED 2007 dan 2010. 2. Variabel-variabel penyusun sub indikator TKED berhubungan positif terhadap realisasi investasi baik PMA maupun PMDN. 3.
Untuk model PMDN, diduga: a.
Realisasi PMA
berpengaruh positif terhadap realisasi PMDN
di
provinsi Jawa Timur. b. Pertumbuhan ekonomi berpengaruh positif terhadap terhadap realisasi PMDN di provinsi Jawa Timur. c. Investasi pemerintah berpengaruh positif terhadap realisasiPMDN di provinsi Jawa Timur. d. Variabel-variabel penyusun sub indikator tata kelola pemerintah daerah berpengaruh positif terhadap realisasi PMDN di provinsi Jawa Timur. Adapun variabel tata kelola pemerintahan yang berpengaruh terhadap PMDN dan PMA berbeda, karena perbedaan karakteristik PMA dan PMDN itu sendiri. Untuk Model PMA, diduga: a. Realisasi PMDN berpengaruh positif terhadap realisasi PMA
di
provinsi Jawa Timur. b. Pertumbuhan ekonomi berpengaruh positif terhadap terhadap realisasi PMA di provinsi Jawa Timur. c. Investasi pemerintah berpengaruh positif terhadap realisasi PMA di provinsi Jawa Timur. d. Variabel-variabel penyusun sub indikator tata kelola pemerintah daerah berpengaruh positif terhadap realisasi PMA di provinsi Jawa Timur. Adapun variabel tata kelola pemerintahan yang berpengaruh terhadap PMA dan PMDN berbeda, karena perbedaan karakteristik PMA dan PMDN itu sendiri.