15
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
Otonomi Daerah Istilah otonomi berasal dari bahasa Yunani yaitu autos = sendiri, dan
nomos = Undang-Undang. Dengan demikian otonomi berarti perundangan sendiri (Izelf Wetgeving). Beberapa ahli telah mencoba memberikan pengertian tentang otonomi, salah satunya adalah, Manan (1994) dalam Agusniar (2006) dan Malia (2009), mendefinisikan otonomi sebagai kemandirian untuk mengatur dan mengurus urusan rumah tangganya sendiri, sehingga otonomi daerah adalah keleluasaan dalam bentuk hak dan kewenangan serta tanggungjawab badan pemerintah untuk mengatur dan mengurus rumah tangga daerahnya sebagai manifestasi desentralisasi. Pemberian otonomi kepada daerah menurut Riyadi dan Bratakusumah (2003), merupakan upaya pemberdayaan dalam rangka mengelolah pembangunan di daerahnya. Kreativitas, inovasi dan kemandirian diharapkan akan dimiliki oleh setiap daerah, sehingga dapat mengurangi tingkat ketergantungannya pada pemerintah pusat. Hal penting lain adalah dengan adanya otonomi daerah, kualitas pelayanan yang dilakukan oleh pemerintah kepada masyarakatnya akan meningkat. Lebih lanjut, dijelaskan bahwa implementasi otonomi daerah harus lebih berorientasi pada upaya pemberdayaan daerah dalam konteks kewilayahan (territorial), struktur tata pemerintahan melalui pemberdayaan pemerintah daerah dalam mengelolah sumber-sumber daya yang dimiliki dengan tetap berpegang pada prinsip-prinsip kesatuan bangsa dan negara. Sedangkan dalam konteks kemasyarakatan, pemberdayaan yang diupayakan harus lebih berorientasi pemberdayaan masyarakat di masing-masing daerah, sehingga lebih berpartisipasi dalam pembangunan (Malia, 2009). Otonomi daerah di Indonesia bukan merupakan suatu konsep baru, karena sejak republik ini didirikan, otonomi daerah sudah menjadi bahan pemikiran para The Founding Fathers kita. Hal ini terbukti dengan dituangkannya masalah otonomi daerah dalam UUD 1945, yang ditindaklanjuti dengan berbagai undang-
16
undang sejak tahun 1958 hingga tahun 1999 dengan Undang-Undang No. 22 Tentang Otonomi Daerah yang direvisi menjadi Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah. Namun dalam implementasinya selama ini kita tidak pernah mampu melaksanakan otonomi daerah secara nyata (Riyadi dan Bratakusuma, 2003). Lebih lanjut, dijelaskan bahwa ada beberapa permasalahan yang perlu dipahami dalam penerapan otonomi daerah, yaitu : 1. Harus memahami bahwa otonomi daerah adalah suatu sistem pemerintahan dalam sistem ketatanegaraan secara utuh. Ini berarti bahwa otonomi adalah sub-sistem dalam sistem ketatanegaraan dan merupakan sistem yang utuh dalam pemerintahan. Artinya, seluas apapun otonomi daerah diterapkan tidak akan pernah lepas dari kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia 2. Perlu dipahami bahwa untuk dapat melaksanakan otonomi daerah secara baik dan benar diperlukan adanya political will (kemauan politik) dari semua pihak, baik pemerintah pusat, masyarakat maupun pemerintah daerah. Kemauan politik ini sangat penting, karena diyakini dapat mempersatukan berbagai kepentingan yang berbeda kedalam suatu wadah pemahaman yang berorientasi pada satu tujuan. Dengan kemauan politik ini pula diharapkan pemikiran-pemikiran parsial, primordial dan rasial (Etnosentris) dan separatisme dapat terbendung, bahkan dapat diakomodasi secara optimal menjadi suatu kekuatan yang besar bagi proses pembangunan. 3. Perlu adanya komitmen bersama untuk melaksanakan otonomi daerah sesuai dengan aturan yang berlaku guna mencapai tujuan yang diharapkan. Selanjutnya, sebagaimana diketahui bahwa terjadinya negara kesatuan yang sentralistik ternyata banyak menimbulkan dampak-dampak negatif yang tidak
mengarah
kepada
peningkatan
kesejahteraan
masyarakat
secara
berkelanjutan. Sentralisasi kekuasaan tidak memberikan insentif kepada daerahdaerah untuk meningkatkan produktivitasnya, maupun dalam memelihara sumberdaya dasar wilayah kearah berkelanjutan. Oleh karena itu, dengan adanya wacana desentralisasi, dimana kekuasaan pusat yang dilimpahkan kepada daerahdaerah otonom diharapkan akan memperbaiki kinerja ekonomi secara lebih produktif dan berkelanjutan di masa depan (Anwar, 2000).
17
Keluarnya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Otonomi Daerah, yang kemudian direvisi menjadi Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, telah membawa semangat baru bagi daerah-daerah untuk melakukan perubahan dan meningkatkan pelayanan publik secara lebih baik. Namun banyak kasus menunjukkan bahwa berbagai harapan ini tidak berjalan secara mulus, atau dengan lain perkataan bahwa pemekaran wilayah yang menjadi tuntutan masyarakat lokal, hasilnya hanya dinikmati oleh segelintir orang (baca: elite lokal). Agusniar (2006), mengatakan bahwa distribusi dampak pemekaran wilayah (manfaat) berdasarkan persepsi stakeholders menunjukkan masih adanya ketidakmerataan. Lebih lanjut dikatakan, bahwa pihak pemerintah daerah dan pengusaha besar yang dinilai sebagai penerima manfaat terbesar dari adanya pemekaran,
sementara
pengusaha
kecil/menengah,
masyarakat
asli
dan
transmigran dinilai sebagai pihak yang relatif kecil menerima manfaat dari pemekaran wilayah. Kondisi ini mengharuskan bahwa, hendaknya pemekaran wilayah dimasukkan indikator ketersediaan sumberdaya manusia agar pemekaran wilayah dapat dikelolah oleh orang-orang yang ahli dibidangnya. Sementara, Juanda (2008) menjelaskan bahwa pemekaran wilayah juga akan berdampak pada pengurangan secara nominal (riil) porsi DAU daerah. Hal ini akan membebani APBN jika masih diberlakukan kebijakan hold harmlees atau dana penyeimbang atau penyesuaian. Selain itu, pemekaran juga akan berdampak terhadap keuangan negara. Diantaranya Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK) bidang prasarana pemerintahan serta pembangunan instansi vertikal. Tetapi jika pemekaran daerah atau wilayah dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat maka akan mendorong peningkatan APBN. Hal lainnya pemekaran wilayah juga membawa benefit bagi daerah, diantaranya : a) mendekatkan pelayanan kepada masyarakat dan memberikan kewenangan lebih kepada masyarakat lokal untuk mengelolah potensi sumberdaya wilayah secara arif, b) partisipasi dan rasa memiliki dari masyarakat meningkat, c) efisiensi, produktivitas serta pemeliharaan kelestariaannya, d) akumulasi dari nilai tambah secara lokal dan kesejahteraan masyarakat dapat meningkat, e) prinsip keadilan
18
dalam kesejahteraan dan kesejahteraan yang berkeadilan lebih tercipta, sehingga ketahanan nasional semakin kuat. Lebih lanjut, Juanda (2008) mengatakan bahwa otonomi daerah memberikan peluang untuk terjadinya pembentukan daerah otonom baru. Tujuan dari pembentukan daerah otonom baru atau pemekaran adalah untuk mensejahterakan
rakyat
melalui
peningkatan
efisiensi
dan
efektifitas
penyelenggaraan pemerintahan dan peningkatan pelayanan kepada masyarakat. Namun pemekaran juga seringkali menimbulkan masalah, terutama kurang memperhatikan faktor ekonomi dan keuangan sehingga dapat menyebabkan kontra-produktif terhadap otonomi daerah. Hal lain yang mendorong terjadinya kontra-produktif atas gagasan pemekaran wilayah adalah dikarenakan proses pemekaran (dominan via DPRD langsung), indikator kinerja pembangunan daerah (faktor ekonomi dan keuangan) terlebih faktor sosial (aspirasi masyarakat) belum signifikan dipertimbangkan, sehingga menjadi wajar jika kinerja daerah hasil pemekaran kurang baik, bahkan terkadang menimbulkan permasalahan konflik sosial. Menurut Sayori (2009) seyogyanya pemekaran wilayah yang akan dilaksanakan diberbagai daerah di Indonesia tidak sekedar bertujuan untuk memperoleh dana DAU dan DAK yang lebih besar dari pemerintah pusat, tetapi harus dapat memanfaatkan potensi sumberdaya alam yang dimilikinya, sehingga dana dari pendapatan asli daerah merupakan penerimaan terbesar untuk dapat menggerakkan pertumbuhan daerah yang akan dimekarkan. Rasyid (1996) dalam Agusniar (2006) menjelaskan bahwa jika pembangunan atau pemekaran wilayah pemerintahan akan dilakukan, maka kebijakan itu harus memberi jaminan bahwa aparatur pemerintahan yang ada memiliki kemampuan
yang
cukup
untuk
memaksimalkan
fungsi-fungsi
pemerintahan. Asumsi yang menyertainya adalah bahwa pemekaran wilayah pemerintahan yang memperluas jangkauan pelayanan tersebut akan menciptakan dorongan-dorongan baru dalam masyarakat bagi lahirnya prakarsa yang mandiri menuju kemandirian bersama.
19
Lebih lanjut dijelaskan oleh Rasyid (1996) bahwa terdapat tiga pola dalam pembentukan wilayah pemerintahan di daerah selama ini, yaitu : 1.
Pembentukan wilayah-wilayah pemerintahan sekaligus menjadi daerah otonom (Provinsi, Kabupaten/Kota) dengan persyaratan yang cukup objektif seperti jumlah penduduk dan potensi ekonomi (terutama terlihat seperti di Jawa dan Sumatera).
2.
Pembentukan wilayah-wilayah administratif dan daerah otonom berdasarkan pertimbangan politis dengan jumlah penduduk relatif kecil tapi memiliki potensi ekonomi yang besar (seperti terlihat di Papua) serta potensi ekonomi dan penduduk yang sedikit tetapi secara historis dipandang khas (salah satu contohnya adalah Maluku Utara).
3.
Pembentukan wilayah admistrasi pemerintah tanpa disertai pembentukan daerah otonom seperti lazim terjadi untuk pembentukan wilayah. Sementara menurut Dharmawan (2008) dalam perspektif ketata-negaraan,
kebijakan Otonomi Daerah (OTDA), pada taraf tertentu juga ikut memberikan kontribusi dalam memperburuk konflik sosial. Peristiwa konflik sosial yang berlangsung di Indonesia selama 10 tahun terakhir menunjukkan adanya titik berat yang nyata pada basis materialism, yakni konflik sosial yang digerakkan oleh gerakan sosial klasik yang sepenuhnya berorientasikan pada gugatan rasa keadilan materiil. Secara konkrit, konflik sosial yang mewujud dalam bentuk tuntutan pemenuhan kebutuhan demi
menjaga kelangsungan kehidupan
masyarakat. Dalam evaluasi Depdagri (Departemen Dalam Negeri RI) tahun 2005 di 2 Provinsi, 40 Kabupaten dan 15 Kota baru dalam Juanda (2008), dijelaskan bahwa terdapat 87,71% daerah induk belum menyelesaikan penyerahan pembiayaan, personil, peralatan dan dokumen (P3D) kepada daerah otonom baru. Selain itu, 79% daerah otonom baru belum memiliki batas wilayah yang jelas dan terdapat 91,23% daerah otonom baru yang belum memiliki atau mempunyai Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW). Dengan kondisi ini (Tuerah, 2006), menjelaskan bahwa perlu dilakukan evaluasi kabupaten/kota baru, serta daerah induk dalam waktu 5 (lima) tahun, jika ditemukan daerah-daerah pemekaran yang tidak dapat
20
menunjukkan perbaikan dalam pelayanan publik dan ekonomi daerah, perlu dipertimbangkan diberi insentif untuk penggabungan. Pernyataan tersebut di dukung oleh fakta sebagian besar daerah pemekaran justru membebani keuangan negara. Hasil evaluasi juga menunjukkan lebih dari 80% daerah pemekaran belum dapat memperlihatkan peningkatan pembangunan daerah setempat sehingga disimpulkan bahwa pelaksanaan pemekaran daerah belum mencapai tujuan otonomi daerah. Di samping belum dapat meningkatkan kesejahteraan penduduk daerah setempat, di sisi lain pemekaran daerah justru menimbulkan konflik keruangan seperti yang terjadi di Kabupaten Mamasa Provinsi Sulawesi Barat, perebutan Pulau Berhala antara Provinsi Riau Kepulauan dan Provinsi Jambi, perebutan salah satu pulau di kepulauan seribu antara Provinsi DKI Jakarta dan Provinsi Banten (Harmantyo,2007). Sementara Farida (2010) mengemukakan bahwa salah satu yang melatarbelakangi suatu daerah di mekarkan adalah adanya bentukan atau rekayasa dari sekelompok elite untuk mencapai tujuan tertentu. Berdasarkan alasan tersebut, pemekaran bisa saja bukan merupakan keinginan dari masyarakat, bahkan bisa dikatakan belum dibutuhkan oleh daerah yang bersangkutan. Tetapi keinginan untuk memekarkan wilayah, lebih karena keinginan dari kelompokkelompok tertentu untuk tujuan kelompok. Lebih lanjut Farida (2010) mengatakan bahwa didalam alasan rekayasa tersebut, tidak hanya satu elite yang muncul, ada yang bertentangan atau pun saling mendukung. Setiap elite yang ikut merekayasa suatu pemekaran, pada akhirnya akan mencapai suatu kesepakatan sehingga masing-masing elite mendapatkan tujuannya masing-masing. Terutama sekali adalah mereka yang memiliki kekuasaan dan kekuatan yang lebih. Pemerintah merupakan salah satu elite yang mempunyai kemampuan untuk merekayasa suatu pemekaran. Pemerintah yang dimaksudkan disini, tidak hanya pemerintah didalam artian organisasi, tetapi juga pemerintah dari sudut pandang masing-masing individu. Walaupun terdapat elite-elite lain yang ikut berperan, namun sebagian besar mereka adalah elite yang pro dengan pemerintah, atau dapat dikatakan elite yang mendapat dukungan dari pemerintah. Mereka adalah para tokoh masyarakat
21
dan adat yang sebelumnya merupakan mantan pejabat di daerah ataupun mantan pegawai negeri sipil. Sehingga apa yang menjadi kepentingan mereka tidak bertentangan dengan kepentingan pemerintah. Selain itu, karena alasan tidak ingin membuang kesempatan yang telah diberikan oleh pemerintah pusat, maka banyak hal kemudian direkayasa untuk melakukan pemekaran wilayah. Diantaranya rekayasa perkantoran pemerintahan, jumlah penduduk dan penentuan lokasi pemerintahan dan ibukota yang tergesa-gesa pada akhirnya menjadi permasalahan pasca pemekaran (Farida, 2010). Berbagai persoalan tersebut merupakan sebagian permasalahan yang menyangkut pelaksanaan prinsip desentralisasi/otonomi dan pemekaran daerah. Sebagaimana diketahui mengiringi dinamika politik yang berkembang sejak awal era reformasi khususnya berkaitan dengan diberlakukannya UU Nomor 22 Tahun 1999 bermunculan keinginan berbagai daerah untuk memekarkan diri membentuk daerah otonom baru. Untuk itu pemerintah menerbitkan PP Nomor 129 Tahun 2000 tentang Pemekaran Daerah yang mengatur antara lain tentang instrumen prosedural dan instrument persyaratan pemekaran daerah (Harmantyo, 2007)
2.2.
Konflik Yang Berkaitan Dengan Pemekaran Wilayah Pemekaran daerah tidak dapat dilepaskan dari persoalan menarik garis
batas wilayah. Penetapan garis batas antar dua daerah otonom memerlukan pertimbangan berbagai aspek agar tujuan desentralisasi dan otonomi daerah dapat tercapai. Salah satu aspek adalah konflik keruangan. Dalam tataran negara, batas wilayah teritorial negara mencerminkan wilayah kedaulatan dan hak berdaulat di atasnya (sovereignty right). Dengan mengacu prinsip tersebut maka garis batas wilayah menjadi faktor penting dalam pemekaran daerah. Garis batas menunjukkan kedaulatan dan hak berdaulat dalam lingkup tugas dan kewajiban yang diatur dalam undang undang (Harmantyo, 2007) Berdasarkan hasil evaluasi Depdagri (Departemen Dalam Negeri RI) ditemukan 79% daerah pemekaran belum memiliki batas wilayah yang jelas. Hal ini berarti bahwa potensi konflik keruangan akibat garis batas wilayah yang belum jelas antar daerah otonom di Indonesia relatif tinggi. Daerah daerah otonom
22
tersebut sebagian besar tersebar pada provinsi-provinsi yang memiliki wilayah paling luas dengan kepadatan penduduk rendah seperti di sumatra, kalimantan, sulawesi, maluku dan papua. Lain halnya dengan suatu daerah otonom baik provinsi atau kabupaten yang hanya memiliki batas laut dengan tetangganya, seperti Provinsi Bali, tentunya memiliki sumber potensi konflik keruangan relatif kecil sehingga secara relatif memiliki peluang keberhasilan lebih besar dalam pelaksanaan otonomi daerah karena intensitas interaksi keruangan relatif lebih terbatas dibanding interaksi yang melewati garis batas daratan (Harmantyo, 2007) Kondisi ini sangat tidak berbanding lurus bila dibandingkan dengan provinsi-provinsi lainnya, semisal Provinsi DKI Jakarta yang memiliki garis atas darat dengan Provinsi Banten dan Provinsi Jawa Barat, yang tentunya memiliki sumber konflik yang potensial terjadi dalam konteks pemekaran daerah, sehingga diperlukan strategi khusus untuk mencegah atau mengurangi intensitasnya (Harmantyo,2007) Harus jujur dikatakan bahwa daerah-daerah pemekaran yang ada saat ini mayoritas bermasalah. Bahkan persyaratan jumlah kecamatan pun dipermainkan oleh daerah-daerah tertentu. Banyak yang secara sengaja memecah-mecah kecamatan yang telah ada menjadi sejumlah kecamatan sekedar untuk memenuhi persyaratan tuntutan undang-undang. Lebih bermasalah, karena pemerintah pusat cenderung mendiamkan saja atau tidak mengambil tindakan atas manipulasi pemecahan wilayah kecamatan tersebut, sehingga terdapat beberapa daerah pemekaran yang kalau ditilik dari jumlah penduduk dan potensi PAD mereka sangat kecil, namun pada akhirnya diloloskan oleh DPR (Ratnawati, 2009). Kasus pemekaran daerah secara besar-besaran di era ‘reformasi’ saat ini menunjukkan bagaimana masa depan daerah dan masyarakatnya, bahkan masa depan negara dan bangsa Indonesia dipertaruhkan oleh para politisi yang mungkin sebagian kurang berwawasan kenegaraan dan tidak mempunyai kompetensi atau keahlian yang cukup untuk menentukan suatu daerah layak/tidak untuk dimekarkan.
Memang benar bahwa provinsi-provinsi pemekaran seperti
Gorontalo, Banten dan Maluku Utara bisa dikatakan ‘cukup sukses’ membawa misi pemekaran untuk peningkatan pelayanan publik, memperpendek rentang
23
kendali dan memperbaiki kesejahteraan rakyat. Memang benar juga bahwa sebagian kabupaten/kota pemekaran di kalimantan menuai hasil pemekaran. Namun jumlah daerah pemekaran yang relatif sukses tidak sebanding dengan sekitar 80% daerah pemekaran yang bermasalah karena dugaan kasus-kasus korupsi DAU, rekrutmen pegawai daerah pemekaran yang tidak fair (berbau kroniisme, kekeluargaan dan sukuisme (nepotisme),
serta
politik uang),
munculnya bisnis-bisnis dadakan pejabat daerah/politisi lokal atau keluarganya, konflik tapal batas wilayah (yang tidak jarang
tumpang tindih dengan
kepentingan elite politik tertentu), konflik asset daerah, konflik lokasi ibukota baru, konflik antar elit lokal , konflik horizontal turut mewarnai permasalahan pemekaran wilayah (Ratnawati, 2009). Sejalan dengan perjalanan waktu, kebijakan otonomi daerah yang lahir pasca reformasi mempertontonkan banyak persoalan, antara lain, seperti masalah koordinasi antar pemerintah daerah kota/kabupaten dengan pemerintah provinsi. Munculnya “raja-raja kecil” di daerah yang cenderung melakukan abuse of power yang mengabaikan nilai etik dalam berpolitik, meluasnya praktik KKN, transparansi dan akuntabilitas pemerintahan yang rendah, kenaikan pajak dan retribusi yang membebani masyarakat dan dunia usaha, serta meningkatnya berbagai bentuk konflik yang ada di daerah merupakan beberapa persoalan yang menjadi pembicaraan banyak pihak terkait pelaksanaan otonomi daerah. Permasalahan yang terjadi tidak lepas dari undang-undang tentang pemerintah daerah yang masih dalam proses transisi menuju konsepsi otonomi daerah secara ideal dan permanen. Kenyataan inilah yang pada akhirnya membuat permasalahan yang terjadi di daerah belum dapat dijawab dengan baik. Contoh kasus pemilihan kepala daerah (pilkada) yang diselenggarakan secara langsung, yang merupakan produk baru dari UU Nomor 32 tahun 2004, merupakan bentuk konkret dari desentralisasi politik. Spirit pilkada langsung sebagai bentuk upaya untuk menciptakan kepemimpinan lebih baik di daerah, lebih sering berubah menjadi ladang konflik politik baru dan bahkan juga menjurus menjadi konflik sosial. Fakta menunjukkan bahwa tidak banyak daerah yang mampu melaksanakan pilkada secara damai dan
24
bermartabat. Keinginan untuk menjalankan amanah tentang desentralisasi kekuasaan tersebut juga telah membawa pendekatan baru bernama pemekaran wilayah. Pemekaran wilayah merupakan salah satu ide cemerlang untuk mempercepat pertumbuhan daerah. Pemekaran juga dimaksudkan untuk memperkuat basis pelaksanaan tugas-tugas pemerintah di daerah. Namun kehendak ini belum terlihat secara konkrit dalam implementasi hakikat pemekaran wilayah yang sesungguhnya. Sebagaimana diketahui, bahwa otonomi daerah berkehendak untuk memberikan kewenangan pengelolaan pemerintahan kepada daerah, maka pemekaran wilayah memiliki maksud agar pusat kewenangan tersebut terletak di tempat yang tidak terlalu berada jauh dari keberadaan basis masyarakat. Sehingga pemekaran wilayah memiliki maksud agar perhatian pemerintah dapat dilakukan secara lebih efektif, efisien dan berkualitas. Satu hal yang menjadi konsekuensi dari pemekaran wilayah adalah pembagian kewenangan atas sumberdaya alam, sumberdaya manusia dan anggaran. Konsekuensi dari pemekaran tersebut seringkali membuat pelaksanaan pemekaran wilayah memiliki dampak ikutan berupa konflik kepentingan. Sangat mungkin terjadi pula bahwa pemekaran wilayah hanya ditujukan untuk kepentingan sekelompok elit di daerah, supaya memiliki kekuasaan yang tidak bisa didapatkan apabila daerah tersebut tidak dimekarkan. Menurut Nurbadri (2008), pemekaran wilayah dapat menyebabkan konflik batas wilayah dan konflik ini cenderung menimbulkan konflik horizontal antar warga, yang mengakibatkan tindakan anarkis dan destruktif, sehingga konflik batas wilayah antar daerah membawa efek yang negatif dalam perkembangan kehidupan berbangsa dan bernegara. Sebagai contoh kasus konflik batas wilayah antara Kabupaten Tebo dengan Kabupaten Bungo yang dipengaruhi oleh faktor hukum dan faktor non hukum. Terdapat dua faktor hukum, yaitu pertama subtansi hukum, yang disebabkan oleh proses pembentukan undang-undang yang terlalu tergesa-gesa, kaburnya pengaturan tentang batas wilayah, dan kedua kurangnya sosialisasi undang-undang pemekaran wilayah. Selanjutnya adalah struktur hukum
25
yang belum jelas karena perubahan undang-undang yang terlalu singkat. Faktor non hukum, yaitu sosial budaya, ekonomi, politik dan pendekatan pelayanan.
2.2.1. Konflik Horizontal dan Vertikal Ide dan gagasan pemekaran wilayah sebagaimana dijelaskan oleh banyak ahli, bahwa cenderung menimbulkan konflik horizontal dan vertikal. Hal ini dapat dilihat, pada beberapa daerah yang menjemput pemekaran wilayah dengan menguatnya gejolak sosial atau konflik horizontal. Salah satu yang dapat dijadikan contoh kasus adalah Provinsi Maluku Utara, yang ditetapkan sebagai Provinsi pada akhir tahun 1999, dan bersamaan dengan itu pula, dipenghujung tahun yang sama terjadi konflik sosial yang menelan banyak korban jiwa. Kejadian ini berawal dari konflik antar kelompok masyarakat yang disebabkan oleh berbagai faktor seperti ideologi politik, ekonomi dan faktor primordial (Husen dan Oesman, 2005) Selain konflik horizontal yang sering menghiasi ruang pemekaran wilayah, konflik yang tak kalah menarik dan cenderung menyertai ide atau gagasan pemekaran wilayah adalah konflik vertikal, konflik ini terjadi, baik antara pemerintah atau penguasa dengan warga masyarakat. Selain pemerintah dengan warga, juga yang sering terjadi adalah pemerintah dengan pemerintah atau bahkan pengusaha dengan masyarakat setempat (Husen dan Oesman, 2005) Berkaitan dengan konflik horizontal – vertikal tersebut, Dharmawan (2008) menjelaskan bahwa konflik sosial dapat berlangsung pada aras antar-ruang kekuasaan. Terdapat tiga ruang kekuasaan yang dikenal dalam sebuah sistem sosial kemasyarakatan, yaitu “ruang kekuasaan negara”, “masyarakat sipil atau kolektivitas sosial”, dan “sektor swasta”. Konflik sosial dapat berlangsung didalam setiap ruangan ataupun melibatkan agensi atau struktur antar-ruang kekuasaan. Lebih lanjut Dharmawan (2008), mengemukakan bahwa konflik sosial antar pemangku kekuasan dapat berlangsung dalam tiga bentuk, yaitu : 1. Warga masyarakat sipil atau kolektivitas sosial berhadap-hadapan melawan negara dan sebaliknya. Dalam hal konflik sosial dapat terjadi dalam bentuk protes warga masyarakat atas kebijakan publik yang diambil oleh
26
negara/pemerintah yang dianggap tidak adil dan merugikan masyarakat secara umum. 2.
Konflik sosial yang berlangsung antara warga masyarakat atau kolektivitas sosial melawan swasta dan sebaliknya. Contoh klasik dalam hal ini adalah kasus “Pencemaran Teluk Buyat” yang memperhadapkan masyarakat lokal dengan perusahaan swasta asing di sulawesi utara diawal dekade 2000an.
3.
Konflik sosial yang berlangsung antara swasta dan negara atau sebaliknya. Berbagai tindakan yang diambil oleh pemerintah/ negara dalam mengawal jalannya sebuah kebijakan, biasanya memakan biaya sosial berupa konflik tipe ini secara tidak terelakkan. Dinamika konflik sosial antar-ruang kekuasaan akan berlangsung makin
kompleks,
manakala
unsur-unsur
pembentuk
sebuah
kekuasaan
tidak
merepresentasikan struktur sosial dengan atribut atau identitas sosial yang homogen. Diruang kekuasaan Negara, termuat sejumlah konflik sosial internal baik yang bersifat latent maupun manifest. Dalam perspektif ini, contoh yang paling mudah terjadi adalah konflik sosial yang berlangsung dalam praktek manajemen
pemerintahan
akibat
olah-kewenangan
dalam
pengendalian
pembangunan yang berlangsung secara hierarkhikal antara pemerintah kabupaten, provinsi dan pusat. Konflik yang lebih banyak mengambil bentuk “ konflik kewenangan “ tersebut mengemuka sejak rezim pengaturan pemerintahan desentralisasi berlangsung sejak UU No. 22 Tahun 1999 dan dilanjutkan dengan UU No. 32 Tahun 2004 sebagai konsekuensi dari otonomi daerah. Konflik sosial horizontal, juga berlangsung antar departemen sektoral di pemerintahan pusat, ataupun antara satu pemerintah kabupaten berhadap-hadapan melawan pemerintah kabupaten lain dalam suatu kebijaksanaan tertentu. Lebih lanjut Dharmawan (2008), menjelaskan bahwa diruang kekuasaan masyarakat sipil, juga berlangsung konflik sosial yang tidak kalah intensifnya antara sesama kolektivitas sosial dalam mempertentangkan suatu obyek yang sama. Hal ini dipicu oleh cara pandang yang berbeda dalam memaknai suatu persoalan. Perbedaan mazhab atau ideologi yang dianut masing-masing pihak bersengketa menjadikan friksi sosial dapat berubah menjadi konflik sosial yang
27
nyata. Beberapa contoh atas konflik ini bisa disebutkan antara lain, tawuran antar warga yang yang dipicu oleh hal-hal yang dalam kehidupan normal dianggap sederhana, seperti masalah batas wilayah administratif yang hendak dimekarkan sebagai konsekuensi otonomi daerah. Sementara itu, diruang ini juga bisa berlangsung konflik sosial yang melibatkan perbedaan identitas sosial komunal seperti ras, etnisitas dan religiusitas. Selanjutnya Dharmawan (2008) bahwa konflik-konflik sosial yang berlangsung antara para penganut mazhab pada sebuah agama tertentu (konflik sektarian sebagaimana terjadi antara penganut ahmadiyah versus non-ahmadiyah) juga terjadi secara dramatis di ruang masyarakat sipil di Indonesia. Konflik sosial yang berlangsung diruang masyarakat sipil menghasilkan dampak yang paling beraneka warna (karena diverse-nya persoalan yang dijadikan obyek konflik) dan berlangsung cukup memprihatinkan (berujung pada kematian, cedera dan kerusakan) di Indonesia. Sementara itu diruang kekuasaan swasta, konflik sosial lebih banyak terjadi oleh karena persaingan usaha yang makin ketat. Kendati demikian, konflik sosial juga bisa di picu oleh karena kesalahan negara dalam mengambil kebijakan dalam pemihakan kepada kaum lemah. Misalnya, konflik sosial para pedagang UKM (usaha Kecil Menengah) melawan perusahaan retail swasta multinasional yang merasuki kawasan-kawasan yang sesungguhnya bukan lahan bermain mereka. Selain itu, konflik-konflik berdarah yang berlangsung antara nelayan trawl (pukat harimau) bermodal kuat melawan nelayan atau koperasi nelayan kecil (bermodal lemah) di berbagai daerah, adalah salah satu contoh klasik konflik di ruang ini (Dharmawan 2008).
2.3. Pemekaran Wilayah dan Pembangunan Daerah. Pemekaran wilayah yang semangat kehadirannya didorong oleh adanya kesenjangan pembangunan yang terjadi antara pusat-daerah, pada hakikatnya mendapat respon yang sangat baik dari masyarakat atas harapan hadirnya perubahan. Namun terkadang harapan-harapan atas pembangunan yang pesat ternyata tidak berbanding-lurus dengan kebutuhan masyarakat, melainkan
28
tuntutan dan keinginan elite politik lokal. Kondisi ini dikarenakan indikator pembangunan hanya menggunakan PDB atau PDB perkapita saja. Ada banyak pendapat yang kemudian menjadi kesepahaman bersama, bahwa perkembangan yang tidak lain adalah perkembangan wilayah sebagai dampak dari pembangunan tidak lagi hanya diukur dari kenaikan PDB atau PDB perkapitanya saja. Misra (1981-b) dan Todaro (1981) dalam Indraprahasta (2009), mengemukakan bahwa perkembangan sebenarnya adalah tidak lain, yakni keberhasilan seseorang dalam mencapai nilai budaya yang lebih tinggi. Secara teoritik, menurut Riyadi (2002) dalam Indraprahasta (2009), mengemukakan bahwa pembangunan dalam perspektif pengembangan wilayah merupakan upaya untuk memacu perkembangan sosial ekonomi, mengurangi kesenjangan antar wilayah, dan menjaga suatu kelestarian lingkungan hidup pada suatu wilayah. Lebih lanjut, menurut Anwar dan Rustiadi (2000), bahwa telah terjadi evolusi strategi pembangunan dari masa ke masa, mulai dari strategi pembangunan yang menekankan pertumbuhan ekonomi, pertumbuhan dan kesempatan kerja, pertumbuhan dan pemerataan, penekanan pada pemenuhan kebutuhan dasar, pertumbuhan dan lingkungan hidup, sampai pembangunan yang berkelanjutan. Sementara dari penelitian terdahulu, Agusniar (2006), mengemukakan bahwa pemekaran wilayah berdampak positif pada pertumbuhann ekonomi daerah – studi kasus pemekaran Kabupaten Aceh Singkil-, laju pertumbuhan PDRB sebelum pemekaran yang terus menurun, mengalami peningkatan setelah adanya pemekaran. Selanjutnya Sihombing (2006),- studi kasus Kabupaten Humbang Hasundutan-, mengemukakan bahwa pemekaran berdampak pada perubahan perekonomian daerah yang lebih baik. Selain itu dengan pemekaran wilayah, rentang kendali semakin pendek sehingga pemerintah daerah lebih memahami potensi dan permasalahan masyarakat. Sebaliknya masyarakatpun semakin baik menyampaikan aspirasi dan permasalahannya. Dengan demikian demokratisasi semakin terlaksana di tengah-tengah masyarakat dan pelayanan kepada masyarakatpun bisa ditingkatkan.
29
Sementara Tuerah (2006), mengatakan bahwa tujuan pemekaran daerah untuk dapat memberikan pelayanan dasar (pendidikan dan kesehatan) yang lebih baik kepada masyarakat, ternyata masih jauh dari yang diharapkan. Pemekaran daerah belum dapat dimanfaatkan oleh daerah pemekaran untuk memperbaiki kondisi ekonomi daerah semakin baik dan berkembang. Besarnya dana yang ditransfer oleh pemerintah pusat untuk daerah-daerah pemekaran belum diikuti dengan peningkatan pelayanan publik.
2.4.
Kerangka Pemikiran Pemekaran wilayah merupakan sebuah langkah yang signifikan ditengah
arus demokrasi dan tuntutan otonomi daerah yang begitu kuat. Namun seyogyanya
memekarkan
sebuah
wilayah
semestinya
tidak
sekedar
mempertimbangkan aspek politik semata, melainkan semua dimensi harus dipertimbangkan, sehingga semangat pemekaran wilayah yang intinya untuk memperpendek rentang kendali dan terlebihnya untuk mendorong kesejahteraan masyarakat benar-benar terwujud. Dalam isu-isu pemekaran dan penggabungan wilayah juga, menjadi penting, penentuan jelas batas wilayah, sehingga polemikpolemik yang tidak mendasarkan pada aturan – aturan yang telah ditetapkan dapat terselesaikan secara baik. Kebijakan pemerintahan di tingkat provinsi – sebagai wakil pemeritah pusat di daerah – seyogyanya memiliki sensitivitas terhadap persoalan-persoalan yang timbul di tingkat kabupaten/kota, sehingga peranan pemerintah provinsi dapat terlihat dengan jelas. Hal ini dapat diwujudkan manakala komponen apparatus pemerintah baik di tingkat kabupaten/kota maupun provinsi memiliki kapasitas yang memadai. Pada konteks inilah, menjadi penting untuk dilakukan penguatan kapasistas bagi apparatus birokrasi di tingkat provinsi maupun kabupaten dan kota, sehingga memiliki kepekaan yang tinggi atas tuntutan masyarakat. Dengan demikian pada gilirannya akan mencerminkan wajah pemerintahan yang kredibel dan bertanggungjawab atas nasib rakyat. Sebagaimana tujuan pemekaran wilayah, yang salah satunya adalah untuk memperpendek rentang kendali, maka pemerintah pusat mendesentralisasikan
30
kewenangannya kepada daerah-daerah untuk mengurus dan mengatur rumah tangganya secara mandiri. Semangat ini terlihat jelas pada upaya desentaralisasi administratif yang didasarkan pada argumentasi bahwa pengelolaan oleh unit-unit pelayanan publik akan lebih efektif jika diserahkan kepada unit yang bersentuhan langsung dengan masyarakat. Asumsinya, semakin dekat hubungan antara pemerintah (region) dengan masyarakat, semakin bisa dipahami kebutuhan masyarakat akan suatu pelayanan. Namun realitas menunjukkan bahwa pemekaran wilayah dengan tujuan mulianya, yakni memperpendek rentang kendali untuk meningkatkan pelayanan serta kesejahteraan masyarakat, ternyata cenderung membawa akibat ikutan dalam bentuk konflik. Umumnya konflik yang terjadi akibat pemekaran wilayah adalah; konflik batas wilayah, identitas etnis/ideologi, sumberdaya alam dan konflik dengan alasan-alasan, seperti alasan emosional, historis dan kepemilikan tanah adat/budaya dan hegemoni kekuasaan. Konflik-konflik ini jika tidak diantisipasi secara baik dan bijaksana, maka dapat mengakibatkan konflik sosial yang lebih besar dengan korban, sudah tentu adalah masyarakat yang sesungguhnya menaruh harapan besar bahwa pemekaran akan membawa kesejahteraan dan bukan konflik. Dengan kondisi ini, maka menjadi sebuah keniscayaan untuk dirumuskan strategi pemekaran wilayah yang lebih baik dan beradab, yang benar-benar dapat membawa kesejahteraan masyarakat sebagaimana hakikat pemekaran wilayah itu sendiri. Strategi ini penting dan segera dirumuskan sehingga dapat di implementasikan ditengah menguatnya tuntutan daerah-daerah yang ingin memekarakan diri. Terutama di implementasikan pada daerah-daerah yang rentan terhadap konflik. Namun, upaya untuk mengimplementasikan strategi yang dimaksud, tentunya dibutuhkan pemahaman akan substansi permasalahan, sehingga dalam merumuskan strategi pemekaran dan atau upaya melakukan resolusi konflik akibat pemekaran wilayah benar-benar tepat sasaran. Menurut Dharmawan (2008), bahwa secara umum strategi resolusi konflik sepantasnya harus dimulai dengan pengetahuan yang mencukupi tentang peta atau profil konflik sosial yang terjadi di suatu kawasan. Dengan berbekal peta tersebut, segala kemungkinan dan
31
peluang resolusi konflik diperhitungkan dengan cermat, sehingga setiap manfaat dan kerugiannya dapat dikalkulasikan dengan baik. Seringkali dijumpai banyak kasus bahwa sebuah pilihan solusi-tindakan rasional untuk mengatasi konflik sosial, tidaklah benar-benar mampu menghapuskan akar persoalan konflik secara tuntas dan menyeluruh. Pada konteks itu, maka penelitian ini dilakukan dengan membangun sebuah kerangka pemikiran sebagai berikut : Kerangka Pemikiran Pemekaran/Penggabungan wilayah Enam Desa
Protes Masyarakat Enam Desa
Alamiah
Rekayasa Ingin Menjadi bagian wilayah Kab. Halbar
- Alasan Historis - Kedekatan Emosional - Pelayanan Publik
Menolak menjadi bagian wilayah Kab. Halut
Karena ada sumberdaya alam di wilayah enam desa
Konflik Perebutan Wilayah dua kabupaten
- Menganalisis alasan penolakan, apakah penolakan tersebut alamiah ataukah rekayasa - Bagaimana pengelolaan administrasi wilayah - Bagaimana strategi pengembangan wilayah enam desa terkait konflik perebutan dua kabupaten kaitannya dengan sumberdaya alam
-
sejarah penolakan Derajat penolakan Skala penolakan Aktor
- Penolakan pespektif ekonomi politik sumberdaya alam - Penolakan pespektif - administrasi wilayah - Penolakan perspektif sosio historis dan budaya wilayah
- Kekacauan administrasi wilayah - Kekacauan demokrasi dan tata kehidupan politik - Kekacauan pelayanan publik
Gambar. 2.1. Diagram Alir Pemikiran